Peziarahan Sendangsono
Mata Kuliah
Teori Arsitektur
PRODI ARSITEKTUR
UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
Tahun Ajaran 2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN
Sendangsono adalah tempat ziarah Katolik pertama di pulau Jawa, di sini terdapat Goa Maria
tempat peziarah berdevosi dan menghaturkan sembah bakti kepada Bunda Maria. Tempat ini merupakan
cikal bakal perkembangan umat Katolik di Jawa, di mana di sini dilakukan pembaptisan umat pribumi
pertama oleh Romo Van Lith. Secara geografis, Sendangsono terletak di jalur pegunungan Menoreh, yang
beralamatkan di Dusun Semagung, Desa Banjaroya, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulonprogo,
Daerah Istimewa Yogyakarta. Sendangsono sendiri terletak pada perbatasan antara Yogyakarta dan Jawa
Tengah. Sama dengan karya-karya beliau lainnya, Gua Maria Sendangsono dirancang dengan prinsip Guna
dan Citra. Guna merujuk pada keuntungan, fungsi, dan manfaat yang dapat diambil dari sebuah karya
arsitektur. Sedangkan Citra merujuk pada visualisasi atau gambaran, suatu kesan penghayatan yang dapat
ditangkap dari karya arsitektur.
Dalam bukunya Romo Mangun menjelaskan bahwa bangunan,biarpun benda mati bukan berarti
“tidak berjiwa”. Rumah yang dibangun adalah rumah manusia. Rumah merupakan citra sang manusia
pembangunnya. Maka dalam membangun rumah atau bangunan lain, ada dua lingkungan masalah yang
perlu diperhatikan yaitu guna dan citra.
Perkataan “guna menunjuk pada keuntungan, pemanfaatan ( use ) yang diperoleh dari pelayanan
yang dapat kita ambil. Berkat tata ruang, pengaturan fisik yang tepat dan efisiensi, kenikmatan ( comfort )
yang dirasakan. Guna dalam makna kata aslinya tidak hanya berarti bermanfaat, untung materil belaka,
tetapi lebih dari itu, yaitu daya yang menyebabkan hidup meningkat.
Citra sebenarnya hanya menunjuk suatu “gambaran” ( image ), suatu kesan penghayatan yang
menangkap makna bagi seseorang. Citra tidak jauh dari guna, tetapi bertingkat spiritual, lebih menyangkut
derajat dan martabat manusia.
Sendangsono menjadi salah satu hasil karya Romo Mangun yang menonjolkan sisi bangunan
menyatu dan menghargai alam. Ruang terancang mampu menyatu dengan alam sekitarnya. Material lokal
digunakan untuk penyusun struktur ramah terhadap lingkungan. Kemudian elemen penyusun ruang dan
struktur tersebut diperhalus oleh ornamen yang kaya akan makna Kristiani. Karya-karya arsitektur Romo
Mangun memiliki visi arsitektur yang unik sehingga mampu melahirkan olahan rancangan arsitektur yang
berkarakter dan otentik. Kekhasan dan keotentikan karya Romo Mangun tercermin dalam keindahan tektonika
pada karya-karya beliau.
Sentuhan teknonika, pengolahan material dan sequence yang diciptakan menghadirkan presepsi serta
pengalaman meruang bagi setiap pengunjung yang berziarah di Sendangsono. Hal ini membuat karya Romo
Mangun dapat menjadi salah satu kajian fenomenologi dalam arsitektur.
Pembahasan masalah konteks dalam arsitektur ini akan mengerucut pada pembahasan mengenai
fenomenologi. Fenomenologi merupakan upaya pemberangkatan dari metode ilmiah yang berasumsi bahwa
eksistensi suatu realitas tidak orang ketahui dalam pengalaman yang dihayati secara aktual sebagai dasar suatu
realitas. Jadi peneliti dalam studi fenomenologi tidak tertarik mengkaji aspek - aspek kausalitas dalam suatu
peristiwa, tetapi berupaya menggeledah tentang bagaimana orang melakukan suatu pengalaman beserta makna
pengalaman itu pada dirinya. Pendekatan ini berupaya membiarkan realitas mengungkapkan dirinya sendiri
secara alami.
Demi mencapai tujuan tersebut, saya mengambil data studi pada kasus yang dirasa dapat mewakili
aspek - aspek dalam fenomenologi, dengan mempertimbangkan lingkungan sekitar, makna tempat, serta
pengalaman empiris. Studi kasus yang saya ambil kali ini adalah peziarahaan umat Katolik Gua Maria
Lourdes Sendangsono.
Kasus tersebut dipilih karena Sendangsono memiliki pengolahan material dan sequence yang mampu
menghadirkan presepsi serta pengalaman meruang bagi setiap pengunjung yang berziarah.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1. Pengenalan Teori Fenomenologi
Fenomenologi merupakan sebuah bagian filsafat yang telah banyak dipergunakan pada bidang
ilmu arsitektur. Fenomenologi hadir sebagai sebuah cara mengalami dan memahami arsitektur yang
sekaligus memperhatikan sisi subyektivitas dan sisi objektivitas. Fenomenologi berasal dari bahasa
Yunani phainómenon yang berarti “apa yang tampak”, dan kata lógos yang berarti “studi” atau “ilmu”.
Secara lebih khusus, dicatat disini, fenomenologi pada kajian filsafat menekankan pada studi terhadap
pengalaman sadar terhadap fenomena.
Fenomenologi merupakan sebuah pertemuan antara empirisme dan rasionalisme. Empirisme
merupakan sebuah teori pengetahuan yang meyakini bahwa pengetahuan terutama-tama diperoleh dari
pengalaman indera. Empirisme menekankan pada peran pengalaman dan bukti yang dapat dicerap oleh
persepsi penginderaan. Empirisme menyusun pengetahuannya dengan cara induktif, ketika dalil-dalil
umum disimpulkan dari pengamatan-pengamatan yang khusus. Beberapa nama yang berperan dalam
mengembangkan empirisme, al. Berkeley, David Hume, Lohn Locke. Di sisi sebaliknya, rasionalisme
merupakan sebuah pandangan bahwa akal/rasio merupakan sumber pengetahuan utama. Rasionalisme
menyusun pengetahuannya melalui proses deduktif, ketika kesimpulan-kesimpulan diperoleh dari
menganalisa secara logis dalil-dalil umum untuk kemudian dipergunakan untuk memahami hal-hal
khusus.
Tujuan fenomenologi adalah mempelajari bagaimana fenomena dialami dalam kesadaran,
pikiran dan tindakan, seperti bagaimana fenomena tersebut bernilai atau diterima secara estetis.
Fenomenologi mencoba mencari pemahaman bagaimana manusia mengkonstruksi makna dan konsep-
konsep penting, dalam kerangka intersubjektivitas.
Pada bidang arsitektur, fenomenologi berkembang menjadi sebuah cara memandang dan berpikir
mengenai ruang dan tempat. Fenomenologi, secara umum, muncul sebagai bentuk reaksi dan kritik
terhadap kondisi dan gejala-gejala moderen pada awal abad 20. Fenomenologi, pada arsitektur, juga
muncul sebagai reaksi terhadap gejala moderen yang berlandaskan paradigma rasionalistik serta
mekanistik. Kondisi moderen mereduksi sekaligus memberi jarak pengalaman manusia terhadap
lingkungannya, dunianya. Fenomenologi, sebagai sebuah filsafat yang menekankan pada pengalaman
individual, dengan tujuan menghasilkan sebuah dasar pengetahuan yang kokoh, sangat berpengaruh
pada arsitektur. Hal ini dikarenakan oleh penekanan fenomenologi pada persepsi dan kognisi yang
terhasil darinya.
BAB III
STUDI KASUS
keterangan
1 : Jalan Masuk
2 : Jalan Salib
3 : Tempat Pengambilan Air
4 : Pelataran Gua Maria
5 : Pelataran Seberang Sungai
6 : Pelataran Salib
B. Sendang Pembaptisan
Ini merupakan tempat bersejarah Sendangsono. Hal ini dikarenakan Sendang Pembaptisan ini
terdapat sumber air yang digunakan untuk membaptis orang-orang yang menandai perkembangan agama
Katolik di Sendangsono. Sekarang ini, Sendang Pembaptisan ditutup untuk menjaga kebersihan dan
kesakralannya. Keberadaannya di bawah pohon sono turut menjadikannya memiliki nilai kesakralan yang
sama dengan pohon sono itu sendiri.
C. Pohon Sono
Pohon Sono ini menjadi sumber keteduhan di pelataran Sendangsono. Dulu sempat ada dua pohon
Sono, namun hanya tersisa satu dan digantikan dengan pohon beringin. Pohon sono ini memiliki sejarah
yang sangat panjang. Dulu dipercaya bahwa di bawah pohon sono ini terdapat kekuatan mistis yang
menjadikan pohon ini begitu sakral. Keberadaannya di tengah-tengah peziarahan Sendangsono
memberikan nilai lebih dalam membentu citra sakral pada ruang-ruang yang dihadirkan di sekitarnya.
F. Kapel Maria
Kapel ini terletak di bagian sudut barat daya Sendangsono. Letak kapel ini membuatnya sedikit
tersembunyi. Ditambah lagi dengan posisinya yang berada di bagian teratas kawasan peziarahan
Sendangsono. Dengan berada di bagian teratas kawasan peziarahan, Kapel Maria ini menjadi tertutup oleh
tajuk dari Pohon Sono. Saat kita berada di kapel ini, kita juga merasakan nuansa hening dan sakral karena
hampir seluruh gangguan dari luar area sakral berhasil diredam oleh Pohon Sono
10
15
5
5
5
Lokasi : Dinding pembatas jalan salib
Bentuk : Atap pelana kecil yang menaungi relief stasi jalan salib yang didominasi dengan tampilan lisplang
warna merah.
Lokasi motif : Dinding pembatas jalan salib, dinding pembatas pada tangga beton di pelatara Gua Maria,
dindning pembatas pada area pengambilan air.
Makna : Bungga mawar melambangkan kasih dan sifat feminim wanita. Kasih yang dimaksud adalah kasih
Bunda Maria kepada Yesus, putra-Nya. Ornamen ini juga menggamba rkan bahwa perjuangan dan perjalanan
hidup manusia tidak sia- sia melainkan mendapat nilai yang sangat berharga bagaikan indahny bunga mawar.
Lokasi : Sepanjang dinding pembatas Kompleks Gua Maria dengan
lingkungan luar.
Makna : Tiga garis melambangkan Allah Bapa, Allah Putera, dan Allah Roh
Kudus. Lingkaran melambangkan kesatuan. Jadi bila digabungkan bermakna
Allah Tritunggal
Gambar 3.3.2e Segmen 2 (kiri) Segmen 3 ( kanan ) Rute Jalan Salib Kawasan Sendangsono
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Bak Air
A. Pola pertama
Pembagian zona sakral dan non-sakral. Penting bagi sebuah tempat peziarahan untuk memiliki
kesan sakral agar peziarahan dapat mengkondisikan peziarah menjadi lebih khidmat. Di sisi lain, butuh
juga ruang-ruang non-sakral yang menjadi zona sekunder yang menunjang kegiatan peziarahan. Untuk
tetap menghadirkan kesan hening pada zona sakral tanpa mengesampingkan zona non-sakral, butuh
adanya pemisahan. Pemisahan ini hanya dapat dilakukan pada peziarahan yang menyatukan berbagai
kegiatan, termasuk peziarahan dan non-peziarahan, menjadi satu.
B. Pola kedua
Ruang ibadah yang hening dan tersembunyi. Pada dasarnya setiap umat yang akan beribadah butuh
suasana hening dan butuh fokus. Oleh karena itu, sebisa mungkin gangguan-gangguan dari luar dapat
dihentikan. Maka dari itu, dengan keberadaan ruang ibadah yang tersembunyi, maka umat dapat lebih
khidmat dalam menjalankan prosesi peribadatan.
Pola ini dapat hidup pada ruang ibadah yang memang dikunjungi oleh banyak orang dan terdapat aktifitas
lain yang bersinggungan langsung dengan aktifitas ibadah. Intensitas manusia yang hadir serta beragam
kegiatan dalam suatu tempat turut menambah potensi kebisingan. Kebisingan ini nantinya akan berdampak
pada sulitnya umat untuk khidmat menjalankan peribadatan dan sulit mencapai fokus yang diharapkan.
C. Pola ketiga
Pohon sono yang mendefinisikan ruang. Pohon sono di sini berfungsi sebagai elemen sakral yang
mutlak ada dalam sebuah kegiatan peziarahan. Dengan adanya elemen sakral, akan menarik banyak orang
untuk melakukan peziarahan dengan berbagai tujuan. Pohon sono yang telah memiliki nilai kesakralan ini,
dijadikan sebagai elemen pendefinisi ruang. Pohon sono ini dimanfaatkan untuk membatasi ruang-ruang
yang sifatnya sakral, sekaligus membantu menghadirkan suasana hening dan tersembunyi.
D. Pola keempat
Ruang interaksi yang terbuka dan ramah. Pola ini maksudnya adalah ruang interaksi yang mampu
mengaktifkan segala bentuk interaksi yang positif bagi siapa saja yang berada di dalamnya. Pada
hakikatnya, manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi satu sama lain. Akan tetapi, banyak
kendala yang seringkali menghambat hasrat tersebut. Kendala tersebut meliputi sikap ketertutupan dan
individualistis serta adanya perbedaan status sosial ekonomi maupun budaya yang menyebabkan interaksi
itu menjadi terhambat. Maka dari itu, butuh sebuah ruang interaksi bagi para umat yang datang dari
berbagai penjuru. Dan tentunya, ruang interaksi ini harus mampu menghadapi kendala-kendala tersebut
dengan hadir sebagai ruang yang mampu membuat setiap orang membuka diri dan merasakan setara satu
sama lain. Pola ini hanya dapat hidup apabila diterapkan pada suatu tempat yang memang ramai dikunjungi
orang dari berbagai penjuru dengan berbagai latar belakang. Dan pola ini dapat hidup ketika berada di
tempat tujuan akhir setelah orang-orang mengalami perjalanan panjang dan cukup jauh.
E. Pola kelima
Transisi pintu masuk. Setiap memasuki area baru, tentu perlu adanya transisi. Apalagi untuk sebuah
tempat peziarahan, hal ini sangatlah penting. Dengan adanya transisi ketika memasuki area baru,
diharapkan para peziarah dapat lebih mempersiapkan diri agar lebih fokus dan khidmat dalam menjalani
proses peziarahan. Dalam kata lain, transisi ini berfungsi untuk mengkondisikan mental dari peziarah agar
siap melaksanakan peziarahan sesuai dengan semestinya. Pola ini dapat hidup pada tempat yang memang
menyatu secara fisik dengan lingkungan sekitar.
F. Pola keenam
Jalan salib yang berundak. Pola ini mampu menghidupkan peziarahan Sendangsono karena dengan
jalan salib yang berundak, peziarah dapat turut menghayati proses Yesus Kristus mendaki gunung hingga
ke puncaknya dan disalibkan. Kejadian Yesus disalibkan dan mati di kayu salib sebagai klimaks
menjadikan posisinya diletakkan di titik paling tinggi sepanjang jalan salib. Hal inipun akan menambah
sensasi pengalaman ruang yang lebih khidmat dan membantu peziarah untuk lebih menghayati prosesi
jalan salib ini. Pola ini hanya dapat hidup di tempat yang memang menjadi tempat tujuan umat Katolik.
Alasannya adalah karena prosesi jalan salib merupakan prosesi yang cukup sering dilakukan oleh umat
Katolik.
G. Pola ketujuh
Penyatuan dengan alam. Tempat peziarahan tentu harus mampu menawarkan keheningan. Salah
satu caranya adalah dengan menghadirkan peziarahan yang menyatu dengan alam. Manusia selalu mencari
alam apabila mencari ketenangan. Hal ini lumrah, karena di alam belum banyak intervensi manusia
sehingga mampu menciptakan keheningan akibat minimnya aktivitas manusia.
BAB IV
KESIMPULAN
Pada Peziarahan Sendangsono ini, elemen-elemen tersebut bukanlah berbicara sendiri-sendiri dan
berkumpul dalam suatu kompleks saja. Akan tetapi, semuanya saling berpadu membentuk keseluruhan
yang bermakna, sebuah pola yang besar. Pola besar ini adalah tempat peziarahan yang ramah dan hening.
Ini dapat terlihat dari bagaimana elemen-elemen dan pola-pola yang ada membentuk dua zona utama yakni
zona sakral dan zona non-sakral.
Dari hasil analisis kasus di atas, terlihat bahwa pembahasan terhadap pola-pola menunjukkan
bahwa antar satu pola dengan pola yang lain saling terkait dan melengkapi untuk menghadirkan arsitektur
yang memiliki makna. Antara pola-pola yang saling terkait tersebut mampu menunjukkan karakteristik dan
keunikan masing-masing untuk menghadirkan arsitektur yang memperhatikan konteks. Pola-pola tersebut
membentuk sebuah kesatuan menjadi pola yang lebih besar yang memberikan karakteristik Peziarahan
Sendangsono secara keseluruhan.
Dari identifikasi terhadap pola, saya menyimpulkan bahwa pada Peziarahan Sendangsono ini
terdapat beberapa karakteristik seperti pada kualitas tanpa nama, antara lain egoless, karena tidak tampil
mencolok dari lingkungan alam di sekitarnya; whole, karena mampu mengintegrasikan elemen-elemen,
baik itu dari alam seperti pohon sono, maupun zona sakral dan non-sakral menjadi satu kesatuan yang
terkait satu sama lain; alive, karena mampu menghadirkan sebuah perjalanan ruang yang unik yang mampu
menghadirkan suatu keheningan; comfortable, karena desain merespon terhadap kebutuhan akan
kenyamanan pengguna; dan tentunya eternal, karena mampu menghadirkan nuansa klasik kesakralan
Sendangsono dan mentransfernya menjadi sebuah ruang yang penuh kekhidmatan dalam beribadah.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Frampton, Kenneth. (2001). Studies in Tectonic Culture: The Poetics of Construction in Nineteenth and
Twentieth Century Architecture. Cambridge: MIT Press.
Norberg-Schulz, Christian. (1980). Genius Loci: Towards A Phenomenology of Architecture. New York
Rizzoli.
Pallasmaa, Juhani. (2005). The Eyes of the Skin. Architecture and the Senses. New York : John Wiley.