Anda di halaman 1dari 276

2

Trio Kampret #1
Kitab Burung Gagak
© Rahadi W. Pandoyo, 2014

Hak cipta dilindungi undang-undang ada pada penulis

Semua kisah dalam buku ini adalah fiksi belaka.


Apabila ada kesamaan nama orang, tempat, dan peristiwa,
maka itu adalah kebetulan semata.

SSaassttrraam
meeddiiaa

korespondensi:
rahadiwidodo@ymail.com
https://www.facebook.com/rahadiwidodo
@R4h4d1W
3

Daftar Isi
Bab 1 Perkenalan 4
Bab 2 Mak Kerot dan Lik Blonthang 10
Bab 3 Bab Sisipan: Lik Blonthang 23
Bab 4 Awal Kisah: Jadi Anak Angkat Mak Kerot 29
Bab 5 Hari Pertama Masuk Sekolah yang Menyenangkan 37
Bab 6 Hidup Tak Lengkap Tanpa Si Bonbon dan Si Dudung 44
Bab 7 Siapa penemu Benua Amerika? Sumpah, Bukan Kami! 50
Bab 8 Ada Masa-masa Menyenangkan yang Disebut Puber 57
Bab 9 Namanya Joyce 63
Bab 10 #MenarikPerhatianJoan jadi Trending Topic 67
Bab 11 Konsultan Cinta Gombal 77
Bab 12 Trio Kampret vs. Kambing Jantan 90
Bab 13 Superhero Buat Joyce 112
Bab 14 Wasiat Mak Kerot 125
Bab 15 Bonsekahitenanggas, Kitab Burung Gagak 133
Bab 16 Kentut Kuda Betina yang Sedang Menstruasi 142
Bab 17 Insukatisam, Ramuan untuk Membuat Seseorang
Jadi Pemujamu 156
Bab 18 Kisah Cinta yang Berakhir Bahagia 165
Bab 19 Lagu Cinta yang Tercemar 179
Bab 20 Ada Apa dengan Bonbon? 202
Bab 21 Kishimargis, Ramuan Pembalik Keadaan 227
Bab 22 Dan Keadaan pun Betul-betul Berbalik 238
Bab 23 Lik Blonthang Menjadi Penyelamat 251
Bab 24 Mamah Pulang, Lik Blonthang Menghilang 263
Bab 25 Penutup 269
4

Bab 1
Perkenalan

N
amaku Oon. Aku adalah siluman kampret.
Kamu tahu kampret? Kampret adalah binatang
malam. Bisa terbang, tapi bukan burung. Ya
betul, sejenis kelelawar, tapi lebih kecil. Makanan
pokoknya serangga. Kata orang pintar, kampret juga punya
nama ilmiah: Microchiroptera. Keren, kan?
Tentang siluman, kamu pasti sudah tahu. Itu tuh,
manusia jadi-jadian. Semula dari sebangsa hewan atau
makhluk halus, lalu berubah wujud menjadi manusia.
Begitulah, dulunya aku adalah kampret, kemudian berubah
menjadi manusia.
Bagaimana aku bisa berubah menjadi manusia?
Jangan dikira itu mudah. Aku bertapa seratus tahun
untuk bisa menjadi manusia. Selama pertapaanku, aku
bergantung di dahan pohon jengkol, dengan kepala di
5

bawah. Saking lamanya aku bertapa, pohon jengkol itu


kini menjadi pohon jengkol tertua di dunia. YA, POHON
JENGKOL TERTUA DI DUNIA. Nggak percaya?
Periksa aja di buku Guinness Book of Record edisi terakhir.
Ada kok, suerrr.
Nggak ada katamu? Woo... itu bukan edisi terakhir.
CARI EDISI TERAKHIR, KATAKU!
Ah, sudahlah. Tidak perlu memperdebatkan hal itu.
Yang penting, intinya, aku berhasil berubah menjadi
manusia. M-A-N-U-S-I-A. Nama ilmiahku pun berubah
menjadi Homo sapiens. Begitu kata orang pintar. Entahlah,
aku juga bingung, apa hubungannya manusia dengan sapi
yang homo.

***

Sekarang aku dipanggil Oon.


Kok Oon? Kamu mau tahu sejarahnya?
Begini....
Saat itu, tepat 100 tahun pertapaanku, aku berubah
wujud menjadi manusia. Coba bayangkan, bagaimana
keadaanku ketika itu. Sudah berkostum lengkap seperti di
sinetron-sinetron horor? Nggaklah. Sinetron memang suka
ngawur. Dari mana pula siluman dapat kostum? Realistis
dikit dong, Bro.
Aku memulai pertapaan sebagai kampret tanpa
busana. Betul, kamu nggak pernah lihat kampret pakai T-
6

shirt plus celana jins, kan?! Namanya juga kampret, nggak


ada malunya telanjang bulat. Maka ketika tiba waktunya
berubah menjadi manusia, aku pun terlahir dengan
telanjang pula.
Masalahnya, saat itu siang hari bolong. Pohon jengkol
itu tumbuh di tepi jalan besar. Banyak orang lewat, dan
semua melotot melihatku. Aku celingukan, bingung dengan
wujud baruku yang keren. Memang sudah lama aku
memimpikan punya tubuh seperti manusia. Tapi, aku
heran... kok beda dengan manusia-manusia yang banyak
lewat itu ya? Semua menutup tubuhnya dengan sesuatu,
sedang aku tidak.
“Hei, Oon! Sedang apa kau di situ? Ayoh, pake baju,
ntar digaruk satpol PP lho...” seseorang menegurku. Itulah,
untuk pertama kalinya ada yang memanggilku: Oon.
Insiden itu terjadi gara-gara Lik Blonthang—
belakangan akan kuceritakan tentang orang ini—terlambat
menjemputku. Dia memang selalu terlambat, itu cacat
bawaan lahirnya. Adalah tugasnya untuk mengambilku dari
pohon jengkol begitu aku berubah menjadi manusia,
memberiku baju, lalu membawaku ke rumah Mak Kerot—
arsitek perubahanku menjadi manusia—nanti kuceritakan
juga tentang orang ini.
Walau terlambat, Lik Blonthang masih berjasa bagiku.
Ia menyelamatkanku dari pelototan orang-orang yang
7

mungkin terkesan dengan penampilanku. Lik Blonthang


mengenalkan aku dengan yang namanya “baju”. Baju
rombeng, hasil dia memulung, yang membuatku tak henti-
hentinya menggaruk badan. Tapi okelah, soal garuk-
menggaruk itu masih bisa kutahankan. Aku senang
memakai baju. Paling tidak—dengan memakai baju—aku
jadi merasa lebih... manusiawi.

***

Setelah ada orang lewat yang memanggilku Oon, Lik


Blonthanglah yang kemudian melanggengkan nama itu
bagiku. Aku pun suka. Kata Lik Blonthang maknanya
bagus, maka aku senang dipanggil Oon.
Setiap orang pasti punya nama. Itulah yang
membedakan manusia dengan kampret. Kampret tidak
punya nama. Kami saling memanggil dengan ―Hai, kamu!‖
begitu saja (dalam bahasa kampret). Kalau beberapa
kampret sedang bergerombol, dan hanya satu dari mereka
yang harus kupanggil, maka aku akan memanggil, “Hai,
kamu! Kamu yang di tengah agak ke pinggir! Iya, kamu!”
Kalau itu masih kurang jelas, maka aku harus menyebut
lebih spesifik, “Hai, kamu, kampret yang paling jelek dari
semuanya! Iya, kamu! Oh, bukan kamu! Kamu yang lebih
jelek lagi. Oooh, ya ampun, aku tahu kalian semua jelek,
tapi maksudku kamu yang paling jelek dari
semuanyaaaa....” Fyuuuh, capek juga ya. Aku salut manusia
8

bisa memecahkan masalah pelik tentang panggil-memanggil


ini dengan satu ide jenius: memberi nama.
Dan bagusnya, manusia selalu memberi nama dengan
makna yang baik. Misalnya nama Toni, itu artinya pemuda
yang gagah. Atau nama Rina, artinya wanita yang selalu
berbahagia. Bagus, kan? Aku suka. Lik Blonthanglah yang
memberitahuku tentang arti nama-nama itu. Dia memang
pintar, tahu semua arti nama-nama. Tentang namanya
sendiri, Blonthang, adalah nama seorang jendral abad
pertengahan yang gagah-berani, yang menyelamatkan umat
manusia dari sebuan monster-monster ganas. Tentang Mak
Kerot, katanya, adalah sebutan untuk titisan dewi kayangan
yang turun ke bumi untuk menyempurnakan kehidupan
manusia. Kurang bagus apa coba?!
Tentang namaku, Oon... Lik Blonthang bilang itu
akar katanya dari kata ON, artinya HIDUP. Itu sebuah
kata dari bahasa Inggris. Iya, tidak salah dengar... Inggris,
Bro! Dalam bahasa Inggris, on artinya hidup. Lik Blonthang
benar. Aku baru paham waktu sampai ke rumah Mak
Kerot dan menjumpai kipas angin listrik dengan dua
macam tombol, on dan off. On artinya hidup, dan off
artinya mati. Bila kupencet tombol on, maka kipas
anginnya hidup, memberi kesejukan tiada tara di siang hari
bolong yang panas ini. Bila kupencet tombol off, kipasnya
mati.
9

Oon, kata Lik Blonthang, adalah bentuk jamak dari


kata on. Jadi, Oon maknanya lebih-kurang adalah
“kehidupan yang banyak”. Aku suka sekali nama itu. Tentu
saja, itu jauh lebih bagus daripada nama Off. Apalagi Ooff.
Ya, ampuun... aku tidak bisa membayangkan ada anak
dinamai Ooff, pasti hidupnya akan diliputi kematian yang
banyak. Kasihan.
Lik Blonthang memang bukan hanya pintar, tapi juga
sangat bijak.
Mmm... kukira cukup itu perkenalannya. Kalau
terlalu panjang nanti kamu bosan. Mari kita mulai saja
ceritanya. Oke?! [ ]
10

Bab 2
Mak Kerot & Lik Blonthang

A
ku tak bisa memulai cerita kalau belum
memperkenalkan Mak Kerot dan Lik
Blonthang, yang sudah kusebut-sebut namanya
barusan. Mereka berperan penting dalam keberadaanku
sebagai manusia.
Mak Kerot, dari namanya saja kamu bisa
membayangkan seperti apa dia. Seperti kata Lik Blonthang,
nama itu bermakna titisan dewi kayangan yang turun ke
bumi untuk menyempurnakan kehidupan manusia. Nah,
seperti itulah dia.
Dia perempuan, tentu saja, maka aku boleh
memanggilnya Mak. Perawakannya langsing sekali, seperti
fotomodel. Bahkan, boleh dikata tinggal kulit pembalut
tulang. Wajahnya pucat dan keriput. Mengesankan sekali.
Tak seperti kebanyakan manusia yang rambutnya hitam
jelek, Mak Kerot mempunyai rambut yang berwarna
keperakan hampir seluruhnya. Bukannya tebal dan berjubel
di kepala sehingga tidak enak dilihat seperti yang lain,
melainkan tipis-tipis dan jarang. Begitu tipisnya, hingga aku
11

bisa melihat batok kepalanya berkilat ditimpa cahaya bulan


yang menembus lubang-lubang di dinding bambu rumah
pondoknya.
Dulu, awalnya aku takut melihat manusia. Yang
paling kutakuti adalah giginya. Manusia memiliki gigi yang
besar-besar, tidak seperti kampret, yang—sebagai pemakan
serangga—giginya kecil-kecil dan lembut. Gigi itu membuat
manusia terlihat liar dan ganas di mataku. Mak Kerot
berbeda. Dia hampir tak bergigi. Ompong. Mungkin ada
satu-dua gigi di dalam mulutnya, tapi aku tak melihatnya
karena dia jarang sekali membuka mulut. Itu juga yang
membuat Mak Kerot tampak lebih “bersahabat” di mataku
dibanding manusia yang lain. Tidak menakutkan.
Paduan wajah pucat keriput dan mulut tak bergigi itu,
ditambah rambut perak tipis dan jarang di batok kepala
berkilat, serta perawakannya yang ramping sekali...
meneguhkan namanya sebagai titisan dewi kayangan. Mak
Kerot... duh, Lik Blonthang benar sekali. Wanita itu
memang mempesona.
Sorry, jangan anggap aku ini makhluk buta yang
mudah terkelabuhi oleh kecantikan fisik. Mak Kerot lebih
dari itu. Bukan hanya mempesona secara fisik, dia juga
memiliki kecantikan batin yang menakjubkan. Sungguh.
12

Ada hal lain yang membuatku terpesona, bahkan pada


pandangan pertama. Suatu hal yang sulit dikatakan.
Mungkin sikapnya, tindak-tanduknya, atau... entahlah.
Mungkin itulah yang disebut... anggun. Jaim. Jarang
membuka mulut, tapi begitu dia berkata-kata, aku langsung
lemes mendengarnya. Suaranya berderit bagai gesekan
gergaji tumpul di potongan besi berkarat. Merdu sekali.
Bukan hanya suaranya yang mengesankan. Bahkan,
tanpa mengeluarkan kata-kata pun, saat dia membuka
mulut adalah saat yang menakjubkan bagi makhluk di
sekitarnya. Aku pernah melihat, ketika Mak Kerot
menguap, setidaknya ada tiga ekor nyamuk yang kebetulan
melintas langsung rontok bagaikan pesawat jet disambar
rudal pencari panas.
Sudah, sudah. Aku menceritakan semua ini bukan
bermaksud membuatmu makin jatuh cinta pada Mak
Kerot. Bukan itu intinya. Aku hanya hendak
menggambarkan secara sederhana siapa dia.

***

Mak Kerot tinggal di sebuah dusun kecil dan sepi


tidak jauh dari Pantai Selatan. Di dusun itu hanya tinggal
dua puluhan orang, yang sebagian besarnya sudah berambut
putih dan ompong seperti dia. Hampir seperti kumpulan
orang yang menunggu saatnya dimakamkan. Pantas orang
13

menamai dusun itu ASTANA GANDAMAYIT. Ketika


kutanya Lik Blonthang, apa arti nama itu, ia bilang itu
semacam persemayaman orang-orang yang telah
disempurnakan hidupnya. Bukankah itu arti yang bagus?
Iya, tapi entah kenapa bagi sebagian orang nama itu
sepertinya menakutkan. Kulihat Pak Pos yang membawa
surat-surat ke dusun ini kebanyakan alamatnya disingkat:
Dusun ASTAGA, Kecamatan GERBOL (singkatan dari
GEGER BOLONG), L.K. (Singkatan dari Kabupaten
LAUT KIDUL).
Tidak jelas dari mana asalnya, dan apa yang pernah
terjadi padanya dulu. Hanya rumor yang dibawa burung-
burung gagak yang mampir minum di dusun itu, dalam
perjalanan mereka ke utara setiap menjelang malam
purnama. Rumor yang mengisahkan kehidupan Mak Kerot
dahulu kala, sebagai abdi dalem dari Kanjeng Ratu yang
bertahta jauh di Selatan. Tapi tak satu pun dari gagak-gagak
itu yang mengungkapkan dengan yakin, selain hanya bisik-
bisik yang dihantui ancaman akan tibanya kutukan.
Banyak koloni kelelawar di Pantai Selatan, hidup di
gua-gua di pantai yang terjal. Koloni kampret adalah
sebagian dari mereka. Aku pernah hidup bersama para
kampret itu. Yah, begitulah. Hidup sebagai kampret... kau
tahu, membosankan. Aku bosan makan serangga. Aku
14

bosan ngobrol dengan sesama kampret. Mereka tidak punya


bahan obrolan, selain tentang serangga dan warna langit.
Aku bosan berdebat, apakah serangga lebih enak dikunyah
dulu atau langsung ditelan. Aku bosan berdebat apakah
langit di malam hari berwarna hitam atau kelabu. Aku
bosan kelayapan di malam hari dan tidur mendengkur di
siang hari. Aku bosan... menjadi kampret.
Lagipula, aku bukan kampret yang baik. Paling tidak
begitulah kata teman-temanku. Sistem navigasiku tidak
baik, mungkin cacat sejak lahir, sehingga kalau terbang
malam hari sering menabrak-nabrak. Menabrak pohon atau
dinding gua sudah biasa bagiku. Dan tidak jarang, aku
bertabrakan dengan sesama kampret ketika terbang
berombongan keluar dari gua di senja hari. Paling repot
kalau sampai menabrak istri kampret lain, apalagi istri
kampret kepala suku, wah... bisa panjang urusannya.
Kampret-kampret sering mengumpatku, “Dasar
ORANG kau ini! Main tabrak aja! Gak tahu adat!” Dan
kalau yang marah kampret betina, karena merasa terhina
akibat kutabrak, biasanya diikuti tamparan keras.
PLAAAKK!!!
Lama-lama aku penasaran juga. Kenapa kampret-
kampret suka mengumpatku sebagai ORANG. Apa sih
ORANG itu? Mengapa ORANG—seperti kata kampret-
15

kampret—suka main tabrak dan tidak tahu adat? Aku tidak


pernah bertemu dengan ORANG. Semula kukira ORANG
itu sebangsa serangga, yang bisa kumakan. Tapi ternyata
bukan. Seorang kampret tua mengatakan padaku, bahwa
ORANG adalah sebutan untuk makhluk bernama
MANUSIA. Menurutnya, manusia itu makhluk paling
buruk, bersifat suka menabrak batas-batas yang sudah
ditetapkan, dan tidak beradat. Manusia telah menyerobot
habitat hidup makhluk lain—termasuk kampret—sehingga
banyak yang punah.
Pantas kalau ada kampret yang merasa kesal, mereka
akan mengumpat, “Dasar ORANG kau!” Itu artinya kamu
(yang diumpat) bertingkah buruk seperti manusia. Sering
dimaki ORANG membuatku kesal, tapi juga penasaran.
Seburuk apa sih MANUSIA itu sebenarnya, sehingga
dijadikan bahan umpatan oleh kampret?
Penasaran, dan juga bosan dengan kehidupan kampret
yang begitu-begitu saja, akhirnya mendorongku
meninggalkan koloni. Suatu malam aku terbang
meninggalkan gua gelap membosankan yang berbau
kotoran kampret itu. Aku terbang menjauh, hingga
memasuki perkampungan manusia. Malam hari, biasanya
manusia sedang tidur pulas, jadi tak ada yang perlu
kutakutkan.
16

Aku memasuki sebuah dusun, yang kemudian kutahu


namanya Astana Gandamayit. Ada satu rumah pondok
kecil berdinding gedhek—semacam anyaman bambu—agak
tersisih jauh dari rumah-rumah lain di sekitarnya. Rumah
itu menarik perhatianku karena masih terlihat secercah
cahaya dari lubang-lubang di dinding bambunya, padahal
rumah-rumah lain umumnya gelap karena penghuninya
sudah tidur. Aku masuk ke dalam rumah itu melalui
dinding gedhek yang jebol, lubangnya cukup besar untuk
meloloskan tubuh kampretku yang kecil.
Dari tempatku bertengger di batang bambu penahan
genting, di atap rumah itu, aku bisa mengamati apa yang
dilakukan penghuni rumah hingga tengah malam begini.
Di rumah itu tinggal seorang perempuan. Ia tidak tidur
hingga larut malam, beda dengan manusia lainnya. Remang-
remang cahaya dari sebuah lentera kecil menemaninya
mengerjakan sesuatu, entah apa. Seringkali ia menghaluskan
dedaunan di cawan batu dengan semacam penggiling, atau
kadangkala merebus sesuatu dalam kuali tembikar.
Semalaman ia menyenandungkan tembang-tembang seram
seperti yang dibisikkan burung-burung gagak. Begitulah
setiap malam, hingga ia tertidur menjelang pagi.
Siang hari biasanya ia bangun dan pergi keluar. Aku
tidak tahu ke mana. Aku terlalu mengantuk di siang hari
17

sehingga tak berminat mengikutinya. Lagipula, sinar


matahari pasti akan menyakitkan mataku, tak pernah aku
terbang keluar di siang hari.
Ia selalu kembali ketika matahari sudah agak condong
ke barat, menjelang sore. Saat itu, di depan rumah biasanya
sudah ada orang-orang yang menunggunya. Kadang hanya
satu atau dua orang saja, tapi pernah juga mengantri sampai
lima orang. Mereka semua hendak menemuinya, dan
perempuan itu akan menerima mereka satu per satu di
dalam rumah.
Tamu-tamu itu, hampir semuanya, datang dengan
permintaan yang aneh-aneh. Kemarin datang seorang gadis,
kulitnya putih, hidungnya kempes hampir hanya kelihatan
lubangnya saja. Menurutku dia cantik, kebanyakan
kampret dinilai kecantikannya dari semakin tidak kelihatan
hidungnya. Ah, tapi ini manusia, bukan kampret. Gadis itu
menunjuk-nunjuk hidungnya, sepertinya ia ingin dilakukan
sesuatu terhadap hidungnya itu.
Perempuan berambut perak itu mengangguk-angguk.
Ia meracik semacam minuman dari daun-daunan yang
direbusnya, lalu menyuruh gadis itu meminumnya. Si Gadis
disuruhnya tidur telungkup di lantai, sementara dia
merapalkan kata-kata aneh seperti bisikan burung-burung
gagak dari Selatan.
18

Ketika gadis itu disuruh bangun lagi dan


menunjukkan wajahnya, woow... ada yang berubah.
Hidungnya yang tadi hampir tak kelihatan, kini menonjol
sekali seperti bintang filem India. Ck ck ck... dan bibirnya
itu kenapa ya, kok jadi jontor begitu?
“Mak..., tapi kok???” Gadis itu terperanjat meraba
kedua belah bibirnya yang sekarang membengkak tebal
kehitam-hitaman seperti bibir kuda.
“Tidak apa-apa, Cantik,” ujar perempuan berambut
perak itu dengan bijaknya. “Begitulah Kanjeng Ratu
menyayangi abdinya, beliau tidak hanya memberikan apa
yang kamu inginkan, tapi juga yang kamu butuhkan.”
Hmm, Si Gadis kelihatan senang sekali, ia keluar
rumah dengan mata berbinar-binar. Dua orang lelaki yang
sedang antri menunggu giliran di luar rumah terkejut
melihat perubahan yang terjadi pada gadis itu. Keduanya
lantas saling berpandangan, sama-sama heran dan takjub.
“Itulah yang membuat Mak Kerot terkenal di mana-
mana, dan tak pernah kehabisan pelanggan, walaupun
persaingan dengan dukun-dukun baru semakin ketat,”
celetuk salah seorang lelaki itu.
“Ooh, apanya?” timpal lelaki satunya.
“Ia tak pernah lupa memberi bonus. Bila kamu beli
satu padanya, maka dia akan memberi kejutan manis
19

dengan bonus satu lagi untukmu. Betul-betul teknik


marketing yang cerdas.”
Kedua lelaki itu sama-sama mengangguk-angguk
setuju. Aku juga.
Sepintas aku mulai mengenali, apa dan siapa
perempuan berambut perak itu. Yang jelas namanya Mak
Kerot, seperti kudengar dari lelaki itu. Apa yang ia lakukan
sehari-hari di rumah gedhek itu, mungkin bisa diwakili
dengan tulisan di papan nama yang dipakukan ke batang
pohon asam di depan rumahnya.

MAK KEROT
AHLI MENYEMPURNAKAN HIDUP ANDA
PRAKTEK SORE JAM 3 - 5.
HARI KECIL, HARI BESAR, TETAP BUKA.
KECUALI HARI BESAR SEKALI BARU TUTUP

***

Suatu malam, ketika aku sedang asyik bergelantungan


di atap rumahnya, mengamati ia merebus entah apa sambil
menyenandungkan bisik-bisik burung gagak dengan suara
deritan gergaji tumpulnya itu, tiba-tiba ia memanggil, “Hai,
Kamu!”
Siapa yang dipanggilnya, akukah?
20

Aku ragu-ragu, tapi itu memang panggilan untuk


kampret. Kami biasa memanggil dengan ―Hai, Kamu!‖
bukan dengan nama, karena kampret tidak punya nama.
Dan tidak ada kampret lain di sini selain aku.
“Hai, Kamu!” teriaknya lagi. “Sini!”
Kukira benar, ia memang memanggilku.
Aku melayang turun ke arahnya. Ups! Hampir saja
aku tercebur ke dalam kuali rebusannya itu. Untung
perempuan berambut perak bernama Mak Kerot itu
menahanku dengan tangannya sehingga aku selamat dari
nasib sial terebus hidup-hidup dalam kuali tembikar berisi
ramuan entah apa itu.
“Apa yang kau inginkan?” tanya Mak Kerot sambil
menatapku dengan matanya yang juling. Oh ya, aku belum
memberitahumu bahwa matanya juga juling. Maaf.
Apa yang aku inginkan? Aku tidak mengerti.
Kampret tidak pernah ditanya apa keinginannya. Sehari-
hari kami makan serangga—dengan dikunyah atau ditelan,
sama saja—lalu sibuk berdebat apakah langit berwarna
hitam atau kelabu, hingga pagi datang dan kami tertidur
lagi. Lalu, apa yang kami inginkan?
“Kamu bosan jadi kampret?” tanyanya.
Oh, mungkin dia benar. Aku mengangguk.
“Kamu mau jadi manusia?”
21

Oh, entahlah, aku tidak yakin soal itu. Tapi aku


mengangguk lagi.
“Baiklah, Kampret, minumlah ramuan ini. Tiga teguk
saja, jangan lebih. Lalu pergilah ke batang pohon jengkol.
Bertapalah di sana selama seratus tahun. Kelak, bila
waktunya tiba, kamu akan berubah menjadi manusia.
Seorang laki-laki bernama Blonthang akan menjemputmu,
dan membawamu ke sini. Kamu akan menjadi anakku.”
Dia tidak berkata apa-apa lagi, kembali sibuk
menghaluskan dedaunan, umbi-umbian, dan batu kerikil
berwarna-warni dalam cawan batunya. Senandung bisik-
bisik burung gagak itu kembali mengalun. Sendu.
Ramuan itu kelihatan masih mendidih di dalam kuali.
Permukaannya bergolak, dan uap berwarna keabu-abuan
terus mengepul di atasnya. Aku takut meminumnya.
Tidakkah itu... panas? Kampret tidak pernah minum air
panas, kami tidak tahu seperti apa rasanya. Tapi aku juga
takut bila tidak meminumnya seperti perintah Mak Kerot.
Aku takut dia marah. Bagaimana kalau tiba-tiba dia
menguap karena marah... bisa-bisa aku rontok seperti
nyamuk-nyamuk itu.
Akhirnya aku pun meminumnya. Ah, tidak apa-apa
kok. Hangat memang, tapi masih bisa kutahan. Rasanya...
jangan tanya, aku juga bingung. Kampret tidak mengenal
22

rasa, selain rasa berbagai macam serangga. Memang ada


aroma serangga, tapi tergulung oleh berbagai rasa lain yang
asing. Kelak—setelah menjadi manusia dan mencobai
berbagai macam rasa yang bisa dikecap oleh lidah manusia—
baru aku bisa menggambarkan ramuan ini. Walau tak
yakin, kurasa itu adalah paduan antara air comberan,
kencing kuda liar, tahi kebo yang sudah dikeringkan, dan...
mmm, apalagi ya? Mungkin ditambah sedikit ingus
perawan ting-ting, tai kuping tukang gali kubur, serta kuap
Mak Kerot sendiri, dengan takaran yang pas.
Begitulah ceritanya, lalu aku pergi mencari pohon
jengkol dan bertapa di sana. Tentang pohon jengkol sudah
kuceritakan padamu, tidak usah kita perdebatkan lagi.
Mari kita tutup bab ini.
Apa? Aku belum menceritakan tentang Lik
Blonthang? Apa aku pernah bilang padamu akan cerita
tentang Lik Blonthang? Iya? Ya ampuuun, bagaimana nama
Lik Blonthang bisa jadi judul bab ini.... Entahlah, mungkin
aku sedang pusing waktu menulis judul bab. Tapi bab ini
sudah kututup. Jadi baiklah, akan kuceritakan nanti soal
Lik Blonthang, di bab berikutnya. [ ]
23

Bab 3 (Bab Sisipan)


Lik Blonthang

A
ku harus menyisipkan bab ini, karena lupa
menceritakan padamu tentang Lik Blonthang.
Aneh, bagaimana aku bisa lupa, padahal dia orang
yang sangat penting dalam cerita ini. Dia yang
menjemputku, begitu aku berubah wujud menjadi manusia,
di bawah pohon jengkol. Mmm... kurasa aku sudah pernah
mengatakan soal itu padamu.
Baiklah, begini.... Dialah yang pertama kali
memberikan baju padaku, ketika orang-orang melotot
melihatku telanjang bulat di bawah pohon jengkol. Walau
baju hasilnya memulung itu membuatku tak bisa berhenti
menggaruk-garuk.... Sebentar, rasanya aku sudah pernah
menceritakan soal ini. Tidak perlu diulangi lagi, ya?!
Baiklah, maaf, kumulai lagi.... Dia adalah orang yang
pintar, tahu semua arti nama-nama. Misalnya nama Toni,
itu artinya pemuda yang gagah. Atau nama Rina, artinya
24

wanita yang selalu berbahagia. Bagus, kan? Aku suka. Lik


Blonthanglah yang memberitahuku tentang arti nama-nama
itu. Dia memang pintar, tahu semua arti nama-nama.
Tentang namanya sendiri, Blonthang.... Hai, perasaan aku
juga sudah pernah menceritakan hal ini padamu?!
JADI APA YANG BELUM KUCERITAKAN
PADAMU TENTANG LIK BLONTHANG???
Sebentar, aku tarik nafas dulu. Kadang-kadang,
bercerita tentang Lik Blonthang memang membuatku
emosi. Tapi tak usah cemas, aku bisa normal lagi. Baiklah,
kita mulai cerita tentang Lik Blonthang. Tentang apanya
dulu yang harus kuceritakan? Oh ya, pertama-tama...
seperti apa dia?
Tentu saja, dia seperti manusia biasa. Punya satu
kepala, lengkap dengan asesorisnya. Satu badan. Dua
tangan. Dua kaki. Itulah. Ah, itu tidak menarik untuk
diceritakan. Bagaimana giginya? Oh ya, giginya lebih
banyak daripada Mak Kerot. Aku bisa melihatnya ketika
dia sedang tertawa terkekeh. Setidaknya tiga batang gigi
masih utuh menghiasi barisan depannya.
Apa lagi? Rambutnya? Hmm... lebih tebal daripada
Mak Kerot. Hanya sebagian kecil warna perak, sisanya
hitam legam. Rambut itu bergulung-gulung tak keruan
seperti mendung hitam di musim badai. Dari situ saja, bisa
25

kamu bayangkan dia tidak secantik Mak Kerot. Ups! Maaf,


tentu saja dia tidak cantik. Dia laki-laki, bukan perempuan
seperti Mak Kerot.
Satu lagi yang membedakannya dari Mak Kerot
adalah caranya berjalan. Lik Blonthang berjalan tegak.
Badannya tegap, dada membusung ke depan. Begitulah,
beda dengan Mak Kerot yang berjalannya terbongkok-
bongkok. Hmm... apa aku belum memberitahumu bahwa
Mak Kerot itu bongkok? Baiklah, itu tambahan informasi.
Maaf, agak telat.
Apa lagi yang berbeda? Mmm... tentu saja,
pakaiannya. Lik Blonthang mungkin punya koleksi banyak
pakaian, tapi semuanya sama. Kaos oblong warna putih,
dan celana kolor warna hitam. Oh ya, satu lagi, peci warna
hitam. Aku tidak pernah menjumpainya memakai baju
selain itu. Beda dengan Mak Kerot yang selalu memakai
kain bermotif parang garuda, serta kebaya warna kuning
gading (mungkin dulunya kuning gading, sekarang lebih
tepatnya putih kusam). Aku belum menceritakan padamu
bahwa Mak Kerot pakai kebaya? Baiklah, ini tambahan info
lagi. Maaf.
Resminya, Lik Blonthang berprofesi sebagai
pemulung. Itu yang tertulis di profil fesbuknya. Kurasa dia
tidak bohong, apalagi pencitraan, dengan profesinya itu.
26

Penampilannya sesuai. Dengan kaus oblong dan celana


kolor bertema black and white-nya itu, tiap hari ia keluar
rumah menyandang keranjang bambu besar, dan tongkat
pengait. Dengan tongkat pengaitnya itu, ia berjalan
mengikuti kakinya melangkah, sambil memulung apa saja
yang menurutnya layak dipulung.
Awas, Lik Blonthang tidak menetapkan kriteria yang
terlalu ketat soal barang yang layak dipulung itu seperti apa.
Kriterianya sangat longgar. Jangan sampai kautinggalkan
sandal jepitmu di depan kamar kos, pasti akan diangkutnya
kalau Lik Blonthang kebetulan lewat. Kalau hendak buang
ingus, lihat-lihat dulu apakah ada kemungkinan dia akan
lewat, karena ingus yang kau buang pun bisa jadi komoditi
di keranjang Lik Blonthang. Jangan menggosip di pinggir
jalan, karena remah-remah gosipanmu yang berceceran di
jalan pun bisa dijualnya pada siapa saja yang membutuhkan.
Lantas apa hubungan Lik Blonthang Sang Pemulung
ini dengan Mak Kerot? Agak sulit menjelaskannya. Mereka
menjalin hubungan yang rumit (begitu yang tertulis di
fesbuknya). Yang jelas aku disuruh memanggilnya Lik atau
Paklik, artinya Paman. Berarti dia lebih muda daripada
Mak Kerot, karena posisi Mak Kerot adalah mama
angkatku.
27

Kuduga, Lik Blonthang adalah semacam asisten bagi


Mak Kerot. Untuk menjalankan profesinya sebagai ahli
penyempurna hidup manusia, Mak Kerot memerlukan
bantuan. Selain merapalkan bisik-bisik burung gagak, ia
juga selalu membuat ramuan yang direbus dengan kuali
tembikar. Ramuan itu memerlukan bahan-bahan. Sebagian
bahan ramuan, seperti daun kelor, biji jambu, akar rumput,
dlsb. mudah didapat Mak Kerot di sekitar rumah. Tapi ada
bahan-bahan ajaib yang perlu keahlian khusus untuk
mencarinya, bisa dikata hanya seorang Pemulung Sakti
yang bisa mendapatkannya, dan itu adalah Lik Blonthang.
Bahan-bahan ajaib seperti apa sih? Jangan kaget ya,
pasti semuanya di luar dugaanmu. Aku sebenarnya agak
ragu membocorkan rahasia ini. Tapi terpaksa, karena akan
sulit bagimu untuk menghayati cerita ini tanpa mengetahui
bahan-bahan ajaib apa yang digunakan Mak Kerot untuk
menyempurnakan kehidupan manusia.
Semua bahan ajaib itu tidak mudah didapat. Perlu
keahlian khusus, bahkan kadangkala nyawa taruhannya.
Itulah kehebatan lain dari Lik Blonthang, selain pintar soal
arti nama-nama itu. Baiklah kusebutkan dulu bahan yang
paling sederhana, yang paling mudah didapat, yaitu... tai
kebo yang dikeringkan. Mudah, tinggal ambil dari
kandangnya, lalu dijemur sampai kering.
28

Apa ajaibnya tai kebo? He he he... masalahnya, Bro,


kalau kamu asal ambil tai kebo, maka kamu betul-betul
cuma dapat tai kebo. Baru berkhasiat ajaib kalau tai kebo
itu berasal dari kebo anak ketiga dari induk yang sudah
menjanda selama dua tahun. Lhoh?! Bagaimana janda bisa
punya anak tiga? Itulah pusingnya Bro, kamu harus cari
kebo yang lahir dari hubungan di luar nikah.
Ada lagi contoh bahan ajaib yang tak terlalu sulit
didapat. Misalnya ini, favorit Lik Blonthang... kentut kuda
betina yang sedang menstruasi. Kentut itu harus ditampung
langsung dari pantat pemiliknya, dibungkus kantong plastik
warna hitam, pada malam hari ketika bulan sedang bersinar
kelabu. Biasanya Lik Blonthang tak menemui banyak
kesulitan, walau kuda betina yang sedang mens biasanya
agak sensi. Tapi pernah ada kuda betina yang terlalu sensi,
hingga menyepak Lik Blonthang dengan kaki belakangnya.
Tepat kena muka. Itulah riwayatnya sehingga wajah Lik
Blonthang terlihat rata sampai sekarang.
Itu contoh bahan-bahan yang mudah didapat, terus...
apa yang paling sulit? Tak usahlah kamu tahu, daripada
nanti ikut-ikutan pusing. Cukuplah contoh yang paling
mudah, supaya kamu bisa membayangkan bagaimana
rumitnya pekerjaan Lik Blonthang. Tapi walaupun rumit,
kelihatannya ia menyukai pekerjaan itu. [ ]
29

Bab 4
Awal Kisah:
Jadi Anak Angkat Mak Kerot

A
lkisah, di siang hari yang panas, Lik Bonthang
menjemput ketika aku sedang celingukan di
bawah pohon jengkol, jadi tontonan orang lewat.
Tanpa banyak cang-cing-cong ia langsung menyodorkan
sesuatu yang disebutnya “baju”. Ia mengambilnya dari
keranjang besar yang disandangnya. Baunya apek.
“Ini, pakailah,” katanya.
Baju itu dari bahan kain tebal, berwarna kuning-
kecoklatan dan kalau diraba terasa kasar. Kuperhatikan,
modelnya berbeda dengan baju yang dipakai orang-orang
yang lewat itu. Baju mereka banyak lubang—ada lubang
tempat keluar kepala, kedua tangan, serta badan bagian
bawah, terus ada baju tambahan di bawah untuk menutup
kaki—sedang baju yang diberikan Lik Blonthang ini hanya
30

ada dua lubang di kedua ujungnya. Aku bisa memasukkan


badanku melalui satu lubang di baju itu, dan kepalaku
keluar dari lubang di ujung lainnya. Tapi tak ada lubang
untuk mengeluarkan tangan. Maka aku harus terus
memegangi baju itu agar tidak terlepas dari badanku.
Lama setelah kejadian itu, di kemudian hari baru aku
paham bahwa baju yang diberikan oleh Lik Blonthang itu
namanya: karung goni.
Lik Blonthang memasukkan tubuh kecilku ke dalam
keranjangnya yang besar. Waktu itu aku belum belajar
berjalan dengan kaki, juga tak bisa terbang karena tak
punya sayap lagi. Ia membawaku berjalan, sepertinya jauh
sekali, sambil memulung apa saja yang ditemukannya di
jalan. Semua barang hasil pulungan dilemparkannya ke
dalam keranjang besar, menemaniku.
Barang-barang hasil pulungan Lik Blonthang
bermacam-macam bentuknya. Semua terlihat aneh bagiku.
Itulah untuk pertama kalinya aku mengenali berbagai
macam barang yang berkaitan dengan kehidupan manusia.
Ada kacamata, yang membuat pandanganku terhadap dunia
menjadi aneh. Ada sanggul yang dipenuhi kutu rambut,
baunya ganjil sekali. Ada pula gigi palsu yang tersangkut di
tali beha. Hmm....
31

Akhirnya sampai juga kami ke rumah berdinding


gedhek itu. Kelihatan tidak banyak berubah sejak terakhir
kali kutinggalkan untuk bertapa. Ternyata perempuan
berambut perak yang dipanggil Mak Kerot itu sudah
menunggu kedatangan kami.
“Kenapa lama sekali?” sambutnya dengan muka
masam. “Kamu selalu terlambat, Blonthang.”
“Tidak mudah menyaring igauan bocah tengil yang
sedang mimpi basah, Mak,” kilah Lik Blontang membela
diri. “Aku bergadang semalaman untuk menunggunya
mengigau, jadi wajar kalau aku bangun kesiangan.”
“Ah, ada saja alasanmu. Tapi kau dapat barangnya,
kan?”
“Tentu saja, Blonthang tidak pernah gagal memenuhi
pesanan!”
“Baguslah, cepat masukkan ke guci pendingin. Kita
kehabisan bahan pengawet igauan. Jangan sampai rusak
sebelum diolah jadi ramuan untuk Pak Lurah nanti sore.
Pak Lurah mau kawin lagi, dia perlu itu untuk minta izin
istrinya.”
Lik Blonthang mengeluarkan sesuatu yang
terbungkus kain kumal, sesuatu yang disebutnya “igauan
bocah tengil yang sedang mimpi basah”. Dengan hati-hati ia
32

membuka bungkusan itu di mulut guci pendingin, lalu


sesuatu yang menggeram jatuh ke dalam guci.
“Apa lagi yang kau dapat?”
“Oh, ya, ada lagi. Anak yang Mak Kerot pesan itu
ternyata sudah jadi, tadi kuambil di bawah pohon jengkol.”
“Baguslah. Mana dia?”
Rupanya Mak Kerot belum melihatku. Pantas, karena
aku tertimbun di dalam keranjang besar yang berisi segala
macam barang pulungan Lik Blonthang. Laki-laki bermuka
rata itu mengeluarkanku dari keranjang, lantas
meletakkanku di depan Mak Kerot. Aku teronggok
kebingungan di lantai ubin yang dingin sambil menatap
perempuan berambut perak itu.
“Ooh, ini...,” komentar Mak Kerot sambil
mengernyitkan dahi mengamatiku. “Jantan atau betina?”
tanyanya.
“Laki-laki, Mak. Aku sudah mengeceknya tadi,”
jawab Lik Blonthang.
“Berdirilah!” perintah Mak Kerot.
Terhuyung-huyung aku berusaha berdiri. Ini untuk
pertama kalinya aku menggunakan kedua kakiku untuk
berdiri, setelah sebelumnya hanya kugunakan untuk
bergantung di langit-langit gua kampret. Dengan kedua
tangan aku memegangi karung goni yang diberikan Lik
33

Blontang untuk menutupi tubuh telanjangku, sambil terus


nyengir-nyengir kegatalan.
“Mmm, kamu...,” gumam Mak Kerot tatkala
menatapku. Tatapannya seperti seorang ibu baru
melahirkan yang ketika diunjukkan anaknya oleh Bu Bidan
tiba-tiba merasa bahwa Bu Bidan telah menukar anaknya.
“Yaah, nggakpapalah, daripada nggak ada,” katanya
kemudian sambil geleng-geleng kepala. “Siapa namanya?”
“Orang-orang di sana memanggilnya... Oon,” jawab
Lik Blonthang.
“Hmm, kurasa itu nama yang cocok,” ujar Mak Kerot
sambil mengangguk.

***

Begitulah Mak Kerot. Dari sikapnya di awal jumpa


pun kutahu bahwa dia akan sangat menyayangiku. Begitu
juga Lik Blonthang. Kedua orang itu sangat menyayangiku.
Aku bisa merasakan dari tatapan mata mereka.
Lik Blonthang bilang, aku harus sekolah. Begitulah
lazimnya anak manusia. Beda dengan kampret... tak perlu
sekolah bila masa dewasamu hanya akan kauhabiskan
untuk berdebat tentang warna langit hitam atau kelabu.
Anak manusia berbeda, mereka harus tahu tentang banyak
hal. Manusia tidak pernah berdebat soal sepele seperti
warna langit. Mereka lebih cerdas dari itu. Mereka lebih
34

suka berdebat tentang hal-hal ilmiah, misalnya... mana lebih


keren, presiden yang naik kuda atau naik bajaj? Mana yang
lebih pas, 4 x 6 atau 6 x 4? Mana yang lebih asyik, melihara
kambing atau beli satenya saja? Semacam itulah. Bingung,
kan?! Makanya harus sekolah yang benar biar bisa ngobrol
tingkat tinggi macam itu.
Lik Blonthang yang memilihkan sekolah untukku.
Aku menurut saja. Pilihannya jatuh pada sebuah sekolah
elit bernama SMP Taman Bunga. Kok SMP? Ya iyalah,
sesuai dengan perawakanku. Aku kan siluman kampret, jadi
badanku agak kecil. Kalau siluman kalong jadi manusia,
mungkin bisa masuk SMA. Kalau siluman gajah? Nggak ada
yang mau jadi mamah angkatnya, Bro!
Menyesuaikan dengan roman mukaku, SMP adalah
pilihan yang pas. Wajahku sudah terlalu “tua” untuk masuk
SD, kata Lik Blonthang. Lagipula, di SD dikhawatirkan aku
akan menakuti anak-anak dan berpotensi membuat mereka
kesurupan. Aku tidak tahu kenapa demikian, tapi karena
yang mengatakan adalah Lik Blonthang, kurasa itu benar.
Bagaimana aku bisa mengikuti pelajaran di SMP,
padahal aku tidak pernah sekolah sebelumnya? Jangankan
SD, bahkan Taman Kanak-kanak pun tidak pernah. Ah, itu
tidak jadi masalah bagi Mak Kerot. Mamah angkatku itu
bisa mengatasi persoalan apa pun dengan ramuan dan
35

mantra-mantra. Cukup dengan menenggak ramuan yang


dibuatkan Mak Kerot, aku pun siap masuk SMP. Ini yang
kedua kalinya aku minum ramuan Mak Kerot. Rasanya
berbeda dengan yang dulu. Walau aroma air comberan dan
tai kebo kering masih ada—mungkin itu bahan dasarnya—
tapi ada paduan rasa lain, semacam abu dari buku-buku
pelajaran yang terbakar, otak udang yang diasamkan, serta
air mata Bapak Ibu Guru yang gajinya disunat penguasa
lalim. Tidak sebusuk yang dulu, tapi jauh lebih pahit.
Tapi Lik Blonthang dan Mak Kerot tidak paham
bahwa masalahnya tidak sesederhana itu. Walau mereka
bisa membayar uang sekolahku tiap bulan, tapi tetap saja
ada yang membuatku berbeda dengan anak-anak lain. Baju
seragam, ikat pinggang, sepatu... semua yang kupakai adalah
barang dari tempat sampah, hasil Lik Blonthang memulung.
Memang, mereka melihat dunia ini sebagai sesuatu yang
mudah saja.
Tentang celana yang bolong, kata Mak Kerot,
“Tambal aja, kan beres.”
Emangnya ban, ditambal.
Tentang jempol kakiku yang menyembul keluar dari
lubang di sepatu butut, Lik Blonthang bilang, “Bagus, On,
ada ventilasinya, jadi kakimu nggak pengap.”
Cerdas! WC aja perlu ventilasi, apalagi sepatu.
36

Sayang, Lik Blonthang belum mendapatkan tas


sekolah butut untukku dari tempat pemulungan, jadi buku-
buku kumasukkan saja ke dalam kantong plastik alias tas
kresek. Siap berangkat sekolah! Kresek... kresek... kresek....
Dengan baju dan sepatu butut, menenteng buku
dalam tas kresek... sempurna sudah penampilanku.
Sempurna jeleknya, maksudku. Namanya juga siluman
kampret. Jangan bayangkan aku ini siluman cantik jelita
seperti dalam Legenda Ular Putih dari Hongkong. Bukan,
aku adalah siluman kampret. Tubuhku kecil kerempeng.
Kulitku gelap dan kusam bagaikan malam tanpa bulan.
Rambutku tipis, pendek, dan kaku seperti ijuk. Mataku
bulat hitam besar seperti mata kampret. Telingaku belum
metamorfosis sempurna, jadi bentuknya masih agak lancip.
Dan jangan lupa, gigiku kecil-kecil dan runcing... ya betul,
seperti gigi kampret. [ ]
37

Bab 5
Hari Pertama Masuk Sekolah
yang Menyenangkan

S
MP Taman Bunga terletak di kota kecamatan
Geger Bolong, alias Gerbol. Itu lumayan jauh,
kira-kira lima kilometer dari Astana Gandamayit.
Mak Kerot dan Lik Blonthang tidak memberi pilihan
padaku bagaimana cara menuju ke tempat itu selain
dengan... jalan kaki.
Yah, lama-lama akhirnya aku suka juga berjalan kaki.
Awalnya capek memang, lebih enak terbang bebas di udara
seperti kampret. Tapi lama-lama terbiasa juga.
Yang masih sulit diajak kompromi adalah kebiasaan
tidur siangku. Aku selalu mengantuk berat di siang hari,
tapi susah tidur di malam hari. Itu warisan dari kehidupan
kampretku yang lama. Manusia memang aneh. Kenapa pula
38

harus berangkat sekolah pada pagi hari dan pulang di sore


hari, ketika matahari sedang panas dan menyilaukan?
Huufft... Aku harus bangun pagi-pagi sekali, mandi,
sarapan, lalu berlari sejauh lima kilometer agar tidak
terlambat ke sekolah yang dimulai jam tujuh pagi teng!
Oh, ya. Tentang mandi, itu juga jadi soal. Aku tidak
pernah mandi sebelumnya. Kampret tidak pernah mandi.
Kalau kami merasa perlu sedikit bersolek, cukup menjilat-
jilati badan sendiri. Praktis. Itu juga sekaligus menjadi
parfum yang baik, menegaskan bau badan kami sebagai
kampret sejati.
Lik Blonthang menghardik ketika aku sedang
menjilati badan, pagi-pagi sebelum berangkat sekolah.
Tidak boleh begitu, katanya. Manusia harus mandi.
Mandinya tidak boleh pakai ludah, tapi harus pakai air.
Masalahnya, air tidak datang sendiri. Untuk bisa mandi,
aku harus lebih dulu memenuhi bak air besar dengan
menimba dari sumur yang dalamnya pasti tak kurang dari
dua puluh meter. Huh, ini untuk pertama kalinya aku
mendapat kesan bahwa menjadi manusia itu ternyata...
capek.
Jangan tanya soal dinginnya air di pagi buta. Bbrrr...
kalau tahu begini, pasti aku enggan berubah jadi manusia.
Enakan jadi kampret, tidak usah mandi pakai air. Tidak
39

perlu menimba air dari sumur. Kalau dipikir-pikir, berdebat


tiap malam tentang warna langit masih lebih mengasyikkan
daripada ini.
Setelah menimba air, masih ada satu lagi acara yang
bikin capek, yaitu berlari ke sekolah. Itu harus, karena aku
tak boleh menghabiskan waktu untuk berjalan santai. Bila
tidak cepat-cepat, aku bisa terlambat. Begitulah, sekarang
kehidupanku dibatasi oleh waktu. Ya, WAKTU. Itu yang
tak ada di dunia kampret, bahkan tak pernah kupikirkan
sebelumnya. Kampret tidak mengenal batas waktu selain
malam (waktunya makan) dan siang (waktunya tidur).
Tidak ada batas waktu yang rumit seperti jam, menit, dan
detik. Manusia memang suka merumitkan kehidupannya
sendiri. Aneh.
Jam tujuh pagi teng! aku sudah harus berada di
sekolah, karena kelas akan segera dimulai dan pintu gerbang
sekolah ditutup. Bila terlambat, kamu tidak bisa masuk
sekolah. Bukan soal tidak bisa masuk sekolahnya yang
menakutkan, tapi dihukum harus berdiri di pos satpam itu
yang... hiii. Bukan soal berdirinya yang bikin ogah, tapi
seharian menemani satpam sekolah gendut yang terus-
menerus menatapmu dengan pandangan bernafsu (seolah
aku ini semacam donat kentang)... hmm, rasanya nggak
banget, deh.
40

Hari pertama di sekolah dimulai dengan perkenalan.


Aku disuruh tampil ke depan kelas. Pak Darto Jenggot,
wali kelas kami, memperkenalkan aku pada teman-teman
semuanya. Semuanya terdiam, hampir tak ada yang tidak
ternganga menatapku. Tak kusangka, seorang mantan
kampret sepertiku bisa membuat mereka begitu terpesona.
“Anak-anak, hari ini kalian mendapat teman baru,
pindahan entah dari mana,” ujar Pak Darto Jenggot
membuka kelas pagi ini. “Mulai hari ini, ia akan belajar
bersama kalian. Ayo, Kamu... silakan memperkenalkan
diri. Ceritakan pada teman-temanmu, siapa dirimu. Bisa
dimulai dengan... siapa namamu?”
“Oon,” jawabku singkat.
Tiba-tiba semua anak di kelas itu tertawa mendengar
jawabanku. Bila tertawa mulut mereka terbuka lebar,
kelihatan semua giginya. Sempat takut juga aku melihat
anak-anak itu bergigi semuanya. Seram, terbayang dengan
gigi selengkap itulah manusia memangsa segala makhluk
hidup di muka bumi, baik tumbuhan maupun hewan.
Kampret pun, kalau bisa mereka tangkap pastilah mereka
makan. Manusia betul-betul tidak pilih-pilih makanan.
Tapi sekarang aku tidak terlalu takut lagi. Aku senang
melihat orang tertawa, walau sampai terlihat giginya
sekalipun. Kata Lik Blonthang, bila manusia tertawa,
41

artinya dia sedang senang. Semakin senang dia, semakin


lebar pula tawanya. Jadi anak-anak itu semuanya sedang
senang. Senang sekali pastinya, karena tertawanya lebar.
Artinya mereka senang melihat kehadiranku di kelas. Aku
merasa tersanjung.
“Sudah, sudah!” Pak Darto Jenggot mengeraskan
suaranya agar anak-anak itu berhenti tertawa. “Bukan
begitu, Oon itu kan nama julukan. Tidak baik memanggil
dengan nama julukan. Sebutkan namamu yang bagus. Kau
pasti punya nama yang bagus, kan?”
“Itu nama yang bagus,” kataku. “Lik Blonthang bilang
itu bagus sekali.”
Aku menjelaskan arti namaku seperti yang kudengar
dari Lik Blonthang. Oon adalah bentuk jamak dari kata
On. Itu sebuah kata dari Bahasa Inggris, artinya hidup. Oon
artinya kehidupan yang banyak. Mereka kembali tertawa
mendengar penjelasanku, lebih keras dari yang tadi.
Rupanya anak-anak itu betul-betul menyukaiku. Aku suka
kelas ini. Ternyata menjadi manusia itu menyenangkan
juga. Banyak tertawa.
Pak Darto Jenggot harus bilang “Sudah, sudah!”
dengan suara yang makin keras untuk menghentikan anak-
anak itu tertawa. Setelah mengangkat bahu dengan raut
muka tak jelas, ia coba menanyaiku lagi, tentang asal-
42

usulku, di mana rumahku, siapa orang tuaku, dan apa


pekerjaan mereka. Aku menceritakan pada mereka seperti
apa yang sudah kuceritakan padamu. Tak kurang, tak lebih.
Kontan setiap jawabanku selalu memicu tawa gemuruh.
Akhirnya Pak Darto Jenggot hanya bisa geleng-geleng
kepala, lalu mengangkat tangan tanda pasrah.
“Sudah, sudah, terserah kamulah. Sekarang kembali
duduk sana, Kampret! Eh, maaf... Oon,” ujar Pak Darto
Jenggot. Masih sambil menggeleng-gelengkan kepala, ia
menggumam, “Aku tak habis pikir, bagaimana pemilik
sekolah beranggapan bahwa kamu pantas sekolah di sini.
Tapi yang penting kamu jangan sampai telat bayar uang
sekolah ya....”
“Iya, Pak,” jawabku sambil mohon diri untuk
kembali duduk di bangku paling belakang. Anak-anak
masih tertawa, sebagian mengacungkan jempol menyambut
aku kembali ke tempat duduk, bahkan sepanjang jalan aku
harus membalas acungan tangan mereka untuk tos!
Ada yang nyeletuk, “Besok bawain, dong... tai kebo
keringnya, sepertinya enak?!” Berderai-derai tawa mereka
menyambut celetukan itu.
“Oh, tentu saja! Kulihat kemarin masih ada beberapa
potong di dapur,” sahutku.
43

Ha ha ha ha ha ha.... Sepertinya mereka hampir tak


bisa berhenti tertawa. Hmm, anak-anak baik. Aku suka
mereka semua.
Ketika aku kembali ke tempat duduk, teman
sebangkuku—seorang anak laki-laki berbodi gemuk yang
dipanggil Bonbon—menyalamiku.
“Selamat,” katanya. “Kau berhasil mengerjai Pak
Darto Jenggot. Mati kutu betul dia. Hebat, belum pernah
ada yang berani mengerjai Pak Darto Jenggot sebelumnya.
Anak Pak Camat aja tidak seberani kamu.”
“Terimakasih,” kataku sambil menyambut jabatan
tangannya. Pujiannya membuatku bangga. [ ]
44

Bab 6
Hidup Tidak Lengkap Tanpa
Si Bonbon dan Si Dudung

“B
aiklah, kita mulai pelajaran, keluarkan buku
kalian!” kata Pak Darto Jenggot.

KITA−MULAI−PELAJARAN, itu tiga kata yang


paling membosankan.
Bagian yang paling membosankan dari SEKOLAH
adalah JAM PELAJARAN. Itu semua anak sepakat, kecuali
gadis-gadis yang suka bertopang dagu menatap jenggot Pak
Darto, sambil melamunkan entah apa, mungkin mereka
menikmati saat-saat indah ketika Pak Darto Jenggot
membawakan pelajaran di depan kelas. Tapi aku tidak suka
menatap jenggot Pak Darto. Aku lebih suka tidur sepanjang
siang daripada mengikuti pelajaran. Semula kukira ini
karena bawaan kampretku sebagai binatang malam, tapi
ternyata anak-anak manusia asli pun tidak berbeda
denganku.
45

Aku pernah mewawancarai Si Bonbon, teman


sebangkuku.
“Bon, apa sih yang paling kamu suka dari sekolah?”
“Hari libur,” jawab Bonbon santai.
“Mmm... maksudku bukan ketika kita libur. Bukan
hari Minggu, bukan tanggal merah, bukan hari lebaran, tapi
ketika kita sedang masuk sekolah, apa yang paling kamu
suka?”
“Jam istirahat,” jawab Bonbon tanpa ragu.
“Mmm... iya sih, tapi maksudku ketika kita tidak
sedang istirahat. Ketika kita sedang di dalam kelas, apa yang
paling kamu suka?”
“Jam kosong,” jawab Bonbon mantap.
Aih, Bonbon, kau sama saja dengan kampret,
gerutuku dalam hati. Tentu saja ia tak mendengar
gerutuanku, itu off the record. Tapi gerutuan itu bukannya
tak beralasan. Bukan sekali dua kali kupergoki Bonbon
tertidur pulas sampai ngiler ketika guru sedang mengajar.
“Bon, kenapa sih kamu sering tidur pas jam
pelajaran?” tanyaku.
“Entahlah, On. Mungkin secara biologis jam tidurku
memang siang hari. Aku tak kuasa menolaknya, itu bukan
kemauanku sendiri. Malam hari aku kurang tidur.
Seringkali menjelang subuh aku baru tertidur, padahal
46

sekolah sialan ini membuatku harus bangun pagi-pagi untuk


berangkat sekolah.”
Hmm, mirip sekali denganku. Begitu jugalah yang
terjadi padaku. Sebagai siluman mantan binatang malam,
aku sulit menyesuaikan diri dengan irama kehidupan
manusia yang lebih banyak beraktivitas di siang hari. Atau
jangan-jangan... Si Bonbon ini juga sebangsa siluman, seperti
aku? Mungkin saja. Perlu kutanyai lagi dia untuk
memancing pengakuannya.
“Memangnya... malam hari kau tak bisa tidur kenapa,
Bon?”
“Begitulah, On, tak kusangka War of Thrones bisa
begitu merepotkan. Level empat dari Power of Riots bikin
urat syarafku serasa mau putus. Hampir kupenggal kepala
Prince of the Darkness kemarin, sayang keburu diselamatkan
anak buahnya. Assassins juga ternyata sangat menegangkan,
kemarin sempat kritis karena kehabisan amunisi. Belum lagi
The Cave of Tinja... mmm, aku baru masuk kemarin, tapi
sudah betul-betul menguji nyaliku, Bro!”
“Owh, seru sekali. Apa yang terjadi padamu, Bon?”
tukasku heran bercampur takjub. Sepertinya Bonbon
mengalami petualangan menegangkan setiap malam.
Semula kukira, kalaupun Bonbon itu siluman,
pastilah ia siluman babi. Melihat bodinya yang gemuk
47

bulat, hidungnya yang pesek berlubang besar, dan


aktivitasnya yang tak bergeser antara makan dan tidur, aku
yakin dia adalah siluman babi. Tapi sepertinya aku salah.
Mendengar pertarungan menegangkan yang dilakoninya
tiap malam, tak mungkin dia siluman babi. Siluman babi
tak punya kehidupan malam sedahsyat itu. Lebih tepatnya
Bonbon ini mungkin sebangsa vampire slayer, aku pernah
dengar tentang itu. Atau setidaknya penjelmaan bangsa elf—
siluman peri—yang selalu berperang melawan iblis.
“Itu game onlen, On. Aku main di warnet sebelah
rumah,” tukas Bonbon.
Oh, begitu.

***

Kurasa aku juga harus menceritakan padamu tentang


Si Dudung. Selain Bonbon, kawan karibku yang lain adalah
Dudung. Setiap anak di SMP pasti punya kawan-kawan
karib, begitu juga aku. Perkawanan karib biasanya
terbentuk dari kesamaan minat atau gaya bergaul, mungkin.
Tapi dalam hal perkawanan kami—Oon, Bonbon, dan
Dudung—mungkin lebih tepat alasannya adalah karena
kami sama-sama tidak punya kawan yang lain.
Berbeda dengan Bonbon, Dudung bertubuh ceking,
lebih tinggi dari kami berdua. Rambutnya keriting tapi
berantakan, dan ia malas potong rambut kecuali Pak Darto
48

Jenggot menjewernya kalau sudah keterlaluan


gondrongnya. Dudung adalah anak pintar, sejak SD ia
selalu menjadi juara kelas. Ia adalah sejenis murid yang
selalu paling dulu mengacungkan tangan bila ada guru yang
bertanya.
Dudung berbeda dengan Bonbon yang lebih suka hari
libur, jam istirahat, dan jam kosong. Dudung adalah sejenis
anak yang menikmati setiap detiknya di sekolah, bahkan
merindukannya. Seringkali satpam sekolah menjumpainya
muncul di depan pintu gerbang pada hari Minggu,
berseragam lengkap, juga membawa tas dan botol
minumnya.
“Mau apa kau ke sini, Dung?” tanya Pak Satpam,
selalu.
“Sekolah,” jawab Dudung, selalu juga.
“Tapi ini hari Minggu?”
“Ya, aku tahu.”
“Sekolah tutup pada hari Minggu, Dung.”
“YA, AKU TAHU!” sahut Dudung kesal, lalu
kembali pulang sambil bersungut-sungut.
Masalah bagi Dudung ialah (mungkin) ia terlalu
pintar. Terlalu pintar untuk bisa diterima oleh teman-
temannya. Ketika anak-anak lain sedang mengobrol tentang
pertandingan bola, ia menyela tentang aplikasi hukum
49

Newton pada gerakan bola. Ketika ada yang mengobrol


tentang boyband, ia membahas teori Darwin mengenai asal-
usul boyband. Dan kalau ada yang lagi asyik menggosipkan
cewek cakep, ia selalu muncul dengan rumus segitiga
Phytagoras, entah apa hubungannya.
Bagi kebanyakan anak di sekolah ini, Dudung dirasa
sangat membosankan. Jangankan berkawan, ketika ada
sekumpulan anak sedang mengobrol, kemudian Dudung
mendekatinya, mereka pun bubar. Hanya kami berdua—
aku dan Bonbon—yang bisa menerimanya. Mmm...
mungkin istilah yang tepat bukan menerimanya, melainkan
membiarkannya. Entah apapun yang dibicarakannya, kami
tak akan membubarkan diri.
Kami bisa asyik ngobrol bertiga. Bonbon asyik
menguraikan tentang War of Thrones level sepuluh dan
segala kerumitannya, dan pada saat yang sama Dudung
membahasnya berdasarkan teori relativitas Einstein,
sementara aku cukup puas mendengarkan, sambil sesekali
menimpali dengan pendapatku berdasarkan bisik-bisik
burung gagak. [ ]
50

Bab 7
Siapa Penemu Benua Amerika ?
Sumpah, Bukan Kami !

M
enakjubkan mengamati bagaimana manusia
menghabiskan umurnya. Kalau kampret meng-
habiskan umurnya dengan berdebat tentang
serangga dan warna langit, maka manusia menghabiskan
umurnya di sekolah. Bahkan sejak baru bisa berjalan,
mereka sudah harus masuk sekolah. Dan sekolahnya itu tak
kunjung usai, bertahun-tahun lamanya, hingga suatu hari
mereka tersadar, bahwa umurnya tinggal tersisa tak lama
lagi untuk melakukan sesuatu selain sekolah.
Mengapa manusia harus sekolah?
Kata Lik Blonthang, kalau kamu tak sekolah, maka
kamu tidak akan mendapat ijazah. Jika tak punya ijazah,
maka kamu tak bisa bekerja. Bila tak bekerja, maka kamu
tak mendapat upah. Tanpa upah, kamu tak punya uang
untuk membeli makanan, pakaian, dan tempat tinggal.
Tanpa makanan, pakaian, dan tempat tinggal, kamu tak bisa
hidup. Jadi kamu harus sekolah agar bisa tetap hidup.
51

Ngeri, ya?! Bagi kampret, untuk bisa terus hidup,


cukup keluar gua tiap malam, dan makan serangga yang
banyak berkeliaran. Tidak perlu ada yang mengupahmu,
dan sama sekali tak dibutuhkan ijazah. Simpel sekali. Tak
kusangka kehidupan manusia ternyata begitu rumit, dan
juga tak kalah membosankan.
Apa saja yang mereka lakukan selama di sekolah,
hingga menghabiskan separuh umurnya? Oh, ternyata
mereka belajar. Manusia harus mempelajari segala hal,
hingga betul-betul mabuk belajar. Mula-mula nenek-
moyang mereka membuat simbol-simbol, yang mereka
sebut huruf. Dan kemudian umat manusia terpaksa belajar
“membaca” huruf-huruf itu, karena yang tidak bisa
membaca akan disebut bodoh. Mereka belajar menghitung,
dan menciptakan berbagai rumus yang tak terbayangkan
apa saja gunanya. Mereka sibuk mendalami apa yang terjadi
pada hewan dan tanaman, padahal hewan dan tanaman
sendiri tidak pernah memikirkan tentang dirinya sendiri.
Yang aku heran, ketika orang-orang dewasa ditanyai
tentang soal-soal yang dipelajari anak SD dan SMP, hampir
tidak ada yang bisa menjawabnya. Mereka bilang, soal-soal
itu sudah tidak diperlukan lagi di kehidupan mereka
sekarang, maka mereka lupa. Lalu... untuk apa
menghabiskan separuh umur untuk mempelajarinya, kalau
52

kemudian tidak perlu dan dilupakan? Walau begitu, mereka


memaksa anak-anak mereka pergi ke sekolah, mempelajari
soal-soal yang sama, yang kelak mungkin juga akan mereka
lupakan.
Begitulah, menurutku manusia itu benar-benar aneh.
Aneh atau tidak, aku terlanjur jadi manusia. Maka
aku harus mengikuti keanehan ini. Berangkat ke sekolah
tiap hari. Berjuang untuk tidak tertidur selama jam
pelajaran berlangsung. Bolehlah tertidur sedikit-sedikit, asal
jangan mendengkur. Sengantuk apapun, aku masih bisa
menahan diri agar tidak mendengkur. Tapi ada anak yang
tidak bisa menahan diri agar tidak mendengkur, siapa lagi
kalau bukan... Bonbon.
Suatu hari, ketika Pak Darto Jenggot sedang
mengajar, aku tertidur. Sebenarnya aku sudah pesan pada
teman sebangkuku, Bonbon, agar membangunkan bila aku
tertidur. Tapi sialnya, Bonbon juga tertidur. Bukan itu saja,
ia juga mendengkur, makin lama makin keras.
KLOTHAK!!! Sesuatu mendarat di meja kami. Pasti
Pak Darto Jenggot melempar Bonbon yang sedang
mendengkur dengan penghapus papan tulis, tapi meleset.
Walau meleset, itu cukup membuat Bonbon tersentak
bangun. Aku juga.
53

“Bonbon!” bentak Pak Darto Jenggot. “Siapa yang


menemukan Benua Amerika?”
Bonbon pucat pasi. Gabungan antara kaget, bingung
karena terbangun mendadak, dan ketakutan terhadap
tuduhan Pak Darto Jenggot mengenai Benua Amerika.
“B... b... bukan saya, Pak!” jawab Bonbon gemetar
dan tergagap-gagap.
BRAKKK!!! Pak Darto Jenggot menggebrak meja.
Seisi kelas pucat ketakutan.
“Dan kamu... Oon! SIAPAAA?” hardik Pak Darto
Jenggot lagi, kali ini sambil melotot ke arahku.
“S... s... saya juga tidak menemukannya, Pak!”
jawabku tak kalah gagapnya dengan Bonbon.
Pikiranku berkecamuk penuh kabut. Kapan
hilangnya Benua Amerika, dan siapa pula yang begitu
teledor menghilangkannya, hingga tiba-tiba Pak Darto
Jenggot menuduh kami telah menemukannya.
BRAKKK!!! Pak Darto Jenggot menggebrak meja lagi.
“Dudung!” hardik Pak Darto Jenggot lagi.
“Bagaimana jawaban kedua temanmu itu? Haaah?!”
“Mmm...,” Dudung kelihatan berpikir. Ia juga pucat,
tapi tidak tampak sepanik kami. Ia tak pernah tertidur di
kelas, jadi pasti tahu apa yang dimaksud Pak Darto Jenggot.
54

“Saya pikir... jawaban Bonbon dan Oon benar, Pak,”


jawab Dudung mantap.
“APAAA??? KALIAN BERTIGA, KELUAAAR!!!”
Dengan wajah merah-padam, Dudung mengikuti
kami berdua ngacir keluar dari kelas. Masih untung cuma
diusir, tidak sampai kena cubit. Bonbon langsung berlari ke
arah kantin, dan kami pun mengikutinya. Bocah gendut itu
menggunakan kesempatan diusir dari kelas untuk melahap
semua jajanan yang masih tersisa di kantin. Walaupun ikut
nongkrong di kantin, tapi Dudung tak seperti Bonbon. Bagi
Dudung, yang selalu menikmati masa-masa indah di dalam
kelas, hukuman itu sangat melukai perasaannya.
“Aku tak mengerti apa maunya Pak Guru satu itu...,”
Dudung terus mengomel sambil bersungut-sungut,
sementara Bonbon asyik makan. “Memang ada kontroversi
siapa sebenarnya yang menemukan benua Amerika,
Christopher Columbus atau Amerigo Vespuci, tapi yang
jelas BUKAN BONBON DAN OON! Pak Darto kan
nanya, bagaimana jawaban Bonbon dan Oon tadi, jadi mesti
kujawab apa? Kan sudah benar Bonbon bilang bukan dia,
begitu juga Oon. Kalau aku menyalahkan Bonbon dan
Oon, sama juga dengan menyatakan Bonbon dan Oon-lah
penemu Benua Amerika. Nggak mungkin, kan?!”
55

Pikiranku sedikit demi sedikit mulai meraba-raba


mendengar gerutuan Dudung. Sepertinya ada seseorang
telah menemukan Benua Amerika di masa lalu, antara
Christopher Columbus atau Amerigo Vespuci. Tapi apa
pula pentingnya itu bagiku, dan untuk apa pula Pak Darto
Jenggot menanyakannya? Ini satu lagi yang tak kumengerti
dari manusia. Mereka suka mengurusi apa yang dilakukan
orang lain. Bahkan juga perbuatan orang yang sudah mati
berabad-abad yang lampau masih mereka permasalahkan
sampai sekarang.
Awalnya kami diam saja mendengar Dudung terus
menggerutu. Kami paham bahwa dia sangat terpukul
karena dikeluarkan dari kelas. Tapi lama-lama karena
kasihan, Bonbon berusaha menghiburnya.
“Sudahlah, Dung, tak perlu kaurisaukan. Kamu hanya
korban salah paham saja. Nasib kami lebih parah, difitnah
sekeji itu oleh Pak Darto Jenggot. Aku bahkan tidak tahu
kalau Benua Amerika sebesar itu bisa hilang. Kapan pula
hilangnya? Tahu-tahu sekarang Pak Darto Jenggot
menuduhku menemukannya. Ck ck ck, memangnya dia
punya bukti? Sembarangan saja menuduh orang....”
Dudung menutup muka dengan kedua tangannya.
Geleng-geleng.
56

“Tenanglah, akan kuurus perkara ini. Besok akan


kulaporkan Pak Darto Jenggot ke polisi dengan tuduhan
pencemaran nama baik,” lanjut Bonbon.
Dudung membenamkan mukanya ke dalam kaleng
kerupuk yang kosong. [ ]
57

Bab 8
Ada Masa-masa Menyenangkan
yang Disebut Puber

S
elain tentang pelajaran di sekolah, banyak hal baru
yang kupelajari dari manusia. Yang menarik,
ternyata mereka ada dua jenis, yaitu laki-laki dan
perempuan. Anak laki-laki pakai celana, dan anak
perempuan pakai rok.
Salah membedakan jenis kelamin bisa membuatmu
celaka. Anak yang pakai celana boleh kau ajak main kejar-
kejaran, boleh pula kamu berkelahi dengannya, karena dia
laki-laki. Tapi jangan coba-coba berkelahi dengan anak yang
pakai rok, kecuali kamu pakai rok juga. Itu anak
perempuan, jangan diganggu. Kalau sampai dia menangis
gara-gara kamu, bisa-bisa kamu dikeluarkan dari sekolah.
Serem, kan?!
Apa bedanya dengan kampret? Kampret juga ada laki-
laki dan perempuan... eh, maksudku jantan dan betina.
58

Nah, di sinilah uniknya manusia. Belakangan aku tahu


ternyata ada jenis ketiga, yaitu waria. Setahuku, tidak ada
kampret waria. Entahlah, aku juga heran mengapa suatu
hari—ketika lewat di depan Pasar Gerbol—kudengar
seorang laki-laki menukas dengan keras, “Kampret!
Ternyata dia waria!”
Aku ingin sekali bertanya dan melihat, kampret
mana yang disebutnya waria itu, tapi sayang waktunya
tidak tepat. Aku sedang terburu-buru ke sekolah, hampir
terlambat pula.
Sebagai anak laki-laki, aku biasa berkumpul dan
mengobrol dengan anak laki-laki, terutama Dudung dan
Bonbon. Dan ternyata, salah satu topik yang gemar
diobrolkan oleh anak laki-laki adalah... anak perempuan.
Katanya, ini karena pengaruh masa puber. Artinya, itu
masa ketika anak manusia mulai tertarik dengan lawan
jenisnya.
Ini menarik. Di kalangan kampret, kami tak pernah
membicarakan masa puber. Bahkan kami tak tahu bahwa
masa itu ada. Ternyata ini bagian yang mengasyikkan dari
kehidupan manusia. Masa Puber.
Aku pertama kali mendengarnya dari Dudung.
Dudung mengungkapkan istilah itu ketika kami hampir
bosan mendengar Bonbon tak henti-hentinya membicara-
59

kan tentang Joan, cewek kelas sebelah yang katanya mirip


dengan Antiqua, pendekar wanita dalam Power of Riots,
game kesukaannya.
Waktu itu hampir usai jam pelajaran olahraga, kami
beristirahat sambil nongkrong di pinggir lapangan voli,
menonton anak-anak lain yang masih bermain.
“Hormonmu pasti sedang meluap-luap, Bon! Kamu
sudah resmi terdaftar masuk masa puber,” timpal Dudung
menyela obrolan Bonbon yang bagaikan rangkaian kereta
api sedang langsir, tak kunjung putus sambung-
menyambung.
“Apaan tuh? Kapan daftarnya, Bon? Kok nggak
ngajak-ngajak?” tanyaku heran.
“Iiih, daftar apaan? Dudung nih, ngaco!” sahut
Bonbon.
“Masa puber.... Kalian nggak pernah dengar?” kata
Dudung heran.
Kami menggeleng.
Dudung tersenyum masam. Senyum aneh seperti itu
selalu muncul di wajahnya setiap kali ia menyadari bahwa
kami—aku dan Bonbon—adalah sepasang remaja yang tidak
tahu apa-apa.
“Masa puber itu adalah bagian dari masa remaja. Itu
saat ketika kalian mulai tertarik pada... anak perempuan.”
60

Dudung menyebut kata ―anak perempuan‖ dengan raut


muka seperti melihat ulat bulu. Bergidik geli.
“Apa kaubilang? Jadi kaupikir aku mulai tertarik pada
cewek-cewek?!” Bonbon cemberut, seolah tak rela dibilang
begitu.
Hm... ada pula istilah anak-anak manusia ini. Anak
perempuan disebut cewek, anak laki-laki disebut cowok. Ada-
ada saja. Kalau waria apa? Cowek, mungkin.
“Ya, Bon, itu merasukimu sedikit demi sedikit, tanpa
kausadari. Kau mulai suka memandangi cewek-cewek,
semakin sering membicarakannya, dan... lihat saja nanti,
kau akan mulai pasang aksi untuk menarik perhatian
mereka,” ujar Dudung menjelaskan dengan wajah serius.
Sangat serius.
“Pasang aksi? Sorry ya, nggak mungkin aku macam
itu!” sergah Bonbon.
Serombongan anak-anak perempuan lewat di depan
kami. Tiba-tiba Bonbon beranjak dari duduknya. Lekas ia
menyisir rambutnya dengan jari-jari tangan, lalu membuat
pose berdiri dengan kedua lengan bersilang di dada, kepala
sedikit dimiringkan, dan mata setengah menyipit. Itu pose
agen rahasia Gillian Hook dari sampul CD-game Assassins.
Aku terkejut. Apa yang membuat Bonbon tiba-tiba
berbuat begitu? Dudung tersenyum penuh arti, ia
61

mengedipkan matanya ke arah rombongan cewek-cewek


yang sedang lewat itu. Oh ya, aku mengerti. Ada Joan di
antara mereka. Cewek-cewek itu berjalan tanpa menoleh
sedikitpun ke arah kami, bahkan melirik pun tidak.
“Nah, kan?! Apa kataku, dia baru saja melakukan-
nya!” sentil Dudung.
“Melakukan apa? Aku tidak melakukan apa-apa!”
bantah Bonbon.
Aku dan Dudung tertawa terkekeh, dan Bonbon
menatap kami dengan mengernyitkan kening seperti
memandang orang tak waras.
“Apa pula yang kalian tertawakan?” gerutunya kesal.
Rombongan cewek-cewek dari kelas sebelah itu
datang ke lapangan untuk bermain bola voli. Ini memang
sudah waktunya jam pelajaran olahraga untuk kelas
mereka. Artinya jam pelajaran olahraga untuk kami pun
sudah berakhir, dan kami harus kembali ke kelas untuk
mengikuti pelajaran yang lain.
Tapi Bonbon kelihatannya tidak berminat untuk
kembali ke kelas. Ia justru ikut bergabung dengan anak-
anak dari kelas sebelah, bersorak-sorak di pinggir lapangan
menyemangati cewek-cewek yang sedang bermain voli itu.
Pantas saja, salah satu pemain voli itu adalah Joan, yang
62

ngetop di fesbuk dan twitter dengan sebutan ―Sabina


Altynbekova dari Geger Bolong‖.
Kami hanya bisa geleng-geleng kepala ketika
meninggalkan Bonbon berteriak-teriak sambil melompat-
lompat di pinggir lapangan. Suaranya sampai parau karena
berusaha kedengaran paling keras, mungkin agar Joan tahu
bahwa dia ada di situ. Bisa jadi Bonbon akan menerima
hukuman berdiri di depan kelas karena terlambat masuk,
tapi sepertinya itu tidak masalah baginya.
Hmm, jadi itu yang disebut puber?! Konyol, tapi
sepertinya asyik juga.
“Kauperhatikan, tidak?” tanya Dudung. “Bonbon
mulai tumbuh kumis. Tak bisa diingkari lagi, dia memang
sudah puber.”
Oh ya, kumis. Memang sempat kulihat sebaris kumis
tipis—tipis sekali—berbaris tak beraturan di wajah tembem
Si Bonbon. Reflek aku meraba wajahku sendiri. Penasaran,
apakah ada kumis tipis di sana, yang menandakan aku juga
sedang puber. Sepertinya tidak ada. Tapi rasanya kumis
semacam itu mulai tumbuh di hatiku. [ ]
63

Bab 9
Namanya Joyce

E
ntahlah dengan Si Dudung. Tidak ada tanda-tanda
masa puber merasuki dirinya. Tapi dia memang
berbeda dengan Si Bonbon. Mungkin otaknya
terbuat dari bahan yang berbeda. Tidak ada yang menarik
baginya selain sekolah, buku, dan pelajaran. Baginya, anak-
anak perempuan itu seperti ulat bulu. Menggelikan. Dan
bikin gatal. Maka ia enggan berdekat-dekat dengan mereka.
Alergi, katanya.
Sedangkan aku, mungkin lebih serupa dengan Bonbon
daripada Dudung. Maaf, maksudku bukan dalam hal fisik.
Aku memang sama cekingnya dengan Dudung, bahkan
lebih parah. Tapi dalam hal isi otak, aku ini sama dengan
Bonbon, bahkan lebih parah. Begitulah, termasuk dalam hal
puber-puberan ini, kurasa aku serupa dengan Bonbon.
Mendengar komentar-komentar Dudung tentang
Bonbon, lambat-laun kusadari bahwa diriku pun pada
akhirnya tertular penyakit anak manusia itu. Puber.
64

Ah, aku malu mengakuinya. Kuharap aku tak perlu


menceritakan ini padamu. Tapi bagaimana ya, ini adalah
bagian yang tak terpisahkan dari cerita ini. Aku terpaksa
menceritakan padamu tentang... hiks... anak perempuan.
Ehm, jangan menyebutnya keras-keras. Kubisikkan saja
padamu... sssttt, namanya Joyce.
Ada seorang anak perempuan di kelas sebelah.
Namanya Joyce. Ya, dia sekelas dengan Joan. Tapi... tidak,
dia tidak seperti Sabina Altynbekova. Dan dia tidak main
voli. Jangan dikira hanya Sabina Altynbekova yang bisa
memicu puber pada anak laki-laki. Apa yang terjadi pada
Bonbon berbeda denganku. Mungkin ini—seperti kata
Dudung—adalah sejenis puber juga, tapi dari aliran yang
berbeda.
Namanya Joyce. Dia gemuk, tinggi, dan besar. Yes!
Aku suka padanya! Kelihatannya dia hidup makmur, pasti
banyak serangga di rumahnya. Eh, maksudku... pasti
banyak makanan enak di rumahnya. Andai aku diajak ke
rumahnya—begitu anganku—mungkin aku boleh
mencicipinya barang sedikit.
Namanya Joyce. Ah ya, aku sudah memberitahumu
namanya. Baiklah, aku tidak akan mengulanginya. Tapi aku
suka mengucapkannya lagi, namanya Joyce. Pfftt... aku
bahkan tak bisa berhenti mengatakannya. Namanya Joyce.
65

Baiklah, apa yang hendak kuceritakan padamu


tentang cewek yang... namanya Joyce? Maaf, kenapa aku
mengulanginya lagi? Kamu sudah tahu kalau namanya
Joyce. Baiklah, aku tidak akan menyebutkan namanya lagi.
Kamu sudah tahu kalau namanya Joyce.
Hhhh... sebaiknya aku tidur dulu, mungkin nanti aku
bisa berhenti mengatakan namanya Joyce. Puber yang
menyebalkan!
Kututup dulu bab ini. Biarlah jadi bab terpendek
dalam buku ini. Nanti akan kulanjutkan lagi soal cewek
yang namanya Joyce itu kalau aku sudah agak sembuh. [ ]
66

Bonbon

Oon
Dudung
67

Bab 10
#MenarikPerhatianJoan Jadi
Trending Topic

P
ose Gillian Hook dari Assassins sudah terbukti tidak
ampuh untuk membuat Joan melirik padamu. Oke,
sepertinya Bonbon harus mencoba pose yang lain.
Oh, sudah. Hari ini dia bertengger di pintu perpustakaan
ala Rex Tyboom dari War of Thrones. Hasilnya? Bahkan Joan
mengiranya pengganjal pintu. Cewek itu lewat begitu saja.
Jangankan menyapa, melihat pun tidak.
“Menarik perhatian Joan” kini bisa dibilang menjadi
semacam obsesi bagi Bonbon. Ya, obsesi. Aku mengenal
kata itu dari Dudung. Menurutnya itu penyakit yang
sedang menjangkiti Bonbon sekarang. Obsesi untuk
menarik perhatian Joan. Kini obrolan tentang game terbaru
tidak lagi menjadi trending topic bagi kami bertiga. Ketika
jam istirahat tiba, topik perbincangan—yang tentu saja
ditentukan oleh Bonbon—lebih didominasi tentang Joan,
Joan, dan Joan.
68

“Ruang rapat” kami pun berpindah tempat. Tidak lagi


di sekitar kantin seperti favorit Bonbon biasanya,
melainkan di bawah pohon cerme di belakang WC sekolah.
Bonbon tidak mau diskusi serius kami tentang Joan
terdengar oleh cewek-cewek yang banyak berseliweran di
kantin pada jam istirahat.
Kami sudah membahas berbagai aspek yang terkait
bagaimana menarik perhatian Joan, agar cewek itu—paling
tidak—mengerlingkan mata ke arah kami, maksudku
Bonbon. Dari aspek paling mendasar, misalnya tentang asal-
usul Joan ditinjau dari Teori Darwin, sudah kami kuliti
selama berhari-hari. Kaitannya dengan Hukum Aksi-Reaksi
dari Newton juga sudah diperhitungkan dengan seksama.
Bahkan kini Dudung mulai mengarahkan pembahasan pada
segi Mekanika Kuantumnya. Mulai dari teori kuantum
lama seperti Max Planck, Niels Bohr, hingga Louis de
Broglie, sampai ke teori yang lebih modern tentang
Mekanika Gelombang dari Erwin Schrodinger, semua
dikupas mendalam.
“Kondisi ini tidak terlepas dari Postulat Bohr,”
ungkap Dudung dengan mimik serius. Sangat serius.
“Dalam Teori Atom Bohr, kita ini—aku, kamu, dan
Bonbon—adalah elektron-elektron yang mengelilingi inti
atom. Inti atomnya adalah... kau tahu, Joan, tentu saja.
69

Elektron dalam tiap orbit mempunyai energi tertentu yang


makin tinggi dengan makin besarnya lingkaran orbit.
Elektron bisa berpindah dari satu orbit ke orbit lain. Bila
elektron berpindah ke orbit yang mempunyai energi lebih
rendah, maka ia memancarkan energi radiasi yang akan
tampak sebagai spektrum garis yang besarnya sesuai
perbedaan energi antara kedua orbit. Semakin besar
spektrum garis itu, semakin besar pula efek energi
radiasinya untuk menarik perhatian inti atom, yaitu Joan.”
“Oooh, maksudmu... untuk mendapatkan energi yang
besar agar bisa menarik perhatian Joan, aku..., maksudku
elektron, harus berpindah ke orbit yang energinya jauh
lebih rendah?” komentar Bonbon serius.
“Haaa, iya! Kau mulai cerdas sekarang, Bon!” sambut
Dudung.
“Terus bagaimana cara kita berpindah orbit, Dung?”
“Mmm... itu masih sedang kupikirkan,” jawab
Dudung kemudian. “Cobalah pakai otakmu untuk berpikir,
jangan nanya aja!”
Hening. Setelah itu kami semua berpikir.

***

Bagian yang tak terpisahkan dari gejala pubertas ini


adalah berusaha menarik perhatian lawan jenismu.
Bagaimanapun caranya, bahkan yang paling konyol
70

sekalipun. Bonbon sudah mempraktekkan semua hasil


diskusi di bawah pohon cerme. Setelah semua gaya heroik
yang diadopsi dari karakter-karakter game-nya ternyata
tidak berguna, ia mencoba menampilkan gaya lain.
Gaya ―cowok melas‖ kadang-kadang berhasil pada
cewek-cewek tertentu. Bonbon sudah mencoba dengan
membalut kakinya serta dibubuhi setengah botol saos
tomat, lalu duduk bersimpuh pagi-pagi di dekat pintu
gerbang sekolah. Harapannya, ketika Joan datang dan
melihat keadaannya seperti itu, rasa kemanusiaannya akan
tersentuh, lalu bertanya, ―Apa yang terjadi padamu, Bon?‖
Tapi sial, Pak Satpam sudah memergokinya lebih dulu.
Bonbon diangkut dan diturunkan di depan pasar.
KALAU MAU MENGEMIS, JANGAN DI
LINGKUNGAN SEKOLAH. Itu memo dari kepala
sekolah untuknya.
Gaya ―cowok tajir‖ hampir selalu berhasil pada
kebanyakan cewek. Tapi bagaimana cara paling efektif
untuk menampilkan ketajiran, masih menjadi perdebatan
sengit di bawah pohon cerme. Memamerkan gadget terbaru
tidak efektif, karena Bonbon hampir tak pernah berdekatan
dengan Joan, jadi barang apapun yang dibawanya tidak
akan terlihat jelas oleh cewek itu. Mengirim banyak hadiah
untuk Joan bisa jadi cukup ampuh—kami siap jadi tukang
71

posnya, dengan sejumlah komisi tentunya—tapi setelah


Bonbon menghitung-hitung, ternyata itu akan banyak
menyita uang jajannya. Ia tak sanggup kelaparan karena
kekurangan uang jajan. Puber sih puber, tapi soal uang
makan jangan diutak-atik, begitu katanya. Huuu... dasar
pelit.
Bonbon berpikir harus memamerkan sesuatu yang
besar, agar Joan betul-betul melihatnya dan terkesan.
Akhirnya ia memilih untuk memamerkan mobil papanya.
Ya, Bonbon adalah anak seorang pengusaha, bisa dibilang
salah satu konglomerat lokal di Gerbol. Mobilnya banyak.
Tapi tentu saja Bonbon belum bisa mengemudi mobil
sendiri, ia belum punya SIM. Maka ia minta diantar sopir
papanya ke sekolah.
Bonbon tidak puas diantar sampai ke depan pintu
gerbang saja. Ia suruh mobilnya masuk ke halaman sekolah.
Seperti yang diharapkan, aksinya itu langsung menarik
perhatian semua orang. Mungkin Joan, seperti juga semua
orang di sekolah, menatapnya dengan terperangah. Penuh
percaya diri, Bonbon turun dari mobil dengan gaya
eksekutif muda paling tajir di republik ini.
Tapi... kenapa semua orang menatapnya sambil
menutup hidung, ya?
72

Oh, maaf, ada sedikit kecelakaan. Papa Bonbon tidak


mengijinkan mobil pribadinya dipakai, jadi Bonbon
terpaksa diantar dengan mobil perusahaan. Masalahnya,
mobil perusahaan itu baru digunakan untuk beroperasi, dan
kemudian ada kebocoran di bak penampungnya. Sialnya,
hasil tampungannya tumpah semua di halaman sekolah.
Masalahnya lagi, perusahaan Papa Bonbon adalah PT.
SEDOT WC.
Bau busuk menyeruak ke seluruh penjuru sekolah.
Bahkan menutup lubang hidung pun tak cukup, karena
baunya bisa menembus ke otakmu lewat lubang telinga dan
lubang-lubang lain, termasuk pori-pori kulit. Beberapa
orang—terutama cewek-cewek—muntah-muntah karena tak
tahan. Bahkan Joan sampai pingsan dan harus dijemput
ambulan dari Puskesmas Gerbol.
SEUMUR HIDUP, KAMU DILARANG
MEMBAWA MOBIL DALAM BENTUK APA PUN KE
SEKOLAH! Itu memo dari kepala sekolah untuk Bonbon.
Tapi paling tidak, untuk pertama kalinya dalam
sejarah, Bonbon berhasil membuat Joan melihat ke
arahnya. Walau hanya sekejap, sebelum pingsan.

***

“Bon, Bon, lihat ini buku yang kudapat!” teriak


Dudung bersemangat, suatu pagi ketika bertemu kami di
73

pintu gerbang sekolah. Ia melambai-lambaikan sebuah buku


yang tampak sudah kusut sekali.
“Apa itu?” tanya Bonbon.
“Sebuah buku yang akan menjawab masalahmu,” kata
Dudung sambil menunjukkan buku yang berjudul
BOEKOE PANDOEAN MENOEROENKAN BERAT
BADAN 10 KG DALAM SEMINGGOE.
“Maksudmu?”
“Kau tahu, kan? Joan adalah atlit voli. Cara terbaik
menarik perhatiannya adalah menjadi jagoan main voli
pula. Tapi hambatanmu adalah... tak masuk akal jadi atlit
voli kalau bodimu masih segembrot ini.”
“Emh, iya sih, tapi....”
“Sudah, nggak ada tapi-tapian, nanti kita baca waktu
jam istirahat pertama!” kata Dudung.
Itu buku yang didapat Dudung di toko buku loakan.
Anak itu sering pergi ke kota kabupaten yang jauhnya dua
belas kilometer dari Gerbol dengan mengayuh sepeda
mininya. Tempat tujuannya di sana adalah deretan kaki
lima yang menjual berbagai macam barang bekas, termasuk
buku. Membeli buku baru terlalu mahal bagi Dudung,
sedang semua buku di perpustakaan sekolah sudah habis
dibacanya, maka ia mengobati kehausannya akan bacaan
dengan buku-buku bekas yang dijual tukang loak.
74

BOEKOE PANDOEAN MENOEROENKAN


BERAT BADAN 10 KG DALAM SEMINGGOE itu
cetakan pertamanya tahun 1937 M. Bukan hanya kusut dan
kuning karena begitu lawasnya, tapi juga sudah bolong-
bolong dimakan ngengat. Tapi kejadulannya tak
mengurangi semangat Dudung membacanya di jam istirahat
pertama, ketika rapat terbaru di bawah pohon cerme
dimulai.
“Seminggu, Bon! Hanya seminggu... dan kau akan
mendapatkan penampilan yang kau idam-idamkan.
Bayangkan saat Joan melirik ke arahmu, aawwhhh...
Bonbon, kamu keren banget, deh!” seloroh Dudung ketika
melihat Bonbon cemberut dengan wajah ragu-ragu.
Bagian-bagian tentang gerak badan, pengaturan waktu
tidur, saat memotong rambut, dan lain-lain yang dibahas di
buku itu agak kurang jelas karena tintanya mulai kabur dan
banyak bolong dimakan ngengat. Bagian yang masih relatif
utuh adalah tentang pola makan, dan itu yang membuat
Bonbon cemberut. Sejauh berkaitan dengan mengurangi
makan, selalu menuai cemberut di wajah Bonbon.
Tapi akhirnya Dudung berhasil memaksa Bonbon
mengikuti idenya. Mungkin adanya buku referensi yang
jelas membuat Bonbon lebih percaya pada keilmiahan
omongan Dudung. Selain itu, segala usaha lain yang telah
75

dicobanya juga gagal total, jadi tak ada salahnya mencoba


ide-ide baru. Lagipula, cukup seminggu saja.
Setelah menilik berbagai-macam menu di buku itu—
yang kebanyakan saat ini sudah susah didapat bahannya—
akhirnya pilihan jatuh pada paket menu seminggu yang
paling mudah dipraktekkan. Makan pagi dengan seikat sawi
rebus, makan siang dengan sekantung kacang rebus, dan
makan malam cukup air yang direbus.
Bonbon bahkan sudah tampak hampir pingsan di hari
pertama mencoba menu itu, tapi karena Dudung terus
mengingatkannya akan kemungkinan mendapat lirikan
genit dari Joan, ia pun kembali bersemangat untuk
bertahan. Hari ketiga wajahnya tampak semakin pucat dan
memelas. Hari kelima Bonbon harus dipapah saat pulang
sekolah. Hari keenam ia tidak masuk sekolah.
Hari ketujuh, Bonbon tidak masuk lagi. Kami juga,
karena hari Minggu. Tak sabar ingin segera melihat
bagaimana hasil program itu pada Bonbon, kami
mengunjungi Bonbon di rumahnya.
Bonbon tergolek lesu di ranjang, wajahnya tampak
semakin memelas. Kalau melihat keadaannya seperti itu,
bahkan Joan pun akan menangis karena iba. Tapi Dudung
terlihat belum puas. Tujuan program ini bukan untuk
membuat Joan iba karena melihat Bonbon kelaparan, tapi
76

untuk membuat penampilan Bonbon menjadi gagah dan


atletis. Dan tampaknya itu tidak tercapai. Bonbon masih
segendut semula, bahkan ketika ditimbang berat badannya
naik tiga kilogram. Kalaupun ada yang berubah, hanya
kentutnya menjadi makin sering dan makin bau.
Sepertinya, itulah hasil reaksi antara sawi dengan kacang
rebus di dalam perut.
Dudung penasaran membolak-balikkan halaman buku
itu.
“Kenapa tidak berhasil?” gumamnya. “Ah, ya... buku
ini cetakan tahun 1937. Tampaknya ini hanya berhasil
untuk orang-orang sebelum Perang Kemerdekaan. Setelah
Indonesia Merdeka, struktur anatomi dan pola genetik
penduduknya berubah, sehingga resep yang sama tidak lagi
memberikan hasil seperti yang diharapkan.”
Begitulah, Dudung selalu bisa memberikan penjelasan
ilmiah untuk segala hal.
“Dengan resep ini, sepertinya waktu seminggu tidak
cukup untuk menurunkan berat badan. Kurasa, kita harus
memperpanjang programnya selama sebulan,” ujar Dudung.
PLOKK!!!
Bonbon melemparnya dengan sendal jepit. [ ]
77

Bab 11
Konsultan Cinta Gombal

“S
epertinya kita perlu menyewa konsultan,” kata
Dudung suatu hari ketika rapat di bawah pohon
cerme tak juga menunjukkan kemajuan berarti.

“Apa, Dung? Kon... sul... tan?” tukas Bonbon heran.


Dudung tersenyum masam. Betul, itu senyum aneh
yang selalu muncul setiap kali ia menyadari bahwa kami
tidak tahu apa-apa.
“Masa nggak pernah dengar, sih? Sekarang ini kan tiap
kali ada berita heboh di TV selalu muncul orang yang
namanya konsultan,” kata Dudung. “Konsultan itu orang
yang bisa kita tanya-tanya, dan selalu menjawab. Entah
benar apa ngawur, yang penting menjawab.”
“Oooh....”
“Dan itu ada jenis-jenisnya, Bon. Jangan asal nanya
pada sembarang konsultan. Konsultan masak beda sama
78

konsultan melukis. Kalau kamu tanya bahan untuk bikin


kue bolu pada konsultan melukis, nanti dijawabnya cat,
kuas, kanvas.... Berabe, kan?” lanjut Dudung.
“Oooh....”
“Nah, dalam kasus ini... maksudku urusan cewek ini,
kita perlu yang namanya konsultan cinta,” Dudung
menegaskan.
“Owh, emang ada ya, Dung?”
“Ya ada dong, Bon! Terlalu banyak, malah. Tapi kita
pilih aja yang gratis. Tuh di kelas senior ada cowok playboy
yang katanya sudah koleksi pacar sampai tiga puluh unit.
Satu bulan satu pacar, jadi ntar lulus SMP pas dapat tiga
puluh enam. Mau mecahin rekor katanya.”
“Hah?! Masa cewek direkorin? Kurang ajar!” sembur
Bonbon marah.
“Hus, nggak usah emosilah, Bon. Soal pacaran itu
urusan dia. Mau rekor kek, mau tekor kek, kita nggak ada
urusan. Yang penting, kalau kamu mau, dia bisa bagi ilmu
soal cewek. Mungkin banyak hal tentang cewek yang kita
belum tahu.”
“Oooh....”
“Tapi nggak mudah dapetin ilmu dari tuh playboy,
Bon. Kamu harus baik-baik sama dia. Kalau dia suka sama
kamu, baru dia mau bagi-bagi ilmunya.”
79

“Oooh....”
“Hus! Kamu ini aaah-oooh aja. Gimana, mau pakai
jasa konsultan, nggak?”
“Eh, iya Dung, mau, mau. Tapi beneran gratis, kan?”
“Yeeey, kau ini... gratis mulu. Gratis juga gak gratis-
gratis banget, Bon. Bawa kue, teh botol, atau apa kek... biar
dia mau ngobrol sama kita.”
“Owh, iya deh, tapi nggak usah banyak-banyak, ya.
Dan kalian jangan ikut nyicip-nyicip kuenya. Nanti urusan
belum selesai, kue dah habis duluan,” ancam Bonbon.
Huuu... dasar pelit.

***

Cowok keren itu dijuluki “Playboy Maut dari


Gerbol”. Aku nggak paham juga apa maksudnya playboy.
Katanya itu Bahasa Inggris. Kulihat di kamus, play artinya
main, dan boy artinya bocah laki-laki. Terus playboy?
Entahlah. Yang jelas dia suka mempermainkan hati cewek,
katanya. Aku baru tahu kalau cewek itu punya hati. Dan
juga baru tahu kalau hati bisa dipermainkan. Kukira cuma
bola saja yang bisa dipermainkan, seperti Sabina
Altynbekova mempermainkan bola voli.
Cowok yang katanya playboy ini, tampangnya beda-
beda tipis dengan bintang film Korea yang namanya Lee
Min Ho. Hanya dengan mengedipkan mata sebelah, cewek-
80

cewek yang dikedipinya langsung histeris. Setiap kali ia


duduk di pojok kantin sambil mengunyah donat kentang
dan sesekali menyibakkan poni dengan gayanya yang khas,
cewek-cewek berkerumun di pojok seberangnya, bertopang
dagu menatapnya sambil ngiler, tak lupa membawa tisu
untuk saling mengelap iler masing-masing. Aaah, dia
memang ganteng sekali.
Tapi bukan cuma itu yang membuatnya jadi playboy.
Ada semacam ―resep rahasia‖ yang hanya dibagikannya pada
orang tertentu. Banyak cowok yang antri minta jatah
waktu konsultasi dengannya. Beruntung kami berhasil
mendapatkan janji ketemuan, setelah Dudung menyuapnya
dengan mengerjakan pe-er Sang Playboy itu selama
seminggu.
Waktunya ditetapkan seusai jam sekolah, tempatnya
di kantin. Bonbon sempat bersitegang soal waktu dan
tempat itu. Seusai jam sekolah, berarti pas jam makan siang,
tempatnya di kantin pula. Secara tidak langsung itu
mengharuskannya menraktir makan Sang Konsultan Cinta
yang baik hati tersebut. Tapi akhirnya Bonbon menurut
juga, setelah Dudung menunjukkan daftar tarif konsultan-
konsultan lain yang malah akan lebih parah menyedot uang
jajannya. Itu pun setelah berkali-kali kami disumpah agar
tidak ikut-ikutan makan di kantin.
81

Cowok mirip Lee Min Ho itu tersenyum masam


ketika Dudung menjelaskan masalah yang sedang dihadapi
Bonbon. Aku heran, senyumnya serasa kukenal. Oh ya,
tentu saja, itu senyum yang sangat mirip dengan senyum
aneh Dudung setiap kali ia menyadari bahwa kami tidak
tahu apa-apa.
“Alaaa, mudahlah itu, Bon,” katanya sambil
mengibaskan tangan. “Cewek mah gampang, asal kau nggak
pelit ngasih gombal-gombalan sama dia, hmm... lengket deh
dia sama kamu.”
“Oooh, gitu ya?” komentar Bonbon sambil matanya
tak lepas menatap tangan Lee Min Ho yang mencomot dua
buah donat kentang sekaligus.
Perjanjian dengan Mbak Kantin, apa pun makanan
yang berpindah dari meja kantin ke dalam mulut siapa saja
pada sesi ini, Bonbon yang bayar.
“Ya, iyalah! Oon,” sahut Lee Min Ho sambil
mengangkat botol teh botolnya yang sudah kosong, tanda
minta diambilkan lagi.
“Maaf, Bang. Yang Oon itu saya, kalau temanku ini
namanya Bonbon,” selaku menjelaskan.
“Oh, ya? Tapi bagiku kalian kelihatan sama-sama
oon,” kilahnya.
82

“Sudahlah, On! Jangan ikut-ikutan ngomong,


merecoki aja!” tegur Dudung sambil memelototiku. Aku
pun terdiam.
“Mmm... begitu ya, Bang. Mudah kalau cuma begitu,”
komentar Bonbon sambil matanya melotot melihat
semangkok besar Nasi Soto Ayam Lamongan plus dua
potong empal daging besar-besar disuguhkan oleh Mbak
Kantin untuk Lee Min Ho. Itu adalah pesanan makan
siangnya. Cleguk!
“Di rumahku juga banyak gombal,” lanjut Bonbon
setelah berhasil menenangkan dirinya sejenak. “Ada gombal
lap keringat Cak Pri, sopir papaku. Ada gombal lap ingus
Yuk Parti, pembantu mamaku. Ada pula gombal lap anuku
sendiri. Kira-kira yang mana Bang, yang cocok dikasihkan
sama cewek?”
Kuamati wajah Bonbon ketika ia mengucapkan hal
itu. Sukar dilukiskan.
“Aiiih, Bon! Bukan gombal yang ituuu... dasar oon!”
sambar Lee Min Ho sambil tertawa terkekeh.
Aku bingung, mengapa dia menyebut Bonbon dan
juga Oon, padahal sudah kujelaskan tadi nama kami
masing-masing. Hampir aku membuka mulut hendak
memberitahunya lagi, tapi kuurungkan karena Dudung
melotot ke arahku, menyuruhku diam.
83

“Lho, terus gombal yang macam mana, Bang?” tanya


Bonbon dengan raut wajah semakin sulit dilukiskan.
“Males ah, ngajari cowok oon macam kamu,” kata
Lee Min Ho sambil geleng-geleng kepala, seperti orang
putus asa-asa. Tapi kemudian ia melihat mangkok besar
berisi Nasi Soto Ayam Lamongan plus dua potong empal
daging besar-besar di depannya, dan itu mungkin membuat
pikirannya kembali cerah.
Mulutku sudah gatal sekali untuk menjelaskan
padanya, siapa diantara kami yang bernama Bonbon dan
siapa yang Oon. Bukankah kami sangat berbeda, Bonbon
gendut dan aku ceking, bagaimana dia tak bisa
membedakannya? Tapi Dudung masih melotot
menyuruhku diam.
“Gombal itu kiasan, Bon. Maksudnya bukan itu,”
kata Lee Min Ho lebih tenang ketika ia berbicara sambil
menikmati Nasi Soto Ayam Lamongan plus dua potong
empal daging besar-besar pesanannya itu. “Itu hanya
serangkaian kata-kata untuk meruntuhkan hati cewek, biar
dia terkiwir-kiwir padamu.”
Bonbon tetap menatapnya dengan raut wajah yang
semakin sukar dilukiskan. Entah apa yang diperhatikannya,
kata-kata Si Playboy itu atau suap demi suap Nasi Soto
Ayam Lamongan plus dua potong empal daging besar-besar
84

yang berpindah dari mangkok besar itu ke dalam mulut Lee


Min Ho.
Baru kali ini aku mendengar ada orang mengatakan
bahwa hati itu bisa runtuh. Kupikir cuma tembok saja yang
bisa runtuh. Kemarin Joyce tak sengaja menyenggol
tembok WC sekolah, dan tembok itu langsung runtuh,
padahal Si Dudung sedang beol di dalamnya. Kata orang
bagian tembok yang itu memang sudah tua dan salah
konstruksi, tapi aku tak percaya. Aku yakin Joyce memang
punya kekuatan super, lihat saja bodinya bisa sampai segede
itu.... Lho, kenapa aku jadi melamunkan Joyce ya? Ah
sudahlah, lupakan.
“Ehm! Ehm! Sini, Bon, kukasih tahu...,” Lee Min Ho
memberi tanda agar Bonbon mendekatinya setelah
semangkok besar Nasi Soto Ayam Lamongan plus dua
potong empal daging besar-besar itu ludes tak bersisa,
berpindah ke dalam perutnya.
“Eh, iya, Bang!” sahut Bonbon dengan mata berbinar,
seperti pemancing yang sudah dua minggu tak dapat ikan
dan tiba-tiba melihat tali pancingnya meregang.
“Ini khusus untukmu. Rahasia menaklukkan hati
cewek tidak boleh dibeberkan pada sembarang orang, jadi
hanya akan kubisikkan padamu. Kukasih contoh ya,
misalnya begini... sss... sss....” Selanjutnya kami tidak
85

dengar lagi, karena percakapan mereka dilanjutkan dengan


berbisik-bisik. Tampaknya begitu serius—sangat-sangat
serius—sehingga Bonbon tidak melihat ketika kami
mengacungkan tangan ke arah Mbak Kantin, dengan
kedipan mata penuh arti.
Kami sudah tidak berada di sana ketika perdebatan
sengit antara Bonbon dan Mbak Kantin itu kemudian
terjadi. Tak bisa kuceritakan bagaimana raut wajah
Bonbon, apakah masih sukar dilukiskan atau tidak. Ia pasti
tak percaya ketika Mbak Kantin mengatakan, bahwa ada
tambahan DUA mangkok besar Nasi Soto Ayam
Lamongan plus dua potong empal daging besar-besar yang
harus dibayarnya.

***

Kami tak sabar menunggu di depan pintu ruang kelas


Joan. Bel jam istirahat sudah berbunyi, tapi dia tak kunjung
keluar. Entahlah, mungkin ada sesuatu yang masih harus
dikerjakannya. Padahal kami sudah tak sabar ingin melihat
bagaimana Bonbon mempraktekkan ilmu yang didapatnya
dari hasil konsultasi kemarin. Rayuan maut macam
manakah yang diwarisi Bonbon dari Lee Min Ho, Sang
Playboy Maut dari Gerbol itu?
Oh, itu dia. Yang kami tunggu-tunggu akhirnya
keluar juga dari ruang kelas bersama teman-temannya.
86

Dengan sigap Bonbon mencegatnya. Tak kusangka Bonbon


bisa tampil begitu percaya diri. Mungkin reputasi
“gurunya” yang telah mendunia itu membuat ia begitu
yakin dengan jurus maut yang akan dilancarkannya.
“Joan, bapakmu tukang sayur, ya?” tanya Bonbon
tiba-tiba. Tanpa basa-basi.
Bukan hanya kami yang kaget dengan pertanyaan
Bonbon. Bahkan Joan dan teman-temannya pun
terperangah. Joan menatapnya dengan wajah bersemu
merah. Oh, seperti itukah wajah seorang cewek bila tiba-
tiba terpikat rayuan maut seorang Bonbon? Aku tidak
mengira akan semudah itu. Mereka berdua saling beradu
pandang. Beberapa detik berlalu, dan.... PLAAKKK!!!
Joan menggampar wajah Bonbon dengan kekuatan
penuh, tak ubahnya dengan ketika ia menggampar bola voli
dengan pukulan smash-nya yang terkenal itu. Tubuh
tambun Bonbon langsung berputar seperti gasing akibat
kekuatan tamparan yang mahadahsyat. Ia pun terhuyung-
huyung, mungkin sudah roboh kalau kami tak buru-buru
memeganginya.
“Lho, kenapa, kenapa?” gumam Bonbon ketika
kepalanya masih bergoyang-goyang dan bola matanya
belum berhenti berputar.
87

Terpaksa anak itu kami selamatkan ke tempat biasa,


markas kami di bawah pohon cerme di belakang WC
sekolah. Perlu waktu agak lama juga menunggu bola
matanya berhenti berputar, hingga ia bisa duduk normal
lagi dan menjelaskan pada kami apa maksudnya ini.
“Kenapa kau bilang bapaknya tukang sayur, Bon?”
tanya Dudung.
“Mmm... harusnya bukan begitu. Joan yang salah.
Harusnya pertanyaanku ia jawab ―lho, kok tahu?‖ Seperti
itu, maka aku bisa menyahutnya dengan... karena kau telah
membelah-belah hatiku jadi kecil-kecil dan kau tusuk-tusuk
lalu kaupanggang di atas bara....” jawab Bonbon sambil
mengelus-elus pipinya yang masih membiru berstempel
tangan Joan.
“Kok gitu, Bon? Itu tukang sayur apa tukang sate?”
protes Dudung.
“Owh... entah ya, aku juga bingung. Harusnya
kubilang tukang sayur atau tukang sate, ya? Hhhh... ini
pasti gara-gara ribut sama Mbak Kantin, aku jadi lupa
semua.”
“Hmm... baiknya kita tanyakan pada Joan, mana yang
benar, tukang sayur atau tukang sate, jadi Bonbon bisa
minta maaf dan merevisinya nanti,” ujar Dudung.
88

“Begitu ya, Dung?” Hanya itu komentar Bonbon


dengan raut wajahnya yang sukar dilukiskan.
“Iya, mestinya rayuan gombal macam itu
dikoordinasikan dulu dengan pihak terkait, supaya tidak
menimbulkan kesalahpahaman macam begini. Kamu sih,
Bon, nggak tanya-tanya dulu sama aku,” gerutu Dudung.
“Cepat, On, pergi sana! Kamu tanya sama Joan!”
“Aku?”
“Iya, siapa lagi?! Cepat tanya sama Joan, bapaknya
tukang sayur atau tukang sate?” sentak Dudung padaku
dengan tak sabar.
Aku beringsut meninggalkan markas di bawah pohon
cerme itu dan pergi mencari Joan. Biasanya ia sering
berkumpul dengan teman-temannya, kalau tidak di sekitar
kantin ya di perpustakaan sekolah. Tapi bayangan Bonbon
yang berputar seperti gasing masih belum lepas dari
ingatanku. Rasanya aku tak punya nyali, bahkan untuk
sekadar menampilkan batang hidungku di hadapan cewek
pemain voli itu.
Akhirnya kuurungkan niat menemui Joan. Tak perlu
bertanya padanya, aku kan bisa bertanya pada temannya,
pikirku. Kebetulan kulihat salah seorang cewek yang tadi
berjalan bersama Joan berpapasan denganku, menuju WC
sekolah.
89

“Eh, sebentar... aku mau tanya, kenapa tadi Bonbon


digampar Joan, ya?” tanyaku pada cewek berkuncir itu.
Cewek itu kelihatan sedang menahan sesuatu di
perutnya. Ia memandangku dengan raut wajah yang sukar
dilukiskan.
“Ya iyalah, jelas aja. Tadi dia bilang bapaknya Joan
apaan?” katanya masih menyempatkan untuk menjawab
pertanyaanku.
“Mmm... tukang sayur,” jawabku ragu. “Terus
kenapa? Memang bapaknya Joan sebenarnya apa?”
“Ciiih, kamu nggak tahu ya... Papa Joan tuh Ketua
DPRD paling dihormati di sini!” sahutnya ketus.
“Oooh, begitu. Memang apa bedanya ketua DPRD
dengan tukang sayur?”
PLAAKKK!!!
Lhoh, kenapa aku digampar juga? Nasib. [ ]
90

Bab 12
Trio Kampret vs. Kambing Jantan

“A
ku harus mencari buku yang lain untuk
referensi,” keluh Dudung ketika rapat kami
yang terakhir di bawah pohon cerme
kembali mengalami kebuntuan.

“Ada nggak, buku yang bisa membuatmu jadi


pahlawan?” Bonbon menimpali.
“Apa maksudmu, Bon?”
“Maksudku... mmm... kamu sering lihat di filem-
filem, kan? Kalau cowoknya jadi pahlawan, tuh cewek-
cewek jadi pada perhatian.”
“Ooh, itu. Ya, aku mengerti, kamu ingin tampil jadi
pahlawan, begitu ya?!”
“Kira-kira begitu, Dung. Ada nggak?”
“Itu artinya kamu harus tampil mengalahkan sesuatu
atau menyelamatkan sesuatu, Bon. Apa kamu sanggup?”
“Bukan soal sanggup nggak sanggup, Dung. Cuma
kayaknya kota ini terlalu kecil dan membosankan. Tidak
91

ada sesuatupun yang bisa dikalahkan atau diselamatkan di


sini. Coba carikan buku panduannya, Dung. Siapa tahu bisa
kita praktekkan.”
Dudung mengangguk-angguk, sepertinya ia mulai
memikirkan sesuatu.
Tidak ada kejadian berarti hingga beberapa hari
kemudian, ketika Dudung datang ke sekolah sambil
membawa sebuah buku. Lagi-lagi, buku kuning kusut yang
sudah bolong-bolong dimakan ngengat. Kukira judulnya
BOEKOE PANDOEAN OENTOEK MENDJADI
PAHLAWAN, atau semacamnya, tapi ternyata bukan.
Bukunya lebih tebal dari yang dibawa Dudung
kemarin. Judulnya aneh, ANIMAL PHARMACOLOGY.
Entah apa artinya itu. Isi bukunya juga aneh. Aku bisa
membacanya, tapi tak mengerti maksudnya.
“Apa itu, Dung?” tanya Bonbon.
“Kalian tidak mengerti, kan? He he he... Ini Bahasa
Inggris, artinya ilmu pengobatan hewan,” jawab Dudung
dengan bangga. Di tangan satunya ia memegang Kamus
Bahasa Inggris 1.000.000 kata.
Baik aku maupun Bonbon mengernyitkan kening
karena tidak paham apa gunanya buku semacam itu bagi
kami. Bahkan aku, yang mantan hewan, tidak merasa
membutuhkan obat-obat hewan dari buku kumal semacam
92

itu. Dudung tersenyum menyeringai, bola matanya


melebar. Belum pernah aku melihatnya seperti itu.
Tampaknya ia mempunyai ide baru yang membuatnya
bersemangat. Suatu ide hebat, tapi sedikit “nakal”.
“Aku ada ide,” kata Dudung. Wajah Bonbon langsung
membias ketakutan. Beberapa kali ide Dudung telah
membuatnya merana. Kenangan terakhir—berputar seperti
gasing akibat gamparan Sabina Altynbekova—belum hilang
dari benaknya.
“Ide apa, Dung?” Aku yang menyahut, karena
Bonbon diam saja.
“Kita bisa jadi pahlawan. Tidak sulit ternyata,”
katanya.
“Apa iya, Dung? Bagaimana caranya?” Bonbon mulai
tertarik.
“Seperti kubilang kemarin, kita harus mengalahkan
sesuatu atau menyelamatkan sesuatu.”
“Owh, mengalahkan apa dan menyelamatkan siapa?”
tanyaku.
“Yaaa... misalnya, menyelamatkan semua orang dari
serangan kambing gila. Di buku ini ada cara ampuh
mengobati kambing gila,” kata Dudung sambil
menunjukkan satu halaman di bukunya yang ada gambar
kambing berliur dengan tatapan mata sangar.
93

“Maksudnya gimana sih, Dung? Aku belum


mengerti,” sela Bonbon dengan raut wajah yang sukar
dilukiskan. Wajahnya selalu seperti itu bila ia belum
mengerti.
“Begini.... Kalau kita menguasai ilmu pengobatan
hewan, kemudian bila suatu saat ada kambing gila
mengamuk di sini, dan semua orang ketakutan... tak ada
yang bisa menyelamatkan mereka selain kita. Karena hanya
kita yang tahu cara menundukkan kambing gila dan
mengembalikannya jadi normal.”
“Terus?”
“Ya, tentu saja kita akan jadi pahlawan, karena telah
menyelamatkan semua orang dari serangan kambing gila.
Hebat, kan?!”
“Oooh, iya, iya.” Bonbon mengangguk-angguk.
“Apakah pernah ada kambing gila mengamuk di sini,
Dung?” tanyaku.
“Tidak pernah.”
“Lantas bagaimana kita bisa menyelamatkan orang,
kalau kambing gilanya saja tidak pernah ada?” tanyaku lagi.
Kurasa aku sudah mulai pintar karena bisa memper-
tanyakan ide Dudung.
Dudung menatapku dengan pandangan seolah aku ini
makhluk yang paling patut dikasihani. Ia menggeleng-
94

gelengkan kepala, kemudian tersenyum masam. Itu senyum


yang sama setiap kali ia menyadari bahwa temannya tidak
tahu apa-apa.
“Buku ini juga menjelaskan bagaimana cara membuat
kambing menjadi gila,” katanya sambil menunjukkan
halaman yang lain.
Haik! Cerdas sekali.

***

Awalnya Bonbon menolak untuk mengambil peran


sebagai “pahlawan” dalam skenario yang disutradarai oleh
Dudung itu. Tapi Dudung bertekad akan tetap
melakukannya dengan atau tanpa Bonbon. Ia sendiri yang
akan tampil ke depan, menghadapi kambing gila itu dengan
gagah berani dan membuatnya bertekuk lutut. Bayangkan
bagaimana pandangan orang-orang—terutama cewek-cewek
di sekolah—setelah ia berhasil melakukan itu. Pasti tatapan
mereka akan berbinar-binar karena sangat terpesona.
“Ya sudah, biar aku saja yang menghadapi kambing-
nya,” sela Bonbon tiba-tiba ketika Dudung terus membual
tentang bagaimana tatapan mata cewek-cewek nanti kalau ia
berhasil dengan proyek “menjadi pahlawan” itu.
“Eh, serius kau, Bon?” ledek Dudung.
95

“Iya, kurasa aku lebih pantas jadi pahlawan dibanding


kau. Badanmu kurus ceking gitu, berkacamata pula, nggak
cocok!”
“Iya, deh. Paling tidak bodimu sama besar dengan
kambingnya. Sepadanlah.” Akhirnya Dudung (pura-pura)
mengalah.
Kambing yang kami pilih untuk eksperimen
spektakuler ini juga tidak main-main. Kami memilih
kambing jantan terbesar yang kami temui di lapangan
rumput sebelah sekolah. Bukan hanya badannya yang besar
seperti anak sapi, tapi juga tanduknya panjang, tampak
kokoh dan berwibawa. Sudah terbayang bagaimana
ngerinya teror yang ditebarkan kambing jantan ini kala ia
mengamuk di sekolah.
Teng! teng! Operasi dimulai begitu bel jam istirahat
pertama berbunyi. Kami menghambur keluar dan langsung
menuju ke belakang WC sekolah. Di situ ada bagian pagar
kawat berduri yang sudah jebol, cukup untuk meloloskan
aku dan Dudung keluar dari halaman sekolah. Bonbon
tidak bisa ikut keluar, bodinya terlalu besar, kalau dipaksa
bajunya pasti robek kena kawat berduri. Tapi tidak apa,
cukup kami berdua saja yang menyusup keluar. Bonbon
punya tugas lain.
96

Kambing yang kami incar masih ada di lapangan


rumput seperti kemarin. Pemiliknya berjualan es di depan
sekolah, jadi tak terlalu mengawasinya. Kambing itu diikat
pada pasak pendek yang ditancapkan ke tanah, mudah
sekali Dudung mencabutnya.
Dudung sudah menyiapkan ―ramuan‖ yang dibuatnya
berdasarkan resep yang dibacanya di buku ANIMAL
PHARMACOLOGY. Buku itu lumayan baru, kami lihat
cetakannya tahun 1980. Iya sih, tidak betul-betul baru,
namanya juga beli di tukang loak. Tapi paling tidak itu
ditulis sesudah Perang Kemerdekaan tahun 1945, jadi isinya
bisa diharapkan masih berlaku di zaman merdeka ini.
Dudung tidak mendapatkan bahan-bahan obat itu di apotik,
tapi ia menggantinya dengan bahan dasar yang serupa.
Setiap obat pasti bahan dasarnya dari tanaman atau bahan-
bahan yang ada di sekitar kita, begitu kata Dudung.
Ramuan itu dibuatnya dalam bentuk cairan, dimasukkan
dalam botol bekas kecap.
Kami mengumpulkan rumput sebanyak dan secepat
kami bisa, lalu dibasahi dengan ramuan Dudung. Rumput
basah itu lalu diberikan pada kambing yang kami incar.
Wah, ia memakannya dengan lahap sekali. Sisa ramuan
dipercikkan di tanah dan rerumputan, membentuk jalur
97

antara tempat kambing itu berada hingga ke pagar sekolah


yang jebol.
Ketika kami kembali, Bonbon sudah menyelesaikan
tugasnya memperlebar lubang di pagar kawat berduri itu
dengan tang, sehingga muat untuk dilalui seekor kambing.
Sempurna sudah. Bel tanda habisnya jam istirahat berbunyi.
Kami kembali masuk ke kelas tanpa terlambat. Operasi
berhasil dilaksanakan dalam waktu lima belas menit. Tak
lebih, tak kurang. Bonbon bilang, kami pasti berbakat
menjadi anggota pasukan komando, seperti dalam The
Power of Riots.

***

Hampir lewat dua jam pelajaran. Kami gelisah


menunggu. Apa yang akan terjadi dengan kambing itu?
Dudung bilang bahwa efek ramuan itu akan muncul paling
lama setengah jam setelah kambing itu memakannya. Ini
sudah lewat. Tapi kami belum mendengar apa-apa.
Sudahkah kambing itu menerobos pagar belakang sekolah?
Jangan-jangan ia membikin keributan di tempat lain... atau,
apakah ramuan Dudung itu tidak berefek apa-apa sama
sekali?
Apa pun yang terjadi, kami baru akan mengetahuinya
pada jam istirahat kedua nanti, ketika kami berkesempatan
untuk menjenguk kambing itu lagi.
98

Teng! teng! Bel jam istirahat kedua berbunyi.


Kami sudah tak sabar hendak lari keluar kelas. Tapi
Pak Darto Jenggot seolah tidak mendengar bunyi bel,
beliau terus saja menjelaskan tentang badan-badan
pemerintahan dan fungsinya masing-masing pada murid-
murid perempuan yang tak henti-hentinya bertanya.
HUUAAAAA!!!!
Sepertinya ada suara keributan di luar kelas,
kedengarannya dari halaman belakang sekolah. Seisi kelas
terkejut. Termasuk Pak Darto Jenggot pun terdiam. Detik
berikutnya, seisi kelas berebutan keluar semua, tentu
karena ingin tahu apa yang terjadi. Kami bertiga saling
berpandangan, sama-sama tahu apa yang ada dalam pikiran
masing-masing. Ternyata ramuan Dudung bereaksi seperti
yang direncanakan. Kambing gila itu sudah datang. Saatnya
untuk beraksi!
“Bersiaplah, Bon!” kata Dudung.
Bonbon mengangguk. Ia kelihatan tenang sekali.
Dikeluarkannya bekas botol parfum dari dalam sakunya.
Botol itu berisi ramuan yang dibuat Dudung, ramuan untuk
menjinakkan kambing gila, resepnya ada di buku ANIMAL
PHARMACOLOGY. Bonbon menyiapkan selembar sapu
tangan, dibasahinya dengan ramuan Dudung dari botol
parfum itu. Ia betul-betul sangat tenang, gayanya seperti
99

Gillian Hook dari Assassins ketika mengokang senjatanya


sebelum memasuki area pertarungan.
“Ayo kita lakukan,” ajakku tak sabar.
“Hati-hati, Bon. Jangan lupa berdoa.” Dudung
menasehati.
“Baiklah, Kawan. Kalau nanti aku tidak kembali,
jangan kalian menangis. Sampaikan saja surat ini pada
ibuku. Aku titip pesan, poster-poster War of Thrones,
Assassins, dan Power of Riots yang kutempel di dinding,
boleh dikirimkan pada Joan, mungkin dia ingin
mengenangku seumur hidupnya.”
Bonbon menyerahkan surat wasiatnya pada Dudung.
Dudung tak bisa menahan deraian air mata ketika
menerimanya. Mereka berpelukan. Mengharukan sekali.
Bonbon juga memelukku.
“Sudahlah, Oon, jangan menangis. Ingat pesanku ya,
berhentilah mengaku jadi siluman. Dulu memang lucu, tapi
sekarang tidak lagi. Kami sudah bosan. Kembalilah hidup
yang normal.” Pesan Bonbon terasa dalaaam sekali di
hatiku. Rasanya mak jleebbb... banget.
“Mari kita keluar,” ujar Bonbon akhirnya. “Biarkan
monster itu mengenal siapa yang disebut... Bonbon The
Assassin!”
Suasana sedang betul-betul gaduh di luar.
100

Kegaduhan bermula ketika Lee Min Ho—yang sudah


menahan hajat selama jam pelajaran berlangsung—lari
keluar begitu bel istirahat berbunyi. Ia langsung masuk ke
dalam WC, yang sebagian temboknya jebol bekas disenggol
Joyce dan belum diperbaiki, hanya ditutup dengan
potongan papan seadanya. Entah mungkin karena bau
semerbak dari dalam WC itu mengusik selera makannya,
tiba-tiba muncul seekor kambing jantan besar melabrak
papan penutup WC itu hingga jebol.
Kaget dan ketakutan, Lee Min Ho berlari keluar.
Tentu saja, ia tidak sempat cebok dulu. Bahkan celananya
pun tidak sempat ia bawa. Ini kesalahan fatal. Bau
pengunjung WC yang tidak cebok itulah yang membuat si
kambing jantan semakin gila. Monster kambing itu
mengejar Lee Min Ho dengan suara auman yang
mengerikan. MBEEEEK!!!
Lee Min Ho berlari ketakutan sambil berteriak-teriak
panik. Cewek-cewek yang baru keluar pada jam istirahat itu
pun kontan histeris. Iya, cewek mana yang tahan melihat
Lee Min Ho berlari sepanjang beranda sekolah tanpa
sempat cebok. Ada yang pingsan, bahkan ada yang langsung
kesurupan saking histerisnya.
MBEEEEK!!!
101

Kemanapun Lee Min Ho berlari, kambing itu terus


mengejarnya. Lee Min Ho masuk ke dalam kelas, kambing
itu pun menyusul ke dalam kelas, hingga berantakan seisi
kelas. Lee Min Ho masuk ke dalam kantin, berantakan
pulalah seisi kantin. Lee Min Ho mencoba lari ke dalam
ruang kepala sekolah, dikiranya kambing itu akan takut
masuk ke sana. Tapi kambing yang tak pernah mengecap
pendidikan di bangku sekolah itu tidak takut pada kepala
sekolah. Bahkan Bapak Kepala Sekolah pun pontang-
panting karena si kambing mengobrak-abrik ruang
kerjanya.
MBEEEEK!!!
Pak Satpam datang tergopoh-gopoh hendak
menangkap si kambing. Tapi kambing itu pun tidak takut
pada Pak Satpam, walaupun Pak Satpam berseragam
lengkap, pakai sepatu boot, bawa pentungan, dan meniup
sempritan. Alih-alih menangkap, jadinya malah Pak Satpam
yang terbirit-birit dikejar kambing. Tapi paling tidak, Pak
Satpam berhasil mengalihkan perhatian si kambing dari Lee
Min Ho.
“STOOOP!!!” teriak Bonbon sambil menghadang
kambing jantan yang sedang mengejar Pak Satpam. Suara
Bonbon yang membahana membuat kambing itu
102

terhenyak. Ia berhenti dan terdiam seketika, sementara Pak


Satpam terus berlari terbirit-birit masuk ke dalam posnya.
“Hai, Kambing! Hadapi aku, Bonbon The Assassin!”
seru Bonbon tegas. “Jangan beraninya sama anak ingusan.
Kurang ajar kau! Sini lawan aku, kalau kau benar-benar
jantan!”
Kambing itu berdiri tegak menatap Si Bonbon,
pandangan matanya liar dan buas. Air liurnya menetes-
netes, dan giginya gemeretuk menahan geram. Mereka
berdiri berhadap-hadapan di tengah halaman sekolah,
dengan sikap waspada siap bertarung. Seluruh penghuni
sekolah menyaksikannya. Bapak-ibu guru, Bapak Kepala
Sekolah, Mbak Kantin, dan murid-murid, semuanya
menatap ke arah Bonbon. Tak terkecuali semua cewek-
cewek itu, tentu saja.
Suasananya sangat menegangkan.
“Bonbon... hati-hatiii!!!” Tiba-tiba seorang anak
perempuan berteriak lantang.
Aku hampir tak percaya dengan pendengaranku
sendiri. Itu suara Joan. Betul, Joan yang meneriakkannya.
Aku melihat Sabina Altynbekova dari Gerbol itu berdiri
mematung di antara kawan-kawannya. Mukanya pucat,
tampak sangat khawatir dengan keselamatan Bonbon.
103

Aduuuh, hampir tak terbayangkan olehku bagaimana


perasaan Bonbon saat ini.
“Iya, Booon, hati-hatiii....” Ada suara lain menimpali.
“Awas, Booon, dia galak sekali...” Semakin banyak
yang meneriaki Bonbon.
Teriakan Joan disusul teriakan-teriakan lain bersahut-
sahutan. Murid-murid maupun para guru ramai meneriaki
Bonbon agar menyingkir dari tempat itu. Pak Kepala
Sekolah tampak gusar, ia berteriak-teriak sambil melambai-
lambaikan tangan agar Bonbon menjauhi kambing itu. Tapi
Bonbon bergeming.
Kambing itu bergerak mundur beberapa langkah
seraya merendahkan kepala, menunjukkan tanduknya yang
kokoh. Itu tanda bahwa ia akan segera menyerang. Jeritan
cewek-cewek semakin ribut. Bonbon tetap tenang.
Saputangan yang sudah dibasahi ramuan Dudung itu
tergenggam erat di tangan kanannya.
MBEEEEK!!! Si kambing mengaum.
“HWAAAAAA!!!” sambut Bonbon.
Kambing itu maju menyerang. Bonbon mengangkat
tangannya dengan tenang. Begitu kambing itu berada cukup
dekat, Bonbon langsung membekap mulutnya dengan sapu
tangan yang sudah dibasahi ramuan Dudung. Kambing itu
langsung gelagapan. Bonbon mencengkeram leher kambing
104

dengan lengannya yang gemuk. Terhuyung-huyung,


akhirnya si kambing roboh ditimpa tubuh tambun Bonbon.
Murid-murid bersorak.
Terjadi pergulatan seru. Bonbon dan kambing
berguling-guling di atas tanah. Sapu tangan berisi ramuan
itu tetap dipertahankannya membekap hidung dan mulut
kambing. Cukup lama pergulatan itu, pasti sudah banyak
ramuan Dudung yang terhirup oleh si kambing. Tapi tak
kelihatan tanda-tanda kambing itu akan melemah. Ia tetap
meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari bekapan
Bonbon. Hingga akhirnya Bonbon pun kecapekan. Mulut
si kambing terlepas dari bekapannya, dan sapu tangan itu
pun terbang entah kemana.
MBEEEEK!!!!
Kambing itu kembali berdiri tegak. Masih segar-bugar
seperti tadi. Bahkan kini tatapan matanya makin galak dan
dipenuhi amarah yang menyala-nyala. Bonbon malah
tergeletak loyo. Nafasnya kembang-kempis. Raut wajahnya
sukar dilukiskan. Mungkin ia kebingungan melihat
kambing gila itu. Kenapa tidak berjalan sesuai rencana?
Sorak-sorai terhenti seketika. Semua mata
memandang tegang ke arah Bonbon.
“Dung....” Aku hendak bertanya pada Dudung.
105

“Hus, diam! Aku sedang berpikir!” sahut Dudung


ketus. Kulihat raut wajahnya juga sukar dilukiskan, hal
yang tak pernah terjadi pada Dudung sebelumnya.
MBEEEEK!!!!
Kambing itu bergerak menyerang lagi,
menyerudukkan tanduknya dengan buas ke arah Bonbon.
Merasa nyawanya terancam, Bonbon meloncat bangun dan
lari lintang-pukang. Belum pernah kulihat Bonbon berlari
sekencang itu. Bahkan saat pelajaran olahraga pun tidak.
Biasanya ia selalu punya alasan untuk menghindari
keharusan berlari saat olahraga.
Mereka berlari kejar-kejaran memutari halaman
sekolah. Bonbon berkali-kali berteriak memanggil nama
Dudung. Bagaimanapun, kecepatan larinya masih kalah
dengan kambing jantan itu. Setiap kali kambing itu berhasil
menyusulnya, pantatnya langsung kena tanduk.
POOKK!!! AAAAA!!! MBEEEEK!!!!
“Aduh! Ampun, Kambing, ampuuun!” teriak Bonbon
sambil berlari memegangi pantatnya. “Duuung, gimana ini,
Duuung!”
Dudung sibuk membolak-balik buku ANIMAL
PHARMACOLOGY itu dengan muka pucat. Mulutnya
komat-kamit, tak jelas apa yang dibacanya. Jelas sekali ia
sedang kebingungan.
106

“Apa ada yang salah dengan resepmu, Dung?”


tanyaku.
“Harusnya tidak,” jawabnya sambil geleng-geleng
kepala, seperti kehabisan akal. “Tapi aku tak tahu dengan
botol yang dibawa Bonbon. Itu botol parfum. Kalau botol
itu tak dicuci bersih-bersih sebelumnya, kemungkinan
ramuannya bercampur dengan parfum, dan efeknya bisa
berubah.”
“Aduh, gawat... dan botol kecap yang kau pakai
untuk wadah ramuan tadi, sudahkah kau cuci dulu, Dung?”
Dudung menggeleng.
“Haahh?! Terus apa akibatnya kalau ramuanmu tadi
bercampur dengan bekas kecap?” jeritku tertahan. Ini pasti
jadi malapetaka, pikirku.
“Aku tak tahu! Mungkin hanya jadi lebih enak, tapi...
entahlah.”
Kurebut buku ANIMAL PHARMACOLOGY yang
sedang dipegang Dudung. Bukan hendak membacanya,
karena aku tak pandai Bahasa Inggris, tapi hanya ingin
memastikan tahun berapa buku itu dicetak. Memang ada
tertulis © 1980 di halaman depan. Tapi setelah kuperhatikan
dengan seksama, kemungkinan pernah ada semacam tahi
cicak jatuh di atas lembaran buku yang ada tahunnya itu,
107

jadi... angka 8 di tulisan 1980 itu bisa jadi sebenarnya adalah


angka 0. Jadi ini buku cetakan tahun 1900.
“Aduh, gawat, Dung. Sepertinya ini buku cetakan
tahun 1900, bukan 1980. Jadi resep-resep di buku ini
mungkin hanya berlaku untuk kambing dari abad ke-18.
Sekarang sudah abad 21, jadi kambing-kambing sudah
berubah struktur anatomi dan pola genetiknya. Pantas
ramuanmu tidak mempan untuk kambing itu.”
Owh... aku rasanya puas sekali bisa mengucapkan
sesuatu yang ilmiah seperti Dudung. Aku sudah tambah
pintar sekarang, ya? Dudung bermuka masam ketika
kukembalikan buku itu padanya. Ia langsung
melemparkannya ke tempat sampah.
Bonbon masih berlari dikejar-kejar kambing. Berkali-
kali pula kambing itu berhasil menanduk pantatnya yang
montok.
MBEEEEK!!! POOKK!!! AAAAA!!!
MBEEEEK!!! POOKK!!! AAAAA!!!
“Dung, masih kausimpan surat wasiat Bonbon tadi?”
tanyaku.
“Ya, kenapa?”
“Sepertinya Bonbon betul-betul tidak akan kembali.
Jangan lupa memberikan surat wasiat itu pada mamanya,
juga pesannya soal poster-poster itu.”
108

“Iya, aku tahu,” kata Dudung sambil cemberut. Raut


wajahnya sukar dilukiskan.

***

Bab ini betul-betul berakhir memalukan.


Bonbon tercebur ke dalam got di depan sekolah,
setelah mati-matian berusaha menghindari tandukan
kambing pada pantatnya. Got itu hampir selalu mampet,
dan airnya menghitam bercampur lumpur kental serta
sampah-sampah yang dibuang sembarangan di situ. Ketika
Bonbon akhirnya dikeluarkan dari got, seluruh tubuhnya
menghitam terbalut lumpur kental, persis seperti boneka
dicelup dalam adukan aspal. Hanya warna putih matanya
yang berkedip-kedip menunjukkan ia masih sadar.
Dengan hapenya masing-masing, cewek-cewek
berebutan memotret Bonbon saat diangkat dari got. Satu
jam kemudian, foto-foto “Bonbon Si Hantu Got” itu sudah
tersebar luas di dunia maya.
Pak Kumis yang jualan es di depan sekolah terkaget-
kaget karena kambingnya menimbulkan keributan luar-
biasa di sekolah. Rupanya kambing itu takut melihat Pak
Kumis, juragannya, dan lekas tenang kembali setelah diberi
minum semangkok es dawet.
Semula orang menuduh Pak Kumis yang lalai
mengikat kambingnya. Tapi Pak Kumis yakin telah
109

mengikat kambingnya dengan baik. Ia justru bersikeras


bahwa pasti ada seseorang yang meracuni kambingnya
dengan kecubung, sehingga menjadi gila begitu rupa.
Penyelidikan oleh komite sekolah menemukan pagar
belakang yang jebol, serta saksi mata yang melihat dua
orang anak berseragam SMP Taman Bunga sedang memberi
makan kambing di lapangan rumput pada jam sekolah.
Saat itulah sepatu kami yang kotor penuh rumput
“berbicara”. Bodoh memang, kami lupa menghilangkan
barang bukti. Komite langsung menetapkan kami sebagai
tersangka, dan kami pun tanpa berbelit-belit mengakui
perbuatan konyol itu. Hukumannya lumayan, seminggu
penuh mengikuti pelajaran dari pagi sampai siang sambil
berdiri tegak. Bangku kami disita. Dan tidak ada jam
istirahat.
Itu hukuman di dalam kelas. Di luar kelas, ada
hukuman lain yang tak resmi, yaitu mengerjakan pe-er Lee
Min Ho selama sebulan penuh. Lumayan juga.
Pak Darto Jenggot sempat mondar-mandir di depan
kami selama interogasi yang membosankan itu. Ia tak
percaya bahwa hanya kami berdua biang keroknya. Pasti
Bonbon juga terlibat, tuduhnya. Tapi kami tetap tutup
mulut soal itu. Lagipula Bonbon telah menjalani
hukumannya sendiri. Seminggu penuh ia tidak bisa masuk
110

sekolah. Ia tidak bisa memakai celana hingga pantatnya


yang bengkak membiru itu sembuh.
“Kalian bertiga ini memang kampret semua! Tak
habis-habisnya bikin ulah. Kamu Oon, berhentilah
mengaku jadi siluman kampret. Nggak lucu lagi, tahu?!
Kamu Dudung, gunakan otakmu untuk hal yang
bermanfaat. Kamu Bonbon, cobalah hidup normal barang
sehariii... saja, bisa nggak, sih?!” Pak Darto Jenggot tak
capek-capeknya mengomeli kami bertiga. Ya, kami bertiga,
padahal saat itu Bonbon tidak ada, karena sedang digotong
ke Puskesmas.
Sudah jadi rahasia umum, bahwa insiden ―kambing
gila‖ itu akibat ulah kami bertiga, yang kemudian mendapat
julukan populer TRIO KAMPRET. Terimakasih Pak
Darto Jenggot, yang telah mempopulerkan nama itu. Tapi
resminya hanya aku dan Dudung yang dijatuhi hukuman,
sementara Bonbon kami biarkan tetap ―bersih‖.
Akhir minggu, kami mengunjungi Bonbon di
rumahnya. Dia masih berbaring tertelungkup di ranjang.
Pantatnya sudah agak berkurang memar-memarnya, dan
tak terlalu bengkak lagi, tapi ia masih membiarkannya
terbuka dikipasi dengan kipas angin listrik. Belum berani
pakai celana, masih agak perih katanya.
111

Di meja sebelah ranjang Bonbon teronggok seikat


bunga mawar, disertai kartu ucapan berwarna pink yang
harum baunya.

Cepat sembuh ya.


♣ Joan ♣

Itu saja ucapannya.


Bonbon tak pernah membicarakan soal bunga mawar
yang ada di kamarnya itu. Menyebutnya sepintas pun tidak.
Dan kami juga tak pernah bertanya. [ ]
112

Bab 13
Superhero Buat Joyce

M
asa puber bisa membuat seorang anak
manusia melakukan hal-hal konyol. Itu
pelajaran yang kudapat dari Bonbon.
Walaupun konyol, aku mengagumi kegigihannya, walau
hanya sekadar untuk mendapat kerlingan mata dari Joan.
Masa puber bisa membuat seorang anak manusia
melakukan hal-hal konyol. Itu pelajaran yang kudapat dari
Bonbon. Walaupun konyol, aku mengagumi kegigihannya,
walau hanya sekadar untuk mendapat kerlingan mata dari
Joan.
Sekarang kita bicara lagi tentang Joyce. Kamu masih
ingat, aku pernah cerita tentang anak perempuan yang
namanya Joyce? Ya, betul. Dia gemuk, tinggi, dan besar.
Lebih besar dari Bonbon malah. Selera makannya pun satu
level di atas Bonbon. Sekali duduk di kantin, satu ember
donat kentang bisa habis oleh dia sendiri. Tentu saja, dia
langganan kesayangan Mbak Kantin.
113

Menurutku dia wanita yang istimewa. Kuat.


Berkarakter. Punya prinsip. Tidak suka ikut-ikutan. Ketika
cewek-cewek di sekitarnya menjerit histeris karena Lee Min
Ho lewat sambil mengedipkan mata, ia justru cuek sambil
mengunyah donat kentangnya. Ia selalu fokus pada kegiatan
apapun yang sedang ditekuni. Bila sedang fokus
menghabiskan semangkok besar Nasi Soto Ayam
Lamongan plus dua potong empal daging besar-besar yang
disajikan Mbak Kantin, ia tak bisa diganggu, bahkan boleh
dikata terasing dari dunia sekitarnya. Kadang begitu
fokusnya, hingga ia harus ditegur oleh Mbak Kantin,
karena mulai mengunyah mangkoknya sekalian.
Tapi aku tak sekonyol Bonbon yang melakukan apa
saja demi menarik perhatian Joan. Aku cukup puas
memandang Joyce dari kejauhan. Terutama ketika dia
sedang mengunyah-ngunyah dengan tekunnya, sungguh
suatu pemandangan indah bagiku. Tapi ketika aku berada di
dekatnya, justru gaya jaimku yang mengemuka. Kalau dia
kebetulan lewat di depanku, aku pura-pura sibuk mengupil.
Kalau kebetulan kami berpapasan di jalan, aku pura-pura
sibuk dengan pantatku yang gatal. Begitulah.
Tapi, bukan berarti aku tak pernah tergoda untuk
mendapat perhatiannya....

***
114

Suatu hari, Bonbon menunjukkan hapenya padaku. Ia


menunjukkan sebuah status fesbuk yang terpampang di
layar, dari akun bernama Joyce Erna:

Enaknya kalau punya pacar superhero o_O

“Superhero itu apaan, Bon?” tanyaku heran.


“Itu On... orang yang bisa terbang,” jawab Bonbon
sambil memperagakan orang terbang dengan gerakan
tangannya. “Masa gak tahu sih?”
“Oo begitu... lalu, apa kerjaannya, Bon?” tanyaku lagi.
“Ya biasalah, nangkap penjahat.”
“Lho, sama dengan polisi ya, Bon?”
“Beda, dong. Kalau minta tolong sama polisi kita
harus bikin laporan dulu. Lha kalau superhero... asal kita
menjerit aja, dia langsung muncul.”
“Oooh, gitu. Lha itu Joyce apa lagi diganggu penjahat,
kok nyebut-nyebut superhero?”
“Ha ha ha... nggaklah! Macam nggak tahu Joyce aja
kau ini. Biasalah, cewek itu emang stres kalau lagi mau
UTS. Dikiranya superhero bisa bikin dia naik kelas, hi hi hi
hi....” Bonbon tertawa terkekeh-kekeh.

* UTS = Ujian Tengah Semester


115

Joyce, cewek pujaanku itu memang sudah dua tahun


―mengerami telor‖ di kelas yang sama. Kasihan. Dan rasa
kasihan ini makin memupuk simpatiku padanya.
Hmm... aku ada ide. Kenapa bukan aku saja yang
menjadi superhero? Kalau aku bisa membuat UTS-nya
sukses, pasti aku akan mendapat tempat khusus di hatinya.
Tempat khusus? Memangnya dalam hati ada tempat
umumnya juga? Ah sudahlah, pikiranku mulai ngaco lagi.

***

Malam bulan purnama. Oh ya, aku lupa


memberitahumu apa yang terjadi padaku pada malam bulan
purnama. Itu saatnya aku kembali ke wujudku semula
sebagai... kampret. Itu sudah umum, semacam kutukan
wajib yang biasa terjadi pada siluman. Tontonlah semua
sinetron di TV yang mengangkat tema siluman, pasti ada
adegan tentang malam bulan purnama itu.
Tadinya aku hendak memanfaatkan malam purnama
kali ini dengan berkunjung ke gua kampret. Mengunjungi
teman-teman lamaku. Mengobrol dan berdebat tentang
warna langit malam, apakah hitam atau kelabu. Sepertinya
seru. Mungkin aku bisa berbagi cerita tentang dunia
manusia pada mereka, hingga mereka tak lagi saling
mengumpat dengan sebutan ORANG. Dan mungkin
116

mereka perlu tahu bahwa KAMPRET pun ternyata


menjadi umpatan dalam bahasa manusia. Hmm....
Tapi pikiran tentang Joyce membuatku berubah
pikiran. Besok waktunya UTS, dan Joyce perlu bantuan
untuk menghadapinya. Kubatalkan rencana pergi ke gua
kampret. Aku terbang berputar-putar saja sambil berpikir
apa kiranya yang bisa kulakukan. Tak terasa penerbangan-
ku makin mendekati wilayah kota Gerbol. Di situlah tiba-
tiba muncul ide bagus di kepalaku.
Ini mungkin akibat sering bergaul dengan Dudung.
Kepintaran anak itu akhirnya menular juga padaku.
Otakku mulai berkembang, sehingga bisa memproduksi
ide-ide cemerlang. Tanpa buang waktu, langsung kuterbang
ke arah sasaran operasiku kali ini, rumah Pak Darto
Jenggot.
Ini untuk pertama kalinya aku melakukan sesuatu
tanpa Bonbon dan Dudung. Hanya aku sendiri, dan atas
ideku sendiri. Tidak ada arahan dari Dudung, dan tidak ada
pula bantuan dari Bonbon. Kurasakan debaran jantungku
mengeras, dipenuhi rasa bangga dan bersemangat, tapi
juga... waswas.
Rumah Pak Darto Jenggot tidak sulit ditemukan. Aku
sudah pernah melihatnya. Untung belum terlalu malam aku
sampai di sana. Kulihat masih ada cahaya keluar dari
117

lubang-lubang angin dan sela-sela jendela di rumahnya.


Sepertinya Pak Darto Jenggot belum tidur.
Dengan tubuh kampretku yang kecil, mudah saja aku
masuk ke rumah itu melalui lubang angin. Kebetulan,
samar-samar kulihat Pak Darto Jenggot sedang duduk
menghadap meja tulis, mengerjakan sesuatu. Aku tak
melihat dengan jelas apa yang ditulisnya. Saat kembali
berwujud kampret, indra penglihatanku juga kembali
seperti semula, tak begitu tajam.
“Pah, sudah malam... tidurlah! Besok Papah masuk
kerja, kan?” kudengar istri Pak Darto Jenggot mengatakan
sesuatu.
“Iya... sebentar, Mah. Ini lagi nulis kunci jawaban
untuk ulangan anak-anak besok.” jawab Pak Darto Jenggot.
Aha! Rejeki memang takkan kemana. Kunci jawaban?
Yes! Yes!
Kusabar-sabarkan menunggu hingga Pak Darto
Jenggot meninggalkan meja tulisnya. Ketika rumah itu
telah gelap karena lampunya dimatikan, aku pun terbang
dan menyambar lembaran kertas di meja tulis Pak Darto
Jenggot.

***

Aku berangkat sekolah pagi-pagi buta. Kutempuh


jarak lima kilometer dari Astana Gandamayit hingga Geger
118

Bolong dengan berlari bagai kesetanan. Bukan karena takut


terlambat sampai di sekolah, tapi aku tak mau kehilangan
kesempatan untuk menyambut kedatangan Joyce di pintu
gerbang sekolah.
“Hai, kenapa pagi sekali, On?” tegur Pak Satpam yang
baru hendak membuka pintu gerbang ketika aku tiba di
sana.
Aku tak bisa membalas tegurannya karena sibuk
mengatur nafasku yang kembang-kempis setelah berlari
sejauh lima kilometer. Biasanya aku tiba di sekolah hampir
serempak dengan bel masuk berbunyi, atau terlambat
sedikit. Tak pernah terlalu awal.
“Kenapa tidak masuk aja?” tanya Pak Satpam lagi,
heran melihat aku masih berdiri terengah-engah di situ
walaupun pintu gerbang sudah dibuka.
“Se-benn-ta..rr, nung-gu... kaa-wan... kaa-wann...,”
kataku terbata-bata, mati-matian berusaha mengembalikan
nafasku yang serasa mau putus.
Yang muncul kemudian bukan Joyce, melainkan
Dudung dengan sepeda mininya. Ia memandangku dengan
heran. Belum pernah sebelumnya aku datang lebih dulu
dari Dudung. Dan boleh dikata hampir tiap pagi Dudung
menjadi murid yang pertama tiba di sekolah. Pak Satpam
119

sudah terbiasa dengan itu, jadi tak pernah menegur Dudung


walau datang paling pagi.
“Wah, tumben kau datang pagi, On... ada apa?” tegur
Dudung.
“Tidak ada apa-apa, duluanlah, ntar aku nyusul,”
jawabku dengan masih agak terengah-engah.
Setelah menunggu dengan gelisah, bahkan hampir
putus asa karena jam di dinding pos satpam sudah
menunjukkan pukul tujuh pagi kurang lima menit...
akhirnya Joyce datang juga, turun dari mobil sedan biru
mengkilap, diantar sopirnya. Hatiku seketika berbunga-
bunga. Inilah saatnya. Tak terlalu kuperhatikan, bahwa
matanya agak bengkak, entah bengkak karena kebanyakan
belajar, atau kebanyakan tidur.
“Hai, Joyce!” sapaku. “Aku punya sesuatu
untukmu....”
“Apa?” sahutnya heran.
“Sstt... ini!” bisikku sambil memberikan gulungan
kertas yang kuambil dari meja Pak Darto Jenggot kemarin
malam. “Kunci jawaban hari ini.”
“Oh, ya?” Mata anak perempuan itu seketika
membelalak berbinar-binar.
“Dari mana kau dapat?” selidiknya curiga.
120

“Bukan dari siapa-siapa, ini asli dariku,” jawabku


meyakinkan. “Bocoran dari sumbernya langsung, Pak
Darto Jenggot. Bagaimana caraku mendapatkannya, kurasa
tak penting, yang jelas aku telah mempertaruhkan nyawa
untuk ini.”
“Mengapa?”
“Hanya ingin membantu. Yah, sekadar menjadi...
superhero, bagimu.”
“Aih, co cwiiit....” kata Joyce sambil mencubit
hidungku yang pesek dengan mesra. Ah, seandainya tidak
ada orang di depan sekolah waktu itu, pasti aku sudah
dipeluknya dengan hangat. Begitukah? Tentu saja tidak, itu
hanya khayalanku saja.
Sepeninggal Joyce, yang buru-buru masuk ke halaman
sekolah—karena bel sudah berbunyi—datanglah Pak Darto
Jenggot berboncengan motor dengan istrinya. Pak Darto
Jenggot turun dari motor, gantian istrinya memegang
motor itu karena akan pergi bekerja di tempat lain.
“Eh... Mah!” seru Pak Darto Jenggot pada istrinya,
seperti ingat akan sesuatu. Istrinya yang sudah hampir
memacu gas motornya jadi terkejut dan mengerem
mendadak.
“Apaan sih, Pah?”
121

“Mmm... ada yang kelupaan. Kertas coret-coretan


jadwal ronda kampung yang kubuat tadi malam, kok nggak
ada ya? Ketinggalan di meja tulis, mungkin.”
“Aih, Papah ini, sejak jadi ketua RT kok malah
pelupa!” gerutu istrinya. “Tanggung nih, udah jauh. Lagian,
tadi waktu berangkat, sepertinya nggak ada apa-apa lagi di
atas meja.”
“Yah, sudahlah, nanti aku bikin lagi,” kata Pak Darto
Jenggot seraya buru-buru masuk ke halaman sekolah.
“Hai, Oon! Kenapa bengong aja? Nggak dengar bel
ya?! Ayo masuk!” semprot Pak Darto Jenggot yang
melihatku terbengong-bengong di depan pintu gerbang
sekolah.

***

Hari ini aku sama sekali tidak konsentrasi


mengerjakan soal UTS. Pikiranku hampir tak bisa beralih
dari Joyce, yang sedang menjawab soal dengan bocoran
kunci jawaban dariku. Pasti nanti dia dapat nilai 100. Bisa
kubayangkan bagaimana gemparnya SMP Taman Bunga ini
nanti. Joyce dapat 100? Awh!
Selesai mengerjakan ujian, biasanya kami menunggu.
Hasil ujian akan ditempel di papan sekolah, segera setelah
bapak/ibu guru selesai menilainya. Baru kali ini aku merasa
sangat tak sabar menunggu hasil ujian diumumkan. Tidak
122

ada hal lain yang ingin kulakukan, selain menunggu hasil


ujian... Joyce. Bahkan aku absen dari rapat rutin di bawah
pohon cerme, walau Dudung dan Bonbon memanggil-
manggil.
Begitu Pak Satpam yang dimintai tolong Pak Kepala
Sekolah menempelkan hasil ujian di papan, aku
menghambur bersama anak-anak yang lain berebut duluan
melihatnya. Tapi lagi-lagi badanku yang kecil—dasar
warisan kampret—membuatku kalah berdesakan dengan
yang lain. Yang menang tentu anak-anak yang bertubuh
besar, seperti misalnya Joyce. Tubuh Joyce yang tinggi
besar tampak menguasai medan, membuat teman-temannya
yang lain terdesak ke pinggir, atau meloncat-loncat di balik
punggungnya.
“Joyce, gimana ulangannya?” sapaku dengan nada
kubuat semanis mungkin. “Dapat nilai 100 yaaa?”
Joyce memutar badannya, menghadap ke arahku.
Wajahnya merah seperti kepiting rebus. Matanya melotot.
Tiba-tiba perasaanku berubah jadi tak enak.
PLAAKK!! PLAAKK!! PLAAAKK!!!
Tamparan yang terakhir begitu keras, hingga aku
terputar seperti gasing oleh tenaga pukulannya. Gigiku
rontok bertebaran di lantai. Lalu aku terhuyung dan roboh
123

mencium tanah. Tak seorang pun menahanku agar tak


jatuh.
Tiba-tiba semua terasa gelap. Mungkin aku sempat
kehilangan kesadaran sejenak. Saat terbangun, kudapati
diriku terkapar di beranda sekolah, di depan kelas Joyce.
Beberapa anak masih mengerumuni papan pengumuman,
tapi jumlahnya tak sebanyak tadi. Lambat laun, setelah tahu
nilainya masing-masing, mereka pun bubar.
Aku berusaha duduk. Kepalaku masih terasa pusing.
Ingin aku berdiri dan berjalan tegak ke arah papan
pengumuman itu, supaya aku bisa membaca apa yang
tertulis di sana. Tapi tak mungkin. Jangankan berdiri,
duduk saja kepalaku terasa goyang. Akhirnya kupaksa
mataku untuk menyoroti papan pengumuman itu dari
tempatku teronggok.
Di antara banyak lembar jawaban ujian yang
tertempel di papan pengumuman, kulihat lembar jawaban
ujian Joyce, dengan nilai... astaga! NOL BESAR!
124

Ini lembar jawabannya.

Nama : Joyce Erna

Kelas : VII C

1. Siapa nama Sekjen PBB saat ini? Pak Dul Gembuk

2. Siapa nama jendral Inggris yang terbunuh tanggal 10

November 1945 di Surabaya? Cak Sokran Betet

3. Apa kejadian bersejarah pada tanggal 1 Maret 1949?

Wak Jo mencret, gak bisa ikut ngeronda

4. Tanggal 21 April diperingati sebagai hari Jumat legi

5. Kapan Konferensi Meja Bundar diselenggarakan?

Jam 10 malam, ngumpul di warung

Mbok Darmi

6. .....

Sisanya tak terbaca lagi olehku. Aku jatuh pingsan


(lagi). [ ]
125

Bab 14
Wasiat Mak Kerot

A
ku tersadar ketika sudah berada di Puskesmas.
Seseorang menyuntik pantatku. Aduh, seperti
itu ternyata rasanya disuntik. Pantas kemarin
Bonbon meronta-ronta tidak mau dibawa ke Puskesmas.
Kupikir aku lebih beruntung karena sedang tidak sadar saat
dibawa ke mari, jadi aku tak mengalami horor seperti yang
dirasakan Bonbon. Kata Bonbon, “takutnya hendak
disuntik” itu lebih menghancurkanmu daripada suntikan-
nya sendiri.
Untung aku hanya menderita gegar otak ringan, kata
dokter, jadi setelah disuntik kemudian boleh pulang. Lik
Blonthang menjemputku. Ia membawa sepeda kumbang.
Aku didudukkannya di boncengan belakang. Tidak banyak
bicara, ia mengayuh sepedanya, membawaku pulang ke
Astana Gandamayit.
126

Sepanjang jalan Lik Blonthang lebih banyak diam,


kecuali bila aku menanyakan sesuatu yang kulihat di tepi
jalan. Jawabnya pun pendek-pendek saja. Sepertinya ia
sedang malas bicara. Tapi sebelum kami sampai ke rumah,
ia sempat mengatakan sesuatu yang agak serius. Katanya,
“Jangan katakan siapa yang memukulmu pada Mak Kerot.
Jangan katakan apapun tentang mengapa kau pingsan di
sekolah. Kalau Mak Kerot marah, ia bisa membahayakan
banyak orang.”
Lik Blonthang tidak perlu khawatir. Aku tidak
berminat menceritakan kisahku dengan Joyce pada
siapapun. Biarlah ini menjadi rahasia kami berdua.
Ada yang tidak biasa dengan Mak Kerot siang ini. Ia
tidak bertanya mengapa aku pulang lebih cepat dari
biasanya. Bahkan ia juga tidak menegur Lik Blonthang yang
langsung pergi lagi setelah menurunkanku di depan rumah.
Entahlah, sepertinya ia sedang disibukkan oleh sesuatu,
sehingga tidak mempedulikan hal-hal lain.
Di atas meja rotan reyot di ruang tamu, kulihat ada
sepucuk surat yang kelihatannya belum pernah dibuka.
Amplopnya masih rapi tersegel. Sepertinya itu surat resmi,
karena ada logo dan stempel kerajaan di atasnya. Nama dan
alamat penerima surat tertulis dengan jelas, lengkap, dan
rapi.
127

Kepada YTH. Mak Kerot


d/a Desa Astana Gandamayit, Kecamatan Geger Bolong,
Kabupaten Laut Kidul.

Tidak biasanya pengirim surat ke desa kami menulis


alamatnya dengan lengkap seperti itu. Yang sering adalah
mereka menyingkatnya jadi: Astaga, Gerbol, L.K. Begitu
saja, Pak Pos sudah mengerti. Sudah umum di sini bahwa
orang ngeri menuliskan nama desanya sendiri. Justru kalau
ada yang menulis alamat selengkap ini menunjukkan bahwa
pengirimnya bukan orang sembarangan.
“Mah, ada surat!” seruku.
“Ya, aku tahu,” jawab Mak Kerot tanpa menoleh. Ia
sedang sibuk memasukkan baju-baju kumalnya yang tidak
seberapa ke dalam kantong kain bekas tepung terigu.
“Mengapa tidak dibuka suratnya?” tanyaku heran.
“Sudah tahu isinya.”
“Ooh.”
Aku berbaring santai di lantai ubin sambil
mengamatinya menyusun baju-baju itu dalam buntalan
kantong terigunya. Mak Kerot sudah biasa berlaku aneh,
maka aku tidak banyak bertanya. Setiap yang aneh itu
menjadi biasa baginya.
128

“Aku akan pergi beberapa lama,” kata Mak Kerot,


kini ia memandang ke arahku.
“Oh, ya? Ke mana, Mah?”
“Ke suatu tempat yang jauh. Keraton Selatan
memanggilku. Sepertinya huru-hara telah bangkit di
gerbang ketiga. Burung-burung gagak membisikkan kabar
gelap dari balik kabut. Aku harus pergi ke sana.”
“Ooh, begitu. Terus aku gimana, Mah?”
“Kamu harus sekolah, seperti biasa. Hari ini sudah
kumasakkan semur ulat bulu kesukaanmu. Nasi ada di
kuali. Kalau mau makan sekarang, makanlah. Besok kamu
masak sendiri ya, kan sudah belajar masak kemarin. Jangan
makan ulat mentah, nanti kamu bisa kembali jadi kampret.
Bahan-bahan ada di dapur, sudah kucukupkan untuk
seminggu. Cacing-cacing sudah kukeringkan, jangan lupa
memanasinya sebelum ditumis.”
“Ya, Mah.”
Mak Kerot berdiri. Ia memanggul buntalan kantong
berisi baju-baju kumalnya itu dengan tongkat pendek.
Tongkat yang biasa dipakainya untuk berjalan-jalan
mencari dedaunan hutan untuk bahan ramuan. Ia
tersenyum waktu aku mencium tangannya. Aku biasa
mencium tangannya setiap pagi sebelum berangkat sekolah.
129

Diusap-usapnya kepalaku sambil bergumam merapalkan


sesuatu.
“Baik-baik di rumah, ya. Jangan nakal,” pesannya.
“Ya, Mah.”
“Kalau ada orang datang mencariku, bilang saja kali
ini aku sedang tidak bisa membantu. Suruh datang lain kali
saja.”
“Ya, Mah.”
Ia berjalan terbungkuk-bungkuk ke arah pintu. Aku
memandangnya dengan iba. Berapa jauh tempat yang
hendak ditujunya, dan berapa lama ia sampai di sana dengan
berjalan terbungkuk-bungkuk seperti itu? Entahlah.
Tiba-tiba ia berhenti, seperti teringat sesuatu.
“O ya, kamu tahu peti wasiat yang ada di kamar itu,
kan?” katanya.
“Ya, Mah.”
“Baik-baik menjaga peti itu selama aku pergi. Kamu
tahu, ada kitab-kitab pusaka tersimpan di dalamnya. Jangan
sampai kitab itu jatuh ke tangan sembarang orang.
Terutama... terutama....”
Mak Kerot menyapukan pandangan ke sekelilingnya,
seolah-olah takut ada orang lain yang mendengar
perkataannya.
“Apa, Mah?”
130

“Terutama Si Blonthang. Hati-hati dengannya. Jangan


sampai dia membaca kitab itu. Mengerti?”
“Maksudnya, Lik Blonthang, Mah?”
“Iya, tentu saja.”
“Ooh. Iya, Mah.”
Mak Kerot kembali berjalan terbungkuk-bungkuk.
Sampai di depan pintu, ia kembali berhenti. Kakinya seperti
berat melangkah. Apakah ia merasa berat hati
meninggalkan aku? Entahlah.
“Oon...,” katanya tanpa menoleh padaku.
“Ya, Mah.”
“Kalau dalam seminggu aku belum juga kembali....”
Kata-katanya terputus. Aku menjadi cemas. Apakah ia
akan meninggalkan surat wasiat seperti Bonbon? Apakah
ada kemungkinan Mak Kerot akan pergi dan tak pernah
kembali?
“Apa, Mah?” tanyaku cemas.
“Kamu cari ulat di hutan sendiri, ya. Bisa, kan?”
“Ooh. Iya, Mah. Tentu saja.”
“Kalau lagi males masak, kamu boleh ngutang di
warung Mbok Pur, catet aja.”
“Ya, Mah.”
131

“Kalau perlu duit, kamu boleh ngambil dari ATM


Mamah, tapi jangan banyak-banyak, ya. Jangan sampai
Mamah pulang, saldonya kosong. “
“Ya, Mah.”
“Mamah masih pakai nomor yang lama. Kalau ada
sms Mamah minta pulsa jangan percaya, itu pasti
penipuan.”
“Ya, Mah.”
“Kalau gak bisa sms, whatsApp aja.”
“Oke, Mah, beres.”
“Tapi jangan sering-sering, ya. Lebay. Dan jangan
pula ikut-ikutan alay.”
“Nggak usah khawatir, Mah. Tidak akan.”
“Hati-hati kalau bikin status di fesbuk. Jangan
ngumpat-ngumpat gak keruan, ntar kamu berurusan pula
sama polisi.”
“Iya, Mah, akan saya perhatikan.”
“Baiklah, Mamah pergi dulu, ya.”
“Iya, Mah. Hati-hati di jalan.”
Mak Kerot berjalan lagi terbungkuk-bungkuk,
membuka pintu dan keluar.
“Maaah...,” panggilku.
“Kenapa, Oon?”
132

“Saya kan nggak punya hape, jadi bagaimana mau


sms, whatsApp, apalagi fesbukan?”
“Oh ya, nggakpapa. Ntar kalau Mamah pulang,
Mamah belikan.”
“Ya, Mah. Terimakasih.” [ ]
133

Bab 15
Bonsekahitenanggas,
Kitab Burung Gagak

K
ring kring! Kring kring!
Itu suara bel sepeda Dudung, aku mengenali-nya.
Gawat, ada apa dia ke sini? Cepat-cepat
kusembunyikan nasi semur ulat bulu yang baru kumakan
separuh itu di bawah lemari. Dudung tak boleh tahu menu
makanku di rumah.
Ternyata bukan hanya Dudung, Bonbon juga ikut.
Keduanya masih memakai baju seragam SMP Taman
Bunga, pasti langsung ke sini dari sekolah. Tak kusangka
anak seceking Dudung sanggup membonceng Bonbon
dengan sepedanya dari Gerbol sampai ke sini. Pasti dia
capek sekali.
134

“Hai, On, jauh sekali rumahmu!” seru Dudung sambil


menata nafasnya yang masih terengah-engah.
“Nah, sudah kubilang kan rumahku jauh?! Kenapa
pula kalian ke sini?” sahutku heran sambil mempersilakan
mereka masuk.
“Mau menengokmu, Sobat. Ada isu kamu mati
dicekik Joyce. Ternyata tidak benar, kan?! Syukurlah,”
jawab Bonbon.
“Tentu saja tidak benar. Kenapa kamu terus yang
dibonceng, Bon? Mestinya gantian dong, lihat Dudung
hampir mati kecapekan.”
“Aku nggak bisa naik sepeda, lagipula nggak punya
SIM,” kilah Bonbon. “Dan sekolah masih melarangku bawa
mobil sampai sekarang. Dudung kan sudah biasa bersepeda
ke kota cari buku loakan.”
“Dua belas kilometer ke kota sendirian rasanya
seratus kali lebih ringan daripada sepuluh meter
memboncengmu, Bon!” omel Dudung.
“Ha ha... sudahlah. On, kasih dia minum!”
“Baiklah, tapi hanya ada air kendi di sini. Mau?”
Sebenarnya kepalaku masih agak pusing, tapi
kedatangan Dudung dan Bonbon membuat pusingku
terlupakan. Rapat di bawah pohon cerme sekarang beralih
ke rumahku, eh... di rumah Mak Kerot. Sudah beberapa
135

hari kami tidak menggelar rapat di sana sejak UTS dimulai,


jadi hari ini kasus-kasus penting yang harus didiskusikan
masih menumpuk.
“Hmm... ternyata hidupmu memprihatinkan ya, On,”
komentar Bonbon tiba-tiba. Sepertinya ia mengambil
kesimpulan setelah melihat sendiri tempat tinggalku.
“Tidak boleh ngomong begitu, Bon,” senggol
Dudung.
“Tidak apa-apa, Dung. Bonbon berkata apa adanya.
Tapi saya senang di sini. Mak Kerot menyayangiku. Lik
Blonthang juga.”
“Mak Kerot itu ibumu?” tanya Bonbon dengan
pandangan menyelidik.
“Yaa... semacam itulah.”
“Orang bilang, ibumu itu dukun ya, On?” tanya
Dudung.
“Yaa... semacam itulah.”
“Itu papan nama di luar, apa maksudnya, On?”
“Yang mana?”
“Itu... AHLI MENYEMPURNAKAN HIDUP
ANDA. Apa maksudnya?”
“Aku tidak tahu, tapi umumnya orang datang kemari
karena merasa hidupnya kurang sempurna. Misalnya...
136

kurang panjang jempolnya, kurang bersinar wajahnya,


kurang bau kentutnya, atau... yah, semacam itulah.”
“Dan masalahnya bisa diselesaikan di sini?”
“Umumnya iya, bahkan dapat bonus tambahan pula.”
“Owh, hebat,” puji Dudung.
“Dan kenapa tidak menyempurnakan hidupnya
sendiri?” komentar Bonbon sambil memutar-mutar bola
matanya, menyapu setiap sudut ruangan dalam rumah
berdinding gedhek ini.
Aku hanya mengangkat bahu.
“Dari mana ibumu dapat ilmu semacam itu, On?”
tanya Dudung penasaran.
“Entahlah, banyak desas-desus tentangnya, tapi
kebanyakan cuma hoax. Aku bisa menceritakan bisik-bisik
burung gagak padamu, tapi itu hanya akan membuatmu
bingung. Yang pasti kutahu, ia sering membaca kitab-kitab
pusaka yang tersimpan di peti wasiatnya.”
“Kitab pusaka? Semacam buku-buku kuno begitu ya?”
“Yaa... semacam itulah.”
Baru kemudian kusadari telah salah bicara.
Menyinggung tentang buku kuno pada Dudung sama
halnya dengan memamerkan game terbaru pada Bonbon. Ia
tak akan bisa tidur sebelum melihatnya, bahkan bisa jadi
gatal-demam gara-gara itu.
137

“Boleh aku lihat, On?”


“Tidak boleh.”
“Sebentar saja.”
“Sudah kubilang tidak boleh.”
“Di mana disimpan peti wasiatnya?”
“Di kamar.”
Sekejap kemudian Dudung dan Bonbon sudah sibuk
mencongkel-congkel peti wasiat Mak Kerot yang
dikeluarkannya dari dalam kamar.
“HAI, KALIAN INI! SUDAH KUBILANG....”
“Sebentar saja, On. Aku cuma ingin melihat bukunya
cetakan tahun berapa.”
Tiba-tiba aku menyadari, bagaimana rasanya menjadi
Pak Darto Jenggot. Alangkah nakalnya anak-anak ini.
Pantas hampir setiap hari Pak Darto Jenggot marah-marah.
Layaklah kami disebut Trio Kampret. Betul-betul
memusingkan kepala. Seperti kampret saja.
“Ya ampuuun... itu tak ada gunanya untukmu, Dung.
Sama sekali tidak ilmiah. Kau akan kecewa melihatnya.”
“Nah, berarti tidak masalah aku melihatnya, kan?
Kalau memang tidak berguna, aku tidak akan tertarik.”
Anak-anak ini bukan hanya nakal, tapi juga keras
kepala. Kalau tidak kuturuti, bisa-bisa peti kayu itu rusak
karena dicongkel-congkelnya. Malah aku yang kena marah
138

Mak Kerot nanti. Akhirnya kuambilkan juga kuncinya,


agar mereka bisa membukanya baik-baik. Lebih baik
begitu, daripada rusak.
Buntalan rambut rontok, gigi-gigi tanggal, dan bekas
potongan kuku, itulah yang mereka lihat pertama kali saat
membuka peti. Mak Kerot tak pernah membuang bagian
tubuhnya sembarangan, karena berbahaya bila
disalahgunakan oleh orang yang tak bertanggungjawab.
“Untuk apa benda-benda macam ini disimpan?”
komentar Bonbon jijik.
“Sudah kubilang tak ada gunanya, kembalikan dan
tutuplah petinya!”
“Sebentar...,” kata Dudung. Ia masih penasaran, atau
bahkan makin penasaran. Dikeluarkannya segala macam
benda aneh dari dalam peti itu. Sikat gigi bergagang tulang,
kepala tikus got yang diawetkan, potongan jempol manusia,
kolor ijo berbau amis, taring serigala (atau taring drakula?),
cawan tembikar bergambar demit, sobekan kain kafan,
gumpalan tanah kuburan, pasak jantung drakula, tali
gantung diri, tusuk konde berdarah, potongan lidi
(mungkin bekas sapu terbang), kepingan DVD ―Senam
Aerobik Bersama Jillian Michaels‖ (hah?).
Dudung geleng-geleng kepala.
139

“Sudah? Apa kataku, tak ada yang menarik buatmu,


kan?” ejekku.
Kitab pertama yang dikeluarkan Dudung dari dalam
peti adalah buku resep masakan Mak Kerot. Aku sudah
pernah membacanya. Isinya resep semur ulat bulu, cacing
pindang bumbu rujak, belalang panggang plus lalapan
rumput sawah, gulai kecoa cabe hijau, rawon tai kebo,
bubur tanah kuburan dengan kuah gula jawa, dan lain-lain.
Beberapa resep pernah kupraktekkan bersama Mak Kerot.
Rasanya lumayan untuk kampret pemakan serangga
sepertiku.
“Owh, ternyata ada juga bagian hidupmu yang
menyenangkan,” komentar Bonbon ketika membaca daftar
isi buku. Ia menjilat bibirnya dan menelan ludah. Tak ada
makanan yang tak kelihatan enak bagi Bonbon.
Kitab kedua yang dijumpai Dudung adalah buku
catatan utang-utang di warung Mbok Pur. Dudung
mencermatinya dengan seksama bak komisioner KPK.
Entah karena menemukan kejanggalan atau tidak mengerti
sama sekali, ia mengernyitkan dahi, tapi kemudian
mengangkat bahu. Mungkin ia perlu berkoordinasi dulu
dengan PPATK.
Kitab yang berikutnya jauh lebih tebal dibanding
yang lain. Dan sepertinya paling kuno, bisa dirasakan dari
140

baunya yang berbeda. Lebih apek. Seperti dua buku


sebelumnya, dibuat dengan tulisan tangan, bukan cetakan.
Dudung kecewa karena tulisannya hampir tak bisa dibaca.
Walaupun tulisan Mak Kerot di dua buku sebelumnya juga
jelek, tapi Dudung masih bisa membacanya. Tapi yang ini
sungguh parah, lagipula bahasanya juga sangat asing, tak
bisa dipahami sama sekali.
Bonsekahitenanggas. Itu judul yang tertulis di
sampulnya. Kitab Burung Gagak, kalau tidak salah itu
artinya. Aku pernah mendengar Mak Kerot menyebutnya
begitu. Hanya Mak Kerot yang memahami bahasa burung
gagak yang tertulis di buku itu. Mungkin Lik Blonthang
pun tidak. Di sekolah manusia ternyata tidak diajarkan
bahasa burung gagak. Aku tak pernah menjumpai
kamusnya di perpustakaan sekolah. [ ]
141

Bonsekahitenanggas

Kitab Burung Gagak


142

Bab 16
Kentut Kuda Betina
yang Sedang Menstruasi

T
ok! Tok! Tok!
Ada orang yang mengetuk pintu depan.
Bonbon bergegas membukanya. Ternyata
seorang pemuda bergigi tonggos.

“Betul ini rumah Mak Kerot?”


“Betul,” jawab Bonbon. “Kenapa?”
“Ehm... seperti yang tertulis di papan itu, katanya
Mak Kerot bisa menyempurnakan apa saja,” katanya.
“Ya, tapi hari ini dia tak bisa membantu, datang lain
kali saja,” cepat-cepat aku menimpali sesuai pesan Mak
Kerot.
“Betul, Mak Kerot sedang pergi, tapi ada kami di sini
kalau kau mau dibantu,” tiba-tiba Dudung muncul dan ikut
menyela pembicaraan.
Aku terkejut. Ada ide apa lagi Si Dudung ini?
“Memangnya kalian siapa?” tanya Si Tonggos.
143

“Kami anak-anaknya,” jawab Dudung, tanpa kikuk


sedikitpun. Aku bahkan tak sempat membuka mulut untuk
mendahuluinya bicara.
“Ooh, begitu. Apa kalian bisa menghilangkan
tonggosku ini? Kata orang aku ganteng, dan mungkin
sangat memikat bagi gadis-gadis, andai tidak setonggos ini.”
“Ah, gampang itu...,” lagi-lagi Dudung mendahuluiku
bicara. “Tunggu di luar dulu ya, Bang. Biar kami siapkan
keperluannya.”
Dudung menutup pintu dan menyeretku ke dalam,
tanpa memberi kesempatan aku bicara untuk mengoreksi
ucapannya pada tamu itu.
“Dung, apa yang kau lakukan?” sergahku jengkel.
“Sssttt... tenang, Sobat. Apa kau tidak melihat,
alangkah tonggosnya dia? Pasti hidupnya sangat menderita.
Kejam sekali kita kalau tak mau menolongnya, padahal kita
punya Kitab Burung Gagak,” ujar Dudung serius. Dia
memang selalu serius dengan idenya, sebelum terbukti
berantakan.
“Tahu apa kau tentang Kitab Burung Gagak?”
sanggahku. “Jangankan membacanya, kita bahkan tak
paham apa maksudnya. Kitab itu hanya berguna bila ada
mamahku, Mak Kerot, di sini.”
144

“Banyak catatan pinggir di buku ini. Tulisannya beda


dengan penulis kitab aslinya. Mungkin ini catatan
mamahmu,” kata Dudung.
Aku terkejut. Sepertinya aku memang pernah melihat
Mak Kerot mencoret-coret buku itu, membuat catatan
pinggir. Tapi seberapa banyak aku tak tahu. Sama sekali
tidak terpikir di kepalaku untuk memanfaatkan buku itu
dengan bantuan catatan pinggir Mak Kerot.
“Namanya juga catatan, tidak akan mewakili
keseluruhan isi buku.” Aku masih berusaha menyanggah.
“Ya, tapi yang bikin catatan ini sudah mempraktek-
kan, jadi kecil kemungkinan salah,” bantah Dudung.
“Oh, begitu? Memangnya di situ tertulis cara
menghilangkan gigi tonggos?”
Dudung membolak-balik halaman buku tebal itu.
Sejenak ia tampak kecewa karena tidak menemukan apa
yang dicarinya. Tapi kemudian mukanya berubah cerah.
“Tentu saja tidak harus ada poin yang spesifik. Bisa saja satu
hal berlaku umum untuk berbagai keadaan,” katanya.
“Maksudmu?”
“Tentang menghilangkan gigi tonggos memang tidak
ada. Tapi ada bab tentang ―menghilangkan sesuatu yang tak
perlu‖. Kurasa ini berlaku umum, termasuk untuk gigi
tonggos,” jawab Dudung dengan raut wajah sangat
145

meyakinkan. Raut wajah yang sama seperti ketika ia


membacakan isi buku ANIMAL PHARMACOLOGY
kemarin.
“Ooh, begitu?”
“Ramuan untuk menghilangkan sesuatu yang tak
perlu. Ada di sini, bahannya... semangkuk air comberan,
sesendok tai kebo kering, segenggam daun kelor....”
Dudung mengeja catatan pinggir Mak Kerot yang agak sulit
dibaca.
“Ah, itu bahan dasar untuk semua ramuan, aku sudah
tahu. Sering juga aku ikut membuatnya. Bukan itu. Yang
penting adalah bahan khususnya, perlu bahan-bahan ajaib
yang kadang susah dicari,” kataku menjelaskan.
“Ya, benar. Bahan khususnya ini... kentut kuda betina
yang sedang menstruasi,” sahut Dudung yang langsung
mengernyitkan kening. “Mmm... tapi di mana kita bisa
mendapatkan kentut kuda betina yang sedang menstruasi?”
“Hanya Lik Blonthang yang bisa menyediakan bahan-
bahan macam itu.” Aku melanjutkan penjelasanku. “Dan
jangan dikira mudah. Kentut itu harus ditampung langsung
dari pantat kudanya, dibungkus kantong plastik warna
hitam, pada malam hari ketika bulan sedang bersinar
kelabu. Begitu Lik Blonthang cerita padaku. Mungkin tata-
cara mendapatkan bahan-bahan ajaib tertulis di bagian lain
146

buku itu. Selama ini dia hanya mengikuti petunjuk


Mamahku.”
“Tidakkah kalian masih menyimpan bahan itu barang
sedikit? Sisa-sisa kemarin misalnya?” tanya Dudung.
“Ooh, entah ya, coba kulihat dulu di dapur.”
Di dapur banyak tersimpan bahan-bahan yang aku tak
tahu apa saja gunanya. Mak Kerot hanya menunjukkan
padaku bahan-bahan untuk masak sehari-hari, sekadar
supaya aku bisa masak sendiri bila dia pergi. Beras, garam,
gula, ulat bulu, cacing kering, dan beberapa bahan lain. Itu
saja.
Di lemari ada bertumpuk-tumpuk wadah yang entah
isinya apa saja. Wadah itu bisa berupa guci tembikar, bisa
pula bekas botol kecap, bekas botol air mineral, bekas
kaleng susu, bekas pot obat, bekas cup mie instan, dan lain-
lain. Ada beberapa wadah yang diberi label apa isinya, tapi
ada juga yang tidak.
Kuperiksa satu per satu wadah-wadah itu. Kutemukan
wadah-wadah yang berlabel tai kebo kering (ini paling
banyak), ingus perawan ting-ting, kencing kuda liar, tangis
copet ketangkap massa, tai kuping tukang gali kubur, abab
(uap mulut) ibu-ibu penggosip, ekstrak hati jomblo galau,
rintihan bujang tua pengangguran, dengkuran wakil rakyat
di ruang sidang, dan macam-macam lagi yang lain, tapi
147

belum juga kutemukan... kentut kuda betina yang sedang


menstruasi.
“Nah, ini apa?” seru Dudung yang ikut mencari di
bawah kolong rak piring. Ia menemukan toples kaca
berdebu yang bertuliskan ―kentut kuda betina yang sedang
menstruasi‖. Ternyata ada.
“Apa itu masih ada isinya?” tanya Bonbon.
“Entahlah, kelihatannya masih,” jawab Dudung. “Tuh
lihat, di dalamnya kelihatan berkabut. Lagipula, seandainya
kosong, toplesnya takkan seberat ini.”
Jadi bahannya sudah ada. Dudung dan Bonbon
mendesakku untuk membuatkan ramuannya. Terserahlah.
Mereka adalah anak-anak yang sangat penasaran terhadap
apa saja. Tak sulit membuat ramuan dasar, tinggal merebus
air comberan di kuali dengan api sedang, lalu tambahkan tai
kebo kering dan bahan-bahan lain sesuai takaran.
Seperempat jam saja siaplah sudah.
“Gosokkan sekuntum bunga kamboja pada bagian
yang ingin dihilangkan, lalu rebus bersama bahan yang
lain.” Dudung membacakan catatan Mak Kerot keras-keras.
Bonbon kebagian tugas untuk menggosokkan bunga
kamboja itu pada gigi Abang Tonggos yang sedang
menunggu di luar. Untung Bonbon tidak keberatan, karena
aku dan Dudung sangat enggan melakukannya. Sekejap
148

kemudian ia sudah kembali, membawa bunga kamboja


yang tadinya berwarna putih cemerlang kini berubah
menjadi kuning kecoklatan. Jangan tanya baunya. Kami
merebusnya bersama-sama ramuan dasar.
“Nah, selesai sudah!” seru Dudung gembira.
“Sekarang tinggal menambahkan bahan ajaibnya. Kentut
kuda betina yang sedang menstruasi. Hmm....”
Wajah Dudung tampak sangat bersemangat.
Sepertinya malapetaka kambing gila itu sudah dilupakan-
nya. Ia selalu yakin pada usahanya, seperti orang yang tidak
pernah gagal. Dipegangnya toples berisi kentut kuda itu,
siap menuangkannya ke dalam kuali ramuan.
“Berapa banyak kentut kuda yang akan kauberikan?”
tanyaku.
“Entahlah, tidak disebutkan dalam catatannya. Kurasa
secukupnya saja. Seperti kita membubuhkan garam setelah
bahan-bahan utama selesai dimasak. Secukupnya saja, sesuai
selera, begitulah.”
“Iya, tapi secukupnya itu seberapa? Jangan asal,
Dung!” Aku memperingatkan.
Bahkan sebelum aku selesai bicara, Dudung sudah
membuka toplesnya dan mulai menuang. Kabut keabu-
abuan di dalam toples itu mengalir keluar dengan cepat.
149

“Menurutku sedikit saja... Ups, stop! Dung, jangan


terlalu banyak!”
“Mana? Aku tidak melihatnya keluar?” kata Dudung
heran.
“Tidak melihatnya keluar? Gimana sih, Dung? Kamu
menghabiskan seluruh isi toples itu untuk satu porsi
ramuan!” bentakku jengkel.
“Ah, masa sih?” kilah Dudung tak percaya. Ia
menimang-nimang toples di tangannya, dan baru menyadari
bahwa toples itu telah menjadi jauh lebih ringan dari
sebelumnya.
Tiba-tiba ramuan yang sedang direbus itu bergolak
hebat. Bukan hanya mendidih seperti kuah rebusan biasa,
tapi betul-betul bergolak. Kemudian berpusing seperti ada
yang mengaduknya dengan kuat, padahal kami tak
menyentuhnya sama sekali.
“Apakah ini semacam sentrifus?” tanya Bonbon
heran. Dikiranya itu seperti alat sentrifus yang biasa kami
pakai untuk mengocok cairan kimia waktu praktikum di
laboratorium sekolah.
“Bukan sentrifus, Bon. Ini efek sihir yang hebat,” ujar
Dudung menjelaskan.
“Kukira akibat overdosis,” kataku menambahkan.
150

Rebusan bahan-bahan ramuan yang semula berwarna


kuning kecoklatan itu—warna tai kebo—mulai berubah
menjadi coklat tua, kemudian hitam, lalu memudar jadi
kelabu, dan akhirnya putih berkabut seperti susu kental.
Pergolakannya mereda, dan akhirnya tenang kembali. Uap
hangat masih mengepul di permukaannya.
“Hmm... sepertinya enak,” komentar Bonbon, sambil
mengangkat wajah dan mendengus-denguskan hidung.
Persis seperti kucing mencium keberadaan orang yang
sedang menggoreng ikan asin.
“Bon, itu bau tai kebo dicampur kentut kuda!”
Dudung mengingatkan.
“Oh iya,” Bonbon tersadar dan cepat-cepat menutup
lubang hidungnya.
“Kau betul-betul akan menyuruh Abang Tonggos itu
meminumnya?” tanyaku.
“Tentu saja. Kenapa tidak?! Kalaupun ramuan ini
tidak berhasil menghilangkan tonggosnya, paling-paling dia
mencret. Itu saja. Tinggal beli obat mencret di warung,”
tukas Dudung enteng.
Si Abang Tonggos dipanggil oleh Bonbon dan disuruh
masuk ke rumah.
151

“Minumlah ini, Bang,” kata Dudung tanpa ragu


sedikitpun. “Dan Oon, mulailah merapalkan mantra di
buku itu!”
Entah apa yang ada dalam benak pemuda bergigi
tonggos itu, hingga ia mempercayai sekelompok anak SMP
yang menyodorinya mangkuk ramuan beraroma tai kebo
dan kentut kuda. Mungkin ia begitu putus asa dengan
kehidupannya, hingga berpegang pada apa pun yang ia kira
bisa dipegang.
Kubacakan mantra-mantra burung gagak itu sebisaku.
Kubuat-buat lagunya semirip mungkin dengan yang pernah
kudengar dari Mak Kerot.
“Sudah,” kata Abang Tonggos sambil menyeringai
menahan mual.
Kami menatapnya dengan tegang. Apa yang akan
terjadi padanya?
“Berapa lama biasanya, On?” tanya Dudung.
“Biasanya seketika langsung berubah,” kataku sambil
harap-harap cemas. Aku mengkhawatirkan efek overdosis
kentut kuda itu.
“Iya, rasanya aku berubah...,” gumam Si Abang
Tonggos.
“Ambil cermin, On. Ambil cermin!” seru Dudung
bersemangat.
152

Hampir tak kutemukan cermin karena aku maupun


Mak Kerot jarang bercermin. Wajah Abang itu lambat laun
berubah. Mulutnya yang tadi mancung ke depan akibat
tonjolan giginya yang tonggos itu mulai mundur ke
belakang. Gigi tonggosnya—yang semula sulit
disembunyikan—kini mulai tertutup oleh kedua belah bibir
yang tertata proporsional di wajahnya.
“Wah, Abang jadi ganteng,” komentar Bonbon.
Pemuda itu tersipu mendengar pujian Bonbon.
Matanya berbinar ketika melihat bayangan di cermin yang
kuberikan. Walau kacanya sudah kusam, cermin itu cukup
menunjukkan perubahan berarti pada wajahnya.
Tapi tak lama kemudian, tiba-tiba raut mukanya
berubah, ia mengerutkan kening. Dimasukkannya jari
telunjuk ke dalam mulutnya sambil menganga.
“Aduh, kenapa gigiku hilang semua?” katanya heran.
Kami terkejut. Serasa tak percaya kami berkerumun
melongok ke dalam mulut Si Abang. Betul, giginya tak ada
lagi, sama sekali. Hanya tinggal gusinya saja!
“KENAPA JADI BEGINI???” teriaknya marah.
Kami mendadak gemetar ketakutan.
“Ehm... ehm... sabar, Bang, Itu cuma sementara.
Nanti kan bisa tumbuh lagi giginya,” ujar Dudung
menjelaskan. Entah dari mana Dudung dapat alasan untuk
153

menjelaskan seperti itu. Untung dia masih bisa berpikir


untuk ngeles macam itu. Aku dan Bonbon bahkan tak bisa
mengucap sepatah kata pun karena gemetar.
“Ooh, begitu ya? Jadi nanti tumbuh lagi giginya?
Oke, tidak apa-apa kalau begitu. Terimakasih ya....”
Kami mendesah lega ketika akhirnya tamu itu pamit
pergi.
“Tuh, kan... kelebihan dosis dia itu, Dung. Kamu sih,
nggak kira-kira. Masa kentut kuda setoples kamu habiskan
buat dia sendiri. Bukan hanya tonggosnya, malah seluruh
giginya musnah.”
“Bukan aku, Mamahmu itu yang salah. Dia yang
bikin catatan nggak jelas!” kilah Dudung tak mau
disalahkan.
“Catatan itu buat Mamahku sendiri, bukan buat
kamu! Harusnya kamu nggak boleh membacanya. Kan
sudah kubilang tadi!”
Mungkin pertengkaran itu masih akan berlanjut kalau
saja Bonbon tidak bertanya,” On, kamu punya makanan,
nggak? Aku lapar.”
“Mmm... ada nasi di kuali, tapi tak ada lauknya.” Aku
tak bisa berterus terang pada siapapun bahwa aku baru saja
makan semur ulat bulu.
154

Nasi di kuali itu pun habis dalam sekejap. Licin


tandas. Bahkan keraknya pun tak tersisa. Alamat nanti
malam aku cuma makan ulat bulu dan cacing kering.
“Terimakasih, On. Lumayan juga agak kenyang dikit.
Aku pulang ya, sudah hampir sore nih.”
“Iya Bon, hati-hati di jalan.”
“Lho, On... Dudungnya mana?”
“Sudah pulang dari tadi.”
“Kok kamu diam saja?”
“Memangnya kamu pernah titip pesan untuk ngawasi
Dudung?”
“Terus gimana aku pulang sekarang?”
“Ya biasalah, seperti aku tiap hari. Jalan kaki.”
Gerbol masih lima kilometer lagi ke utara.
Bonbon mengerang. Raut wajahnya sukar dilukiskan
dengan kata-kata.

***

Dasar anak-anak nakal. Sekarang aku harus


merapikan kembali dapur ini sendirian. Berantakan sekali.
Banyak pula barang-barang yang harus dicuci. Jadi ingat
enaknya jadi kampret, sesudah makan tidak perlu repot-
repot cuci piring.
Toples bekas kentut kuda ini pun harus kucuci. Entah
apa Mak Kerot akan tahu bahwa persediaan kentut kudanya
155

sudah kami habiskan. Semoga saja ini tidak tercatat. Melihat


toplesnya yang berdebu, sepertinya sudah lama sekali tak
pernah dibuka.
Hmm, tulisan apa ini? Oh, selain label bertulisan
―kentut kuda betina yang sedang menstruasi‖ ternyata ada
label lain di toples ini yang tadi luput dari perhatianku.

Baik digunakan sebelum


1 Agustus 1950.

Ya ampuuun... jadi ini kentut kuda sudah kedalu-


warsa sekian lama?!
Tok! Tok! Tok!
Ada orang mengetok pintu. Duh, siapa lagi?
Cukuplah satu kehebohan saja hari ini. Aku sudah suntuk.
Eh, ternyata Abang yang tadinya bergigi tonggos itu datang
lagi.
“Ada apa lagi, Bang?” tanyaku.
“MOTORKUUU...,” hardiknya.
“Kenapa motornya, Bang?”
“GIGINYA JUGA HILANG!” [ ]
156

Bab 17
Insukatisam,
Ramuan untuk Membuat
Seseorang Menjadi Pemujamu

H
uh, aku tak bisa masuk sekolah hari ini. Pagi
tadi aku tiba di depan pintu gerbang sekolah
hampir bersamaan dengan Joyce. Tak
kusangka anak itu akan mengejarku sambil mengacung-
acungkan bogem mentahnya. Aku lari terbirit-birit seperti
Bonbon dikejar kambing jantan. Bahkan ini lebih
mengerikan dari itu.
Aku tak mau disuntik lagi di Puskesmas. Mending
aku bolos saja hari ini. Kuharap besok Joyce sudah berbesar
hati memaafkanku.

* * *
157

Kring kring! Kring kring!


Itu suara bel sepeda Dudung. Duh, anak itu datang
lagi ke rumahku. Aku baru saja menyiangi ulat-ulat bulu,
belum sempat memasaknya. Terpaksa bahan-bahan semur
ulat bulu kusembunyikan dulu. Untung beras sudah
kutanak di kuali, jadi paling tidak sudah ada nasi untuk
makan siang.
“Hai, Dung!” sapaku sambil membuka pintu.
Ternyata dia sendirian.
“Hai, On. Kenapa kau belum masuk sekolah? Belum
sehatkah?”
“Aku sehat, Dung. Tadi pagi aku ke sekolah, tapi
rupanya Joyce sudah siap membunuhku di sana. Jadi
mending bolos aja, aku masih sayang nyawaku.”
“Waduh, parah betul anak itu,” komentar Dudung
sambil geleng-geleng kepala.
Teeet! Teeet! Teeet!
Itu suara klakson mobil. Sejak melintasi gerbang
masuk desa, mobil itu terus membunyikan klakson untuk
mengusir ayam dan kambing yang berkeliaran di jalan. Itu
mobil sedot WC. Siapa lagi kalau bukan Bonbon.
“Hai, On. Kenapa kau belum masuk sekolah? Belum
sehatkah?” sapa Bonbon begitu turun dari mobil. Ia diantar
sopir papanya.
158

“Aku sehat, Bon. Tadi pagi aku ke sekolah, tapi


rupanya Joyce sudah siap membunuhku di sana. Jadi
mending bolos aja, aku masih sayang nyawaku.”
“Waduh, parah betul anak itu,” komentar Bonbon
sambil geleng-geleng kepala.
“Kenapa kalian semua ke sini? Apa kabar UTS
kalian?” tanyaku.
“UTS baik-baik saja,” jawab Dudung. “Tadi Pak
Darto Jenggot pesan, besok kamu harus masuk kalau mau
UTS susulan. Oiya... aku mau baca lagi kitab burung
gagakmu, boleh kan?!”
“Hah, kitab burung gagak lagi? Bukannya kalian
harus baca buku pelajaran? Besok masih ada UTS, kan?!”
“Baca buku pelajaran nanti malam aja, On. Sekarang
belum waktunya belajar,” sahut Bonbon.
Dudung bahkan sudah masuk ke rumah sebelum
kupersilakan.
“Hmhh... terserahlah. Tapi tidak ada lagi acara
mengobati tamu hari ini, ya!” seruku kesal.
“Baiklah, baiklah, aku cuma mau baca-baca saja,” kata
Dudung.
Sebenarnya tidak akan terjadi masalah, selama mereka
berdua hanya duduk santai sambil membaca buku. Dudung
membaca buku itu dengan suara keras supaya Bonbon bisa
159

ikut mendengarkan. Bonbon sering bertanya ini-itu, dan


Dudung harus menjelaskan padanya, hingga Dudung kesal
dan menyuruh Bonbon berhenti bertanya atau dia tidak
akan membacakannya lagi. Bonbon pun diam.
Aku mendesah. Seandainya orang-orang tahu, betapa
berbahayanya sebuah buku bagi anak-anak seperti Dudung
dan Bonbon, pasti mereka akan menjadikan buku sebagai
barang terlarang. Atau jangan-jangan anak-anak ini yang
membuat buku apapun menjadi berbahaya....
“On, sepertinya kamu bisa mengatasi masalahmu
dengan ini,” celetuk Dudung setelah beberapa saat membaca
lembar demi lembar buku itu. Ia membaca bagian-bagian
dari catatan pinggir Mak Kerot yang masih bisa dibaca.
“Aku tidak punya masalah,” kataku.
“Masalahmu dengan Joyce.”
“Aku tidak punya masalah dengan Joyce, besok kami
akan baik-baik saja.”
“Tidak baik-baik saja kalau kau tidak bisa masuk
sekolah. Kau tidak akan bisa ikut UTS. Kami dengar Joyce
sudah bersumpah akan mencekikmu sampai mati bila kau
berani-berani menginjakkan kaki di halaman sekolah.”
Aku terdiam.
160

“Iya, On. Rugi kau punya kitab burung gagak tapi


mengatasi Joyce saja nggak bisa,” kata Bonbon ikut-ikutan
menimpali.
“Mmm... apa yang kamu dapat dari buku itu?”
tanyaku.
“Ah, kamu nggak mendengarkan rupanya. Yang
barusan kubaca tadi, tentang bagaimana membuat seseorang
jadi pemujamu.”
“Membuat seseorang jadi pemujamu?”
“Iya, cocok, kan?!” Dudung tersenyum nakal.
“Cocok, maksudmu?”
“Ya cocok, untuk mengatasi masalahmu dengan
Joyce. Jadikan Joyce pemujamu, maka tak mungkin dia
akan mencekikmu sampai mati.”
“Mmm... Joyce? Jadi pemujaku? Itu maksudnya...?”
“Seperti cewek-cewek pemuja Lee Min Ho itu lho,
On... lihat Lee Min Ho buang ingus aja, langsung kejang-
kejang.”
“Ooh, begitu.” Di benakku seketika timbul
bayangan... melihat aku mengupil, Joyce langsung kejang-
kejang. Apalagi saat melihatku garuk-garuk pantat, bisa-bisa
langsung kesurupan. Ha!
“Ulangi bacanya, Dung, ulangi!” pintaku lekas-lekas.
161

“Baiklah, ini tentang Insukatisam, ramuan untuk


membuat seseorang jadi pemujamu. Ramuan dasarnya
terbuat dari... air dari tujuh sumur, gula dari tebu yang
ditanam keluarga bahagia, garam dari lautan keabadian,
serta buah asam dari pohon kebijaksanaan.”
Oh, ternyata ada juga ramuan dasar yang tidak
menggunakan air comberan dan tai kebo kering. Bagus, aku
sudah bosan dengan kedua bahan itu.
“Dan bahan ajaibnya adalah... abu dari buku roman
kisah cinta yang berakhir bahagia, surat cinta jomblo tersia-
sia, serta nyanyian lagu cinta dari sang peminta,” Dudung
melanjutkan bacaannya. Wah.
“Resepnya lebih rumit dari yang kemarin, On. Apa
kita bisa membuatnya?” tanya Dudung sambil menatapku
ragu.
“Kenapa tidak?” sahutku yakin.
“Apa kita punya semua bahannya?”
“Akan kuperiksa di dapur.”
Kembali kami mengacak-acak dapur Mak Kerot yang
baru kemarin kurapikan. Bahan-bahan untuk ramuan dasar
tak terlalu susah dicari. Walau beda dengan ramuan
biasanya (versi tai kebo kering), tapi ini juga tak terlalu sulit
mencari bahannya, semua ada di dapur.
162

“Benar ini semua bahannya, On?” komentar Dudung


dengan nada tak percaya ketika mengamati aku sibuk
menyiapkan air, gula, garam, dan buah asam.
“Tentu saja, inilah bahannya,” jawabku yakin.
“Tapi di buku tidak sesederhana itu, On. Airnya saja
harus dari tujuh sumur...,” sanggah Dudung.
“Tentu saja, kau tidak melihat aku bolak-balik tujuh
kali ke sumur?”
“Iya, tapi kamu ke sumur yang sama di belakang
rumahmu.”
“Memang kenapa kalau sumurnya sama? Apa di buku
itu disebutkan harus dari sumur yang berbeda?”
“Oiya, tidak juga sih, di sini cuma ditulis dari tujuh
sumur.”
“Nah.”
“Tapi On... gulanya harus gula dari tebu yang
ditanam keluarga bahagia!”
“Memang, ini asli gula lokal, bukan gula impor.”
“Maksudmu?”
“Gula lokal pasti berasal dari tebu yang ditanam oleh
keluarga bahagia. Di Indonesia tidak ada keluarga yang
tidak bahagia. Bahkan seandainya mereka hanya punya
sekeping kulit pohon untuk dimakan hari ini, mereka akan
tetap tertawa ngakak.”
163

“Siapa mengatakan itu padamu?”


“Lik Blonthang, dia selalu benar.”
Dudung mengangkat bahu. Terserahlah, mungkin
begitu pikirnya.
“Tapi garamnya, On....” Sepertinya ia masih belum
bisa menerima.
“Garam dari lautan keabadian, kan?”
Dudung mengangguk.
Aku membuka lemari dan mengambil bungkusan
garam yang masih utuh. Kutunjukkan merk yang tertulis di
bungkus plastiknya: GARAM BERYODIUM cap
LAUTAN ABADI®. Dudung terperangah, baru paham.
“Terus buah asam itu dari mana, On? Memangnya ada
pohon kebijaksanaan?”
“Tentu saja ada.”
“Di mana?”
“Tuh, di depan rumah.”
“Pohon asam yang itu? Yang ada papan namanya Mak
Kerot itu?”
“Betul.”
“Kata siapa itu pohon kebijaksanaan? Kelihatannya
seperti pohon biasa....”
“Lihat saja sendiri sana!”
164

Sejurus kemudian Dudung kembali dengan mulut


berkerut.
“Kenapa sekarang di pohon itu ada tulisan POHON
KEBIJAKSANAAN?”
“Nah, begitulah. Sekarang namanya pohon
kebijaksanaan.”
“Tapi tadi tulisan itu belum ada! Siapa yang
menulisnya barusan?”
“Aku.” [ ]
165

Bab 18
Kisah Cinta
yang Berakhir Bahagia

T
inggal mencampur semua bahan, kemudian
direbus dengan api kecil hingga mendidih, lalu
angkat. Ramuan dasar itu pun siap. Mudah.
Masalah baru timbul ketika hendak memasukkan bahan-
bahan ajaib.

“Belum ketemu, On?” tanya Dudung tak sabar.


“Iya... iya... sebentar, lagi kucari,” sahutku kesal.
Ternyata tak ada satu pun bahan ajaib untuk ramuan
itu tersedia di dapur. Padahal ramuan ini tidak terlalu aneh-
aneh dibanding yang lain. Abu dari buku roman kisah cinta
yang berakhir bahagia, surat cinta jomblo yang tersia-sia,
serta nyanyian lagu cinta dari sang peminta. Itu saja.
Harusnya tidak sesulit ramuan gigi tonggos kemarin yang
harus melibatkan kentut kuda segala. Tidak sesulit ramuan
pemutih kulit, misalnya, yang memerlukan kerokan daki
dari putri raja peri yang sedang puber-pubernya. Juga tidak
166

sesulit ramuan pemancung hidung, yang harus dibubuhi


upil Pinokio yang sedang dikutuk Kakek Gepeto (susah
carinya, kan?). Ramuan ini justru bahannya sederhana, tapi
sialnya... sedang tidak tersedia di dapur.
“Tidak ada, ya? Terus bagaimana?” Dudung terus
mendesak.
“Mmm... lagi kosong rupanya, Dung. Terpaksa kita
harus mengusahakannya sendiri.”
“Waduh.”
Tak kusangka, kami harus mencari sendiri bahan-
bahan ajaib untuk membuat ramuan. Itu pekerjaan Lik
Blonthang, aku tak tahu banyak soal itu. Benar kata
Dudung, ini lebih rumit daripada ramuan untuk Bang
Tonggos kemarin. Tapi kali ini kliennya adalah aku sendiri.
Aku membutuhkan ramuan itu, kalau tak mau dicekik
sampai mati oleh Joyce di sekolah besok. Sudah kepalang
tanggung, kami harus berhasil membuatnya. Harus. Ini
nyawa taruhannya.
Dudung berulang-ulang membaca lagi resep ramuan
dalam kitab burung gagak itu. Abu dari buku roman kisah
cinta yang berakhir bahagia, surat cinta jomblo yang tersia-
sia, serta nyanyian lagu cinta dari sang peminta. Itu yang
kami butuhkan. Tapi di mana dan bagaimana kami bisa
mendapatkannya? Rapat darurat di bawah pohon cerme
167

(pindah sementara ke rumah Mak Kerot) dibuka kembali.


Ini serius.
“Kita mulai dari bahan pertama dulu... abu dari buku
roman kisah cinta yang berakhir bahagia, di mana kita bisa
mendapatkannya? Ada pendapat?” ujar Dudung membuka
rapat.
“Di perpustakaan, banyak buku di sana.” Pendapat
pertama datang dari Bonbon.
“Tidak mungkin,” sanggah Dudung. “Yang kita
butuhkan adalah abunya. Untuk mendapat abunya, kita
harus bakar bukunya. Membakar buku perpustakaan adalah
kejahatan luar biasa. Kalau tertangkap, kita bisa membusuk
sampai tua di penjara.”
“Hiiih....” Bonbon bergidik.
“Jangan di perpustakaan. Beli saja, kau kan sering ke
toko buku loakan, Dung,” Aku mulai memberikan
pendapat.
“Hmmm... Pertama, ini sudah siang, dan toko loakan
itu adanya tujuh belas kilometer dari sini. Aku tak sanggup
pergi ke sana sekarang. Kedua, kalaupun ke sana, belum
tentu kita menemukan buku roman yang sesuai. Ketiga,
buku loakan pun harus dibeli pakai duit. Memangnya kau
punya duit, On?”
Aku menggeleng.
168

“Nah.”
“Terus bagaimana, Dung?”
“Alternatif paling mungkin saat ini, kita bikin sendiri
bukunya, lalu kita bakar.”
“Bikin buku roman sendiri? Kau bercanda, Dung?
Emangnya kita punya mesin cetak untuk bikin buku
sendiri....”
“Apakah di resepnya tertulis, harus buku cetakan?”
“Mmm... tidak.”
“Nah, berarti bisa buku apa saja, yang penting isinya
roman kisah cinta yang berakhir bahagia. Begitu, kan?”
“Nggg... iya.”
“Nah, tunggu apa lagi. Ayo kita tulis bukunya. Kamu
punya buku tulis, kan? Yang tidak terlalu berharga untuk
dibakar?”
“Mmm....”
Aku celingukan mencari buku tulis. Akhirnya pilihan
jatuh pada buku catatan matematika yang terpaksa
dikorbankan. Kurobek beberapa halaman yang sudah berisi
catatanku, dan sisanya yang masih kosong siap untuk
dijadikan buku roman kisah cinta yang berakhir bahagia.
“Apa yang harus ditulis?” tanyaku pada Dudung,
sementara di tanganku sudah siap pensil dan buku tulisnya.
169

“Apa saja, pokoknya semacam roman, kisah cinta


antara anak laki-laki dan anak perempuan,” jawab Dudung.
“Roman? Kisah cinta? Seperti apakah itu?”
Dudung tersenyum masam dengan raut wajah seperti
biasanya kalau menyadari bahwa temannya tidak tahu apa-
apa.
“Misalnya tentang kisah cinta Romeo dan Juliet.
Ayolah... kisah cinta mereka terkenal ke seluruh dunia,
masa kamu tidak tahu?”
“Aku pernah dengar,” tukas Bonbon. “Keluarga
mereka bermusuhan, tapi cinta menyatukan sepasang
kekasih itu, Romeo dan Juliet.”
“Ooh, begitu....” Aku mulai menuliskan cerita yang
dilontarkan Bonbon itu di buku tulisku.
“Bagaimana akhir ceritanya, Bon?”
“Mereka bunuh diri, mati semuanya,” jawab Bonbon
dingin.
“Jiaaah... kok bunuh diri, Bon! Kita membutuhkan
roman yang berakhir bahagia, bukannya tragis.” Aku
mendengus kesal.
“Mereka berbahagia selamanya di surga,” Bonbon
berkilah.
“Memangnya kamu tahu, mereka masuk surga atau
neraka?”
170

“Eh, entahlah.”
“Nah. Cari cerita yang lain saja.”
Kusobek halaman yang terlanjur kutulisi kata-kata
Bonbon. Kami bahas beberapa cerita lain yang kami pernah
dengar. Kisah Siti Nurbaya dan Samsul Bahri juga berakhir
dengan kematian. Kisah Roro Jonggrang dan Bandung
Bondowoso berakhir dengan pertengkaran, dan salah
satunya dikutuk menjadi patung. Kisah Lady Diana dan
Pangeran Charles pun berakhir dengan perselingkuhan,
perceraian, dan kecelakaan maut.
Hhhh.... Ada lagi?
Putri Salju? Ah, belakangan dia kan stres karena
semua anaknya mirip kurcaci.
Cinderela? Aih, apalagi yang itu, parah. Sang
Pangeran kan terobsesi pada sepatunya, bukan Cinderela-
nya. Ketika Cinderela semakin berumur dan gemuk, sepatu
kaca itu tidak muat lagi di kakinya. Dan Sang Pangeran pun
berpaling mencari gadis muda yang kakinya masih muat
dengan sepatu itu. Tragis.
Nobita dan Shizuka? Hadeeeh... ceritanya belum
tamat juga sampai sekarang.
“Yang bener aja, masa tidak ada satu pun yang
berakhir bahagia, Dung?”
Dudung mengangkat bahu.
171

“Begitulah kisah cinta, selalu berakhir menyebalkan.


Kamu hanya perlu sedikit lebih waras untuk tidak
terlambat menyadarinya. Maka, hati-hatilah dengan anak
perempuan.”
Dudung menyebut kata ―anak perempuan‖ sambil
bergidik geli, seperti melihat ulat bulu.
Aku garuk-garuk kepala. Belum satu huruf pun
berhasil kutuliskan di bukuku. Ternyata menjadi penulis
roman itu tidak semudah yang kukira.
“Ada nggak, orang di sekitar sini yang suka bercerita
tentang kisah-kisah macam itu? Yang bisa kita kutip untuk
dituliskan?” tanya Bonbon.
Cling! Itu ide cemerlang. Tak kusangka datangnya
dari Bonbon.
“Ada, tentu saja ada. Ayo kita ke warung Mbok Pur!”
seruku seraya berlari keluar sambil membawa pensil dan
buku tulis.
Walau tidak langsung paham, Bonbon dan Dudung
ikut berlari mengikutiku. Aku menuju ke warung Mbok
Pur, sekitar dua ratus meter dari rumah Mak Kerot. Siang-
siang begini, satu-satunya warung di Astana Gandamayit ini
biasanya agak rame. Jam makan siang. Kalau sedang ada
pengunjung di warungnya, Mbok Pur tak henti-hentinya
mengoceh. Ocehan apa lagi kalau bukan tentang gosip-gosip
172

hot yang menyangkut warga Astana Gandamayit dan


sekitarnya.
Kami bertiga duduk berjongkok di luar, bersandar ke
dinding warung yang terbuat dari gedhek serta beratap
rumbia itu. Suara Mbok Pur terdengar jelas dari luar, cukup
jelas bagi kami untuk mengutipnya.
“Mengapa kita di sini, On?” tanya Dudung heran.
“Sssttt... dengar! Banyak roman diberitakan Mbok
Pur dan pengunjung warungnya siang-siang begini,”
jawabku.
“Iiih, itu sih bukan roman. Itu gosip!”
“Ah, sama aja, bedanya cuma belum dibukukan.”
Gosip pertama dan paling hot adalah tentang Pak
Lurah dari desa sebelah yang berhasil mendapat izin dari
istrinya untuk kawin lagi. Istri mudanya adalah perawan
tua dari desa seberang sungai. Tapi kabar terakhir yang
beredar, Pak Lurah menuduh istri mudanya itu main pelet
alias guna-guna, dan perkawinannya yang baru seumur
jagung itu pun terancam berantakan. Ah, ini sih bukan
kisah cinta yang berakhir bahagia. Coret!
Gosip berikutnya yang tak kalah seru adalah tentang
Si Odie, bujangan tua ganteng dari pinggiran Gerbol yang
tak kawin-kawin juga, padahal hidupnya sudah mapan
dengan pekerjaan tetap sebagai pencatat meteran air.
173

Kabarnya, dia tidak suka cewek lokal. Gak ada yang


menarik, katanya. Seminggu yang lalu, dia pergi ke Jakarta
dan pulang membawa seorang gadis. Rupanya seperti itulah
gadis yang diidamkannya, betul-betul cantik jelita bak putri
kayangan. Pesta pernikahan yang meriah pun digelar, dua
hari dua malam. Tapi, di hari ketiga, Odie sudah ribut
hendak menceraikan istrinya, karena ternyata gadis cantik
itu katanya waria. Ah. Coret juga.
Walau tak seheboh gosip yang lain, Mbok Pur
menyinggung juga tentang Si Romli, buruh di toko
kelontong Babah Liong yang jatuh cinta pada putri
majikannya, Mey Shin. Kabar terakhir, Romli gagal bunuh
diri karena takut mati. Hmm... ini juga tidak bahagia. Coret
lagi.
“Sudah kubilang, kisah cinta pada akhirnya selalu
menyebalkan,” ujar Dudung.
“Kenapa tidak tanya langsung sama Mbok Pur,
mungkin dia punya stok cerita yang sesuai dengan
kebutuhan kita,” komentar Bonbon.
Ah, Bonbon semakin pinter saja akhir-akhir ini.
Kami tunggu sampai pengunjung warung yang
terakhir keluar, baru kemudian mengendap-endap masuk
ke dalam warung lewat pintu belakang.
174

“Lho, kamu On... kenapa sembunyi-sembunyi di situ?


Ayo masuk! Mau ngutang makan lagi, ya? Sayang tinggal
sisa lodeh tewel sama tempe gembus....” tegur Mbok Pur
dengan suaranya yang cempreng seperti piring pecah.
Perempuan gemuk yang umurnya pasti tak kurang
dari enam puluh tahun itu dengan sigap langsung
menyiapkan sekepal nasi di atas cobek, ditambah sepotong
tempe gembus, ditaburi terasi sedikit, lantas ditaruh di atas
lantai. Persis seperti memberi makan kucing.
“Nggg... bukan, Mbok. Bukan mau makan, cuma mau
minta tolong dikit,” sahutku dengan perasaan tidak enak.
Mendengar aku tidak hendak makan, kucing belang—
yang sejak tadi mengintai di bawah meja—langsung
mengembat isi cobek itu sebelum Mbok Pur sempat
mengambilnya kembali.
Bonbon terhenyak. Syok melihat kucing itu. Raut
wajahnya sukar dilukiskan.
“Ah, nasibmu, On... lagi-lagi keduluan sama Si
Belang. Lain kali kamu harus lebih gesit ya, kucing jaman
sekarang memang makin cekatan aja.”
“Nggak apa-apa, Mbok, kan sudah kubilang bukan
mau makan.”
“Ooh, ya. Tapi ini tetap kumasukkan ke catatan
utang Mak Kerot ya... Nasi lodeh sama empal satu.”
175

Dudung langsung melotot, kelihatan kalau hendak


protes. Aku lekas-lekas memberinya isyarat agar jangan
buka mulut. Ribut dengan Mbok Pur tidak akan selesai tiga
hari tiga malam, padahal kami membutuhkan ceritanya
untuk bahan ramuan sekarang juga.
“Nggg... anu, Mbok. Bisa minta bantu dikit, nggak?”
tanyaku.
“Bantu apa, On? Asal bukan yang susah-susah, ya?”
kata Mbok Pur seraya duduk dan menyiapkan racikan sirih,
tembakau, dan buah jambe, seperti biasa dilakukannya
kalau hendak menekuni hobi sampingannya selain
menggosip, yaitu mengunyah susur.
“Kami punya PR, Mbok... menulis kisah cinta yang
berakhir bahagia.”
Mbok Pur tertawa terkekeh.
“He he he he... aneh-aneh saja PR anak jaman
sekarang.”
“Ceritakan saja, Mbok, kami akan langsung
menulisnya,” kataku sambil menunjukkan pensil dan buku
tulis yang kubawa.
Mbok Pur tertawa terkekeh lagi.
“Mau cerita apa? Ande-ande Lumut? Roro Mendut–
Pronocitro? Apa Damarwulan–Menak Jinggo? Kamu suka
yang mana?”
176

Mbok Pur mulai mengunyah susur dari tembakau itu,


sambil sesekali diputar-putarnya di mulut. Nyaman sekali
kelihatannya. Kadang-kadang, kalau sudah penuh di mulut,
ia meludahkan dubang-nya (idu abang, ludah yang berwarna
merah karena buah jambe) ke dalam guci tembaga yang
ditaruhnya di lantai.
“Nggg... terserah, Mbok. Pokoknya harus yang
berakhir bahagia,” kataku menjelaskan.
Mbok Pur mengernyitkan keningnya, seperti berpikir
keras sekali, berusaha mengingat-ingat. Wajahnya yang
keriput tampak semakin keriput.
“Rasanya... tidak ada kisah cinta yang berakhir
bahagia. Semua kisah cinta pada akhirnya selalu
menyebalkan,” ujar Mbok Pur dengan nada bijak.
Dudung cengar-cengir. Merasa benar.
“Oh, begitu ya, Mbok? Tapi masa nggak ada satuuu...
saja cerita yang berakhir bahagia?” tanyaku memaksa.
“Mmm... entah ya, seingatku tidak ada dongeng cinta
yang berakhir bahagia.”
“Nggak harus dongeng, Mbok. Dari yang Mbok
dengar sehari-hari saja, atau yang Mbok alami sendiri,” aku
terus memaksa.
“Yang kualami sendiri?”
177

“Iya, Mbok. Mmm, apakah Mbok Pur hidup


bahagia?”
“Hmmm... mungkin, eh, tentu saja.”
“Nah, kalau begitu Mbok Pur pasti punya kisah cinta
yang berakhir bahagia.”
“Ya, mungkin, tapi tidak ada yang istimewa. Suatu
hari, ketika aku masih anak perawan bau kencur, Emak
memanggilku, katanya aku dilamar sama Pakwo Karso,
juragan blantik sapi. Kami dikawinkan, lalu punya anak
tujuh, dan cucu sekarang sudah dua belas.”
“Naaa... berarti Mbok Pur bahagia, kan?!”
“Yaaah, bisa dibilang begitu. Walau pakwomu
ternyata bukan blantik sapi, tapi pengamen kemidhi bedhes,
aku ikhlas. Tapi sebenarnya....”

*kemidhi bedhes = topeng monyet

“Terimakasih, Mbok,” kataku sambil buru-buru


menyelesaikan tulisan di buku tulisku, lalu mohon pamit.
“Lho, kok kamu tulis yang itu juga... itu kan bukan
cerita, itu curhat!”
Tapi protes Mbok Pur tidak kami dengar lagi karena
kami sudah berlarian kembali ke rumah. Buku roman kisah
cinta yang berakhir bahagia itu sudah kami dapatkan, walau
isinya cuma seperempat halaman buku tulis, hanya tulisan
tangan, dan tentu saja belum pernah diterbitkan. Tapi toh
178

namanya tetap roman, dan abunya bisa dipakai untuk


melengkapi ramuan. Sekarang tinggal membakarnya,
jadilah abu.

***

“On, kamu pernah ngutang makan di warung Mbok


Pur?” tanya Bonbon.
“Iya, pernah, sering juga,” jawabku apa adanya.
“Dikasih nasi sekepal di cobek?”
“Iya, begitulah.”
“Sama tempe gembus, terus ditaburi terasi?”
“Iya.”
“Lalu ditaruh di lantai?”
“Iya.”
“Berebut sama kucing?”
“IYAAA!”
Bonbon terdiam. [ ]
179

Bab 19
Lagu Cinta yang Tercemar

“K
au pernah mengirim surat cinta, Bon?” tanya
Dudung.
Bonbon menggeleng.

Bahan ajaib kedua yang harus kami sediakan tak kalah


bikin pusing. Surat cinta jomblo yang tersia-sia. Dari mana
bisa kami dapatkan?
Awalnya kami memaksa Bonbon menulis surat untuk
Joan, tapi Bonbon—yang biasanya mau melakukan apa
saja—kini menolak mentah-mentah. Iyalah, dia bukan tipe
cowok romantis yang bisa menulis surat cinta atau
semacamnya. Konon lunturnya keromantisan itu akibat
kutukan dari permainan War of Thrones. Aku sendiri jelas
tak mungkin, karena ulahku dengan Joyce malah terbukti
jadi malapetaka. Dudung? Ah, apalagi. Menyebut nama
anak perempuan saja ia langsung kegelian seperti melihat
ulat bulu.
180

“Hmm... sepertinya aku tahu seseorang yang mau,”


kata Bonbon dengan mimik muka cerdas. Ah, di episode-
episode terakhir ini dia memang tampil lebih cerdas dari
biasanya.
“Siapa, Bon?” tanyaku antusias, hampir berbarengan
dengan Dudung.
“Sopir papaku yang lagi nunggu di luar itu,” jawab
Bonbon.
“Oh, ya?”
“Iya, aku tahu dia naksir Mbakyu Narti, pembantu-
nya mamaku.”
Buru-buru kami mengikuti Bonbon mendekati
sopirnya yang tampak terkantuk-kantuk di belakang setir
mobil. Di telinganya terpasang earphone, tampaknya dia
sedang asyik mendengarkan musik. Kepalanya kadang
geleng-geleng dan kadang manggut-manggut. Matanya
setengah terpejam dan mulutnya sesekali komat-kamit.
“Bang Togar! Bang Togar!” Bonbon menyadarkan
sopirnya dengan suara keras.
“Bah! Kau ini bikin kaget orang aja, Bon!” gerutu
Bang Togar sambil bersungut-sungut. Dilepasnya earphone
dari telinganya. “Sudah mau pulang?”
“Ntar dulu... belum waktunya pulang. Aku mau
nawarin sesuatu.”
181

“Apa lagi? Aku ogah bawa mobil sedot WC ke


sekolahmu lagi. Bikin apes!”
“Yeeey... siapa juga mau bawa mobil sial itu lagi. Aku
nawarin buat ngantar surat Bang Togar.”
“Surat? Surat apaan?”
“Bang Togar pasti pengen kirim surat buat Mbakyu
Narti. Iya, kan? Iya, kan?” Bonbon mengedip-ngedipkan
matanya seperti orang cacingan.
“Ngirim surat? Ha ha ha... ada-ada saja kau ini. Untuk
apa kirim surat? Kirim sms aja lebih cepet, praktis lagi. Gak
usah repot nganter-nganterin.”
“Iiiih, bedalah, Bang. Mbakyu Narti itu kan orangnya
polos, model cewek agak kekuno-kunoan gitu. Daripada
sms, pasti dia lebih suka terima surat dari Bang Togar.
Kesannya lebih... meringis, eh... teroris, eh....”
“Romantis,” sela Dudung.
“Oiya, romantis. Betul nggak, Bang?”
“Hmmm... betul juga,” Bang Togar mengangguk-
angguk setuju.
“Nah, cepat tulis suratnya, Bang, nanti kusampaikan
sama Mbakyu Narti. Bila perlu, ntar sama dia kuomongkan
pula yang bagus-bagus tentang Abang. Bang Togar mau
kubilang apa ke Mbakyu Narti?”
182

“Bilangin kalau aku ini cowok pengertian, tanggung


jawab, dan tidak tegaan sama perempuan, ya Bon?”
“Okeeeh, beres, Bang!” kata Bonbon sambil
menyodorkan pensil dan kertas pada Bang Togar.
“Kok pakai pensil, Bon? Macam anak SD aja. Nggak
ada ballpoin apa?”
Bonbon menengok padaku. Aku mengangkat bahu.
Ballpoin terakhirku telah lenyap entah ke mana ketika aku
digotong ke puskesmas kemarin.
“Justru di situ seninya, Bang. Dengan pensil, kesannya
polos seperti anak-anak, jadi terlihatnya tuluuus banget.
Gituuu, Bang,” kilah Bonbon.
“Oiya, kamu pinter juga, Bon.”
Singkat cerita, surat cinta untuk Mbakyu Narti pun
selesai ditulis dengan segenap perasaan diiringi deraian air
mata yang tulus dari Bang Togar. Buru-buru kami berlarian
kembali ke rumah membawa bahan ajaib itu. Ramuan
untuk Joyce itu sudah hampir lengkap.
“Diapakan suratnya ini?” tanya Bonbon.
“Dibakar juga, ambil abunya,” jawab Dudung.
“Apa di resep tertulis kita perlu abunya?” sanggahku.
“Oiya, tidak. Cuma tertulis... surat cinta jomblo yang
tersia-sia, bukan abunya.”
183

“Nah, berarti lempar suratnya ke dalam kuali ramuan


itu sekarang. Tidak perlu dibakar dulu.”
“Tapi di resep katanya... bukan sekedar surat cinta,
tapi surat cinta jomblo yang tersia-sia. Maksudnya apa itu,
On?” tanya Bonbon.
“Bukankah Bang Togar itu masih jomblo?” Aku balik
bertanya.
Bonbon mengangguk.
“Dan yang ditulisnya ini surat cinta? Betul-betul surat
cinta?”
Bonbon mengangguk lagi.
“Harusnya surat ini kamu berikan pada siapa?”
“Mbakyu Narti.”
“Tapi kenyataannya surat itu kamu apakan?”
“Direbus dalam kuali.”
“Artinya apa?”
“Sia-sia saja Bang Togar menulisnya.”
“Nah, terjawab sendiri pertanyaanmu.”
“Oiya.”
“Nah, begitu. Apa lagi yang kita butuhkan, Dung?”
“Tinggal bahan terakhir, nyanyian lagu cinta dari sang
peminta.”
184

“Hmm... bagaimana kita bisa mendapatkannya?


Bahkan aku tak mengerti barangnya seperti apa...
nyanyian?” Aku menggerutu sendiri. Berpikir.
“Mungkin semacam kaset, atau CD?” tukas Bonbon.
“Hush! Masa CD direbus dalam kuali?” ejek Dudung.
Bonbon nyengir. Mungkin kecerdasannya mulai
pudar karena telat makan siang.
“Apa nggak ada penjelasan lain, Dung?” tanyaku.
Dudung membolak-balik lembar-lembar kitab kuno
itu, mencari-cari.
“Ah, sepertinya ini!” serunya dengan mata berbinar.
“Apa, Dung?”
“Tentang nyanyian sebagai bahan ramuan. Di sini
dijelaskan, kalau ada resep yang mengharuskan adanya
nyanyian, maka itu harus dinyanyikan sendiri oleh orang
yang meminta ramuan, langsung di atas kuali. Bila
nyanyiannya sesuai dengan resep, ramuan akan mendidih
dan bergolak lalu berubah warna. Bila ramuan sudah
berubah warna, maka bacakanlah mantra-mantra burung
gagak.”
Aku mengerutkan kening.
Dudung dan Bonbon tertawa terkekeh.
“Mengapa kalian tertawa?”
185

“Siapa yang butuh ramuan ini? Tentunya kamu. Jadi


kamulah Sang Peminta yang harus menyanyikan lagu cinta
itu,” jawab Dudung.
Mereka tertawa lagi.
Menyanyi. Aduh. Satu kata horor yang paling
kutakuti, bukan demit, serigala, perampok, apalagi
kuntilanak. Bukan itu. Dibanding itu semua, aku lebih
takut pada... menyanyi. Aku paling takut kalau disuruh
menyanyi. Dudung dan Bonbon tahu itu.
Di sekolah, aku selalu menghindari keharusan
menyanyi. Kecuali kalau menyanyi bersama-sama dalam
barisan besar, tidak apa-apa, karena aku bisa pura-pura
membuka mulut lebar-lebar, tanpa mengeluarkan suara.
Tapi kalau menyanyi solo, aduh... nggak deh. Mungkin ini
kutukan sebagai anak angkat Mak Kerot. Bila menyanyi,
suaraku pun berderit bagai gesekan gergaji tumpul di
potongan besi berkarat.
Suara itu cocok sekali untuk merapalkan mantra
bisik-bisik burung gagak, bisa membangun suasana magis
yang sangat mencekam. Tapi kalau untuk menyanyikan
lagu-lagu manusia, hmmm... kebanyakan orang akan
memilih digampar telinganya dengan pantat wajan gosong
daripada mendengar aku menyanyi.
186

“Kalian tahu, aku tidak bisa menyanyi,” geramku


kesal.
“Bukan soal bisa atau tidak bisa, On,” sahut Dudung.
“Kalau masih hendak membuat ramuan untuk
menundukkan Joyce, kau harus melakukannya. Kecuali...
kau sudah merelakan lehermu?”
Oh, tidak.
“Nggg... tapi, aku tidak tahu satu lagu pun.”
“Coba dululah, lagu apa pun yang kau bisa, siapa tahu
berhasil,” desak Dudung.
“Tapi katanya harus lagu cinta, Dung?” tanya
Bonbon.
“Iya, tapi nggak perlu susah-susah. Terserah lagu apa
yang Oon bisa, tambahkan kata SAYANG atau CINTA,
sudah jadi lagu cinta. Iya, kan?”
“Hah, begitu?” Bonbon tampak bingung, tapi
mengangguk-angguk juga.
“Iya. Ayolah, On. Menyanyilah di depan kuali itu.”
“Baik, tapi berjanjilah kalian tidak akan tertawa!”
ancamku.
“Oke, oke. Aku tidak akan tertawa, kecuali kalau
terpaksa,” kata Dudung.
“Iya, aku juga,” sambung Bonbon.
187

Bulir-bulir keringat mulai bermunculan di keningku.


Jari-jari tanganku mulai gemetar. Tak lama lagi tanganku,
dan kemudian seluruh tubuhku akan ikut gemetar.
Jantungku berdetak kencang, dan mulutku... seperti
terkunci. Seperti itulah kalau aku disuruh menyanyi di
depan kelas. Ketakutan. Seakan-akan semua orang yang
menyaksikan akan menelanku hidup-hidup.
Tapi mengingat Joyce, aku tak punya pilihan lain.
Cewek raksasa itu bisa meremukkan tulang leherku dalam
sekejap. Dia betul-betul harus ―dijinakkan‖. Ramuan ini
harus jadi, apapun pengorbanannya, termasuk dengan
melakukan satu hal yang paling kutakuti: menyanyi.
Terpaksa, aku harus menyanyikan satu-satunya lagu yang
aku bisa. Kebetulan lagunya mengandung kata ―sayang‖
seperti kata Dudung.
Aku menarik nafas dalam-dalam, menampungnya di
dada, lalu menghembuskan pelan-pelan seraya mulai
mengalunkan suaraku semerdu mungkin. Tapi, walaupun
aku sudah mengerahkan kemampuan sesuai teknik
menyanyi yang benar seperti diajarkan Bu Guru Kesenian
di sekolah, tetap saja yang keluar adalah suara menderit
bagai gesekan gergaji tumpul di potongan besi berkarat.
Satu-satu... aku sayang ibu
Dua-dua... juga sayang ayah
188

Tiga-tiga... sayang adik-kakak


Satu-dua-tiga... sayang semuanya
Bonbon terpana. Dudung menatapku dengan
pandangan mata sangat tersiksa. Biar saja, yang penting
mereka menepati janjinya untuk tidak tertawa. Air ramuan
masih seperti sediakala, tidak bergolak ataupun berubah
warna.
“Berhasil, On?” tanya Dudung setelah aku
menyelesaikan satu bait lagu itu dan mengusap peluh yang
bercucuran di keningku. Pertanyaan Dudung lebih
terdengar seperti ejekan, karena dia juga tahu bahwa belum
ada efek apa-apa yang ditimbulkan oleh nyanyian itu.
“Sepertinya belum, Dung. Apa harus kuulangi
nyanyianku?”
“Tidak usah. Sampai lebaran monyet pun ramuan itu
takkan jadi. Percuma!”
“Lho, kenapa?”
“Lagumu salah. Disuruh nyanyikan lagu cinta, kok
malah macam itu.”
“Lho, tadi kau bilang yang penting ada kata sayang....”
“Uuuh, tapi bukan lagu yang itu!”
Dudung tampak kesal. Aku bingung. Masalahnya aku
hampir-hampir tak mengenal lagu yang lain. Lagu ―satu-
satu, aku sayang ibu‖ itu pun kebetulan aku bisa karena tiap
189

kali mengantar Bonbon ke kantin aku mendengar anak


Mbak Kantin yang masih balita menyanyikannya.
Bonbon tampak berpikir serius. “Ah, aku ada ide,”
katanya kemudian.
Bonbon berlari keluar. Sejurus kemudian, ia kembali
membawa sesuatu. Rupanya ia meminjam radio FM
portable yang sejak tadi menemani Bang Togar di mobilnya.
Walaupun wajah Bonbon tampak sangat memelas karena
jam makan siang semakin jauh terlewati, tapi otaknya
menunjukkan tanda-tanda masih bekerja.
“Ini On, pakailah!”
“Apa ini?”
“Ini radio FM portable, pasang earphone-nya di
telingamu!”
Bonbon memasang benda itu menutup kedua lubang
telingaku. Aku pasrah saja. Seketika terdengar suara musik
dangdut koplo berdentam-dentam memenuhi kepalaku.
Panteng terus Radio Mendhut FM, radionya rakyat
jelata. (Itu suara penyiarnya, yang menirukan suara Upin
dan Ipin). Nemu gedhang nisor kemul, madhang mul... betul
betul betul?
“Dengarkan, On, menyanyilah seperti yang kau
dengar!” kata Bonbon.
190

“Tapi lagunya apa, Bon? Kalau gak sesuai resep kan


percuma!” protes Dudung.
“Ikuti saja, dari banyak lagu pasti nanti ada yang
cocok. Lagu-lagu itu apa sih temanya kalau gak sekitar
cinta-cintaan. Lagipula radio ini kan favoritnya Bang Togar
yang lagi kasmaran,” sahut Bonbon membela idenya.
Aku tak punya pilihan lain. Menyanyi sendiri aku tak
bisa. Terpaksa mengikuti panduan dari radio favorit Bang
Togar itu. Mula-mula sulit, tapi tak berapa lama aku mulai
bisa mengikuti.

Pertama, beta mengenalmu,


rasanya biasa-biasa saja
Kedua, berteman denganmu,
lama-lama kujatuh hati padamu
bercanda tawa bersama,
bahagia karena saling suka
kadang cemburu mewarnai hari-hari... kita berdua
witing tresno jalaran soko kulino, jarene wong jowo
witing tresno jalaran soko kulino, jarene wong jowo

Mungkin suaraku masih menderit bagai gesekan


gergaji tumpul di potongan besi berkarat, tapi aku tak
terlalu mendengarnya. Perhatianku lebih terfokus pada
suara dari radio yang mengumandangkan lagu ―Waiting
Tresno‖ berirama reggae dangdut koplo itu. Sepertinya itu
191

membuatku lebih percaya diri. Aku semakin merasa bebas


menyanyi. Mungkin suaraku semakin keras. Entahlah,
hanya Bonbon dan Dudung yang tahu, bagaimana
terdengarnya suaraku kini. Yang jelas, mereka tampak
semakin tersiksa.
Ramuan di kuali tembikar itu tenang-tenang saja. Tak
ada tanda-tanda berubah.
“Lagunya sudah benar, tapi kamu yang kurang
menjiwai, On!” teriak Dudung.
“Iya, On. Pakai gaya, dong! Nah, betul, sambil joget.
Mimiknya itu juga, bikin agak mesum dikit!” teriak
Bonbon juga, bagai pengarah gaya kawakan.
Menyusul lagu berikutnya dari radio, aku berusaha
mengikuti dengan lebih menjiwai. Kulenggak-lenggokkan
badanku ke kiri dan ke kanan, mengikuti irama lagu.

Ketawan suaramu, kelingan manise esemmu


kang tansah ngreridhu, gawe kangen roso atiku
Loro nelongso, roso kebak neng jero dodo
Sepinee... uripku, ora endah tanpo sliramu
Udane grimis wayah wengi, soyo nambah kangene ati
Panglipurku mung nyawang foto
Koyo ngene rasane... kangen bojo
192

*Terjemahan:
Terkenang suaramu, teringat manisnya senyummu
yang selalu terbayang, membuat rindu terasa di hatiku
Sakit dan sengsara, terasa memenuhi dada
Sepinyaa... hidupku, tak seindah bersama dirimu
Hujan gerimis di waktu malam, semakin menambah
rindu di hati
Penghiburku hanya memandang foto
Seperti ini rasanya... kangen istri
(Lagu berjudul ―Kangen Bojo‖)

Permukaan air ramuan di kuali tembikar itu mulai


bergerak-gerak. Satu dua butir gelembung mulai
bermunculan dari dasar kuali. Tapi hanya sesaat, kemudian
mereda lagi.
“Hai! Hai! Lihat! Mulai timbul reaksinya!” teriak
Dudung kegirangan.
“Iya, betul. Tapi masih kurang kuat reaksinya. Lebih
semangat lagi, On! Ayooo... kamu bisa!” teriak Bonbon
membakar semangat.
Semangatku mulai bangkit. Yes! Ternyata aku bisa.
Lagu berikutnya, aku semakin percaya diri. Dengan suara
yang semakin keras, dan gaya yang semakin bebas, aku
terus bernyanyi dan berjoget. Mataku sampai terpejam-
193

pejam supaya wajahku kelihatan semakin menjiwai


lagunya.

Abot rasane nandang kangen ati, mergo tresnoku sing


gedhi. Tansah kelingan awan bengi...

Mung bisa telpon marang sliramu, gawe tombo kangen


rinduku, mergo adoh jarak sliramu...

Mendem kangen, jeroning atiku

soyo jeru, mung telpon sliramu

Mendem kangen, pengen ketemu

najan sakkedhep wes marem atiku

*Terjemahan:
Berat rasanya menahan rindu di hati, karena cintaku
begitu besar. Selalu teringat siang dan malam...
Hanya bisa menelpon dirimu, untuk obat kangen
rinduku, karena jauh jarak dirimu...
Memendam rindu, di dalam hatiku
semakin dalam, hanya menelpon dirimu
Memendam rindu, ingin bertemu
walau sekejap puaslah hatiku
(Lagu berjudul ―Mendem Kangen‖)
194

Ramuan di dalam kuali tampak semakin gelisah,


bergerak seperti ada yang “mengaduknya”. Gelembung-
gelembung semakin banyak bermunculan, dan uap tipis
mulai mengalun di permukaannya. Tapi belum tampak
perubahan warna.
“Bagus! Terus, On, terus... pertahankan, ini semakin
matang!” seru Dudung.
“Iya, On, lebih semangat lagi. Jogetnya yang kenceng.
Taaarik, Maaang!” Bonbon menimpali.
Badanku sudah basah kuyup oleh peluh, dan nafasku
semakin kembang-kempis, tapi aku semakin bersemangat.
Aku terus bernyanyi sambil berjoget habis-habisan.

Ember teriak ember, sampai suaranya sember


Ngember sampai dower...
dasar ember ya tetap ember
Ember teriak ember, sampai suaranya sember
Ngember sampai dower...
dasar ember ya tetap ember

(Kok ada lagu macam itu ya?)

Ada jeruk makan jeruk, rasanya tetap jeruk


Pagar makan tanaman, sungguh menyakitkan
Menggunting dalam lipatan, menikam dari belakang
Kalau teman makan teman, itu bukan temaaan...
195

Mungkin ini hanya perasaanku saja, tapi sepertinya


raut wajah Dudung dan Bonbon berubah. Seperti ada yang
ditahannya. Seperti menahan perut mulas, atau menahan
tawa, entahlah. Mungkin ada yang aneh dengan
penampilanku, atau mungkin lagunya yang aneh. Entahlah.

Ember teriak ember, sampai suaranya sember


Ngember sampai dower...
dasar ember ya tetap ember

Mulut Bonbon menggembung. Hidungnya yang


pesek itu mekar kembang-kempis. Kurang ajar. Pasti anak
itu sedang berusaha mati-matian menahan tawa. Dudung,
walau cuma cengar-cengir, tapi kelihatan bahunya bergetar.
Itu pasti getaran akibat tawa terpingkal-pingkal yang
ditahan dalam dada. Ih, awas kalian, ya!
“Aduh, kok jadi begini? Jangan-jangan salah lagu,
nih!” tukas Dudung tiba-tiba.
Sesuatu terjadi pada ramuan itu. Yang tadinya
bergolak seperti hampir mendidih, tiba-tiba mereda.
Gerakannya melambat. Ke arah menjadi tenang, padahal
warnanya belum berubah.
“Kenapa? Bukan lagu cinta, ya? Hhh... ramuan ini
rewel sekali sih, masa kurang cocok dikit aja udah
ngambek,” gerutu Bonbon.
196

“Iya, sepertinya lagu yang terakhir itu tidak direstui.


Reaksinya jadi menurun. Apa nggak bisa radionya diganti
chanel, Bon?” tanya Dudung.
“Apa, ganti chanel? Tak mungkin. Ini radio yang
paling konsisten memutar lagu-lagu, Dung. Kalau ganti
chanel lain, bisa-bisa dapat acara talk show atau warta berita.
Nah, kalau kebetulan dapat berita kericuhan dari Sidang
DPR, bisa-bisa ramuan ini meledak saking gemesnya.”
“Owh, lantas bagaimana, Bon?”
“Ya, biarkan aja dulu. Biarkan Oon terus bernyanyi,
mumpung semangat. Siapa tahu setelah ini lagunya lagu
cinta lagi.”
Tapi lagu berikutnya malah jadi begini:

Aku pengen penthol, sing ono endhoge


Aku pengen penthol, sing dobel endhoge
Aku pengen penthol penthol penthol! sing okeh emiii...ne

*Terjemahan:
Aku ingin penthol (bakso), yang ada telurnya
Aku ingin penthol, yang double telurnya
Aku ingin penthol penthol penthol! yang banyak mienya
(Entah lagu apa ini, ngidam penthol mungkin)

Kali ini Dudung hampir tak bisa menahan diri lagi. Ia


cekikikan dengan suara tertahan. Aku melotot lebar-lebar
197

sambil mengancam mereka dengan kepalan tangan. Bonbon


yang hampir membuka mulut untuk ngakak,
mengatupkannya lagi melihat ancamanku. Tapi masalahnya
bukan hanya itu. Sepertinya lagu yang mengulang-ulang
tentang penthol, endhog, dan mie ini membuatnya perutnya
memprotes jam makan siang yang telah lewat.

Aku pengen penthol, sing ono endhoge


Aku pengen penthol, sing dobel endhoge
Aku pengen penthol penthol penthol! sing okeh emiii...ne

Ramuan itu semakin melambat, bahkan hampir


berhenti bergerak. Tidak ada lagi gelembung-gelembung.
Aku berharap, lagu yang berikutnya bisa menyelamatkanku
dari kondisi yang tidak menguntungkan ini.
Entah apa harapan itu bisa terkabul, karena lagu
berikutnya malah begini:

Rasa hati ini uwes broken


Nemu kamu wes tak sobek-sobek
Kangmas hompimpa sama miss tukinem
Don’t alesan, don’t many alesan
I sudah know you masih suka ampyang
Your wife ini minta diceraikan
Sirahku saiki uwes mumet
gara-gara ai think macem-macem
198

Ora peduli how do you how how


yang penting aku uwes seneng
Its oke wae mas, its oke wae
Aku rapopo, aku rapopo, aku rapopo...
Don’t comeback again mas,
ojo comeback again
Aku rapopo, aku rapopo, aku rapopo...

*Terjemahan:
Sorry, google translate-nya bingung, iki bahasa opo ya?
(#akurapopo)

Dudung membekap mulutnya sendiri dengan dua


tangan, tapi bahunya terpingkal-pingkal tanpa bisa ditahan.
Bonbon tampak lebih bisa mengendalikan diri. Walau
wajahnya membiru dan mulutnya menggembung, tapi
bibirnya bahkan tak tampak bergerak sedikit pun. Ia
sanggup menahan kegelian itu agar tak terlepas dari
mulutnya. Tapi kedua tangannya meremas perut, seakan
ada sesuatu yang lebih sulit ditahan di situ.
Dan tiba-tiba....
PRET PRET... PREEET... PRET PRET PRET
PRET... PREEET!
Itu suara apa?
199

Ya, ampun! Bonbon menahannya agar tak keluar dari


mulut, tapi malah jebol di bawah. Baru kali ini aku
mendengar suara kentut bisa terpingkal-pingkal begitu!
Hwakaka ka ka ka kaaak..... Dudung terbahak-bahak
menyusul kemudian. Ah, dia sih cuma ikut-ikutan.
Ketularan Bonbon. Itu biasa, namanya reaksi berantai.
Ketawa ngakak memang selalu menulari orang terdekat
yang mendengarnya, sehingga ikut ngakak pula. Apalagi
bila suara ngakak itu muncul dari pantatmu. Lebih
menular!
“Hai, lihat!” seruku.
Ramuan itu mendadak bergolak lagi, lebih hebat. Lalu
berpusing, cepat sekali seperti diaduk dengan mesin.
Gelembung-gelembung air mendidih hilang-timbul. Uap
mengalun di atas permukaannya, dan cepat bertambah
tebal. Tak berapa lama kemudian airnya pun berubah
warna. Mula-mula keabu-abuan, lalu berubah jadi hitam...
kemudian biru... biru muda... jadi abu-abu lagi... lalu putih
seperti susu... dan akhirnya... menjadi jernih lagi seperti air
minum dalam kemasan.
“Bravo! Kita berhasil! Kita berhasil!” seru Dudung
kegirangan. “Ayo, On, cepat bacakan mantra burung
gagaknya!”
200

Aku sebenarnya capek sekali. Mulutku terasa kering


dan tenggorokanku sakit. Menyanyikan lagu-lagu
permintaan ramuan itu sungguh melelahkan. Serasa tak
percaya aku sudah melakukannya. Dan kini aku tetap harus
merapalkan mantra-mantra itu.
Tak ada masalah dengan mantra burung gagak. Justru
dalam kondisi capek mulut seperti ini suaraku lebih
mendekati mirip dengan Mak Kerot. Kuharap itu bisa
membuat ramuan ini jauh lebih berkhasiat daripada yang
pernah kami coba bikin kemarin.
Aroma semerbak mewangi muncul dari ramuan yang
terus beruap itu. Bagai wangi dupa dari kuil-kuil eksotis di
zaman kerajaan kuno, wanginya membuatmu merasa sangat
nyaman. Nyaman, damai, dan tenang. Hmmm....
Tapi ada yang sedikit membuatku galau. Kenapa
ramuan itu baru bereaksi setelah muncul suara pret pret
preeet berirama aneh itu, padahal sebelumnya aku sudah
menyanyi setengah mati dan tak juga berhasil. Jadi mana
sebenarnya yang berhasil menyempurnakan ramuan itu,
nyanyianku... atau pret pret preeet sialan itu?
Ah, sudahlah. Yang penting ramuan itu sudah jadi.

***
201

“On, kamu punya nasi?” tanya Bonbon dengan wajah


memelas.
“Oh iya, ada,” jawabku.
Kuambilkan sekepal nasi, kutaruh di atas cobek, lalu
kutaburi sedikit terasi. Kuletakkan nasi secobek itu di
lantai, dan Bonbon segera menyergapnya dengan gesit,
seakan takut keduluan kucing.
Meeooong...! [ ]
202

Bab 20
Ada Apa dengan Bonbon?

A
ku berangkat pagi-pagi sekali. Aku harus tiba
di sekolah sepagi mungkin, menghindari
kemungkinan berjumpa Joyce di pintu
gerbang. Bagaimanapun, aku masih ngeri bertemu
dengannya. Ramuan itu memang sudah dibawa oleh
Dudung dan Bonbon kemarin, tapi aku tidak tahu apakah
mereka berhasil membuat Joyce meminumnya. Dan
kalaupun Joyce meminumnya, aku tidak tahu apakah
efeknya akan seperti yang kami harapkan.
“Hai, On!” tiba-tiba seseorang menyapaku. Ah, selalu
saja Dudung yang paling dulu tiba di sekolah.
“Oh, kamu, Dung. Bikin kaget orang saja. Bagaimana
rencana kemarin, berhasilkah?” tanyaku.
“Jangan khawatir, semua urusan pasti beres di tangan
Dudung,” jawab Dudung sambil menepuk dada.
“Jadi dia sudah meminumnya, bagaimana caranya?”
203

“Mudah saja, pakai taktik lama. Aku dan Bonbon


pura-pura membantu Mbak Kantin melayani pembeli dan
mengelap meja di jam istirahat. Biasanya kami dapat upah
satu atau dua kantong keripik pedas. Lumayan. Tapi hari
ini yang penting bukan keripik pedasnya, tapi kesempatan
untuk mengantar satu mangkuk besar Nasi Soto Ayam
Lamongan dengan dua potong empal besar-besar ke meja
Joyce.”
“Ooh, terus?”
“Kumasukkan beberapa tetes ramuan itu ke dalam
kuah sotonya.”
“Ha, bagus! Dan Joyce memakan sotonya?”
“Tentu saja, bahkan ia hampir memakan mangkoknya
sekalian kalau tidak ditegur sama Mbak Kantin.”
“Sip, beres kalau begitu. Perubahan apa yang kau lihat
setelah ia selesai makan?”
“Mmm... entahlah. Ia bersendawa, suaranya seperti
dengkuran babi. Tapi itu sudah biasa. Hanya kamu yang
bisa membuktikan perubahan sebenarnya. Melintaslah di
depannya. Kalau dia menyerangmu, berarti ramuan itu
gagal.”
Hiii.
Aku tak mau melintas di depannya. Sama sekali tidak.
Malah aku buru-buru masuk kelas. Takut. Tapi Pak Darto
204

Jenggot menyuruhku mengerjakan soal-soal UTS Susulan di


ruang perpustakaan, diawasi ibu guru yang cantik. Walau
pikiran rasanya tidak tenang, kuusahakan mengerjakan soal-
soal itu sebisanya.
Teng! Teng! Bel jam istirahat pertama. Aku berlari
masuk ke kelasku sebelum anak-anak lain keluar kelas.
Takut. Bonbon mengajakku keluar, tapi aku menolak. Saat
ini, bagiku tempat teraman di dunia adalah di dalam kelas.
Selepas jam istirahat, aku disuruh kembali ke
perpustakaan. UTS Susulan belum selesai, masih ada lagi
soal-soal yang harus kukerjakan. Hmh, ini gara-gara bolos
terlalu lama, jadinya ujian susulan menumpuk. Pikiranku
kacau. Sesekali aku melirik ke arah pintu, takut kalau tiba-
tiba Joyce mendobraknya dan menyerbu masuk. Pasti di
jam istirahat pertama tadi beredar info bahwa Oon sudah
masuk sekolah lagi. Kalau Joyce mendengarnya, mungkin ia
takkan sabar menunggu untuk menghabisiku. Di ruang
perpustakaan yang sepi ini, hanya ibu guru yang cantik tapi
kerempeng itu yang menjagaku, pasti takkan sanggup
membendung serangan Joyce.
Krik krik... krik krik. Sepi. Angin berhembus lesu
melalui jendela.
Tidak ada kejadian apapun hingga bel jam istirahat
kedua berbunyi.
205

Teng! Teng!
Tiba-tiba Dudung muncul di pintu perpustakaan.
“On, ayo kita keluar!” ajaknya.
Aku menggeleng.
“Ayolah, kau harus tabah. Hadapi dunia, oke?!
Apapun yang terjadi, kita telah berjuang keras untuk
melakukan yang terbaik.”
Nasehat Dudung tidak tulus. Aku tahu dia lebih
didorong oleh rasa penasaran apakah ramuan itu berhasil
mempengaruhi Joyce atau tidak, bukan mengkhawatirkan
keadaanku. Kalaupun nanti aku mati di tangan Joyce,
paling-paling dia cuma angkat bahu dan berkata, “Resepnya
salah, ternyata tidak berhasil.”
“Aku belum mau mati sekarang, Dung.”
“Ah, apa bedanya sekarang sama besok? Kalau
memang waktunya mati ya mati aja, On. Biarpun kamu
sembunyi di ruang kepala sekolah, kalau sudah tiba
waktunya tidak ada yang bisa menghalangi malaikat maut
menjemputmu,” ujar Dudung.
“Iya, sih, tapi....”
“Sudah, nggak usah tapi-tapian. Ayo keluar! Nggak
mungkin selamanya kamu hidup dalam ketakutan!”
Dudung menyeretku keluar dari perpustakaan. Kalau
sudah maunya, anak itu memang sulit dibantah. Jantungku
206

berdebar seru, tapi seluruh badanku rasanya lemas sekali.


Aku takkan sanggup berjalan walau selangkah bila bukan
karena Dudung yang terus menyeret-nyeretku.
Dan kami menuju tempat yang paling kutakuti.
Kantin.
Raksasa itu duduk sendiri di pojok, menghadapi satu
mangkok besar Nasi Soto Ayam Lamongan dengan dua
potong empal besar-besar. Seember donat kentang tersedia
juga di atas mejanya, menu cuci mulut agar dia tidak
mengunyah mangkok.
“Dung....”
“Ayoooh, terus maju!” Dudung mendorongku agar
terus berjalan masuk kantin.
Dan kemudian aku mendapati diriku berdiri di tengah
ruangan kantin. Di antara anak-anak lain yang sibuk
menghabiskan makanannya, atau masih berebut minta
didulukan pesanannya, dan Mbak Kantin yang sibuk
mondar-mandir melayani semuanya.
“Kalian mau mesan apa?” tanya Mbak Kantin.
“Tidak pesan apa-apa. Kami hanya mau berdiri di sini
sebentar. Memangnya nggak boleh?!” sahut Dudung sambil
bersungut-sungut.
“Hei, ini kantin, bukan lapangan upacara...,” damprat
Mbak Kantin. Untung banyak anak lain yang harus
207

dilayani sehingga ia tak sempat untuk mengomel lebih


panjang lebar lagi.
Aduh. Joyce melihatku. Matilah aku sekarang. Ia
mengerutkan kening. Jantungku berderap kencang seperti
kuda kesetanan. Matanya melotot. Butiran peluh sebesar-
besar jagung bermunculan di wajahku. Ia mengunyah donat
kentang. Kukira aku melihat ia sedang mengunyah tulang-
tulangku.
“Ia melepaskanmu,” bisik Dudung.
“Apa?”
“Ia membiarkanmu. Kau selamat. Ayo kita pergi.”
Sepertinya begitu. Cewek perkasa itu kulihat kembali
menekuni semangkok besar Nasi Soto Ayam Lamongan
dengan dua potong empal besar-besar di depannya. Ia tidak
mempedulikan aku. Betul. Aku selamat.
Fyuuuh, akhirnya (bernafas lega).
Dudung menarikku keluar dari kantin. Mungkin
sebaiknya begitu, sebelum algojoku itu berubah pikiran. Di
pintu kantin kami hampir bertabrakan dengan Bonbon.
“Hai, dari mana saja kalian? Kok ke kantin gak
ngajak-ngajak?” tuduh Bonbon.
“Hus, diam! Kami baru saja hendak pergi. Barusan
kami ngetes ramuan kemarin,” sahut Dudung.
“Oh, ya? Dan hasilnya?” Mata Bonbon membelalak.
208

“Agak aneh, mari kita bicarakan di markas besar,”


jawab Dudung. Yang dimaksudnya markas besar adalah di
bawah pohon cerme di belakang WC sekolah.
“Nggg... tapi aku lapar. Sebentar aku makan dulu,”
kata Bonbon.
Kalau menunggu Bonbon selesai makan, tentu tidak
ada waktu untuk membuka rapat di bawah pohon cerme.
Jam istirahat terbatas waktunya. Dudung hendak
memprotes, tapi Bonbon sudah ngeloyor masuk kantin
memesan makanan.
Aku diam saja. Perasaan baru lolos dari maut masih
menguasai pikiranku. Dudung berdiri menyilangkan lengan
di dada dengan wajah cemberut. Tampak kesal. Sepertinya
ada sesuatu yang sedang mengganggu pikirannya. Sesuatu
yang genting dan perlu segera dibicarakan.
“Apa judul ramuan yang kita buat kemarin?” tanya
Dudung.
“Mmm... insukatisam, kalau tidak salah, bagaimana
membuat seseorang jadi pemujamu,” jawabku.
“Betul... dan apa kaulihat sekarang Joyce sudah
bertingkah seperti pemujamu?”
“Sepertinya tidak,” gumamku sambil melirik Lee Min
Ho yang duduk di sebelah sana, sementara di depannya
209

cewek-cewek berkerumun, berebutan menyuapkan donat


kentang ke dalam mulutnya.
“Jadi ramuan itu ternyata gagal,” desah Dudung
kecewa.
“Tidak sepenuhnya gagal,” sanggahku. “Setidaknya
berhasil menyelamatkan nyawaku dari keganasan Joyce.”
“Menyelamatkan nyawamu? Ada-ada saja, kaupikir
Joyce bisa berbuat apa padamu?”
“Katamu, dia bersumpah akan mencekikku sampai
mati bila berani menginjakkan kaki di sekolah.”
“Siapa bilang begitu?”
“Kamu.”
“Kapan?”
“Kemarin, sebelum kita membuat ramuan itu.”
“Oh ya? Aku lupa.”
Sialan. Ada sesuatu yang meletup di dadaku. Jadi
kabar bahwa Joyce bersumpah akan mencekikku sampai
mati itu cuma hoax rupanya. Seharusnya aku tahu, itu
cuma akal-akalan Dudung agar kami kembali bermain-main
membuat ramuan dari kitab burung gagak. Kurang ajar
anak itu. Dua hari dua malam pantatku serasa digigiti demit
gara-gara ketakutan setengah mati, dan sekarang dia cuma
cengar-cengir. Tidak tampak merasa bersalah sama sekali.
“Sialan kau, Dung!”
210

“Hus! Tidak boleh mengumpat, On. Sekarang yang


harus dievaluasi adalah kenapa ramuan itu bisa gagal. Kita
harus menarik pelajaran berharga dari kegagalan, bukan?”
Mungkin sepanjang sisa jam istirahat itu akan
kuhabiskan untuk mendamprat Dudung panjang-pendek
seandainya tidak ada kejadian lain yang lebih aneh.
“Sssttt... lihat!” kata Dudung sambil menunjuk ke
dalam kantin.
Bonbon. Anak itu kebingungan karena tiba-tiba Joyce
memaksa agar duduk semeja dengannya. Bukan hanya itu,
bahkan Joyce juga sibuk memasangkan serbet di dadanya,
lalu menyuapinya seperti anak kecil. Kelihatannya Joyce
sangat senang melakukannya, wajahnya cerah dan matanya
berbinar-binar, tidak peduli semua orang tertawa
melihatnya. Sementara Bonbon terbengong-bengong
dengan wajah merah-padam.
Oh. Baru kumengerti sekarang, mengapa aku
berfirasat buruk ketika mendengar irama pret pret preeet...
kemarin.

***

Pasti kamu bisa membayangkan bagaimana


perasaanku. Sakitnya tuh di sini, Bro! Lihat, aku menunjuk
ulu hatiku, bukan pantat. Rasanya seperti ditonjok-tonjok.
Kesal. Kesal. Kesaaal!
211

Ajakan Dudung untuk membuat ramuan yang bisa


“menyembuhkan” Joyce kutolak mentah-mentah. Bahkan
kuancam anak itu dengan gagang sapu bila berani-berani
mendekati rumahku. Sekali dikibuli, enggan aku berteman
dengannya lagi. Aku tak mau lagi bereksperimen dengan
ramuan-ramuan dari kitab burung gagak. Kapok.
Entah sampai kapan Joyce akan berada di bawah
pengaruh ramuan itu, kami tidak tahu. Mungkin Bonbon
akan setiap hari, atau bahkan setiap saat, mempertanyakan
hal itu. Ia yang harus menghadapi tingkah-polah Joyce
setiap hari. Dari pagi hari saat pintu gerbang sekolah
dibuka, hingga siang hari saat ia meninggalkan sekolah.
Sepagi apapun Bonbon tiba di sekolah, selalu Joyce
sudah lebih dulu datang dan bersiap menyambutnya di
pintu gerbang. Bahkan Dudung pun sekarang turun
ranking, tidak lagi menjadi yang nomor satu dalam hal
paling dulu tiba di sekolah. Ranking satu ditempati Joyce.
Bahkan mulai timbul isu bahwa Joyce sebenarnya
menginap di sekolah, sehingga sepagi apapun kau datang,
dia pasti sudah ada di sana.
Prosesi penyambutan berulang setiap pagi. Joyce akan
berdiri dengan khidmat di depan pintu gerbang, membawa
seikat bunga. Begitu melihat Bonbon datang, ia akan segera
menghambur menyambutnya. Bunga itu dipersembahkan-
212

nya kepada Bonbon. Tidak cuma itu, Joyce juga akan


menggandeng tangan Bonbon dan membimbingnya
bersama masuk kelas.
Bersama masuk kelas? Iya, ini satu hal menyedihkan
yang terpaksa kuceritakan padamu. Joyce jadi satu kelas
dengan Bonbon. Dia yang pindah dari kelasnya ke kelas
kami. Bukan hanya sekelas, ia bahkan duduk sebangku
dengan Bonbon, menduduki kursiku. Dan aku? Aku tak
bisa berbuat apa-apa ketika Pak Darto Jenggot menyuruhku
pindah ke kelas Joyce. Aku harus menggantikan Joyce
duduk sebangku dengan cewek berkuncir yang pernah
menggamparku di depan WC kemarin.
Berita baiknya, sekarang aku sekelas dengan Sabina
Altynbekova dari Geger Bolong itu, Si Joan. Cih. Itu sama
sekali bukan berita baik bagiku. Melihat Joan hanya akan
membuatku teringat pada Bonbon. Dan di kelas ini, ada
cewek berkuncir yang membuat garis batas di bangku.
Kamu harus menjaga sikap dudukmu, jangan sampai
sikumu melintasi garis batas walau cuma sesenti, karena
cewek berkuncir itu akan menetak sikumu dengan gagang
penggaris keras-keras.
Bila jam istirahat tiba, aku tak pernah lagi keluar
kelas. Aku memilih tetap tinggal di dalam sambil membaca
ulang pelajaran yang diberikan bapak/ibu guru. Oh,
213

mengapa aku berubah jadi serajin ini? Sebenarnya bukan


hendak rajin, aku hanya enggan bertemu Bonbon dan
Joyce. Bagaimana tidak, kedua anak itu, begitu bel jam
istirahat berbunyi, akan keluar dari kelas dan bergandengan
tangan menuju kantin. Kantin menjadi lebih ramai dari
biasanya, bukan karena anak-anak menjadi lebih suka jajan,
tapi karena sekarang ada tontonan menarik di sana, Joyce
dan Bonbon.
Bahkan Joan pun tidak sabar buru-buru keluar kelas
begitu bel berbunyi karena hendak menonton mereka.
Aku bisa mendengar suara anak-anak tertawa dan
bersorak riuh di luar sana. Sering disertai suit-suit nakal.
“Atraksi” Joyce dan Bonbon masih menjadi trending topic
di sekolah ini, menggeser Lee Min Ho yang sekarang hanya
bisa cengar-cengir di pojok kantin tanpa ada yang
memperhatikan.
Terbayang juga olehku, di saat yang sama Dudung
sedang duduk termenung sendirian di bawah pohon cerme,
menghitung kerikil.
“Trio Kampret” sudah tidak ada lagi. Berantakan.
Kini kami tak lagi bersama-sama. Kami menjalani
kehidupan masing-masing. Sendiri-sendiri.

***
214

Aku tak pernah tahu bagaimana perasaan Bonbon


menjalani hari-harinya bersama Joyce. Tentu saja, karena
aku tak pernah lagi bicara dengannya. Aku tak pernah
mendengar keluhannya. Aku juga tak pernah melihat
bagaimana raut wajahnya kala ia duduk di samping Joyce
yang memaksanya untuk melakukan berbagai hal. Disuapi.
Dilap mulutnya. Dipegangi gelasnya saat minum.
Dipotongkan kukunya. Dipijiti kakinya. Dilap keningnya
yang berkeringat.
Aku tak pernah tahu bagaimana perasaan Bonbon
kala anak-anak tertawa-tawa melihat tingkah-laku Joyce.
Aku tak memikirkannya, tapi pasti dia punya perasaan.
Tidak mungkin Bonbon pasrah begitu saja menjadi bahan
tertawaan. Dia bisa saja membalas, suatu saat. Membalas
semua orang yang telah menertawakannya.
Dan pembalasannya ternyata datang lebih cepat dari
yang kukira.
Beberapa hari menjelang dibagikannya rapor sisipan,
atau biasanya dua hari seusai UTS, ada tradisi di SMP
Taman Bunga untuk menggelar acara doa dan syukuran.
Murid-murid diminta membawa kue ke sekolah. Tidak
harus banyak, semampunya saja. Tapi anak-anak orang
kaya biasanya akan membawa kue yang enak-enak dalam
215

jumlah besar. Bagi mereka, seolah ini menjadi pertaruhan


gengsi orangtuanya masing-masing.
Maka hari itu, sebelum berangkat sekolah aku
mampir ke warung Mbok Pur sebentar, ngutang beberapa
potong tempe gembus. Cukuplah, yang penting kelihatan
membawa sesuatu sebagai partisipasi. Toh nanti yang akan
menghabiskannya hanyalah aku sendiri. Takkan ada yang
melirik tempe gembusku ketika beraneka ragam kue yang
cantik dan lezat bertebaran di sekolah.
Joan membawa kue tar warna pink yang sangat
cantik. Juga besar. Wajarlah, bapaknya ketua DPRD, pasti
orang kaya dan bergengsi. Juga Joyce, kue-kue dan aneka
ragam gula-gula yang dibawanya tak kalah menarik. Tapi
tak ada yang lebih menghebohkan daripada Bonbon. Dua
mobil boks datang membawa bernampan-nampan kue bolu
kukus. Banyak sekali.
Kami berkumpul di aula sekolah, duduk di bawah
menggelar karpet dan tikar. Formasinya melingkar. Anak-
anak laki-laki di sisi barat dan anak-anak perempuan di sisi
timur, sedang bapak-ibu guru duduk di depan. Ketika
Bapak Kepala Sekolah masih memberikan sambutan di
podium, dan kue tar Joan serta kue-kue pilihan lainnya
masih terpajang dengan manisnya di meja pendek yang
ditaruh di tengah ruangan, kue bolu kukus dari Bonbon
216

sudah mulai dibagikan pada semua yang hadir. Sepertinya


bolu kukus itu enak sekali, banyak anak yang sudah
mendapat bagian masih minta lagi.
Walaupun aku kebagian juga kue itu, tapi selera
makanku sedang berada di titik terendah. Kue itu hanya
kumasukkan ke dalam saku, sementara aku mengunyah
tempe gembus dari Mbok Pur. Bukan karena tempe gembus
itu lebih enak, tapi ada semacam perasaan menang karena
aku menikmatinya tanpa sepengetahuan Si Belang. Aku
puas bisa mempecundangi kucing yang selalu gentayangan
di bawah meja Mbok Pur itu.
“On, kamu menyembunyikan bolu kukus, ya?”
tuding Pak Satpam gendut yang tiba-tiba sudah berada di
depanku.
“Oh... eh..., kok Bapak nuduh gitu sih, memangnya
belum kebagian ya?” Aku jadi merasa salah tingkah,
mengingat ada sepotong bolu kukus di sakuku.
“He he he... cuma nanya kok, kalau nggak ya sudah,”
kata Pak Satpam sambil cengar-cengir. Ia beralih menuduh
seorang anak lain di sebelahku, yang dengan tersipu-sipu
mengeluarkan dua potong bolu kukus dari balik bajunya.
Pak Satpam menyitanya sepotong, dan lantas melahapnya
dengan rakus.
217

Hmm... sebegitu lezatnyakah bolu kukus Si Bonbon,


hingga semua orang tergila-gila, bahkan berebut? Aku jadi
penasaran. Kukeluarkan bolu kukus itu dari dalam saku dan
kuamati baik-baik. Kelihatannya biasa saja. Aromanya
memang wangi, sepertinya enak, tapi tidak ada
keistimewaan tertentu dibanding kue-kue yang lain.
Kucoba menggigitnya sedikit, teksturnya terasa
lembut, memang kualitasnya bagus. Pasti ini terbuat dari
tepung terigu dan susu terbaik, juga cukup banyak telur.
Kucoba mengunyahnya, hmm... rasanya memang enak.
Manis dan lembut. Tapi ada yang mengganggu pikiranku.
Seperti ada rasa atau aroma yang tak asing lagi... apa ya?
Coba kuingat-ingat, aroma apa ini, ya? Tik tok, tik
tok, tik tok... ah, tak ingat juga. Tapi aku masih penasaran.
Sepertinya belum lama aku mengenal aroma ini. Bahkan
mungkin baru dalam beberapa hari terakhir. Hmm... apa
yang kulakukan dalam beberapa hari terakhir ini? Oh,
jangan-jangan ada hubungannya dengan kegilaan kami
bermain-main dengan resep-resep ramuan dari kitab burung
gagak?
Ya, ampun. Benar juga. Ini aroma wangi dupa yang
aneh. Seperti kubilang, aromanya seperti membawamu ke
kuil-kuil eksotik dari zaman kerajaan kuno. Tak salah lagi.
Ini aroma ramuan untuk membuat seseorang menjadi
218

pemujamu, Insukatisam, yang baru beberapa hari lalu kami


buat sendiri.
Hhh... untung belum kutelan. Aku berlari keluar dan
mencari tempat sampah. Kusemburkan potongan kue itu
dari dalam mulutku. Sialan. Pasti Bonbon yang punya ide
untuk mencampuri adonan bolu kukus ini dengan ramuan
Insukatisam. Salahku juga, aku tak pernah menanyakan ke
mana sisa ramuan ini setelah dipakai untuk mempengaruhi
Joyce. Kami membuat ramuan itu sekuali penuh. Kemudian
Dudung memasukkan dalam botol plastik bekas air mineral
1500 ml. Yang dipakai untuk Joyce hanya beberapa tetes,
katanya. Lantas ke mana sisanya? Gawat.
Aku berlari ke belakang sekolah. Ada seseorang yang
harus kutemui. Dudung. Dia tak terlihat di dalam aula, tapi
aku bisa menebak di mana ia berada.
Anak itu sedang duduk termenung di bawah pohon
cerme sambil menghitung kerikil. Mungkin ia sudah
mengulangi hitungannya seribu kali, entahlah. Wajahnya
tampak bersungut-sungut.
“Apa?” tegurnya ketika melihat aku datang. Masih
bersungut-sungut.
“Nih,” kataku sambil menunjukkan kue bolu kukus
yang baru kugigit sedikit.
“Bolu itu... aku juga tahu,” komentarnya.
219

“Sudah kamu makan?”


“Ya, tapi kumuntahkan lagi,” katanya sambil
menunjukkan bekas muntahan di dekatnya.
“Seluruh penghuni sekolah memakannya,” gerutuku
kesal sambil melempar bolu kukus itu keluar pagar, biarlah
dimakan kambing jantan di lapangan rumput sebelah.
“Ya, aku tahu.”
“Ke mana sisa ramuan yang kita buat kemarin? Kalian
membawanya sebotol besar, hampir satu setengah liter itu.”
“Bonbon yang membawanya, dia kan naik mobil.
Aku berat membawanya sendiri. Besoknya di sekolah, ia
berikan padaku cuma sebotol kecil, botol bekas cuka
makan yang 100 ml itu. Kupikir benar juga. Tak mungkin
kami membawa-bawa ramuan ajaib dalam botol besar.
Botol bekas cuka itu lebih bagus untuk menghindari
kecurigaan, lagipula lebih mudah meneteskannya ke dalam
mangkok Joyce.”
Hhh... aku menghela nafas dalam.
“Ramuan ajaib, di tangan yang salah, bisa berbahaya,”
desahku khawatir.
“Kaupikir Bonbon orang yang berbahaya?” tukas
Dudung.
“Entahlah, tapi aku takut dia membahayakan dirinya
sendiri.”
220

“Kita lihat saja. Semoga tidak terjadi hal yang buruk.


Bisa saja ramuan itu sudah hilang khasiatnya, jadi tak
berefek apa-apa.”
“Hmm..., semoga.”
Aku kembali ke aula sekolah. Bapak Kepala Sekolah
sudah turun dari podium, sambutannya akhirnya selesai
juga. Dan sekarang anak-anak mengelu-elukan seseorang
untuk naik ke atas podium. Bonbon! Bonbon! Bonbon!
Bonbon tersenyum-senyum. Awalnya ia tersipu-sipu
malu dan menolak, tapi anak-anak di sekitarnya terus
mendorong-dorongnya untuk maju ke depan. Akhirnya,
dengan pasang muka cengar-cengir memalukan, ia maju ke
depan menempati podium. Anak-anak bersorak. Pembawa
acara sesaat kebingungan, tapi ia tidak menghalangi
Bonbon. Bapak-ibu guru juga tidak ada yang mencegah,
semua sedang sibuk mengunyah kue bolu kukus. Bapak
Kepala Sekolah yang baru turun dari podium sempat
bertanya, ada apa ini, tapi lantas diam setelah mendapat
bagian kue bolu kukus juga.
Awalnya Bonbon celingak-celinguk di podium, tidak
tahu hendak berbuat apa. Tapi kemudian ia memutuskan
untuk memberikan sambutan mewakili murid-murid
semuanya. Ia mengucapkan terimakasih pada bapak-ibu
guru yang telah mengajar murid-murid dengan sabar, serta
221

ikhlas berbagi ilmu. Terimakasih buat pak satpam yang


telah menjaga ketertiban dan keamanan sekolah.
Terimakasih juga buat Mbak Kantin yang telah mencukupi
kebutuhan makan dan jajanan buat murid-murid semuanya.
Saat Bonbon berbicara, suasana hening, semua
mendengarkan dengan khidmat. Dan setiap kali Bonbon
menyelesaikan satu kalimat, tepuk-tangan riuh membahana.
Hebat. Bahkan ketika Bapak Kepala Sekolah yang
berpidato pun kharismanya tidak sedahsyat itu.
Sorak-sorai riuh-rendah ketika Bonbon menutup
sambutannya dan turun dari podium. Bapak-ibu guru
bertepuk-tangan. Anak-anak laki-laki bersuit-suit. Anak-
anak perempuan menjerit-jerit histeris. Ruang aula itu
sampai terasa bergetar oleh gegap-gempitanya suasana.
Tiba-tiba Joyce menyeruak maju ke depan, membuat
teman-temannya terpelanting dihempas bodinya yang
bagaikan raksasa. Ia menangkap Bonbon, menarik
tangannya, seakan hendak menunjukkan pada semua orang
bahwa Bonbon adalah miliknya.
“Sebentar, sebentar... Bonbon foto dulu dengan
Mami, ya!” seru Joyce sambil menyiapkan kamera hapenya
untuk ber-selfie ria.
Tapi Joyce tak pernah sempat membuat foto selfie-
nya dengan Bonbon. Justru akibat tingkahnya itu,
222

kehebohan besar pun melanda ruang aula. Kurang dari satu


detik kemudian, ratusan cewek-cewek yang histeris
“mengamuk”. Mereka tak rela melihat Joyce memonopoli
Bonbon untuk dirinya sendiri. Seperkasa apapun Si Joyce,
tapi menghadapi ratusan cewek histeris itu dia tak berdaya.
Joyce ditarik, dijauhkan dari Bonbon, lalu diangkat
beramai-ramai, dan akhirnya dilemparkan keluar ruangan.
Keributan tidak berhenti dengan terlemparnya Joyce
keluar ruangan. Cewek-cewek itu kemudian berebutan
untuk berfoto selfie bersama Bonbon. Semua maunya
duluan. Tidak ada yang mau mengalah. Percekcokan pun
terjadi. Hingar-bingar betul suaranya. Bagaimana dengan
cowok-cowok? Setali tiga uang. Mereka pun ikut ribut mau
berfoto selfie juga dengan Bonbon. Bapak-ibu guru? Ya
sama saja, mereka juga tak mau kalah. Semua ribut
memperebutkan Bonbon.
Pak Kepala Sekolah, dengan kening bersimbah peluh,
setelah memeras keringat dan membanting tulang, akhirnya
berhasil juga mengatur seluruh penghuni sekolah yang
sedang “keracunan bolu kukus” itu untuk mengantri.
Karena penghuni sekolah berjumlah sekitar seribu orang,
maka dibuatlah undian nomor urut dari 0001 sampai 1000.
Satu per satu mereka mendapat giliran untuk berfoto selfie
223

bersama Bonbon yang lagi cengar-cengir itu sesuai nomor


urutnya.
“Tidak! Aku tidak mau ngantri!” teriak Joan histeris.
“Aku mau duluan! Pokoknya aku mau duluan!” Sabina
Altynbekova dari Geger Bolong itu meronta-ronta,
berusaha mendorong semua orang agar menjauhi Bonbon.
“Hmhh...,” Bonbon menghela nafas panjang sambil
geleng-geleng kepala. “Memangnya kamu dapat nomor
berapa?”
Joan menengok nomornya dengan wajah memelas.
“671... hiks.”
“Ahh... masih lama itu, sana antri di belakang sana...,”
sahut Bonbon sambil mengibaskan tangannya menyuruh
Joan menyingkir.
Tak kusangka, Bonbon punya simpanan muka sejaim
itu. Baru kali ini aku melihatnya bermuka jaim, tegas, tanpa
kompromi, dan tentu saja... cool.
Pak Satpam menyeret Joan ke belakang antrian yang
mengular. Walau sempat meronta dan memprotes, tapi
akhirnya ia hanya bisa terisak-isak putus asa, dan tidak bisa
berbuat lain selain mengikuti antrian.
“Lhoh... lhoh... kok berdiri di depanku, emangnya
berapa nomormu?” hardik Mbak Kantin ketika tiba-tiba
Joan menyisip antrian di depannya.
224

“671....”
“Ciiih, enak aja main serobot! Noh, di belakangku!
Nomorku 670, tahu?!”
Joan terpaksa pasrah ngantri di belakang Mbak
Kantin.
“Lho, kamu nomor 670 toh? Kok ngantri di depanku?
Enak aja! Ayoh minggir! Aku lebih duluan dari kalian
semua, lihat nih, nomorku 669! Perlu diajarin berhitung
lagi kalian, ya?” bentak Pak Darto Jenggot yang ternyata
berdiri di belakang Mbak Kantin.
Mbak Kantin tersipu-sipu dan mundur ke belakang
Pak Darto Jenggot, disusul Joan di belakangnya dengan
wajah memelas. Memelas sekali. Seperti Sabina
Altynbekova kalah turnamen voli tujuh belas kali berturut-
turut. Kasihan.
Lee Min Ho berjongkok termenung di ujung antrian,
beberapa kali mengusap air matanya, meratapi nasib yang
kali ini sangat tidak bersahabat. Ia mendapat nomor 999.
Lee Min Ho hanya sedikit lebih beruntung dibanding
Bapak Kepala Sekolah, yang berdiri di sampingnya dengan
muka ditekuk sambil melipat lengan di dada, sesekali
geleng-geleng kepala sambil menengok nomornya, 1000.
Aku berjalan dengan gontai meninggalkan kegaduhan
itu. Aku sebenarnya mendapat nomor cantik, 003, tapi
225

kuhibahkan saja pada Pak Satpam yang langsung menari-


nari kegirangan karena bakalan bisa dua kali ber-selfie ria
dengan Bonbon. Ia sendiri mendapat nomor 714.
Kuputuskan untuk pulang saja. Hari ini tidak akan
ada kegiatan lain di sekolah selain urusan Bonbon saja.
Kurang ajar betul bocah gembrot itu. Bisa-bisanya punya
ide seperti itu. Puaslah dia sekarang, bisa mengadali seluruh
penghuni sekolah. Tapi aku bisa mengerti, ini pasti karena
semangat balas dendamnya. Salah semuanya juga, kenapa
kemarin mereka tak habis-habisnya meledeki Bonbon gara-
gara tingkah-laku Joyce. Salahku juga, kenapa tidak
mengawasi penggunaan ramuan itu. Salah Dudung,
terutama, yang mengadaliku sehingga mau saja diperalat
untuk membuat ramuan ajaib sialan itu. Hhh... hhh.
Aku berpapasan dengan mobil patroli polisi dari
Polsek Geger Bolong, serta mobil ambulan dari Puskesmas
Geger Bolong. Mereka tampak terburu-buru, melaju ke
arah yang berlawanan denganku. Pasti mereka berdatangan
karena mendengar ada keributan luar biasa di SMP Taman
Bunga.
Hhh... hhh. Ada-ada saja.
Kring kring! Kring kring! Aku mengenali suara bel
sepeda itu. Dudung. Ia mengikutiku dengan mengayuh
226

sepedanya pelan-pelan di belakangku. Aku terus saja


berjalan tanpa menengoknya.
“On, aku minta maaf....” Kudengar ucapan Dudung,
tapi aku diam saja, bahkan tidak menoleh sama sekali dan
terus berjalan.
“Aku minta maaf sudah bikin kamu marah dan
kecewa. Kuakui itu salahku, kadang-kadang bila sedang
nakal aku memang keterlaluan. Aku sering lupa bahwa
kelakuanku bisa merugikan banyak orang, termasuk teman
sendiri.”
Aku diam saja dan terus berjalan. Dongkol.
“On....”
“Hmh.”
“Kamu mau memaafkan aku?”
“Hmh. Iya, iya.”
“Terimakasih.”
Kami tak saling bercakap lagi. Aku diam saja dan
terus berjalan. Seperti biasa, berjalan sejauh lima kilometer
di bawah terik matahari, pulang ke rumahku. Dudung pun
tak berkata apa-apa lagi, tapi dari suara desir-desir rantai
sepedanya aku tahu bahwa ia terus mengikuti di
belakangku. [ ]
227

Bab 21
Kishimargis,
Ramuan Pembalik Keadaan

T
idak ada makanan di rumah. Sebenarnya aku
bisa menanak nasi dulu, lalu menggoreng sisa-
sisa persediaan cacing kering yang ada di dapur.
Tapi dengan adanya Dudung, aku tak bisa melakukan itu.
Anak itu kelihatannya lapar. Mukanya pucat dan lesu.
Mungkin tadi pagi ia tidak sarapan, dan di sekolah pun
tidak makan apa-apa. Walaupun banyak kue bertebaran,
tapi ia menyendiri di bawah pohon cerme, menjauhi
keramaian di aula sekolah.
“Kamu lapar?” tanyaku. Sesuatu yang mestinya tak
perlu kutanyakan.
Dudung tidak menjawab, cuma nyengir saja.
“Yuk, kita ke warung Mbok Pur,” ajakku.
228

Matanya seketika berbinar. Benar dugaanku, ia benar-


benar lapar. Semangatnya seolah pulih kembali mendengar
aku menyebut kata ―warung‖. Ia mengikat sepedanya di
batang pohon asam di depan rumah, lalu berlari-lari kecil
mengikutiku menuju warung Mbok Pur.
“Mbok, ngutang makan lagi, ya,” ujarku pada Mbok
Pur. “Buatkan dua, Mbok, aku sama temanku.”
Mbok Pur dengan sigap menyiapkan dua cobek yang
masing-masing diisinya dengan sekepal nasi. Tak lupa
ditambahnya dengan sepotong tempe gembus serta ditaburi
dengan sedikit terasi.
Miiiaauuuwwww!!!
Kucing belang itu melesat dari bawah meja, lari
lintang-pukang. Terbirit-birit. Mengeong-ngeong. Dudung
menyambitinya dengan setengah lusin kerikil, tak satupun
yang tidak mengenai sasaran. Mbok Pur bahkan belum
selesai menyiapkan nasi cobeknya, dan kucing itu kini
hanya bisa memandang kesal dari kejauhan. Pasti ia sangat
ingin mendekat lagi karena mencium bau terasi yang aduhai
itu, tapi sosok Dudung yang menatapnya dengan penuh
ancaman sambil menimang-nimang selusin kerikil di
tangannya itu membuat ia berpikir seribu kali.
229

Mbok Pur terbelalak kesal melihat Dudung mengusir


kucing belang itu dari bawah meja. “Ssshhh... apa yang
kamu lakukan?” gertaknya.
Dudung tak menjawab gertakan Mbok Pur, malah
sibuk beradu pandang dengan Si Belang, seolah saling
mengancam dari kejauhan.
“Hhh... temanmu itu aneh,” gerutu Mbok Pur dengan
wajah kusut bagai karung semen. Ia menatap Dudung
dengan pandangan yang menusuk, sangat tidak suka.
Aku tak peduli dengan komentar Mbok Pur tentang
Dudung. Satu-satunya reaksiku hanyalah mengangkat bahu.
Entah mengapa kali ini Mbok Pur tidak menaruh nasi
cobek itu di lantai, melainkan di meja. Mungkin karena
tidak ada Si Belang lagi di bawah meja, entahlah. Dudung
menghabiskan nasi dan tempe gembus ditaburi terasi itu
dengan lahap.
Si Belang menjilati bibirnya sambil menatap kesal dari
kejauhan.
“On, bagaimana menurutmu Bonbon sekarang?”
tanya Dudung ketika kami berjalan santai kembali ke
rumah.
“Memangnya kenapa dengan Bonbon?” Aku balik
bertanya.
“Kamu lihat kejadian di aula tadi, kan?” katanya.
230

“Tentu saja, aku ada di sana. Justru kamu yang tidak


mau hadir.”
“Sebenarnya aku mengintip juga dari luar. Kasihan Si
Bonbon.”
“Apakah dia seperti orang yang perlu dikasihani?
Kelihatannya kok malah berbahagia. Kurasa itu yang dia
inginkan sejak dulu.”
“Kurasa tidak. Dia juga korban yang sedang tersesat.”
“Maksudmu?”
“Maksudku... tidakkah kau berpikir bahwa dia juga
sedang membahayakan dirinya sendiri?”
“Mmm... memang iya. Cepat atau lambat, akan ada
pihak berwenang yang mengusut kejadian ini. Tadi aja
kulihat mobil Kapolsek Gerbol sudah ke sana. Kehebohan
di sekolah tadi pasti dianggap sangat tidak normal.”
“Itulah yang kukhawatirkan. Bahkan bukan hanya
Bonbon, kita juga akan tersangkut dalam masalah ini.”
“Apa?”
“Bila Bonbon ditangkap polisi, dia akan cerita dari
mana asalnya ramuan yang bikin banyak orang jadi
setengah sinting itu.”
“Terus... kaupikir, Bonbon akan menyebut nama
kita?”
“Pastilah.”
231

“Hmm... sepertinya kita akan berdiri lagi di depan


kelas selama seminggu atau dua minggu, ya Dung?”
Dudung menggeleng.
“Kita bukan sedang meracuni kambing jantan, On.
Kita meracuni manusia. Itu kejahatan besar. Bukan satu dua
orang, tapi seluruh penghuni sekolah. Hukumannya pasti
tidak akan sekedar berdiri di depan kelas.”
“Ooh. Terus... dihukum apa kita, Dung?”
“Paling ringan dikeluarkan dari sekolah, dan tidak
menutup kemungkinan kita akan dijebloskan dalam
penjara.”
“Aduh.”
“Kamu takut masuk penjara?”
“Tentu saja.”
“Nah, maka kita harus melakukan sesuatu.”
Kami terduduk lesu di bawah pohon asam. Pikiran
terasa gundah. Perkembangan keadaan sudah menjadi
demikian rumit, sama sekali di luar perkiraan.
“Kapan ibumu kembali, On?” tanya Dudung.
“Aku tidak tahu,” jawabku. Di benakku sudah
terbayang bagaimana marahnya Mak Kerot saat mengetahui
kekacauan yang kami timbulkan akibat bermain-main
dengan resep-resep dari kitab burung gagak.
232

“Hmh... padahal hanya ibumu yang bisa kita


harapkan untuk menghilangkan efek ramuan ajaib itu pada
orang-orang, sebelum mereka menyadari keanehan ini.”
“Aku tidak tahu kapan ia kembali. Bahkan aku juga
tidak tahu, apakah dia akan kembali atau tidak,” gumamku
sedih. “Apapun yang terjadi, kita harus mengandalkan diri
sendiri.”
“Caranya bagaimana, On?”
“Kurasa kita harus mencari, semacam ramuan yang
bisa menghilangkan segala efek ramuan yang kita buat
kemarin itu.”
“Betul, aku pun berpikir begitu. Tapi di mana ada
ramuan semacam itu?”
Aku mendesah panjang. Sebenarnya aku sangat tidak
suka mengatakan ini, tapi sama sekali tak kulihat ada
pilihan lain. “Mungkin ada di kitab burung gagak, kita
harus mencarinya di sana,” kataku.
“Hah, kitab burung gagak lagi? Bukannya kau sudah
kapok membuka kitab itu lagi?” sahut Dudung.
“Ya, aku sudah sangat-sangat kapok dengan kitab itu.
Kita lebih banyak membuat masalah dengan kitab itu
daripada menyelesaikan masalah. Tapi apa kau punya
alternatif lain?”
Dudung menggeleng, lalu mengangguk-angguk.
233

“Terserah kamu, On.”


“Ingat ya, Dung. Kita sangat-sangat terpaksa
melakukan ini lagi. Dan kalau masalah ini usai, berjanjilah
kita takkan menyentuh-nyentuh lagi kitab sialan itu.”
“Oke, aku berjanji.” Dudung mengacungkan tangan-
nya.

***

Kubolak-balik lembaran-lembaran kitab burung gagak


itu dengan setengah putus asa. Kitab ini sangat aneh, bukan
hanya tulisannya susah dibaca, tapi juga bahasanya aku
tidak mengerti sama sekali. Kami sangat tergantung dengan
catatan pinggir yang dibuat Mak Kerot di buku itu, yang
tentunya hanya memuat poin-poin pokok, tidak
menjelaskan semuanya.
“Sama sekali tidak ada keterangan, bagaimana
menghapuskan efek ramuan yang sudah terlanjur dimakan
oleh orang yang menjadi sasaran. Mungkin ada, tapi dari
buku setebal ini, mamahku tidak membuat catatan tentang
semuanya.”
“Ooh, sial. Terus bagaimana ini, On?” tukas Dudung
kecewa.
“Satu-satunya yang mendekati apa yang kita perlukan
hanya ramuan ini, kishimargis, ramuan pembalik keadaan.”
“Hmm... apa itu?” Dudung tertarik.
234

“Ramuan pembalik keadaan... sepertinya cocok, ya?


Aku enggan sebenarnya membuat ramuan lagi, apalagi
bahan-bahannya seram seperti ini. Tapi mau bagaimana
lagi, kita terpaksa.”
“Bahan-bahannya seram? Apa saja, On?”
“Lihat, bahan dasarnya saja seram... sebongkah tanah
kuburan, darah ular dari gunung siluman, dan air mata
copet yang mati digebukin massa.”
“Hiiih. Betul, seram juga. Terus bahan ajaibnya apa,
On?”
“Justru itu tidak sulit. Bahannya darah kita sendiri.
Kita harus mengiris jari sampai keluarkan darah, lalu
teteskan ke atas adonan sambil menyebutkan keadaan apa
yang hendak kita balikkan.”
“Haaa? Mengiris jari kita sendiri?”
“Iya, tidak ada jalan lain, Dung. Kamu takut?”
Dudung tidak takut, katanya.
Aku menemukan darah ular dari gunung siluman dan
air mata copet yang mati digebukin massa itu di dalam
lemari. Kali ini aku tak mau kecolongan lagi, betul-betul
kuperiksa dulu apakah bahan ini sudah kedaluwarsa atau
belum. Aku pernah melihat bongkahan tanah kuburan itu,
satu-satunya hanya yang ada di dalam peti wasiat itu.
Sebenarnya aku takut mengambil barang dari peti wasiat.
235

Aku bisa saja mencoba mengambil tanah kuburan yang


lain. Ada lahan pemakaman umum tidak jauh dari rumah
Mak Kerot. Tapi aku tidak tahu tanah kuburan seperti apa
yang memenuhi syarat, sehingga kalau mau memastikan
ramuan ini akan bekerja dengan benar, tidak ada cara lain
selain memakai bahan yang sudah tersedia saja.
Beda dengan ramuan-ramuan sebelumnya, kali ini
kami tidak merebusnya di dalam kuali. Kami harus
menggunakan mangkuk tembikar bergambar demit itu
untuk membuat adonan berbahan dasar tanah kuburan, lalu
ditambah darah ular dan air mata copet hingga adonannya
menjadi seperti tanah liat. Adonan itu harus dibentuk
seperti patung dua orang laki-laki dan perempuan,
kemudian dibiarkan mengering dan mengeras.
Kurapalkan mantra-mantra burung gagak dengan
lebih hati-hati dibanding sebelumnya. Aku tidak mau ada
kesalahan lagi. Bersamaan dengan itu kami mengiris jadi
tengah kami dengan pisau dapur lalu meneteskan darahnya
ke atas patung-patung laki-laki dan perempuan.
“Aku ingin keadaan berbalik seperti semula,” ujar
Dudung sambil mengernyit menahan pedih seraya
meneteskan darahnya pada kedua patung itu.
“Sssttt... sepertinya harus lebih spesifik, Dung,” selaku
mengingatkan. Permintaan yang tidak jelas bisa-bisa
236

menimbulkan kekacauan baru kalau ramuan tidak bekerja


sesuai yang kita maksud.
“Oh iya... emmm, begini... aku mau orang yang
tergila-gila pada Bonbon kembali tidak menyukainya
seperti semula. Betul begitu, On?”
“Ya, ya, betul, kurasa begitu.”
Kemudian aku pun meneteskan darahku pada kedua
patung itu dengan mengucapkan kata-kata yang sama.
Aneh, begitu darah kami menyentuh patung itu, langsung
timbul suara mendesis dari darah yang berubah menjadi
asap. Seperti kalau kita meneteskan air ke dalam wajan yang
panas, langsung mendesis karena airnya menguap. Padahal
patung-patung itu sama sekali tidak sedang dipanasi.
Patung-patung yang terbuat dari tanah kuburan,
darah ular, dan air mata copet itu tidak untuk dimakan.
Kami harus membawanya ke sekolah besok dan
membakarnya di sana. Asapnya akan terhirup oleh siapa
saja dan membalikkan keadaan seperti yang kami inginkan.
“Kita seperti mempraktekkan ilmu hitam, ya?”
gumam Dudung. Wajahnya menampakkan rasa ngeri dan
aneh.
“Ilmu hitam, apa itu?” tanyaku.
237

“Entahlah, semacam menebarkan teluh, atau


menyihir orang banyak jadi pasukan jahat. Begitulah,
seperti di komik-komik silat.”
Aku hanya mengangkat bahu. Aku tidak pernah
membaca komik silat, jadi tidak tahu. Entah ilmu apa ini,
hitam atau putih, atau abu-abu, yang jelas sesudah ini
berakhir aku berjanji takkan lagi menyentuh kitab burung
gagak.

***

Tok! Tok! Tok! Ada yang mengetuk pintu.


“Lho, kamu Dung. Ada apa lagi?” sambutku heran.
Anak itu muncul lagi di depan pintu padahal barusan saja
pamit pulang.
“On, tolong antar aku sampai keluar desa.”
“Eh, memangnya kenapa?” Aku makin heran. Belum
pernah sebelumnya Dudung terlihat takut seperti ini,
sampai minta diantar segala.
“Si Belang dan teman-temannya menghadangku di
jalan,” katanya gusar. [ ]
238

Bab 22
Dan Keadaan pun Betul-betul
Berbalik

D
udung tiba di sekolah paling dulu pagi ini. Ia
sudah merebut kembali posisinya dalam
ranking paling dulu tiba di sekolah. Aku
menyusul beberapa menit sesudahnya. Sebelum aku, sudah
ada beberapa anak lain yang tiba lebih dulu. Tidak biasanya
banyak anak yang datang pagi-pagi seperti ini. Ada apa?
Ketidaklaziman itu dengan cepat terjawab apa
penyebabnya. Apalagi kalau bukan gara-gara Bonbon.
Anak-anak berebut datang pagi-pagi supaya bisa
menyambut Bonbon di pintu gerbang sekolah. Sebagian
sudah menyiapkan karangan bunga untuk dikalungkan ke
leher Bonbon. Aduh. Keterlaluan.
“On, kau tahu tidak?”
“Apa?”
239

“Ketika aku pulang dari rumahmu kemarin, kulihat di


warung-warung dan toko-toko banyak dijual bolu kukus.
Murah, cuma lima ratus rupiah sepotong. Laris sekali!”
“Terus kenapa?‖
“Haduh, mikir, dong. Kaukira itu bolu kukus dari
siapa?”
“Oh iya. Sialan. Dari mana lagi kalau bukan dari
Bonbon.”
“Iya, dan sepertinya hari ini seluruh kota sudah jadi
pemuja Bonbon.”
“Astaga....”
Untung kami sudah menyiapkan patung-patung
pembalik keadaan ini. Kishimargis. Ehm, namanya seram
juga. Petualangan Bonbon harus dihentikan hari ini. Tak
bisa kami biarkan dia membikin kekacauan lebih besar lagi.
“Apa tidak sebaiknya kita bicara dulu dengan
Bonbon?” usulku. “Siapa tahu kita bisa menyadarkannya
agar menghentikan kekacauan ini.”
“Seharusnya begitu, tapi sepertinya tidak mungkin
lagi. Sekarang siapapun yang hendak bicara dengan Bonbon
harus mengambil nomor antrian dulu. Lagipula, kita tak
bisa lagi bicara dengannya tanpa ada orang lain yang
mendengar,” jawab Dudung.
240

Belum jam 07.00, pintu gerbang sudah dipenuhi anak-


anak yang akan menyambut kedatangan Bonbon. Bahkan
Pak Darto Jenggot dan guru-guru lain pun kemudian ikut
bergabung. Semua tampak tidak sabar dan berdesak-desakan
agar mendapat posisi paling depan.
Bonbon terlambat. Ia baru muncul pukul 07.30.
Seharusnya pintu gerbang sekolah sudah ditutup setengah
jam yang lalu, tapi Pak Satpam masih membiarkannya
terbuka. Tak bisa juga ditutup karena dipenuhi orang.
Kelihatannya Bonbon sedang mencoba kesaktiannya
dengan datang terlambat. Apakah ia bakal mendapat
hukuman berdiri di pos satpam seharian penuh?
Tentu saja tidak. Tidak ada lagi yang memikirkan
peraturan sekolah saat ini. Bonbon adalah raja. Segala
peraturan tidak berlaku lagi untuknya. Bahkan semua orang
bersorak-sorai gembira melihat kedatangannya diantar
mobil sedot WC yang baunya bisa bikin pingsan itu.
Bonbon! Bonbon! Bonbon!
Bonbon turun dari mobil sambil menyanyikan lagu
wajib. Berkibarlah benderaaaku, lambang suci gagah
perwiraaa.... Tampak bersemangat sekali dia hari ini. Anak-
anak bertepuk-tepuk tangan mengiringi nyanyiannya. Prok
prok prok prok!
241

Setelah melalui perjuangan hebat mendesak teman-


temannya ke kiri dan ke kanan, akhirnya Joan berhasil
menempati posisi paling depan menyambut Bonbon. Ia
hendak mengalungkan rangkaian bunganya ke leher
Bonbon. Bonbon pun sudah cengar-cengir, siap menerima
pengalungan bunga, tapi tiba-tiba... buukkk! Joan
terjengkang ke samping, terjerembab ke tanah becek, dan
wajahnya yang berpoles make up itu pun berlepotan
lumpur. Ternyata Joyce yang menyenggolnya keras-keras
dengan bodinya yang bagaikan kapal induk.
Akhirnya Joyce yang berhasil menjadi orang pertama
yang mengalungkan rangkaian bunga kambojanya ke leher
Bonbon. Huuu....
Seperti kemarin, Joyce lalu menggandeng tangan
Bonbon, hendak mengajaknya masuk kelas. Ia tidak
menyadari situasinya sudah berbeda. Kali ini cewek-cewek
histeris itu takkan membiarkannya. Beramai-ramai mereka
mengangkat tubuh Joyce dan melemparkannya ke dalam
got di depan sekolah. Byur!
Bonbon dikerubuti seluruh penghuni sekolah. Ada
yang mengajak foto selfie lagi seperti kemarin, ada yang
mau membacakan puisinya, ada pula yang ngajak ngobrol
(tapi jangan harap akan ditanggapi). Paling ringan ada yang
cuma pengen salaman saja. Yang paling banyak adalah yang
242

minta tanda tangan Bonbon di cetakan fotonya yang


sempat ngetop di medsos kemarin, foto ―Bonbon Si Hantu
Got‖ itu.
Pak Kepala Sekolah dibantu Pak Satpam
mengingatkan seluruh penghuni sekolah agar tertib antri.
Sepertinya sudah disiapkan dari kemarin, sudah terbentuk
panitia yang akan mengurus keperluan Bonbon. Meja-meja
disusun di depan pos satpam, semua orang harus tertib
mendaftar dan menyebutkan apa keperluannya dengan
Bonbon, dan kemudian akan mendapatkan nomor urut.
Di sebelah sana kulihat Pak Darto Jenggot sedang
ribut bersitegang dengan guru-guru yang lain. Pak Darto
Jenggot ngotot mempertahankan posisinya sebagai wali
kelas Bonbon, sementara guru-guru yang lain ingin agar
Bonbon pindah ke kelas mereka masing-masing. Ampun,
deh.
“Hhh... lagi-lagi, sepertinya hari ini pun tidak ada
kegiatan belajar-mengajar,” keluh Dudung. Anak itu
memang paling tersiksa kalau ada jam kosong atau hari
libur.
“Perlu kita bertindak sekarang, Dung?” tanyaku.
Belum sempat Dudung menjawab, tiba-tiba terdengar
suara riuh dari jalanan. Ramai sekali. Banyak orang
berdatangan. Semuanya datang hendak menemui Bonbon.
243

Beberapa orang sepertinya belum pernah bertemu Bonbon


sama sekali, mereka bertanya-tanya, “Mana cowok keren
yang namanya Bonbon itu? Mana orangnya?”
Mereka bukan penghuni sekolah ini. Entah dari mana
saja datangnya. Ada pedagang-pedagang dari pasar Gerbol,
ada pegawai-pegawai kantoran, ada ibu-ibu berdaster yang
rambutnya digulung-gulung pakai rol-rolan, ada pula
tukang gali kubur yang biasa mangkal di depan pasar sambil
menanyai orang lewat, “Mas, mbak, mau digalikan
kuburnya sekarang? Lagi ada diskon, nih....”
Halaman sekolah langsung dipenuhi orang-orang yang
datang dari berbagai penjuru. Jalan raya di depan sekolah
berubah menjadi lahan parkir. Lalu-lintas macet. Antrian
panjang dimulai dari depan meja pos satpam itu, mengular
sepanjang halaman sekolah, bahkan sampai keluar
lingkungan sekolah, menambah kemacetan di jalan. Semua
orang menjadi tidak sabaran. Dorong-mendorong disertai
suara ribut dan umpat-mengumpat pun tak terelakkan.
Sementara itu, Bonbon sudah diselamatkan panitia ke
ruang kepala sekolah. Ia duduk di kursi kebesaran Pak
Kepala Sekolah, di belakang meja besar itu, seperti seorang
pejabat sedang memimpin rapat penting. Satu per satu para
tamu datang menghadapnya, bergiliran sesuai nomor urut
yang didapat dari panitia. Masing-masing tamu hanya diberi
244

kesempatan setengah menit, tidak boleh lebih. Beberapa


orang yang sudah mendapat giliran masuk ke ruang kepala
sekolah itu kebingungan, mengapa dan untuk apa dia
datang ke situ.
“On, kamu lihat orang-orang itu?”
“Ya, kenapa?”
“Seluruh Gerbol datang ke sini. Lihat, ada Pak Lurah
dan bini mudanya, ada Bang Odie dan istri warianya, ada
Bang Romli, Mey Shin, dan Babah Liong juga....”
“Ck ck ck... kalau tidak dihentikan, selangkah lagi
Bonbon sudah menguasai dunia, Dung!”
Dari percakapan yang kami dengar dari orang-orang
itu, berbagai hal tentang Bonbon sedang berkembang.
Anak-anak mengusulkannya jadi Ketua OSIS, beberapa
orang di pojok sana bercakap bahwa dia layak dicalonkan
jadi anggota legislatif, sementara segerombolan orang di
sebelah sini menganggap bahwa sudah saatnya kabupaten
ini dipimpin seorang bupati seperti Bonbon.
“Bonbon sudah terbukti jujur, sederhana, dan
merakyat!” seru seorang bapak berambut putih dengan
berapi-api, ditimpali teriakan setuju dari orang-orang di
sekitarnya.
Ya ampun, anak itu bahkan belum lulus SMP. Naik
kelas saja belum tentu.
245

“Sekarang, On. Mari kita hentikan kegilaan ini!” ujar


Dudung.
Di bawah pohon cerme, setelah merapalkan mantra
burung gagak yang sudah kusalin di atas kertas, kami
membakar kedua patung yang kami bawa dengan korek
api. Kepalanya dulu yang dibakar, dan kakinya kami
pegangi. Patung yang terbuat dari tanah kuburan yang
dicampur dengan darah ular dan air mata copet itu langsung
terbakar dan mengeluarkan asap berwarna keabu-abuan.
Asap itu berbau bangkai bercampur wewangian daun
kamboja.
Aku memegang patung laki-laki, dan Dudung
memegang patung perempuan. Kami acungkan tinggi-tinggi
di atas kepala. Patung itu terus berpijar dan berasap, makin
lama makin banyak asapnya. Asap itu menyebar ke
sekeliling kami, dan terutama ke halaman sekolah di mana
banyak orang berkumpul. Orang-orang itu baru akan
terpengaruh bila telah menghirup asap dari patung laki-laki
maupun perempuan.
Cukup lama, kira-kira setengah jam barulah patung-
patung itu habis terbakar. Asap yang dihasilkannya begitu
banyak hingga memenuhi langit di atas halaman sekolah
ini. Semua orang pasti telah menghirupnya. Walau sebagian
merasa heran dengan terciumnya bau bangkai bercampur
246

wangi kamboja yang melintas sesaat itu, tapi tak ada yang
curiga. Menjelang siang, semua orang di sini sudah
menghirupnya, kecuali kami. Tentu saja, karena kami
memakai masker bergambar demit.
“Haaai, cepat dikit, dong! Udah panas nih!” teriak
seseorang yang belum juga mendapat nomor antrian dengan
gusar.
“Iya, cepetan dong kerjanya, dasar keong!” umpat
yang lain.
Umpatan-umpatan serupa mulai bermunculan.
Suasana makin riuh. Dorong-mendorong semakin tak
terkendali. Panitia yang tak terima disebut keong balas
mengumpat. Percekcokan menjadikan suasana riuh itu
menjadi panas. Berikutnya orang mulai saling melempar
sendal dan sepatu.
“Ini semua gara-gara Bonbon!” Entah siapa yang
berteriak semacam itu.
“Iya, pemimpin nggak amanah ya begini akibatnya,
kacau!” geram yang lain.
Umpatan-umpatan yang menyumpahi Bonbon
semakin banyak bermunculan. Sebagian orang tak peduli
lagi dengan nomor urut. Mereka merangsek mendekati
ruang kepala sekolah tempat Bonbon bertahta. Pak Satpam
247

berusaha menghalangi, namun tak sanggup membendung


orang-orang yang semakin banyak menyumpahi Bonbon.
“Bonbon, keluarlah! Rakyat mau bicara!” teriak
seseorang.
Teriakan-teriakan serupa pun bersahut-sahutan.
Aku dan Dudung saling bertukar pandang.
Terhenyak.
“Dung, kok jadi begini?”
“Entahlah, resep dari kitab ibumu itu tak pernah bisa
diprediksi reaksinya.”
“Dasar burung gagak! Gak bisa apa bikin resep yang
bener?!” gerutuku geram.
“Kita harus menyelamatkan Bonbon sebelum
dijadikan perkedel oleh orang-orang itu,” tukas Dudung.
Dudung yang punya ide untuk mencuri tangga dari
gudang sekolah, lalu memanjat jendela WC ruang kepala
sekolah yang tinggi itu. Ia pecahkan kacanya dengan batu,
lalu masuk ke dalam. Lima menit kemudian ia berhasil
membawa Bonbon keluar dari ruang kepala sekolah yang
kini sudah dikepung massa.
“Wah, kau memang berbakat jadi anggota pasukan
khusus, Dung!” pujiku.
“Sudahlah, ayo kita angkat kaki dari tempat ini,”
sahutnya merendah.
248

Kulihat Bonbon mukanya sudah seputih kapas. Pucat


sekali. Tangannya gemetar. Ia sangat ketakutan. Apalagi
ketika orang mulai melempari atap ruang kepala sekolah itu
dengan batu. Terdengar suara kaca pecah. Seolah malaikat
maut sudah mencengkeram ubun-ubunnya.
“Ayoh, Bon, jangan diem aja, lariii...!” seru Dudung.
Kami menerobos lubang di pagar kawat berduri di
belakang WC sekolah. Lubangnya tak cukup besar untuk
Bonbon, tapi dipaksakan juga. Akibatnya baju dan celana
Bonbon robek-robek. Tapi kami tak peduli. Baru kali ini
kami merasakan bahwa nyawa jauh lebih berharga daripada
baju dan celana.
Kami berlari melintasi lapangan rumput di sebelah
sekolah. Kambing jantan yang pernah kami usili kemarin
masih ada di situ. Ia tertawa terkekeh melihat kami lari
terbirit-birit seperti dikejar hantu. Rasain, mungkin begitu
pikirnya.
Ada semak-semak dengan rumput-rumput ilalang
yang tinggi setelah lapangan itu. Kami bersembunyi di situ
sambil memberi kesempatan Bonbon untuk mengambil
nafas. Si gendut itu sudah ngos-ngosan dan tak bisa berlari
lebih jauh lagi.
249

“Ayo, kita harus bersembunyi di hutan itu, baru


aman,” sela Dudung sambil menunjuk deretan pepohonan
lebat di bukit sebelah sana.
Bonbon masih sibuk bernafas, tidak bisa berkata-
berkata.
Tiba-tiba terdengar suara-suara teriakan di seberang
lapangan. Rupanya orang-orang sudah mengetahui arah
pelarian kami. Sepertinya di sana sedang dibentuk pasukan
pengejar, dimobilisasi dari sukarelawan beranggotakan
rakyat yang marah.
“Gawat, mereka mengejar ke sini,” kata Dudung.
“Ayo, kita harus cepat pergi.”
Tapi Bonbon masih terduduk lemas, nafasnya
kembang-kempis. Jangankan lari, untuk bernafas saja sudah
perjuangan berat baginya. Tidak mungkin membawanya
lari ke bukit itu.
Kami kebingungan. Pasukan pengejar semakin
mendekat. Sorak-sorai mereka seram sekali kedengarannya.
Hampir semua orang membawa batu dan pentungan dari
kayu atau besi, pasti didapat dari mempereteli bangku-
bangku sekolah.
Gawat.
“Hai, apa yang kalian lakukan di sini?” Seseorang
menegur.
250

Kami terlonjak kaget.


Oh, ternyata Lik Blonthang. Laki-laki bermuka rata
dengan kaos oblong putih, celana kolor hitam, dan peci
hitam itu menatap heran kami yang sedang mengendap-
endap di balik semak-semak. [ ]
251

Bab 23
Lik Blonthang Menjadi
Penyelamat

A
ku pernah mendengar kata deja vu. Pernah
kubaca di sebuah buku di perpustakaan. Kata
Dudung, itu artinya kita mengalami suatu
kejadian yang rasanya pernah kita alami sebelumnya. Nah,
sepertinya aku sedang mengalami deja vu... dimasukkan ke
dalam keranjang Lik Blonthang.
Keranjang Lik Blonthang memang besar, tapi
menurutku tak cukup besar untuk memuatku sekaligus
dengan Dudung dan Bonbon. Kamu tahu kan, bagaimana
gendutnya Bonbon? Tapi nyatanya, hari ini Lik Blonthang
memasukkan kami bertiga ke dalam keranjangnya.
Mungkin benar kata orang, dia memang seorang pemulung
sakti, dan keranjangnya ini memang keranjang ajaib.
252

“Diamlah,” katanya. “Mereka tak akan melihat selama


kalian tetap diam.”
Tenang sekali, Lik Blonthang membawa kami dengan
keranjangnya melewati kerumunan orang-orang marah
yang mengacung-acungkan tongkat kayu dan besi. Aku bisa
melihat mereka melalui sela-sela lubang di keranjang bambu
ini. Bang Odie mengikatkan kain kuning di lengan kirinya,
rupanya ia ditunjuk menjadi kapten pasukan pengejar. Pak
tua penggali kubur itu menenteng cangkulnya dengan
wajah murka, sepertinya ia sudah tak sabar hendak
menggali kubur untuk kami bertiga.
Kami juga berpapasan dengan kelompok lain yang
dipimpin Pak Lurah. Pasukannya berpatroli di sekitar
sekolah, memeriksa setiap lubang yang berpotensi menjadi
tempat kami bersembunyi.
Di dekat pasar kami bertemu dengan pasukan yang
dipimpin Babah Liong, beranggotakan pemuda-pemuda
berwajah garang—diantaranya ada Bang Romli—yang
membawa golok pemotong daging. Mereka memasang
barikade di tengah jalan dan memeriksa setiap orang yang
lewat. Semua orang menyebut-nyebut tentang ―Trio
Kampret‖ yang sekarang menjadi buruan seluruh kota.
253

“Kota ini sudah terkepung,” kata Lik Blonthang.


“Tidak ada tempat yang aman, aku akan membawa kalian
ke Astana Gandamayit.”
Di sekitar gapura yang menjadi jalan keluar kota ada
pasukan perbatasan yang dipimpin Bang Tonggos (sekarang
dia tidak tonggos lagi, tapi ompong total). Pasukan ini
memeriksa dengan ketat setiap orang yang masuk dan
keluar kota. Tapi Lik Blonthang santai saja melewati
mereka. Mereka melihat, bahkan menyapa, tapi tidak
memperhatikan apa yang dibawa Lik Blonthang.
Kini Dudung dan Bonbon bisa merasakan apa yang
pernah kuceritakan, berada di dalam keranjang Lik
Blonthang selama perjalanan menuju Astana Gandamayit.
Berkumpul bersama barang-barang hasil pulungan Lik
Blonthang. Bermacam-macam barangnya, ada sarung bau
apek yang bolong bagian tengahnya, ada jam dinding yang
jarumnya berputar terbalik, ada pula kaus kaki khusus
untuk kaki gajah. Eh, barang ini ternyata masih ada... gigi
palsu yang tersangkut di tali beha.

***

“Apa yang membuat kalian terlibat dalam kekacauan


ini?” Itu pertanyaan pertama Lik Blonthang begitu kami
tiba di rumah Mak Kerot.
254

Setelah beberapa kali menghela nafas, akhirnya


bergantian kami menceritakan apa yang sudah kami
lakukan hingga hari ini. Mulai dari keinginanku
mencarikan bocoran soal untuk Joyce, ramuan insukatisam
yang disalahgunakan Bonbon, hingga kishimargis yang
membuat keadaan semakin kacau. Menceritakan itu semua
terasa seperti membaca kembali semua kesalahan,
kebodohan, dan kenakalan kami sendiri.
“Hmm... jadi kalian berhasil membuat insukatisam?”
gumam Lik Blonthang.
Serempak kami mengangguk.
“Bahkan Mak Kerot sendiri tak bisa membuatnya.
Tidak ada yang bisa. Resep kuno itu masih menjadi misteri
hingga sekarang. Apa kalian tidak sedang membual?”
“Paman melihat sendiri apa yang terjadi di Gerbol
tadi. Apa itu nyata atau cuma bualan kami?” sahut Dudung.
“Hmm... betul. Maaf, aku hanya penasaran. Bahkan
aku tidak pernah berhasil menyediakan bahan-bahannya
seperti yang diminta Mak Kerot. Bisakah kalian ceritakan
lebih rinci, bagaimana kalian membuat ramuan itu?”
Dudung hampir membuka mulut, tapi aku
menendang kakinya. Tidak semua hal bisa diceritakan pada
semua orang. Kadang-kadang tetap merahasiakan sesuatu
bisa menjadi kunci keselamatanmu.
255

“Tidak, kami sudah melupakannya sama sekali,”


jawabku. “Bahkan kami sudah berjanji tidak akan pernah
lagi menyentuh kitab burung gagak. Selamanya.”
“Ya, baguslah kalau begitu. Kalian harus melupakan-
nya, dan jauhilah sejauh-jauhnya buku itu,” ujar Lik
Blonthang sambil mengelus-elus janggutnya.
“Insukatisam sangat berbahaya bila jatuh ke tangan
yang salah. Kalian tidak tahu, berabad-abad para penguasa
dari seluruh dunia memburu ramuan itu. Namun sejauh ini,
menurut legenda, hanya seorang maharaja dari Persia yang
pernah menggunakannya. Bila ada orang jahat yang tahu
kalian bisa membuat insukatisam, maka keselamatan kalian
bisa sangat terancam,” lanjut Lik Blonthang.
Pemulung sakti itu menatap wajah kami satu per satu,
seolah menikmati bias ketakutan yang membayang di wajah
kami, anak-anak SMP yang nakal ini.
“Lik Blonthang, apa tidak ada yang bisa kita lakukan
untuk membuat keadaan jadi normal kembali?” tanyaku.
“Normal seperti apa yang kau inginkan?”
“Yaaah, keadaan seperti sebelum kami membuat
insukatisam itu. Ketika ada orang-orang yang menyukai
kami dan ada pula yang tidak menyukai kami, tapi tidak
pernah melampaui batas.”
“Ooh, tentu saja ada.”
256

“Betulkah, Paman?” sambut Dudung gembira.


“Dengan apakah, semacam ramuan juga?”
Lik Blonthang tertawa terkekeh.
“Kekacauan akibat sebuah ramuan hendak
kauperbaiki dengan ramuan juga? Ha ha ha... justru
keadaan akan bertambah kacau. Itu semacam hendak
menutupi sebuah kebohongan dengan kebohongan
berikutnya. Semacam hendak membersihkan perabotan
yang kotor menggunakan lap yang kotor pula. Tidak akan
berhasil.”
“Kenapa begitu, Paman?”
“Ramuan yang kalian dapatkan dari kitab burung
gagak, tak bisa kalian sucikan dengan ramuan dari kitab
yang sama, karena sama-sama kotor. Kitab burung gagak
adalah kitab yang jahat. Itu ilmu hitam. Sudah kuduga Mak
Kerot menyimpannya, tapi dia melarangku untuk
menyentuhnya, apalagi membacanya. Kalian juga harus
menjauhi kitab itu. Selamanya.”
“Jadi apa yang harus kami lakukan, Paman?”
“Kalian betul-betul ingin membereskan kekacauan
ini?” tanya Lik Blonthang. Wajahnya tampak serius. Sangat-
sangat serius.
Serempak kami mengangguk.
257

“Pergilah ke bukit di pinggiran kota, di mana ada


makam Putri Geger Bolong,” ujar Lik Blonthang. “Bukit
itu adalah tempat yang paling tinggi letaknya di Gerbol. Di
sana, teriakkan dan akui kesalahan-kesalahan kalian di
hadapan seluruh alam semesta.”
“Begitukah?”
“Ya, kemudian minta ampunlah kepada Tuhan, dan
berdoalah agar Tuhan membereskan kekacauan ini.
Berdoalah agar Tuhan mengembalikanmu pada kehidupan
yang normal.”
“Begitu saja?”
“Berdoa pada Tuhan... bukan begitu saja. Itu adalah
sesuatu yang besar. Bicara dengan Tuhan, bukan hal
sepele.”
“Mmm... iya, tapi apakah akan berhasil melunturkan
pengaruh ramuan itu begitu saja?” Aku masih belum
mengerti.
“Hmm... begini, kuberitahu satu rahasia. Segala ilmu
hitam, termasuk kitab burung gagak, obat penawarnya
yang paling ampuh hanyalah... doa. Sehebat apapun
ramuanmu, tiada artinya di hadapan Tuhan, pencipta alam
semesta. Asal kalian sungguh-sungguh berdoa, Dia akan
mengabulkan.”
“Ooh, begitu.”
258

“Iya. Kalian ini masih muda-muda sekali. Masa depan


kalian masih panjang. Seharusnya masa muda ini kalian isi
dengan rajin belajar, bukan hanya bermain-main dan sibuk
memikirkan wanita. Itu ada waktunya sendiri kelak.
Keberhasilan kalian di masa depan tergantung seberapa
keras usaha kalian saat ini. Mengerti?”
“Iya, Paman.”
“On, kamu sering melihat orang datang pada Mak
Kerot untuk menyempurnakan hidupnya? Mereka mengira
hidupnya kurang sempurna. Padahal kesempurnaan itu
hanya milik Tuhan. Kitab burung gagak menipu mereka
dengan bahan-bahan ramuan yang menjijikkan. Seharusnya
mereka sadar, semakin mereka menggantungkan hidupnya
pada mantra-mantra, maka semakin kacaulah hidupnya.”
“Ooh, iya.”

***

Hari sudah petang ketika kami sampai di puncak


bukit. Di bukit ini ada makam yang disebut orang-orang
sebagai makam Putri Geger Bolong. Dari makam inilah
kota kecamatan Gerbol ini mendapatkan namanya. Konon,
dulu ada seorang putri yang terbunuh di sini lalu berubah
menjadi kuntilanak. Itu sebabnya dia disebut Putri Geger
Bolong (punggung berlubang).
259

Menjelang petang, tak ada lagi orang yang berani


mendekati bukit itu. Konon, sang kuntilanak kadang-
kadang muncul di atas bukit, atau di sekitarnya, selepas
matahari tenggelam. Maka kami bisa mengunjungi bukit itu
seperti saran Lik Blonthang, tanpa terlihat oleh penduduk
kota.
Dudung mulai duluan. Ia berdiri di satu titik di
puncak bukit, lalu meneriakkan semua kesalahan yang
pernah dilakukannya. Kemudian memohon ampun, dan
berdoa agar segalanya kembali normal seperti sediakala.
Bonbon menyusul kemudian. Kesalahannya beberapa
kali lipat lebih banyak dibanding Dudung. Semua
diakuinya, hingga ia tersedu-sedu karena sangat menyesal.
Kemudian aku. Terlalu banyak kesalahan yang harus
kuakui. Bahkan wajahku ini pun terasa seperti kesalahan
yang sulit dimaafkan. Ah, sudahlah.
Kami berpelukan dan tersedu-sedu bersama. Saling
memaafkan. Senang rasanya bisa berkumpul kembali. Trio
Kampret yang porak-poranda akibat kesalahan, kebodohan,
keserakahan, dan ego kami masing-masing itu, kini kembali
bersatu dalam bingkai persahabatan yang saling
menghargai. Aamiin.

***
260

Sosok berambut panjang yang sedang duduk di atas


batu besar itu menarik perhatianku. Matahari sudah
tenggelam, mengapa masih ada orang duduk sendiri di
tempat seperti ini? Jangan-jangan dia ini....
“Sudahlah, On. Kita pulang saja, hari sudah hampir
malam,” rengek Bonbon.
“Sssttt... jangan takut, dia bukan kuntilanak,” kataku
menghiburnya. “Masa kuntilanak pakai T-shirt dan celana
jins begitu, nggak mungkin kan, Dung?”
Dudung mengangguk.
Kudekati perempuan muda berambut panjang yang
sedang duduk di atas batu besar itu. Ia duduk membelakangi
kami, entah apa yang sedang dilakukannya, tampaknya
sedang asyik disibukkan oleh sesuatu.
“Mbak...,” panggilku menyapanya. Lirih.
Perempuan berambut panjang itu diam tak bereaksi.
“Mbaaak!” panggilku lebih keras.
“Hi hi hi hi hi...,” tawanya cekikikan, tapi suaranya
melengking. Persis kuntilanak yang di sinetron-sinetron itu.
“Ada apa, Ganteng?” kata perempuan yang kami kira
kuntilanak itu sembari membalikkan tubuhnya menghadap
kami.
Dia sama sekali bukan perempuan muda. Wajahnya
keriput, dan pipinya kempot. Matanya tertutup kaca mata
261

hitam, jadi aku tak bisa melukiskan bagaimana air


mukanya. Yang jelas, dia kelihatan misterius sekali.
“Nggg... apakah... apakah... Nenek ini Putri Geger
Bolong?” Aku merasa sangat tidak enak menanyakan hal
itu.
“Hi hi hi hi hi... kok tahu?” sahutnya.
“Mmm... hanya menebak. Saya berhutang untuk
menyampaikan salam dari Lik Blonthang,” jawabku.
“Hi hi hi hi hi... Blonthang? Iya... iya, dulu aku
pernah berteman dengannya, tapi sekarang sudah
kublokir.”
“Blokir? Berteman di fesbuk maksudnya, Nek?”
“Lha iya, memangnya apa?” tukas Nenek itu sambil
menunjukkan smartphone yang dibawanya. Sepertinya
benda itu yang menyibukkannya sejak tadi.
“Kenapa memblokir Lik Blonthang, Nek?”
“Cih, dia itu menyebalkan. Tahu nggak, di hari ulang
tahunku... kupikir dia akan mengirim sesuatu yang
istimewa. Tapi malah....”
“Apa, Nek?”
“Dia mengirim ingus kambing yang sedang puber.
Kurang ajar, nggak?”
“Oooh, itu yang bikin Nenek marah? Padahal itu
obat awet muda yang sangat manjur lho, Nek. Lik
262

Blonthang pasti bermaksud baik mengirimnya untuk


Nenek,” tiba-tiba Dudung menyela.
“Hah? Betulkah begitu? Aku tidak tahu kalau itu
obat. Blonthang sih nggak bilang apa-apa. Duh, seharusnya
aku tidak memblokirnya ya...,” gumam perempuan tua itu.
Wajahnya berubah murung, terlihat dari kedua sudut
bibirnya yang bergerak turun.
“Tidak apa-apa, Nek. Nanti saya bantu menjelaskan
salah paham ini pada Paman Blonthang.”
“Ah, terimakasih kalau begitu. Ambil hikmahnya
juga untuk kalian ya, cowok-cowok ganteng....”
“Apa, Nek?”
“Kadang-kadang maksud baik jadi terlihat buruk
kalau dikemas dengan buruk. Dan di sisi lain, kadang-
kadang kita sulit melihat suatu maksud baik, kalau kita
melihatnya dengan kacamata yang buruk.” [ ]
263

Bab 24
Mamah Pulang,
Lik Blonthang Menghilang

P
embagian rapor sisipan. Halaman sekolah ramai
dipenuhi orang-orang. Bukan, bukan karena
kami bikin gara-gara lagi. Itu para wali murid
yang diundang ke sekolah untuk mengambil rapor sisipan
anaknya masing-masing.
Lik Blonthang benar, tidak sulit mengatasi kekacauan
akibat ilmu hitam. Lawan ilmu hitam yang paling ampuh
adalah doa. Sekuat apapun ramuan dari Kitab Burung
Gagak, akan luntur dengan mudahnya oleh doa. Setelah
kami berdoa di puncak bukit Putri Geger Bolong, kami
pulang ke rumah masing-masing dengan aman. Esok
harinya, kondisi di sekolah sudah normal lagi, dan hari ini
bisa dilaksanakan pembagian rapor sisipan, walau sempat
tertunda dua hari akibat ulah kami yang bikin heboh itu.
264

Raporku diambilkan Papa Bonbon, mewakili ibu


angkatku, Mak Kerot yang hingga kini belum kembali.
Entahlah, aku tidak tahu apakah dia akan kembali. Aku
pun tidak pernah bertemu lagi dengan Lik Blonthang, sejak
terakhir kali kutinggalkan dia di rumah, sementara aku
pergi ke bukit Putri Geger Bolong bersama Dudung dan
Bonbon.
Nilaiku enam, enam, enam, dan... enam juga. Seperti
angka iblis saja. Hi hi hi... Ini sepadan dengan tingkah
lakuku. Kulihat di sana, Bonbon sedang mengangkat
sumpah di hadapan papanya, tidak akan menyentuh game
sebelum angka rapornya membaik. Dan di sana, Dudung
sedang dibelai-belai ibunya. Iya, ibunya bangga sekali
karena Dudung jadi juara kelas. Air mata mengalir di
pipinya, mungkin terkenang pada Ayah Dudung yang
meninggal beberapa tahun yang lalu. Betul, Dudung adalah
anak yatim, maka aku tak pernah terlalu keras padanya.
Aku pulang ke rumah dengan langkah-langkah
ringan. Walau nilaiku cuma enam-enam-enam, tapi aku
bangga karena ini hasil perjuanganku. Lain kali aku pasti
bisa mendapat nilai yang lebih baik, bila terus berusaha.
Sayang Mak Kerot tidak ada di rumah. Tidak ada orang
yang bisa kuajak berbagi kegembiraan.
265

Hai, pintu rumah sudah terbuka ketika aku tiba di


sana. Siapa yang masuk ke dalam rumahku? Atau...
mungkinkah Mak Kerot sudah pulang?
Ternyata benar. Perempuan tua bongkok berambut
perak itu sedang duduk di tengah ruangan, menjahit baju
kumalnya yang robek dengan jarum dan benang.
“Oh, Mamah sudah pulang!”
“Haaai kamu, Nak. Apa kabar?”
“Baik, Mah. Aku baru saja terima rapor sisipan.”
“Oh, ya? Apa itu rapor sisipan?”
“Daftar nilaiku selama belajar di sekolah, Mah.”
“Oooh, ya. Jadi berapa nilaimu?”
“Enam, enam, enam... enam semuanya, Mah.”
“Apakah itu artinya bagus?”
“Tentu saja bagus, Mah.”
“Oooh, syukurlah kalau begitu.”
“Terimakasih, Mah.”
“Apa kabar titipanku?”
“Titipan apa, Mah?”
“Peti wasiat dan kitab pusaka itu, apakah kau
menjaganya dengan baik?”
“Oooh, tentu saja.”
“Coba bawa sini.”
266

Aku mengambil peti wasiat itu dan membawanya ke


ruang tengah. Ketika kubuka peti itu, jantungku langsung
berdesir. Bonsekahitenanggas, kitab burung gagak itu, tidak
ada lagi di dalam peti.
“Aduh, ki... ki... kitabnya hilang, Mah.”
Suaraku gemetar. Bibirku gemetar. Bahkan mungkin
seluruh tubuhku gemetar. Keringat dingin tiba-tiba
membasahi seluruh tubuhku.
“Siapa yang mencurinya?”
“Kukira... kukira... mungkin... Lik Blonthang.”
“Bukankah sudah kuperingatkan agar mewaspadai
orang itu?”
“Maaf, aku lalai, Mah,” gumamku sambil tertunduk
lesu, teringat terakhir kali kutinggalkan peti ini ke bukit
Putri Geger Bolong ketika ada Lik Blonthang di rumah.
“Ya sudah, kembalikan petinya ke dalam kamar,” ujar
Mak Kerot. Nada suaranya datar saja, tak seperti orang
yang sedang marah.
“Mamah tidak marah?”
Mak Kerot menghela nafas dalam.
“Huru-hara di gerbang ketiga ternyata lebih dahsyat
dari yang kukira. Korban berjatuhan tak terhitung
banyaknya. Setelah melewati pertempuran demi
pertempuran antara hidup dan mati untuk mengembalikan
267

ketertiban di gerbang ketiga, kau pikir... aku mau pulang


hanya untuk marah-marah? Tidak, Nak, sekarang aku
hanya ingin istirahat dan kembali memasak semur ulat bulu
untukmu.”
Aku tidak mengerti sama sekali apa yang diceritakan
oleh Mak Kerot itu. Tapi yang penting, aku senang dia
tidak marah, mengingat begitu parahnya kelalaianku.
Kami tak pernah bertemu lagi dengan Lik Blonthang.
Tak juga terdengar kabarnya. Mungkin, sarannya agar kami
pergi ke atas bukit untuk berdoa hanya akal-akalan, agar ia
leluasa mengambil kitab burung gagak tanpa
sepengetahuanku. Sebenarnya kita bisa berdoa di mana saja,
tidak harus di bukit yang tinggi.
Papan nama praktek Mak Kerot yang terpasang di
pohon asam kami turunkan. Mak Kerot menutup
prakteknya hingga waktu yang belum ditentukan. Mungkin
selamanya. Mungkin ini hikmah dari raibnya kitab burung
gagak itu.

***
268

“On, kemarin kamu bilang ingin punya hape, kan?”


“Eh, iya, Mah, memangnya kenapa?”
“Ini sudah Mamah belikan.”
“Oh, ya? Terimakasih, Mah.”
Hape kecil berwarna hitam yang terbuat dari plastik
itu mendapatkan tenaganya dari dua buah baterai ukuran
AA yang terpasang di bagian punggungnya. Bila tombol
manapun di papan ketiknya dipencet, muncul suara musik
yang meriah tang ting tung, ting tang ting tung... diikuti
suara anak kecil: Hallo, can I help you? Guk guk guk....
“MAAAH!”
“Ada apa, Nak?”
“INI KAN HAPE MAINAN?”
“Yah, begitulah hidup ini, Nak. Semua benda di dunia
ini hanyalah permainan belaka. Tak satu pun bisa dibawa
mati.”
#@$%^&*X?!*$??? [ ]
269

Bab 25
Penutup

S
udah habis ceritanya. Kita sampai di Bab
Penutup. Itu berarti sudah dekat waktunya kita
berpisah. Memang perpisahan seringkali menjadi
hal yang tidak enak, tetapi harus kita lakukan.
Apa yang hendak kuceritakan di Bab Penutup ini?
Mengingat banyaknya kenakalan kami semasa SMP—
seperti telah kuceritakan padamu—mestinya kalian
penasaran, jadi apa kami setelah dewasa. Baiklah, akan
kuceritakan bagaimana kehidupan kami setelah dewasa.
Kumulai dengan temanku yang paling pintar,
Dudung. Selepas SMA, ia bergabung dengan TNI-AL.
Kabarnya sekarang ia menjadi komandan Kopaska.
Terakhir kali kami bertemu ketika ia berpangkat kapten.
Sekarang mungkin sudah naik lagi. Karir militernya bagus.
Salah satu prestasinya adalah ketika ia bersama regunya
berhasil membebaskan sebuah kapal tanker berikut
awaknya yang disandera bajak laut di Selat Malaka. Sudah
kubilang, ia berbakat menjadi anggota pasukan khusus.
270

Syukurlah, sekarang ia menggunakan kecerdasannya untuk


membela negara.
Bonbon masuk fakultas ekonomi dan kemudian
menjadi pengusaha seperti papanya. Dibanding papanya, ia
jauh lebih maju. Perusahaannya tidak hanya beroperasi di
wilayah Gerbol dan sekitarnya, tapi sudah berkembang
menjadi perusahaan multinasional. Yang menakjubkan dari
Bonbon, ia pernah menjuarai turnamen bulutangkis
antarkampus. Ya, Bonbon menjadi atlit. Ia berhasil
mengendalikan berat badannya, terutama berkat dukungan
dan pengertian yang tak putus-putus dari kekasihnya, Joan.
Mereka menikah dan punya lima anak. Oh ya, tentang
Joan, ia pernah membawa regu voli Indonesia meraih
medali emas di Olympiade. Hebat, kan?
Kamu ingat Joyce? Kabarnya ia masuk sekolah
perawat dan kemudian bergabung pada berbagai misi
kemanusiaan. Kabar terakhir yang kudengar, ia termasuk
rombongan sukarelawati yang berangkat ke Afrika untuk
membantu menangani wabah Virus Ebola.
Kamu ingat Lee Min Ho? Maaf, aku tak pernah ingat
nama aslinya. Selepas SMP, ia melanjutkan pendidikan di
sebuah pondok pesantren di Ponorogo, lalu memperdalam
pengetahuannya di Mesir. Akhir-akhir ini ia semakin
dikenal sebagai da‖i muda berbakat. Presiden menawarinya
271

jabatan sebagai duta besar Indonesia untuk Arab Saudi, tapi


dengan halus ia menolak, karena ingin lebih fokus untuk
berdakwah. Berkat bantuan berbagai pihak, ia berhasil
membangun pondok pesantren yang besar di Malang, dan
kini berkembang menjadi beberapa cabang di berbagai kota.
Aku cukup bangga untuk menceritakan padamu,
bahwa aku baru saja meraih gelar doktor di bidang zoologi.
Disertasiku berjudul Pengaruh Warna Langit Terhadap Pola
Kehidupan Kampret (Microchiroptera) di Pantai Selatan
mendapat apresiasi luar biasa dari kalangan akademis. Aku
suka mengajar. Terimakasih Pak Darto Jenggot, yang telah
memberiku inspirasi. Kini aku menjadi dosen di Universitas
Laut Kidul, di kotaku. Sebenarnya banyak tawaran untuk
mengajar di universitas yang bergengsi, salah satunya dari
Harvard University. Tapi aku memilih untuk tidak
meninggalkan kabupaten ini, supaya tetap dekat dengan
Mak Kerot, yang semakin lanjut usia.
Mungkin, bila tiba saatnya pensiun, aku ingin
kembali menjadi kampret. Ya, aku ingin menghabiskan
masa pensiun bersama teman-teman kampretku, tiap malam
berdiskusi tentang warna langit. Bukankah itu menyenang-
kan?
Aku masih menyimpan beberapa ekor ulat mentah di
dapur. [ ]
272

TAMAT
Pembaca sekalian yang saya sayangi,
Bila kalian merasa mendapat manfaat dengan tulisan
tidak bermutu ini, atau setidaknya terhibur, tolong berikan
imbalan untuk penulisnya dengan memberikan saran atau
kritikan.
Kirimkan saran/kritikan anda ke :
email : rahadiwidodo@ymail.com
facebook : https://www.facebook.com/rahadiwidodo
twitter : @R4h4d1W
Tulisan-tulisan lain dari Rahadi W. Pandoyo bisa kalian baca
di blognya www.kisahfiksikehidupan.blogspot.com
Terimakasih.
273

Sedikit Promo
Buku-buku karya Rahadi W. Pandoyo yang sudah terbit
dan bisa anda dapatkan di toko buku:
Judul : The Doctor
Penulis: Rahadi W. Pandoyo
Editor : Itanov
Tebal : 291 halaman
Penerbit: Mazola (Diva Press)
Cetakan: I, Januari 2015
ISBN : 978-602-255-778-4
Harga : Rp 44.000,00

“Seumur hidup kau membanting tulang mengumpulkan


rupiah demi rupiah. Begitu salah mengobati orang, seorang
sarjana hukum akan menuntutmu dan habislah segala yang
kau miliki.”
Ketika seorang dokter muda tenggelam dalam merah-
hitamnya dunia kedokteran di Indonesia; dicemooh
seniornya, dikhianati teman sejawat, dikadali pasiennya,
diabaikan nasibnya oleh pemerintah, bahkan ditinggalkan
oleh keluarga yang seharusnya mendukungnya, apakah ia
akan tetap bertahan dengan profesinya?
Pahit, manis, haru, dan bahagia, terbungkus manis
dalam kisah Adib, Nirmala, dan Mitha.
274

Resensi tentang novel The Doctor:

Dokter adalah profesi yang


dipenuhi paradoks. Di satu
sisi, ia dipuja-puji para
orang tua di seluruh pen-
juru negeri, yang memaksa
anaknya kuliah di jurusan
Kedokteran. Entah apa
pertimbangan para orang
tua, hingga keranjingan
gelar kedokteran. Apakah
begitu mulia dan fantastis-
nya pekerjaan dokter?
Apakah semua dokter,
begitu berhasil menyelipkan gelar “dr.” di depan namanya,
lantas jadi kaya dengan memeras uang pasien?
Mungkin itulah yang selama ini ada di pikiran orang
awam mengenai profesi dokter. Tapi, melalui novel ini,
Rahadi W. Pandoyo menyingkapkan tabir yang selama ini
menyembunyikan sisi paradoksal dari profesi dokter.
Siapkah kalian masuk ke dalam gua amat gelap dalam
sudut batin seorang dokter?
Simak resensi selengkapnya di...
http://kimfricung.blogspot.co.id/2015/02/resensi-doctor-
kebenaran-yang-ironis.html

Resensi lainnya bisa disimak di...


275

http://galeriedeslivres.blogspot.co.id/2015/03/2015-r5-
rahadi-w-pandoyo-doctor.html
https://melukisbianglala.wordpress.com/tag/rahadi-w-
pandoyo/
https://lenimarlins.wordpress.com/2015/01/26/day-73-
review-buku-the-doctor/

Buku bisa didapatkan di toko buku Gramedia, Gunung


Agung, atau toko-toko buku lainnya. Bisa dipesan langsung
ke penerbitnya dengan menghubungi Kak Nita (sms 0818
0437 4879 / BBM pin 275C67ED).
Tersedia juga di toko-toko buku online:
www.kutukutubuku.com
www.bukukita.com
www.bukabuku.com
www.parcelbuku.com
dll.
276

Judul : Satu Malam di Kampung


Siluman
Penulis : Rahadi W. Pandoyo
Ukuran : 13 x 19 cm
Tebal : vi + 162 hlm
Penerbit: Mediakita
Cetakan: I, Juni 2014
ISBN : 979-794-458-1
Harga : Rp. 36.000,00

Meski sudah diperingatkan Mat Sudi, Harun tetap nekat


pergi ke Sungai Lematang. Dan, pertemuan dengan gadis
misterius di tepi sungai itu, meninggalkan kesan mendalam
baginya.
Akhirnya, rasa penasaran membuat Harun kembali ke tepi
sungai, untuk mencari gadis tersebut. Tanpa disadari,
tindakannya itu akan menjadi awal dari rentetan kejadian
berdarah, yang takkan pernah terlupakan seumur
hidupnya....
Bisa didapatkan di toko buku Gramedia, Gunung Agung,
atau toko-toko buku lainnya, atau di toko-toko buku
online: www.kutukutubuku.com www.bukukita.com
www.bukabuku.com www.parcelbuku.com dll.
Versi e-booknya bisa diunduh di Playstore melalui gadget anda.

Anda mungkin juga menyukai