Anda di halaman 1dari 4

Script The Anthropocene Reviewed

Judul : Dua Sisi Kehidupan Manusia : Si Biang Kerok yang Juga Pencipta Peradaban

OPENING

Apa sih yang kamu pikirkan pertama kali begitu dengar kata ‘manusia’? Penemuannya
yang luar biasa? Pemberontak dan pembuat onar? Kelakuannya yang bikin geleng-
geleng kepala? Atau justru sosok yang lemah lembut dan penuh kasih? Rasanya itu
semua sangat mewakili hidup kita ya. Aku jadi keinget deh sama filosofi ‘Hidup Ibarat
Dua Sisi Mata Uang’ dimana kita bisa menjadi orang yang super duper baik, tapi di sisi
lain kita bisa sangat kejam, kitalah yang menciptakan peradaban, kita jugalah yang
merusaknya.

Lewat buku The Anthropocene Reviewed, penulis bercerita tentang kisah hidup juga
hasil penelitian tipis-tipis di lingkungan sekitarnya. Kalo kamu pengen tau lebih dalem
tentang kehidupan manusia, buku ini pas banget buat kamu. Lewat buku ini juga, kamu
akan diajak berkelana mulai dari periode awal hingga masa kini untuk menguak ‘sisi lain’
yang gak kamu sadari selama ini.

INTRO

Tapi sebelum kita lanjut, seperti biasa aku mau halo-halo dulu buat kamu yang baru
bergabung. Aku patty, sekarang kamu lagi nontonin segmen main mata. Di sini aku
suka merekomendasikan buku2 fiksi dan nonfiksi, jadi kalo suka baca buku jangan
lupa subscribe channel ini dan follow juga di Instagram @podluckpodcast.

ISI 1

Buku The Anthropocene Reviewed ditulis oleh John Green, penulis yang sebelumnya
tenar lewat novel bergenre young adult seperti ‘Paper Towns’, ‘Looking for Alaska’
dan ‘The Fault in Our Stars’. Selain sebagai penulis, beliau juga menjadi vlogger di
bidang edukasi bersama adiknya lewat channel @vlogbrothers dan @crashcourse.
Di channel itu, John Green banyak memberikan edukasi seputar kejadian sehari-hari,
tips belajar sampai gimana cara memilih perguruan tinggi yang tepat. Berkat ‘The
Fault in Our Stars’ yang viral dimana-mana, John berhasil memenangkan
penghargaan Children’s Choice Book Awards di tahun 2013.

Kali ini John Green mencoba keluar dari comfort zone dengan merilis buku nonfiksi
pertamanya yang mampu memberikan perspektif baru kepada pembacanya. Yang
gak disangka-sangka nih, The Anthropocene Reviewed ini menjadi pemenang karya
nonfiksi terbaik versi Goodreads lho. Wow!
ISI 2

Oya, sebelum lanjut bahas isi bukunya, aku mau ngasih trigger warning dulu nih buat
kamu yang lagi nonton, karena buku ini membahas ‘sisi lain’ dari hidup manusia,
banyak hal-hal nyata yang bisa dibilang agak nyeleneh dan bisa bikin sedikit
terguncang. Jadi sebisa mungkin siapkan mental dan batin yang kuat ya. Oke, seperti
yang udah aku bahas tadi, di buku ini John Green banyak bercerita tentang kisah
hidupnya bersama keluarga kecilnya, teman semasa sekolah, rekan kerja bahkan
tetangganya (bukan tetangga masa gitu ya). Kalau biasanya kisah hidup diceritakan
secara blak-blakan kayak curhat, di buku ini berbeda. Ya memang sih kamu gak akan
ketemu sama kata-kata kasar, soalnya John menceritakan kisahnya dengan bahasa
yang cukup smooth mirip dengan gaya bahasanya di novel-novel sebelumnya.
Curhatan John dibagi dalam beberapa segmen sesuai pesan yang ia ingin
sampaikan. Kisah Teddy Bear misalnya. Dulu tuh Teddy Bear bukanlah beruang
coklat imut-imut yang auto bikin tangan kita gatel pengen meluk sambil elus-elus, tapi
justru sebaliknya. Beruang itu diiket di tiang, dibiarkan susah bergerak terus diadu
dengan anjing atau banteng dalam sebuah arena pertarungan yang boleh ditonton
sama siapa aja. Mirip kayak Colloseum di masa lalu lah. Lewat kisah Teddy Bear ini,
John Green mau ngasih tau kalau manusia beneran bisa sekejam itu sama binatang
dan ngerinya tindakan ini malah jadi tontonan massal. Masih tentang beruang nih,
lewat celetukan “Papa inget beruang donk!”, John seakan nyindir sikap kita saat ini
pun seolah mengulangi ‘kebrutalan’ masa lalu tapi dalam bentuk ‘silent killer’. Biar
gak bingung, coba inget-inget berapa kali kita lupa matiin lampu kalo udah gak dipake
lagi? Sekali, dua kali, lima kali atau bahkan mungkin udah berapa ratus kali terjadi
selama ini sampai kita gak inget sama sekali. Sadar gak sih, tindakan yang
kelihatannya sepele ini mengancam kehidupan beruang kutub? Kalau terus-terusan
terjadi, kita bisa membuat mereka terancam punah. Kisah pembabatan hutan demi
pembangunan rumah John yang katanya ‘gaya rumah idaman artis Hollywood’ juga
jadi bukti betapa begitu berkuasanya bangsa kita, betapa egoisnya kita sampai
mengabaikan kelangsungan makhluk hidup lain demi gengsi dan kenyamanan. Kalau
mendengar ceritaku barusan, apa kamu setuju kalau manusia itu ‘Si Biang Kerok’
yang hobi membuat kacau lingkungan sekitarnya? John bilang, tidak semua manusia
itu biang kerok kok. Kita masih punya sisi baik dalam diri kita. Sisi yang mendorong
kita jadi pencipta peradaban. Lewat penelitian tipis-tipisnya (oya, disebut penelitian
tipis-tipis karna dilakukan spontan, tanpa melewati prosedur penelitian yang benar),
John bercerita tindakan operasi dulu begitu ditakuti semua orang, nyaris jarang sekali
ada yang selamat. Tapi sekarang, banyak nyawa terselamatkan berkat tindakan
operasi. Semua karena kejeniusan para ilmuwan di Oxford yang membawa kita ke
era peningkatan kualitas hidup. Tanpa hadirnya orang-orang ini, keberadaan manusia
tidak akan bisa langgeng. Mundur ke beberapa abad sebelumnya, lewat tangan-
tangan kreatif manusia purba di gua Lascaux atau gua Leang-Leang di Indonesia,
mereka berhasil menciptakan budaya seni sederhana, peradaban yang terbilang baru
pada masa itu. Kemajuan ilmu astronomi, kata John juga sebagai pengingat bahwa
bangsa manusia semakin menyempurnakan peradabannya sampai ke titik
kemunculan Komet Halley.

ISI 3

Buku ini terdiri dari 44 segmen yang nyeritain berbagai hal dalam kehidupan John
dan sudut pandangnya. Biar lebih gampang mahaminnya, ada 5 poin penting yang
menurutku bisa ngungkapin sisi lain dari kehidupan manusia.

Yang pertama : Maruk koentjinya!

Inget gak, manusia itu diberi mandat sama Tuhan buat mengelola dunia? Tapi kok
ujung-ujungnya malah ngerusak ya? Semua gara-gara satu kata ini nih : M-A-R-U-K.
Saking ngebetnya berkuasa, manusia jadi ngelupain hak-hak asasi makhluk lain.
Yang ada di kepala mereka cuman ego dan ambisi aja. Ini keliatan banget dari kisah
Teddy Bear tadi. ‘Bearbaiting’ jadi ajang pemuasan hasrat manusia semata dan
ngorbanin beruang yang gak salah apa-apa. Kalau dipikir lagi nih ya, apa sih
senengnya ngeliat tarung hewan? Kok mereka bisa merasa terhibur bahkan sampe
sorak-sorak gitu? Aku sih gak tega ya. Apalagi ngeliat hewannya terkapar atau tewas
karna kalah tarung, merinding aku. Tapi ya begiitulah manusia.

Yang kedua : Keroyokan online

Sejak adanya internet, manusia seakan punya medium baru untuk menyalurkan
bakatnya membuat keonaran. Gibah dan bullying online menjadi hal biasa, bahkan
sampai ada forum khususnya. Parahnya, sekarang tuh mereka sengaja ngelakuinnya
secara anonim, biar gak gampang dilacak. Seperti yang John bilang, adanya internet
gak bikin kasus rasisme mereda, tapi terus berlanjut dengan bentuk yang ‘lebih
kekinian’. Jari-jari netijen masa kini juga sama sadisnya dengan kelakuan manusia,
sama-sama demen keroyokan dan mojokin orang!

Yang ketiga : Mindset Out of The Box

Yang dari tadi nonton sambil nahan emosi mbayangin kelakuan manusia yang bikin
kita bilang ‘ckckck’, yuk tarik nafas dulu sebentar. Sebenernya manusia itu juga
punya mindset kreatif dan out of the box juga kok. Mindset ini gak cuma milik alumni
jurusan ilmu komunikasi aja, semua orang juga bisa. Asalkan nih, mindset itu bener-
bener dikelola dengan baik. Kalo dipraktekin, orang yang punya mindset ini pasti bisa
bikin peradaban lebih maju lagi kayak ilmuwan Oxford tadi.
Yang keempat : Berani Beda

Masih berkaitan sama poin ketiga, manusia juga bisa kok jadi sosok pencipta
peradaban yang punya sisi berani beda. Sisi berani beda yang dimiliki manusia itu
bisa bikin kagum, tapi kadang juga bikin ngelus dada. Ya kalo positif gak apa-apa sih,
kan bisa nyiptain sesuatu yang bisa jadi peradaban baru. Kayak lukisan di Gua
Lascaux tadi. Mereka berani melukis gua dengan zat warna mineral, kebiasaan yang
gak umum dilakukan sama kebanyakan manusia purba di zaman itu, yang bahkan
mungkin dianggep ‘ngotor-ngotorin gua’ tapi justru jadi pelopor budaya seni graffiti
pertama di dunia.

Yang kelima : Gak Pernah Ada Kata Puas

Coba kamu bayangin dirimu sebagai John Green, dia udah jadi novelis terkenal aja
masih gak puas dan nyobain tantangan baru nulis buku ini, ya biarpun dia bukan
expert di bidang antropologi kayak Yuval Noah Harari ya. Tapi beliau mau mencoba,
gak takut sama sekali. Ya namanya juga manusia kan, gak pernah ada kata puas.
Inilah sisi positif manusia yang bisa bikin dirinya jadi pencipta peradaban. Kalo
manusia cepet puas, peradaban kita bakalan stuck disitu-situ aja, gak berkembang.

Itu tadi lima poin menarik yang bisa aku ambil dari buku The Anthropocene
Reviewed. Di bagian penutupnya, penulis bilang kalo manusia emang punya dua sisi
kehidupan. Yang satu si jahat yang sangat meresahkan, satu lagi sisi baik yang bisa
membawa kebahagiaan dan kesuksesan. Tinggal gimana caranya kita ngatur diri
sendiri, mau jadi biang kerok atau mau jadi pencipta peradaban. Atau kepengen jadi
kaum mendang-mending aja? Boleh aja kok, selama itu positif.

CLOSING
Menurutku sih kamu harus baca sendiri buku The Anthropocene Reviewed ini biar
dapet insight lengkap dari penulis. Kalo kamu tertarik, kamu bisa beli langsung di
Gramedia atau di marketplace seperti Shoppe, Tokopedia atau Blibli.com. Ntar link ke
bukunya aku taruh di deskripsi video ini ya. Oke sekian dulu video kali ini. Terima
kasih sudah menonton. Kalo kamu suka dengan videonya boleh di-like, kalo gak suka
di-dislike juga gapapa. Tapi kalo kamu merasa video ini bermanfaat, share videonya
ke media sosial biar temen2 kamu yang membutuhkan juga bisa menonton. Terakhir
jangan lupa subscribe channel youtube podluck podcast collective, tekan tombol
lonceng notifikasi biar enggak ketinggalan kalo ada video baru, dan follow di
Instagram @podluckpodcast. Sampai jumpa lagi, dadah!

Anda mungkin juga menyukai