Anda di halaman 1dari 3

Plato; Hakikat Dunia dan Perjalanan Jiwa Manusia

Perdebatan filsafat perihal hakikat dunia, telah lama diminati oleh para filsuf Yunani.
Herakleitus dan Parminides termasuk dua tokoh yang sering silang gagasan menegenai hakikat
dunia tersebut. Di tangan Herakleitos, dunia ini dilukiskan senantiasa bergerak dan berubah-
ubah. Dunia terbilang tidaklah tetap, segala yang ada selalu menjadi tiada, pun pasti tergantikan
dengan yang akan ada. Yang muda bakal menjadi tua, begitu juga dengan yang tua, pasti
digantikan dengan yang baru. Begitulah adanya dunia, tak pernah tetap.
Bagi K. Bertens, perubahan tak henti-hentinya itu dibayangkan Herakleitos atas dua cara:
pertama ia mengatakan bahwa seluruh kenyataan merupakan arus sungai yang mengalir. Kedua,
ia mengatakan bahwa seluruh kenyataan adalah api, (Bertens, 1999: 55). Air yang mengalir
menjadi penanda realitas yang senantiasa mengubah dan memperbarui dirinya itu. Itu kenapa
setiap orang yang membaca pikiran Herakleitos pasti berjumpa dengan bahasa “tidak ada
seorang pun yang dapat menceburkan dirinya kedua kali kedalam air sungai yang sama” entah
pelan atau deras, sungai tetap saja mengaliri airnya. Karena itulah air sungai selalu merupakan
yang baru. Sedangkan api bukanlah realitas yang sebenarnya, hanya dipakai Herakleitus sebagai
perumpamaan untuk menjelaskan perubahan itu sendiri. Dan perubahan itu sendiri menyerupai
api.
Di sisi lain, menurut Parmanides dunia ini sudah tertakdirkan tak pernah berubah. Hakikat
dunia adalah utuh dan bulat. Karena kebulatan dunia, maka tak ada sedikit bagian pun yang
kurang atau bisa hilang dan tenggelam darinya. Kebulatan juga menghendaki bahwa tak ada
sesuatu pun bisa muncul dari ketiadaan.
Dalam bahasanya yang paling populer, Parminides menyebutnya “Yang ada tetaplah ada,
yang tiada tetaplah tiada”. Bagi Parminides, dunia ini sudah terlanjur bulat, sebulat-bulatnya.
Karena itu ia percaya sepenuh hati bahwa dunia sejatinya tak pernah berubah.
Perdebatan filsafat yang mengembirakan itu, kemudian hari diletakkan oleh Plato dalam
sebuah kesimpulan yang menarik, tetapi juga reduksionis. Alih-alih Plato menyusun konsep
dunia dari dua pemekiran filsuf tersebut. Kemudian Plato menganggap hanya dunia idea sajalah
yang merupakan realitas sesungguhnya. Dunia yang digambarkan oleh Herakleitus, bagi Plato
hanyalah dunia pengalaman—merupakan cerminan dari “idea” semata.
Plato menganggap sesunggguhnya dunia ini berasal dari “idea” itu sendiri. Idea tak lain
tempat bersemayamnya segala kebaikan. Termasuk juga dari sanalah jiwa manusia memperoleh
eksistensinya. Itu kenapa manusia hidup di dunia harus mengetahui “idea”, asal segala yang ada.
“Ada” dalam alam pikiran Plato dipahami sebagai “idea” itu sendiri. “Idea” yang murni, utuh,
dan tak memiliki cacat pada dirinya itulah yang menjadi sumber bagi adanya kejamakan-
kejamakan di dunia ini. “Idea”-lah tempat jiwa berasal dan berpulang.
Perihal Jiwa dan Penjara
Ajaran mengenai “idea” juga turut memengaruhi pandangannya tentang jiwa. Manusia bagi
Plato berada dalam kondisi dualisme. Sebab tubuh dan jiwa bukanlah satu kesatuan, tetapi dua
elemen yang berbeda. Badan tak bisa menegrti apa-apa mengai “idea”, hanya jiwa yang bisa
mengetahui segalanya. Sebab jiwa manusia itu abadi. Jiwa bertentangan dengan badan—jiwa
abadi, badan fana. Jiwa menjadi inti kehidupan manusia, jiwa dapat menggerakkan dirinya
sendiri pada kebaikan-kebaikan.
Bertens (1999), melukiskan: menurut Plato, “setelah kematian jiwa-jiwa akan dimintai
pertanggunjawabannya. Bagi jiwa yang semasa di dunia melakukan kebaikan akan dibawa dan
diberi kedudukan pada tempat-tempat istimewa. Jiwa-jiwa yang semasa hidup melakukan
kejehatan, akan disiksa selamanya”. Plato sebenarnya penganut ajaran immortalitas. Di mana
ajaran tersebut menganggap jiwa manusia tak pernah mati, hanya saja mengalami perpindahan
dari alam dunia ke-alam lain—untuk melakukan pertanggun jawaban atas kehidupannya di
dunia.
Itu sebabnya manusia harus memafhumi akan dirinya. Bagi Plato jiwa manusia awalnya
berada di “istina idea” Jiwa sebelum menyatu dengan badan telah melihat banyak hal dalam
singgasana “idea” tersebut. Fase itu bisa dibilang fase pra-eksistensi jiwa. Setelah menyatu
dengan tubuh materi, jiwa manusia kemudian mengalami pelupaan. Karena itu mengingat
kembali adalah cara jiwa menggapai kembali pengetahuan yang sebelumnya telah ia ketahui di
alam “idea” tersebut.
Kejatuhan jiwa—setelah membaur dengan tubuh materi telah membuatnya jauh dari idea.
Saling tarik antara keinginan dan keberanian dalam diri manusia pada akhirnya menyeret jiwa
kebawah pengaruh keinginan. selanjutnya menjadikan jiwa terkurung, terpenjara.
Itulah sebabnya, manusia harus berani dan mampu membimbing dirinya untuk mengetahui
realitas sejati dari dunia ini (“idea”). Sebab, jika tidak demikian jiwanya akan menjadi kerdil,
pun manusia nantinya hanya berkhikmat pada prasangka-prasangkanya semata.
Bila manusia terjebak dalam persangkaan, di kemudian hari akan percaya bahwa segala hal
yang dialami melalui pengalaman itu dianggapnya sebagai kebenaran sejati. Padahal kebenaran
sejati hanya mungkin dicapai bila manusia mampu membebaskan jiwanya dari belenggu
badaniah—kemudian membiarkan jiwanya berpetualang ke dalam alam imajinasi yang lebih
tinggi lagi. Sebab, hanya jiwa sajalah yang mampu melakukan petualang ke alam “idea” tersebut.
Menurut Plato, “Jiwa ibarat mata: ketika menatap sesuatu yang diterangi kebenaran ada
(being), jiwa dapat menangkap dan memahami, dan jiwa pun berbinar karena kecerdasan; namun
ketika dialihkan pada temaramnya dunia di mana segalanya selalu berubah dan musnah, jiwa
hanya memperoleh opini, sementara binar kecerdasan pun meradup. Dan sekali ia memperoleh
opini, selanjutnya opini lainnya lagi, sehingga tampaknya tak punya lagi kecerdasan,” (Dalam
Russell, 2004: 170). Jiwa dapat memeroleh kecerdasan kalau dilepaskan dari
keterkungkungannya pada pengalaman. Sebab, pengalaman hanya akan mengecoh dan membuat
jiwa tidak bisa berkembang. Alih-alih mengharapkan kejeniusan untuk memahami kebenaran
hakiki, jiwa malah menjadi kerdil karena mengabdi pada pengalaman.
Pengalaman selalu kabur, itu kenapa pengalaman tak bisa menjadi penunjuk jalan bagi
pembebasan jiwa. Van Peursen menulis dalam bukunya Orientasi di Alam Filsafat (1980),
bahwa dalam pandangan Plato, pertalian antara dua dunia itu cukup tegas, “Dunia panca indra
merupakan bayangan dan ambil bagian dalam ada yang-sejati, yaitu idea-idea. Bahkan manusia
memerlukan panca indra terhadap dunia yang fana ini supaya diingatkan akan kenyataan yang
sejati yang hanya dapat dicapai dengan budi kita”. Jiwa akan mendekam dalam penjara, apabila
hanya mengabdi pada pengalaman semata. Bisa dibilang, jalan satu-satunya pembebasan jiwa
dari keterpenjaraannya pada tubuh materi hanyalah dengan merandai jalan berpikir.[]

Abdul Razid Namkatu


Pegiat Sikitje Literasi
Hp: 082116763194
Emile: abdulrazidnamkatu@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai