Sebuah pemahaman dasar yang penulis peroleh dalam mata kuliah ini adalah
tentang manusia sebagai mahkluk yang multidimensi. Gagasan tentang manusia sebagai
mahkluk ciptaan Allah yang unik, serupa dan secitra dengan Allah menemukan
kesatuan makna yang begitu holistik dan integral. Maka manusia sebenarnya adalah
sebuah objek yang dapat dipelajari dari berbagai kajian ilmu pengetahuan.
Problematika manusia tentang eksistensi dirinya inilah yang sebenarnya memancing
pembahasan-pembahasan kristis dari berbagai kajian ilmu. Dalam tulisan ini penulis
berusaha membahasnya secara integral dalam kaitannya dengan prespektif filsafat dan
teologi kristiani.
Mengetengahkan secara paralel sisi positif dan sisi negative manusia sekaligus
dengan okjektif merupakan dan seharusnya selalu menjadi karakter kemanusiaan. Ini
sesuatu yang sangat mendasar bagi manusia seperti dinyatakan oleh Blaise Pascal
bahwa manusia, adalah bahaya bila kita menunjukan manusia sebagai makhluk yang
mempunyai sifat-sifat binatang, dengan tidak menunjukan kebesaran manusia sebagai
manusia. Manusia dalam pengertian yang ada dalam dirinya terdapat unsure positif
sekaligus negative, memang tepat disebut sebagai makhluk ganda atau monodualis.
Dengan segala potensi keunggulan, kelebihan yang ada padanya, manusia dapat
mencapai derajat yang paling tinggi.
Dalam konteks sosial yang disebut masyarakat, setiap orang akan mengenal
orang lain oleh karena itu perilaku manusia selalu terkait dengan orang lain. Manusia
dikatakan sebagai makhluk sosial, juga dikarenakan pada diri manusia ada dorongan
untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain. Manusia memiliki kebutuhan untuk
mencari kawan atau teman. Manusia dikatakan juga sebagai makhluk sosial, karena
manusia tidak akan hidup sebagai manusia kalau tidak hidup ditengah-tengah manusia.
Manusia sebagai makhluk budaya. Dilihat dari pengertian, budaya adalah bentuk
jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta, karsa, dan rasa. Kata budaya
sebenarnya berasal dari bahasa Sanskerta budhayah yaitu bentuk jamak
kata buddhi yang berarti budi dan akal. Kemudian pengertian ini berkembang dalam
arti culture, yaitu sebagai segala daya dan aktivitas manusia untuk mengubah dan
mengelolah alam.
Manusia hidup bereksistensi pada bidangnya. Karena bidang ruang selalu dalam
proses waktu, maka secara nalurilah semua eksistensi (hidup) berhadapan dengan
masalah-masalah yang menghadang kemudian diberi respons oleh manusia dan itulah
kebudayaan. Manusia dilahirkan dengan tingkah laku yang digerakan oleh insting dan
naluri yang walaupun tidak termasuk bagian dari kebudayaan. Namun mempengaruhi
kebudayaan, misalnya kebutuhan akan makanan adalah kebutuhan dasar yang tidak
termasuk kebudayaan. Tetapi bagaimana kebutuhan-kebutuhan itu dipengaruhi apa
yang kita makan dan bagaimana cara kita makan adalah bagian dari kebudayaan kita.
Namun pengertian semacam ini tidak bisa dipahami secara biologis. Tanpaknya,
kalau istilah sejarah dengan istilah-istilah yang ada dalam bahasa nusantara, ditemukan
beberapa kata yang pengertiannya kurang lebih mengandung arti sejarah. Untuk
kepentingan ini, defenisi yang dikemukakan secara kuantitatif relative, karena pada
dasarnya secara sistematis pengertian etimologis dan terminologis lebih dimasudkan
sebagai pengatar untuk sampai pada subtansi sejarah, yakni apa yang mejadi esensi dan
nilai-nilai hakiki sejarah itu.
Sehubungan dengan itu, sejarah selalu berkaitan dengan masa lalu, dilakukan
oleh manusia sebagai makhluk sosial, dan disajikan secara ilmiah. Pengertian lain
mengenai sejarah dapat dikutip, “semua peristiwa masa yang lampau adalah sejarah
(sejarah sebagai kenyataan)”. Defenisi yang filosofis juga dikemukakan “sejarah adalah
bentuk rohaniah dimana suatu kebudayaan mempertanggungjawabkan masa yang
lampau”.
Sumber: