Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Pada perkuliahan Pembimbing Teologi Sistematika telah di bahas
mengenai pengenalan akan doktrin-doktrin yang telah dirumuskan oleh gereja
hingga saat ini. Pada makalah ini, penulis mencoba untuk menjelaskan mengenai
sejumlah permasalahan yang berkaitan dengan penerapan Teologi Sistematika
dalam kehidupan sehari-hari seperti tahap-tahap berpikir manusia, hakikat
manusia dan berkristologi tentang Yesus yang di gambarkan sebagai dokter.

2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan di bahas adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana tahap berpikir manusia menurut tahap Mitis, Ontologis,


Fungsional dan bagaimana penulis mengevaluasi pernyataan yang di
berikan oleh Dosen Pengampu?
2. Bagaimana hakikat manusia sebagai mandataris Allah ?
3. Bagaimana hakikat manusia sebagai laki-laki dan perempuan ?
4. Bagaimana hakikat manusia sebagai ciptaan Allah yang sempurna sekaligus
berdosa ?
5. Bagaimana penulis berkristologi tentang Yesus yang di gambarkan sebagai
dokter yang dapat penulis pahami dan menjawab kebutuhan penulis saat
ini?

1
3. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Menguraikan tentang Tahap berpikir manusia menurut tahap Mitis,


Ontologis, dan Fungsional dan menguraikan pernyataan yang diberikan
oleh Dosen Pengampu.
2. Menguraikan hakikat manusia sebagai mandataris Allah.
3. Menjelaskan hakikat manusia sebagai laki-laki dan perempuan.
4. Menjelaskan hakikat manusia sebagai ciptaan Allah yang sempurna
sekaligus berdosa.
5. Menguraikan tentang kristologi Yesus sebagai dokter yang dapat penulis
pahami dan menjawab kebutuhan penulis saat ini.

4. Metode Penulisan

Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode studi


pustaka melalui data yang diperoleh dari buku dan dari bahan ajar yang telah
diberikan oleh Dosen Pengampu yang kemudian disimpulkan dan diringkas
lebih lanjut dalam penulisan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

II. 1 Tahap-tahap Berpikir Manusia

A. Tahap mitis, manusia merupakan bagian dari keseluruhan alam dan


memiliki hubungan dekat dengan alam sekitarnya serta menyadari ada
sesuatu yang gaib di luar dirinya.1
B. Tahap ontologis, yakni tahap ketika manusia mulai mengambil jarak dari
segala sesuatu yang mengepungnya dan menelitinya demi mencari sebuah
hakikat menurut ilmu-ilmunya.2
C. Tahap fungsional, yang disebut sebagai tahap yang dimiliki oleh manusia
modern. Pada tahap ini manusia mulai membangun relasi-relasi baru, dan
yang ditekankan yakni arti segala sesuatu yang ada di sekitarnya dalam
kaitannya dengan dirinya sendiri. Tahap cara berpikir ini selalu dikaitkan
dengan modernitas.3

Manusia lebih menekankan fungsi dari segala sesuatu yang ada di sekitarnya.
Namun demikian, bukan berarti cara berpikir manusia saat ini menjadi sangat
fungsional karena di dalam diri manusia terdapat ketiga cara berpikir tersebut dan
yang ingin ditekankan yakni adanya strategi-strategi yang berbeda dari masing-
masing tahap.

Penulis kurang setuju dengan penekanan cara berpikir fungsional yang


mendominasi dalam berbagai hal. Sebuah kesimpulan umum terjadi ketika
seseorang menganggap bahwa orang-orang yang hidup di zaman modern
seharusnya memiliki cara berpikir pada tahap fungsional. Maka dari itu ketika
penulis mengerjakan tugas ini, penulis memang berpikir dari sudut pandang
fungsional. Namun secara bersamaan penulis pun menyadari bahwa terdapat hal-
hal mitis dan ontologis yang dalam perspektif penulis mengenai hantu. Penulis

1
Bahan Ajar Pdt. Dr. Keloso S. Ugak, 18 Agustus 2017
2
Ibid
3
Ibid

3
melihat keberadaan hantu sebagaimana adanya. Hantu itu ada dan hantu itu
bersinggungan dengan diri penulis bahkan dengan pengalaman-pengalaman yang
melekat dalam diri penulis. Ketika penulis masih semester 1, penulis berasrama di
Asrama STT GKE JL. D. I Panjaitan, dan penulis merasakan sendiri setiap malam
mendengar adanya suara piano dan parahnya lagi ketika penulis di kamar mandi
penulis pernah berbicara dengan seseorang tetapi saat penulis keluar dari bilik
kamar mandi, semua pintunya terbuka dan tidak ada seorangpun. Semenjak itu,
penulis mulai mempercayai adanya hantu namun bukan mempercayai secara
berlebihan hanya mempercayai keberadaan mereka Dari situ penulis menyadari
bahwa untuk sebuah hantu saja penulis tidak hanya memiliki cara berpikir
fungsional, melainkan juga mitis.

Lalu yang berikutnya, cara berpikir ontologis. Ketika mendengar cerita


hantu untuk pertama kalinya dalam hidup penulis yakni sekitar saat umur 8 tahun,
saat itu penulis mulai berpikir dari mana asalnya hantu? Kenapa hantu itu ada?
Seperti seorang filsuf pada permulaan yang selalu bertanya mengenai asal usul
sesuatu. Tidak hanya hantu saja. Ketika penulis sedang memikirkan atau
merenungi sesuatu, otak penulis secara tidak sengaja langsung berpikir secara
ontologis. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa penulis pun memiliki sudut
pandang ontologis mengenai hantu. Namun, yang perlu disadari ialah pada
kenyataannya, dalam diri manusia memiliki ketiga cara berpikir yakni mitis,
ontologis, dan fungsionalis. Cara berpikir manusia tidak dapat di simpulkan
menjadi fungsional, ontologis, atau mitis secara serentak berdasarkan
perkembangan dan kemajuan zaman. Ketika Feomenal menggunakan cerita hantu
di Asrama, mungkin memang lebih banyak berpikir secara fungsional seperti apa
gunanya ini untuk ketertiban berasrama, bagimana Fenomenal bisa menggunakan
itu untuk kemajuan ketertiban di asrama. Namun ketika ia masuk ke tempat
ibadah, ia akan berpikir secara mitis, ternyata Fenomenal hanya makhluk berdosa
Fenomenal bisa saja melanggar peraturan, ada sesuatu yang lain dan di luar di
dalam diri Fenomenal, dia bisa berlaku apa saja terhadap diri dan hidup
Fenomenal, dia memiliki kekuatan melebihi kekuatan Fenomenal, yang kemudian

4
sosok tersebut disebut dengan “Tuhan”. Lalu ia mulai berpikir, dari mana asalnya
Tuhan, mengapa ada Tuhan, dan manusia pun mulai mempertanyakan keberadaan
Tuhan dan seterusnya.

II. 2 Hakikat Manusia Sebagai Mandataris Allah

Pada saat Allah menciptakan manusia, Ia memberikan tugas dan tanggung


jawab kepada manusia untuk memperbanyak keturunan, memenuhi bumi dan
menaklukannnya, berkuasa atas ikan-ikan, burung-burung dan atas segala
binatang merayap.4 Tugas dan tanggung jawab tersebut merupakan membedakan
manusia dari segala makhluk ciptaan Allah lainnya. Tugas dan tanggung jawab itu
merupakan anugerah Allah bagi manusia, bahwa manusia diperkenankan
memperbanyak keturunan, memenuhi bumi, mengelola bumi demi
kepentingannya dan memiliki kekuasaan yang sah atas segala binatang di air,
udara, dan daratan. Allah meletakkan segala-galanya di bawah kaki manusia, dan
manusia berkuasa atas segala ciptaan tangan Allah (Maz 8:7). Itulah kemuliaan
yang dianugerahkan kepada manusia bahwa manusia merupakan mahkota dari
ciptaan Allah. Manusia menjadi mandataris Allah, dalam hubungan khusus
dengan Allah. Tugas dan tanggung jawab yang dipercayakan kepada manusia itu
bermaksud mendorong manusia mengambil upaya dan berkarya dengan
kepentingan sendiri dan kepentingan makhluk-makhluk yang lain. Ini adalah
tugaas suci yang diberikan kepada manusia. Dengan melaksanakan tugas tersebut
berarti memuliakan Allah pencipta langit dan bumi. Sebagai mandataris Allah,
sebenarnya kita juga mendapatkan mandat yang sama, yaitu untuk
memaksimalkan apa yang sudah Allah percayakan pada kita. Sembari
beraktivitas, ingatlah bahwa kita adalah mandataris Allah, yang dipercaya untuk
melakukan hal yang penting. Suatu saat, kita akan memberikan
pertanggungjawaban hasilnya kepada sang pemberi mandat. Oleh karena itu,
laksanakanlah mandat Allah dengan penuh tanggung jawab, penuh perjuangan,
dan berikanlah yang terbaik untuk kemuliaan Allah. 

4
Chr. Barth, Theologia Perjanjian Lama 1, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 49.

5
II. 3 Hakikat Manusia Sebagai Laki-laki dan Perempuan

Tuhan Allah berfirman: “tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja.
Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia (kej 2:18)”.
Diciptakannya manusia sebagai laki-laki yang merupakan lambang dan wakil
khalik dan perempuan yang juga merupakan lambang dan wakil khalik 5, yang
menunjukkan adanya dua jenis yang berbeda, bukan untuk dipertentangkan, tetapi
untuk disatukan, untuk tujuan yang sempurna pada diri manusia baik laki-laki dan
perempuan belumlah sempurna makanya harus saling melengkapi dan
menyempurnakan sehingga tercipta satu kesatuan.

            Manusia diciptakan oleh Allah untuk beranak cucu dan bertambah banyak
(kej 1:28). Dengan hal ini menunjukkan suatu hubungan antara manusia laki-laki
dan perempuan yang di dalamnya tidak mencari kepentingan diri sendiri
melainkan saling mengasihi, saling menghargai, mencari kebahagiaan bersama.
Kehidupan bersama antara laki-laki dan permpuan dapat mewujudkan hidup
saling menolong secara nyata dan saling melengkapi.
            Dalam Kejadian 1:26-27 memberi kesaksian tentang tugas dan tanggung
jawab manusia untuk menguasai alam. Manusia diberi tanggung jawab oleh Allah
untuk mengolah, tetapi juga memelihara alam (kej 2:15). Manusia adalah kawan
sekerja Allah. Artinya dalam kehidupannya manusia ikut serta dalam berkarya dan
hasil pekerjaan Allah itu baik (kej 1:31). Oleh sebab itu manusia terpanggil untuk
memelihara hasil karya Allah yang baik itu, bukan untuk merusaknya.

II. 4 Manusia Sebagai Ciptaan Allah yang Sempurna Sekaligus Berdosa


Kejadian 1:26 merupakan ayat yang pertama kali membicarakan manusia.
Ayat tersebut berbicara dalam konteks penciptaan manusia. Hal tersebut
membawa kita kepada suatu definisi utama sekaligus pertama mengenai manusia
dalam Alkitab, yaitu satu-satunya makhluk yang diciptakan Allah menurut
gambar dan rupa Allah. Karena setelah ayat ini pun, tidak ada ayat lain di dalam
Alkitab yang menyatakan bahwa ada ciptaan lain yang diciptakan segambar dan
5
Ibid

6
serupa dengan Allah. Prof. Sung Wook Chung mengartikan diciptakan menurut
gambar Allah dalam ketiga pandangan yang menyeluruh, yaitu substantif,
relasional, dan fungsional. Substantif dalam arti manusia memiliki akal budi dan
kehendak bebas sebagai gambar Allah di dalam manusia yang membedakan
manusia dengan binatang (pandangan Agustinus). Luther dan Calvin
mengadaptasi posisi Agustinus dan menambahkan bahwa karakteristik-
karakteristik moral juga merupakan karakter dari gambar Allah.6
Kejadian 2:7 menyatakan, “Ketika itulah TUHAN Allah membentuk
manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam
hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.” Dalam hal ini
penciptaan manusia menjadi sangat unik. Karena tidak ada ciptaan lain dalam
Kejadian 1 yang diberikan nafas hidup oleh Allah selain manusia, demikianlah
melalui bagian ini dapat dimengerti suatu alasan utama atas keunggulan manusia
dari ciptaan lainnya. Nafas hidup yang dihembuskan Allah kepada manusia
pertama itulah, yang membuat manusia menjadi makhluk yang paling penting di
seluruh alam semesta ini. Hal itu juga membuat manusia memiliki fungsi tertinggi
dalam tatanan semesta. Hal tersebut disebabkan, karena tidak ada satu pun
makhluk di seluruh alam semesta ciptaan Allah yang dihembuskan nafas hidup
dari Allah sendiri sewaktu pertama kali diciptakan. Penciptaan manusia dari debu
tanah juga memberikan suatu penjelasan yang penting, yaitu tanpa nafas Allah,
manusia hanyalah debu yang tidak lebih dari binatang dalam tatanan alam
semesta, karena binatang mempunyai jiwa, tetapi debu tidak memiliki apapun,
selain pokok materi. Manusia adalah satu-satunya makhluk dalam alam semesta
ciptaan Allah yang menerima nafas Allah sendiri. Nafas Allah yang diberikan
kepada manusia, memampukan manusia untuk merefleksikan diri Allah, karena
nafas Allah tersebut tidaklah diciptakan. Maka, di dalam diri manusia, terdapat
diri Allah. Tentu saja bukan diri Allah yang sempurna. Melainkan hanya gambar
diri-Nya yang diberikan langsung.7 Persekutuan dengan Allah merupakan arti
manusia “segambar dan serupa dengan Allah” secara relasional. Persekutuan
6
Sung Wook Chung, Belajar Teologi Sistematika Dengan Mudah (Bandung: Visi Press,
2011), 46.
7
Chr. Barth, Theologia Perjanjian Lama 1, 49-50.

7
tersebut hanya mungkin terjadi, karena nafas Allah yang diberikan ke dalam diri
manusia. Hal tersebut terlihat di dalam Kejadian 2:16-17. Persekutuan manusia
dalam keadaan pertama kali diciptakan dengan Allah, tidaklah merupakan suatu
tuntutan semata tanpa belas kasih Allah kepada manusia, hal tersebut adalah
pandangan yang salah dan menyesatkan. Memang benar, bahwa persekutuan
manusia dengan Allah tidak mungkin dipisahkan dengan perintah-Nya yang harus
ditaati sebagai Raja semesta. Namun, Allah telah memberikan berbagai kebaikan
kepada Adam sebagai manusia pertama, sehingga mematuhi perintah-Nya adalah
hal yang lebih kecil bagi Adam jika dibandingkan dengan kebaikan Allah dalam
kehidupannya. Allah memberikan kepada Adam seluruh alam semesta ciptaan-
Nya untuk ditempati, dinikmati, dan dibudidayakan. Fakta bahwa Allah
menciptakan manusia di hari keenam menjelaskan hal itu. Allah telah
menciptakan segala sesuatu untuk manusia dapat hidup secara sempurna lebih
dahulu, barulah kemudian Allah menciptakan manusia.
Dalam memahami penciptaan manusia melalui Alkitab betapa agung dan
mulia makhluk yang bernama manusia itu, karena ia adalah satu-satunya makhluk
yang paling serupa dengan Allah. Tetapi kemudian, hanya satu pasal kemudian
setelah Adam mendiami taman Eden, yaitu pasal 3 dinyatakan bahwa Adam dan
Hawa telah melanggar perintah Allah. Dosa adalah setiap tindakan kita yang
meleset dari tujuan dan perintah Allah. Maka, setiap orang yang beramal banyak,
tetapi melakukannya bukan untuk kemuliaan Allah adalah orang yang berbuat
dosa. Karena meskipun beramal dan mengeluarkan banyak uang, tetapi tetap
meleset dari tujuan Allah. Demikian juga orang-orang yang hidup saleh di dunia,
tetapi tidak percaya Tuhan Yesus adalah berdosa, karena meleset dari perintah
Allah untuk percaya kepada Anak Tunggal Allah. Akhirnya, Alkitab menyatakan
dalam Roma 3:23, “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan
kemuliaan Allah.” Penulis yakin bahwa manusia selalu mampu berbuat baik di
mata manusia lainnya. Maka orang-orang sering menyatakan, “Setiap manusia itu
memiliki sisi baik dan buruk.” Tetapi tidak demikian di mata Allah. Pdt. G. J.
Baan mengatakan bahwa ketidakberdayaan manusia untuk melakukan apa yang

8
baik tersebut sering diacu dengan kata kerusakan.8 Sejak semula, Allah telah
berfirman, “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan
bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah
kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.”
(Kej. 2:16-17) kematian yang dimaksudkan ketika manusia memakan buah
terlarang tersebut bukanlah kematian fisik yang langsung terjadi, tetapi suatu
kematian rohani yang langsung terjadi. Apabila kita melihat seluruh Alkitab,
kematian tidak pernah diartikan dalam arti “musnah” tetapi selalu diartikan
sebagai “terpisah”. Ketika seorang manusia mati secara fisik, artinya fisiknya
terpisah dari jiwanya, tetapi bukan berarti ia musnah atau menghilang seketika.
Kematian yang berarti “terpisah” tersebut, apabila diartikan ke dalam situasi
kematian rohani Adam dan Hawa, maka dapat dikatakan bahwa Adam dan Hawa
secara rohani menjadi terpisah dari Allah.

Semenjak keterpisahan manusia dengan Allah atau kematian rohani


manusia, segala sesuatu menjadi berubah. Manusia yang tadinya memancarkan
kemuliaan Allah sekarang menjadi kehilangan kemuliaan Allah (Rm. 3:23).
Manusia yang tadinya hidup dalam persekutuan dengan Allah, menjadi takut dan
bersembunyi dari hadirat Allah (Kej. 3:8). Manusia yang tadinya berfungsi
sebagai raja atas alam semesta yang diciptakan Allah, untuk mengelola dan
menikmati alam, menjadi susah payah dalam mengandung bagi yang wanita,
susah payah dalam mencari rezeki dari tanah bagi yang pria, dan alam sendiri
terkutuk karena dosa manusia pertama (Kej. 3:16-19). Kedua kesusahan ini
merupakan bukti bahwa manusia sudah tidak mungkin menjalankan mandat Allah
secara sempurna, karena mandat Allah meliputi beranak cucu dan menguasai
bumi. Sedangkan manusia menjadi susah untuk melahirkan dan susah untuk
mengerjakan atau mengelola bumi karena kutuk dosa.

II. 5 Kristologi Yesus bagi Penulis “Yesus Sebagai Dokter”


8
G. J. Baan, TULIP: Lima Pokok Calvinisme (Surabaya: Momentum, 2012), 1.

9
Ketika tahun 2011 penulis sangat terpuruk karena kesehatan Ayah penulis
yang saat itu baik-baik saja tiba-tiba menjadi turun drastis di karenakan olahraga
yang berlebihan selama 4 hari, keesokannya saat siang hari ayah penulis pingsan
di pasar Martapura dan pada saat itu ayah penulis di bawa pergi ke rumah sakit
terdekat dan mendapatkan perawatan secara intensif. Penulis yang saat itu berada
di sekolah terkejut ketika di beritahu oleh ibu penulis yang saat itu langsung
menjemput penulis, penulis merasa takut akan terjadi apa-apa, ketika dokter
mengatakan bahwa detak jantung ayah penulis tidak normal dan di haruskan
untuk operasi untuk memasang alat pacu jantung, penulis dan keluarga langsung
menyanggupi, pada tahun yang sama ayah penulis pun di operasi di salah satu
rumah sakit jantung di Jakarta. Selama 3 minggu ayah penulis di rawat di Jakarta,
penulis yang saat itu tidak dapat ikut di karenakan sekolah hanya dapat berharap
kepada Tuhan saja dan berdoa untuk kesehatan ayah penulis. Penulis yang berada
di Kalimantan berusaha untuk menguatkan ibu penulis yang menangis saat itu
walaupun penulis juga ikut menangis. Penulis mengatakan agar percaya kepada
Tuhan Yesus karena Ia akan mengambil semua permasalahan setiap umat-Nya
yang berserah kepada-Nya. Apa pun yang dikatakan oleh dokter, penulis lebih
memilih berseru kepada dokter di atas segala dokter yaitu Tuhan Yesus Kristus.
Puji Tuhan hingga saat ini ayah penulis tetap sehat dan setiap bulan kontrol ke
dokter jantung dan setiap tahun pergi ke Jakarta untuk memprogram alat pacu
jantungnya. Kita memiliki seorang Dokter yang ilahi yang datang kepada kita
dengan rahmat dan kasih karunia. Tuhan Yesus memiliki tas dokter yang penuh
dengan rahmat dan kasih karunia, penuh dengan "dadih dan madu," kasih karunia
yang paling kaya dan kasih yang paling manis (Yes. 7:14-15). Dia adalah seorang
dokter dengan rahmat dan kasih karunia untuk menyembuhkan dan memulihkan
orang sakit.

BAB III

10
PENUTUP

Dari pembahasan yang telah di paparkan, maka penulis mengambil


kesimpulan bahwa tahap berpikir mitis manusia berusaha untuk mencari dan
menemukan sebab yang pertama dan tujuan yang terakhir dari segala sesuatu, dan
selalu dihubungkan dengan kekuaatan gaib. Tahap berpikir ontologis memerlukan
dasar pola berfikir dan pola berfikir didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan
digunakan sebagai dasar pembahasan realitas. Tahap berpikir fungsional ini di
tandai dengan sikap dan kondisi pikiran yang tidak lagi terkesan dengan
sekitarnya, tidak lagi mengambil jarak dengan objek, namun ia ingin membentuk
hubungan terhadap segala hal dalam lingkungannya. Dimensi ini diidentifikasi
sebagai kebudayaan modern. Manusia sebagai mandataris Allah diberi mandat
untuk melanjutkan karya Allah dan dunia ini untuk mengelola dan memelihara
bumi, kemuidian perbedaan antara laki-laki dan perempuan adalah kehendak
Allah sendiri. Tetapi perbedaan ini diciptakan Allah agar terbentuk suasana hidup
saling menopang dan menolong di dalam interaksi atau hubungan sosial dan
psikologis. Di dalam interaksi sosial dan psikologis yang saling menopang dan
menolong inilah seorang manusia, baik laki-laki dan perempuan, dapat mencapai
kematangan dan kedewasaan dalam kehidupannya. Allah menciptakan manusia
menurut gambar dan rupa-Nya dan tidak ada ciptaan lain yang di berikan nafas
kehidupan dari Allah selain manusia. Hal itu yang membuat manusia sebagai
ciptaan yang sempurna, tetapi manusia juga sebagai ciptaan yang berdosa karena
telah melanggar perintah Allah sejak manusia pertama hingga saat ini. Tidak ada
perkara yang mustahil bagi Yesus. Bukan kata orang Yesus adalah dokter diatas
segala dokter dan tabib diatas segala tabib. Dia telah menderita dan rela mati
untuk menanggung dosa dan penyakit kita. Yesus adalah Tuhan kita, Dia dapat
menaklukan segala perkara di dalam kehidupan. Yesus mampu menyembuhkan
dari segala penyakit apapun, sebab Dialah sumber kesembuhan bagi kita.

DAFTAR PUSTAKA

11
Buku

Baan, G. J. TULIP: Lima Pokok Calvinisme, Surabaya: Momentum, 2012

Barth, Chr. Theologia Perjanjian Lama 1, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001

Chung, Sung Wook. Belajar Teologi Sistematika Dengan Mudah, Bandung: Visi
Press, 2011

Bahan Ajar

Bahan Ajar Pdt. Dr. Keloso S. Ugak, 18 Agustus 2017

12

Anda mungkin juga menyukai