Istilah ateisme berasal dari Bahasa Yunani ἄθεος (atheos), yang secara peyoratif
digunakan untuk merujuk pada siapapun yang kepercayaannya bertentangan
dengan agama/kepercayaan yang sudah mapan di lingkungannya. Dengan
menyebarnya pemikiran bebas, skeptisisme ilmiah, dan kritik terhadap agama,
istilah ateis mulai dispesifikasi untuk merujuk kepada mereka yang tidak percaya
kepada tuhan. Orang yang pertama kali mengaku sebagai "ateis" muncul pada
abad ke-18. Pada zaman sekarang, sekitar 2,3% populasi dunia mengaku
sebagai ateis, manakala 11,9% mengaku sebagai nonteis. Sekitar 65% orang
Jepang mengaku sebagai ateis, agnostik, ataupun orang yang tak beragama;
dan sekitar 48%-nya di Rusia.[7] Persentase komunitas tersebut di Uni Eropa
berkisar antara 6% (Italia) sampai dengan 85% (Swedia).
Beberapa aliran Agama Buddha tidak pernah menyebutkan istilah 'Tuhan' dalam
berbagai upacara ritual, namun dalam Agama Buddha konsep ketuhanan yang
dimaksud mempergunakan istilah Nibbana. Karenanya agama ini sering disebut
agama ateistik. Walaupun banyak dari yang mendefinisikan dirinya sebagai ateis
cenderung kepada filosofi sekuler seperti humanisme,] rasionalisme, dan
naturalisme, tidak ada ideologi atau perilaku spesifik yang dijunjung oleh semua
ateis.
Feuerbach dijuluki sebagai bapak ateisme modern karena dialah yang meletakan
dasar pemikiran ateisme secara gamblang dan mempengaruhi pemikiran
ateisme selanjutnya termasuk Karl Marx.
Untuk orang yang beragama semua pertanyaan jelas sudah terjawab sedangkan
untuk atheis pertanyaan-pertanyaan seperti di atas itu dipikirkan oleh diri sendiri
juga mempercayai pada penilaian moral sendiri. Atheis selalu ingin berpikir
dengan cara mandiri, meneliti, menilai dan membandingkan dari pada menerima
apa yang dikatakan oleh Imam, Pastor atau orangtua bagaimana kita harus
memikirkannya. Seorang atheis ingin/mau diyakinkan secara rasional, dengan
berpikir sacara logis seperti membandingkan mythologi dari “kitab suci” dengan
hasil penelitian dari sains, mengenai keindahan dunia ini…
Keberadaan kita, tidak memiliki arti atau tujuan. Tentu untuk orang yang
beragama lebih senang pada wishful thinking dimana Pengcipta yang penuh
kasih dan memberikan tujuan hidup pada mereka dari pada alam buta.
Keberadaan manusia itu sia-sia belaka seperti dari segala sesuatu yang di alam
semesta. Tetapi apakah membuat hidup seorang atheis seperti saya tidak
berarti? tentu tidak karena setiap orang mempunyai sifat dimana dia bisa
menetapkan arti hidup pada dia sendiri dan orang lain.
Jika kita menetapkan tujuan, baru membuat hidup berarti, dari situlah setiap
individu mengisi sendiri arti hidupnya. Untuk saya sendiri itu kebahagian dan
cinta berarti kebahagian dalam hidup adalah apa yang dicari oleh diri sendiri,
kebahagiaan dalam hidup bagaimana kita memahami arti kebahagian dalam
kehidupan. Kebahagiaan dalam hidup adalah suatu kenyamanan yang murni
yang bisa dinikmati oleh setiap individu dalam hidup tanpa alasan lain tapi benar-
benar mendapatkan kenyamanan dalam hidup dan kebahagiaan.
Hal ini bukan seperti orang yang beragama mendapatkan kebahagiaan dengan
alasan yang lain. Seperti menyembah Tuhan, menyibukkan diri dengan aktivitas
yang jika dikaji dengan baik benar-benar sama sekali tidak ada relevansinya
dengan kualitas hidup kita yang malah sebaliknya membuat kita kehilangan
waktu dalam kehidupan hanya untuk suatu abstraksi yang tidak jelas tapi
diperulangkalikan seperti melihat seorang penari di atas pangung berulang-
ulang melakukan gerakan yang sama, bayangkan bila anda harus menonton
satu tarian di pangung selama 1 jam setiap hari hanya disajikan satu jenis tarian
yg diulang-ulang kali, berapa lama anda akan bisa menontonnya?
Kebahagiaan tidak terletak pada ritual dan kepercayaan apalagi dari Tuhan,
kalau sebenarnya kita jujur mengakuinya bahwa kebodohan besarlah jika
seseorang mengakui adanya Tuhan, seandainya anda mencari sampai ke ujung
langit dan ke dasar lautan yang yang dalam saya yakin anda tidak akan pernah
menemuinya, seorang teman pernah bertestimoni sepanjang hidupnya dia
berusaha mencari existensi Tuhan bahkan dia rela kehidupannya direnggut dan
langsung dilempar ke neraka jika Tuhan ada sampai saat ini dia katakan sampai
ia meninggalpun dia yakin bahwa Tuhan itu tidak ada , seperti ajaran semua
agama yang mengatakan Tuhan maha esa, maha kuasa , maha penyayang,
maha pemaaf dll maka tidak mungkinlah hidup manusia menderita, terkotak-
kotak, saling menindas.
Maka tersesatlah kalau kita mencari kebahagiaan melalui agama yang pasti
agama itu sama seperti aspirin atau zat addictive yang bisa bermanfaat untuk
manusia mendapatkan kenyamanan sementara, sangat jelas bahwa agama itu
sangat cocok untuk individu yang tidak stabil, individu yang mature adalah
individu yang tidak memerlukan aspirin dan sejenisnya untuk mendapatkan
kenyamanan dalam hidup, kebahagiaan itu berdasarkan dari kepahamanan dan
kompetensi dan tentunya orang itu sendiri dan bagaimana cara dia merasakan
hidup.
Kebahagiaan itu berasal dari pada bagaimana menyadari apa yang tersedia dari
nilai kebaikan dan kemudahan yang didapatkannya seperti pengalaman dari
cinta, keindahan, persahabatan, merasakan gembira dengan kesenangan yang
sederhana atau yang sekecil-kecilnya dan bagaimana mencari serta berjuang
dengan berbagai macam cara untuk mendapatkannya.
Apateism
Apatisme adalah kata serapan dari Bahasa Inggris, yaitu apathy. Kata tersebut
diadaptasi dari Bahasa Yunani, yaitu apathes yang secara harfiah berarti tanpa
perasaan. Sedangkan menurut AS Hornby dalam Oxford Advanced Learner’s
Dictionary of Current English: apathy is an absence of simpathy or interest. Dari
definisi-definisi di atas, maka dapat ditarik satu benang merah definisi apatisme,
yaitu hilangnya simpati, ketertarikan, dan antusiasme terhadap suatu objek.
Sementara dalam wikipedia indonesia diartikan Apathy adalah kurangnya emosi,
motivasi, atau entusiasme. Apathy adalah istilah psikologikal untuk keadaan
cuek atau acuh tak acuh; di mana seseorang tidak tanggap atau “cuek” terhadap
aspek emosional, sosial, atau kehidupan fisik. Kemudian kita dapat artikan
bahwa apatisme adalah hilangnya rasa simpati masyarakat terhadap
lingkungannya. Padahal masyarakat pada hakekatnya adalah sebuah kesatuan
yang saling berikatan, sesuai dengan definisi masyarakat (society) adalah
sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem, dimana sebagian besar
interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut.
Tokoh utama
Kabarnya diciptakan pada tahun 2001, sebagai campuran apatis dan teisme,
penulis Robert J. Nash.
Cara hidup
Bagi kelompok masyarakat yang masuk ke tingkat apatis, ada kemungkinan
mereka adalah kelompok borjuis, kelompok mapan dan pemilik modal (walaupun
tidak dipungkiri juga didominasi masyarakat kelas bawah dalam bidang tertentu).
Masyarakat pada kelompok ini memiliki dana yang banyak jumlahnya, sehingga
mampu membiayai segalanya dan membayar biaya apapun terhadap perubahan
yang terjadi. Sehingga masyarakat pada kelompok ini tidak merasakan
perubahan situasi, kondisi dan dampak yang timbul dari kejadian yang terjadi di
masyarakat luas. Karena tidak adanya penderitaan yang seolah dialami,
sehingga kepekaan tidak muncul dalam hati mereka yang kemudian
memunculkan sikap tidak peduli.
Orang di kota besar pada umumnya dapat mandiri tanpa harus bergantung pada
orang alian. Hal yang penting disini adalah manusia perseorangan atau individu.
Di desa orang lebih mementingkan kelompok atau keluarga. Di kota, kehidupan
keluraga sering sukar dipersatukan karena perbedaan kepentingan, paham
politik, agama, dan seterusnya. Masyarakat kota besar khususnya dan
masyarakat Indonesia secara umum, sudah terbentuk dari kehidupan modern
yang mementingkan karir. sehingga mereka hanya sibuk dengan urusan-urusan
privat mereka terkait dengan akumulasi kekayaan, maupun pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan dasar mereka. Hal ini memang tidak bisa disalahkan.
Dengan kondisi perekonomian sekarang ini, keselamatan diri dan keluarga dekat
memang dianggap sebagai prioritas utama.
AGNOSTISISME
Agnostisisme adalah suatu pandangan filosofis bahwa suatu nilai kebenaran dari
suatu klaim tertentu yang umumnya berkaitan dengan teologi, metafisika,
keberadaan Tuhan, dewa, dan lainnya yang tidak dapat diketahui dengan akal
pikiran manusia yang terbatas.
Agnostisisme berasal dari perkataan Yunani gnostein (tahu) dan a (tidak). Arti
harfiahnya “seseorang yang tidak mengetahui”.
Agnostisisme tidak menyangkal keberadaan Tuhan secara mutlak. Mereka
beranggapan bahwa keberadaan Tuhan adalah sesuatu yang tidak mungkin
dapat dinalar oleh akal manusia, dan konsekuensinya adalah keberadaan Tuhan
tidak dapat diketahui dengan cara apapun.
Seorang agnostik tidak menyatakan bahwa Tuhan itu ada, walaupun beberapa
dari mereka juga meyakini akan keberadaan Tuhan, pada akhirnya. Ia juga tidak
akan menyatakan bahwa Tuhan itu tidak ada, karena ia menyadari akan bukti-
bukti keberadaan Tuhan.
Bagi yang meyakini bahwa Tuhan itu ada, mereka akan menyangkal bahwa
Tuhan menurunkan syariat, ketentuan, hukum untuk manusia. Mereka menolak
keberadaan agama apapun yang dinisbatkan kepada Tuhan. Dalam kesimpulan
mereka, keberadaan Tuhan tidak berarti keberadaan agama. Bahwa Tuhan ada
tidak mengharuskan-Nya menurunkan nabi atau rasul untuk menjelaskan agama
untuk ummat manusia. Mereka menilai Tuhan menciptakan semesta alam
berikut manusia didalamnya, namun bukan Tuhan yang menetapkan fitrah dari
tiap-tiap mahluk-Nya.
PANTEISME
Panteisme berasal dari bahasa Yunani, kata ‘pan’ yang berarti semua dan ‘theos’
yang berarti Tuhan. Panteisme merupakan pandangan yang menganggap
bahwa Allah adalah segalanya; karena itu semua orang, dan segala sesuatu
adalah Allah.
Panteisme adalah pemikiran yang melatari banyak sekte dan agama sesat (misal
saja, Hinduisme dan Budhisme pada tahap tertentu, dan berbagai sekte yang
mengajarkan kesatuan dan persatuan, serta penyembah "alam semesta.")
Tokoh Utama Panteisme:
Brauch de Spinoza. Panteisme mulai terkenal sejak abad ke-17 ketika seorang
filsuf Belanda, Baruch de Spinoza menulis Ethics. Kemudian, konsep Tuhan
yang ditulis Spinoza ini menjelaskan bahwa satu-satunya yang layak disebut
Tuhan adalah alam semesta itu sendiri.
Konsep panteisme yang paling kuno terdapat dalam agama Hindu. Agama Hindu
hanya mengakui satu realitas yang tertinggi, yaitu Brahman. Brahman adalah
Tuhan yang tidak dapat dilihat dengan mata, diraba dengan tangan, didengar
dengan telinga, atau diucapkan dengan lidah. Selain De Spinoza, filsuf modern
yang memelopori panteisme adalah Victor Ferkiss dan Mary Long.
Mukjizat bagi panteisme mustahil terjadi karena semua adalah Tuhan dan Tuhan
adalah semua. Kalau mukjizat diartikan sebagai peristiwa yang menyalahi hukum
alam, maka hal itu tidak berlaku bagi panteisme sebab Tuhan identik dengan
alam.
NIHILISME
Humanisme
Humanisme adalah istilah umum untuk berbagai jalan pikiran yang
berbeda yang memfokuskan dirinya ke jalan keluar umum dalam masalah-
masalah atau isu-isu yang berhubungan dengan manusia. Humanisme telah
menjadi sejenis doktrin beretika yang cakupannya diperluas hingga mencapai
seluruh etnisitas manusia, berlawanan dengan sistem-sistem beretika tradisonal
yang hanya berlaku bagi kelompok-kelompok etnis tertentu. Humanisme modern
dibagi kepada dua aliran. Humanisme keagamaan/religi berakar dari tradisi
Renaisans-Pencerahan dan diikuti banyak seniman, umat Kristen garis tengah,
dan para cendekiawan dalam kesenian bebas.
Pandangan mereka biasanya terfokus pada martabat dan kebudiluhuran
dari keberhasilan serta kemungkinan yang dihasilkan umat manusia. Humanisme
sekular mencerminkan bangkitnya globalisme, teknologi, dan jatuhnya
kekuasaan agama. Humanisme sekular juga percaya pada martabat dan nilai
seseorang dan kemampuan untuk memperoleh kesadaran diri melalui logika.
Orang-orang yang masuk dalam kategori ini menganggap bahwa mereka
merupakan jawaban atas perlunya sebuah filsafat umum yang tidak dibatasi
perbedaan kebudayaan yang diakibatkan adat-istiadat dan agama.
Humanistik ditinjau dari segi historinya ialah berasal dari suatu gerakan
intelektual dan kesusastraan yang pertama kali muncul di Italia pada paruh
kedua abad ke-14 masehi. Pergerakan ini merupakan motor penggerak
kebudayaan modern, khususnya di Eropa. Sedangkan jika ditinjau dari segi
filsafat, humanistik adalah faham atau aliran yang menjunjung tinggi nilai dan
martabat manusia, sehingga manusia menduduki posisi yang sangat sentral dan
penting, baik dalam perenungan teoritis-filsafati maupun dalam praktis hidup
sehari-hari. Maka dalam faham filsafat ini mengatakan bahwa segala sesuatu
ukuran penilaian dan referensi akhir dari semua kejadian manusiawi
dikembalikan kepada manusia itu sendiri, bukan pada kekuatan-kekuatan diluar
manusia (misalnya, kekuatan Tuhan atau alam).
Humanisme sebagai suatu gerakan intelektual dan kesusastraan pada
prinsipnya merupakan aspek dasar dari gerakan Renaisanse (abad ke 14-16 M.)
tujuan gerakan humanisme adalah melepaskan diri dari belenggu kekuasaan
Gereja dan membebaskan akal budi dari kungkungannya yang mengikat. Maka
dalam batasan-batasan tertentu, segala bentuk kekuatan dari luar yang
membelenggu kebebasan manusia harus segera dipatahkan. Kebebasan
merupakan tema terpenting dari humanisme, tetapi bukan kebebasan yang
absolut, atau kebebasan yang hanya sebagai antitesis dari diterminisme abad
pertengahan yang dilakukan oleh orang-orang Gereja pada waktu itu, tapi bukan
berarti Humanisme pada waktu itu menentang tentang adanya kekuasaan
Tuhan. Namun, mereka percaya bahwa di balik kekuasaan Tuhan, masih banyak
peluang bagi manusia untuk menentukan jalan hidupnya, mengembangkan
potensi dan memilih masa depannya sendiri, tanpa terbelenggu oleh kodrat atau
ketakutan terhadap murka Tuhan.
Mereka berpedoman bahwa, kebebasan manusia itu ada, dan perlu
dipertahankan dan di expresikan. Di depan sudah dijelaskan bahwa manusia
adalah pusat dari Realitas, sehingga segala sesuatu yang terdapat di dalam
realitas harus dikembalikan lagi pada manusia. Dengan demikian, tidak
dibenarkan adanya penilaian atau interpretasi tentang kejadian atau
Jika humanisme diartikan seperti itu, maka aliran filsafat seperti marxisme,
pragmatisme, dan existensialisme dapat dikategorikan ke dalam humanisme.
faham marxisme pada dasarnya mendudukkan manusia (masyarakat / kaum
buruh) pada pusat kehidupan. Secara teoritis, paling tidak menjunjung tinggi
martabat dan kemanusiaan masyarakat buruh.
Pragmatismepun adalah humanisme, karena paham inipun menempatkan
manusia pada posisi yang sentral dalam realitas. Segala sesuatu yang ada pada
realitas selalu dihubungkan dengan kegunaannya bagi manusia dalam menuju
hidup yang lebih baik.
Existensialismepun juga termasuk humanisme. Menurut paham ini, tidak ada
dunia diluar dunia manusia, dan di dalam dunianya itu manusia berada dalam
posisi yang paling sentral.[1]
Paham humanisme dalam perkembangannya tidak lagi mengacu pada
gerakan pembebasan pada zaman Renaisance dan dari doktrin-doktrin yang
membelenggu manusia, melainkan berkembang dalam ilmu-ilmu pengetahuan.
Misalnya kita sering mendengar tentang ilmu-ilmu pengetahuan humanistik.
Tetapi apakah artinya itu? Wilhelm Dulthey (1833-1911) dalam gagasannya
tentang Geisteswissenchaften, yang akan kita jadikan ancang-ancang untuk
menjawab tentang pertanyaan di atas. Istilah Geisteswissenchaften bisa kita
terjemahkan sebagai “ilmu-ilmu tentang manusia”. Disiplin keilmuan yang
menurut Dilthey menggunakan metode ini adalah apa yang biasanya kita sebut
ilmu-ilmu sosial, misalnya ekonomi, psikologi, antropologi budaya, sosiologi, ilmu
hukum, ilmu politik. Pertanyaan berikutnya adalah di manakah letak
humanistiknya Geisteswissenchaften, atau dalam hal apakah
Geisteswissenchaften dikatakan sebagai humanistik?
Konsep Dilthey tentang manusia memang berbau humanisme. Menurut
dia, gejala manusia adalah unik dengan tidak berhingga, sehingga tidak dapat
disejajarkan begitu saja dengan gejala-gejala alam yang lain. Manusia adalah
subyek, bukan obyek. Jawaban tentang pertanyaan yang tepat untuk pertanyaan
di atas adalah dengan melihat ciri humanistik Geisteswissenchaften. Yakini,
tekanannya pada keunikan, subjektivitas, dan kerohanian manusia. Dalam
Geisteswissenchaften manusia ditinggikan nilai dan martabatnya. Namun ada
juga kalangan yang tidak setuju dengan teorinya Dilthey tentang
Geisteswissenchaften yang seolah-olah meniadakan Naturwissenchaften (alam
fisik yang natural).
Seperti halnya Sosiologi Humanistiknya Max Webber, tidak lalu
menghilangkan peran statistik. Demikian pula dengan Psikolog Humanistiknya
Abraham Maslow, yang tidak mengabaikan arti pentingnya Behaviorisme dan
Psikoanalisa. Satu hal yang tampaknya menjadi trade mark mereka adalah:
Manusia yang menjadi “obyek” telaah ilmu-ilmu mereka, diperlakukan secara
hormat sebagai “subyek”. Maka sah saja bagi kita untuk mendefinisikan ilmu-ilmu
humanistik sebagai ilmu-ilmu yang menempatkan manusia sebagai subyek,
sedemikian rupa sehingga manusia tetap dijunjung tinggi nilai dan
martabat kemanusiaannya.
NATURALISME
Naturalisme mempunyai pengertian, yaitu : dari segi
bahasa, Naturalisme berasal dari 2 kata, yakni Natural : alami dan Isme :
paham. Aliran filsafat naturalisme disebut sebagai Paham Alami maksudnya
adalah bahwa setiap manusia yang terlahir ke bumi ini pada dasarnya memiliki
kecenderungan atau pembawaan yang baik, dan tak ada seorangpun terlahir
dengan pembawaan yang buruk. Secara garis besar dapat diartikan bahwa
filsafat naturalisme merupakan hasil berlakunya hukum alam fisik dan terjadinya
menurut kodrat atau menurut wataknya sendiri.
Naturalisme merupakan teori yang menerima “nature” (alam) sebagai
keseluruhan realitas. Istilah “nature” telah dipakai dalam filsafat dengan
bermacam-macam arti, mulai dari dunia fisik yang dapat dilihat oleh manusia,
sampai kepada sistem total dari fenomena ruang dan waktu. Natura adalah
dunia yang diungkapkan kepada kita oleh sains alam. Istilah naturalisme adalah
kebalikan dari istilah supernaturalisme yang mengandung pandangan dualistik
terhadap alam dengan adanya kekuatan yang ada (wujud) di atas atau di luar
alam
Dimensi utama dan pertama dari pemikiran aliran filsafat naturalisme di bidang
pendidikan adalah pentingnya pendidikan itu sesuai dengan perkembangan
alam. Manusia diciptakan dan ditempatkan di atas semua makhluk, karena
kemampuannya dalam berfikir. Peserta didik harus dipersiapkan kepada dan
untuk Tuhan. Untuk itu pendidikan yang signifikan dengan pandangannya
adalah pendidikan ketuhanan, budi pekerti dan intelek. Pendidikan tidak hanya
sebatas untuk menjadikan seseorang mau belajar, melainkan juga untuk
menjadikan seseorang lebih arif dan bijaksana (Bertens. K. Filsuf-Filsuf Besar
Tentang Manusia. Kanisius, 1988).
Filsafat naturalisme dalam pendidikan mengajarkan bahwa guru paling alamiah
dari seorang anak adalah kedua orang tuanya. Oleh karena itu, pendidikan bagi
penganut paham naturalis perlu dimulai jauh hari sebelum proses pendidikan
dilaksanakan. Sekolah merupakan dasar utama dalam keberadaan aliran filsafat
naturalisme karena belajar merupakan sesuatu yang natural, oleh karena itu
fakta bahwa hal itu memerlukan pengajaran juga merupakan sesuatu yang
natural juga. Paham naturalisme memandang guru tidak mengajar subjek,
melainkan mengajar murid.
Terdapat lima tujuan pendidikan paham naturalisme yang sangat terkenal yang
diperkenalkan Herbert Spencer melalui esai-esainya yang terkenal berjudul “Ilmu
Pengetahuan Apa yang Paling Berharga?”.
Kelima tujuan itu antara lain sebagai berikut:
Gagasan positivisme logis dan pengaruhnya terhadap dunia ilmiah sangat luas
dan mendalam sampai tahun 1960-an. Ilmu pengetahuan bagi para pemikir
positivisme logis adalah kejelasan/kelugasan bahasa. Kejelasan bahasa ilmiah
dapat dicapai jika ilmu pengetahuan menggunakan metode empiris-
eksperimental dan bahasa faktual dan logis/matematis.
Positivisme logis berasal dari lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Dimana ia
berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains.
Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah
sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.
Istilah positivism logis muncul dari diskusi-diskusi sekelompok filsuf dan ilmuwan
radikal yang menamakan kelompoknya dengan Der wiener kreis atau Lingkaran
Wina. Buku Language, Truth and logic yang dikarang oleh Alfred Jules Ayer
seorang filsuf kelahiran London adalah salah satu yang menjadi dasar bagi
keyakinan positivistic lingkaran WinaAdapun tokoh-tokoh yang menganut paham
ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl
Popper, meski pun awalnya tergabung dalam kelompok lingkaran Wina adalah
salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini.
Beberapa arah pemikiran yang memberi pengaruh terhadap lahirnya
positivism logis:
1. Empirisme dan positivisme yang dikembangkan oleh J. Lock, August Comte,
dan lainya;
2. Metode ilmu-ilmu empiris yang dikembangkan oleh Helmholtz, Ernst Mach,
dan lainnya;
3. Perkembangan logika simbolik dan analisa bahasa yang dikembangkan oleh
Gottlob Frege.
Empirisme menjadi salah satu dasar positivism logis adalah bahwa observasi
dijadikan sebagai satu-satunya sumber yang terpercaya bagi ilmu pengetahuan.
Hanya ada satu bentuk pengetahuan, yaitu yang didasarkan kepada
pengalaman dan dapat ditemukan dalam bahasa logis dan matematis.
Salah satu teori Positivisme Logis yang paling populer, antara lain teori tentang
makna yang dapat dibuktikan, yang menyatakan bahwa sebuah pernyataan
dapat disebut sebagai bermakna jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi
secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah semua bentuk diskursus
yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika
dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke
dalam bidang metafisika.
Ada beberapa pokok pemikiran positivism logis, khususnya mengenai
bahasa ideal. Diantaranya sebagai berikut:
1. a) Filsafat merupakan analisis logis terhadap konsep dan pernyataan ilmu
pengetahuan.
2. b) Pemikiran seseorang dapat diuji melalui bahasa, selama pemikiran itu
diungkapakan memalui bahasa. Hanya bahasa yang sempurna, bersifat
universal dan logislah yang disebut sebagai bahasa ilmiah.
3. c) Bahasa sehari-hari menyesatkan, karena itu bahasa sehari-hari harus
direduksi (diterjemahkan) ke dalam bahasa atifisial atau bahasa ideal/formal.
4. d) Tugas utama filsafat adalah memeperbaiki bahasa dengan menjadikan
bentuk gramatika dan sintaksisnya sesuai dengan fungsi logika aktualnya.
5. e) Metafisika didasarkan pada kepercayaan entitas non empiris dan relasi
internal ditolak (tidak dapat diverifikasi). Realitas yang dapat diterima adalah
realitas dan relasi eksternal, dapat diobservasi dan/atau merupakan entitas
logis.
6. f) Definisi haruslah bersifat operasional.
EVOLUSIONISME
Paham yang menyatakan bahwa prinsip dasar proses alam adalah perubahan
dan perkembangan bentuk yang lebih rendah dan sederhana menuju bentuk
yang lebih tinggi dan mendekati kesempurnaan. Dalam pandangan ini, alam
semesta dan kehidupan manusia dalam segala perwujudan dan aspeknya
merupakan hasil perkembangan dan masih berkembang terus. Maka,
evolusionisme memasuki berbagai bidang ilmu dan filsafat, seperti biologi,
antropologi, psikologi, kosmologi, budaya, metafisika, etika, dan agama.
Evolusionisme mempunyai banyak bentuk, tergantung pada penerapan dan
pengandaian dasarnya. Maka ada berbagai evolusionisme, yaitu evolusionisme
mekanistik, naturalistik, vitalistik atau organismik, idealistik, pragmatik.
Evolusionisme juga bersifat ateistik, panteistik maupun teistik, tergantung pada .
penempatan Pencipta dalam proses evolusi yang bersangkuta
1. Kelebihan Hedonisme
Motivasi yang kuat dalam mencapai keinginannya.
Pantang menyerah dan bersikeras.
Menghargai waktu dan kesempatan, karena setiap waktu dan kesempatan
digunakan untuk mewujudkan yang mereka inginkan.
2. Kekurangan Hedonisme
Menghalalkan segala cara untuk mencapai keinginanny sehingga
cenderung menggunakan cara yang negatif (tidak baik).
Egosi dan tidak memiliki kepekaan sosial.
Mengganggu orang lain karena dalam mencapai keinginanya mereka
tidak peduli dengan orang di sekitarnya.
MATERIALISME
Filsafat Materialisme
Materialisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang pandangannya bertitik tolak
dari pada materi (benda). Materialisme memandang bahwa benda itu primer
sedangkan ide ditempatkan di sekundernya. Sebab materi ada terlebih dahulu
baru ada ide. Pandangan ini berdasakan atas kenyataan menurut proses waktu
dan zat.
Misal, menurut proses waktu, lama sebelum manusia yang mempunyai ide itu
ada didunia, alam raya ini sudah ada.
Menurut zat, manusia tidak bisa berfikir atau mempunyai ide bila tidak
mempunyai otak, otak itu adalah sebuah benda yang bisa dirasakan oleh panca
indera kita. Otak atau materi ini yang lebih dulu ada baharu muncul ide dari
padanya. Atau seperti kata Marx “Bukan fikiran yang menentukan pergaulan,
melainkan keadaan pergaulan yang menentukan fikiran.” Maksudnya sifat/fikiran
seorang individu itu ditentukan oleh keadaan masyarakat sekelilingnya,
“masyarakat sekelilingnya” –ini menjadi materi atau sebab yang mendorong
terciptanya fikiran dalam individu tersebut.
1. Materialisme Mekanik
2. Materialisme metafisik
Pandangan ini mengidamkan seorang manusia suci atau seorang resi suci yang
penuh cinta kasih. Feurbach berusaha memindahkan agama lama yang
menekankan hubungan manusia dengan Tuhan menjadi sebuah agama baru
yaitu hubungan cinta kelamin antara manusia dengan manusia. Seperti kata
Feurbach: “Tuhan adalah bayangan manusia dalam cermin”, Feurbach
menentang teologi, dalam filsafatnya atau “agama baru”-nya Feurbach
mengganti kedudukan Tuhan dengan manusia, pendeknya manusia itu Tuhan.
Feurbach tidak melihat peran aktif dari ide dalam perkembangan materi, yang
materi bagi Feurbach adalah misalnya, manusia (baca: materi, pen) sedangkan
dunia dimana manusia itu tinggal tidak ada baginya, atau menganggap sepi
ativitet yang dilakukan manusia/materi tersebut.
3. Materialisme dialektis
Materialisme dialektis adalah aliran filsafat yang bersandar pada matter (benda)
dan metodenya dialektis. Aliran ini mengajarkan bahwa materi itu mempunyai
keterhubungan satu dengan lainnya, saling mempengaruhi, dan saling
bergantung satu dengan lainnya. Gerak materi itu adalah gerakan yang dialektis
yaitu pergerakan atau perubahan menuju bentuk yang lebih tinggi atau lebih
maju seperti spiral. Tokoh-tokoh pencetus filsafat ini adalah Karl Marx (1818-
1883 M), Friedrich Engels (1820-1895 M).
Gerakan materi itu adalah gerak intern, yaitu bergerak atau berubah karena
dorongan dari faktor dalamnya (motive force-nya). Yang disebut “diam” itu hanya
tampaknya atau bentuknya, sebab hakikat dari gejala yang tampaknya atau
bentuknya “diam” itu isinya tetap gerak, jadi “diam” itu juga suatu bentuk gerak.
RELATIVISME
Secara etimologis, relativisme yang dalam bahasa Inggrisnya relativism,
relative berasal dari bahasa latin relativus (berhubungan dengan). Dalam
penerapan epistemologisnya, ajaran ini menyatakan bahwa semua kebenaran
adalah relatif. Penggagas utama paham ini adalah Protagoras, Pyrrho
Sedangkan secara terminologis, makna relativisme seperti yang tertera
dalam Ensiklopedi Britannica adalah doktrin bahwa ilmu pengetahuan,
kebenaran dan moralitas wujud dalam kaitannya dengan budaya, masyarakat
maupun konteks sejarah, dan semua hal tersebut tidak bersifat mutlak. Lebih
lanjut ensiklopedi ini menjelaskan bahwa dalam paham relativisme apa yang
dikatakan benar atau salah; baik atau buruk tidak bersifat mutlak, tapi senantiasa
berubah-ubah dan bersifat relatif tergantung pada individu, lingkungan maupun
kondisi social.
Aliran-Aliran Relativisme
1. Relativisme Etika
Relativisme etika merupakan paham atau aliran pemikiran filsafat yang
secara tegas menolak pendapat yang mengatakan bahwa norma etika berlaku
untuk semua orang di mana saja.
Pengertian lain, Shomali telah memberikan definisi yang cukup mudah
dipahami yaitu “Relativisme etika adalah pandangan bahwa tidak ada prinsip
etika yang benar secara universal; kebenaran semua prinsip etika bersifat relatif
terhadap budaya atau individu tertentu”. Sebagai contoh, membunuh itu bisa
benar dan juga bisa salah tergantung apa tujuan orang melakukan
pembunuhan. Orang Callatia memakan ayah mereka yang telah mati sebagai
penghormatan dan kebanyakan dari tanggapan kita terhadap hal itu adalah tidak
beretika. Tetapi bagi orang Callatia membakar atau mengubur orang mati adalah
perbuatan menakutkan dan menjijikkan atau tidak beretika.
Kesimpulan dari paham ini adalah, tindakan yang dianggap tidak beretika
di satu tempat, tidak bisa ditetapkan sebagai etika di tempat lain. Karena beda
suku, budaya dan bahasa, maka beda pula standarisasi etikanya. Maka
kebenaran atas etika suatu kaum adalah relatif.
2. Relativisme Budaya
Relativisme budaya berbeda dengan relativisme etika. Relativisme etika
berbicara tentang pengabaian prinsip dan tidak adanya rasa tangggung jawab
dalam pengalaman hidup seseorang. Sebaliknya, relativisme budaya berbicara
mengenai pegangan yang teguh pada prinsip, pengembangan prinsip tersebut,
dan tanggung jawab penuh dalam kehidupan dan pengalaman seseorang.
Jika perkembangan budaya antara satu wilayah budaya dengan wilayah
budaya lainnya berbeda, maka standar kebenaran dan kebaikan yang ada tiap
kelompok budaya akan berbeda satu dengan yang lainnya. Dari sinilah terbentuk
nilai-nilai budaya yang sifatnya relatif. Meskipun demikian, adanya relativitas
budaya secara konseptual dan sistematis dipopulerkan oleh Frans Boaz,
seorang antropolog budaya berkebangsaan Amerika.
Relativisme budaya memandang bahwa tidak ada budaya yang lebih baik
dari budaya lainya. Karenanya tidak ada kebenaran atau kesalahan yang bersifat
internasional. Ia menolak pandangan bahwa terdapat kebenaran yang bersifat
universal dari budaya-budaya tertentu. Relativitas budaya adalah suatu prinsip
bahwa kepercayaan dan aktivitas individu harus difahami berdasarkan
kebudayaannya. Prinsip ini didasarkan pada hasil penelitian Frans Boaz dalam
dekade awal abad ke 20 dan kemudian dipopulerkan oleh murid-muridnya. Boaz
sendiri tidak menggunakan istilah itu, tetapi istilah tersebut menjadi umum antar
ahli antropologi setelah kematian Boas tahun 1942. Istilah tersebut pertama kali
digunakan dalam jurnal Antropologi Amerika tahun 1948; yang isinya
merepresentasikan bagaimana murid-murid Boas meringkas dari berbagai
prinsip pemikiran Boas.
Sisi positif dari paham relativisme budaya ini adalah dapat menyesuaikan
dirinya dengan budaya sekitarnya, dan tidak pernah menganggap bahwa
budayanya adalah budaya yang terbaik. Sedangkan dampak negatifnya bisa
dirasakan oleh suatu negara, misalkan, jika Indonesia sudah memiliki paham
relativisme yang sangat kuat, namun ada imigran yang baru datang, maka
secara otomatis pemerintah sangat sulit untuk memberi pengarahan kepada
imigran tersebut.
3. Relativisme Agama
Lain halnya dengan relativisme etika dan budaya, inilah ujung dari paham
relativisme yang sangat mengkhawatirkan, yaitu relativisme agama. Paham ini
mengajarkan ketidakyakinan atau keraguan umat beragama terhadap kebenaran
agamanya sendiri. Inilah akar dari pemikiran Pluralisme Agama yang mengakui
kebenaran relatif dari semua agama.
Doktrin ini mengajarkan bahwa agama tidak lagi berhak mengklaim
mempunyai kebenaran absolut, ia dipahami sama dengan persepsi manusia
sendiri yang relatif itu. Manusia dikatakan tidak dapat mengetahui kebenaran
absolut. Pemilik kebenaran hakiki hanya Tuhan. Implikasinya, penganut paham
ini membedakan agama dari pemikiran keberagamaan. Frameworknya masih
berkutat dikotomi absolut relatif. Agama itu absolut dan pemikiran keagamaan itu
relatif. Akibat dari doktrin ini, tafsir yang merupakan pemahaman para ulama itu
menjadi relatif, demikian pula pemahaman hukum para ulama juga relatif.
Karena sifatnya relatif dan tidak absolut maka ilmu para ulama tidak dapat
dijadikan rujukan, sehingga para ulama itu dianggap tidak memiliki otoritas dan
tidak boleh memberi fatwa. Maka dari itu tidak heran jika para pelajar Muslim
penganut paham liberalisme dan relativisme itu sangat anti kepada fatwa Majelis
Ulama atau sejenisnya.