Anda di halaman 1dari 23

Siapakah Aku?

Transformasi dan Penumbuhkembangan Karakter


Oleh : S. Marihot Hutahayan (*)

Alkisah, seorang bijak, pastor sekaligus fenomenolog tersohor dari Belanda yang lebih dari
setengah perjalanan hidupnya berada di Bandung, MAW Brouwer, pernah berujar, “Ikan melihat
segala hal, kecuali air.” Apakah rangkaian narasi ini menggelitik Anda untuk mencoba
membayangkan lebih jauh makna kalimat bijak di atas? Kalau ya, maka bayangkanlah kita adalah
ikan-ikan yang berseliweran di dalam sebuah akuarium raksasa, maka kita bisa melihat segala hal di
sekitar kita, bahkan di luar akuarium, tetapi kita mustahil bisa melihat air di dalam akuariumnya.
Tentunya hanya bisa jika kita bisa menarik diri sejenak dari air, keluar dari akuarium, lalu kita bisa
melihat air tempat kita hidup. Saat kita berada di luar akuarium, baru kita menyadari bahwa airnya
ternyata tidak sejernih yang kita bayangkan, airnya rada keruh dan menghijau oleh bauran ganggang
dan lumut hijau. Tentunya, sebagai ikan yang kehidupannya menyatu dengan air maka kita tidak
boleh berlama-lama keluar dari akuarium, karena kita bisa megap-megap dan sekarat. Apakah Anda
memikirkan hal lain dari ilustrasi ‘ikan dalam akuarium’ tadi? Yah, Anda sangat benar, ternyata
sebagaimana ikan, kita perlu sekali-sekali ‘keluar dari akuarium’ kehidupan kita untuk mengenali
lebih utuh dan mendalam jati diri kita. Sesudah kita ‘menarik diri’ atau retreat dari keseharian hidup
kita, yang dipenuhi kesibukan dan ragam permasalahan yang membebani bahkan mengotori, bagai
lumut hijau yang memenuhi kehidupan kita, maka saatnya kita mem-plong-kan beban hidup kita.
Anda siap?
Sekarang, saat Anda menggenggam buku ini, carilah alat tulis yang akan Anda gunakan nanti
menulis di kolom-kolom yang sudah disediakan di dalam lembaran buku ini, lalu duduklah serileks
mungkin di tempat Anda duduk sekarang, lalu tariklah nafas dalam-dalam, lalu hembuskan perlahan,
ya perlahan sekali. Sekali lagi, tarik nafas dalam-dalam dan hembuskan perlahan-lahan, hingga Anda
merasa lebih tenang dan sangat rileks. Sekarang, saatnya Anda menjawab dengan menuliskan
jawaban Anda di kolom yang sudah disediakan di bawah. “Tuliskanlah 3 hal yang menjadi pertanyaan
yang sangat ingin Anda pahami dalam perjalanan kehidupanmu, dari dahulu. Pertanyaan yang paling
mengganjal dan belum terjawab dengan tuntas dalam kehidupanmu dari dulu hingga saat ini?”
Sekarang, tuliskanlah jawabanmu pada kolom kosong berikut ini :
1. _______________________________________________________________________________
_______________________________________________________________________________
2. _______________________________________________________________________________
_______________________________________________________________________________
3. _______________________________________________________________________________
_______________________________________________________________________________

Luar biasa! Anda telah berhasil mengekspresikan lewat tulisan misteri kehidupan yang belum
terjawab dengan tuntas dalam perjalanan hidupmu. Sekarang, silakan Kembali melanjutkan membaca
tulisan di bawah ini, atau Anda mau ambil secangkir kopi atau teh dulu? Silakan, nggak usah terlalu
serius dan tegang, mari membaca dengan tanpa beban berat di pikiran yang selama masa-masa
pandemic covid-19 ini sudah sarat dengan banyaknya beban pikiran.

Ternyata, dari begitu banyak jawaban yang dituliskan orang-orang yang mengikuti berbagai
sesi pelatihan atau seminar yang kami fasilitasi dari WinMark2020 Consulting, tiga jawaban yang
paling banyak muncul adalah :

1. Apa yang akan terjadi sesudah aku mati?


2. Siapakah aku sesungguhnya?
3. Kenapa sebagai manusia aku tidak pernah bahagia?
Karena pertanyaan nomor 1 adalah ranah spritualitas, maka Penulis lebih tertarik membahas
jawaban nomor 2 dan 3, sekaligus menjadi tujuan pembuatan tulisan sederhana ini, yang menurut
hemat penulis merupakan dua pertanyaan yang saling terkait dalam satu aras dan nafas.

Selama bertahun-tahun berpraktek sebagai psikolog, praktisi dan konsultan HCM, Marketing
dan Business Transformation, ada satu tulisan sangat menarik, menggelitik, sangat menggugah
kedalaman jawab, sekaligus sering Penulis lontarkan saat memfasilitasi seri pelatihan, seminar atau
workshop bernuansa pengembangan orang dan organisasi, sebagai berikut:

Ketika Penulis ajukan sebuah pertanyaan di depan para peserta seri pengembangan diri, “Apa yang
aneh dan paradoksal dalam tulisan ini?” Maka jawaban yang banyak muncul adalah,”Terbalik Pak!”
Ya, kenyataan yang terbalik inilah yang terjadi di dalam kehidupan kebanyakan kita, sampai berusia
tua kebanyakan dari kita akhirnya gagal mengenali diri sendiri, dan pertanyaan “Who Am I?” sangat
terlambat bahkan tidak pernah terjawab dalam kehidupan kita di negeri yang penuh kemunafikan ini.
Hal ini dikuatkan oleh banyak mitra profesi, para psikolog perkembangan bahwa teramat banyak
manusia yang dari semenjak jadi anak kecil, remaja, dewasa hingga tua belum mengenali dirinya
sendiri. Miris! Apa yang terjadi saat seseorang gagal mengenali dirinya, di lintas perjalanan hidupnya
yang begitu singkat dan cepat berlalu? Yah, walau pertanyaan itu sederhana dan mudah dijawab,
tetapi teramat sulit menjelaskan diri dengan terang benderang. Pertanyaan ini ternyata juga banyak
diajukan, oleh para filsuf, fenomenolog, psikolog, teolog dan juga bahkan oleh para nabi di berbagai
agama dari beberapa milenial yang lalu. Bahkan pertanyaan ini masih menjadi trending topic bagi
berbagai lintas generasi manusia, khususnya para milenial gen-y, gen-z, alpha dan beta, yang siklus
hidupnya kian menuju ke puncak saat ini. Apa yang menyebabkan pertanyaan sederhana, tentang
keberadaan diri ini terus berada dalam lampu sorot kehidupan? Ayo, kenapa?

Sejenak, arahkan pandanganmu dengan berfokuslah sepenuhnya kepada gambar wanita cantik
berikut ini….. Apakah Anda melihat sesuatu yang aneh? Kalau “Ya”, yang menjadi pertanyaan
berikut adalah, apakah mata Anda yang gagal berfokus atau obyek gambarnya yang aneh?
Ya, ternyata semua jawaban menyalahkan obyek gambarnya yang berbayang, membias atau kurang
fokus. Penulis juga mengalami hal yang sama saat pertama kali melihat gambar membias ini. Rasa-
rasanya ada yang salah dan tidak seperti biasanya dalam gambar tersebut. Wajahnya berbayang atau
membias menghasilkan detil mata dan bibir yang berganda sehingga sosok wajahnya menjadi aneh
dan terasa asing, bisa jadi wanita cantik seperti dalam sosok gambar ini akan sangat menakutkan
Anda seandainya sosoknya nyata berdiri di hadapan Anda saat ini. Iiiihhh…

Begitulah barangkali gambaran kualitas pengenalan keberadaan diri kita selama ini, belum
jelas, aneh, membias, berbayang dan kehilangan fokus. Pengenalan diri sering menjadi kendala untuk
menjadi diri yang terbaik, atau untuk berhasil ‘selesai’ dengan diri sendiri. Hal yang pada akhirnya
membuat diri kita hadir dalam kehidupan sebagai sesok yang tidak percaya diri. Fenomena kualitas
pencarian jati diri yang gagal ini telah berlangsung di sepanjang abad, generasi dan rumpun
teknologi, sebagaimana pernah diungkapkan oleh Rene Descartes, filsuf kenamaan Perancis, “Cogito
Ergo Sum”, yang artinya “Aku berpikir maka aku ada”. Ungkapan terkenal ini dimaksudkan untuk
membuktikan bahwa satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan manusia itu sendiri.
Kalau manusia itu gagal mengenali keberadaan atau jati dirinya maka akan menjadi masalah krusial
dan dramatis ke masa depan perjalanan kehidupannya.

Apakah baru-baru ini Anda pernah melakukan medical check untuk mengetahui kondisi
kesehatan tubuh Anda? Pernah? Tentunya medical check yang telah Anda lakukan adalah untuk
mengecek kondisi tubuh Anda. Tetapi pernahkah Anda melakukan psychological check untuk
memahami diri atau karakter Anda? Belum pernah? Ya, memang umumnya manusia lebih mau
melakukan medical check untuk kepastian kondisi kesehatan tubuh, agar jangan sampai sakit atau
membahayakan nyawa ke depannya, tetapi kesehatan atau kondisi keberadaan diri psikologis jarang
sekali kita cek kondisinya, karena menganggap semuanya beres-beres saja, padahal bisa jadi justru
mayoritas penyebab permasalahan kehidupan kita bukan pada dimensi tubuh, tetapi psikologis atau
jiwa kita. Nah, barangkali hal itulah yang menyebabkan kita sering bingung atau kesulitan menjawab
pertanyaan sederhana tadi, “Who Am I?

Pertanyaan itu jugalah yang selalu melintas dan mengobsesi diriku semasa kecil hingga
remaja di sebuah kota kecil di Humbahas, Dolok Sanggul, “Who Am I?” Upaya penelusuran dan
penuntasan jawaban yang lebih meyakinkan itulah yang ingin Penulis lakukan dari doeloe hingga
sayPenulis sangat tertarik untuk belajar di fakultas psikologi, yang oleh orang-orang dekatku suka
dicibir bahwa psikologi adalah ilmu yang 11 12 dengan ilmu mistis atau sejenisnya, makanya terlebih
dahulu Penulis menjadi warga fakultas teknik sipil sebelum akhirnya berkuliah di fakultas psikologi
di Bandung. Ketika lulus dari kedua fakultas “otak kiri dan otak kanan” tersebut, Penulis lebih tertarik
bekerja di Astra sebagai praktisi yang banyak mendayagunakan ilmu psikologi, seperti Human
Capital Management (HCM) yang lebih dikenal dengan sebutan HRD, Marketing dan Business
Transformation selama 14 tahunan. Bahkan, Ketika Penulis mempensiunkan diri lebih dini usia 38
tahun, dan menjadi konsultan Business Transformation, Marketing dan HCM selama 20 tahun ini,
Penulis masih terus penasaran dan ingin terus mendalami ilmu perilaku orang dalam konteks
organisasi. “Who Am I?”

Kenapa perlu kita harus menjawab pertanyaan perihal siapakah diri kita? Karena kita adalah
sebuah misteri bahkan “kotak pandora” untuk lebih mengenali misi, visi bahkan panggilan kehidupan
kita, dari mana dan mau ke mana. Akhirnya Penulis tiba pada suatu kesimpulan yang
‘memprihatinkan’ bahwa manusia, yang akhirnya bisa mengenali dirinya, setidaknya “Ciri-ciri Utama
- Kelebihan – Kelemahan – Rencana Pengembangan” dirinya setiap tahunnya hanya kurang dari 10%,
hanya 1 dari 10 orang! Kok bisa? Praduga saya, kemungkinan besar karena manusia sibuk ingin
mempelajari buanyaak hal di dunia ini sebagai obyek ilmu pengetahuan yang memperbesar wawasan
dan memperdalam spesialisasi dirinya, bahkan seolah sangat tercerdaskan dan tercerahkan oleh luas
dan dalamnya pengetahuan yang telah dia miliki. Tetapi selalu muncul suatu geliat kegelisahan dalam
sukma, seolah selalu ada yang kurang dan terabaikan, bahkan terasingkan dari kehidupannya. Yah,
ada yang kurang dan cenderung selalu terlupakan, manusia telah berjuang belajar banyak, bahkan
mengglobal dan menjadi super spesialisasi di dalam lintasan perjalanan karir dan kehidupannya,
namun hal yang sering terlupa adalah mempelajari, memahami, dan mendalami dirinya sendiri.
Apakah Anda sudah paham mendalam dengan diri sendiri?

Penulis sangat terhenyak dan kaget atas sebuah hasil penelitian sederhana dari seorang
Psikolog perihal kondisi sesungguhnya pernikana di Indonesia, berikut ini :

Apakah Anda bisa menerima realita yang digambarkan hasil penelitian atau terhenyak? Penulis suka
bertanya kepada ratusan ribu yang pernah saya training di banyak belahan Indonesia perihal pendapat
mereka atas penyebab kenapa begitu retas dan mudah retaknya perkawinan di Indonesia, sebagaimana
diproyeksikan lewat hasil penelitian sederhana ini. Ternyata banyak dugaan yang dilontarkan tentang
kekurangdalaman pengenalan selama mereka berpacaran. Yah, bisa jadi itulah akar masalahnya,
karena bukan masalah lama atau singkatnya pasangan berpacaran tetapi seberapa mengenal mereka
akan diri dan pasangan masing-masing. Banyak juga peserta mengatakan bahwa boro-boro mereka
mengenali secara mendalam pasangan mereka, diri sendiripun bisa jadi belum cukup mendalam dan
lengkap mereka pahami.

ORANG DALAM DINAMIKA ORGANISASI


Stephen Covey yang sangat terkenal dari tahun 1988 an di seluruh dunia dalam bukunya “The
7 Habits of Highly Effective People” mendeskripsikan dengan jelas dan sederhana 4 tingkatan
pengenalan dan kepemimpinan diri manusia, yakni : Aku, Antar Pribadi, Manajerial dan Organisasi
sebagaimana saya kustomisasi dalam bagan dari Covey berikut ini:

Di dalam degub semangat pembelajaran tentang pencarian pengenalan akan diri sendiri di
fakultas psikologi yang mendalami perilaku manusia selama di strata 1 dan strata 2, Penulis lebih
tertarik untuk belajar psikologi praktis yang mudah dipahami, didalami dan diaplikasikan oleh awam
yang tidak harus bersekolah di fakultas psikologi. Aneh, tetapi menjadi tantangan tersendiri
bagaimana caranya menyederhanakan yang rumit, mempraksiskan model, konsep, pemikiran, teori
dan mazhab psikologi menjadi kerangka kerja sekaligus alat sederhana yang bisa diukurkan ,
dianalisis dengan sederhana, lalu ditindaklanjuti untuk pertumbuhkembangan orang dan organisasi
menghadapi kompleksitas kehidupan yang membutuhkan transformasi orang dan organisasi. Di era
transformasi abad ke-21 ini, semakin terasa mendesaknya kebutuhan psikologi perubahan nanpraktis
ini, saat orang dan organisasi dituntut untuk berubah atau bertransformasi lebih efektif dan unggul
dalam kompetisi dan koopetisi kehidupan diri dan organisasi, khususnya transformasi bisnis yang
semakin marak di seluruh dunia. Change or die!

Di dalam perjalanan karir sebagai praktisi, akademisi, dan konsultan transformasi bisnis,
Penulis banyak berupaya untuk terus memahami dan mendalami dinamika orang dalam organisasi
yang tengah bertransformasi. Penulis sangat tergerak untuk meracik model yang sesederhana dan
sepraktis mungkin dari beberapa model transformasi orang dan organisasi berbagai konsultan
transformasi bisnis kelas dunia yang melayani Astra berpuluh tahun, yang suka Penulis anggap
sebagai kesempatan emas dan kemewahan tersendiri bisa mendampingi para konsultan kelas dunia
mentransformasi beberapa perusahaan di Astra. Penulis akhirnya menyimpulkan bahwa terdapat
empat elemen organisasi yang harus dipahami dan didalami dinamikanya pada saat mentransformasi
orang dan organisasi, yakni : Arah (Strategi : AIM, Visi, Misi, Nilai-nilai Inti, Strategic Intent dan
Organization Milestones), Awak (Orang : Kompetensi, Kultur, Motivasi dan Kinerja), Alat
(Teknologi : Piranti Teknologi Software dan Hardware dan Sistem hingga SOP dan IK), ) dan Aras
(Proses : Kualitas Layanan dan Produk) yang kerangka kerjanya dapat digambarkan sebagai berikut
ini:
Ketika mulai terlibat di dalam transformasi organisasi beberapa perusahaan di Astra Group
dari tahun 1991 dan menjadi konsultan transformasi bisnis yang melayani ratusan organisasi bisnis,
institusi pemerintah, BUMN, pendidikan dan denominasi gereja saya sangat dimudahkan dengan
menggunakan Kerangka 4 Elemen Organisasi ini. Semula Penulis berpikir bahwa elemen arah,
teknologi dan proseslah yang paling utama di dalam aktivitas rutin dan transformasi organisasi,
ternyata Penulis kecele, eleman paling utama dan bahkan berpengaruh lebih dari 80% adalah elemen
Awak atau Orang, baik individu, tim dan organisasi. Kenapa bisa begitu? Orang, ternyata menjadi
subyek atau pelaku, sekaligus obyek yang mengalami dinamika operasional dan transformasi
organisasi, yang paling menentukan keberhasilan atau kegagalan pencapaian sasaran atau visi
organisasi. Hal ini membawa Penulis untuk memahami atau ‘membedah’ lebih mendalam aspek-
aspek dalam diri Orang (baca : manusia) yang mempengaruhi keberhasilan berkinerja atau
keberhasilan manusia menjalankan roda operasional dan transformasi organisasi. Wow, kian
mengasikkan!

ORANG DALAM TEORI LAPISAN GUNUNG

Kalau kita mau mendalami diri manusia maka kita perlu mulai memahami terlebih dahulu
ragam dan dinamika “lapis-lapis” pembentuk diri manusia, sebagai berikut :
Manusia bisa dipahami lapisan dirinya dengan analogi gunung, Penulis menyebutnya Teori Lapisan
Gunung. Kalau kita menerbangkan drone berkamera di ketinggian puncak gunung, maka kita akan
melihat gunung dalam lapisan-lapisan yang virtual. Kalau dianalogikan dengan diri manusia maka
akan terdapat tiga lapisan diri manusia: lapis paling tengah adalah tubuh atau soma, lapis yang banyak
berurusan dengan para dokter saat Anda sakit tubuh. Lapis kedua adalah jiwa atau psiko, lapis yang
lebih banyak berurusan dengan Psikolog atau Psikiater saat Anda bermasalah dengan lapis kejiwaan.
Lapis terluar atau lapis ketiga yang melingkupi semua lapis sebelumnya adalah lapis roh atau spritual,
yang sudah barang tentu menjadi ranah para Pendeta atau Kiai saat Anda membutuhkan tuntunan dan
bimbingan rohaniah. Ketiga lapisan ini hanyalah virtual atau fiktif yang digambarkan hanya untuk
menyederhanakan pemahaman kita tentang diri kita sendiri. Prinsip dasar ketiga lapisan ini adalah,
lapis yang lebih dalam akan menggerakkan lapis yang lebih luar, sebaliknya, lapis yang lebih luar
akan menjadi kendali bagi lapis yang lebih dalam.

Pernahkah Anda mendengan istilah simptom psikosomatis yang dialami manusia ? Ya,
dengan teori sederhana ini akan jauh lebih mudah dijelaskan bahwa saat lapisan tubuh atau soma kita
mengalami masalah akan berpengaruh, langsung atau tidak langsung, kepada lapisan jiwa atau psiko,
maka disebut psikosomatis. Kebalikannya, saat Anda mendapat kondisi tertekan atau stress oleh
beragam masalah berat dan pelik kehidupan, maka lapis tubuh Andapun akan dipengaruhi, pada
komponen tubuh paling lemah, misalnya menjadi sakit mag.

Apakah Anda kian dimudahkan memahami diri dengan Teori Lapisan Gunung ini? Semoga!
Tetapi untuk menguatkan pemahaman Anda, mari ikuti kisah pengalaman pribadi Penulis saat
mengalami kondisi sakit tetapi harus ujian akhir semester di 3 dan 5 di kedua kampus dimana Penulis
sekolah di tahun 1985 an. Alkisah dokter memvonis saya harus dirawat di rumah sakit atau
beristirahat total di tempat kos karena kena tipus, penyakit yang sangat jamak di Bandung bagi para
anak kos yang makannya tidak teratur. Padahal besoknya ujian akan mulai berlangsung, bahkan ada
yang dalam satu hari harus mengikuti 4 ujian dari pagi sampai sore. Setelah pulang ke tempat kos,
Penulis berdoa “melobi setengah memaksa” dalam pembicaraan khusus atau doa kepada TUHAN
yang saya Imani, kasihi dan sembah, bahwa Penulis harus tetap ujian maka akan mandi, hal yang
dilarang bagi yang sakit tipus, dan dalam keimanan Penulis pasti akan sembuh, amin. Penulis
langsung mandi, eehh malamnya keringat dingin lalu besoknya bisa ujian karena tipusnya telah Dia
sembuhkan. Banyak yang yang menyebutnya muzizat, tetapi dalam kerangka pandang Teori Lapisan
Gunung di atas, sangat mudah dipahami dan dipraktekkan. Saat tubuh atau jiwa kita bermasalah
maka percaya dan carilah solusi di lapis spiritual yakni TUHAN. Beres! Hal itu juga berarti saat kita
masuk dan meyakini ranah spiritual maka ranah ketenangan jiwa dan Kesehatan tubuh kita juga akan
terpengaruh sepenuhnya. Menarik? Maka yakinilah Tuhan sepenuhnya!
Untuk melengkapi dan mendalami pemahaman kita perihal diri manusia maka Penulis
berupaya menyempurnakan Teori Lapisan Gunung tadi dengan Teori Lapisan Bawang yang terdiri
dari 5 lapisan yang sesungguhnya turunan dari Teori Lapisan Gunung dengan 3 lapisan diri, sebagai
berikut:

Tertarik untuk mendapat uraian penjelasan lebih lanjut? Begini ceritanya, ketika seseorang mengikuti
“Psychological Check” atau asesmen psikologi, yang bisa berlangsung seharian karena mendapatkan
serangkain tes psikologi yang lengkap dengan ujian kompetensi yang juga lengkap, maka hasilnya,
salah satunya, adalah lapisan diri manusia di atas. Ternyata, manusia bisa digambarkan dalam 5
lapisan : Energi atau Motivasi, Emosi, Rasio atau Intelektualitas, Sosio atau Relasional dan Spritual.
Sudah barang tentu alat tes psikologi mengalamim kesulitan masuk ke lapis spritualitas, misalnya saat
mengukur integritas atau kejujuran, jiwa melayani atau servant leadership skills, tetapi perusahaan
membutuhkan kelima lapisan ini dilaporkan dalam psikogram yang mudah dipahami para manajemen
atau pengguna. Berikut contoh gambaran diri manusia saat dituangkan dalam psikogram:

Saat membaca Laporan Psikogram Potensi dan Perilaku di atas maka Manajer atau User akan dengan
mudah memahami gambaran diri dan dinamika diri seseorang yang adalah anak buah yang mau
dipromosikan atau ditempatkan di posisi yang lebih tinggi dari posisi sekarang. Di dalam laporan
psikogram itu sesungguhnya adalah gambaran kelima lapisan dari Teori Lapisan Bawang tadi, tak
lebih tak kurang. Jadi kalau kita ingin memahami diri manusia lebih mendalam, termasuk karakter,
kita harus memahami system thinking dari kedua teori lapisan diri manusia yang sudah Penulis
jelaskan sebelumnya. Penulis suka bercanda dalam banyak seri training, seminar atau workshop
bahwa kuliah saya hampir 7 tahun di S1 dan S2 Psikologi dapat diringkas dalam kedua teori lapisan
diri manusia di atas. Nggak percaya? Coba baca ulang dari atas lagi dengan lebih tenang dan fokus.

Ketika Penulis ditanya oleh beberapa orang peserta seri training, seminar atau workshop yang
pernah dilaksanakan perihal lapis paling menentukan atau critical sehingga memerlukan pengelolaan
khusus. Saya menjawabnya, “Lapis Emosi.” Kenapa lapis emosi yang paling kritikal? Perhatikan
dengan seksama 4 jenis emosi berikut ini:

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) emosi/emo·si/ /émosi/ n adalah : 1 luapan
perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat; 2 keadaan dan reaksi psikologis dan
fisiologis (seperti kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan); keberanian yang bersifat subjektif);
3 marah. Kalau kita telaah dari kacamata psikologi maka sebenarnya ada begitu banyak pengertian
tentang emosi dikarenakan konsep emosi selalu berubah seiring berjalannya waktu dan untuk
membicarakannya butuh waktu yang sangat lama. Ada banyak teori yang membahas tentang emosi,
dan hasilnya menarik-menarik. Namun yang paling menarik adalah pengertian emosi menurut Don
Hockenbury dan Sandra E. Hockenbury dalam bukunya “Discovering Psychology”, emosi adalah
kondisi psikologi yang kompleks yang mencakup tiga komponen berbeda, yaitu pengalaman subjektif,
respon fisiologis, dan respon perilaku atau ekspresif. Saya sering memaknakan emosi dengan sangat
sederhana, sebagai pengelaman subyektif akan perasaan atau penderitaan. Sederhana kan?

TIPOLOGI ORANG DAN KARAKTER

Kalau kita mencoba memetakan diri manusia dengan pendekatan segmentasi perilaku atau
tipologi (Pola perilaku atau sekelompok kebiasaan yang menjadi POLA dan sering atau merasa
“NYAMAN” dilakukan dalam interaksi dengan orang lain.), terdapat 4 tipologi manusia: Kuasa,
Gaul, Harmoni dan Pemikir. Perhatikan began berikut, dan proyeksikanlah diri keseharianmu dalam 2
sumbu berikut ini: Pada Sumbu X, apakah Anda orang yang SPONTAN atau HATI-HATI? Silakan
menentukan, di angka 1,2, 4, atu 5? Tidak boleh memilih angka 3. Kalau saya di angka 4.

,
Pada Sumbu Y, apakah Anda orang yang TERBUKA (Ekstrovert) atau TERTUTUP
(Intovert)? Silakan menentukan, di angka 1,2, 4, atu 5? Tidak boleh memilih angka 3. Kalau saya
diangka 4 juga.

Kalau menggabungkan kedua pilihan angkamu pada kedua sumbu tadi, tipologi apakah
dirimu? Kalau saya diangka 4,4 ternyata adalah tipologi gaul, wow!

Kalau ingin mengetahui tipologimu lebih detil, dimana urutan dan kekuatan tipologi dapat
kita perolah, silakan mengisi kuesioner yang sudah banyak saya sederhanakan dari perjalanan Panjang
memfasilitasi lebih dari 500.000 orang yang pernah mengisinya dari berbagai jenis bisnis, suku,
generasi, daerah, divisi, dan bahkan kebangsaan, berikut ini:
Apakah Anda sudah mengisi dengan lengkap kuesioner di atas? Berapa angka, sebelum dikali
2 di masing-masing kolom? Masukkan angka tersebut (sekali lagi : Sebelum dikali 2!) pada bagan
berikut ini, maka jenis, urutan dan kekuatan tipologimu akan terlihat:

Dengan mengetahui dengan cepat dan lengkap tipologi diri kita maka kita bisa mengetahui
jenis emosi yang paling banyak kita ekspresi dan impresikan di dalam kehidupan keseharian kita,
sebagai berikut ini:

1. Antipati adalah emosi yang cenderung sulit memahami perasaan diri dan orang lain. Sangat
menonjol
jenis emosi ini pada tipologi kuasa.
2. Simpati adalah emosi yang cenderung ‘menggebu-gebu’ dalam memahami perasaan diri dan orang
lain. Sangat menonjol jenis emosi ini pada tipologi gaul.
3. Empati adalah emosi cenderung mudah memahami perasaan diri dan orang lain. Sangat menonjol
jenis emosi ini pada tipologi harmoni.
4. Antipati adalah emosi cenderung ada jarak dalam memahami perasaan diri dan orang lain.
Sehingga
saat jauh dia Sangat menonjol jenis emosi ini pada tipologi pemikir.
Dengan memahami jenis emosi Anda yang paling kuat dan paling lemah maka Anda akan lebih
dimudahkan dalam mengelola emosionalitas diri dalam keseharian profesi dan pelayanan masing-
masing. Sekarang Anda sudah mengetahui bahwa terdapat 5 lapis diri manusia, dapatkah Anda
sebutkan dengan menuliskan : Lapis 1 ______________ ; Lapis 2 _____________ ; Lapis 3
_____________ ; Lapis 4 ______________ dan Lapis 5 ________________ . Wow mantaap! Dari
kelima lapis itu, lapis mana yang paling krusial atau kritikal untuk dipahami dan di dalami jenis dan
kekuatannya? Ya Lapis 2, Lapis Emosi! Lapis emosi ini menjadi kritikal karena emosi yang “mengalir
dan meluap” akan sangat mempengaruhi lapis diri lainnya di dalam keseharian. Seseorang yang
mampu mematangkan dan mengelola kualitas emosinya, dia akan mampu berinteraksi dan bersinergi
dengan siapapun dengan lebih efektif.

Sebelum kita membahas lebih jauh tentang karakter dan 8 Karakter Manusia Tuna -
Salmon yang perlu kita miliki dan tumbuhkembangkan, maka berikut Penulis akan menjelaskan suatu
skema dan tingkatan internalisasi dan kristalisasi tingkah laku manusia dalam diri dan organisasi,
sebagai berikut:

Apapun yang kita lihat, rasa, dengar, baui atau sentuh akan menjadi stimulus yang kita persepsi, saat
kita memberikan makna. Hal-hal yang kita persepsi akan mungkin menjadi menetap, hal itulah yang
kita sebut sebagai paradigma atau mindset, bagaimana kita melihat dunia dengan “cara” melihat kita.
Paradigma kalua menjadi pilihan kita akan disebut sebagai sikap. Sikap yang menjadi kecenderungan
kita, akan menjadi pilihan tingkah laku kita. Tingkah laku yang diulang-ulang dan relative meetap
akan menjadi habit atau karakter yang menjadi ciri keunikan kita dalam berperilaku. Habit atau
karakter orang-orang dalam suatu organisasi akan menjadi budaya atau kultur yang membedakan
suatu organisasi dari olainnya.

Sekarang saatnyalah kita memahami apa itu karakter atau mentalitas, apakah Anda bisa
menguraikan pendapat Anda? Silakan tuliskan berikut ini : Karakter adalah
__________________________________________________________________________________
__________________________________________________________________________________
__________________________________________________________________________________
__________________________________________________________________________________
Untuk lebih mudah memahami karakter, maka kita perlu memahami juga apa itu kepribadian, kenapa?
Karena pemaknaan untuk kedua hal ini sering kabur atau kurang pas. Berikut bagan yang bisa
menjelaskan keduanya dari pengamatan Covey:

Covey berpendapat bahwa kehidupan hingga abad 17 hingga awal abad 20 manusia lebih bersendikan
pada Etika Karakter atau watak, sehingga prinsip-prinsip: kejujuran, ketulusan, keberanian, integritas,
kejujuran, rendah hati, hemat dan rajin menjadi diksi atau pilihan kata yang banyak digunakan di
dalam kehidupan. Tetapi usai Perang Dunia I, saat mulai terjadi proses revolusi dalam industry
manufaktur, maka hingga saat ini, Ketika dunia telah tiba di Industri 4.0, sendi kehidupan mulai lebih
disandarkan kepada Etika Kepribadian, sehingga sangat akrab kehidupan kita dengan prinsip-prinsip:
penampilan, gaya hidup, public relation, tampang, kiat, kekayaan, dan lebih banyak lagi pilihan diksi
yang lebih mengutamakan “topeng” atau “kesementaraan” yang lebih bersifat instan di dalam
kehidupan. Dan memang dari latar belakang seperti itulah kata “Kepribadian” dimaknakan, yang
berasal dari kata “persona”, kata persona merujuk pada topeng yang biasa digunakan para pemain
sandiwara di Zaman Romawi. Secara sederhana, kepribadian menunjuk pada bagaimana individu
tampil seunik mungkin sehingga menimbulkan kesan diinginkan bagi individu-individu lainnya.
Untuk itu seseorang mulai belajar dan terlatih menggunakan berbagai topeng kehidupan untuk
menutupi “raut wajah” aslinya.

Di sisi lain, pemaknaan karakter lebih memiliki hubungan dengan sifat-sifat yang relatif tetap
dan mendalam, dari titik tolak etis ataupun moral seseorang, contohnya : kejujuran atau kebaikan.
Kata “Karakter” berasal dari bahasa Yunani, “charasseim” yang berarti “to mark”, mengukir, atau
mencetak, atau menandai dan memfokuskan, bagaimana nilai-nilai kebaikan dalam bentuk tindakan
atau tingkah laku. Tersirat makana ukiran yang berbekas atau melekat kuat di atas suatu benda yang
diukir, yang tidak mudah hilang. Menghilangkan ukiran sama dengan menghilangkan benda yang
diukir. Supaya lebih mudah membedakan kepribadian dari karakter, bayangkan Anda tengah bermain
pasir-pasiran di sebuah pantai yang sangat indah dengan ponakan, gundukan pasirnya telah kalian
bentuk menjadi rumah-rumahan yang indah, eeh tanpa dinyana tiba-tiba saja dating debur ombak
yang cukup tinggi menerpa pantai, lalu rumah-rumahan pasirnya luluh diterpa ombak. Itulah
kepribadian, mudah luluh dan berubah, seperti wanita cantik yang make-upnya diterpa guyuran hujan
deras. Lalu bayangkanlah Anda bersama ponakan tengah membuat rumah-rumahan di pantai, dengan
mengukir karang, saat ombak berkali-kali mendera rumah-rumahan dari karang, apakah luluh dan
berubah? Tentunya tidak. Dibutuhkan berpuluh-puluh tahun untuk akhirnya rumah-rumahan dari
karang itu akan berubah. Itulah karakter, lebih teguh, kukuh, kokoh, kuat dan mendalam. Karakter
lebih berpondasikan atau didasari kebenaran atau prinsip yang mendalam. Sehingga seseorang dapat
disebut berkarakter apabila perilaku yang ditampilkan dalam keseharian sesuai dengan kaidah etika
atau moral atau prinsip-prinsip yang dianut.
Pejamkanlah mata Anda sejenak saat Anda duduk dengan sangat rileks saat ini, tariklah nafas
panjanga beberapa kali dengan menghembuskannya perlahan-lahan. Lalu bayangkan situasi berikut
ini, Anda baru saja melangkah perlahan dari depan pintu rumah ke arah sebuah empang atau kolam di
sekitar rumah Anda, empang yang dipenuhi ribuan lele. Kedua kakimu saat ini tengah menginjak
lumpur yang sangat lembab. Lalu Anda mulai merasa ada hawa yang kurang sedap di seputaran
empang. Sekarang tolong sebutkan sebanyak mungkin kesan atau sifat yang Anda tangkap di alam
imajinasi Anda tentang ribuan lele dalam empang. Yah, sebutkan dan terus bayangkan! Apakah Anda
bisa membayangkan kira-kira jawaban apa saja yang paling sering muncul dari ratusan ribu peserta
pelatihan atau seminar yang pernah penulis tanyakan hal yang sama? Ya, mereka menyebutkan :
baunya tidak sedap, lele yang bergerak serabutan tanpa arah, egois, perilaku seenaknya tanpa
tanggung jawab, tidak ada kerja sama, kotor dan jorok.

Lele analogi ketidakteraturan, keamburadulan, dan keserakahan

Dolok Sanggul adalah sebuah kota kecil di Humbahas, puluhan kilometer dari Danau Toba,
tempat kelahiranku sebagai anak yang dilahirkan di kaki pebukitan, saat itu belum ada listrik dan
transportasi utama adalah kuda. Saat berusia sekitar sepuluh tahun aku punya impian untuk bisa suatu
saat nanti melanjutkan sekolah ke kota Bandung yang dipenuhi keindahan Bumi Parahyangan. Maka
saat visi masa kecil itu terwujud maka visi saya berikutnya adalah pernah menginjakkan kaki di luar
negeri, visi yang baru bisa terwujud saat saya, belum lama berselang, diterima bekerja di salah satu
perusahaan alat-alat berat terkemuka, United Tractors, Astra Heavy Industry. Saat mendapatkan
informasi akan dikirim beberapa bulan ke luar negeri, merupakan anugerah Tuhan yang sangat luar
biasa dan harus disyukuri, perwujudnyataan sebuh visi masa kecil dan saat kuliah. Salah seorang
BOD perusahaan menginformasikan bahwa Penulis akan mensupervisi sekitar 70 orang karyawan
yang tengah magang di beberapa pabrik di Jepang, saya harus berperan sebagai Kakaricho, atau
Supervisor. Pengalaman yang akan sangat menantang, membanggakan, sekaligus kesempatan
mempelajari budaya kerja, manajemen kualitas, manajemen sumber daya manusia, dan terutama
karakter Tangguh yang dimiliki para pekerja Jepang yang membuat Jepang menjadi salah satu negara
terkemuka di dunia. Pengalaman yang akan sangat mengasikkan bagi saya saat diinformasikan Sang
BOD.

Kenapa Penulis tertarik mempelajari karakter dan budaya Jepang? Bukan semata karena saya
seorang Psikolog yang memang fokus mendalami perilaku manusia, tetapi bagi Penulis mempelajari
karakter Manusia Jepang sebagai salah satu bangsa yang memiliki mentalitas unggul di tahun 1990-
an, akan menjadi suatu pengalaman pembelajaran yang sangat menantang.

Sekitar awal September 1991 Penulis menginjakkan kaki pertama kali ke luar negeri, di
sebuah pabrik otomotif terkemuka di Jepang untuk mensupervisi karyawan yang tengah dimagangkan
di Jepang. “Kekagetan Budaya” terjadi kepada diri Penulis dalam beberapa hari pertama di sana.
Yang sangat mengesankan adalah saat salah seorang atasan Penulis di Jepang banyak menceritakan
pengalamannya sebagai orang Jepang yang pernah bertugas di beberapa negara, termasuk Indonesia.
Penulis kaget bukan main ketika dia mengemukakan pengandaian yang kurang lebih pas untuk
menggambarkan sifat, etos, karakter, habit, mental atau apapun istilah psikologi untuk
menggambarkan kedirian manusia yakni “Manusia Indonesia” dengan “Manusia Jepang” dengan
membandingkan kualitas hidup ikan lele dengan kualitas hidup ikan tuna.

Dia mengemukakan bahwa kedua ikan itu hidup di Indonesia. Lele hidup di kolam atau
empang yang serba jorok dan berlumpur. Dia tidak bisa membayangkan lele bisa hidup
bertumbuhkembang di air yang jernih dan mengalir kencang. Menurut dia, karakter yang banyak dia
dapati dulu di Indonesia mulai dari karakter berlalu lintas, mentalitas berpolitik, karakter
berorganisasi dan bahkan karakter bekerja adalah karakter lele! Dia meminta supaya saya tidak
tersinggung karena itulah realita yang dia dapatkan selama beberapa lama di negeri gemah ripoh loh
jinawi. Tragis memang, tetapi membandingkan disiplin, kerjasama, kesopanan, kualitas, komitmen,
tanggung jawab, cara berpakaian dan bekerja diantara karyawan magang dari Indonesia dan karyawan
Jepang sangat menggambarkan kedua mentalitas itu. Karakter lele versus karakter tuna.

Budayawan Mochtar Lubis, bahkan pernah memberikan deskripsi karakter bangsa Indonesia
yang cenderung negatif. Dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, 6 April 1977, Mochtar Lubis
mendeskripsikan ciri-ciri umum manusia Indonesia sebagai berikut:

1. Hipokritis alias Munafik. Berpura-pura, lain di muka, lain di belakang, merupakan sebuah ciri
utama manusia Indonesia sudah sejak lama, sejak mereka dipaksa oleh kekuatankekuatan dari luar
untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya atau dipikirkannya atau pun yang
sebenarnya dikehendakinya, karena takut akan mendapat ganjaran yang membawa bencana bagi
dirinya.
2. Segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakukannya,
pikirannya, dan sebagainya. “Bukan saya” adalah kalimat yang cukup populer pula di mulut
manusia Indonesia.
3. Berjiwa feodal. Meskipun salah satu tujuan revolusi kemerdekaan Indonesia ialah juga untuk
membebaskan manusia Indonesia dari feodalisme, tetapi feodalisme dalam bentuk-bentuk baru
makin berkembang dalam diri dan masyarakat manusia Indonesia.
4. Sangat percaya takhayul. Dulu, dan sekarang juga, masih ada yang demikian, manusia Indonesia
percaya bahwa batu, gunung, pantai, sungai, danau, karang, pohon, patung, bangunan, keris, pisau,
pedang, itu punya kekuatan gaib, keramat, dan manusia harus mengatur hubungan khusus dengan
ini semua.
5. Punya watak yang lemah. Karakter kurang kuat. Manusia Indonesia kurang kuat mempertahankan
atau memperjuangkan keyakinannya. Dia mudah, apalagi jika dipaksa, dan demi untuk “survive”
bersedia mengubah keyakinannya.
6. Cenderung boros. Dia senang berpakaian bagus, memakai perhiasan, berpesta pesta. Hari ini ciri
manusia Indonesia ini menjelma dalam membangun rumah mewah, mobil mewah, pesta besar,
hanya memakai barang buatan luar negeri, main golf, singkatnya segala apa yang serba mahal.
Lebih suka tidak bekerja keras, kecuali kalau terpaksa…
7. Suka KKN. Kolusi, korupsi dan nepotisme di segala sektor dan segmen kehidupan telah menjadi
penyakit sosial yang sangat membahayakan keberlangsungan hidup Indonesia.

Wow! Sangat setali tiga uang atau 11 12 dengan penggambaran karakter lele oleh pimpinan
saya di Jepang beberapa puluh tahun yang lalu. Yang menjadi pertanyaan sekaligus perenungan bagi
kita semua adalah apakah sudah separah itu karakter para pemimpin dan rakyat negeri ini, atau sudah
banyak berubah di tahun 2021 ini? Pada berpuluh seri pelatihan baik off line atau tatap muka maupun
on line, ternyata jawaban hasil diskusi atau workshop para peserta cenderung menggambarkan masih
baru masih banyak ciri-ciri lele mewarnai karakter atau perilaku orang Indonesia di tahun 2021 ini.
Berubah atau mati!
Di suatu sore di Konosu Plant di Jepang, salah seorang Atasanku bercerita banyak tentang
samurai dan ikan tuna sebagai dua sosok yang menjadi sumber inspirasi bagi mereka untuk lebih
meningkatkan n-ach, need for achievement, gelora keinginan untuk mewujudnyatakan tujuan,
menumbuhkembangkan kompetensi, kendali, atau pencapaian standar proses atau kinerja yang lebih
tinggi. Selalu terbayang rangkaian kata-kata yang dia lontarkan untuk menggambarkan n-ach Bangsa
Jepang dengan Bangsa Indonesia, karena dia pernah bertugas selama dua tahun di Indonesia, saya
tidak bisa mendebat pendapatnya, “Marihot , beruntung sekali menjadi orang OIndonesia yang
diberikan Tuhan alam yang sangat indah dan subur, berbeda dengan alam di Jepang yang tidak
sesubur Indonesia dan dipenuhi banyak ragam bencana, sehingga orang Jepang harus berjuang keras
untuk bisa bertahan hidup, apalagi saat takluk dalam Perang Duni II bangsa kami harus memulihkan
diri dan bangkit dengan segala kekuatan yang kami miliki untuk bisa bertahan hidup dan bangkit
dengan prinsip ‘gambatte kudasai!” Sesudah Prinsip Samurai maka bangsa Jepang banyak belajar dari
daya juang ikan favorit mereka, ikan tuna. Ikan tuna adalah ikan yang banyak hidup di laut dalam,
mengalir dan jernih di lautan Pasifik hingga di lautan seputar Indonesia Timur. Yang menarik,
ternyata menurut atasanku di Jepang ini, ikan tuna adalah ikan yang tidak bisa diam, dia akan selalu
bergerak dan bergerak dalam kumpulan yang jumlahnya bisa berkoloni hingga jutaan ikan sekaligus,
bergerak dengan dipimpin oleh tuna-tuna besar yang tangguh dan menentukan arah perjalanan koloni
mereka dengan riang dan sangat dinamis. Dengan jujur saya harus mengakui dari beberapa kali
perjalanan ke Jepang, memang orang Jepang adalah orang-orang yang sangat tangguh, memiliki n-
ach yang sangat tinggi, bangsa yang dari dulu dianalogikan dengan samurai juga sangat layak
dianalogikan dengan kualitas hidup atau berkarakter tuna.

Tuna analogi keteraturan, disiplin, keselarasan visi dan sinergi

Taisen Deshimaru, dalam bukunya The Samurai Principles, mengemukakan bahwa selaras
dengan analogi ikan tuna tadi, manusia Jepang sejatinya memiliki 7 Karakter, yaitu : bersikap benar
dan bertanggungjawab, berani dan kesatria, murah hati dan mencintai, bersikap santun dan
hormat, bersikap tulus dan sungguh-sungguh, menjaga martabat dan kehormatan, serta
mengabdi dan loyal. Karakter atau mentalitas yang sangat kontras dengan karakter “Manusia
Indonesia”. Bah!

Dalam sebuah perjalanan ke sebuah pabrik di luar kota Koln, selepas beberapa hari mengikuti
pameran teknologi permesinan di Koln sekitar tahun 2001, saya membandingkan kualitas teknologi,
produktivitas dan karakter para engineer dan operator di Jerman dengan pabrik kami di Kalimantan
Timur yang sangat kontras, yang akhirnya membawa saya pada cerita Sang Baron milenial yang
menceritakan perihal ikan yang sangat dia sukai, sekaligus menjadi model perilaku atau karakter yang
mereka dalami, ikan salmon. Saya mendengarkan ceritanya yang begitu rinci dengan penuh semangat
perihal ikan salmon yang akan menempuh perjalanan berbahaya dari tengah laut menuju hulu sungai,
hanya untuk bertelur meneruskan generasi berikutnya. Saat dia berhasil tiba di hulu sungai dan
bertelur, maka dia akan mati dengan sangat terhormat, berkorban demi kelangsungan hidup
spesiesnya. Sangat mengesankan, sekaligus mengandung banyak pencerahan.

TRANSFORMASI ORGANISASI, ORANG DAN KARAKTER

Dalam perjalanan waktu, selama puluhan tahun terlibat dalam program transformasi bisnis di
salah satu grup perusahaan terbesar di Indonesia dan memfasilitasi ratusan proyek transformasi bisnis
di perusahaan besar hingga kecil di Indonesia dengan memutar Change Management Program
(CMP). Melalui CMP ini diintegrasikan dan difasilitasi serangkaian proyek terkait dengan
penyusunan strategi, proses, pendayagunaan teknologi teknologi informasi, hingga mempersiapkan
orang-orang dan organisasi menjalani program perubahan melalui serangkaian seri pelatihan,
bimbingan hingga program konsultasi kepada para pemilik, manajemen puncak sampai kepada para
ujung tombak di lapangan. Dari perjalanan memfasilitasi transformasi bisnis di banyak perusahaan,
akhirnya Penulis tiba pada salah satu model transformasi orang dan organisasi, yang saya sebut
“Model Transformasi atau Revolusi Orang dan Organisasi.” Model transformasi bisnis ini
mengenalkan 5 tahapan tingkatan transformasi orang dan organisasi, yakni : Era Lele – Era Patin –
Era Bawal – Era Tuna – Era Salmon. Kelima tahapan transformasi orang dan Organisasi ini dapat
digambarkan karakter inti masing-masing fase dengan satu kata yang sangat mudah dipahami dan
dihapal : bulus – fulus – mulus – lulus – tulus.

Sangat menarik mempelajari transformasi perilaku orang dan Organisasi dengan analogi ikan
sebagai mana telah Penulis gambarkan di atas, karakter dengan indikator perilaku yang nyata Penulis
hadapi saat memutar CMP di perusahaan berbagai jenis industri. Gambaran singkatnya dapat penulis
uraikan sebagai berikut:
1. Bulus : Egois dan Serakah. Dapat digambarkan dengan perilaku berikut ini:
- Hanya memikirkan diri sendiri dan tidak perduli dengan diri orang lain.
- Tinggi Diri (TD) atau Rendah Diri (TD) sehingga kurang berani atau percaya diri dalam bersikap.
- Berpikir jangka pendek dan sangat serakah atau antipati dengan orang lain.
2. Fulus : Transaksional dan Materialistik. Dapat digambarkan dengan perilaku berikut ini:
- Mulai memikirkan kepentingan orang lain tetapi lebih didasari “apa yang saya bisa dapat” atau
sangat transaksional.
- Terlalu memandang dari apa yang kelihatan atau bisa diraih.
- Terlalu bersifat kebendaan atau materialistik.
3. Mulus : Ada maunya dan Pencitraan. Dapat digambarkan dengan perilaku berikut ini:
- Memikirkan dua sisi kepentingan tetapi masih lebih ke kepentingan atau “agenda pribadi”
Sendiri.
- Pintar merayu atau meyakinkan pihak lain dengan janji-janji “angin sorga.”
- Pintar mengemas citra diri sendiri dengan “ada udang di balik batu.”
4. Lulus : Profesional dan Kompeten. Dapat digambarkan dengan perilaku berikut ini:
- Sudah memikirkan kepentingan semua pihak dalam sebuah hubungan.
- Melihat bisnis dalam kerangka berjangka panjang atau win-win.
- Sosok yang profesional, kompeten dan bekerja dengan prinsip-prinsip integritas dan obyektifitas.
5. Tulus : Kemitraan dan Mau berkorban. Dapat digambarkan dengan perilaku berikut ini:
- Sangat memikirkan kepentingan pihak lain sebagai mitra.
- Percaya diri dan sangat empatik dalam berkomunikasi atau hubungan bisnis.
- Mau berkorban demi hubungan yang lebih berjangka panjang dengan prinsip yang sangat win-
win.

Saat melakukan seri pelatihan dan transformasi organisasi Penulis dihadapkan pada
kebutuhan praktis dan sederhana untuk menggambarkan indikator-indikator yang harus diwujudkan
untuk mencapai tahapan tertinggi transformasi tersebut, akhirnya Penulis mengintegrasikannya pada
gambar berikut ini:
Bagan ini sangat membantu untuk menggambarkan pencapaian suatu program transformasi
orang dan Organisasi, serta upaya lanjuta yang harus dilakukan agar mencapai tingkatan
pertumbuhkembangan yang lebih tinggi, dan lebih tinggi lagi seiring semangat di Jepang yang sangat
terkenal : Kaizen! Berubah menuju tingkatan yang lebih baik atau mulia.

8 KARAKTER MANUSIA TUNA - SALMON

Dari perjalanan berpuluh tahun, menelusuri hal-hal apa saja yang menjadi karakter dasar
keunggulan atau keberhasilan berjangka panjang di dalam diri manusia, dan harus dia miliki dan
hidupi dalam keseharian, akhirnya Penulis berhasil merangkum “8 Karakter Manusia Tuna –
Salmon”, yang perlu kita miliki dan tumbuhkembangkan. Kedelapan karakter ini telah dikenalkan dan
internalisasikan di ratusan perusahaan yang kini unggul di Indonesia , sehingga menjadi berhasil
menjadi pemimpin pasar di industrinya. Penasaran ingin mengetahui? Berikut rinciannya:
Dari serangkaian pelatihan dan workshop Penulis akhirnya berhasil mendapatkan masukan
dari ribuan peserta untuk mendefinisikan “8 Karakter Manusia Tuna – Salmon” dengan rincian
sebagai berikut:

1. Proaktif (Percaya Diri & Tanggung Jawab):


Definisi : Bertanggung jawab untuk tugas, pekerjaan, atau permasalahan yang dihadapi serta
berusaha menyelesaikannya dengan tuntas untuk menepati janji atau komitmen yang
telah
dibuat.
Dapat digambarkan dengan perilaku berikut ini:
- Menyelesaikan semua pekerjaan tepat waktu, bahkan saat terjadi perubahan prioritas yang
seringkali mengganggu kegiatan.
- Menunjukkan tanggung awab yang tinggi atas permasalahan yang dihadapi.
- Sangat solution oriented, selalu memimpin pengembangan ide-ide baru yang inovatif dan
menantang

2. Peduli (Empatik, Santun & Komunikatif):


Definisi : Kepekaan perasaan untuk mau memahami dan ikut merasakan permasalahan orang lain,
baik yang memiliki latar belakang ekonomi, budaya, agama, atau generasi yang berbeda
maupun sama, dengan etika atau sopan-santun dalam berkomunikasi untuk membantu
atau
melayani dengan hati yang tulus.
Dapat digambarkan dengan perilaku berikut ini:
- Sangat mampu dan mau memahami perasaan dan permasalahan orang lain.
- Aktif membuat kontak efektif dengan berbagai kalangan, bahkan memprakarsai stabilitas
lingkungan. Jaringan sosial yang terbentuk sangat luas dan mendalam.
- Sangat senang melayani dan membantu orang lain, tanpa melihat latar belakang ekonomi,
budaya,
agama, atau generasi yang berbeda atau sama dengan dirinya.

3. Kerjasama (Sinergi):
Definisi : Kesediaan untuk bekerja dengan orang lain dalam situasi kelompok. Hal ini termasuk
bekerja untuk penyelesaian tugas kolektif, berperan dalam pengambilan keputusan
kelompok, bekerjasama dengan orang lain dan menawarkan bantuan bila dibutuhkan.
Dapat digambarkan dengan perilaku berikut ini:
- Menciptakan dan mempengaruhi tim atau antar tim untuk menghasilkan sinergi solid dan
kuat.
- Melibatkan orang lain dalam usaha yang sangat intensif untuk membentuk tim yang solid
dan unggul.
- Mampu menyelesaikan perbedaan atau konflik. Tidak berusaha menyembunyikan dan
menghindar dari konflik, tetapi justru memperlancar situasinya agar konflik dapat selesai
dengan tuntas.

4. Tangguh (Persisten):
Definisi : Semangat belajar atau bekerja pantang menyerah walaupun harus jatuh-bangun dalam
menyelesaikan suatu tugas atau tanggung jawab pekerjaan yang lebih tinggi, serta selalu
ingin berbuat lebih hingga mampu mencapai atau melebihi suatu target yang
dicanangkan.
Dapat digambarkan dengan perilaku berikut ini:
- Mengerjakan perkerjaan melebihi dari yang ditugaskan atau diperintahkan, untuk pencapaian
prestasi yang lebih tinggi. Sangat dapat diandalkan di bidang kerjanya atau bidang yang lain yang
baru baginya.
- Memulai dan melaksanakan tugas-tugas atau proyek baru dengan kinerja yang sangat baik dan
memuaskan.
- Menunjukkan usaha yang luar biasa dan maksimal dalam memberikan yang terbaik dalam
bekerja.

5. Disiplin (Taat, Integritas dan Jujur):


Definisi : Menunjukkan bahwa seseorang dipandang sebagai sosok yang taat akan aturan, norma,
etika atau ketentuan yang berlaku, serta bersikap jujur, dapat dipercaya dan diandalkan
untuk setiap tugas atau pekerjaan.
Dapat digambarkan dengan perilaku berikut ini:
- Menjadi inspirasi untuk membangun budaya taat pada aturan, disiplin dan tanggung jawab tugas,
pekerjaan atau misi yang diberikan.
- Berani tegas mengambil tindakan atas perilaku orang lain yang tidak etis, meskipun ada risiko
yang
signifikan untuk diri sendiri dan pekerjaan.
- Berani mengambil risiko, piawai menganalisis permasalahan, mencari akar masalah, menyusun
alternatif solusi dan mengambil keputusan yang sangat tepat dan stratejik.

6. Pembelajar (Progresif, Adaptif atas Perubahan):


Definisi : Kemauan untuk selalu belajar lebih memahami dinamika perubahan terkini yang terjadi
di
dalam bidang yang ditekuni, teknologi yang digunakan, serta mempersiapkan diri untuk
menghadapi perubahan dengan siap dan sigap.
Dapat digambarkan dengan perilaku berikut ini:
- Menjadi inspirasi dan panutan bagi orang-orang lain untuk budaya pembelajar dalam melengkapi
wawasan dan kompetensi diri.
- Mengidentifikasi kompetensi masa depan dan keahlian yang dia butuhkan untuk
mengembangkan
dan mengejar rencana pembelajaran yang sesuai dengan arah karir dan bisnis ke depannya.
- Memiliki antusiasme yang tinggi sebagai pembelajar dan agen perubahan untuk transformasi diri,
karir, dan bisnis ke depannya.

7. Dinamis (Visi Jelas, Kreatif & Inovatif):


Definisi : Menentukan tujuan atau visi diri yang berkaitan dengan pendidikan, pekerjaan atau karir
ke depannya, dan berusaha meraihnya dengan segala Langkah yang kreatif dan inovatif,
serta bersedia menerima tanggung jawab tambahan dan menyelesaikannya untuk
memastikan tujuan atau visi diri tersebut tercapai.
Dapat digambarkan dengan perilaku berikut ini:
- Memiliki visi yang sangat jelas dan tajam , dipaparkan secara tertulis, berpikir dengan strategi
dan
rencana tindakan yang sangat meyakinkan dan konsisten dalam menjalankannya.
- Penuh inisiatif serta mampu melahirkan gagasan-gagasan orisinal yang wajar.
- Sudah menjadi inspirasi sebagai Pemimpin yang kreatif dan inovatif dalam menjalani
transformasi
diri dan Organisasi, serta memberikan semangat kepada orang-orang lain untuk selalu berpikiran
maju dan transformasional.

8. Kemandirian (Kewirausahaan, Orientasi Berprestasi):


Definisi : Keberanian untuk menantang diri, mencari dan menangkap peluang-peluang perbaikan,
menanggung segala risiko jatuh bangun atas upaya yang telah dilakukan untuk
menghasilkan terobosan-terobosan yang lebih baik dengan selalu belajar atas kesalahan
atau kegagalan untuk hasil atau kinerja terbaik.
Dapat digambarkan dengan perilaku berikut ini:
- Berani menginisiasi dan mempersiapkan usaha atau bisnis yang prospektif sebagai pemula.
- Memiliki semangat yang pantang menyerah atas usaha atau bisnis yang telah dirintis, dengan
selalu
berupaya menghasilkan yang lebih baik.
- Mampu melaibatkan orang-orang lain atau jaringan yang saling melengkapi sebagai upaya
mensinergikan penumbuhkembangan usaha atau bisnis yang telah dirintis.

PROGRAM TRANSFORMASI DIRI

Mendekati akhir dari tulisan sederhana ini, Penulis ingin menghidupkan semangat kaizen
dalam diri Anda dengan menuliskan Program Transformasi Diri 2 Tahun Kedepan dalam bagan
berikut ini :

- Nilailah diri sendiri dengan jujur dengan menggunakan indikator perilaku pada kelima tahapan di
atas
untuk kerangka waktu saat ini: lele – patin – bawal? Lalu tuliskanlah 7 Indikator Perilaku Anda di
tahun ini.
- Dengan cara yang sama nilailah diri sendiri dengan jujur dengan menggunakan indikator perilaku
pada
kelima tahapan di atas untuk kerangka waktu 2 (dua) tahun ke depan : bawal – tuna – salmon? Lalu
tuliskanlah 7 Indikator Perilaku yang ingin Anda wujudkan hingga 2 tahun ke depan.
- Tuliskanlah 5 (lima) Langkah Utama atau Stratejik yang akan Anda lakukan dua tahun ke depan.
- Tuliskanlah secara lebih rinci 5 Aktivitas yang Anda turunkan dari 5 Langkah Utama yang Anda
pilih.
Dalam hal ini, Anda harus menuliskan Hasil yang Diinginkan dan Batas Waktu untuk kelima
Aktivitas
Utama yang Anda telah tentukan. Jangan lupa mereview pencapaian Anda setiap 3 (tiga) bulan untuk
memantau perubahan yang telah Anda peroleh dari perjalanan transformasi diri yang telah Anda
tekadkan.
Maka sebagai penutup, Penulis ingin meminta Anda lagi memejamkan mata sejenak dan
membayangkan Anda telah selama 2 tahun melakukan transformasi diri seperti yang yang pernah
Anda tuliskan. Dapatkan Anda menyebutkan sekarang karakter mana yang paling tepat
menggambarkan diri Anda 2 tahun ke depan ini? Ya, saat Penulis mengajukan pertanyaan yang sama
kepada ratusan ribu orang yang Penulis fasilitasi, kebanyakan dari mereka menjawab dengan tegas,
“Tuna!” tetapi sekitar 10% menjawab “Salmon!” Selamat Bertransformasi! Salam Salmon!

Catatan Kaki :

(*). Penulis : S. Marihot Hutahayan (ir., drs.psi, psikolog, m. psi), chief service officer WinMark 2020
Consulting.

Anda mungkin juga menyukai