Anda di halaman 1dari 11

Karya Arsitektur Romo Mangun

Sarana Pengungkapan Religiusitas


Romualdus Setyo Hadi
I. Pendahuluan

Di sekitar kita tentu ada begitu banyak bangunan yang berdiri kokoh, termasuk bangunan
yang kita tinggali saat ini. Bangunan gedung adalah wujud fisik dari hasil pekerjaan konstruksi
yang menyatu dengan tempat kedudukannya. Sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di
dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik
untuk hunian (tempat tinggal), kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya,
maupun kegiatan khusus.1 Secara umum kita dapat melihat dari definisi di atas tadi, apa yang
disebut sebagai bangunan. Definisi tersebut agaknya hanya mengarah pada satu sisi saja yakni
fungsional balaka. Lantas, apakah arsitektur sebenarnya hanya menyangkut tentang bangunan
yang berdiri dan dapat digunakan?

Salah satu tokoh arsitek yang terkenal dan menarik untuk dibahas dalam hal ini adalah
Rm. Y.B. Mangunwijaya, Pr yang akrab disapa dengan sebutan Romo Mangun. Dalam dunia
arsitektur Indonesia Romo Mangun memang dikenal sebagai seorang arsitek dan perencana
dengan pemikiran yang multiperspektif dikarenakan latar belakang pendidikan dan pengalaman
yang multidisiplin. Kekayaan wacana pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang religius
beliau turut mewarnai artefak arsitektur yang dihasilkan. Perwujudan karya arsitekturnya tentu
melalui sebuah rangkaian proses panjang meliputi filosofi, proses kreatif, pelaksanaan hingga
komunikasi dengan klien dan pelaksana. “Dalam segenap karya pembangunan kita dapat
membangun asal saja berdiri dan dapat dipakai. Tetapi binatang sekalipun tidak begitu. Sayap
kupu-kupu, tanduk rusa raja, bulu-bulu Cendrawasih, sisik ikan, bahkan sikap perangai dan
kelakukan lumba-lumba atau anjing-pun tidak cuma berbiologi belaka, menjalankan
kelangsungan diri dan mempertahankan diri fisik belaka. Ada unsur-unsur yang “lebih dari asal
berguna”.2 Karya arsitektur yang dihasilkan bukan hanya menyangkut aspek “guna” saja
melainkan mengunggulkan aspek/dimensi “citra” yang benar-benar berkualitas juga.
1
UU Nomor 28 Tahun 2002 pasal 1 angka 1 Tentang Bangunan gedung.
2
YB. Mangunwijaya, Wastu Citra, Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-sendi Filsafatnya Beserta
Contoh-contoh Praktis, PT Gramedia Pusktaka Utama, Jakarta. 1988 hal 6

1
Proses ini selalu merupakan topik yang menarik untuk dikupas kembali karena
menyingkapkan dua sisi sekaligus, yaitu sisi teknis yang mekanis dan sisi non teknis yang
manusiawi. Romo Mangun pernah mengungkapkan demikian: “Arsitektur adalah ekspresi dan
wahana suatu kebudayaan, dalam pikir alam cita rasa dan ungkapan langsung paling jelas,
bagaimana suatu masyarakat berfilsafat hidup dan menangani kehidupan.”

Penulis memiliki hipotesa awal bahwa melalui prinsip wastu citra dan wastu guna dalam
karya arsitektur Romo Mangun sebenarnya mengungkapkan sisi religiusitas tersendiri. Maka
dalam membahas tema ini, penulis mencoba untuk merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang
kiranya dapat membantu dalam memberikan arah pembahasan. Pertanyaan-pertanyaan yang
muncul demikian:

1. Apa itu nilai religiusitas?


2. Nilai religiusitas seperti apa yang dihidupi oleh Romo Mangun?
3. Bagaimana nilai religiusitas itu diungkapkan oleh Romo Mangun dalam karya dan
proses ber-arsitekturnya?

II. Religiusitas

Pembahasan pertama ini menyangkut pengertian dari religiusitas itu sendiri. Religiusitas
berasal dari akar kata religion (Inggris) atau religi (Indonesia), dalam bahasa Latin
yaitu religio, relegere atau religure yang artinya mengikat. Melalui akar kata itu sebenarnya mau
mengartikan religiusitas sebagai suatu kesatuan unsur yang komprehensif, yang merujuk pada
seseorang hingga bisa disebut sebagai orang yang beragama (being religious), dan bukan sekadar
mengaku mempunyai agama (having religious). Religiusitas sendiri sebenarnya meliputi
pengetahuan agama, pengalaman agama, perilaku (moralitas) agama, dan sikap sosial
keagamaan.

Maka secara lebih padat dapat dikatakan bahwa religiusitas adalah suatu keadaan,
pemahaman dan ketaatan seseorang dalam meyakini suatu agama. Pengalaman beragama itu
yang lantas diwujudkan dalam pengamalan nilai, aturan, kewajiban sehingga mendorongnya
bertingkah laku, bersikap dan bertindak sesuai dengan ajaran agama dalam kehidupan sehari-

2
hari. Hal ini juga menyangkut apa dihayati oleh individu di dalam hati, getaran hati nurani
pribadi dan sikap personal.3

III. Romo Mangun dan Konsep Religiusitasnya

Setelah menguraikan istilah religiusitas maka pembahasan selanjutnya menyangkut


pribadi Romo Mangun dan konsep religiusitasnya. Memahami bagian ini, pertama-tama perlu
dikenali terlebih dahulu secara singkat sosok Romo Mangun yang menjadi subjek penting dalam
pembahasan. Romo Mangun, dilahirkan di Ambarawa, Jawa Tengah pada tahun 1929. Menerima
tahbisan imamatnya pada 1959, menjadi imam Praja Keuskupan Agung Semarang. Dari
pendidikannya di Aachen, Jerman beliau menyandang predikat pastor arsitek. Kiprahnya
beragam, mulai dari penulis di berbagai media, penulis buku fiksi dan non fiksi, sastrawan,
budayawan, rohaniwan, staf pengajar di Jurusan Arsitektur UGM Yogyakarta, kemudian
mengundurkan diri dari dunia pendidikan tahun 1982, dan mengundurkan diri dari konsep ‘grand
architecture’ tahun 1988, prinsip beliau tentang arsitektur adalah kewajiban untuk berpihak pada
kaum lemah. Uraian singkat tentang siapa itu Romo Mangun di atas kiranya cukup untuk
memberikan sedikit gambaran tentang sosok beliau secara biografis.

Pembahasan selanjutnya adalah mengenai pengenalan terhadap Romo Mangun melalui


konsep religiusitasnya. Mengawali pembahasan ini penulis mengambil sebuah keprihatinan
mendasar yang pernah diungkapkan oleh Mgr. Ignatius Suharyo tentang situasi bahwa “Di
Indonesia ini banyak tempat ibadah dibangun megah, tetapi mengapa kenyataannya korupsi
(semakin)tersebar, bukan sebaliknya? Mengapa kekerasan tampaknya semakin merebak dan
krisis belum juga diatasi secara menyeluruh?” Bila sedikit ditarik lebih kedalam sebenarnya ada
keretakan, bahkan keterbelahan antara inti kehidupan beragama (ordo essendi) yang
menawarkan kemesraan hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama,
dan manusia dengan dirinya sendiri dengan pemahaman dan praksis hidup beragama (ordo
cognoscendi et agendi)m sehingga cita-cita luhur keselamatan, kesejahteraan, keadilan, dan
solidaritas antar umat manusia redup memudar, nyaris sirna hilang tergencet fanatisme,
kekerasan, ketidakadilan, kezaliman, dan kemungkaran.

3
YB. Mangunwijaya, Menumbuhkan Sikap Religiusitas Anak. Jakarta : Gramedia. 1986 hal.

3
Romo Mangun mengistilahkan ordo essendi kehidupan beragama sebagai “Religiusitas”.
Religiusitas berdimensi iman, cinta kasih, dan harapan. Menurut Romo Mangun religiusitas tidak
identik sama dengan agama. Agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian kepada
Tuhan atau kepada “dunia atas” dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan
hukum-hukumnya, serta keseluruhan organisasi tafsir kitab-kitab keramat dan sebagainya yang
melingkupi segi-segi kemasyarakatan.4 Religiusitas lebih melihat aspek “di dalam lubuk hati”,
riak getaran hati nurani pribadi; sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain,
karena menapaskan intimitas jiwa. Dalam arti Pascal du coer, yakni cita rasa yang mencakup
totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawinya) ke dalam mengatasi, atau lebih dalam dari
agama yang tampak, formal, resmi. Religiusitas lebih bergerak dalam tata paguyuban yang
cirinya lebih intim.5 Lewat pengabdian yang tinggi pada ketuhanan, pandangan yang luar biasa
pada kemanusiaan serta kecintaannya pada alam mengantar totalitas-nya menjadi karya agung
buat arsitektur Indonesia.. Maka melalui religiusitas Romo Mangun “berkarya” bukan hanya
“berkata”.

IV. Religiusitas dalam Karya Arsitektur Romo Mangun

Berarsitektur buat seorang Mangun bukanlah sekedar masalah bentuk dan ruang saja,
kepeduliannya pada masalah-masalah sosial budaya mengantar sebuah karya-rancang bangunnya
adalah sebuah wahana untuk kehidupan yang berkesinambungan.

a. Filosofi Tentang Arsitektur

Pengertian kata Arsitektur yang berangkat dari architectoon (bhs. Yunani) yang
berarti tukang ahli bangunan yang utama. Romo Mangun menilai pengertian ini masih terlalu
miskin dibandingkan pengertian sesungguhnya. Romo lebih cenderung menggunakan kata
Wastu (Vasthuvidya : Jawa Kuna) yang mengacu kepada pemahaman hakikat, hal, perkara,
kenyataan, norma, tolok ukur kesusilaan.

Tabel Perbandingan Pengertian Arsitektur.6

4
Y. Sari JAtmiko, Dari Pelajaran Agama Ke Pendidikan Religiositas dalam artikel Membangun Habitus Baru,
Dinamika Edukasi Dasar, Yogyakarta, 2005, hal 6
5
Y. Sari JAtmiko, Dari Pelajaran Agama Ke Pendidikan Religiositas dalam artikel Membangun Habitus Baru,
Dinamika Edukasi Dasar, Yogyakarta, 2005, hal 6

4
Architectoon Wastu

 Guna : tinjauan fungsional  Citra : tinjauan makna Materi


 Estetika bentuk yang otonom, Transenden
materialis dan bersifat informasi  Keselarasan dengan kosmos, spiritual
dan bersifat transformasi

Menurut Romo Mangun, berarsitektur yang sesungguhnya harus meliputi guna dan
citra:

 Mampu memberi makna dari materinya


 Berangkat dari eksistensi manusia : jasmani dan rohani yang bila dipisahkan akan
mati
 Membahasakan dan mencerminkan jati diri pengguna.

Beberapa kata kunci dari Wastu citra menyuratkan prinsip-prinsip maupun nilai yang
mewarnai metode maupun hasil perancangan aristektur Romo Mangun, yaitu :

 Vernakularisme: arsitektur lokal nusantara merupakan pencerminan arsitektur yang


menggabungkan guna dan citra
 Sikap arsitek untuk selalu memihak yang lemah
 Keindahan merupakan kebenaran, disaat yang tepat dan waktu yang tepat.

b. Arsitektur, Sebuah Persetubuhan Antara “Guna Dan Citra”

Sesungguhnya arsitektur, seperti pendapat Josef Prijotomo, bukanlah sekumpulan


bahan bangunan yang didirikan diatas sebidang tanah saja, tetapi sebuah arsitektur memang
membawa sejumlah isu-isu kompleks seperti aspek-aspek sosial, budaya dan teknologi. 7
Romo Mangun bahkan memberinya “jiwa” pada bangunan yang disebut rumah. Bangunan,
biarpun benda mati namun tidak berarti tak “berjiwa”.8 Rumah yang kita bangun ialah rumah
6
Sunaryo, Rony Gunawan, MENGIKUTI LANGKAH PIKIR ROMO MANGUN: Sebuah Tinjauan Mengenai
Metode Perancangan Arsitektur Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR Vol. 35, No. 1,
Juli 2007: hal 41

7
Prijotomo, Josef, Ideas and Forms of Javanese Architecture, Yogyakarta, Gajah Mada University Press 1988, hal.1
8

5
manusia. Oleh karena itu merupakan sesuatu yang sebenarnya selalu dinafasi oleh kehidupan
manusia, oleh watak dan kecenderungan-kecenderungan, oleh nafsu-nafsu dan cita-citanya.
Rumah selalu adalah “citra” sang manusia pembangunnya. Maka dalam membangun rumah
atau bangunan lain, ada dua lingkungan masalah yang perlu diperhatikan, Romo Mangun
menulis sebagai: Lingkungan masalah “Guna” dan lingkungan masalah “Citra”.

Bahasan panjang-lebar Romo Mangun tentang “Guna” dan “Citra” terjelaskan rinci
dalam buku Wastu Citra-nya. Arsitektur diringkasnya dalam dua kategori saja yakni “Guna”
dan Citra” saja, yang berbeda dengan banyak pandangan tentang arsitektur, terutama
arsitektur dari sudut pandang Barat. “Guna” oleh Romo Mangun didefinisikannya sebagai
keuntungan, “pemanfaatan” yang diperoleh. “Pelayanan” yang dapat kita dapat darinya.
Guna dalam arti kata aslinya tidak hanya berarti bermanfaat, untung materiel belaka, tetapi
lebih dari itu punya “daya” yang menyebabkan kita bisa hidup lebih meningkat. Sedang
elemen “Citra” dipaparkan oleh Romo Mangun sebagai suatu “gambaran” (image), suatu
kesan penghayatan yang menangkap ”arti” bagi seseorang. Citra tidak jauh sekali dari guna,
tetapi lebih bertingkat spiritual, lebih menyangkut derajat dan martabat manusia yang
menghuni bangunannya. Lebih lanjut Romo Mangun menulis bahwa : “Citra menunjuk pada
tingkat kebudayaan sedangkan Guna lebih menuding pada segi ketrampilan/ kemampuan. 9
Citra adalah “lambang yang membahasakan” segala yang manusiawi, indah dan agung dari
dia yang membangunnya.

c. Religiusitas dan Karya Arsitektur Romo Mangun

Hingga saat ini wujud karya arsitektur Romo Mangun sendiri yang tercatat ada sekitar 84
buah, baik yang dibangun, tidak dibangun, dan sudah dibongkar. Dua dari karya-karyanya berhasil
meraih penghargaan, yaitu AgaKhanAward for Architecture untuk Permukiman Tepi Kali Code,
Yogyakarta, dan penghargaan dari Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) untuk tempat penziarahan

Sendangsono. Sebagian besar karyanya memang adalah bangunan gereja. Lewat karya


bangunannya Romo Mangun menghadirkan arsitektur yang bersetubuh dengan alamnya.
Arsitektur Romo Mangunwijaya menghadirkan suasana alam sekitarnya agar penghuni itu
9
H. Istanto, Freddy, Arsitektur Guna dan Citra Sang Romo Mangunwijaya, DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR
VOL. 27, NO. 2, DESEMBER 1999: hal. 42

6
mampu semakin menyatu dengan alam. Ini nilai religiusitas yang penulis temukan bahwa
kesatuan dengan alam menjadi jiwa tersendiri dalam wujud bangunan Romo Mangun.
Kesatuan dengan alam itu juga ditunjukan dengan pilihan dalam penggunaan bahan
bangunan. Romo Mangun selalu menggunakan unsur-unsur yang telah disediakan oleh alam,
hal ini tidak sekedar menyiratkan penghargaan terhadap sang alam itu sendiri. Semua
dilakukan untuk memberi cita rasa khas dari alam disekitarnya.

Karya arsitektur Romo Mangun itu masuk dalam kategori arsitektur vernakular. Ada
beberapa bentuk bangunan yang dibuat oleh Romo Mangun dan menjadi khas Romo
Mangun. Ke-khas-an itu terletak dari pilihan bahan bangunannya, perpaduan antara
bangunan dengan kontur tanah, kecerdasannya dalam perhitungan fisika antara penopang dan
massa berat, dan juga visual keindahan yang dihasilkan. Bentuk-bentuk bangunan yang
sering dijumpai pasti memiliki bentuk yang unik, aneh, namun indah. Satu hal yang pasti
bahwa Romo Mangun berhasil untuk konsisten dalam mempertahankan konsep, prinsip, dan
karakter berarsitekturnya. Lilianny S Arifin dari Laboratorium Sejarah & Teori Arsitektur
Universitas Kristen Petra mengatakan “Karya bangun Mangunwijaya tumbuh dari suatu keakraban
dengan alam setempat, dengan penyampaian yang wajar tapi sarat pesan. Keinginan
Mangunwijaya menghadirkan sebuah substansi untuk mendorong hadirnya arsitekur nusantara
terlihat dari penjiwaannya terhadap arsitektur rumah – rumah tradisional dan juga candi di
Indonesia”.10 Hal ini ia simpulkan dari tatanan kolom bangunan yang mencerminkan tatanan rumah
tradisional dan tatanan lengkung yang mengingatkan bentuk lengkung pintu candi. Serta perpaduan
material dan konstruksinya yang menghadirkan sebuah harmoni arsitektur nusantara. Konsistensi
tersebut dapat dikatakan tercipta sejak karya Romo Mangun yang pertama. Yaitu Gereja Santa
Maria Assumpta, Klaten, Jawa Tengah pada tahun 1968

Bentuk-bentuk yang unik dan indah tersebut membawa kita pada pemikiran yang
tuntas tentang arsitektur sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kegunaan dan keindahan.
Dalam setiap desainnya, Romo Mangun sangat memperhatikan kesinambungan antara alam
sekitar dan bangunan yang ada. Konsep pemikiran Romo Mangun adalah Gereja hadir di
tengah-tengah masyarakat, mau terbuka, berdialog, dan menerima semua orang tanpa
10
Arifin, Lilianny S. “Arsitektur Nusantara Ala Mangunwijaya: Membangkitkan makna Vernakular lewat Jiwa Tradisi”. 
Universitas Kristen Petra: Laboratorium Sejarah & Teori Arsitektur 2012

7
memandang seseorang berdasarkan status, golongan, suku/ras, etnis, budaya, dan lain-lain.
Konsep bangunannya adalah Gereja diaspora, konsep ini menekankan Gereja yang terbuka.
Tentu ini merupakan hasil dari refleksi Romo Mangun atas situasi Indonesia senyatanya.

Gaya bangunan menurut Romo Mangun seharusnya tercermin dari apa yang
diungkapkanya dalam kehidupan sehari-hari. Ia memulai segala sesuatunya dari kehidupan
yang nyata dan ada di dalam masyarakat. Model arsitekturnya merupakan kritik tegas
terhadap kecenderungan pembangunan rumah dan sarana-sarana publik seperti gedung
pencakar langit yang jauh dari nilai-nilai budaya lokal. Ketertarikan untuk menghargai dan
melestarikan alam dan budaya serta membela kepentingan-kepentingan orang miskin
menjadi dasar visi dan karya arsitektur yang dibuat oleh Romo Mangun.11

d. Kupasan Wastu Citra Kali Code

Apabila kita ingin memahami “Wastu Citra” Romo Mangun dalam konteks religiusitas
dimana pengungkapan itu nyata terlihat, akan lebih mudah bila melihat karya nyata Romo Mangun
di Permukiman Tepi Kali Code. Permukiman tepi Kali Code atau lazim disebut Kampung Kali
Code, Yogyakarta pada awalnya merupakan permukiman liar dan kumuh di tepi kali yang dihuni
oleh orang-orang yang termarginalkan, bahkan dianggap sebagai sampah masyarakat yang terdiri
atas gelandangan, kriminal, dan prostitusi. Hingga akhirnya pada tahun 1980, pemerintah pun
merencanakan untuk menggusur permukiman tersebut demi wajah Kota Yogyakarta yang lebih
baik.12 Romo Mangun merupakan salah satu orang yang berdiri di depan untuk menentang rencana
pemerintah. Beliau meyakini bahwa menggusur warga bukanlah solusi yang tepat atas persoalan
yang terjadi. Baginya masyarakat Kali Code bisa memperbaiki pemukimannya sendiri asal diberi
kesempatan. Ia pun terlibat dalam konflik sosial dengan berpolitik sekaligus membangun
Permukiman Tepi Kali Code yang layak dan baik bersama masyarakat.

Dalam menjalankan misi kemanusiaan tersebut Romo Mangun merelakan diri menjadi
bagian dari masyarakat. Kurang lebih selama 6 tahun menghuni, Romo Mangun merancang
mentalitas, membangun penyadaran diri masyarakat, bahwa masih ada yang mengasihi dan peduli
terhadap mereka. Target awalnya adalah warga kampung yang menjadi korban sekaligus yang

CB. Mulyatno, Keutamaan dalam karya-karya Kemanusiaan Y.B Mangunwijaya, Jurnal Teologi Vol 02 No 2.
11

Thn 2013, hal 189


12
Sajak Wastu Mangunwijaya https://iplbi.or.id/sajak-wastu-mangunwijaya/ diakses 12 April 2021

8
paling menderita, yaitu anak-anak. Setelah itu baru orang dewasa, terutama kaum hawa. Sehingga
masyarakat mampu sadar diri, peduli sesama dan lingkungannya. Mentalitas itu kemudian
diejawantahkan dalam arsitekur rumah komunal. Hal ini sebagai tempat proses musyawarah atau
dialog komunitas. Sehingga, didirikanlah Balai Rukun Tetangga sebagai tahap awal pembangunan
Kampung Kali Code.

Penataan dan rancangan Balai Rukun Tetangga serta rumah-rumah penduduk berasal dari
kondisi tapak yang ada.13 Kali Code menjadi halaman depan bangunan agar masyarakat sadar
untuk merawat dan menjaganya. Selain itu, bentuk bangunan dirancang rendah hati menampilkan
identitas lokal. Konsep utamanya adalah menghadirkan rumah yang tidak hanya sehat jasmani,
tetapi juga secara psikis.14 Rancangannya mencoba mengoptimalkan terbentuknya keseharian
dialog informal para warganya. Hal ini dimulai sejak dari pembangunannya. Pembangunan
kampung dengan gotong royong, yang merupakan akar dari falsafah Pancasila. Masyarakat bekerja
sama mulai dari membangun, mewarnai bersama bangunannya, hingga merawat Kampungnya.
Sehingga material yang digunakan tidak hanya dipilih berdasarkan aspek perawatan saja,
melainkan juga keberlanjutan dan biaya. Material bahan bangunan tersebut adalah yang akrab
dengan rakyat, seperti bambu sebagai tiang, anyaman bambu sebagai tembok, serta seng sebagai
atap dipilih untuk mengisi bangunan.

Apa yang telah dilakukan Romo Mangun ternyata berdampak besar. Masyarakat tumbuh
dan berkembang dari bukan siapa-siapa menjadi sebuah laskar mandiri. Dari sini, Romo Mangun
menampilkan berbagai gejala arsitektur secara holistik. Bukan hanya tentang keterampilan teknis
yang bersifat praktis, ataupun tentang estetis serta fungsional belaka.   Melainkan pula
mencerminkan jiwa, mental, serta sikap budaya si pembuat dan si pemiliknya yang murni
mengangkat hakikat dan martabat alam.

V. Kesimpulan

Melalui penjabaran yang cukup panjang penulis menemukan bahwa pada dasarnya
memang Romo Mangun menggunakan karya arsitektur sebagai sarana untuk mewujudkan nilai
religiusitasnya. Hipotesa awal yang diambil oleh penulis telah dibuktikan kebenarannya melalui

13
Sajak Wastu Mangunwijaya https://iplbi.or.id/sajak-wastu-mangunwijaya/ diakses 12 April 2021
14
Sajak Wastu Mangunwijaya https://iplbi.or.id/sajak-wastu-mangunwijaya/ diakses 12 April 2021

9
data yang ada. Berdasarkan semua hal di atas, dapat disimpulkan bahwa wujud religiusitas ditemukan
dalam prinsip ber-arsitektur Romo Mangun yang tampak dalam karya-karyanya. Romo Mangun
menjadikan arsitektur sebagai simbol dari sebuah kosmos. Bahwa menciptakan arsitektur adalah
memanfaatkan dan mengangkat martabat alam dan manusianya. Sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan
kondisi yang ada disekitarnya dan dihapadinya secara langsung. 

Romo Mangun juga menjadikan arsitektur sebgai cermin dari sebuah sikap hidup. Sikap hidup
ini dilatarbelakangi oleh orientasi diri yang berdasarkan pada pancaran kebenaran. Kebenaran bahwa
manusia merupakan keesaan dari jasmani-rohani. Maka kesadaran tentang jiwa bangsa-negara
terejawantahkan dalam arsitektur vernakular atau khas nusantara. Romo Mangun pun melalui karya
arsitekturnya membawa nilai-nilai dalam ajaran Agama Kristiani dan ajaran-ajaran yang
disesuaikan dengan Konsili Vatikan II. Romo Mangun dalam mendesain karya arsitektur tidak
sekedar berkesan indah dan megah saja. Tetapi disesuaikan dengan konteks budaya lokal sekitar
dan memiliki pemaknaan yang lebih mendalam akan “Gereja yang mau terlibat dan mau terbuka
dengan sekitar”. Inilah hasil yang luar biasa dan mempesona dari persetubuhan “Citra” dan
“Guna” yang diproses secara kreatif berlandasakan religiusitas yang dihayati Romo Mangun.

Daftar Pustaka:

 Mangunwijaya, YB, Sastra dan Religiositas, PT Sinar Harapan, Jakarta, 1983.


 Mangunwijaya, YB, Wastu Citra, Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-
sendi Filsafatnya Beserta Contoh-contoh Praktis, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
1988
 H. Istanto, Freddy, Arsitektur Guna dan Citra Sang Romo Mangunwijaya, DIMENSI
TEKNIK ARSITEKTUR VOL. 27, NO. 2, DESEMBER 1999: 40 - 47
 Mulyatno, CB, Keutamaan dalam karya-karya Kemanusiaan Y.B Mangunwijaya, Jurnal
Teologi Vol 02 No 2. Thn 2013
 Sunaryo, Rony Gunawan, MENGIKUTI LANGKAH PIKIR ROMO MANGUN: Sebuah
Tinjauan Mengenai Metode Perancangan Arsitektur Yusuf Bilyarta Mangunwijaya,
DIMENSI TEKNIK ARSITEKTUR Vol. 35, No. 1, Juli 2007: 41 - 45
 Mangunwijaya, YB, Ragawidya: Religiositas hal-hal sehari-hari, Kanisius, Yogyakarta
1986.
 Al-Radi, Selma, dan Charles Moore. 1992. Kampung Kali Cho-de. In Architecture for a
Changing World. James Steele, ed. London: Academy Editions.
 Arifin, Lilianny S. 2012. “Arsitektur Nusantara Ala Mangunwijaya: Membangkitkan makna
Vernakular lewat Jiwa Tradisi”.  Universitas Kristen Petra: Laboratorium Sejarah & Teori
Arsitektur.

10
 Napitupulu, Erwinthon P.  2013.  “Wastu Citra dan Citra Wastu Y.B. Mangunwijaya:
Kesesuaian Antara Yang-Dituliskan dan Yang-Diwujudkan”. dalam pembuka edisi baru Wastu
Citra. Jakarta: Gramedia.
 Sajak Wastu Mangunwijaya https://iplbi.or.id/sajak-wastu-mangunwijaya/ diakses 12
April 2021

11

Anda mungkin juga menyukai