Anda di halaman 1dari 8

Abstrak

Dalam tugas kali ini, saya mencoba membahas apa itu bahagia dalam perspektif filsafat
alteritas Emmanuel Levinas.Tugas ini adalah hasil pembacaan dari beberapa buku dan
makalah. Dalam pembuatan tugas, ini saya mengintegrasikan beberapa pemikiran yang
sekiranya berkaitan dengan pemikiran dari beberapa filosof besar dalam sejarah
perkembangan filsafat. Saya juga mencoba mengaitkannya dengan makalah Dialog Filsafat
Teologi dan buku Menjadi Mencintai. Uraian ini akan membahas bagaimana pandangan
Levinas tentang bahagia. Bahagia yang adalah produk dari relasi antara aku dan yang lain
menjadi hal yang banyak dibahas dalam paper ini. Bahagia itu hadir dalam relasiku dengan
dia yang lain. Relasi ini hanya mungkin dalam peziarahan hidupku, sebab dalam peziarahan
ini aku pasti berelasi dengan sesamaku. Dalam relasi itulah aku menemukan kebahagiaanku
dalam diri dia yang lain.
Pengantar
Manusia adalah makhluk yang kompleks. Kekompleksitasannya membuat manusia tak
mungkin dapat dipahami secara utuh menyeluruh. Hal ini pertama-tama adalah karena
manusia terdiri dari miliaran individu. Manusia adalah kata, sebutan, atau istilah yang
digunakan untuk menyebut miliaran individu itu. Oleh sebab itu, karena sebegitu banyak
individu manusia, tak mungkin untuk mengertinya secara utuh menyeluruh dan pasti.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa manusia adalah dia yang mencari, mengejar,
menyerahkan diri, bermimpi, dan menciptakan sejarah hidupnya sendiri.1 Dengan kata lain
dapat dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang bebas. Ia bebas berekspresi dengan
dirinya sendiri, bebas mencari dan menentukan arah hidupnya, ia pun bebas dari segala
intervensi apapun.
Manusia dalam kebebasannya adalah makhluk yang berziarah. Ia berziarah dengan
menghidupi dan menjalani hidupnya. Hidup bagi manusia adalah sebuah peziarahan. Atau
dalam analogi Gereja, hidup adalah peziarahan dengan bahtera. Dalam peziarahan manusia
menuju suatu tempat yang saya sebut muara peziarahan. Muara peziarahan ini tidak lain
adalah kebahagiaan. Semua manusia menginginkannya.
Manusia Tubuh dan Jiwanya
Dalam sejarah filsafat Yunani, khususnya pada era Sokrates, ia mulai berbicara
mengenai hakikat manusia. Bagi Sokrates hakikat manusia adalah tubuh dan jiwanya. Dua
hal ini adalah unsur pembentuk manusia. Gagasan Sokrates tentang jiwa ini memang
akhirnya memiliki pembahasan yang berkelanjutan oleh muridnya Platon dan murid dari
muridnya, yaitu Aristoteles. Dengan bimbingan kedua filosof besar ini, gagasan tentang jiwa
mengalami pemaknaan yang luar biasa bagi kehidupan manusia selanjutnya.
Manusia memiliki tubuh. Tubuh manusia adalah materi yang membuatnya berada di
dunia ini. Tubuh manusia adalah itu yang menyatakan kehadirannya di dunia ini. Kehadiran
tubuh menyatakan secara utuh manusia yang menghidupinya. 2 Kehadiran tubuh tidak boleh
dipandang secara sepele dalam hal ini. Kehadiran tubuh mengatakan hal yang sangat
mendalam. Tubuh manusia menyatakan kemanusiaannya. Gagasan ini sangatlah mendalam.
Untuk menyatakan kedalaman makna tubuh ini, saya mengutip tulisan Rm. Armada dalam
buku Menjadi Mencintai, demikian:
...Kemanusiaan berarti itu yang merupakan hakikat manusia. Berhadapan dengan manusia berarti
berhadapan dengan kemanusiaannya. Kita tidak mungkin tidak menghormatinya... Tubuh manusia
1
Armada Riyanto, Menjadi Mencintai. Yogyakarta: Kanisius, hlm. 9
2
Ibid, hlm. 10
adalah keseluruhan dari kehadiran manusia itu sendiri. Artinya, keadilan adalah perkara
memerlakukan manusia dalam keseluruhan dirinya. 3

Kedalaman makna tubuh ini hendaknya membuat manusia sadar akan berharganya
tubuh yang ia miliki. Dalam Kitab Suci, Paulus mengatakan bahwa tubuh adalah bait Allah (I
Kor. 3: 16). Bait Allah mengatakan tempat tinggal Allah. Allah tinggal dalam tubuh manusia.
Allah hadir dalam setiap tubuh manusia itu. Tubuh adalah sesuatu yang sangat berharga,
karena itu tubuh haruslah dihormati.
Konsekuensi dari gagasan ini adalah penghormatan terhadap tubuh manusia. Apabila
tubuh menyatakan kemanusiaan dari manusia itu sendiri, maka menghormati tubuh manusia
berarti menghormati kemanusiaannya. Oleh karena itu pelecehan, tindakan kekerasan, dan
segala bentuk ketidakadilan badan tidak dibenarkan.
Dalam konteks katolik tubuh manusia menjadi simbol dari Bait Allah, atau yang sering
disebut Gereja yang hidup. Menghormati tubuh berarti juga menghormati Dia yang
bersemayam di dalam tubuh itu. Tanpa sebuah paksaan, Dia yang bersemayam itu memang
haruslah dihormati oleh setiap individu manusia, sebab oleh Dialah segala yang ada
dijadikan. Jadi jelas tiap individu wajib menghormati sesamanya karena sesama dan dirinya
adalah citra Allah sendiri.
Konsekuensi lain dari hal ini adalah manusia harus menghormati tubuhnya sendiri juga.
Seperti yang dijelaskan di atas tubuh punya makna yang amat sangat mendalam. Oleh sebab
itu manusia harus menjaga tubuhnya sendiri, merawatnya, dan dengannya manusia harus
menunjukan rasa hormatnya terhadap tubuh lain.
Hal lain dari hakikat manusia adalah jiwa. Jiwa adalah itu yang memberi kehidupan
kepada tubuh. Oleh jiwa tubuh hidup dan bergerak. Dengan jiwa tubuh manusia dimampukan
untuk mencari dan menggapai kebaikan tertinggi untuk kebahagiaan tubuh dan jiwanya.
Meskipun memang dalam konsep platonian jiwa dan tubuh adalah dua entitas yang
berlawanan, sebab tubuh adalah penjara jiwa bagi Platon. Namun saya kira apabila tubuh
dalam hal ini menyatakan kehendak jiwa dengan menlaksanakannya keduanya akan sama
bahagia. Hal ini jelas karena tubuh manusia adalah kreativitas jiwa, sebab jiwalah yang
menghidupi tubuh. Hal ini mengatakan bahwa esensi kodrati hidup manusia adalah jiwa.
Sebagai esensi kodrati dari hidup manusia, jiwa selalu merindukan kebaikan. Hal ini
tentu selaras dengan iman kristiani, bahwa segala ciptaan pada dasarnya adalah baik.
Demikian pula dengan manusia yang adalah ciptaan. Manusia punya kodrat awali yaitu
kebaikan. Oleh karena manusia berasal dari yang baik, maka ia pun punya tujuan akhir yang
sama, yaitu kebaikan. Oleh karena itu jelas dalam hal ini, sebagai esensi yang kodrati dari
manusia jiwa punya tujuan akhir yaitu kebaikan.
Kodrat Manusia
Manusia adalah makhluk sosial. Kebenaran dari hal ini tak dapat disangkal. Dalam
praksis hidup sehari-hari manusia hidup berdampingan dengan individu manusia lain. Ia
berada dalam kebersamaan dengan individu manusia lain. Ia berinteraksi. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa kemampuan berinteraksi adalah kemampuan bawaan manusia. Hanya
yang menjadi masalahnya adalah sedalam apa manusia itu dapat berinteraksi. Kedalaman ini
membuat manusia itu dapat dinilai sejauh mana kemampuan bergaulnya.

3
Ibid
Dalam kebersamaannya dengan orang lain, ia berinteraksi, ia berelasi. Oleh sebab itu
anggapan bahwa manusia adalah makhluk sosial tampaknya masih kurang lengkap. Manusia
juga adalah makhluk relasional. Jalinan relasi dengan sesamanya membuat manusia juga
memiliki kodrat ini.
Dengan kodratnya sebagai makhluk relasional, manusia menyatakan kemanusiaannya.
Maksudnya, manusia benar-benar memanusiawi apabila ia menjalin relasi dengan sesamanya.
Hal ini hendak mengatakan bahwa relasi adalah cara dari mengada manusia. Denga berelasi
ia menunjukan eksistensinya sebagai manusia. Dengan berelasi ia memanusiakan dirinya
sendiri.
Sebagai makhluk relasional, manusia memerlukan orang lain sebagai syarat
eksistensinya. Secara biologis hal ini jelas bahwa seorang individu manusia dapat berada di
dunia ini karena kedua orang tuanya. Hubungan cinta kedua orang tua membuahkan lahirnya
individu baru yang bereksistensi secara nyata. Orang tua di sini menjadi syarat utama dari
keberadaan manusia itu sendiri. Dan dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keberadaan
manusia di dunia ini pun ada karena adanya relasi.
Relasi orang tua menandakan persatuan antara dua orang yang saling mengasihi dan
berkmomitmen untuk hidup bersama dalam bahtera rumah tangga. Dalam relasi mereka itu
akhirnya lahirlah individu baru bersama dengan mereka. Dari hubungan ini, manusia sejak
awal mulanya sudah memiliki kodrat relasional, karena manusia lahir dari relasi.
Dalam kelanjutan kehidupan selanjutnya, manusia tetap memerlukan relasi untuk
hidup. Hal ini terjadi karena manusia tidak mendapat makanan dari tubuhnya sendiri. Semua
hal yang menunjang kehidupan manusia berada di luar dirinya. Sebagai contoh dalam
konteks Indonesia, untuk makan orang harus punya beras. Beras ini tidak tumbuh dalam diri
manusia itu sendiri. Ia berada di luar manusia, sehingga untuk mewujudkannya, manusia
harus berelasi dengan alam untuk menanam padi, yang kemudian dapat diolah menjadi nasi
untuk dimakan. Demikian juga apabila seseorang bukanlah petani, ia tetap membutuhkan
relasi untuk bisa mendapatkan beras, ia harus berelasi dengan penjual beras agar bisa
membeli beras untuk kemudian diolah menjadi nasi.
Contoh lain lagi adalah kebutuhan sandang dan papan manusia. Untuk bisa mendapat
ini semua, manusia harus berelasi dengan sesamanya. Hal-hal ini jelas sekali berada di luar
manusia, kain mustahil dapat muncul tiba-tiba dari dalam tubuh manusia.
Dari pemaparan di atas, halnya menunjukan bahwa relasi adalah hal yang hakiki dalam
hidup manusia. Relasi selalu dilakukan dua arah. Relasi tidak bisa hanya dilakukan sepihak,
bahkan relasi dengan alam pun tidak. Dengan demikian, relasi mengandaikan adanya
interaksi dan komunikasi. Komunikasi menandakan adanya respon terhadap subjek lain yang
memungkinkan kedua pihak berada dalam zona komunikasi. Hal-hal ini lahir dari jalinan
relasi. Hal ini jelas dikatakan dalam suatu tulisan tentang filsafat Relasionalitas yang
berbunyi demikian:
Relasi “aku dan sesamaku (engkau) memiliki kebenaran bahwa keduanya berada dalam zona
komunikasi sehari-hari hidup manusia. Aku menjadi eksistensi yang mengelola dan menjaga
keberadaanku, keberlangsunganku, dan keindahanku. Demikian juga dengan sesamaku. Keduanya
adalah manusia-manusia yang menjadi. Keduanya menjadi sosok-sosok yang ambil bagian satu
sama lain dalam hidup bersama. Saat aku dan sesamaku berkomunikasi, saat itu tercipta “kami”
(we). Kami bukan perpaduan antara aku dan sesamaku, melainkan “keberadaan bersama”. Dan,
kebersamaan itu menyusun komunitas dengan kata lain adalah komunikatif. Dalam komunikasi
tidak ada yang diekskludir, disisihkan.4

Gambaran relasi di atas adalah gambaran relasi yang manusiawi. Relasi identik dengan
komunikasi. Apabila berelasi adalah cara mengada manusia dan caranya memanusiawi, maka
berkomunikasi pun memanusiawikan manusia. Untuk itu komunikasi adalah juga cara
manusia memanusiawi.
Relasi mengandaikan kebersamaan antara aku dan yang lain dalam keberlainannya. Ini
mengandaikan dalam relasi, aku dan yang lain memiliki konteks masing-masing yang harus
dihargai dan dijunjung tinggi. Konteks yang saya maksudkan adalah latar belakang dari
masing-masing pribadi dalam keberlainannya. Hal ini termasuk juga dengan budayannya.
Latar belakang ini sedikit banyak berperngaruh pada proses yang disebut relasi.
Perbadaan konteks antar masing-masing komunikan ini menimbulkan sebuah
konsekuensi. Konsekuensi itu adalah adanya saling hormat menghormati, dan saling
menghargai. Jelas dalam hal komunikasi dan relasi konsekuensi ini wajib dijalani dan di
praktekkan dalam praktek komunikasi dan relasi, sehingga tercipta jalinan relasi yang
harmonis.
Seorang filosof, Levinas menyatakan bahwa relasi antara aku dan yang lain haruslah
relasi yang asimetris. Hal ini dikarenakan bagi Levinas dia yang lain itu tak berhingga dalam
keberlainannya.
Relasi asimetris memang secara harafiah menunjukan ketidakseimbangan. Timpang.
Namun dalam hal ini Levinas tidak memaksudkan ketimpangan yang berkonotasi negatif,
halnya justru mengatakan kedalaman yang luar biasa. Kekayaan makna relasi asimetris ini
membuat manusia dapat melihat cara pandang yang lebih mendalam dalam relasinya dengan
sesamanya. Levinas mengatakan demikian:
...Secara lebih konkret, yang lain itu selalu lebih tinggi dari pada sang aku; ada jurang besar dan
ketidakseimbangan yang nyata antara sang aku dan yang lain. Dengan kata lain, relasi antara sang
aku dan yang lain itu dalam pandangan Levinas, selalu bersifat asimetris. Dari ketinggiannya, yang
lain menantang sang aku untuk memberi jawaban dalam setiap pertemuan konkret... Dalam relasi
ini orang lain selalu mendapat perhatian dan prioritas utama, bukan diri kita. Hak-hak yang harus
dipertahankan adalah hak orang lain bukan diri kita.5

Dari gagasan di atas, terlihat bagaimana kedalaman pemikiran Levinas tentang relasi
antara aku dan sesamaku. Pemikiran yang amat sangat mendalam. Hal ini tentu tidak lahir
begitu saja. Ini mengalir dari pengalaman pribadinya. Ia yang lahir pada permulaan abad
duapuluh merasakan bagaimana pahitnya perang dunia pertama dan kedua. Tidak hanya itu,
sebagian besar dari keluarga besarnya pun menjadi korban dalam kejamnya peperangan ini.
Bahkan dirinya pun nyaris saja menjadi korban dalam peperangan kejam itu. Hal ini terjadi
ketika pecahnya perang dunia kedua. Dengan kemampuannya ia dipercaya menjadi
penerjemah bahasa Jerman dan Rusia. Namun naas, ketika itu pula para tentara Jerman
menagkap mereka dan memasukan mereka ke kamp konsentrasi bagi orang Yahudi, dan kamp
tahanan bagi para prajurit. Untungnnya saat itu Levinas mengenakan seragam tentara Prancis
yang menyelamatkannya dari bayangan kematian di kamp konsentrasi Yahudi, meskipun ia
adalah orang Yahudi.

4
Armada Riyanto, Relasionalitas Filsafat Fondasi Interpretasi: Aku, Liyan, Teks, Fenomen. Yogyakarta:
Kanisius, hlm. 312
5
Thomas HidyaTjaya, Enigma Wajah Orang Lain Menggali Pemikiran Emmanuel Levinas. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, hlm. 91
Levinas pada saat itu diungsikan ke kamp tahanan. Di sana ia berkerja sebagai buruh
hutan sembari merefleksikan hidupnya di sana. Dalam hal ini Levinas patut bersyukur karena
terlepas dari banalitas yang menyerang kaumnya dan memusnahkan banyak dari mereka.
Dalam kesehariannya sebagai buruh hutan, ia merefleksikan aktivitasnya sehari-hari. Hal ini
kelak mengantarnya menggeluti filsafat bidang fenomenologi. Ia bahkan mampu
mempengaruhi banyak filosof yang hidup setelahnya dalam bidang filsafat fenomenologi.
Levinas dari pengalaman peziarahannya, ia mampu menghasilkan buah pikiran yang
luar biasa indah dan mendalam. Apa yang dihasilkan Levinas lewat kecemerlangan akal
budinya berasal dari kreativitas jiwanya. Kodrat jiwa yang berasal dari kebaikan itu
menghantarnya untuk berziarah menuju kebaikan itu pula. Kebaikan yang didapatnya adalah
kebaikan intelektual yang menghantarnya melihat, merefleksikan, dan menghasilkan sebuah
pemikiran yang baik bagi hidup manusia. Isi dari filsafat Levinas ada dalam dirinya sendiri.
Dengan kemampuan akal budinya yang cemerlang ia memikirkan orang lain. Ia
memikirkan bagaimana seharusnya orang menjalani peziarahan hidupnya dalam bingkai relasi
dengan yang lain dijalankan dengan manusiawi. Alteritas ini adalah solusinya.
Dengan adanya solusi dari Levinas yakni alteritas, manusia diajak menjalani cara baru
dalam peziarahan hidupnya. Peziarahan manusia adalah peziarahan yang tak akan pernah
lepas dari relasi dengan yang lain. Bahkan hingga saat ia mati, relasinya dengan yang lain
menyelamatkannya dengan menguburkannya secara layak dan pantas. Manusia diajak untuk
lebih mementingkan yang lain dalam peziarahan hidupnya.
Memang agak sulit untuk menjalani hal ini dengan mengingat ego dari masing-masing
individu manusia. Namun ada hal yang lebih menarik lagi dalam konteks iman katolik hal ini
ditunjukan jauh sebelum Levinas mengatakan gagasannya tentang filsafat alteritas. Pribadi
Allah Putra telah menunjukan hal ini lebih dulu kepada manusia. Ia yang adalah Tuhan rela
mati di kayu salib yang hina demi dosa manusia. Ia sebagai sang aku telah menghidupi relasi
asimetris ini dengan manusia sebagai dia yang lain. Ia mengutamakan kepentingan manusia.
Ia mengutamakan keselamatan jiwa manusia dengan mengorbankan dirinya sendiri dengan
wafat di kayu salib. Bukan hanya wafat saja, sebagai Tuhan, Ia bahkan dihina, dicaci, disiksa.
Hal-hal yang memalukan bagi kebanyakan manusia ditimpakan kepadanya.
Kemudian masih dalam konteks katolik ada tokoh bernama Ibu Teresa dari Kalkuta.
Dengan sangat jelas ia menunjukan relasi alteritas yang amat sangat luar biasa. Hal ini tentu
terlepas dari apakah ia belajar filsafat Levinas atau tidak. Praksis hidupnya menunjukan
semangat alteritas yang amat luar biasa.
Pengalaman relasi yang dialami oleh Levinas dan Ibu Teresa dari Kalkuta menunjukan
bahwa relasi itu berada dalam peziarahan manusia. Manusia yang berziarah adalah manusia
yang berelasi dengan sesamanya. Hal ini mau mengatakan bahwa dalam peziarahannya
manusia tidak akan terlepas dari relasi dengan sesamanya dan dengan ciptaan lain, apalagi
dengan Tuhannya. St. Agustinus mengatakan dengan baik mengenai peziarahan manusia:
...Manusia adalah “peziarah”, “pencari” kebenaran, dan tidak akan tenang sebelum bersatu dengan
Sang Kebenaran itu sendiri. Manusia bukan idle (menganggur). Manusia adalah dia yang berlari,
mengejar, bergumul. Manusia juga bukan dia yang tidak tau harus pergi kemana dalam
pergumulannya. Tetapi, pengetahuan manusia bahwa dirinya tercipta untuk Sang Penciptanya
tidak berasal dari dirinya sendiri, melainkan dari Allah.6

6
Armada Riyanto, Dialog FilsafatTeologi. Paper unpublished, hlm. 6
Agustinus dalam hal ini menguraikan peziarahan manusia dalam terang iman katolik
yang diimaninya. Agustinus tentu tidak asal bicara. Ia berbicara dari kedalaman refleksinya
akan hidup yang ia jalani dan hidup manusia pada umumnnya, serta ia berbicara atas
refleksinya yang mendalam tentang Sang Pencipta. Kedalaman dari refleksi Agustinian ini
memang bersumber dari pengalaman kelamnya di masa lalu. Dengan segala daya piker
rasionalnya dan dengan kebutuhan jiwanya, ia sadar sepenuhnya apa tujuan dari hidupnya. Ia
mengerti dengan baik kemana arah peziarahan hidup membawanya. Ia tau tujuan akhir dari
peziarahan ini. Refleksi Agustinian ini memang sangatlah luar biasa, tidak heran apabila
dalam perkembangan selanjutnya filsafatnya kerap disebut sebagai introduksi untuk Filsafat
Abad Pertengahan.7
Dari apa yang diuraikan oleh Agustinus juga, dapat diketahui bahwa dalam terang
iman, muara peziarahan hidup manusia adalah Tuhan. Tuhan adalah awal kehidupan dan
finalitas dari hidup manusia itu sendiri. Semua manusia dalam peziarahannya menuju pada
Tuhannya. Dari apa yang diuraikan Agustinus dalam filsafatnya di atas, jelas dalam hal ini ia
mencoba menggabungkan kecemerlangan filsafatnya dengan diskursus ilmu teologi. Ia
menunjukan dengan baik bagaimana manusia dengan segenap kemampuan yang ada dalam
dirinya itu berasal dari dan menuju kepada Allah.
Konsekuensi dari hal ini adalah apa yang dilakukan oleh manusia dalam peziarahannya
adalah kebaikan. Kebaikan menjadi aspek utama yang dimunculkan dalam peziarahan
manusia adalah karena Tuhan itu baik. Ia sumber dan pangkal kebaikan. Dengan demikian,
apabila manusia berasal dari Tuhan, maka ia berasal dari kebaikan. Kemudian apabila
finalitas dari peziarahannya adalah Tuhan, maka manusia berziarah menuju kebaikan. Dan
dalam hal ini Tuhan adalah kebaikan yang tertinggi.
Refleksi Bahagia
Dalam perspektif filsafat Emmanuel Levinas, ia mengutamakan relasi asimetris antara
aku dan yang lain. Dengan filsafatnya, Levinas menggamabarkan bahwa dia yang lain itu
sungguh tak terbatas. Dia yang lain itu tak berhingga dalam keberlainannya. Dia yang lain itu
bukanlah aku.
Kesadaran Levinas ini, bahwa dia yang lain itu bukanlah aku mengakar pada kenyataan
bahwa aku dan yang lain memiliki konteks yang berbeda. Aku dan yang lain tidaklah sama.
Aku dan yang lain berangkat dari latar belakang yang berbeda baik itu suku, budaya, agama,
keluarga dan lingkungan hidup. Dengan demikian maka relasi aku dengan yang lain tidaklah
setara. Pandangan Levinas tentang hal ini memang sangat berlawanan dengan para filosof
lain yang mengatakan bahwa relasi antar manusia itu setara. Levinas tidak berpikir demikian.
Struktur kemanusiaan tidak terletak dalam relasi yang setara antara aku dan yang lain,
antara pribadiku dan dia yang lain. Relasi antara aku dan dia yang lain tidak setara. Dia yang
lain berada dalam ketakberhinggaan dalam relasinya denganku. Namun kenyataan bahwa aku
dan yang lain itu hidup dalam kebersamaan adalah hal yang luar biasa.
Dalam kebersamaan antara aku dan yang lain kesadaran bahwa yang lain berada dalam
ketakberhinggaan dalam relasinya denganku haruslah menjadi titik start dalam relasi ini. Hal
ini mengandung konsekuensi bahwa dalam relasiku dengan yang lain, aku harus
mengutamakan dia yang lain itu.
Hal ini jelas tampak dalam contoh di atas tadi, dalam pribadi Levinas sendiri dan Ibu
Teresa dari Kalkuta. Dengan begitu indah mereka sama-sama lebih mengutamakan yang lain
7
Ibid, hlm. 5
daripada diri mereka sendiri. Mereka adalah pelaku alteritas yang sejati. Dengan segala
dayanya, Levinas mengutamakan yang lain dengan kemampuan akal budinya. Ia membuat
suatu trobosan baru bagi dunia dengan filsafatnya. Sementara Ibu Teresa dari Kalkuta dengan
segala daya juangnya mau merawat mereka yang sakit, cacat, berkekurangan, lapar, dan haus.
Kemudian dalam konteks katolik lagi, hal ini sungguh terungkap dalam diri Yesus. Ia
yang adalah Tuhan rela mati demi menebus dosa manusia. Dosa manusia ditanggungNya. Ia
menjadi domba yang dikurbankan untuk kurban penebusan bagi dosa manusia. Ia tersembelih
di salib. DarahNya yang mengalir membasuh manusia dalam keberdosaannya dan
menyucikan manusia dari segaladosanya. Darah yang suci itu telah menjadi karya penebusan
yang amat indah dan mengagumkan. Keindahannya terletak dalam kesediaan Yesus
mengemban tugas itu, dan mengagumkan karena Ia melakukannya atas dasar cinta.
Cinta adalah dasar bagi Levinas juga Teresa dari apa yang mereka lakukan untuk
manusia. Mereka mendahulukan kepentingan yang lain. Kekuatan cinta dan kesadaran akan
ketakberhinggaan yang lain memampukan mereka melakukankebaikan.
Lalu apakah mereka bahagia dengan apa yang mereka lakukan, jawabannya adalah
benar demikian. Mereka sungguh berbahagia dengan apa yang telah mereka lakukan. Hal ini
terungkap secara indah dengan kesetiaan mereka dalam melaksanakan kebaikan itu. Mereka
dengan dorongan jiwanya berziarah menuju kebaikan tertinggi yang adalah muara dari setiap
peziarahan manusia di dunia. Mereka telah menemukan jalan bagi mereka sendiri bagaimana
menuju kebaikan tertinggi itu dalam bingkai relasi dengan sesama.
Bingkai relasi dengan sesama dalam filsafat alteritas Levinas mengantarkannya
mengerti akan kebahagiaan. Bagi Levinas kebahagiaan itu tidak ada, kecuali berkaitan
dengan kebahagiaan orang lain.8 Levinas menggambarkan bahwa aku sama sekali tidak
memiliki kebahagiaan itu. Bahagia itu hanya milik dia yang lain. Namun karena relasiku
dengan dia yang lain itu, aku pun ikut serta larut dalam kebahagiaannya. Aku turut merasakan
kebahagiaan dan turut berbahagia bersama dia. Aku merasakan apa yang ia rasakan dalam
kebahagiaannya. Kebahagiaan yang begitu indah dan besar sehingga aku pun tak bias untuk
tak larut dalam kebahagiaan dia yang lain ini. Kebahagiaannya menghanyutkanku untuk ikut
serta ada dalam kebahagiaan yang dia miliki. Kebahagiaannya punya daya tarik yang luar
biasa yang membuatku tak bias lari dari asiknya berenang dalam lautan kebahagiaan yang
dimiliki oleh dia yang lain. Aku larut dalam kebahagiaan dia yang lain itu dan aku pun
merasakan kebahagiaan itu, serta mengerti arti dari kebahagiaan itu, dan bagaimana jalanku
untuk tetap dapat merasakannya.
Dengan demikian, hal ini mengandung sebuah konsekuensi. Membahagiakan dia yang
lain itu identik dengan membahagiakan diri sendiri. 9 Bahagiaku hanya ada dalam relasiku
dengan dia yang lain. Itu pun hanya akan ada dari sejauh mana aku dapat membahagiakan dia
yang lain dalam relasiku dengannya. Bahagia berarti aku dengan segenap diriku mau
menghormati dia yang lain dalam relasiku dan dalam eksistensinya sebagai manusia.
Kesimpulan
Kebahagiaan adalah tujuan dari setiap peziarahan hidup manusia.Tidak ada manusia
yang tidak ingin bahagia dalam hidupnya. Dalam hidupnya manusia itu berziarah. Ia terus
bergerak dari waktu ke waktu. Ia tidak diam. Ia berziarah. Dalam peziarahan ini ia pasti
berelasi dengan sesamanya. Tidak mungkin tidak. Kodrat manusia adalah makhluk sosial.
Dengan kodrat ini ia punya kecenderungan dasar yaitu hidup berkomunitas, hidup bersama
8
Armada Riyanto, MenjadiMencintai. Yogyakarta: Kanisius, hlm. 58
9
Ibid, hlm. 59
dengan yang lain. Dalam kebersamaan itu ia berelasi. Relasi manusia dengan sesamanya
adalah jalan kebahagiaan yang ditawarkan Levinas. Namun konsep relasi yang diberikan
Levinas adalah konsep relasi alteritas, di mana aku meletakan dia yang lain lebih tinggi
daripadaku Karena ketidakberhinggaannya dalam relasinya denganku. Aku menghormati dia,
akubahagia.

Bahagia juga adalah produk jiwa. Jiwa membuat manusia mau berusaha mengejar
kebaikan dalam peziarahan hidupnya. Jiwalah yang mendorong manusia untuk melakukan
kebaikan. Dorongan jiwa dan kehendak manusia membuat tubuh menjalankan kebaikan yang
mengalir dari jiwanya. Jiwa mengejar kebaikan tertinggi dan kebaikan tertinggi itu adalah
kebahagiaan.

Penutup
Dalam kehidupan manusia, relasi adalah hal yang pasti. Tak ada manusia yang dapat
hidup tanpa relasi. Hadirnya manusia ke dunia pun adalah produk dari relasi, maka kodrat
awali manusia adalah makhluk yang relasional. Relasi ini pun pada gilirannya menjadi
penunjang dalam hidup bersama. Manusia yang adalah makhluk social berada dalam
keharusan ini, berelasi. Dalam relasi ini aku haruslah menghormati dia yang lain dan
mengutamakannya dalam relasiku dengannya. Relasiku dengan dia yang lain menjadi jalanku
menemukan kebahagiaanku. Maka konsekuensi dari hal ini adalah aku harus menghormati
dia yang lain dalam relasiku dengannya.

DAFTAR PUSTAKA
Riyanto, Armada. Dialog Filsafat Teologi. Paper Unpublished
______________. Menjadi mencintai.Yogyakarta: Kanisius, 2013.
______________. Relasionalitas Filsafat Fondasi Interpretasi: Aku, Teks, Liyan, Fenomen.
Yogyakarta: Kanisius, 2018.
Tjaya, Thomas Hidya. Enigma Wajah Orang Lain Menggali Pemikiran Emmanuel Levinas.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012.

Anda mungkin juga menyukai