Anda di halaman 1dari 25

Ateisme dan Ateis Praktis

Ateisme adalah sebuah pandangan filosofi yang tidak mempercayai keberadaan


Tuhan dan dewa-dewi ataupun penolakan terhadap teisme.Dalam pengertian
yang paling luas, ia adalah ketiadaan kepercayaan pada keberadaan dewa atau
Tuhan.

Istilah ateisme berasal dari Bahasa Yunani ἄθεος (atheos), yang secara peyoratif
digunakan untuk merujuk pada siapapun yang kepercayaannya bertentangan
dengan agama/kepercayaan yang sudah mapan di lingkungannya. Dengan
menyebarnya pemikiran bebas, skeptisisme ilmiah, dan kritik terhadap agama,
istilah ateis mulai dispesifikasi untuk merujuk kepada mereka yang tidak percaya
kepada tuhan. Orang yang pertama kali mengaku sebagai "ateis" muncul pada
abad ke-18. Pada zaman sekarang, sekitar 2,3% populasi dunia mengaku
sebagai ateis, manakala 11,9% mengaku sebagai nonteis. Sekitar 65% orang
Jepang mengaku sebagai ateis, agnostik, ataupun orang yang tak beragama;
dan sekitar 48%-nya di Rusia.[7] Persentase komunitas tersebut di Uni Eropa
berkisar antara 6% (Italia) sampai dengan 85% (Swedia).

Banyak ateis bersikap skeptis kepada keberadaan fenomena paranormal karena


kurangnya bukti empiris. Yang lain memberikan argumen dengan dasar filosofis,
sosial, atau sejarah.

Pada kebudayaan Barat, ateis seringkali diasumsikan sebagai tak beragama


(ireligius).

Beberapa aliran Agama Buddha tidak pernah menyebutkan istilah 'Tuhan' dalam
berbagai upacara ritual, namun dalam Agama Buddha konsep ketuhanan yang
dimaksud mempergunakan istilah Nibbana. Karenanya agama ini sering disebut
agama ateistik. Walaupun banyak dari yang mendefinisikan dirinya sebagai ateis
cenderung kepada filosofi sekuler seperti humanisme,] rasionalisme, dan
naturalisme, tidak ada ideologi atau perilaku spesifik yang dijunjung oleh semua
ateis.

Ateis Praktis adalah orang-orang beragama yang mengakui bahwa mereka


beragama tetapi mereka hidup seolah olah Tuhan itu tidak ada. Sedangkan Ateis
Teoritis adalah Ateis yang secara terang-terangan menolak eksistensi Tuhan dan
mereka berusaha membuat argumen-argumen untuk menyangkal keberadaan
Tuhan. Setiap orang Katolik yang mengakui bahwa ia percaya kepada Allah
dapat saja menjadi seorang Ateis Praktis dan dengan demikian menjadi
ancaman yang lebih besar daripada Ateis Teoritis.
Tokoh utama/ Penganut Atheis
Penulis Perancis abad ke-18, Baron d'Holbach adalah salah seorang pertama
yang menyebut dirinya ateis. Dalam buku The System of Nature (1770), ia
melukiskan jagad raya dalam pengertian materialisme filsafat, determinisme
yang sempit, dan ateisme. Buku ini dan bukunya Common Sense (1772) dikutuk
oleh Parlemen Paris, dan salinan-salinannya dibakar di depan umum.
Ludwid Feuerbach (1804-1872) dan Karl Marx (1818-1883) menjadi dua tokoh
besar ateisme dalam sejarah peradaban manusia. Keduanya digolongkan filsuf
materialistis karena bagi mereka pemikiran manusia dipengaruhi oleh hal-hal
material. Artinya, hal-hal materiallah yang “menentukan” pikiran manusia.

Feuerbach dijuluki sebagai bapak ateisme modern karena dialah yang meletakan
dasar pemikiran ateisme secara gamblang dan mempengaruhi pemikiran
ateisme selanjutnya termasuk Karl Marx.

Feuerbach telah berhasil menjawab pertanyaan tentang adanya Allah melalui


pendekatan kesadaran manusia (Psikologis). Bagi Feuerbach, adanya Allah
merupakan sebuah fenomena kesadaran manusia saja. Allah ada hanya sebagai
akibat proses kesadaran manusia. Dengan demikian, jika kesadaran manusia
tidak ada maka Allah otomatis tidak ada. Pemikiran Feuerbach tentang Allah ini
akhirnya diapresiasi oleh Marx.

Cara Hidup Seorang Ateisme

Untuk orang yang beragama semua pertanyaan jelas sudah terjawab sedangkan
untuk atheis pertanyaan-pertanyaan seperti di atas itu dipikirkan oleh diri sendiri
juga mempercayai pada penilaian moral sendiri. Atheis selalu ingin berpikir
dengan cara mandiri, meneliti, menilai dan membandingkan dari pada menerima
apa yang dikatakan oleh Imam, Pastor atau orangtua bagaimana kita harus
memikirkannya. Seorang atheis ingin/mau diyakinkan secara rasional, dengan
berpikir sacara logis seperti membandingkan mythologi dari “kitab suci” dengan
hasil penelitian dari sains, mengenai keindahan dunia ini…

Keberadaan kita, tidak memiliki arti atau tujuan. Tentu untuk orang yang
beragama lebih senang pada wishful thinking dimana Pengcipta yang penuh
kasih dan memberikan tujuan hidup pada mereka dari pada alam buta.

Keberadaan manusia itu sia-sia belaka seperti dari segala sesuatu yang di alam
semesta. Tetapi apakah membuat hidup seorang atheis seperti saya tidak
berarti? tentu tidak karena setiap orang mempunyai sifat dimana dia bisa
menetapkan arti hidup pada dia sendiri dan orang lain.

Jika kita menetapkan tujuan, baru membuat hidup berarti, dari situlah setiap
individu mengisi sendiri arti hidupnya. Untuk saya sendiri itu kebahagian dan
cinta berarti kebahagian dalam hidup adalah apa yang dicari oleh diri sendiri,
kebahagiaan dalam hidup bagaimana kita memahami arti kebahagian dalam
kehidupan. Kebahagiaan dalam hidup adalah suatu kenyamanan yang murni
yang bisa dinikmati oleh setiap individu dalam hidup tanpa alasan lain tapi benar-
benar mendapatkan kenyamanan dalam hidup dan kebahagiaan.

Hal ini bukan seperti orang yang beragama mendapatkan kebahagiaan dengan
alasan yang lain. Seperti menyembah Tuhan, menyibukkan diri dengan aktivitas
yang jika dikaji dengan baik benar-benar sama sekali tidak ada relevansinya
dengan kualitas hidup kita yang malah sebaliknya membuat kita kehilangan
waktu dalam kehidupan hanya untuk suatu abstraksi yang tidak jelas tapi
diperulangkalikan seperti melihat seorang penari di atas pangung berulang-
ulang melakukan gerakan yang sama, bayangkan bila anda harus menonton
satu tarian di pangung selama 1 jam setiap hari hanya disajikan satu jenis tarian
yg diulang-ulang kali, berapa lama anda akan bisa menontonnya?

Kalau dipertanyakan kepada pendeta, kenapa kita harus menyembahNya,


jawaban yang diberikan karena ini membuat anda bahagia. Yang jelas orang
yang beragama tujuan akhir kebahagiaan di akhirat sedangkan untuk saya
sebagai atheis kebahagiaan itu nilai akhir.

Kebahagiaan tidak terletak pada ritual dan kepercayaan apalagi dari Tuhan,
kalau sebenarnya kita jujur mengakuinya bahwa kebodohan besarlah jika
seseorang mengakui adanya Tuhan, seandainya anda mencari sampai ke ujung
langit dan ke dasar lautan yang yang dalam saya yakin anda tidak akan pernah
menemuinya, seorang teman pernah bertestimoni sepanjang hidupnya dia
berusaha mencari existensi Tuhan bahkan dia rela kehidupannya direnggut dan
langsung dilempar ke neraka jika Tuhan ada sampai saat ini dia katakan sampai
ia meninggalpun dia yakin bahwa Tuhan itu tidak ada , seperti ajaran semua
agama yang mengatakan Tuhan maha esa, maha kuasa , maha penyayang,
maha pemaaf dll maka tidak mungkinlah hidup manusia menderita, terkotak-
kotak, saling menindas.

Maka tersesatlah kalau kita mencari kebahagiaan melalui agama yang pasti
agama itu sama seperti aspirin atau zat addictive yang bisa bermanfaat untuk
manusia mendapatkan kenyamanan sementara, sangat jelas bahwa agama itu
sangat cocok untuk individu yang tidak stabil, individu yang mature adalah
individu yang tidak memerlukan aspirin dan sejenisnya untuk mendapatkan
kenyamanan dalam hidup, kebahagiaan itu berdasarkan dari kepahamanan dan
kompetensi dan tentunya orang itu sendiri dan bagaimana cara dia merasakan
hidup.

Kebahagiaan itu berasal dari pada bagaimana menyadari apa yang tersedia dari
nilai kebaikan dan kemudahan yang didapatkannya seperti pengalaman dari
cinta, keindahan, persahabatan, merasakan gembira dengan kesenangan yang
sederhana atau yang sekecil-kecilnya dan bagaimana mencari serta berjuang
dengan berbagai macam cara untuk mendapatkannya.

Kebahagiaan itu juga dari kesadaran bagaimana setiap individu berinteraksi


dengan individu lainya maka dari itu jangan pernah berpendapat bahwa atheis itu
introvert karna kualitas kebahagian dalam hidup akan semakin tinggi jika
dinikmati untuk seluruh populasi dan tentu pengetahuan-pengetahuan yang kita
dapatkan sebagai pedoman hidup. Dengan cara pemahaman timbal balik dan
kemampuan untuk kebahagiaan inilah, alasan mengapa begitu banyak atheis
menghargai pendekatan ini untuk hidup.

Apateism

Apatisme adalah kata serapan dari Bahasa Inggris, yaitu apathy. Kata tersebut
diadaptasi dari Bahasa Yunani, yaitu apathes yang secara harfiah berarti tanpa
perasaan. Sedangkan menurut AS Hornby dalam Oxford Advanced Learner’s
Dictionary of Current English: apathy is an absence of simpathy or interest. Dari
definisi-definisi di atas, maka dapat ditarik satu benang merah definisi apatisme,
yaitu hilangnya simpati, ketertarikan, dan antusiasme terhadap suatu objek.
Sementara dalam wikipedia indonesia diartikan Apathy adalah kurangnya emosi,
motivasi, atau entusiasme. Apathy adalah istilah psikologikal untuk keadaan
cuek atau acuh tak acuh; di mana seseorang tidak tanggap atau “cuek” terhadap
aspek emosional, sosial, atau kehidupan fisik. Kemudian kita dapat artikan
bahwa apatisme adalah hilangnya rasa simpati masyarakat terhadap
lingkungannya. Padahal masyarakat pada hakekatnya adalah sebuah kesatuan
yang saling berikatan, sesuai dengan definisi masyarakat (society) adalah
sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem, dimana sebagian besar
interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut.

Tokoh utama
Kabarnya diciptakan pada tahun 2001, sebagai campuran apatis dan teisme,
penulis Robert J. Nash.
Cara hidup
Bagi kelompok masyarakat yang masuk ke tingkat apatis, ada kemungkinan
mereka adalah kelompok borjuis, kelompok mapan dan pemilik modal (walaupun
tidak dipungkiri juga didominasi masyarakat kelas bawah dalam bidang tertentu).
Masyarakat pada kelompok ini memiliki dana yang banyak jumlahnya, sehingga
mampu membiayai segalanya dan membayar biaya apapun terhadap perubahan
yang terjadi. Sehingga masyarakat pada kelompok ini tidak merasakan
perubahan situasi, kondisi dan dampak yang timbul dari kejadian yang terjadi di
masyarakat luas. Karena tidak adanya penderitaan yang seolah dialami,
sehingga kepekaan tidak muncul dalam hati mereka yang kemudian
memunculkan sikap tidak peduli.

Orang di kota besar pada umumnya dapat mandiri tanpa harus bergantung pada
orang alian. Hal yang penting disini adalah manusia perseorangan atau individu.
Di desa orang lebih mementingkan kelompok atau keluarga. Di kota, kehidupan
keluraga sering sukar dipersatukan karena perbedaan kepentingan, paham
politik, agama, dan seterusnya. Masyarakat kota besar khususnya dan
masyarakat Indonesia secara umum, sudah terbentuk dari kehidupan modern
yang mementingkan karir. sehingga mereka hanya sibuk dengan urusan-urusan
privat mereka terkait dengan akumulasi kekayaan, maupun pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan dasar mereka. Hal ini memang tidak bisa disalahkan.
Dengan kondisi perekonomian sekarang ini, keselamatan diri dan keluarga dekat
memang dianggap sebagai prioritas utama.

Tingginya angka golput pada pemilu legislatif merupakan cerminan apatisme


rakyat terhadap pelaksanaan pesta demokrasi tersebut. Pengamat politik dari
Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang, Alfitri Msi, mengatakan “Golput juga
merupakan bentuk perlawanan rakyat terhadap pelaksanaan pemilu yang dinilai
tidak akan mampu merubah negara ini menjadi lebih baik,”. (Sriwijaya Post –
Sabtu, 11 April 2009). Masalah apatisme publik yang mulai akut menyangkut
partisipasi politik di negeri ini. Sepanjang tahun lalu di berbagai pemilihan kepala
daerah (pilkada), angka golput mendominasi hasil penghitungan dari seluruh
potensi suara di tiap daerah pemilihan.

Penyebab mengapa masyarakat demikian apatisnya tentu tidak terlepas dari


pengalaman di masa lalu. Refleksi kinerja pemerintah selama ini beserta tindak
tanduk para pejabat yang dianggap tidak menyentuh di hati rakyat sehingga
menjadi pelajaran bagi rakyat. Keadaan saling menguntungkan yang terjalin
antara rakyat dan wakil rakyat belum pernah secara nyata ditemui masyarakat.
Namun sangat disayangkan ketika buah dari pelajaran masa lalu itu adalah rasa
jera, hilangnya semangat berdemokrasi, kebosanan bahkan keengganan untuk
menyalurkan aspirasinya. Negara telah kehilangan kredibilitasnya di mata
masyarakat karena tindak-tanduk sebagian besar abdinya.
Masyarakat akhirnya meragukan terciptanya perubahan lewat proses pemilu
karena suasana yang ditampilkan selalu tidak jauh berbeda dengan masa-masa
sebelumnya. Saat-saat seperti ini semua pihak merasa dan mengklaim diri
sebagai pihak yang dekat dengan rakyat. Padahal saat terpilih janji yang terucap
seakan menguap sesaat setelah sumpah diucapkan.

Apathisme di masyarakat membuat masyarakat menutup mata atas apa yang


yang terjadi di sekitarnya. Kemudian berimbas menjadi tidak mengenalnya
individu terhadap lingkungannya sehingga masyarakat tidak lagi mengenal nilai
yang telah beredar di masyarakat sebelumnya. Matinya nilai-nilain yang da di
masyarakat, sama dengan mengarahkan manusia kepada peradaban yang
biadab dan tidak bermoral. Matinya rasa kepedulian, respect, nilai/nurani, dan
pandangan tentang keadilan membutakan masyarakat akan hukum dan
keadilan.
Kejahatan dan penderitaan sudah menjadi hal-hal biasa. Hal-hal negatif itu
sudah menjadi makanan sehari-hari kita, sehingga tidak lagi mengenalinya
sebagai sesuatu yang kejahatan dan nista. Dalam bahasa filsuf perempuan
Jerman, Hannah Arendt, kejahatan telah menjadi banal. Kejahatan tidak lagi
dikenali sebagai kejahatan, tetapi hanya sebagai rutinitas kehidupan sehari-hari.
Banalitas ( atau kata lain pemwajaran) kejahatan itulah yang membuat kita
menjadi apatis dan tidak peduli. Banalitas kejahatan itulah yang membunuh
kepekaan hati nurani terhadap ketidakadilan dan kejahatan, yang terjadi setiap
detiknya di depan mata kita. Tidak berhenti disitu, kejahatan dan ketidakadilan
bukan hanya menjadi hal yang biasa, tetapi justru menjadi hal yang normatif,
“yang seharusnya”. Melanggar lalu lintas bukan lagi hal biasa, tetapi menjadi
sebuah “kewajiban” yang harus dilakukan. Jika kita tidak melanggar lalu lintas,
kita akan menjadi korban dari struktur. Sekali lagi yang sering kita dengar
“peraturan ada untuk dilanggar”.

AGNOSTISISME

Agnostisisme adalah suatu pandangan filosofis bahwa suatu nilai kebenaran dari
suatu klaim tertentu yang umumnya berkaitan dengan teologi, metafisika,
keberadaan Tuhan, dewa, dan lainnya yang tidak dapat diketahui dengan akal
pikiran manusia yang terbatas.

Seorang agnostik mengatakan bahwa adalah tidak mungkin untuk dapat


mengetahui secara definitif pengetahuan tentang “Yang-Mutlak”; atau dapat
dikatakan juga, bahwa walaupun perasaan secara subyektif dimungkinkan,
namun secara obyektif pada dasarnya mereka tidak memiliki informasi yang
dapat diverifikasi. Dalam kedua hal ini maka agnostikisme mengandung unsur
skeptisisme.

Agnostisisme berasal dari perkataan Yunani gnostein (tahu) dan a (tidak). Arti
harfiahnya “seseorang yang tidak mengetahui”.
Agnostisisme tidak menyangkal keberadaan Tuhan secara mutlak. Mereka
beranggapan bahwa keberadaan Tuhan adalah sesuatu yang tidak mungkin
dapat dinalar oleh akal manusia, dan konsekuensinya adalah keberadaan Tuhan
tidak dapat diketahui dengan cara apapun.
Seorang agnostik tidak menyatakan bahwa Tuhan itu ada, walaupun beberapa
dari mereka juga meyakini akan keberadaan Tuhan, pada akhirnya. Ia juga tidak
akan menyatakan bahwa Tuhan itu tidak ada, karena ia menyadari akan bukti-
bukti keberadaan Tuhan.

Bagi yang meyakini bahwa Tuhan itu ada, mereka akan menyangkal bahwa
Tuhan menurunkan syariat, ketentuan, hukum untuk manusia. Mereka menolak
keberadaan agama apapun yang dinisbatkan kepada Tuhan. Dalam kesimpulan
mereka, keberadaan Tuhan tidak berarti keberadaan agama. Bahwa Tuhan ada
tidak mengharuskan-Nya menurunkan nabi atau rasul untuk menjelaskan agama
untuk ummat manusia. Mereka menilai Tuhan menciptakan semesta alam
berikut manusia didalamnya, namun bukan Tuhan yang menetapkan fitrah dari
tiap-tiap mahluk-Nya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa agnostisisme menyatakan bahwa


Tuhan mungkin menciptakan alam semesta beserta manusia didalamnya, dan
beberapa yakin bahwa memang Tuhan yang menciptakan, namun tanpa tujuan
untuk apa dan alasan mengapa Tuhan menciptakan itu semua. Atau dengan
bahasa yang lebih sederhana, Tuhan ‘iseng’ kemudian menciptakan alam
semesta dengan manusia didalamnya.

PANTEISME
Panteisme berasal dari bahasa Yunani, kata ‘pan’ yang berarti semua dan ‘theos’
yang berarti Tuhan. Panteisme merupakan pandangan yang menganggap
bahwa Allah adalah segalanya; karena itu semua orang, dan segala sesuatu
adalah Allah.

Panteisme mirip dengan politeisme (kepercayaan pada banyak allah) namun


melebihi politeisme karena mengajarkan bahwa segala sesuatu adalah Allah.
Pohon adalah Allah, batu adalah Allah, binatang adalah Allah, langit adalah
Allah, matahari adalah Allah, Anda adalah Allah, dll.

Panteisme adalah pemikiran yang melatari banyak sekte dan agama sesat (misal
saja, Hinduisme dan Budhisme pada tahap tertentu, dan berbagai sekte yang
mengajarkan kesatuan dan persatuan, serta penyembah "alam semesta.")
Tokoh Utama Panteisme:

Brauch de Spinoza. Panteisme mulai terkenal sejak abad ke-17 ketika seorang
filsuf Belanda, Baruch de Spinoza menulis Ethics. Kemudian, konsep Tuhan
yang ditulis Spinoza ini menjelaskan bahwa satu-satunya yang layak disebut
Tuhan adalah alam semesta itu sendiri.
Konsep panteisme yang paling kuno terdapat dalam agama Hindu. Agama Hindu
hanya mengakui satu realitas yang tertinggi, yaitu Brahman. Brahman adalah
Tuhan yang tidak dapat dilihat dengan mata, diraba dengan tangan, didengar
dengan telinga, atau diucapkan dengan lidah. Selain De Spinoza, filsuf modern
yang memelopori panteisme adalah Victor Ferkiss dan Mary Long.

Mukjizat bagi panteisme mustahil terjadi karena semua adalah Tuhan dan Tuhan
adalah semua. Kalau mukjizat diartikan sebagai peristiwa yang menyalahi hukum
alam, maka hal itu tidak berlaku bagi panteisme sebab Tuhan identik dengan
alam.

Panenteisme (dari bahasa Yunani πᾶν (pân) "semua"; ἐν (en) "dalam";


dan θεός (theós) "Tuhan"; "semua dalam Tuhan") adalah kepercayaan yang
menyatakan bahwa Tuhan ada dan meresapi setiap bagian dari alam.
Panenteisme berbeda dari panteisme, yang percaya bahwa Tuhan sinonim
dengan materi alam semestaSingkatnya, panteisme menyatakan "Tuhan adalah
semua", sementara panenteisme menyatakan "semua ada dalam Tuhan".
Dalam panenteisme, Tuhan belum tentu dipandang sebagai pencipta, tetapi lebih
sebagai penggerak alam semesta, sementara beberapa versi menyatakan
bahwa alam semesta tidak lebih dari bagian nyata dari Tuhan. Panenteisme
mengklaim bahwa Tuhan lebih besar dari alam semesta, dan beberapa versi
menyatakan bahwa alam semesta ada dalam Tuhan. Agama Hindu memiliki ciri
panenteisme dan panteisme

Dalam kelompok panenteisme mereka lebih menekankan Tuhan pada aspek


terbatas, berubah, mengatur alam, dan bekerja sama dengan alam untuk
mencapai kesempurnaan ketimbang memandang Tuhan sebagai zat yang tidak
terbatas, menguasai alam, dan tidak berubah. Namun pada dasarnya,
panenteisme setuju bahwa Tuhan terdiri atas dua kutub. Kutub potensialah
Tuhan yang abadi, tidak berubah, dan transenden. sedang kan kutub aktual
adalah Tuhan yang berubah, tidak abadi, dan imanen. Kutub yang tidak terbatas
ini jauh dari alam, sedangkan kutub yang terbatas bersama dengan alam, tuhan
dalam kutub terbatas bergantung kepada alam yang terbatas dan alam
bergantung kepada-Nya.
Oleh karena itu dikatakan bahwa Tuhan tergantung kepada alam dan
alam tergantung kepada Tuhan, bahwa penganut panenteisme beranggapan
bahwa Tuhan dan alam bagaikan akal dengan tubuh, yang mana alam sebagai
tubuh, dan Tuhan adalah satu kutub dan akal (yang diluar alam) Nya adalah
kutub yang lain. Pernyataan ini sesuai dengan pandangan pemikir modern yang
mengatakan bahwa daya akal tergantung kepada otak, begitu juga para
penganut panenteisme yang beranggapan bahwa Tuhan tergantung kepada
alam dan alam tergantung kepada Tuhan.
Menurut Whitehead salah seorang pelopor panenteisme, ia meng klasifikasikan
bahwa Tuhan dalam tiga konsep, yaitu:
Konsep asia timur tentang tatanan yang impersonal yang sejalan dengan alam.
Konsep semit tentang suatu zat yang personal yang eksistensinya adalah
realitas metafisik yang tertinggi, absolut, dan mengatur alam.
Konsep panteistik yang sudah tergambar dalam konsep semit. Namun berbeda
dalam memandang alam.
Menurut Whitehead, Tuhan sebenarnya terbatas sebab untuk menjadi sesuatu
yang aktual harus terbatas. Tuhan tidak mungkin tidak terbatas dalam kutub
aktual-Nya. Jika ia tidak terbatas dalam kutub aktualnya maka Dia akan menjadi
jahat dan sekaligus baik sebab di alam ini terjadi kejahatan. Tuhan juga sama
sekali tidak bebas Dia tergantung kepada alam. Tuhan dan alam bekerja sama
untuk mencapai kesempurnaan yang tertinggi. Tuhan berfungsi sebagai
pengatur alam aktual, jadi Tuhan ada bersamaan dengan alam, bukan sebelum
alam. Meskipun demikian alam dan Tuhan tetapti dak identik. Tuhan sebagai
daya yang menggerakan dan mengatur alam agar mampu mencapai tujuan nya,
sedangkan alam berfungsi menolong Tuhan agar tertutup kekurangan-Nya.

NIHILISME

Nihilisme adalah sebuah pandangan filosofi yang sering dihubungkan dengan


Friedrich Nietzsche. Nihilisme mengatakan bahwa dunia ini, terutama
keberadaan manusia di dunia, tidak memiliki suatu tujuan. Nihilis biasanya
memiliki beberapa atau semua pandangan ini: tidak ada bukti yang mendukung
keberadaan pencipta, moral sejati tidak diketahui, dan etika sekular adalah tidak
mungkin. Karena itu, kehidupan tidak memiliki arti, dan tidak ada tindakan yang
lebih baik daripada yang lain.

Beberapa filsuf yang pernah menulis mengenai nihilisme adalah Friedrich


Nietzsche dan Martin Heidegger. Istilah nihilisme sendiri pertama dicetuskan
oleh Ivan Turgenev dan diperkenalkan ke dunia filosofi oleh Friedrich Heinrich
Jacobi (1743–1819).

Filsafat Nietzsche adalah filsafat cara memandang ‘kebenaran’ atau dikenal


dengan istilah filsafat perspektivisme. Nietzsche juga dikenal sebagai “sang
pembunuh Tuhan” (dalam Also sprach Zarathustra). Ia memprovokasi dan
mengkritik kebudayaan Barat di zaman-nya (dengan peninjauan ulang semua
nilai dan tradisi atau Umwertung aller Werten) yang sebagian besar dipengaruhi
oleh pemikiran Plato dan tradisi kekristenan (keduanya mengacu kepada
paradigma kehidupan setelah kematian, sehingga menurutnya anti dan pesimis
terhadap kehidupan). Walaupun demikian dengan kematian Tuhan berikut
paradigma kehidupan setelah kematian tersebut, filosofi Nietzsche tidak menjadi
sebuah filosofi nihilisme. Justru sebaliknya yaitu sebuah filosofi untuk
menaklukan nihilisme [1] (Überwindung der Nihilismus) dengan mencintai utuh
kehidupan (Lebensbejahung), dan memposisikan manusia sebagai manusia
purna Übermensch dengan kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht).

Selain itu Nietzsche dikenal sebagai filsuf seniman (Künstlerphilosoph) dan


banyak mengilhami pelukis moderen Eropa di awal abad ke-20

Gerbang pertama yang dimasuki adalah ide cemerlang nihilisme Nietzsche


berupa aforisme “Nihilisme hadir di depan pintu: dari mana datangnya yang
paling aneh dari semua pintu”. Secara sederhana, filsafat nihilisme bertujuan
untuk memutuskan dan mengakhiri semua klaim terhadap kebenaran pemikiran
metafisis tradisional, dalam suatu proses yang melompat hanya ketika ia
mencapai titik dimana “kebenaran-kebenaran” prasangka tersebut seperti Tuhan
dan jiwa diperlihatkan sebagai nilai yang tidak kurang subjektif dan tidak lebih
dari “kekeliruan-kekeliruan” ketimbang keyakinan dan pendapat manusia lainnya.
EKSISTENSIALISME
Kata Eksistensialisme berasal dari kata eks = keluar, dan sistensi atau sisto =
berarti, menempatkan. Secara umum berarti, manusia dalam keberadaannya itu
sadar bahwa dirinya ada dan segala sesuatu keberadaannya ditentukan oleh
akunya. Karena manusia selalu terlihat di sekelilingnya, sekaligus sebagai
miliknya. Upaya untuk menjadi miliknya itu manusia harus berbuat menjadikan -
merencanakan, yang berdasar pada pengalaman yang konkret.
Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang memandang berbagai gejala
dengan berdasar pada eksistensinya. Artinya bagaimana manusia berada
(bereksistensi) dalam dunia.
Pendapat lain, menyatakan “eksistensialisme” merupakan suatu aliran dalam
ilmu filsafat yang menekankan pada manusia yang bertanggung jawab atas
kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar
dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang
benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa
kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas
menentukan sesuatu yang menurutnya benar. Manusia juga dipandang sebagai
suatu mahluk yang harus bereksistensi (berbuat), mengkaji cara manusia berada
di dunia dengan kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan
eksistensialisme adalah manusia konkret.
Eksistensialisme merupakan gerakan yang sangat erat dan menunjukkan
pemberontakan tambahan metode-metode dan pandangan-pandangan filsafat
barat. Istilah eksistensialisme tidak menunujukkan suatu sistem filsafat secara
khusus. Meskipun terdapat perbedaan-perbedan yang besar antara para
pengikut aliran ini, namun terdapat tema-tema yang sama sebagai ciri khas
aliran ini yang tampak pada penganutnya. Mengidentifikasi ciri aliran
eksistensialisme sebagai berikut :
a. Eksistensialisme adalah pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme
dan masyarakat modern, khususnya terhadap idealisme Hegel.
b. Eksistensialisme adalah suatu proses atas nama individualis terhadap
konsep-konsep, filsafat akademis yang jauh dari kehidupan konkrit.
c. Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang
impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman industri modern dan teknologi, serta
gerakan massa.
d. Eksistensialisme merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik
gerakan fasis, komunis, yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan
perorangan di dalam kolektif atau massa.
e. Eksistensialisme menekankan situasi manusia dan prospek (harapan)
manusia di dunia.
f. Eksistensialisme menekankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi,
pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung.
Tokoh tokoh aliran eksistensialisme:
1. Soren Aabye Kiekegaard
2. Friedrich Nietzsche
3. Karl Jaspers
4. Martin Heidegger

Humanisme
Humanisme adalah istilah umum untuk berbagai jalan pikiran yang
berbeda yang memfokuskan dirinya ke jalan keluar umum dalam masalah-
masalah atau isu-isu yang berhubungan dengan manusia. Humanisme telah
menjadi sejenis doktrin beretika yang cakupannya diperluas hingga mencapai
seluruh etnisitas manusia, berlawanan dengan sistem-sistem beretika tradisonal
yang hanya berlaku bagi kelompok-kelompok etnis tertentu. Humanisme modern
dibagi kepada dua aliran. Humanisme keagamaan/religi berakar dari tradisi
Renaisans-Pencerahan dan diikuti banyak seniman, umat Kristen garis tengah,
dan para cendekiawan dalam kesenian bebas.
Pandangan mereka biasanya terfokus pada martabat dan kebudiluhuran
dari keberhasilan serta kemungkinan yang dihasilkan umat manusia. Humanisme
sekular mencerminkan bangkitnya globalisme, teknologi, dan jatuhnya
kekuasaan agama. Humanisme sekular juga percaya pada martabat dan nilai
seseorang dan kemampuan untuk memperoleh kesadaran diri melalui logika.
Orang-orang yang masuk dalam kategori ini menganggap bahwa mereka
merupakan jawaban atas perlunya sebuah filsafat umum yang tidak dibatasi
perbedaan kebudayaan yang diakibatkan adat-istiadat dan agama.
Humanistik ditinjau dari segi historinya ialah berasal dari suatu gerakan
intelektual dan kesusastraan yang pertama kali muncul di Italia pada paruh
kedua abad ke-14 masehi. Pergerakan ini merupakan motor penggerak
kebudayaan modern, khususnya di Eropa. Sedangkan jika ditinjau dari segi
filsafat, humanistik adalah faham atau aliran yang menjunjung tinggi nilai dan
martabat manusia, sehingga manusia menduduki posisi yang sangat sentral dan
penting, baik dalam perenungan teoritis-filsafati maupun dalam praktis hidup
sehari-hari. Maka dalam faham filsafat ini mengatakan bahwa segala sesuatu
ukuran penilaian dan referensi akhir dari semua kejadian manusiawi
dikembalikan kepada manusia itu sendiri, bukan pada kekuatan-kekuatan diluar
manusia (misalnya, kekuatan Tuhan atau alam).
Humanisme sebagai suatu gerakan intelektual dan kesusastraan pada
prinsipnya merupakan aspek dasar dari gerakan Renaisanse (abad ke 14-16 M.)
tujuan gerakan humanisme adalah melepaskan diri dari belenggu kekuasaan
Gereja dan membebaskan akal budi dari kungkungannya yang mengikat. Maka
dalam batasan-batasan tertentu, segala bentuk kekuatan dari luar yang
membelenggu kebebasan manusia harus segera dipatahkan. Kebebasan
merupakan tema terpenting dari humanisme, tetapi bukan kebebasan yang
absolut, atau kebebasan yang hanya sebagai antitesis dari diterminisme abad
pertengahan yang dilakukan oleh orang-orang Gereja pada waktu itu, tapi bukan
berarti Humanisme pada waktu itu menentang tentang adanya kekuasaan
Tuhan. Namun, mereka percaya bahwa di balik kekuasaan Tuhan, masih banyak
peluang bagi manusia untuk menentukan jalan hidupnya, mengembangkan
potensi dan memilih masa depannya sendiri, tanpa terbelenggu oleh kodrat atau
ketakutan terhadap murka Tuhan.
Mereka berpedoman bahwa, kebebasan manusia itu ada, dan perlu
dipertahankan dan di expresikan. Di depan sudah dijelaskan bahwa manusia
adalah pusat dari Realitas, sehingga segala sesuatu yang terdapat di dalam
realitas harus dikembalikan lagi pada manusia. Dengan demikian, tidak
dibenarkan adanya penilaian atau interpretasi tentang kejadian atau
Jika humanisme diartikan seperti itu, maka aliran filsafat seperti marxisme,
pragmatisme, dan existensialisme dapat dikategorikan ke dalam humanisme.
faham marxisme pada dasarnya mendudukkan manusia (masyarakat / kaum
buruh) pada pusat kehidupan. Secara teoritis, paling tidak menjunjung tinggi
martabat dan kemanusiaan masyarakat buruh.
Pragmatismepun adalah humanisme, karena paham inipun menempatkan
manusia pada posisi yang sentral dalam realitas. Segala sesuatu yang ada pada
realitas selalu dihubungkan dengan kegunaannya bagi manusia dalam menuju
hidup yang lebih baik.
Existensialismepun juga termasuk humanisme. Menurut paham ini, tidak ada
dunia diluar dunia manusia, dan di dalam dunianya itu manusia berada dalam
posisi yang paling sentral.[1]
Paham humanisme dalam perkembangannya tidak lagi mengacu pada
gerakan pembebasan pada zaman Renaisance dan dari doktrin-doktrin yang
membelenggu manusia, melainkan berkembang dalam ilmu-ilmu pengetahuan.
Misalnya kita sering mendengar tentang ilmu-ilmu pengetahuan humanistik.
Tetapi apakah artinya itu? Wilhelm Dulthey (1833-1911) dalam gagasannya
tentang Geisteswissenchaften, yang akan kita jadikan ancang-ancang untuk
menjawab tentang pertanyaan di atas. Istilah Geisteswissenchaften bisa kita
terjemahkan sebagai “ilmu-ilmu tentang manusia”. Disiplin keilmuan yang
menurut Dilthey menggunakan metode ini adalah apa yang biasanya kita sebut
ilmu-ilmu sosial, misalnya ekonomi, psikologi, antropologi budaya, sosiologi, ilmu
hukum, ilmu politik. Pertanyaan berikutnya adalah di manakah letak
humanistiknya Geisteswissenchaften, atau dalam hal apakah
Geisteswissenchaften dikatakan sebagai humanistik?
Konsep Dilthey tentang manusia memang berbau humanisme. Menurut
dia, gejala manusia adalah unik dengan tidak berhingga, sehingga tidak dapat
disejajarkan begitu saja dengan gejala-gejala alam yang lain. Manusia adalah
subyek, bukan obyek. Jawaban tentang pertanyaan yang tepat untuk pertanyaan
di atas adalah dengan melihat ciri humanistik Geisteswissenchaften. Yakini,
tekanannya pada keunikan, subjektivitas, dan kerohanian manusia. Dalam
Geisteswissenchaften manusia ditinggikan nilai dan martabatnya. Namun ada
juga kalangan yang tidak setuju dengan teorinya Dilthey tentang
Geisteswissenchaften yang seolah-olah meniadakan Naturwissenchaften (alam
fisik yang natural).
Seperti halnya Sosiologi Humanistiknya Max Webber, tidak lalu
menghilangkan peran statistik. Demikian pula dengan Psikolog Humanistiknya
Abraham Maslow, yang tidak mengabaikan arti pentingnya Behaviorisme dan
Psikoanalisa. Satu hal yang tampaknya menjadi trade mark mereka adalah:
Manusia yang menjadi “obyek” telaah ilmu-ilmu mereka, diperlakukan secara
hormat sebagai “subyek”. Maka sah saja bagi kita untuk mendefinisikan ilmu-ilmu
humanistik sebagai ilmu-ilmu yang menempatkan manusia sebagai subyek,
sedemikian rupa sehingga manusia tetap dijunjung tinggi nilai dan
martabat kemanusiaannya.

NATURALISME
Naturalisme mempunyai pengertian, yaitu : dari segi
bahasa, Naturalisme berasal dari 2 kata, yakni Natural : alami dan Isme :
paham. Aliran filsafat naturalisme disebut sebagai Paham Alami maksudnya
adalah bahwa setiap manusia yang terlahir ke bumi ini pada dasarnya memiliki
kecenderungan atau pembawaan yang baik, dan tak ada seorangpun terlahir
dengan pembawaan yang buruk. Secara garis besar dapat diartikan bahwa
filsafat naturalisme merupakan hasil berlakunya hukum alam fisik dan terjadinya
menurut kodrat atau menurut wataknya sendiri.
Naturalisme merupakan teori yang menerima “nature” (alam) sebagai
keseluruhan realitas. Istilah “nature” telah dipakai dalam filsafat dengan
bermacam-macam arti, mulai dari dunia fisik yang dapat dilihat oleh manusia,
sampai kepada sistem total dari fenomena ruang dan waktu. Natura adalah
dunia yang diungkapkan kepada kita oleh sains alam. Istilah naturalisme adalah
kebalikan dari istilah supernaturalisme yang mengandung pandangan dualistik
terhadap alam dengan adanya kekuatan yang ada (wujud) di atas atau di luar
alam
Dimensi utama dan pertama dari pemikiran aliran filsafat naturalisme di bidang
pendidikan adalah pentingnya pendidikan itu sesuai dengan perkembangan
alam. Manusia diciptakan dan ditempatkan di atas semua makhluk, karena
kemampuannya dalam berfikir. Peserta didik harus dipersiapkan kepada dan
untuk Tuhan. Untuk itu pendidikan yang signifikan dengan pandangannya
adalah pendidikan ketuhanan, budi pekerti dan intelek. Pendidikan tidak hanya
sebatas untuk menjadikan seseorang mau belajar, melainkan juga untuk
menjadikan seseorang lebih arif dan bijaksana (Bertens. K. Filsuf-Filsuf Besar
Tentang Manusia. Kanisius, 1988).
Filsafat naturalisme dalam pendidikan mengajarkan bahwa guru paling alamiah
dari seorang anak adalah kedua orang tuanya. Oleh karena itu, pendidikan bagi
penganut paham naturalis perlu dimulai jauh hari sebelum proses pendidikan
dilaksanakan. Sekolah merupakan dasar utama dalam keberadaan aliran filsafat
naturalisme karena belajar merupakan sesuatu yang natural, oleh karena itu
fakta bahwa hal itu memerlukan pengajaran juga merupakan sesuatu yang
natural juga. Paham naturalisme memandang guru tidak mengajar subjek,
melainkan mengajar murid.
Terdapat lima tujuan pendidikan paham naturalisme yang sangat terkenal yang
diperkenalkan Herbert Spencer melalui esai-esainya yang terkenal berjudul “Ilmu
Pengetahuan Apa yang Paling Berharga?”.
Kelima tujuan itu antara lain sebagai berikut:

1. Mengamankan kebutuhan hidup


2. Meningkatkan anak didik
3. Memelihara hubungan sosial dan politik
4. Menikmati waktu luang
5. Pemeliharaan diri
Spencer juga menjelaskan tujuh prinsip dalam proses pendidikan beraliran
naturalisme, adalah:

1. Pendidikan harus menyesuaikan diri dengan alam


2. Proses pendidikan harus menyenangkan bagi anak didik
3. Pendidikan harus berdasarkan spontanitas dari aktivitas anak
4. Memperbanyak ilmu pengetahuan merupakan bagian penting dalam
pendidikan
5. Pendidikan dimaksudkan untuk membantu perkembangan fisik, sekaligus otak
6. Praktik mengajar adalah seni menunda
7. Metode instruksi dalam mendidik menggunakan cara induktif; (hukuman
dijatuhkan sebagai konsekuensi alam akibat melakukan kesalahan. Kalaupun
dilakukan hukuman, hal itu harus dilakukan secara simpatik.
Tokoh tokoh filsafat naturalisme:
1.Plato. (427 – 347 SM)
2. Aristoteles (384 – 322 SM)
3. William R. Dennes (Filsuf Modern)
POSITIVISME LOGIS

Positivisme logis merupakan aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi


pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan. Tujuan
akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis adalah untuk
mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang
dikenal dengan ”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan perbedaan-
perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah. Logika dan matematika dianggap
sebagai ilmu-ilmu formal.

Gagasan positivisme logis dan pengaruhnya terhadap dunia ilmiah sangat luas
dan mendalam sampai tahun 1960-an. Ilmu pengetahuan bagi para pemikir
positivisme logis adalah kejelasan/kelugasan bahasa. Kejelasan bahasa ilmiah
dapat dicapai jika ilmu pengetahuan menggunakan metode empiris-
eksperimental dan bahasa faktual dan logis/matematis.

Positivisme logis berasal dari lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Dimana ia
berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains.
Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah
sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.

Istilah positivism logis muncul dari diskusi-diskusi sekelompok filsuf dan ilmuwan
radikal yang menamakan kelompoknya dengan Der wiener kreis atau Lingkaran
Wina. Buku Language, Truth and logic yang dikarang oleh Alfred Jules Ayer
seorang filsuf kelahiran London adalah salah satu yang menjadi dasar bagi
keyakinan positivistic lingkaran WinaAdapun tokoh-tokoh yang menganut paham
ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl
Popper, meski pun awalnya tergabung dalam kelompok lingkaran Wina adalah
salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini.
Beberapa arah pemikiran yang memberi pengaruh terhadap lahirnya
positivism logis:
1. Empirisme dan positivisme yang dikembangkan oleh J. Lock, August Comte,
dan lainya;
2. Metode ilmu-ilmu empiris yang dikembangkan oleh Helmholtz, Ernst Mach,
dan lainnya;
3. Perkembangan logika simbolik dan analisa bahasa yang dikembangkan oleh
Gottlob Frege.
Empirisme menjadi salah satu dasar positivism logis adalah bahwa observasi
dijadikan sebagai satu-satunya sumber yang terpercaya bagi ilmu pengetahuan.
Hanya ada satu bentuk pengetahuan, yaitu yang didasarkan kepada
pengalaman dan dapat ditemukan dalam bahasa logis dan matematis.

Salah satu teori Positivisme Logis yang paling populer, antara lain teori tentang
makna yang dapat dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan
dapat disebut sebagai bermakna jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi
secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah semua bentuk diskursus
yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika
dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke
dalam bidang metafisika.
Ada beberapa pokok pemikiran positivism logis, khususnya mengenai
bahasa ideal. Diantaranya sebagai berikut:
1. a) Filsafat merupakan analisis logis terhadap konsep dan pernyataan ilmu
pengetahuan.
2. b) Pemikiran seseorang dapat diuji melalui bahasa, selama pemikiran itu
diungkapakan memalui bahasa. Hanya bahasa yang sempurna, bersifat
universal dan logislah yang disebut sebagai bahasa ilmiah.
3. c) Bahasa sehari-hari menyesatkan, karena itu bahasa sehari-hari harus
direduksi (diterjemahkan) ke dalam bahasa atifisial atau bahasa ideal/formal.
4. d) Tugas utama filsafat adalah memeperbaiki bahasa dengan menjadikan
bentuk gramatika dan sintaksisnya sesuai dengan fungsi logika aktualnya.
5. e) Metafisika didasarkan pada kepercayaan entitas non empiris dan relasi
internal ditolak (tidak dapat diverifikasi). Realitas yang dapat diterima adalah
realitas dan relasi eksternal, dapat diobservasi dan/atau merupakan entitas
logis.
6. f) Definisi haruslah bersifat operasional.

EVOLUSIONISME

Paham yang menyatakan bahwa prinsip dasar proses alam adalah perubahan
dan perkembangan bentuk yang lebih rendah dan sederhana menuju bentuk
yang lebih tinggi dan mendekati kesempurnaan. Dalam pandangan ini, alam
semesta dan kehidupan manusia dalam segala perwujudan dan aspeknya
merupakan hasil perkembangan dan masih berkembang terus. Maka,
evolusionisme memasuki berbagai bidang ilmu dan filsafat, seperti biologi,
antropologi, psikologi, kosmologi, budaya, metafisika, etika, dan agama.
Evolusionisme mempunyai banyak bentuk, tergantung pada penerapan dan
pengandaian dasarnya. Maka ada berbagai evolusionisme, yaitu evolusionisme
mekanistik, naturalistik, vitalistik atau organismik, idealistik, pragmatik.
Evolusionisme juga bersifat ateistik, panteistik maupun teistik, tergantung pada .
penempatan Pencipta dalam proses evolusi yang bersangkuta

pelopor evolusionisme modern berutang besar pada pemikiran evolusionisme


Yunani, misalnya filsuf G. Cardano (1501-1576) mengadaptasikan evolusionisme
Empedokles dan jiwa dunia dari Zeno menjadi gagasan Kristiani tentang jiwa
abadi yang tak dapat mati. Pada awal abad ke-18, benih evolusionisme modern
telah tertanam dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Dalam ilmu alam, Francis
Bacon (1561-1626), John Ray (1627-1705), C. Linnaeus (1707-1778), G.L.
Leclerc de Buffon (1707-1788), dan J.W. von Goethe (1749-1832)
mengembangkan metode untuk ilmu kehidupan yang terbuka bagi pandangan
evolusioner tentang alam. Dalam bidang filsafat, Immanuel Kant (1724-1804)
mempersiapkan evolusionisme idealistik. Ia berpendapat bahwa walau manusia
tidak dapat mengenal jiwa, alam semesta, dan Tuhan kecuali sebagai gagasan
regulatif dan pemersatu, ruang dan waktu adalah bentuk apriori pengalaman.
Segala sesuatu berkembang dan harus dikenal dalam konteks ini. Schelling
(1775-1854) memberi tekanan evolusinistik pada idealisme Kant, sedangkan
Hcgel mengembangkan gagasan Kant dan Schelling dalam gagasan sejarah
perkembangan.
Dasar evolusionisme ilmiah kontemporer diletakkan di Inggris, terutama oleh
Charles Darwin (1809- 1882), dan A.R. Wallace (1823-1913). Sebelum karya
keduanya terbit, dalam bidang kosmogoni, astronomi, fisika, dan ilmu bumi
sudah terdapat paham evolusionistis. Tetapi ketika The Origin of Species (1859)
dan The Descent of Man (1871) muncul, kehidupan dan manusia juga diletakkan
dalam evolusionisme ilmiah, sedangkan yang mengembangkan evolusionisme
agnostik dan mekanistik secara total adalah Herbert Spencer (1820-1903), dan
T. Huxley (1825-1895). Di Jerman, Ernst Haeckel (1834-1919) dan August
Weismann (1834-1914) mengembangkan metafisika hylozoistik evolusioner.
Sebelum Darwin menerbitkan bukunya, J.B. de Monet de Lamarck (1744-1829)
sudah mengetengahkan suatu teori sistematik ilmiah, namun di Perancis
evolusionisme disambut dingin.
HEDONISME
Secara bahasa, Hedonisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu “hedone” yang
artinya kesenangan. Hedonisme adalah jenis ideologi atau pandangan hidup
yang menyatakan bahwa kebahagian hanya didapatkan dengan mencari
kesenangan pribadi sebanyak-banyaknya dan menghindari perasaan-perasaan
yang menyakitkan. Hedonisme mengajarkan bahwa kenikmatan atau
kesenangan merupakan tujuan hidup dan acuan dalam berperilaku dalam
sebuah anggota masyarakat. Dalam paham hedonisme, kesenangan pribadi
atau kelompoknya merupakan yang utama, mereka tidak peuli dengan perasaan
atau kesenangan orang lain. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa hedonisme
merupakan pandangan hidup yang berdasarkan atas hawa nafsu. Penganut
paham hedonisme disebut hedonis. Hedonisme sangat berhubungan dengan
kekayaan, kenikmatan batin, kenikmatan seksual, kekuasaan dan kebebasan.
Tokoh utama lainnya dari Hedonisme adalah Epikuros. Ia lahir di Samos, Yunani,
pada tahun 342 SM dan meninggal di Athena tahun 270 SM. Ajaran Epikuros
menitikberatkan tentang “apa yang baik adalah segala sesuatu yang
mendatangkan kenikmatan, dan apa yang buruk adalah segala sesuatu yang
menghasilkan ketidaknikmatan”. Namun demikian, kenikmatan yang dimaksud
disini bukanlah kenikmatan bebas tanpa aturan, melainkan kenikmatan yang
mendalam. Kenikmatan cenderung didapatkan karena keingin kita terpenuhi,
dengan ini, kaum Epikurean membagi keinginan menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Keinginan alami yang harus dipenuhi (makan agar terus hidup)
2. Keinginan alami yang dapat dipenuhi atau tidak (makanan yang
enak)
3. Keinginan alami yang sia-sia (harta yang berlebihan)

Epikuros mengajarkan bahwa penting untuk membatasi pemuasan keinginan


agar dapat mencapai kenikmatan tertinggi, oleh karena itu ia menyarankan untuk
hidup sederhana. Tujuannya adalah demi mencapai “Ataraxia”, yaitu
kententraman jiwa, batan, terbebas dari perasaan resah gelisah, dan berada
dalam keadaan seimbang. Kebahagian yang dituju oleh kaum epikurean ini
adalah kebahagian pribadi, walaupun demikian mereka sadar bahwa berteman
dan bergaul dapat membantu mencapai kenikmatan sejati (Ataraxia). Nah
sayangnya, dalam perkembangannya, paham ini menjadi paham yang
memandang kesenangan, kenikmatan dan kebahagian hanya sebatas materi,
baik berupa uang atau harta lainnya.

CIRI – CIRI HEDONISME


 Kenikmatan pribadi merupakan tujuan utama dalam kehidupan.
 Mengabaikan perasan atau kebahagiaan orang lain dalam memenuhi
keinginan.
 Materialis, tidak pernah merasa puas dengan yang dimiliki, selalu mencari
harta yang lebih dan kekayaan merupakan unsur yang sangat penting dalam
kehidupan.
 Konsumtif, mengutamakan keinginan dalam membeli sesuatu, bukan
mengutamakan kebutuhan.
 Pergaulan bebas.
 Diskriminatif, membedakan indivitu berdasarkan kekayaan dan
menganggap dirinya lebih tinggi dari orang lain sehingga cenderung sombong.

1. Kelebihan Hedonisme
 Motivasi yang kuat dalam mencapai keinginannya.
 Pantang menyerah dan bersikeras.
 Menghargai waktu dan kesempatan, karena setiap waktu dan kesempatan
digunakan untuk mewujudkan yang mereka inginkan.

2. Kekurangan Hedonisme
 Menghalalkan segala cara untuk mencapai keinginanny sehingga
cenderung menggunakan cara yang negatif (tidak baik).
 Egosi dan tidak memiliki kepekaan sosial.
 Mengganggu orang lain karena dalam mencapai keinginanya mereka
tidak peduli dengan orang di sekitarnya.
MATERIALISME
Filsafat Materialisme
Materialisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang pandangannya bertitik tolak
dari pada materi (benda). Materialisme memandang bahwa benda itu primer
sedangkan ide ditempatkan di sekundernya. Sebab materi ada terlebih dahulu
baru ada ide. Pandangan ini berdasakan atas kenyataan menurut proses waktu
dan zat.

Misal, menurut proses waktu, lama sebelum manusia yang mempunyai ide itu
ada didunia, alam raya ini sudah ada.

Menurut zat, manusia tidak bisa berfikir atau mempunyai ide bila tidak
mempunyai otak, otak itu adalah sebuah benda yang bisa dirasakan oleh panca
indera kita. Otak atau materi ini yang lebih dulu ada baharu muncul ide dari
padanya. Atau seperti kata Marx “Bukan fikiran yang menentukan pergaulan,
melainkan keadaan pergaulan yang menentukan fikiran.” Maksudnya sifat/fikiran
seorang individu itu ditentukan oleh keadaan masyarakat sekelilingnya,
“masyarakat sekelilingnya” –ini menjadi materi atau sebab yang mendorong
terciptanya fikiran dalam individu tersebut.

Aliran-aliran dalam materialisme

1. Materialisme Mekanik

Materialisme mekanik adalah aliran filsafat yang pandangannya materialis


sedangkan metodenya mekanis. Aliran ini mengajarkan bahwa materi itu selalu
dalam keadaan gerak dan berubah, geraknya itu adalah gerakan yang mekanis
artinya, gerak yang tetap selamanya atau gerak yang berulang-ulang (endless
loop) seperti mesin yang tanpa perkembangan atau peningkatan secara
kualitatif.

Materialisme mekanik tersistematis ketika ilmu tentang meknika mulai


berkembang dengan pesat, tokoh-tokoh yang terkenal sebagai pengusung
materialisme pada waktu itu ialah Demokritus (± 460-370 SM), Heraklitus (± 500
SM) kedua pemikir Yunanai ini berpendapat bahwa aktivitas psikik hanya
merupakan gerakan atom-atom yang sangat lembut dan mudah bergerak.

2. Materialisme metafisik

Materialisme metafisik mengajarkan bahwa materi itu selalu dalam keadaan


diam, tetap atau statis selamanya seandainya materi itu berubah maka
perubahan tersebut terjadi karena faktor luar atau kekuatan dari luar. Gerak
materi itu disebut gerak ekstern atau gerak luar. selanjutnya materi itu dalam
keadaan terpisah-pisah atau tidak mempunyai hubungan antara satu dengan
yang lainnya.
Materialisme metafisik diwakili oleh Ludwig Feurbach, pandangan materialisme
ini mengakui bahwa adanya “ide absolut” pra-dunia dari Hegel , adanya terlebih
dahulu “kategori-kategori logis” sebelum dunia ada, adalah tidak lain sisa-sisa
khayalan dari kepercayaan tentang adanya pencipta diluar dunia; bahwa dunia
materiil yang dapat dirasakan oleh panca indera kita adalah satu-satunya realitet.

Tetapi materialisme metafisik melihat segala sesuatu tidak secara


keseluruhannya, tidak dari saling hubungannya, atau segala sesuatu itu berdiri
sendiri. Dan segala sesuatu yang real itu tidak bergerak, diam.

Pandangan ini mengidamkan seorang manusia suci atau seorang resi suci yang
penuh cinta kasih. Feurbach berusaha memindahkan agama lama yang
menekankan hubungan manusia dengan Tuhan menjadi sebuah agama baru
yaitu hubungan cinta kelamin antara manusia dengan manusia. Seperti kata
Feurbach: “Tuhan adalah bayangan manusia dalam cermin”, Feurbach
menentang teologi, dalam filsafatnya atau “agama baru”-nya Feurbach
mengganti kedudukan Tuhan dengan manusia, pendeknya manusia itu Tuhan.
Feurbach tidak melihat peran aktif dari ide dalam perkembangan materi, yang
materi bagi Feurbach adalah misalnya, manusia (baca: materi, pen) sedangkan
dunia dimana manusia itu tinggal tidak ada baginya, atau menganggap sepi
ativitet yang dilakukan manusia/materi tersebut.

Materialisme metafisik menganggap kontradiksi sebagai hal yang irasionil bukan


sebagai hal yang nyata, disinilah letak dari idealisme Feurbach. Pandangannya
bertolak daripada materialisme tetapi metode penyelidikan yang dipakai ialah
metafisis. Metode metafisis inilah yang menjadi kelemahan terbesar bagi
materialisme Feurbach.

3. Materialisme dialektis

Materialisme dialektis adalah aliran filsafat yang bersandar pada matter (benda)
dan metodenya dialektis. Aliran ini mengajarkan bahwa materi itu mempunyai
keterhubungan satu dengan lainnya, saling mempengaruhi, dan saling
bergantung satu dengan lainnya. Gerak materi itu adalah gerakan yang dialektis
yaitu pergerakan atau perubahan menuju bentuk yang lebih tinggi atau lebih
maju seperti spiral. Tokoh-tokoh pencetus filsafat ini adalah Karl Marx (1818-
1883 M), Friedrich Engels (1820-1895 M).

Gerakan materi itu adalah gerak intern, yaitu bergerak atau berubah karena
dorongan dari faktor dalamnya (motive force-nya). Yang disebut “diam” itu hanya
tampaknya atau bentuknya, sebab hakikat dari gejala yang tampaknya atau
bentuknya “diam” itu isinya tetap gerak, jadi “diam” itu juga suatu bentuk gerak.

Sedangkan jembatan antara Marx dan Hegel adalah Feurbach, Materialisme


dijadikan sebagai dasar filsafatnya tetapi Feurbach melihat gerak dari penjuru
idealisme yang membuat ia berhenti dan membuang dialektika Hegel. Membuat
hasil pemeriksaannya terpisah dan abstrak, Marx membuang metode
metafisisnya, dan menggantinya dengan dialektika, sehingga menghasilkan
sebuah system filsafat baru yang lebih kaya dan lebih sempurna dari
pendahulunya.

RELATIVISME
Secara etimologis, relativisme yang dalam bahasa Inggrisnya relativism,
relative berasal dari bahasa latin relativus (berhubungan dengan). Dalam
penerapan epistemologisnya, ajaran ini menyatakan bahwa semua kebenaran
adalah relatif. Penggagas utama paham ini adalah Protagoras, Pyrrho
Sedangkan secara terminologis, makna relativisme seperti yang tertera
dalam Ensiklopedi Britannica adalah doktrin bahwa ilmu pengetahuan,
kebenaran dan moralitas wujud dalam kaitannya dengan budaya, masyarakat
maupun konteks sejarah, dan semua hal tersebut tidak bersifat mutlak. Lebih
lanjut ensiklopedi ini menjelaskan bahwa dalam paham relativisme apa yang
dikatakan benar atau salah; baik atau buruk tidak bersifat mutlak, tapi senantiasa
berubah-ubah dan bersifat relatif tergantung pada individu, lingkungan maupun
kondisi social.
Aliran-Aliran Relativisme
1. Relativisme Etika
Relativisme etika merupakan paham atau aliran pemikiran filsafat yang
secara tegas menolak pendapat yang mengatakan bahwa norma etika berlaku
untuk semua orang di mana saja.
Pengertian lain, Shomali telah memberikan definisi yang cukup mudah
dipahami yaitu “Relativisme etika adalah pandangan bahwa tidak ada prinsip
etika yang benar secara universal; kebenaran semua prinsip etika bersifat relatif
terhadap budaya atau individu tertentu”. Sebagai contoh, membunuh itu bisa
benar dan juga bisa salah tergantung apa tujuan orang melakukan
pembunuhan. Orang Callatia memakan ayah mereka yang telah mati sebagai
penghormatan dan kebanyakan dari tanggapan kita terhadap hal itu adalah tidak
beretika. Tetapi bagi orang Callatia membakar atau mengubur orang mati adalah
perbuatan menakutkan dan menjijikkan atau tidak beretika.
Kesimpulan dari paham ini adalah, tindakan yang dianggap tidak beretika
di satu tempat, tidak bisa ditetapkan sebagai etika di tempat lain. Karena beda
suku, budaya dan bahasa, maka beda pula standarisasi etikanya. Maka
kebenaran atas etika suatu kaum adalah relatif.
2. Relativisme Budaya
Relativisme budaya berbeda dengan relativisme etika. Relativisme etika
berbicara tentang pengabaian prinsip dan tidak adanya rasa tangggung jawab
dalam pengalaman hidup seseorang. Sebaliknya, relativisme budaya berbicara
mengenai pegangan yang teguh pada prinsip, pengembangan prinsip tersebut,
dan tanggung jawab penuh dalam kehidupan dan pengalaman seseorang.
Jika perkembangan budaya antara satu wilayah budaya dengan wilayah
budaya lainnya berbeda, maka standar kebenaran dan kebaikan yang ada tiap
kelompok budaya akan berbeda satu dengan yang lainnya. Dari sinilah terbentuk
nilai-nilai budaya yang sifatnya relatif. Meskipun demikian, adanya relativitas
budaya secara konseptual dan sistematis dipopulerkan oleh Frans Boaz,
seorang antropolog budaya berkebangsaan Amerika.
Relativisme budaya memandang bahwa tidak ada budaya yang lebih baik
dari budaya lainya. Karenanya tidak ada kebenaran atau kesalahan yang bersifat
internasional. Ia menolak pandangan bahwa terdapat kebenaran yang bersifat
universal dari budaya-budaya tertentu. Relativitas budaya adalah suatu prinsip
bahwa kepercayaan dan aktivitas individu harus difahami berdasarkan
kebudayaannya. Prinsip ini didasarkan pada hasil penelitian Frans Boaz dalam
dekade awal abad ke 20 dan kemudian dipopulerkan oleh murid-muridnya. Boaz
sendiri tidak menggunakan istilah itu, tetapi istilah tersebut menjadi umum antar
ahli antropologi setelah kematian Boas tahun 1942. Istilah tersebut pertama kali
digunakan dalam jurnal Antropologi Amerika tahun 1948; yang isinya
merepresentasikan bagaimana murid-murid Boas meringkas dari berbagai
prinsip pemikiran Boas.
Sisi positif dari paham relativisme budaya ini adalah dapat menyesuaikan
dirinya dengan budaya sekitarnya, dan tidak pernah menganggap bahwa
budayanya adalah budaya yang terbaik. Sedangkan dampak negatifnya bisa
dirasakan oleh suatu negara, misalkan, jika Indonesia sudah memiliki paham
relativisme yang sangat kuat, namun ada imigran yang baru datang, maka
secara otomatis pemerintah sangat sulit untuk memberi pengarahan kepada
imigran tersebut.
3. Relativisme Agama
Lain halnya dengan relativisme etika dan budaya, inilah ujung dari paham
relativisme yang sangat mengkhawatirkan, yaitu relativisme agama. Paham ini
mengajarkan ketidakyakinan atau keraguan umat beragama terhadap kebenaran
agamanya sendiri. Inilah akar dari pemikiran Pluralisme Agama yang mengakui
kebenaran relatif dari semua agama.
Doktrin ini mengajarkan bahwa agama tidak lagi berhak mengklaim
mempunyai kebenaran absolut, ia dipahami sama dengan persepsi manusia
sendiri yang relatif itu. Manusia dikatakan tidak dapat mengetahui kebenaran
absolut. Pemilik kebenaran hakiki hanya Tuhan. Implikasinya, penganut paham
ini membedakan agama dari pemikiran keberagamaan. Frameworknya masih
berkutat dikotomi absolut relatif. Agama itu absolut dan pemikiran keagamaan itu
relatif. Akibat dari doktrin ini, tafsir yang merupakan pemahaman para ulama itu
menjadi relatif, demikian pula pemahaman hukum para ulama juga relatif.
Karena sifatnya relatif dan tidak absolut maka ilmu para ulama tidak dapat
dijadikan rujukan, sehingga para ulama itu dianggap tidak memiliki otoritas dan
tidak boleh memberi fatwa. Maka dari itu tidak heran jika para pelajar Muslim
penganut paham liberalisme dan relativisme itu sangat anti kepada fatwa Majelis
Ulama atau sejenisnya.

Anda mungkin juga menyukai