Anda di halaman 1dari 355

Dasar-Dasar Perpajakan

UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta

Fungsi dan Sifat hak Cipta Pasal 2


1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang Hak
Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang
timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa
mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Hak Terkait Pasal 49


1. Pelaku memiliki hak eksklusif untuk memberikan izin atau melarang
pihak lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak, atau
menyiarkan rekaman suara dan/atau gambar pertunjukannya.

Sanksi Pelanggaran Pasal 72


1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah),
atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,
atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran
Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

ii
Dasar-Dasar Perpajakan

Juli Ratnawati
Retno Indah Hernawati

iii
Jl.Rajawali, G. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman
Jl.Kaliurang Km.9,3 – Yogyakarta 55581
Telp/Faks: (0274) 4533427
Website: www.deepublish.co.id
www.penerbitdeepublish.com
E-mail: deepublish@ymail.com

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

RATNAWATI, Juli
Dasar-Dasar Perpajakan /oleh Juli Ratnawati dan Retno Indah
Hernawati.--Ed.1, Cet. 1--Yogyakarta: Deepublish, Desember 2015.
xii, 343 hlm.; Uk:17.5x25 cm

ISBN 978-602-401-060-7

1. Perpajakan I. Judul
336.2

Desain cover : Unggul Pebri Hastanto


Penata letak : Dyah Wuri Handayani

PENERBIT DEEPUBLISH
(Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA)
Anggota IKAPI (076/DIY/2012)
Copyright © 2015 by Deepublish Publisher
All Right Reserved
Isi diluar tanggung jawab percetakan
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.

iv
Prakata

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Puji Syukur kami ucapkan kepada Allah SWT. atas berkat rahmat-Nya tim
penulis mampu menyelesaikan buku ”Dasar-Dasar Perpajakan” ini. Buku ini kami
hadirkan untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang perpajakan
secara umum. Pajak merupakan partisipasi kita sebagai warga negara secara
finansial, oleh karena itu peran serta kita sebagai warga negara sangat diperlukan
agar seluruh pembiayaan APBN dapat dibiayai dari Pendapatan Pajak.
Pemerintah yang berkepentingan langsung dalam penerimaan pajak terus
berupaya untuk mengoptimalkan dan memberdayakan pendapatan pajak. Dalam
upayanya untuk meningkatkan pendapatan pajak, perlu disosialisasikan
pemahaman akan arti pentingnya pajak bagi seluruh warga negara. Sehingga
dalam proses sosialisasi tersebut dibutuhkan media salah satunya berupa buku
perpajakan. Buku “Dasar-Dasar Perpajakan” ini memuat konsep dasar perpajakan
beserta implikasinya. Isi yang terkandung dalam buku ini telah disesuaikan dengan
peraturan perpajakan terbaru. Setelah membaca buku ini, para pembaca
diharapkan memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam mensosialisasikan hak
dan kewajiban perpajakan kepada masyarakat sekitar.
Pada kesempatan ini tim penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh
pihak yang telah banyak membantu tersusunnya buku ini. Ucapan terima kasih
terutama kepada Ristek Dikti karena mendanai buku ini melalui dana insentif
hibah buku ajar Dikti tahun 2015. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada
suami dan anak-anak tercinta atas dukungannya sehingga buku ini dapat
terselesaikan.
Buku ini masih jauh dari sempurna. Sehingga kritik dan saran yang
membangun dari pembaca kami perlukan demi menyempurnakan buku ini.
Semoga buku ini dapat bermanfaat dan membawa berkah bagi yang membacanya.
Amin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Semarang, Januari 2015


Tim Penulis

Juli Ratnawati
Retno Indah Hernawati

v
vi
Daftar Isi

Prakata............................................................................................................. v
Daftar Isi ........................................................................................................ vii
BAB I Dasar-Dasar Perpajakan ............................................................ 1
Definisi Pajak ............................................................................... 1
Pungutan Lain Selain Pajak.......................................................... 2
Fungsi Pajak ................................................................................ 2
Teori Pemungutan Pajak .............................................................. 3
Kedudukan Hukum Pajak ............................................................. 4
Jenis Pajak .................................................................................. 4
Tata Cara Pemungutan Pajak....................................................... 6
Timbulnya Hutang Pajak .............................................................. 9
Berakhirnya Hutang Pajak .......................................................... 10
Hambatan Pemungutan Pajak .................................................... 11
Tarif Pajak ................................................................................. 11
BAB II Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan........................... 14
Dasar Hukum............................................................................. 14
Pengertian Umum ...................................................................... 14
Tahun Pajak .............................................................................. 16
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) ............................................ 17
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak .......................................... 20
Surat Pemberitahuan (SPT) ....................................................... 22
Surat Setoran Pajak (SSP) dan Pembayaran Pajak..................... 28
Surat Ketetapan Pajak (SKP) ..................................................... 31
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) ........................... 31
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
(SKPKBT) .................................................................................. 32
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) .............................. 33
Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) ........................................... 33
Surat Tagihan Pajak (STP) ......................................................... 34

vii
Pembetulan, Pengurangan, Penghapusan, atau
Pembatalan ............................................................................... 35
Daluwarsa Penagihan Pajak ...................................................... 36
Pemeriksaan ............................................................................. 36
Penyidikan ................................................................................ 38
Surat Paksa .............................................................................. 39
Keberatan ................................................................................. 39
Banding .................................................................................... 41
Peninjauan Kembali................................................................... 41
Kewajiban dan Hak Wajib Pajak................................................. 42
Kewajiban Pembukuan atau Pencatatan .................................... 43
Sanksi Administrasi ................................................................... 44
Sanksi Pidana ........................................................................... 45
BAB III Pajak Penghasilan (Umum) ..................................................... 95
Definisi ...................................................................................... 95
Dasar Hukum ............................................................................ 95
Subjek Pajak dan Wajib Pajak (Pasal 2 – 3 UU PPh) .................. 95
Menentukan Objek Pajak Penghasilan ....................................... 97
Tarif Pajak................................................................................111
Penghasilan Kena Pajak dan PPh yang Terutang ......................113
Pelunasan Pajak dalam Tahun Berjalan ....................................116
BAB IV Pajak Penghasilan Pasal 21 ...................................................117
Pengertian ...............................................................................117
Hak dan Kewajiban Pemotong Pajak.........................................120
Subjek Pajak Penghasilan Pasal 21 ..........................................121
Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan Pasal 21 .................122
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak................................................122
Objek Pajak Penghasilan Pasal 21............................................123
Tidak Termasuk Objek Pajak Penghasilan Pasal 21 ..................124
Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 ...............................124
Tata Cara Perhitungan Pemotong PPh Pasal 21 .......................126
Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah .................171
BAB V Pajak Penghasilan Pasal 22 ...................................................188
Pengertian ...............................................................................188
Dasar Pemungutan...................................................................188

viii
Pemungut Pajak ...................................................................... 188
Objek Pemungutan PPh Pasal 22............................................. 189
Kegiatan yang Tidak Dikenakan PPh Pasal 22 .......................... 190
Saat Terutang PPh Pasal 22 .................................................... 193
Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran PPh Pasal 22 ............. 193
Sifat Pemungutan .................................................................... 194
Dasar Pengenaan Pajak dan Tarif PPh Pasal 22....................... 195
Skema Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak dan
Perhitungan PPh Pasal 22 ....................................................... 196
BAB VI Pajak Penghasilan Pasal 23 ................................................... 200
Pengertian ............................................................................... 200
Pemotong Pajak ...................................................................... 200
Tarif Pajak dan Objek Pajak ..................................................... 202
Objek Pemotongan PPh Pasal 23 yang Dikenakan Tarif
15% dari Jumlah Bruto ............................................................. 202
Jenis-Jenis Penghasilan Objek Pemotongan PPh Pasal
23 yang Dikenakan Tarif PPh Pasal 23 sebesar 2% dari
Jumlah Bruto ........................................................................... 205
Tarif untuk Wajib Pajak Non-NPWP .......................................... 207
Bukan Objek Pemotongan PPh Pasal 23 .................................. 207
Saat Terutang, Penyetoran, dan Pelaporan .............................. 208
BAB VII Pajak Penghasilan Pasal 24 ................................................... 217
Pengertian ............................................................................... 217
Permohonan Kredit Pajak Luar Negeri ...................................... 218
Penggabungan Penghasilan..................................................... 218
Cara Menentukan Sumber Penghasilan .................................... 219
Tata Cara Penghitungan Kredit Pajak Luar Negeri .................... 220
Cara Menghitung Kredit Pajak Luar Negeri Wajib Pajak
Badan...................................................................................... 220
Cara Menghitung Kredit Pajak Luar Negeri Wajib Orang
Pribadi ..................................................................................... 220
Apabila Terjadi Kerugian di Dalam Negeri ................................. 221
Apabila Terjadi Kerugian di Luar Negeri .................................... 222
Penghasilan Luar Negeri Bersumber dari Beberapa
Negara .................................................................................... 222
Penghasilan yang Dikenakan Pajak yang Bersifat Final............. 223
Perubahan Jumlah Penghasilan dari Luar Negeri ...................... 224

ix
BAB VIII Pajak Penghasilan Pasal 25 ...................................................226
Pengertian ...............................................................................226
Perhtungan Angsuran Bulanan .................................................226
Angsuran PPh untuk Bulan-Bulan sebelum Batas Waktu
Penyampaian SPT Tahunan PPh ..............................................228
Angsuran PPh Pasal 25 Jika dalam Tahun Berjalan
Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk Tahun Pajak
yang Lalu .................................................................................229
Angsuran PPh Pasal 25 dalam Hal-Hal Tertentu........................230
Wajib Pajak Berhak atas Kompensasi Kerugian ........................231
Apabila Wajib Pajak Memperoleh Penghasilan Tidak
Teratur .....................................................................................232
SPT Tahunan PPh Tahun yang Lalu Disampaikan
setelah Lewat Batas Waktu yang Ditentukan .............................233
Wajib Pajak Diberikan Perpanjangan Jangka Waktu
Penyampaian SPT Tahunan PPh ..............................................235
Jika Wajib Pajak Membetulkan Sendiri SPT Tahunan
PPh yang Mengakibatkan Angsuran Bulanan Lebih
Besar daripada Angsuran Bulanan Sebelum Pembetulan ..........237
Adanya Perubahan Usaha atau Kegiatan Wajib Pajak ...............238
Cara Menghitung PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak Orang
Pribadi Pengusaha Tertentu .....................................................243
Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 25 ..................................243
PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang
Bepergian ke Luar Negeri .........................................................243
BAB IX Pajak Penghasilan Pasal 26 ...................................................245
Pengertian ...............................................................................245
Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 .....................................245
Objek Pajak Penghasilan Pasal 26............................................245
Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 26...........245
BAB X Pajak Penghasilan Bersifat Final (PPh Pasal 4 Ayat
2) .............................................................................................250
Pengertian ...............................................................................250
Jenis Penghasilan yang Dipotong PPh Final dan
Pelaksanaanya.........................................................................250
Bunga Obligasi dan Surat Utang Negara ...................................251
Bunga Simpanan yang Dibayarkan Koperasi kepada
Anggota Koperasi Wajib Orang Pribadi .....................................253

x
Hadiah Undian ......................................................................... 254
Transaksi Saham dan Sekuritas Lainnya .................................. 254
Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan....................... 256
Usaha Jasa Konstruksi............................................................. 258
Persewaan Tanah dan/atau Bangunan ..................................... 260
Wajib Pajak yang Memilik Peredaran Bruto Tertentu ................. 261
BAB XI Rekonsiliasi Fisikal ................................................................ 269
Pengertian Pajak penghasilan (PPh) Badan .............................. 269
Pembukuan sebagai Dasar Penghitungan Pajak ....................... 269
Klasifikasi Penghasilan dan Biaya ............................................ 269
Penghasilan Badan Usaha (Pasal 44 UU PPh) ......................... 270
Penghasilan Kena Pajak secara Final ....................................... 270
Penghasilan bukan Objek Pajak ............................................... 270
Pengeluaran yang Dapat Dibebankan sebagai Biaya ................ 271
Pengeluaran yang Tidak Diperkenankan Mengurangi
Penghasilan Bruto.................................................................... 271
Penghitungan Laba Fiskal ........................................................ 272
BAB XII Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah ....................................................................... 279
Pengertian ............................................................................... 279
Dasar Hukum........................................................................... 279
Istilah dan Pengertian .............................................................. 279
Siapa yang Dikenakan PPN/Subjek PPN .................................. 282
Apa yang Dikenakan PPN/Objek PPN ...................................... 282
Penyerahan Terutang PPN dan Tidak Terutang PPN ................ 284
Perhitungan PPN ..................................................................... 287
Penentuan Besarnya PPN........................................................ 289
Cara Menghitung PPN/Mekanisme PPN ................................... 289
PPN dan PPnBM atas Penyerahan kepada Pemungut
Pajak ....................................................................................... 291
PPN Pemakaian Sendiri/Pemberian Cuma-Cuma ..................... 292
PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri ................................... 292
Faktur Pajak ............................................................................ 294
Tata Cara Pengisian Keterangan pada Faktur Pajak ................. 295
Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak........................................... 297
Tata Cara Penggantian Faktur Pajak yang Hilang ..................... 299

xi
Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak..........................................300
Nota Retur ...............................................................................301
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) .........................303
PPN dan PPnBM untuk Kendaraan Bermotor ............................321
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
(SPT Masa PPN) ......................................................................323
Tata Cara Penyetoran PPN atau PPnBM, Pelaporan dan
Penyampaian SPT Masa PPN 1111 ..........................................323
Daftar Pustaka .............................................................................................336
Indeks...........................................................................................................339
Glossarium...................................................................................................340
Profil Penulis................................................................................................343

xii
BAB I
Dasar-Dasar Perpajakan

Definisi Pajak

Pajak didefinisikan oleh para ahli pajak sebagai berikut:


Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H (dalam Mardiasmo, 2011):
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang
(yang sifatnya dapat dipaksakan) serta tidak mendapat jasa timbal yang
langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar
pengeluaran umum”.
Menurut Dr. N. J. Feldman (dalam Halim dkk, 2014):
“Pajak sebagai prestasi yang dipaksakan secara sepihak dan terhutang
kepada penguasa berdasarkan norma-norma yang ditetapkan secara umum,
tanpa adanya kontrapretasi (timbal-balik), dan semata-mata hanya digunakan
untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum”.
Menurut Prof. Dr. P. J. A. Andriani (dalam Halim dkk, 2014):
“Pajak sebagai iuran masyarakat pada negara (yang sifatnya dapat
dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-
peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali
yang dapat ditunjukan secara langsung dan yang digunakan untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas-
tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”.
Menurut S. I. Djajadiningrat (dalam Resmi, 2014):
“Pajak sebagai suatu kewajiban untuk menyerahkan sebagian dari kekayaan
kepada kas negara karena suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang
memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut
peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi
tidak ada jasa timbal balik yang diberikan oleh negara secara langsung, untuk
memelihara negara secara umum”.
Menurut UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan:
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terhutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Dasar-Dasar Perpajakan - 1
Ciri-Ciri yang Melekat pada Definisi Pajak
Berdasarkan beberapa definisi dan pengertian pajak yang telah diuraikan diatas,
dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa:
1. Pajak dipungut berdasarkan pada kekuatan undang-undang dan aturan
pelaksanaan yang telah diatur.
2. Dalam hal membayar pajak, tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi
individual oleh pemerintah.
3. Pajak dipungut oleh negara, baik itu oleh pemerintah daerah maupun oleh
pemerintah pusat.
4. Penggunaan pungutan pajak adalah untuk pengeluaran-pengeluaran umum
pemerintah. Dan bila masih terdapat surplus, maka akan digunakan untuk
public investment.

Pungutan Lain Selain Pajak

Selain pajak, terdapat beberapa pungutan lain yang mirip dengan pajak, tapi
memiliki perlakuan dan sifat yang berbeda dengan pajak yang dipungut oleh
negara terhadap rakyatnya. Pungutan-pungutan yang serupa dengan pajak
tersebut, diantaranya:
1. Bea materai, adalah pungutan yang dikenakan terhadap dokumen, dengan
cara menggunakan materai ataupun benda lain.
2. Bea masuk dan bea keluar. Bea masuk adalah pungutan terhadap barang-
barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean berdasarkan harga/nilai
barang tersebut atau berdasarkan tarif yang telah ditentukan bagi tiap-tiap
golongan barang. Sedangkan bea keluar adalah pungutan terhadap barang-
barang yang dikeluarkan dari daerah pabean berdasarkan tarif yang telah
ditentukan.
3. Cukai, adalah pungutan yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu
yang sudah ditetapkan untuk tiap-tiap jenis barang tertentu. Contoh: bensin,
gula, tembakau, minuman keras, dan lain-lain.
4. Retribusi, adalah pungutan yang dikenakan terhadap jasa atau fasilitas yang
diberikan oleh pemerintah secara langsung kepada pembayar. Contoh:
pasar, parkir, jalan tol, dan lain-lain.
5. Iuran, adalah pungutan yang dikenakan sehubungan dengan suatu jasa atau
fasilitas yang diberikan oleh pemerintah secara langsung dan dibayar hanya
oleh golongan tertentu saja. Contoh: iuran wajib pemeliharaan jalan, hanya
dikenakan pada pemilik kendaraan bermotor saja.
6. Pungutan-pungutan lain yang sah dan legal dan merupakan sumbangan
wajib.

Fungsi Pajak

Ada dua fungsi utama pajak, yaitu:


1. Fungsi budgetair
Pungutan pajak memberikan sumbangan terbesar pada kas Negara, yaitu
kurang lebih 60%-70% pungutan pajak memenuhi postur APBN. Maka dari

2 - Dasar-Dasar Perpajakan
itu, pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk
membiayai pengeluaran umum rutin maupun pengeluaran pembangunan.
Contoh: penerimaan pajak sebagai salah satu sumber penerimaan APBN.
2. Fungsi mengatur (Regulerend)
Pungutan pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur masyarakat atau
untuk melaksanakan kebijakan pemerintah di bidang sosial dan ekonomi.
Contoh:
a. Pemberian insentif pajak (tax holiday) untuk mendorong peningkatan
investasi dalam negeri.
b. Pungutan pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk
mengurangi konsumsi minuman keras di dalam negeri.
c. Terdapat pengenaan tarif pajak nol persen terhadap ekspor untuk
mendorong peningkatan ekspor produk dalam negeri.

Teori Pemungutan Pajak

Dalam hal hak pemungutan pajak, ada dasar-dasar teori yang menjelaskan
tentang justifikasi pemberian hak kepada Negara untuk memungut pajak dari
rakyat. Teori-teori tersebut diantaranya:
1. Teori asuransi
Keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyat dilindungi oleh Negara.
Maka dari itu, rakyat diwajibkan untuk membayar pajak yang diasumsikan
sebagai premi asuransi, karena adanya jaminan perlindungan.
2. Teori kepentingan
Beban pajak yang harus dibayar oleh rakyat, dibagi berdasarkan besarnya
kepentingan rakyat terhadap Negara. Semakin besar kepentingan seseorang
terhadap Negara, maka semakin besar pula pajak yang harus dibayar.
3. Teori daya pikul
Beban pajak yang diberikan pada tiap-tiap orang harus sesuai dengan daya
pikul masing-masing orang. Dalam hal mengukur daya pikul perorangan,
dapat digunakan 2 macam pendekatan, yaitu:
 Unsur objektif, yaitu pendekatan dengan cara melihat besarnya
penghasilan atau kekayaan yang dimiliki oleh seseorang.
 Unsur subjektif, yaitu pendekatan dengan cara memperhatikan
besarnya kebutuhan materiil yang harus dipenuhi.
Contoh:
Tuan Amir Tuan Budi
Penghasilan/bulan Rp. 3 juta Rp. 3 juta
Status Menikah dengan 3 anak Bujangan

Secara objektif, PPh (Pajak Penghasilan) yang harus dibayarkan oleh Tuan
Amir sama besarnya dengan PPh yang harus dibayarkan oleh Tuan Budi, karena
penghasilan mereka besarnya sama.
Sedangkan secara subjektif, PPh yang harus dibayarkan oleh Tuan Amir
lebih kecil daripada PPh yang harus dibayarkan oleh Tuan Budi, karena kebutuhan
materiil yang harus dibayarkan oleh Tuan Amir lebih besar daripada keperluan
materiil Tuan Budi.

Dasar-Dasar Perpajakan - 3
Kedudukan Hukum Pajak

Kedudukan hukum pajak dengan hukum lainnya dapat digambarkan sebagai


berikut:

Hukum Perdata
- Hukum Perorangan
- Hukum Keluarga
- Hukum Warisan
- Hukum Harta Kekayan
HUKUM

Hukum Publik
- Hukum Tata Negara
- Hukum Admintrasi
- Hukum Pajak
- Hukum Pidana

Gambar menunjukan hukum dibagi menjadi dua yaitu hukum perdata dan
hukum publik. Hukum perdata dibagi menjadi hukum perorangan, hukum keluarga
dan hukum warisan dan hukum harta kekayaan. Sedangkan hukum publik adalah
hukum yang mengatur antara hubungan pemerintah dan warga negaranya terdiri
dari hukum tata negara, hukum administrasi, hukum pajak dan hukum pidana. Jadi
hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur antara negara
sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak. Dalam hukum pajak
diatur mengenai siapa yang menjadi wajib pajak, kewajiban wajib pajak, hak
pemerintah, apa saja yang menjadi objek pajak, timbul dan dihapuskannya hutang
pajak, cara penagihan hutang pajak, cara mengajukan keberatan dan lain-lainnya.

Jenis Pajak

Jenis-jenis pajak dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu berdasarkan


golongan, berdasarkan sifat, dan berdasarkan lembaga pemungutnya.
1. Berdasarkan Golongan
Berdasarkan golongannya, pajak dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a. Pajak Langsung, adalah pajak yang harus ditanggung sendiri oleh Wajib
Pajak dan tidak dapat dialihkan atau dibebankan ke orang lain maupun
pihak lain. Pajak tersebut harus menjadi tanggungan Wajib Pajak yang
bersangkutan.
Contoh: PPh (Pajak Penghasilan) dibayar oleh pihak-pihak yang
memperoleh penghasilan tersebut.
b. Pajak Tidak Langsung, adalah pajak yang dapat dialihkan atau
dibebankan kepada orang lain atau pihak lain. Pajak tidak langsung bisa
terjadi jika terdapat suatu kegiatan, peristiwa, atau perbuatan yang
menyebabkan pajak terhutang, misalnya ketika terjadi penyerahan
barang dan jasa.
Contoh: PPN (Pajak Pertambahan Nilai) adalah pajak yang terjadi
karena adanya pertambahan nilai terhadap barang dan jasa. Jenis pajak

4 - Dasar-Dasar Perpajakan
ini dibayarkan oleh produsen maupun pihak yang menjual barang, akan
tetapi pajak tersebut dibebankan kepada konsumen, baik secara
eksplisit maupun implisit (dimasukkan dalam harga jual).
Untuk menentukan apakah suatu pajak termasuk sebagai pajak
langsung dan pajak tidak langsung, dapat dilakukan dengan cara melihat
unsur-unsur yang terdapat dalam kewajiban pemenuhan perpajakan. Unsur-
unsur tersebut adalah:
1) Penanggung jawab pajak, yaitu orang yang diharuskan melunasi pajak
secara formal yuridis.
2) Penanggung pajak, yaitu orang yang pada kenyataannya menanggung
beban pajak terlebih dahulu.
3) Pemikul pajak, yaitu orang yang harus dibebani pajak secara undang-
undang.
Jika ketiga unsur tersebut terdapat pada seseorang, maka pajak yang
ditanggungnya merupakan pajak langsung. Tapi jika ketiga unsur tersebut
terpisah atau terdapat pada lebih dari satu orang/satu pihak, maka pajak
yang ditanggungnya merupakan pajak tidak langsung.

2. Berdasarkan Sifat
Berdasarkan sifatnya, pajak dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a. Pajak Subjektif, adalah pajak yang dalam pengenaannya
memperhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak. Pajak subjektif adalah
pajak yang memperhatikan keadaan subjeknya.
Contoh: PPh (Pajak Penghasilan). Dalam hal PPh, terdapat Subjek
Pajak (Wajib Pajak) yang berupa perorangan. Pembebanan PPh
kepada orang tersebut dilakukan dengan melihat keadaan pribadi Wajib
Pajak (status perkawinan, jumlah anak, dan tanggungan-tanggungan
lain). Keadaan pribadi Wajib Pajak tersebut digunakan untuk
menentukan seberapa besar penghasilan yang tidak kena pajak.
b. Pajak Objektif, adalah pajak yang dalam pengenaannya memperhatikan
objek yang berupa benda, keadaan, perbuatan, dan atau peristiwa yang
menyebabkan munculnya kewajiban untuk membayar pajak, tanpa
memperhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak.
Contoh: PPN (Pajak Pertambahan Nilai), PPnBM (Pajak Penjualan atas
Barang Mewah), dan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan).

3. Berdasarkan Lembaga Pemungutnya


a. Pajak Negara, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat. Hasil
pemungutan pajak tersebut digunakan untuk membiayai keperluan
umum rumah tangga Negara.
Contoh: PPh, PPN, dan PPnBM.
b. Pajak Daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah, baik
itu pemerintah daerah tingkat I (pajak provinsi), maupun pemerintah
daerah tingkat II (pajak kabupaten/kota). Hasil pemungutan pajak
tersebut digunakan untuk membiayai keperluan umum daerah masing-
masing.

Dasar-Dasar Perpajakan - 5
Contoh: Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan,
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Hiburan, Pajak Reklame,
Pajak Rokok, Pajak Air Permukaan, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak
Penerangan Jalan, Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan
Perkotaan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Sarang
Burung Walet, Pajak Air Tanah, Pajak Parkir, Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan.
Pajak Provinsi meliputi Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di
atas Air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas
Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, serta Pajak Pengambilan
dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
Pajak Kabupaten/Kota meliputi pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak
Reklame, Pajak Hiburan, Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan
C, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Parkir, Pajak Bumi dan Bangunan
Pedesaan dan Perkotaan, dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan.

Tata Cara Pemungutan Pajak

Tata cara pemungutan pajak terdiri dari:


1. Stelsel pajak
Dalam hal pemungutan pajak, dapat dilakukan dalam tiga stelsel:
a. Stelsel Nyata (Riil)
Stelsel ini menyatakan bahwa pengenaan beban pajak didasarkan
pada objek yang sesungguhnya terjadi (untuk PPh, objeknya adalah
penghasilan). Maka dari itu, pemungutan pajak baru akan dapat
dilakukan pada akhir tahun pajak, yaitu ketika semua penghasilan
dalam satu tahun pajak yang sesungguhnya telah diketahui.
Keunggulan dari penggunaan stelsel nyata adalah lebih akurat dan
realistis, karena penghitungan pajak didasarkan pada penghasilan yang
sesungguhnya.
Kekurangan dari penggunaan stelsel nyata adalah lambat, karena
besar pajak yang harus dibayarkan beru dapat diketahui pada akhir
periode. Dan hal ini memberikan dampak antara lain:
1) Wajib Pajak akan dibebani dengan jumlah beban pajak yang besar
pada setiap akhir tahun, padahal pada waktu tersebut, uang kas
yang tersedia belum tentu memadai untuk membayar pajak.
2) Jika semua Wajib Pajak membayar pajak pada akhir tahun, maka
jumlah uang yang beredar secara makro akan terpengaruh.
b. Stelsel Fiktif
Stelsel ini menyatakan bahwa pengenaan beban pajak didasarkan
pada anggapan yang diatur dalam undang-undang. Salah satu
contohnya adalah, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan
penghasilan pada tahun sebelumnya, sehingga pajak yang terhutang
pada suatu tahun pun dianggap sama dengan pajak terhutang di tahun
sebelumnya. Jika menggunakan stelsel ini, berarti besarnya beban

6 - Dasar-Dasar Perpajakan
pajak yang terhutang pada tahun berjalan sudah dapat diprediksi dan
ditetapkan pada awal tahun yang bersangkutan.
Contoh:
Penghasilan pada tahun 2014 adalah sebesar Rp100.000.000,- dengan
anggapan bahwa penghasilan pada tahun 2015 adalah sama dengan
penghasilan pada tahun 2014, maka PPh tahun 2015 sudah dapat
dihitung pada awal tahun 2015. Misalnya, tarif pajak yang berlaku
adalah 10%, berarti besar PPh yang terhutang pada tahun 2015 adalah
Rp 10.000.000,- yang pembayarannya dapat diangsur pada saat-saat
tertentu dalam tahun tersebut.
Keunggulan penggunaan stelsel fiktif adalah beban pajak
terhutang dapat dibayar selama tahun berjalan tanpa harus menunggu
sampai akhir tahun. Beban pajak dapat dibayar pada saat Wajib Pajak
memiliki penghasilan tinggi atau mungkin dapat diangsur dalam tahun
berjalan.
Kekurangan penggunaan stelsel fiktif adalah beban pajak yang
dibayar oleh Wajib Pajak tidak berdasarkan pada keadaan yang
sesungguhnya sehingga penentuan besar beban pajak menjadi tidak
akurat.
c. Stelsel Campuran
Dalam stelsel ini, pengenaan beban pajak didasarkan pada
kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel fiktif. Pada setiap awal tahun,
besar pajak diperkirakan berdasarkan pada suatu anggapan, dan
kemudian pada akhir tahun besar pajak dihitung kembali berdasarkan
keadaan yang sesungguhnya. Apabila besar nilai pajak berdasarkan
keadaan yang sesungguhnya lebih besar dari besar nilai pajak menurut
anggapan, maka Wajib Pajak harus membayar selisih kekurangan
tersebut. Dan sebaliknya, jika besar nilai pajak berdasarkan keadaan
yang sebenarnya lebih kecil daripada besar nilai pajak berdasarkan
anggapan, maka Wajib Pajak memiliki hak untuk meminta kembali
kelebihannya (restitusi), atau dapat juga dikompensasikan pada tahun-
tahun berikutnya, setelah diperhitungkan pula dengan besarnya hutang
pajak yang lain.

2. Asas Pemungutan Pajak


Dalam hal pemungutan pajak, terdapat tiga asas, yaitu:
a. Asas Tempat Tinggal (Domisili)
Asas Domisili menyatakan bahwa suatu negara memiliki hak untuk
mengenakan pajak kepada semua penghasilan para Wajib Pajak yang
tinggal di wilayah negara tersebut, baik itu penghasilan yang berasal
dari dalam negeri, maupun dari luar negeri. Setiap Wajib Pajak yang
tinggal atau berdomisili di wilayah Negara Indonesia, dikenakan pajak
pada seluruh penghasilannya yang diperoleh dari Indonesia maupun
dari luar.

Dasar-Dasar Perpajakan - 7
Contoh:
Tuan John sudah berdomisili di Indonesia selama beberapa waktu dan
telah memenuhi ketentuan sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri menurut
peraturan perpajakan Indonesia. Pada tahun 2013, Tuan John
mendapatkan penghasilan dari Indonesia sebesar Rp 100.000.000 dan
mendapatkan penghasilan dari luar negeri sebesar Rp 100.000.000.
Maka pada tahun 2013, penghasilan Tuan John yang kena pajak di
Indonesia adalah sebesar Rp 200.000.000.
b. Asas Sumber
Asas Sumber menyatakan bahwa suatu Negara memiliki hak untuk
mengenakan pajak pada setiap penghasilan yang bersumber dari
wilayahnya tanpa melihat domisili Wajib Pajak. Setiap orang yang
mendapatkan penghasilan dari Indonesia, walaupun tidak berdomisili di
Indonesia, dikenakan pajak atas penghasilannya yang diperoleh dari
Indonesia.
Contoh:
Mr. Robert adalah warga Negara Amerika yang pada bulan Agustus
2013 mendapatkan penghasilan dari Indonesia sebesar Rp 100.000.000
dan mendapatkan penghasilan dari negaranya sebesar Rp
150.000.000. Berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku di
Indonesia, Mr. Robert bukanlah Wajib Pajak dalan Negeri. Oleh karena
itu, penghasilan Mr. Robert yang terkena pajak di Indonesia pada bulan
Agustus 2013 hanyalah penghasilan yang bersumber dari Indonesia,
yaitu sebesar Rp 100.000.000.
c. Asas Kebangsaan
Asas Kebangsaan menyatakan bahwa pengenaan pajak dapat
dihubungan dengan kebangsaan suatu negara. Sebagai contoh, di
Indonesia terdapat pajak bangsa asing yang dikenakan kepada setiap
orang asing yang bedomisili di Indonesia tapi bukan warga Negara
Indonesia.

3. Sistem Pemungutan Pajak


Ada beberapa sistem dalam pemungutan pajak, yaitu:
a. Official Assessment System
Adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang
pada petugas perpajakan untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang
terhutang setiap tahun dan sesuai dengan undang-undang perpajakan
yang berlaku. Dalam sistem seperti ini, kegiatan menghitung dan inisiatif
memungut pajak sepenuhnya merupakan wewenang petugas
perpajakan. Dalam sistem ini, dapat disimpulkan bahwa berhasil atau
tidaknya pelaksanaan proses pemungutan pajak bergantung pada
petugas pajak (petugas pajak memiliki peran dominan).
b. Self Assessment System
Adalah sistem yang memberikan wewenang pada Wajib Pajak
untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terhutang setiap tahun dan

8 - Dasar-Dasar Perpajakan
sesuai dengan undang-undang perpajakan yang berlaku. Dalam sistem
seperti ini, inisiatif menghitung dan memungut pajak sepenuhnya
merupakan wewenang Wajib Pajak. Dalam sistem ini, Wajib Pajak
sudah dianggap mampu untuk menghitung pajak, memahami undang-
undang perpajakan yang berlaku, memiliki kejujuran yang tinggi dan
memiliki kesadaran akan pentingnya membayar pajak. Maka dari itu,
dalam sistem ini wajib Pajak diberi kepercayaan untuk:
1) Menghitung sendiri besar pajak terhutang
2) Memperhitungkan sendiri besar pajak terhutang
3) Membayar sendiri besar pajak terhutang
4) Melaporkan sendiri besar pajak terhutang
5) Mempertanggungjawabkan besar pajak yang terhutang
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa berhasil atau tidaknya
pelaksanaan proses pemungutan pajak bergantung pada Wajib Pajak
sendiri (Wajib Pajak memiliki peran dominan).
c. With Holding System
Adalah sistem yang memberikan wewenang pada pihak ketiga
yang telah ditunjuk untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang
terhutang dan sesuai dengan undang-undang perpajakan yang berlaku.
Pihak ketiga ini ditunjuk berdasarkan peraturan undang-undang
perpajakan, keputusan presiden, dan peraturan lainnya mengenai
memungut, memotong, menyetor, dan mempertanggung-jawabkan
pajak melalui sarana perpajakan yang tersedia. Sehingga dapat
disimpukan bahwa berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan
pajak bergantung pada pihak ketiga yang telah ditunjuk tersebut.

Timbulnya Hutang Pajak

Waktu timbulnya hutang pajak memiliki peran yang sangat penting karena:
1. Berkaitan dengan pembayaran pajak.
2. Berkaitan dengan waktu memasukkan surat keberatan.
3. Berkaitan dengan penentuan saat dimulai dan berakhirnya jangka waktu
kedaluwarsa.
4. Berkaitan dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan surat-surat lain.
5. Berkaitan dengan penentuan besar denda maupun sanksi administrasi
lainnya.
Terdapat dua ajaran yang mengatur tentang timbulnya hutang pajak, yaitu
ajaran materiil dan ajaran formil.
 Ajaran Materiil:
Ajaran ini menyatakan bahwa hutang pajak timbul karena adanya
pemberlakuan undang-undang perpajakan. Dalam ajaran materiil, seseorang
akan aktif menentukan apakah dirinya dikenakan pajak atau tidak, sesuai
dengan undang-undang perpajakan yang berlaku. Ajaran ini memiliki
pandangan yang sama dengan penerapan Self Assessment System.

Dasar-Dasar Perpajakan - 9
 Ajaran Formil:
Ajaran ini menyatakan bahwa hutang pajak timbul karena adanya
pengeluaran surat ketetapan pajak oleh pemerintah. Dalam ajaran formil,
untuk menentukan apakah seseorang dikenakan pajak atau tidak, berapa
besar pajak yang harus dibayar, dan kapan jangka waktu pembayaran dapat
diketahui dari surat ketetapan pajak tersebut. Ajaran ini memiliki pandangan
yang sama dengan penerapan Official Assessment System.

Berakhirnya Hutang Pajak

Hutang pajak akan berakhir dan terhapus jika mengalami peristiwa sebagai
berikut:
1. Pembayaran
Pembayaran hutang pajak dapat dilakukan melalui pembayaran sendiri oleh
Wajib Pajak ke kantor penerima pajak (bank-bank persepsi atau kantor pos).
Pemungutan oleh pihak lain, maupun melalui pengkreditan pajak luar negeri.
2. Kompensasi
Yang dimaksud adalah kompensasi karena kerugian ataupun kompensasi
karena kelebihan pembayaran pajak.
a. Contoh kompensasi karena kerugian
Pada awal tahun 2013 Wajib Pajak A menderita kerugian sebesar Rp
15.000.000. Pada tahun 2014, mulai kembali mendapatkan laba
sebesar Rp 5.000.000. Seharusnya, pada tahun 2014 Wajib Pajak A
memiliki hutang pajak penghasilan sebesar persentase tertentu dari
laba pada tahun 2014. Tetapi hutang pajak pada tahun 2014 terhapus
karena jumlah kerugian pada tahun 2013 dapat dikompensasikan atau
dikurangkan pada laba tahun 2014.
Kerugian usaha dapat dikompensasikan pada tahun-tahun berikutnya
dalam jangka waktu paling lama 5 tahun setelah terjadinya kerugian
pada usaha tersebut.
b. Contoh kompensasi karena kelebihan pembayaran pajak
1) Wajib Pajak B pada tahun 2014 membayar pajak sebesar
Rp10.000.000. Setelah dilakukan perhitungan ulang pada akhir
tahun 2014, diketahui bahwa pajak yang sebenarnya terhutang
adalah sebesar Rp 8.000.000. Kelebihan pembayaran pajak
sejumlah Rp 2.000.000 tersebut dapat dikompensasikan atau
dikurangkan pada hutang pajak di tahun berikutnya.
2) Pada tahun 2014, Wajib Pajak C kelebihan membayar PPh
sebesar Rp 3.000.000 dan masih memiliki kekurangan membayar
PPN sebesar Rp 4.500.000. Kelebihan pembayaran PPh sebesar
Rp 3.000.000 pada tahun 2014 tersebut dapat dikompensasikan
pada kekurangan PPN pada tahun yang sama, sehingga hutang
PPN sebesar Rp 3.000.000 pada tahun 2014 terhapus dan hanya
tersisa Rp 1.500.000 yang wajib dibayarkan.

10 - Dasar-Dasar Perpajakan
3. Kedaluwarsa
Kedaluwarsa artinya adalah sudah lewat jangka waktunya. Jika hutang pajak
tidak ditagih/dipungut dalam jangka waktu tertentu, maka hutang pajak
tersebut dianggap telah dihapus atau telah berakhir dan tidak dapat dipungut
lagi di kemudian hari. Hutang pajak akan kedaluwarsa setelah melewati 10
tahun, terhitung sejak tehutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak,
Tahun Pajak, atau Bagian Tahun Pajak yang bersangkutan.
4. Pembebasan/penghapusan
Hutang pajak seorang Wajib Pajak dapat dinyatakan telah terhapus oleh
fiskus karena ketika setelah dilakukan penyelidikan, ternyata Wajib Pajak
sudah tidak mampu lagi memenuhi kewajibannya membayar pajak. Biasanya
hal ini terjadi ketika Wajib Pajak mengalami kebangkrutan atau kesulitan
likuiditas.

Hambatan Pemungutan Pajak

Dalam pemungutan pajak, terdapat beberapa hambatan yang dapat


dikelompokkan menjadi:
1. Perlawanan pasif
Masyarakat Wajib Pajak mulai enggan membayar pajak, biasanya
disebabkan oleh:
a. Perkembangan intelektual dan moral
b. Sistem perpajakan yang sulit dipahami
c. Sistem kontrol yang tidak dapat dilaksanakan dengan baik
2. Perlawanan aktif
Adalah semua tindakan yang secara langsung ditujukan kepada para petugas
pajak untuk menghindari membayar pajak.
Perlawanan aktif dibagi menjadi dua macam yaitu:
a. Tax Avoidance, yakni usaha meringankan beban pajak dengan cara
tidak melanggar undang-undang.
Contoh: tidak membeli produk jika tidak ingin dikenakan PPN
b. Tax Evasion, yakni usaha meringankan beban pajak dengan cara
melanggar undang-undang.
Contoh: manipulasi laporan keuangan

Tarif Pajak

Ada dua unsur yang diperlukan untuk menghitung besarnya hutang pajak,
yaitu tarif pajak dan dasar pengenaan pajak. Tarif pajak bisa saja berupa angka
maupun persentase tertentu. Tarif pajak dibedakan menjadi tarif tetap, tarif
proporsional (sebanding), tarif progresif (meningkat), dan tarif degresif (menurun).
1. Tarif Tetap
Adalah tarif berupa angka yang tetap, berapapun besar dasar pengenaan
pajaknya.

Dasar-Dasar Perpajakan - 11
Contoh:
NO DASAR PENGENAAN PAJAK TARIF PAJAK
1 Rp 1.000.000 Rp 6.000
2 Rp 2.000.000 Rp 6.000
3 Rp 6.750.000 Rp 6.000
4 Rp 50.000.000 Rp 6.000
Di Indonesia, besarnya tarif pajak tetap diterapkan pada bea materai.
Bea materai digunakan pada dokumen-dokumen atau surat perjanjian
tertentu yang telah ditetapkan oleh peraturan tentang Bea Materai. Bea
Materai juga digunakan sebagai pajak pada pembayaran menggunakan cek
atau bilyet giro, dan berapapun jumlah uang yang dibayarkan, pajak bea
materai adalah tetap yaitu sebesar Rp 6.000.
2. Tarif Proporsional
Adalah tarif yang berupa persentase tertentu yang sifatnya tetap terhadap
berapapun dasar pengenaan pajaknya. Sehingga berapapun dasar
pengenaan pajaknya, besarnya hutang pajak akan sebanding dengan dasar
pengenaan pajak.
Contoh:
DASAR PENGENAAN
NO TARIF PAJAK HUTANG PAJAK
PAJAK
1 Rp 1.000.000 10% Rp 100.000
2 Rp 2.000.000 10% Rp 200.000
3 Rp 6.750.000 10% Rp 675.000
4 Rp 50.000.000 10% Rp 5.000.000

Di Indonesia, besarnya tarif pajak proporsional diterapkan pada PPN


(sebesar 10%), PPh Pasal 26 (sebesar 20%), PPh Pasal 23 (sebesar 15%
dan 2% untuk jasa lain), PPh WP badan dalam negeri dan BUT (sebesar
25%), dan lain-lain.
3. Tarif Progresif
Adalah tarif yang berupa persentase tertentu yang semakin meningkat seiring
dengan meningkatnya dasar pengenaan pajak. Tarif progresif sendiri
dibedakan menjadi tiga macam yaitu:
a. Tarif Progresif-Proporsional
Berupa persentase tertentu yang semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya dasar pengenaan pajak dan dengan kenaikan persentase
yang tetap.
Contoh:
TARIF KENAIKAN
NO DASAR PENGENAAN PAJAK
PAJAK TARIF
1 Sampai dengan Rp 10.000.000 15% ---
2 Rp 10.000.001 – Rp 25.000.000 22% 10%
3 Diatas Rp 25.000.000 35% 10%

Tarif ini pernah diberlakukan untuk menghitung PPh sejak tahun 1984–
1994 dan diatur dalam Pasal 17 UU No. 7 Tahun 1983.

12 - Dasar-Dasar Perpajakan
b. Tarif Progresif-Progresif
Berupa persentase tertentu yang semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya dasar pengenaan pajak dan dengan kenaikan persentase
yang juga terus meningkat.
Contoh:
TARIF KENAIKAN
NO DASAR PENGENAAN PAJAK
PAJAK TARIF
1 Sampai dengan Rp 25.000.000 10% ---
2 Rp 25.000.001 – Rp 50.000.000 15% 5%
3 Diatas Rp 50.000.000 35% 15%

Tarif ini pernah diberlakukan untuk menghitung PPN sejak tahun 1995–
2000 dan diatur dalam Pasal 17 UU No. 10 Tahun 1994. Dan pada
tahun 2001–2008 masih diberlakukan tapi hanya untuk Wajib Pajak
yang berupa badan dan bentuk usaha tetap, dengan perubahan pada
dasar pengenaan pajak menjadi seperti berikut:
TARIF KENAIKAN
NO DASAR PENGENAAN PAJAK
PAJAK TARIF
1 Sampai dengan Rp 50.000.000 10% ---
2 Rp 50.000.001 – Rp 100.000.000 15% 5%
3 Diatas Rp 100.000.000 35% 15%

c. Tarif Progresif-Degresif
Berupa persentase tertentu yang semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya dasar pengenaan pajak tetapi dengan kenaikan
persentase yang menurun.
Contoh:
TARIF KENAIKAN
NO DASAR PENGENAAN PAJAK
PAJAK TARIF
1 Rp 50.000.000 10% ---
2 Rp 100.000.000 15% 5%
3 Rp 200.000.000 18% 3%

d. Tarif Degresif
Adalah tarif yang berupa persentase tertentu yang semakin menurun
seiring dengan meningkatnya dasar pengenaan pajak.
Contoh:
TARIF
NO DASAR PENGENAAN PAJAK HUTANG PAJAK
PAJAK
1 Rp 1.000.000 30% Rp 300.000
2 Rp 2.000.000 20% Rp 400.000
3 Rp 6.750.000 10% Rp 675.000

Dasar-Dasar Perpajakan - 13
BAB II
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Dasar Hukum

Dasar hukum dari Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah
Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 dan kemudian telah diubah dengan Undang-
Undang No. 16 Tahun 2009.

Pengertian Umum

Beberapa pengertian umum tentang perpajakan menurut Undang-Undang


No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 diantaranya adalah:
1. Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa.
2. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang mempunyai hak dan
kewajiban perpajakan.
3. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk
usaha tetap.
4. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang
dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor,
mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, dll.
5. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan
barang kena pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
6. Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada wajib
pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan
sebagi tanda pengenal diri Wajib Pajak.
7. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar wajib pajak untuk
menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu
jangka waktu tertentu.
8. Tahun Pajak adalah jangka waktu satu tahun kalender.
9. Bagian Tahun pajak adalah bagian dari jangka waktu satu tahun pajak.
10. Pajak Yang Terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu bagian
tahun pajak.
11. Surat Pemberitahuan Pajak adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan
untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak.
12. Surat Pemberitahuan Masa adalah surat pemberitahuan untuk suatu Masa
Pajak.

14 - Dasar-Dasar Perpajakan
13. Surat Pemberitahuan Tahunan adalah surat pemberitahuan untuk suatu
Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
14. Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang
telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau dengan cara lain.
15. Surat Ketetapan Pajak adalah surat ketetapan yang berhubungan dengan
pembayaran pajak.
16. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan yang
menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah
kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya administrasi, dan jumlah
yang masih harus dibayar.
17. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan
pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
18. Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak
tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
19. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak.
20. Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau
sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
21. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya
penagihan pajak.
22. Kredit Pajak untuk Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri
oleh Wajib Pajak ditambah dengan pokok pajak terutang dalam Surat
Tagihan Pajak karena Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak dibayar
atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut,
ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang diluar
negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak yang
dikurangkan dari pajak yang terutang.
23. Kredit Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang
dapat dimasukkan dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan
pajak atau setelah dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang
dikurangkan dengan dari pajak yang terutang.
24. Pekerjaan Bebas adalah pekerjaan yang dilakukan orang pribadi yang
mempunyai keahlian khusus yang tidak terikat pada hubungan kerja.
25. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data,
keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional
untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
26. Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa
keterangan, tulisan atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya
dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi tindak pidana dibidang
perpajakan.
27. Pemeriksaaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk
mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak
pidana dibidang perpajakan.
28. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung
jawab atas pembayaran pajak.

Dasar-Dasar Perpajakan - 15
29. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur
untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan untuk periode tahun
pajak tersebut.
30. Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai
kelengkapan pengisian surat pemberitahuan dan lampiran-lampirannya
termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya.
31. Penyidikan Tindak Pidana Dibidang Perpajakan adalah serangkaian
tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana dibidang
perpajakan.
32. Penyidik adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu dilingkungan Direktorat
Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan
tindak pidana.
33. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan
kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan
tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
34. Surat Keputusan Keberatan adalah Surat keputusan atas keberatan
terhadap surat ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan
oleh pihak ketiga yang diajukan oleh wajib pajak.
35. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding
terhadap surat keputusan keberatan yang diajukan oleh wajib pajak.
36. Putusan Gugatan adalah putusan badan peradilan pajak atas gugatan
terhadap hal-hal yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan dapat diajukan gugatan.
37. Putusan Peninjauan Kembali adalah putusan Mahkamah Agung atas
permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Wajib Pajak atau oleh
Direktur Jenderal Pajak terhadap putusan banding atau putusan gugatan dari
Badan Peradilan Pajak.
38. Surat Keputusan Pengambilan Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah
surat keputusan yang menentukan jumlah pengembalian pendahuluan
kelebihan pajak untuk wajib pajak tertentu.
39. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga adalah surat keputusan yang
menentukan jumlah imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak.
40. Tanggal Dikirim adalah tanggal stempel pengiriman pos, tanggal faksimili,
atau dalam hal disampaikan secara langsung yaitu tanggal pada saat surat,
keputusan, atau putusan disampaikan secara langsung.
41. Tanggal Diterima adalah tanggal stempel pos, tanggal faksimili, atau dalam
hal diterima secara langsung yaitu tanggal pada saat surat, keputusan, atau
putusan disampaikan secara langsung.

Tahun Pajak

Pada dasarnya tahun pajak sama dengan tahun kalender. Wajib Pajak dapat
menggunakan tahun pajak yang tidak sama dengan tahun kalender, dengan syarat
harus taat asas (konsisten) selama 12 bulan, dan wajib melapor kepada Kantor
Pelayanan Pajak Pratama setempat.

16 - Dasar-Dasar Perpajakan
Dalam menentukan satu tahun pajak, dapat dilakukan dengan beberapa cara
berikut:
1. Tahun pajak sama dengan tahun kalender
Dimulai dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember di tahun yang sama.
Contoh:

Tahun pajak tersebut disebut tahun pajak 2014

2. Tahun pajak tidak sama dengan tahun kalender

Tahun pajak tersebut disebut tahun pajak 2013 karena 6 bulan pertama
berada pada tahun 2013.

Tahun pajak tersebut disebut tahun pajak 2014 karena lebih dari 6 bulan
berada pada tahun 2014.

Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

1. Pengertian
Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib
Pajak sebagai sarana administrasi perpajakan yang digunakan sebagai tanda
identitas Wajib Pajak ketika melakukan hak dan kewajibannya dalam hal
perpajakan.
2. Fungsi NPWP
a. Sebagai tanda identitas Wajib Pajak.
b. Menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan
administrasi perpajakan.
3. Pencantuman NPWP
Wajib Pajak wajib mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang
dimilikinya dalam segala hal yang berhubungan dengan dokumen
perpajakan.
4. Pendaftaran NPWP
Setiap orang ataupun badan yang telah memenuhi syarat baik itu syarat
objektif maupun syarat subjektif yang sesuai dengan ketentuan dan peraturan
undang-undang perpajakan berdasarkan sistem self assessment, wajib
mendaftarkan dirinya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat
sebagai Wajib Pajak dan mendapatkan Nomot Pokok Wajib Pajak.

Dasar-Dasar Perpajakan - 17
Persyaratan Objektif adalah persyaratan bagi subjek yang memperoleh
penghasilan atapun subjek yang diwajibkan untuk melakukan pemungutan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan
perubahannya.
Persyaratan Subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan
ketentuan mengenai subjek pajak sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Tempat pendaftaran NPWP dilakukan di kantor Direktorat Jenderal
Pajak yang wilayahnya meliputi tempat tinggal dan tempat kegiatan usaha
Wajib Pajak.
Wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah
sesuai dengan ketentuan hukum atau wanita yang memang menghendaki
pemisahan penghasilan dan harta secara tertulis dengan suami juga wajib
mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak. Wanita kawin selain yang sudah
disebutkan sebelumnya, dapat mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak dan
memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak atas namanya sendiri untuk
mendapatkan hak dan memenuhi kewajiban pajak yang terpisah dari hak dan
kewajiban suami.
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak secara
jabatan apabila Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan objektif dan
subjektif tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP. Kewajiban
perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan NPWP secara jabatan dimulai
sejak Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai
dengan ketentuan undang-undang perpajakan paling lama lima tahun
sebelum diterbitkannya NPWP.
Terdapat batasan waktu bagi para Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri,
karena hal ini berkaitan dengan saat pajak terutang dan kewajiban
mengenakan pajak terutang. Jangka waktu pendaftaran NPWP adalah:
 Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau
melakukan pekerjaan bebas wajib mendaftarkan diri paling lambat satu
bulan setelah saat usaha mulai dijalankan.
 Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau
melakukan pekerjaan bebas jika penghasilannya selama satu bulan
yang disetahunkan ternyata melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak,
maka Wajib Pajak tersebut wajib mendaftarkan dirinya paling lambat
pada akhir bulan sebelumnya.
5. Sanksi
Tiap-tiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri untuk
mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan tiap-tiap orang yang
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP sehingga
menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara akan dipidana dengan
hukuman penjara paling singkat enam bulan dan paling lama enam tahun
dengan denda paling sedikit dua kali besar pajak terutang yang tidak dibayar
atau yang kurang bayar, dan paling banyak empat kali jumlah pajak terutang
yang tidak dibayar atau yang kurang bayar.

18 - Dasar-Dasar Perpajakan
Apabila sebelum lewat satu tahun terhitung sejak selesainya menjalani
pidana, seseorang tersebut melakukan lagi tindak pidana di bidang
perpajakan, maka hukuman pidana tersebut diatas akan dilipatgandakan
(dikalikan dua).
Setiap orang yang berusaha melakukan tindak pidana penyalahgunaan
atau menggunakan tanpa hak NPWP dalam rangka pengajuan dana restitusi
atau kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, akan dipidana dengan
hukuman penjara paling singkat enam bulan dan paling lama dua tahun, dan
denda paling sedikit dua kali jumlah restitusi yang diajukan atau kompensasi
atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak empat kali jumlah
restitusi yang dimohonkan atau kompensasi atau pengkreditan yang
dilakukan.
6. Penghapusan NPWP
Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak akan dilakukan oleh Direktur
Jenderal Pajak apabila:
a. Wajib Pajak atau ahli warisnya mengajukan permohonan penghapusan
Nomor Pokok Wajib Pajak karena sudah tidak lagi memenuhi syarat
subjektif dan objektif yang sesuai dengan peraturan undang-undang
perpajakan yang berlaku.
b. Wajib Pajak badan mengalami likuiditasi karena penghentian usaha
maupun penggabungan usaha.
c. Wajib Pajak wanita yang sebelumnya memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak dan kemudian menikah tanpa adanya perjanjian pemisahan harta
dan penghasilan dengan suami, dan suami wanita tersebut sudah
terdaftar sebagai Wajib Pajak.
d. Wajib Pajak bentuk usaha tetap yang sudah tidak lagi melakukan
kegiatan usaha di Indonesia.
e. Dan apabila dianggap perlu, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan
penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang memang
sudah tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan objektif yang
sesuai dengan peraturan undang-undang pajak yang berlaku.
Setelah melakukan pemeriksaan, Direktur Jenderal Pajak harus
memberikan keputusan terhadap permohonan penghapusan Nomor Pokok
Wajib Pajak dalam jangka waktu enam bulan untuk Wajib Pajak orang pribadi
atau 12 bulan untuk Wajib Pajak badan terhitung sejak tanggal permohonan
diterima secara lengkap. Jika dalam jangka waktu tersebut Direktur Jenderal
Pajak tidak memberikan keputusan apapun, maka permohonan penghapusan
Nomor Pokok Wajib Pajak dianggap dikabulkan.
7. Format NPWP
Nomor Pokok Wajib Pajak terdiri dari 15 digit. 9 digit pertama
merupakan Kode Wajib Pajak, dan 6 digit berikutnya merupakan Kode
Administrasi Perpajakan.

Dasar-Dasar Perpajakan - 19
Kode Nomor Pokok Wajib Kode Kode KPP Kode Kantor
Jenis Pajak Pengec Pusat/
Wajib ekan Cabang
Pajak

Catatan:
a. Wajib Pajak yang memerlukan NPWP meskipun tidak diwajibkan
mendaftarkan diri dapat mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP.
b. Hanya ada satu NPWP bagi setiap Wajib Pajak untuk keperluan semua
jenis pajak.
c. Untuk perusahaan perseorangan, NPWP diberikan atas nama pemilik
perusahaannya.
d. Untuk PT atau badan yang baru berdiri sebaiknya memiliki NPWP
karena apabila mengalami kerugian akan dapat dikenakan kompensasi
dengan tahun berikutnya.
e. Mengenai hal warisan yang belum terbagi, subjek pajak dari warisan
tersebut menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak
orang pribadi yang meninggalkan warisan tersebut.

Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak

Pengusaha adalah orang pribadi maupun badan dalam bentuk apapun yang
dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor
barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan
barang tidak berwujud yang berasal dari luar wilayah pabean, melakukan usaha
jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar wilayah pabean.
Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan
penyerahan barang kena pajak dan atau jasa kena pajak yang dikenai pajak
berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya
wajib melaporkan segala bentuk usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak.
Sedangkan untuk pengusaha kecil yang dimaksud dalam Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai 1984 yang memilih sebagai Pengusaha Kena Pajak atau
tidak memilih sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi sampai suatu bulan dalam
suatu tahun jumlah nilai peredaran bruto atas penyerahan Barang Kena Pajak atau
Jasa Kena Pajak sudah melewati batasan yang ditentukan sebagai pengusaha
kecil. Maka wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak paling lambat pada akhir bulan berikutnya.
Kewajiban untuk melaporkan diri agar dikukuhkan sebagai Pengusaha kena
Pajak harus dilakukan sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak. Pengusaha yang telah memenuhi syarat sebagai Pengusaha Kena Pajak
(PKP) tetapi tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP akan
mendapatkan sanksi perpajakan dan dikukuhkan sebagai PKP secara jabatan.

20 - Dasar-Dasar Perpajakan
1. Fungsi Pengukuhan PKP
a. Sebagai identitas PKP yang bersangkutan.
b. Sebagai sarana untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
c. Sebagai media pengawasan administrasi perpajakan.
2. Tempat Pengukuhan PKP
Untuk setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat sebagai PKP
wajib melaporkan usahanya ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha Wajib Pajak. Atau bisa juga ke
Kantor Pelayanan Pajak tertentu yang sesuai dengan ketentuan undang-
undang perpajakan. Jika dalam hal tempat tinggal, tempat kedudukan atau
tempat kegiatan usaha Wajib Pajak berada di dua atau lebih wilayah kerja
Kantor Pelayanan Pajak, maka Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan
Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak Terdaftar.
3. Pencabutan Pengukuhan PKP
Karena jabatan ataupun atas permohonan Wajib Pajak, Direktur
Jenderal Pajak dapat melakukan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak (PKP). Pencabutan ini dapat dilakukan dengan alasan:
a. Pengusaha Kena Pajak pindah alamat ke Kantor Pelayanan Pajak lain.
b. Pengusaha Kena Pajak sudah tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai
PKP atau jika Pengusaha Kena Pajak termasuk sebagai PKP yang
jumlah peredaran dan pemerimaan penghasilan bruto dalam satu tahun
pembukuan tidak melebihi batas jumlah peredaran dan penerimaan
penghasilan bruto untuk Pengusaha Kecil (Rp4.800.000.000 setahun).
Setelah menerima permohonan pencabutan pengukuhan PKP oleh
Wajib Pajak dan setelah dilakukan pemeriksaan, Direktur Jenderal Pajak
harus memberikan keputusan terhadap permohonan Wajib Pajak dalam
jangka waktu enam bulan untuk Wajib Pajak orang pribadi atau 12 bulan
untuk Wajib Pajak badan terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara
lengkap. Jika dalam jangka waktu tersebut Direktur Jenderal Pajak tidak
memberikan keputusan apapun, maka permohonan penghapusan Nomor
Pokok Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan surat keputusan mengenai
pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak harus segera diterbitkan
dalam jangka waktu paling lama satu bulan setelah jangka waktu enam bulan
berakhir.
4. Sanksi
Tiap-tiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tiap-tiap orang yang
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara akan
dipidana dengan hukuman penjara paling singkat enam bulan dan paling
lama enam tahun dengan denda paling sedikit dua kali besar pajak terutang
yang tidak dibayar atau yang kurang bayar, dan paling banyak empat kali
jumlah pajak terutang yang tidak dibayar atau yang kurang bayar.

Dasar-Dasar Perpajakan - 21
Apabila sebelum lewat satu tahun terhitung sejak selesainya menjalani
pidana, seseorang tersebut melakukan lagi tindak pidana di bidang
perpajakan, maka hukuman pidana tersebut diatas akan dilipatgandakan
(dikalikan dua).
Setiap orang yang berusaha melakukan tindak pidana penyalahgunaan
atau menggunakan tanpa hak Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dalam
rangka pengajuan dana restitusi atau kompensasi pajak atau pengkreditan
pajak, akan dipidana dengan hukuman penjara paling singkat enam bulan
dan paling lama dua tahun, dan denda paling sedikit dua kali jumlah restitusi
yang diajukan atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling
banyak empat kali jumlah restitusi yang dimohonkan atau kompensasi atau
pengkreditan yang dilakukan.

Surat Pemberitahuan (SPT)

1. Pengertian SPT
Surat pemberitahuan (SPT) adalah surat yang diberikan oleh Wajib
Pajak untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak, objek pajak,
dan harta serta kewajiban yang sesuai dengan ketentuan peraturan undang-
undang perpajakan.
2. Fungsi SPT
Surat pemberitahuan bagi Wajib Pajak berfungsi sebagai sarana untuk
melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak
Penghasilan terutang yang sebenarnya, serta untuk melaporkan tentang:
a. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan
atau telah melalui proses pemotongan atau pemungutan pihak lain
dalam satu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
b. Penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan objek pajak.
c. Harta dan kewajiban.
d. Pembayaran dari pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi
atau badan lain dalam satu Masa Pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan undang-undang perpajakan yang berlaku.
Bagi Pengusaha Kena Pajak, surat pemberitahuan berfungsi sebagai
sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan
jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
terutang yang sebenarnya, serta untuk melaporkan tentang:
a. Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran
b. Pembayaran pajak yang telah dilakukan sendiri oleh Pengusaha Kena
Pajak dan atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan undang-undang perpajakan yang berlaku.
Bagi pemotong dan pemungut pajak, surat pemberitahuan berfungsi
sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang
dipotong atau dipungut dan kemudian disetorkan.

22 - Dasar-Dasar Perpajakan
3. Prosedur Penyelesaian SPT
a. Wajib Pajak mengambil sendiri Surat Pemberitahuan di tempat yang
telah ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak. Wajib Pajak juga dapat
mengambil Surat Pemberitahuan dengan cara lain yang tata cara
pelaksanaannya telah diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Wajib Pajak juga dapat mengambil Surat Pemberitahuan dengan cara
mengakses situs Direktorat Jenderal Pajak untuk memperoleh formulir
Surat Pemberitahuan tersebut.
b. Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap
dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin,
angka arab, satuan mata uang rupiah dan menandatangani serta
kemudian menyampaikan Surat Pemberitahuan tersebut ke kantor
Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan.
Atau bisa juga disampaikan ke tempat lain yang telah ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
c. Wajib Pajak yang telah mendapatkan ijin dari Menteri Keuangan untuk
menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing
dan menggunakan mata uang selain rupiah, maka Wajib Pajak tersebut
wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia
dengan menggunakan satuan mata uang selain rupiah yang telah
diijinkan.
d. Tanda tangan pada Surat Pemberitahuan dapat dilakukan dengan cara
biasa, menggunakan stempel, atau menggunakan tanda tangan elektrik
ataupun digital. Semuanya memiliki kekuatan hukum yang sama.
e. Bukti-bukti yang wajib dilampirkan pada SPT diantaranya adalah:
 Wajib Pajak yang melakukan pembukuan, wajib melampirkan
Laporan Keuangan berupa neraca dan laporan rugi laba serta
keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung
besar penghasilan yang kena pajak.
 SPT Masa PPN minimal wajib memuat jumlah Dasar Pengenaan
Pajak, jumlah Pajak Keluaran, jumlah Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan dan jumlah kekurangan maupun kelebihan pajak.
 Wajib Pajak yang menggunakan norma perhitungan, wajib
melampirkan perhitungan jumlah peredaran yang terjadi dalam
tahun pajak yang bersangkutan.
4. Pembetulan SPT
Berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang No. 28 Tahun 2007, hal-hal
mengenai pembetulan SPT dan sanksi-sanksinya telah diatur sebagai
berikut:
 Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat
Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan
pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum
melakukan tindakan pemeriksaan.
o Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana diatas
menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat

Dasar-Dasar Perpajakan - 23
Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun
sebelum daluwarsa penetapan.
o Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan
Tahunan dan Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan
utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan
atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo
pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari
bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
 Jika Dirjen Pajak telah melakukan pemeriksaan, tetapi belum dilakukan
tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan
Wajib Pajak baik karena kealpaannya sehingga dapat mengakibatkan
kerugian negara, maka atas perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan
dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri
mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai
pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya
terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150%
(seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
 Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan,
dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat
ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat
mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran
pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai keadaan
yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan:
1. Pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau
lebih kecil.
2. Rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau
lebih besar.
3. Jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil.
4. Jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil.
Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari
pengungkapan ketidakbenaran diatas harus dilunasi oleh Wajib Pajak
beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh
persen) dari pajak yang kurang dibayar. Wajib Pajak dapat membetulkan
Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib
Pajak menerima ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat
Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali
Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang
menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah
dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang akan dibetulkan
tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima surat
ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan,
Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, dengan syarat Direktur
Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.

24 - Dasar-Dasar Perpajakan
5. Jenis SPT
Secara umum, SPT dibedakan menjadi dua macam:
a. Surat Pemberitahuan Masa, yaitu Surat Pemberitahuan untuk suatu
Masa Pajak.
b. Surat Pemberitahuan Tahunan, yaitu Surat Pemberitahuan untuk suatu
Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
Dan SPT sendiri meliputi:
1. SPT Masa, yaitu SPT yang digunakan untuk melaporkan pembayaran
pajak bulanan. SPT Masa ini terdiri dari:
a. SPT Masa PPh Pasal 21 dan Pasal 26.
b. SPT Masa PPh Pasal 22.
c. SPT Masa PPh Pasal 23 dan pasal 26.
d. SPT Masa PPh Pasal 4 ayat 2.
e. SPT Masa PPh Pasal 15.
f. SPT Masa PPN dan PPnBM.
g. SPT Masa PPN dan PPnBM bagi pemungut pajak.
2. SPT Tahunan, yaitu SPT yang digunakan untuk melaporkan pajak
tahunan. SPT Tahunan ini terdiri dari:
a. SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan (1771 - Rupiah).
b. SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan yang diijinkan untuk
menyelenggarakan pembukuan menggunakan bahasa Inggris dan
mata uang USD (1771 - USD).
c. SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki
penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas yang melakukan
pembukuan atau norma penghitungan penghasilan neto, yang
berasal dari satu atau lebih pemberi kerja, yang dikenai PPh Final
dan atau sifatnya final, dan yang berasal dari penghasilan lain
(1770).
d. SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki
penghasilan dari satu atau lebih pemberi kerja, berasal dari dalam
negeri lainnya, dan yang dikenai PPh Final dan atau sifatnya final
(1770 S).
e. SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki
penghasilan dari satu pemberi kerja dan tidak memiliki penghasilan
lain selain bunga bank dan atau bunga deposito (1770 SS).
SPT dapat berbentuk formulir kertas (hardcopy) atau pun e-SPT.
6. Batas Waktu Penyampaian SPT
a. Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa adalah paling
lambat 20 hari setelah akhir Masa Pajak. Dan khusus untuk Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, disampaikan paling
lambat akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.
b. Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi adalah paling lambat 3 bulan
setelah akhir Tahun Pajak.

Dasar-Dasar Perpajakan - 25
c. Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak badan adalah paling lambat 4 bulan setelah
akhir Tahun Pajak.
Batas Waktu
No. Jenis SPT Masa Batas Waktu Pelaporan
Pembayaran
1 PPh Pasal 21/26 Tanggal 10 pada bulan 20 hari setelah akhir masa
berikutnya pajak
2 PPh Pasal 23/26 Tanggal 10 bulan pada 20 hari setelah akhir masa
berikutnya pajak
3 PPh Pasal 25 Tanggal 15 pada bulan 20 hari setelah akhir masa
berikutnya pajak
4 PPh Pasal 22, 1 hari setelah dipungut 7 hari setelah pembayaran
PPN, dan PPnBM
oleh bea cukai
5 PPh Pasal 22 – Pada hari penyerahan Tanggal 14 bulan
Bendaharawan barang berikutnya
Pemerintah
6 PPh Pasal 22 – Sebelum pembayaran Paling lambat tanggal 20
Pertamina Delivery Order sebelum masa pajak
berakhir
7 PPh Pasal 22 – Tanggal 10 pada bulan 20 hari sejak akhir masa
Pemungutan berikutnya pajak
Tertentu
8 PPh Pasal 4 ayat Tanggal 10 pada bulan 20 hari sejak akhir masa
2 berikutnya pajak
9 PPN dan PPnBM Akhir bulan berikutnya, Akhir masa pajak
– PKP sebelum penyampaian berikutnya
SPT
10 PPN dan PPnBM Tanggal 17 pada bulan 20 hari sejak akhir masa
– Bendaharawan berikutnya pajak
11 PPN dan PPnBM Tanggal 15 pada bulan 20 hari sejak akhir masa
– Pemungut Non berikutnya pajak
Bendaharawan
12  PPh Wajib  Tanggal 25 bulan  Paling lambat 3 bulan
Pajak Orang ketiga setelah tahun setelah berakhirnya
Pribadi pajak atau bagian tahun pajak atau bagian
 PPh Wajib tahun pajak berakhir tahun pajak
Pajak Badan  Tanggal 25 bulan  Paling lambat 4 bulan
keempat setelah setelah berakhirnya
tahun pajak atau tahun pajak atau bagian
bagian tahun pajak tahun pajak
berakhir

7. Perpanjangan Jangka Waktu Penyampaian SPT


Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT
Tahunan paling lama dua bulan sejak batas waktu penyampaian SPT
Tahunan dengan cara menyerahkan Pemberitahuan Perpanjangan SPT
Tahunan.
Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan ini dibuat secara tertulis
dan disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak sebelum batas waktu
penyampaian SPT Tahunan berakhir. Dengan lampiran sebagai berikut:
a. Penghitungan sementara jumlah pajak terutang dalam satu Tahun Pajak
yang batas waktu penyampaiannya diperpanjang.
b. Laporan keuangan sementara.

26 - Dasar-Dasar Perpajakan
c. Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran
pajak yang terutang.
Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan harus ditandatangani oleh
Wajib Pajak atau Kuasa Wajib Pajak. Jika Pemberitahuan Perpanjangan SPT
Tahunan ditandatangani oleh Kuasa Wajib Pajak, maka Pemberitahuan
Perpanjangan SPT Tahunan harus disertai dengan Surat Kuasa Khusus.
Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan dapat disampaikan secara
langsung, melalui pos dengan bukti pengiriman surat, atau dengan cara lain
meliputi penggunaan jasa ekspedisi ataupun kurir dengan bukti pengiriman,
atau e-Filling melalui ASP.
Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan yang tidak memenuhi
ketentuan, tidak akan dianggap sebagai Pemberitahuan Perpanjangan SPT
Tahunan.
8. Sanksi Terlambat atau Tidak Menyampaikan SPT
Jika Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang
telah ditetapkan atau dalam batas waktu perpanjangan penyampaian Surat
Pemberitahuan, maka akan dikenai sanksi administrasi sebagai berikut:
a. Rp 500.000 untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.
b. Rp 100.000 untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya.
c. Rp 1.000.000 untuk Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan Wajib
Pajak badan.
d. Rp 100.000 untuk Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan Wajib Pajak
orang pribadi.
Wajib Pajak yang karena kesalahannya sendiri tidak menyampaikan
Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi isinya
tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya
tidak benar sehingga dapat menyebabkan kerugian pada pendapatan
Negara, jika baru dilakukan pertama kali, maka Wajib Pajak tersebut tidak
akan dikenai sanksi pidana, tapi dikenai sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 200% dari pajak yang kurang bayar yang ditetapkan
melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
Apabila kesalahan tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan sudah
bukan kesalahan yang pertama kali, maka akan dikenai sanksi administrasi
paling sedikit satu kali jumlah pajak terutang yang kurang bayar dan paling
banyak dua kali jumlah pajak terutang yang kurang bayar, atau akan dikenai
sanksi pidana kurungan paling singkat tiga bulan dan paling lama satu
tahun.
Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan Surat
Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi isinya tidak
benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidak
benar sehingga dapat menyebabkan kerugian pada pendapatan Negara akan
mendapatkan hukuman pidana penjara paling singkat enam bulan dan
paling lama enam tahun. Dan mendapatkan denda paling sedikit dua kali
jumlah pajak terutang yang kurang bayar dan paling banyak empat kali
jumlah pajak terutang yang kurang bayar.

Dasar-Dasar Perpajakan - 27
Jika seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan
sebelum lewat satu tahun terhitung sejak selesainya menjalani pidana yang
dijatuhkan, maka pidana tersebut akan dilipatgandakan.

Surat Setoran Pajak (SSP) dan Pembayaran Pajak

1. Pengertian
Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak
yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau dilakukan dengan
cara lain ke kas Negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan.
2. Fungsi SSP
Surat Setoran Pajak berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila
telah disahkan Pejabat Kantor penerima pembayaran yang berwenang atau
apabila telah divalidasi.
3. Tempat Pembayaran Dan Penyetoran Pajak
a. Bank yang telah ditunjuk oleh Menteri Keuangan
b. Kantor Pos
4. Batas Waktu Pembayaran Atau Penyetoran Pajak
a. Pembayaran Masa
1) PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh Pemotong Pajak
Penghasilan harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir kecuali ditetapkan lain
oleh Menteri Keuangan.
2) PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir kecuali ditetapkan lain oleh Menteri
Keuangan.
3) PPh Pasal 15 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor
paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa
Pajak berakhir.
4) PPh Pasal 15 yang harus dibayar sendiri harus disetor paling lama
tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir.
5) PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor
paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa
Pajak berakhir.
6) PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong
PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
7) PPh Pasal 25 harus dibayar paling lama tanggal 15 (lima belas)
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
8) PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus
dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk dan
dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22,

28 - Dasar-Dasar Perpajakan
PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi pada saat
penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor.
9) PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor yang
dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, harus disetor
dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja setelah dilakukan
pemungutan pajak.
10) PPh Pasal 22 yang dipungut oleh bendahara harus disetor pada
hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas
penyerahan barang yang dibiayai dari belanja Negara atau belanja
Daerah, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atas nama
rekanan dan ditandatangani oleh bendahara.
11) PPh Pasal 22 atas penyerahan bahan bakar minyak, gas, dan
pelumas kepada penyalur/agen atau industri yang dipungut oleh
Wajib Pajak badan yang bergerak dalam bidang produksi bahan
bakar minyak, gas, dan pelumas, harus disetor paling lama tanggal
10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
12) PPh Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh Wajib Pajak
badan tertentu sebagai Pemungut Pajak harus disetor paling lama
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir.
13) PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dalam satu Masa Pajak
harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya
setelah Masa Pajak Berakhir dan sebelum Surat Pemberitahuan
Masa PPN disampaikan.
14) PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh
Bendahara Pengeluaran sebagai Pemungut PPN, harus disetor
paling lama tanggal 7 (tujuh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir. PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya
dilakukan oleh Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar
sebagai Pemungut PPN, harus disetor pada hari yang sama
dengan pelaksanaan pembayaran kepada Pengusaha Kena Pajak
Rekanan Pemerintah melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan
Negara.
15) PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh
Pemungut PPN selain Bendahara Pemerintah yang ditunjuk, harus
disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.
16) PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang
KUP yang melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu Surat
Pemberitahuan Masa, harus dibayar paling lama pada akhir Masa
Pajak terakhir.
17) Pembayaran masa selain PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan
kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b)
Undang-Undang KUP yang melaporkan beberapa masa pajak
dalam satu Surat Pemberitahuan Masa, harus dibayar paling lama
sesuai dengan batas waktu untuk masing-masing jenis pajak.

Dasar-Dasar Perpajakan - 29
b. Surat Tagihan Pajak, Surat Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
Pembetulan, Putusan Banding, serta Surat Putusan peninjauan Kembali
yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus
segera dilunasi dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterbitkan.
c. Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus dibayar lunas
sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan.
Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak
bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu ataupun hari libur nasional,
pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya. Hari libur nasional adalah hari yang diliburkan dan cuti bersama
secara nasional yang ditetapkan oleh pemerintah. Setiap keterlambatan
pembayaran akan dikenakan bunga sebesar 2% per bulan, dihitung dari
tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan
bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan.
5. Tata Cara Menunda Atau Mengangsur Pembayaran Atas Ketetapan Pajak
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan tertulis untuk mengangsur
atau menunda pembayaran pajak yang harus dibayar berdasarkan Surat
Tagihan Pajak, Surat Ketetapan pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Kebenaran, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang
menyebabkan jumlah pajak yang terutang bertambah, serta Pajak
Penghasilan Pasal 29. Permohonan tertulis tersebut harus disampaikan
kepada Direktur Jenderal Pajak.
Permohonan tertulis tersebut harus diajukan paling lama sembilan hari
kerja sebelum saat jatuh tempo pembayaran utang pajak berakhir dengan
disertai alasan dan jumlah pembayaran pajak yang dimohon untuk diangsur
atau ditunda pembayarannya. Jika ternyata batas waktu sembilan hari kerja
tidak dapat dipenuhi oleh Wajib Pajak karena keadaan yang diluar
kekuasaannya, maka permohonan Wajib Pajak tersebut masih dapat
dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dengan syarat Wajib Pajak
dapat membuktikan kebenaran keadaan di luar kekuasaannya tersebut.
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan atas permohonan
tersebut berupa menerima seluruhnya, menerima sebagian, atau menolak.
Surat keputusan diterbitkan paling lama tujuh hari kerja setelah tanggal
diterimanya permohonan. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan
Direktur Jenderal Pajak belum atau tidak memberi suatu keputusan, maka
permohonan Wajib Pajak tersebut dianggap telah diterima. Jangka waktu
masa angsuran atau penundaan tidak boleh melebihi dua belas bulan dengan
mempertimbangkan kesulitan likuidasi atau keadaan di luar kekuasaan Wajib
Pajak dan tidak dapat diperpanjang lagi.

30 - Dasar-Dasar Perpajakan
Surat Ketetapan Pajak (SKP)

Surat Ketetapan Pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat
Ketetapan Pajak Nihil, ataupun Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)

1. Pengertian
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah surat ketetapan
pajak yang menentukan seberapa besar jumlah pokok pajak, jumlah kredit
pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besar sanksi
administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
2. Penerbitan SKPKB
SKPKB akan diterbitkan bila:
a. Adanya pajak terutang atau pajak yang belum di bayar setelah
dilakukan permeriksaan atau berdasarkan keterangan lain.
b. Surat Pemberitahuan tidak disampaikan pada waktu yang telah
ditentukan, dan setelah ditegur secara tertulis juga tidak disampaikan
pada waktunya seperti yang telah ditetapkan dalam Surat Teguran.
c. Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata
tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak
seharusnya dikenai tarif 0%.
d. Kewajiban menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan tidak
dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang.
e. Wajib Pajak mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan.
SKPKB hanya dapat diterbitkan untuk Wajib Pajak yang berdasarkan
hasil pemeriksaan atau keterangan lain tidak memenuhi kewajiban formal dan
atau kewajiban material. Keterangan lain tersebut adalah data konkret yang
diperoleh atau dimilik oleh Direktur Jenderal Pajak. Yaitu antara lain berupa
hasil konfirmasi faktur pajak dan bukti pemotongan Pajak Penghasilan.
3. Sanksi Administrasi
a. Apabila SKPKB diterbitkan karena alasan seperti yang telah disebutkan
dalam poin 2a dan 2e, maka jumlah kekurangan pajak terutang akan
ditambah dengan sanksi administrasi yang berupa bunga sebesar 2%
per bulan paling lama 24 bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak
atau berakhirnya Masa Pajak. Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak
sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
b. Jika SKPKB diterbitkan karena alasan seperti yang telah disebutkan
dalam poin 2b, 2c, dan 2d, maka akan dikenakan sanksi administrasi
berupa kenaikan tarif sebasar:
 50% dari PPh yang tidak ataukurang bayar dalam satu Tahun
Pajak.

Dasar-Dasar Perpajakan - 31
 100% dari PPh yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang
dipungut, dan dipotong atau dipungut tapi tidak disetorkan.
 100% dari PPN dan PPnBM yang tidak atau kurang bayar.
4. Fungsi SKPKB
a. Koreksi atas jumlah yang terutang berdasarkan SPT.
b. Sarana untuk mengenakan sanksi.
c. Sarana untuk menagih pajak.
5. Jangka Waktu Penerbitan SKPKB
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKPKB dalam jangka waktu
lima tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak,
bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak.
Apabila jangka waktu lima tahun tersebut telah lewat, SKPKB tetap
dapat diterbitkan dengan tambahan sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 48% dari jumlah pajak yang tidak atau kurang bayar, jika setelah
dalam jangka waktu tersebut Wajib Pajak tersebut dipidana karena telah
melakukan tindak pidana perpajakan atau tindak pidana lain yang dapat
menimbulkan kerugian pada penghasilan Negara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)

1. Pengertian
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) adalah
surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang
telah ditetapkan.
2. Penerbitan SKPKBT
SKPKBT akan diterbitkan jika data baru yang mengakibatkan jumlah
pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka
penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan telah ditemukan.
3. Fungsi SKPKBT
a. Koreksi terhadap jumlah pajak yang terutang menurut SPT.
b. Sarana untuk mengenakan sanksi kepada Wajib Pajak.
c. Sarana untuk menagih pajak.
4. Sanksi SKPKBT
Sanksi administrasi yang dikenakan berupa jumlah kekurangan pajak
yang terutang dalam SKPKBT ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan
tarif sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
Sanksi administrasi berupa kenaikan tarif tidak akan dikenakan jika
SKPKBT diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas
kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai
melakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan.

32 - Dasar-Dasar Perpajakan
5. Jangka Waktu Penerbitan SKPKBT
Jika dalam jangka waktu lima tahun setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak ditemukan
data baru yang dapat mengakibatkan jumlah pajak yang terutang bertambah
setelah dilakukannya tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Direktur Jenderal Pajak dapat
menerbitkan SKPKBT.
Jika jangka waktu lima tahun tersebut telah lewat, maka Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan
ditambahkan dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% dari
jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal Wajib Pajak setelah
jangka waktu lima tahun tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana
dalam bidang perpajakan atau tindak pidana lain yang dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)

1. Pengertian
SKPLB diterbitkan setelah dilakukan pemeriksaan, jumlah kredit pajak atau
jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar
daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
2. Penerbitan SKPLB
SKPLB diterbitkan setelah dilakukan pemeriksaan, jumlah kredit pajak atau
jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.
Surat ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan untuk:
a. Pajak Penghasilan apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada
jumlah pajak yang terutang.
b. Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak lebih besar
daripada pajak yang terutang. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang terutang
dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan jumlah
pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut.
c. Pajak Penjualan atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar
lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.
3. Fungsi SKPLB
Sebagai sarana untuk mengembalikan kelebihan pembayaran pajak.

Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)

1. Pengertian
Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak
tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
2. Penerbitan SKPN
Surat Ketetapan Pajak Nihil akan diterbitkan jika setelah dilakukan
pemeriksaan jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama

Dasar-Dasar Perpajakan - 33
dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada
kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak.

Surat Tagihan Pajak (STP)

1. Pengertian
Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau
sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.
2. Penerbitan STP
STP akan dikeluarkan jika:
a. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar.
b. Setelah dilakukan penelitian, terdapat kekurangan pembayaran pajak
sebagai akibat dari salah tulis dan atau salah hitung.
c. Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga.
d. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
tetapi tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak tapi tidak
tepat waktu.
e. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak yang
tidak mengisi faktur pajak secara lengkap, selain identitas pembeli,
nama dan tanda tangan.
f. Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak yang tidak sesuai
dengan masa penerbitan faktur pajak.
g. Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan
pengembalian Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat 6a Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan
perubahannya.
3. Fungsi STP
a. Sebagai koreksi terhadap jumlah pajak yang terutang menurut SPT
Wajib Pajak.
b. Sebagai sarana untuk mengenakan sanksi administrasi berupa denda
atau bunga.
c. Sebagai sarana untuk menagih pajak.
4. Sanksi Administrasi STP
a. Jumlah kekurangan pajak yang terutang sebagaimana disebutkan
dalam poin 2a dan 2b ditambah dengan sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2% per bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai
dengan diterbitkannya Surat Tahun Pajak.
b. Pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana disebutkan
dalam poin 2d, 2e, atau 2f, selain wajib membayar pajak yang terutang,
dikenai sanksi administrasi berupa denda selain wajib menyetor pajak
yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2%
dari Dasar Pengenaan Pajak.
c. Bagi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana disebutkan dalam poin 2g
akan dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan
dari jumlah pajak yang ditagih kembali, di hitung dari tanggal penerbitan
Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sampai

34 - Dasar-Dasar Perpajakan
dengan tanggal penerbitan Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan
dihitung penuh satu bulan.
5. Kekuatan Hukum STP
STP memiliki kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak,
sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa.

Pembetulan, Pengurangan, Penghapusan, atau Pembatalan

1. Pembetulan
Terhadap permohonan Wajib Pajak, atau karena jabatannya, Direktur
Jenderal Pajak dapat membetulkan:
a. Surat Ketetetapan Pajak seperti SKPKB, SKPKBT, SKPN, atau SKPLB
b. Surat Tagihan Pajak
c. Surat Keputusan Pembetulan
d. Surat Keputusan Keberatan
e. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi
f. Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi
g. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak
h. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak
i. Surat keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak
j. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga
Jika dalam hal penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan
hitung, dan atau kesalahan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam
peraturan undang-undang perpajakan.
2. Pengurangan, Penghapusan, atau Pembatalan
Direktur jenderal Pajak yang karena jabatan atau karena adanya
permohonan Wajib Pajak, dapat melakukan hal-hal berikut:
a. Mengurangi atau menghapus sanksi administrasi berupa bunga, denda,
dan kenaikan pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan
undang-undang perpajakan, dalam hal sanksi tersebut dikenakan
karena adanya kekhilafan Wajib Pajak, atau bukan karena
kesalahannya.
b. Mengurangi atau membatalkan surat ketetapan pajak dari hasil Tagihan
Pajak yang tidak benar.
c. Membatalkan hasil pemeriksaan atau surat ketetapan pajak dari hasil
pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
1) Penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan
2) Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dengan Wajib Pajak.
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau
pembatalan surat ketetapan pajak apabila:
a. Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan terhadap surat ketetapan
pajak.
b. Wajib Pajak mengajukan keberatan tetapi keberatannya tidak
dipertimbangkan oleh Direktur jendderal Pajak karena tidak memenuhi
persyaratan.

Dasar-Dasar Perpajakan - 35
Permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang
tidak benar, tidak dapat diajukan jika wajib Pajak mencabut pengajuan
keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak.

Daluwarsa Penagihan Pajak

Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan,


dan biaya penagihan pajak daluwarsa jika telah melewati jangka waktu lima tahun
terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan banding, dan Putusan
Peninjauan kembali. Daluwarsa penagihan pajak tertangguh apabila:
a. Surat Paksa diterbitkan.
b. Adanya pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik secara langsung
maupun tidak langsung.
c. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud diterbitkan.
d. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan mulai dilakukan.

Pemeriksaan

Undang-undang perpajakan yang baru memberikan wewenang untuk


melakukan penelitian serta penyelidikan terhadap Wajib Pajak yang meminta
kelebihan pembayaran pajak.
1. Pengertian
Pemeriksaan adalah kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data
dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan undang-undang perpajakan.
2. Sasaran Pemeriksaan
Sasaran pemeriksaan ataupun penyelidikan adalah:
a. Mencari adanya interpretasi undang-undang yang tidak benar.
b. Mencari adanya kesalahan hitung.
c. Mencari adanya penggelapan secara khusus dari penghasilan.
d. Mencari adanya pemotongan dan pengurangan yang tidak benar, yang
dilakukan oleh Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya.
3. Tujuan Pemeriksaan
a. Untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan untuk
memberikan kepastian hukum, keadilan, dan pembinaan kepada Wajib
Pajak. Hal ini dapat dilakukan dalam hal:
1) Surat Pemberitahuan menunjukkan kelebihan pembayaran pajak,
termasuk yang telah diberikan pengembalian pendahuluan
kelebihan pajak.
2) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan menunjukkan
rugi.

36 - Dasar-Dasar Perpajakan
3) Surat Pemberitahuan tidak disampaikan atau disampaikan tidak
pada waktu yang telah ditetapkan.
4) Surat Pemberitahuan yang memenuhi kriteria seleksi yang
ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak.
5) Adanya indikasi kewajiban perpajakan selain kewajiban tersebut
pada poin 3 tidak terpenuhi.
b. Untuk melaksanakan ketentuan peraturan undang-undang perpajakan.
Hal ini dapat dilakukan dalam hal:
1) Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) secara jabatan.
2) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak.
3) Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak.
4) Wajib Pajak mengajukan keberatan.
5) Pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan
Penghasilan Netto.
6) Pencocokan data dan atau alat keterangan.
7) Penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil.
8) Penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan
Nilai.
9) Pelaksanaan ketentuan peraturan undang-undang perpajakan
untuk tujuan lain selain yang telah disebutkan pada poin 1 sampai
8.
4. Wewenang Memeriksa
Direktur Jenderal Pajak memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan
untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan tujuan lain
untuk melaksanakan ketentuan peraturan undang-undang perpajakan.
5. Prosedur Pemeriksaan
a. Petugas pemeriksa harus dilengkapi dengan Surat Perintah
Pemeriksaan dan harus memperlihatkan kepada Wajib Pajak yang
diperiksa.
b. Wajib Pajak yang diperiksa harus:
1) Memperlihatkan atau meminjamkan buku atau catatan, dan
dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang
berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha,
pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek lain yang terutang pajak.
2) Memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki
tempat atau ruangan yang dipandang perlu dan memberikan
bantuan pada pemeriksa guna kelancaran pemeriksaan.
3) Memberikan keterangan yang diperlukan oleh pemeriksa.
c. Jika dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan atau dokumen
serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh kewajiban untuk
merahasiakan, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan.
d. Jika Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban seperti yang telah
disebutkan pada poin b, maka Direktur jenderal Pajak memiliki
kewenangan untuk melakukan penyegelan tempat atau ruangan
tertentu.

Dasar-Dasar Perpajakan - 37
Penyidikan

1. Pengertian
Penyidikan tidak pidana perpajakan adalah kegiatan yang dilakukan
oleh penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang menerangkan
tindak pidana di bidang perpajakan dan menemukan tersangkanya.
Penyidikan tindak pidana perpajakan dilaksanakan berdasarkan
ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang nomor 8/1981 tentang
KUHAP.
2. Penyidik
Penyidik tindak pidana perpajakan adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu yang terdapat di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang telah
diberi kewenangan khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan
tindak pidana perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan undang-undang
perpajakan.
3. Wewenang Penyidik
a. Menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan maupun
laporan yang berhubungan dengan tindak pidana perpajakan agar
laporan tersebut dapat menjadi lebih jelas.
b. Meneliti, mencari, dan mengumpulkan semua keterangan mengenai
orang pribadi maupun badan tentang kebenaran perbuatan yang
dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan.
c. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang pribadi maupun badan
yang berhubungan dengan tindak pidana perpajakan.
d. Memeriksa buku catatan dan dokumen lain sehubungan dengan tindak
pidana perpajakan.
e. Melakukan penggeledahan demi mendapatkan barang bukti
pembukuan, pencatatan dan dokumen lain, sekaligus melakukan
penyitaan terhadap bahan bukti tersebut.
f. Meminta bantuan tenaga ahli dalam hal pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana perpajakan.
g. Menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang untuk meninggalkan
ruangan atau tempat pada saat penyidikan sedang berlangsung dan
memeriksa identitas orang, benda, dan atau dokumen yang dibawa.
h. Mengambil gambar seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana
perpajakan.
i. Memanggil orang untuk mendapatkan keterangannya dan diperiksa
sebagai tersangka atau saksi.
j. Menghentikan penyidikan.
k. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak
pidana perpajakan berdasarkan ketentuan peraturan undang-undang
perpajakan.
4. Kewajiban Penyidik
Penyidik wajib memberitahukan kapan dimulainya penyidikan dan
menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui penyidik

38 - Dasar-Dasar Perpajakan
pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam undang-undang Hukum Acara Pidana.

Surat Paksa

Surat paksa adalah surat perintah untuk membayar hutang pajak dan biaya
penagihan pajak. Surat Paksa memiliki kekuatan eksekutorial dan kedudukan
hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan
hukum tetap.
Surat Paksa paling tidak harus memuat:
1. Nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak.
2. Dasar penagihan.
3. Besarnya hutang pajak.
4. Perintah untuk membayar hutang pajak.
Surat Paksa dapat diterbitkan dengan syarat:
1. Penanggung Pajak tidak melunasi hutang pajak dan mendapatkan Surat
Teguran atau Surat Peringatan ataupun surat lain yang sejenis.
2. Penanggung Pajak akan ditagih seketika dan sekaligus.
3. Penganggung Pajak tidak dapat memenuhi ketentuan yang telah tercantum
dalam keputusan persetujuan angsuran ataupun penundaan pembayaran
pajak.
Surat Paksa terhadap orang pribadi akan diberitahukan oleh Juru Sita pajak
kepada:
1. Penanggung Pajak di tempat tinggal, tempat usaha, atau di tempat lain yang
memungkinkan.
2. Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama atau yang bekerja di tempat
usaha Penanggung Pajak, jika Penanggung Pajak tidak dapat ditemui di
tempat.
3. Salah satu ahli waris atau pelaksana wasiat atau orang yang bertugas
mengurus harta peninggalan Penanggung Pajak, jika Wajib Pajak telah
meninggal dunia dan harta warisannya belum dibagi atau,
4. Para ahli waris, jika Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisannya
telah dibagi.
Surat Paksa untuk badan diberitahukan oleh juru sita pajak kepada:
1. Pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik
modal, baik di tempat kedudukan badan yang bersangkutan, di tempat tinggal
meraka, ataupun di tempat lain yang memungkinkan.
2. Pegawai tetap di tempat kedudukan badan teersebut jika Juru Sita Pajak
tidak dapat menjumpai salah satu orang yang telah disebutkan pada poin 1.

Keberatan

Jika Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, dan
pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya, maka Wajib
Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak
terhadap:

Dasar-Dasar Perpajakan - 39
1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
3. Surat Ketetapan Pajak Nihil.
4. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
5. Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan
ketentuan peratutan undang-undang perpajakan.
Surat keberatan disampaikan oleh Wajib Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak
tempat dimana Wajib Pajak terdaftar dan atau tempat dimana Pengusaha Kena
Pajak dikukuhkan. Penyampaian surat keberatan dapat melalui:
1. Penyampaian langsung.
2. Penyampaian melalui pos dengan bukti pengiriman surat.
3. Penyampaian melalui jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman
surat, atau dapat juga melalui e-filling lewat ASP.
Pengajuan surat keberatan harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
2. Menyebutkan jumlah pajak yang terutang ataupun jumlah pajak yang
dipotong atau dipungut atau jumlah rugi yang menurut perhitungan Wajib
Pajak dengan disertai alasan-alasan yang menjadi dasar perhitungan.
3. Satu surat keberatan diajukan hanya untuk satu surat ketetapan pajak, untuk
satu pemotongan pajak ataupun untuk satu pemungutan pajak.
4. Wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit
sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir
pemeriksaan.
5. Surat keberatan diajukan dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal
dikirimnya surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau
pemungutan pajak oleh pihak ketiga kecuali jika Wajib Pajak dapat
menunjukkan bahwa dalam jangka waktu tersebut terdapat keadaan di luar
kekuasaan (force majeur) Wajib Pajak yang menyebabkan Wajib Pajak tidak
dapat memenuhi jangka waktu yang telah ditentukan.
6. Surat keberatan harus ditanda tangani oleh Wajib Pajak, jika surat keberatan
ditanda tangani oleh orang lain selain Wajib Pajak, maka surat keberatan
tersebut wajib melampirkan surat kuasa khusus.
Surat keberatan yang telah memenuhi syarat akan diproses secara lebih
lanjut oleh Direktorat Jenderal Pajak. Sebelum Surat Pemberitahuan Untuk Hadir
disampaikan oleh inspektur jenderal pajak, beberapa hal yang dapat dilakukan
dalam proses penyelesaian keberatan diantaranya:
1. Direktur Jenderal Pajak meminta keterangan, data, maupun informasi
tambahan dari Wajib Pajak.
2. Wajib Pajak memberikan penjelasan tertulis atau alasan tambahan untuk
melengkapi dan memperjelas surat keberatan yang telah disampaikan, baik
itu karena keinginan Wajib Pajak yang bersangkutan maupun karena
keinginan untuk memenuhi permintaan Direktur Jenderal Pajak seperti yang
dimaksud dalam poin 1.

40 - Dasar-Dasar Perpajakan
3. Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan dengan tujuan lain dalam
rangka keberatan untuk mendapatkan data maupun informasi yang objektif
dan dapat dijadikan dasar untuk mempertimbangkan keputusan keberatan.

Banding

Banding merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak
ataupun penanggung pajak kepada suatu keputusan yang dapat diajukan banding,
berdasarkan peraturan undang-undang perpajakan yang berlaku.
Jika seorang Wajib Pajak tiddak setuju pada keputusan keberatan, maka
Wajib Pajak tersebut dapat melakukan banding sebagai upaya hukum lanjutan ke
Pengadilan Pajak. Putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Pajak adalah
putusan yang khusus mencakup lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
Berdasarkan Pasal 27 ayat 3 Undang-Undanng KUP, ada dua syarat untuk
mengajukan permohonan banding, yaitu:
1. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan disertai dengan alasan
yang jelas.
2. Diajukan paling lambat 3 bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima
dengan lampiran salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut.
Beberapa hal yang juga diatur dalam Pasal 27 KUP adalah sebagai berikut:
1. Jika diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan permohonan banding, Direktur
Jenderal Pajak akan memberikan keterangan tertulis mengenai hal-hal yang
menjadi dasar penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
2. Mengenai Wajib Pajak yang mengajukan banding, jangka waktu untuk
melunasi pajak seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 9 ayat 3 dan ayat
3a, atau pada Pasal 25 Undang-Undang KUP, jumlah pajak yang belum
dibayar saat mengajukan keberatan, ditangguhkan hingga satu bulan sejak
penerbitan Putusan Banding.
3. Besarnya pajak yang belum dibayar saat pengajuan permohonan keberatan
seperti yang dimaksud dalam poin 4 (mengenai syarat pengajuan keberatan)
tidak termasuk sebagai hutang pajak seperti yang disebutkan dalam Pasal 11
ayat 1 dan ayat 1a Undang-Undang KUP.
4. Besarnya pajak yang belum dibayar saat pengajuan permohonan banding
tidak akan dianggap sebagai pajak terutang hingga Putusan Banding
diterbitkan.
5. Mengenai permohonan banding yang ditolak ataupun yang dikabulkan
sebagian, Wajib Pajak tersebut akan mendapatkan sanksi administrasi
berupa denda sebesar 100% dari besarnya jumlah pajak berdasarkan
putusan banding dan dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah
dibayarkan oleh Wajib Pajak sebelum mengajukan keberatan.

Peninjauan Kembali

Undang-Undang Pengadilan Pajak Pasal 77 ayat 3 menyebutkan bahwa


pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali terhadap
putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung.

Dasar-Dasar Perpajakan - 41
Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan
berikut:
1. Bila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada kebohongan ataupun tipu
muslihat yang dilakukan oleh pihak lawan dan baru diketahui setelah
masalahnya diputuskan. Atau bila didasarkan pada bukti-bukti yang
dinyatakan palsu oleh hakim pidana.
2. Bila ditemukan bukti tertulis yang penting dan dapat menghasilkan putusan
yang berbeda bila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak.
3. Bila ada hal yang tidak dituntut tapi dikabulkan atau ada hal yang dituntut tapi
dikabulkan lebih. Kecuali yang sudah diputuskan berdasarkan Pasal 80 ayat
1 huruf b dan huruf c Undang-Undang Pengadilan pajak.
4. Bila ada suatu bagian dalam tuntutan yang belum diputuskan tanpa
mempertimbangkan sebab-sebabnya.
5. Bila ada suatu putusan yang jelas-jelas tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundnagan yang berlaku.
Jangka waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali seperti yang
disebutkan dalam Pasal 91 huruf a Undang-Undang Pengadilan Pajak adalah
paling lambat tiga bulan sejak diketahui adanya kebohongan ataupun tipu muslihat
yang dilakukan oleh pihak lawan sejak putusan Hakim pengadilan pidana
mendapatkan kekuatan hukum tetap.
Jangka waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali seperti yang
disebutkan dalam Pasal 91 huruf b Undang-Undang Pengadilan Pajak adalah
paling lambat tiga bulan sejak ditemukannya surat-surat bukti dan tanggal
penemuan surat bukti tersebut harus dinyatakan dibawah sumpah yang telah
disahkan oleh pejabat yang berwenang. Jangka waktu pengajuan permohonan
peninjauan kembali seperti yang disebutkan dalam Pasal 91 huruf c, hurf d, dan
huruf e Undang-Undang Pengadilan Pajak adalah paling lambat tiga bulan sejak
putusan dikirim.
Mahkamah Agung dapat memeriksa dan memutus permohonan peninjauan
kembali berdasarkan ketentuan-ketentuan berikut:
1. Jika dalam jangka waktu enam bulan sejak Mahkamah Agung menerima
permohonan peninjauan kembali dan telah mengambil putusan, dalam hal
putusan yang diambil oleh Pengadilan Pajak melalui pemeriksaan acara
biasa.
2. Jika dalam jangka satu bulan sejak mahkamah Agung menerima
permohonan peninjauan kembali dan telah mengambil putusan, dalam hal
putusan yang diambil melalui pemeriksaan acara cepat.
Putusan terhadap permohonan peninjauan kembali harus disampaikan dalam
sidang yang terbuka untuk umum.

Kewajiban dan Hak Wajib Pajak

Kewajiban Wajib Pajak


1. Mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP.
2. Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.
3. Menghitung dan membayar sendiri pajak dengan benar.

42 - Dasar-Dasar Perpajakan
4. Mengisi SPT dengan benar dan memasukkan sendiri ke Kantor Pelayanan
Pajak dalam batas waktu yang telah ditentukan.
5. Melakukan pembukuan atau pencatatan.
6. Jika Wajib Pajak mengalami pemeriksaan, maka Wajib Pajak harus:
a. Menunjukkan dan meminjamkan buku atau catatan, maupun dokumen
yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berkaitan dengan
penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib
Pajak, ataupun objek lain yang terutang pajak.
b. Memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat
atau ruangan yang dianggap perlu dan memberikan bantuan kepada
pemeriksa demi kelancaran pemeriksaan.
7. Jika dalam waktu menyampaikan pembukuan, pencatatan atau dokumen
serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat untuk merahasiakan,
maka untuk keperluan pemeriksaan, keterikatan untuk merahasiakan tersebut
ditiadakan.

Hak-hak Wajib Pajak


1. Mengajukan surat keberatan dan surat banding.
2. Menerima tanda bukti pemasukan SPT.
3. Melakukan pembetulan terhadap SPT yang telah diajukan.
4. Mengajukan permohonan penundaan penyampaian SPT.
5. Mengajukan permohonan penundaan ataupun pengangsuran pembayaran
pajak.
6. Mengajukan permohonan perhitungan pajak yang dikenakan dalam surat
ketetapan pajak.
7. Meminta kelebihan pembayaran pajak.
8. Mengajukan permohonan penghapusan, pengurangan sanksi, dan
pembetulan surat ketetapan pajak yang salah.
9. Memberi kuasa kepada orang lain untuk melaksanakan kewajiban pajaknya.
10. Meminta bukti pemotongan atau pemungutan pajak.
11. Mengajukan keberatan dan banding.

Kewajiban Pembukuan atau Pencatatan

1. Pembukuan adalah proses pencatatan yang dilakukan secara teratur guna


mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban,
modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan
barang atau jasa yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan yang
berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
Sedangkan pencatatan adalah pengumpulan data tentang peredaran atau
penerimaan bruto dan atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk
menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan
merupakan objek pajak dan atau yang dikenai pajak yang bersifat final.
Kegiatan pencatatan ini dilakukan secara teratur.
2. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan
pembukuan.

Dasar-Dasar Perpajakan - 43
3. Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban untuk melakukan pembukuan
tetapi diwajibkan untuk melakukan pencatatan adalah Wajib Pajak orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai
dengan ketentuan peraturan undang-undang perpajakan diperbolehkan
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan
usah atau pekerjaan bebas juga tidak diwajibkan untuk melakukan
pembukuan tapi wajib melakukan pencatatan.

Sanksi Administrasi

1. Sanksi berupa bunga 2% per bulan


No Masalah Cara Membayar/Menagih
1 Pembetulan sendiri SPT SSP/STP
(SPT Tahunan atau SPT Masa)
Tetapi belum diperiksa
2 Dari penelitian rutin:
PPh pasal 25 tidak/kurang bayar SSP/STP
PPh pasal 21, 22, 23, dan 26, serta PPn yang terlambat SSP/STP
dibayar.
SKPKB, STP, SKPKBT tidak/kurang bayar atau SSP/STP
terlambat dibayar.
SPT salah tulis atau salah hitung SSP/STP
3 Dilakukan pemeriksaan, pajak kurang dibayar SSP/SPKB
(maksimal 24 bulan)
4 Pajak diangsur/ditunda, SKPKB, SKPKBT, STP. SSP/STP
5 SPT tahunan PPh ditunda, pajak kurang dibayar. SSP/STP

Catatan:
a. Sanksi administrasi berupa bunga dapat dibagi menjadi bunga
pembayaran, bunga penagihan, dan bunga ketetapan.
b. Bunga pembayaran adalah bunga karena melakukan pembayaran pajak
yang tidak pada waktunya, dan pembayaran pajak tersebut dilakukan
sendiri tanpa adanya STP, SKPKB, SKPKBT ataupun surat tagihan
lainnya. Bunga pembayaran dibayarkan dengan menggunakan SSP
yang meliputi:
1) Bunga karena pembetulan SPT,
2) Bunga karena adanya angsuran/penundaan pembayaran,
3) Bunga karena terlambat membayar,
4) Bunga karena adanya selisih antara pajak yang sebenarnya
dengan pajak sementara.
c. Bunga penagihan adalah bunga karena pembayaran pajak yang ditagih
dengan STP, SKPKB, SKPKBT ataupun surat tagihan lainnya tidak
dibayarkan dalam batas waktu pembayaran. Bunga penagihan secara
umum ditagih menggunakan STP.
d. Bunga ketetapan adalah bunga yang dimasukkan dalam surat
ketetapan pajak tambahan pokok pajak. Bunga ketetapan dikenakan
dalam jangka waktu maksimal 24 bulan. Bunga ketetapan ditagih
menggunakan SKPKB.

44 - Dasar-Dasar Perpajakan
2. Sanksi berupa denda Administrasi
No Masalah Cara Membayar/Menagih
1 Tidak/terlambat menyampaikan SPT STP ditambah Rp 100.000 atau
Rp 500.000 atau Rp1.000.000
2 Pembetulan sendiri SPT tahunan atau SSP ditambah 150%
SPT masa tapi masih belum diperiksa.
3 Khusus PPN: SSP/SKPKB ditambah denda 2%
a. Tidak melaporkan usaha. dari dasar pengenaan
b. Tidak membuat/mengisi faktur
pajak.
c. Melanggar larangan membuat
Faktur (PKP yang tidak
dikukuhkan)
4 Khusus PBB: STP+denda 2% (maksimum 24
a. STP, SKPKB tidak/kurang dibayar bulan).
atau terlambat dibayar. SKPKB+denda administrasi dari
b. Dilakukan pemeriksaan, pajak selisih pajak yang terutang.
kurang dibayar

3. Kenaikan 50% dan 100%

No Masalah Cara Menagih


1 Dikeluarkan SKPKB dengan
penghitungan secara jabatan:
a. Tidak menyampaikan SPT:
1. SPT tahunan (PPh 29) SKPKB + kenaikan 50%
2. SPT tahunan (PPh 21, SKPKB + kenaikan 100%
22, 23, 26, dan PPN)
b. Tidak melakukan pembukuan SKPKB, 50% PPh pasal 29,
seperti yang dimaksud dalam 100% PPh pasal 21, 22, 23,
pasal 28 KUP 26, dan PPN
c. Tidak memperlihatkan SKPKB
buku/dokumen, tidak 50% PPh pasal 29
memberikan keterangan, tidak 100% PPh pasal 21, 22, 23,
memberikan bantuan untuk 26, dan PPN
kelancaran pemeriksaan
seperti yang dimaksud dalam
pasal 29
2 Dikeluarkan SKPKBT karena SKPKBT 100%
ditemukan data baru, yang
terungkap setelah SKPKB
dikeluarkan
3 Khusus PPN: SKPKB 100%
Dikeluarkan SKPKB karena
pemeriksaan dimana PKP tidak
seharusnya mengkompensasikan
selisih lebih, menghitung tarif 0%
diberi restitusi pajak

Sanksi Pidana

Ketentuan tentang sanksi pidana perpajakan diatur dalam UU No. 6 Tahun


1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan UU No. 12 Tahun 1985

Dasar-Dasar Perpajakan - 45
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan.

Yang
Dikenakan Norma Sanksi Pidana
Sanksi
I. Setiap orang 1. Kealpaan dalam Didenda paling sedikit satu
menyampaikan SPT atau kali jumlah pajak terutang
menyampaikan SPT tapi yang tidak atau kurang bayar
tidak benar atau tidak dan paling banyak dua kali
lengkap atau melampirkan jumlah pajak terutang yang
keterangan yang tidak benar. tidak atau kurang bayar, atau
dipidana penjara paling
singkat tiga bulan dan paling
lama satu tahun.
2. Sengaja tidak menyam- Pidana penjara paling
paikan SPT, tidak singkat enam bulan dan
meminjamkan pembukuan, paling lama enam tahun, dan
catatan atau dokumen lain, denda paling sedikit dua kali
dan hal-hal lain seperti yang jumlah pajak terutang yang
dimaksud dalam pasal 39 tidak atau kurang bayar dan
KUP. paling banyak empat kali
jumlah pajak terutang yang
tidak atau kurang bayar.
Pidana tersebut ditambahkan
menjadi dua kali lipat jika
seseorang melakukan lagi
tindak pidana perpajakan
sebelum lewat satu tahun
terhitung setelah selesai
menjalani pidana penjara
yang dijatuhkan.
3. Melakukan percobaan untuk Pidana penjara paling
melakukan tidak pidana singkat enam bulan dan
dengan menyalahgunakan paling lama dua tahun, dan
atau menggunakan tanpa denda paling sedikit dua kali
hak Nomor Pokok Wajib jumlah restisusi atau
Pajak atau Pengukuhan kompensasi yang diajukan
Pengusaha Kena Pajak, atau dan paling banyak empat kali
menyampaikan SPT dan jumlah restitusi atau
atau menyampaikan SPT kompensasi yang diajukan.
yang isinya tidak benar atau
tidak lengkap, dengan
maksud mengajukan restitusi
atau melakukan kompensasi
pajak maupun pengkreditan
pajak.
4. Sengaja tidak menyam- Pidana penjara paling lama 6
paikan SPOP atau bulan dan atau membayar
menyampaikan SPOP tapi denda paling banyak dua kali
isinya tidak benar seperti jumlah pajak yang terutang.
yang dimaksud dalam Pasal
24 UU PBB

46 - Dasar-Dasar Perpajakan
Yang
Dikenakan Norma Sanksi Pidana
Sanksi
5. Secara sengaja tidak a. Pidana penjara paling
menyampaikan SPOP, lama 2 tahun dan atau
memperlihatkan atau membayar denda paling
meminjamkan surat atau banyak 5 kali jumlah
dokumen palsu, dan hal lain pajak yang terutang
seperti yang telah diatur b. Sanksi a dapat dilipat
dalam Pasal 25 ayat 1 UU gandakan jika melakukan
PBB tindak pidana lagi
sebelum lewat satu tahun
sejak selesai menjalani
hukuman yang dijatuhkan.

II. Pejabat Kelalaian tidak memenuhi Pidana penjara paling lama 1


kewajiban merahasiakan hal- tahun dan atau membayar
hal seperti yang telah diatur denda paling banyak Rp
dalam Pasal 34 UU KUP. 25.000.000.
Tidak memenuhi kewajiban Pidana penjawa paling lama
merahasiakan hal-hal seperti 2 tahun dan atau membayar
yang telah diatur dalam Pasal denda paling banyak Rp
34 UU KUP 50.000.000
III. Pihak Sengaja tidak memperlihatkan Pidana penjara paling lama 1
Ketiga atau tidak meminjamkan surat tahun dan atau denda paling
atau dokumen lainnya dan atau banyak Rp2.000.000
tidak menyampaikan
keterangan yang diperlukan
seperti yang telah diatur dalam
Pasal 25 ayat 1 huruf d dan e
UU PBB

Dasar-Dasar Perpajakan - 47
Lampiran

NPWP
SPT WP PRIBADI
SPT WP BADAN
SSP

48 - Dasar-Dasar Perpajakan
Dasar-Dasar Perpajakan - 49
FORMULIR 1770 SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI 2 0

TAHUN PAJAK
BAGI WAJIB PAJAK YANG MEMPUNYAI PENGHASILAN :


s .d
DARI USAHA/PEKERJAAN BEBAS;
KEMENTERIAN KEUANGAN RI • DARI SATU ATAU LEBIH PEMBERI KERJA; BL TH BL TH
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
• YANG DIKENAKAN PPh FINAL DAN/ATAU BERSIFAT FINAL; DAN/ATAU PEMBUKUAN PENCATATAN
• DALAM NEGERI LAINNYA/LUAR NEGERI.
SPT PEMBETULAN KE - …….
P E R H A T IA N
• SEBELUM M ENGISI BACALAH PETUNJUK PENGISIAN
• ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
• BERI TANDA " X "
DALAM
(KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP :

NAMA WAJIB PAJAK :

JENIS USAHA/PEKERJAAN BEBAS : KLU :


IDENTITAS

NO. TELEPON/FAKSIMILI : /

STATUS KEWAJIBAN PERPAJAKAN : KK HB PH MT


SUAMI-ISTERI
NPWP ISTERI/SUAMI :

Permohonan perubahan data disampaikan terpisah dari pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi ini, dengan menggunakan
Formulir Perubahan Data Wajib Pajak dan dilengkapi dokumen yang disyaratkan.
*) P engisian ko lo m-ko lo m yang berisi nilai rupiah harus tanpa nilai desimal (co nto h penulisan lihat petunjuk pengisian halaman 3) RUPIAH *)
1 PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS
1
[Diisi dari Formulir 1770 - I Halaman 1 Jumlah Bagian A atau Formulir 1770 - I Halaman 2 Jumlah Bagian B Kolom 5]
A. PENGHASILAN NETO

2 PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN


2
[Diisi dari Formulir 1770 - I Halaman 2 Jumlah Bagian C Kolom 5]
3 PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI LAINNYA
3
[Diisi dari Formulir 1770 - I Halaman 2 Jumlah Bagian D Kolom 3]
4 4 PENGHASILAN NETO LUAR NEGERI
[Apabila memiliki penghasilan dari luar negeri agar diisi dari Lampiran Tersendiri, lihat petunjuk pengisian]
4

5 JUMLAH PENGHASILAN NETO (1 + 2 + 3 + 4)


5
…………………………………………………………………………………………………………………………..
6 ZAKAT / SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG BERSIFAT WAJIB
6

7 JUMLAH PENGHASILAN NETO SETELAH PENGURANGAN ZAKAT /SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG


7
SIFATNYA WAJIB ( 5- 6)

8 KOMPENSASI KERUGIAN
8
B. PENGHASILAN
KENA PAJAK

9 JUMLAH PENGHASILAN NETO SETELAH KOMPENSASI KERUGIAN (7 - 8)


9

10 PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK


TK / K/ K / I/ 10

11 PENGHASILAN KENA PAJAK (9 -10)


11

12 PPh TERUTANG (TARIF PASAL 17 UU PPh X ANGKA 11)


12
TERUTANG

[B agi Wajib P ajak dengan status P H / M T diisi dari Lampiran P erhitungan P P h Terutang sebagaimana dimaksud dalam bagian G: Lampiran huruf
C. PPh

i]
13 PENGEMBALIAN/PENGURANGAN PPh PASAL 24 YANG TELAH DIKREDITKAN
13

14 JUMLAH PPh TERUTANG ( 12 + 13)


14

15 PPh YANG DIPOTONG / DIPUNGUT OLEH PIHAK LAIN, PPh YANG DIBAYAR / DIPOTONG DI LUAR
15
NEGERI DAN PPh DITANGGUNG PEMERINTAH [Diisi dari formulir 1770 -II Jumlah Bagian A Kolom 7]
D. KREDIT PAJAK

16 a. PPh YANG HARUS DIBAYAR SENDIRI


(14-15) 16
b. PPh YANG LEBIH DIPOTONG/DIPUNGUT

17 PPh YANG DIBAYAR SENDIRI a. PPh PASAL 25 BULANAN


17a

b. STP PPh PASAL 25 (HANYA POKOK PAJAK)


17b

18 JUMLAH KREDIT PAJAK (17a+17b)


18

19 a. PPh YANG KURANG DIBAYAR (PPh PASAL 29) TGL


(16-18) 19
E. PPh KURANG/

LUNAS
LEBIH BAYAR

b. PPh YANG LEBIH DIBAYAR (PPh PASAL 28 A) tgl bln thn


20 PERMOHONAN : PPh Lebih Bayar pada 19.b mohon D IKE M B A LIKA N D E N G A N S KP P KP P A S A L
a. D IR E S T IT US IKA N c. 17 C ( WP de nga n Krit e ria T e rt e nt u)
D IP E R H IT UN G KA N D E N G A N D IKE M B A LIKA N D E N G A N S KP P KP P A S A L
b. UT A N G P A J A K
d. 17 D ( WP ya ng M e m e nuhi P e rs ya ra t a n T e rt e nt u)

21 ANGSURAN PPh PASAL 25 TAHUN PAJAK BERIKUTNYA DIHITUNG SEBESAR 21


PAJAK BERIKUTNYA
F. ANGSURAN PPh
PASAL 25 TAHUN

DIHITUNG BERDASARKAN :

a. 1/12 X JUMLAH PADA ANGKA 16 c. PERHITUNGAN DALAM LAMPIRAN TERSENDIRI

b. PERHITUNGAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PENGUSAHA TERTENTU

SELA IN FORM ULIR 1770 - I SA M P A I DENGA N 1770 - IV (B A IK YA NG DIISI M A UP UN YA NG TIDA K DIISI) HA RUS DILA M P IRKA N P ULA :

a. SURAT KUASA KHUSUS (BILA DIKUASAKAN) g. PERHITUNGAN ANGSURAN PPh PASAL 25 TAHUN PAJAK BERIKUTNYA
G. LAMPIRAN

b. SSP LEM BAR KE-3 PPh PASAL 29 h. ............................................................................................................................

NERACA DAN LAP. LABA RUGI / REKAPITULASI BULANAN PEREDARAN BRUTO DAN/ ATAU PENGHASILAN PERHITUNGAN PPh TERUTANG BAGI WAJIB PAJAK DENGAN STATUS
c. LAIN DAN BIAYA i. PERPAJAKAN PH ATAU M T
DAFTAR JUM LAH PENGHASILAN DAN PEM BAYARAN PPh PASAL 25 (KHUSUS
d. PERHITUNGAN KOM PENSASI KERUGIAN FISKAL j. UNTUK ORANG PRIBADI PENGUSAHA TERTENTU)
BUKTI PEM OTONGAN/ PEM UNGUTAN OLEH PIHAK LAIN/ DITANGGUNG PEM ERINTAH DAN YANG DAFTAR JUM LAH PENGHASILAN BRUTO DAN PEM BAYARAN PPh FINAL
e. DIBAYAR/ DIPOTONG DI LUAR NEGERI
k. BERDASARKAN PP 46 TAHUN 2013 PER M ASA PAJAK DAN PER TEM PAT

f. FOTOKOPI FORM ULIR 1721-A1 DAN/ ATAU 1721-A2 (............LEM BAR) l. ............................................................................................................................

PERNYATAAN
D e nga n m e nya da ri s e pe nuhnya a k a n s e ga la a k iba t nya t e rm a s uk s a nk s i- s a nk s i s e s ua i de nga n k e t e nt ua n pe runda ng- unda nga n ya ng be rla k u, TANDA TANGAN
s a ya m e nya t a k a n ba hwa a pa ya ng t e la h s a ya be rit a huk a n di a t a s be s e rt a la m pira n- la m pira nnya a da la h be na r, le ngk a p da n je la s .

WAJIB PAJAK KUASA TANGGAL:

NAMA LENGKAP :

NPWP :

F .1.1.3 2 .16

50 - Dasar-Dasar Perpajakan
HALAMAN 1 LAMPIRAN - I
2 0
FORMULIR

TAHUN PAJAK
SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
1770 - I PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA s .d

KEMENTERIAN KEUANGAN RI DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS BAGI WAJIB PAJAK YANG BL TH BL TH

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK MENYELENGGARAKAN PEMBUKUAN PEMBUKUAN PENCATATAN

P E R H A T IA N :
• SEBELUM M ENGISI BACALAH PETUNJUK PENGISIAN
• ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
• BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP :

NAMA WAJIB PAJAK :

BAGIAN A: PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS
(BAGI WAJIB PAJAK YANG MENYELENGGARAKAN PEMBUKUAN)

PEMBUKUAN / LAPORAN KEUANGAN : DIAUDIT OPINI AKUNTAN : TIDAK DIAUDIT

NAMA AKUNTAN PUBLIK :

:
NPWP AKUNTAN PUBLIK

NAMA KANTOR AKUNTAN PUBLIK :

:
NPWP KANTOR AKUNTAN PUBLIK
:
NAMA KONSULTAN PAJAK
:
NPWP KONSULTAN PAJAK

:
NAMA KANTOR KONSULTAN PAJAK
1
:
NPWP KANTOR KONSULTAN PAJAK
2
3 R UP IA H
1. PENGHASILAN DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS BERDASARKAN
LAPORAN KEUANGAN KOMERSIAL :
a. PEREDARAN USAHA 1a

b. HARGA POKOK PENJUALAN 1b

c. LABA/RUGI BRUTO USAHA (1a - 1b) 1c

d. BIAYA USAHA 1d

e. PENGHASILAN NETO (1c - 1d) 1e

2. PENYESUAIAN FISKAL POSITIF


a. BIAYA YANG DIBEBANKAN/DIKELUARKAN UNTUK KEPENTINGAN PRIBADI WAJIB PAJAK ATAU
2a
ORANG YANG MENJADI TANGGUNGANNYA
11
b. PREMI ASURANSI KESEHATAN, ASURANSI KECELAKAAN, ASURANSI JIWA, ASURANSI
2b
DWIGUNA, DAN ASURANSI BEASISWA YANG DIBAYAR OLEH WAJIB PAJAK
c. PENGGANTIAN ATAU IMBALAN SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN ATAU JASA YANG
2c
DIBERIKAN DALAM BENTUK NATURA ATAU KENIKMATAN
d. JUMLAH YANG MELEBIHI KEWAJARAN YANG DIBAYARKAN KEPADA PIHAK YANG MEMPUNYAI
HUBUNGAN ISTIMEWA SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN YANG DILAKUKAN 2d

e. HARTA YANG DIHIBAHKAN, BANTUAN ATAU SUMBANGAN 2e

f. 14
PAJAK PENGHASILAN
2f

g. GAJI YANG DIBAYARKAN KEPADA PEMILIK / ORANG YANG MENJADI TANGGUNGANNYA 2g

h. SANKSI ADMINISTRASI 2h

i. SELISIH PENYUSUTAN/AMORTISASI KOMERSIAL DIATAS PENYUSUTAN/ AMORTISASI


2i
FISKAL
j. BIAYA UNTUK MENDAPATKAN, MENAGIH DAN MEMELIHARA PENGHASILAN YANG
2j
DIKENAKAN PPh FINAL DAN PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK
k. PENYESUAIAN FISKAL POSITIF LAINNYA
2k

l. JUMLAH (2a s.d. 2k) 2l


18
3. PENYESUAIAN FISKAL NEGATIF:
a. PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPh FINAL DAN PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK
3a
OBJEK PAJAK TETAPI TERMASUK DALAM PEREDARAN USAHA
b. SELISIH PENYUSUTAN / AMORTISASI KOMERSIAL DI BAWAH PENYUSUTAN AMORTISASI
3b
FISKAL
c. # FISKAL NEGATIF LAINNYA
PENYESUAIAN
3c

d. JUMLAH (3a s.d. 3c) 3d

4 JUMLAH BAGIAN A (1e + 2l - 3d) 4


#
Pindahkan Jumlah Bagian A (angka 4) ke Formulir 1770 Angka 1

Dasar-Dasar Perpajakan - 51
HALAMAN 2 LAMPIRAN - I
FORMULIR 2 0

TAHUN PAJAK
SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
1770 - I •PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA DAN/ATAU
PEKERJAAN BEBAS BAGI WAJIB PAJAK YANG MENYELENGGARAKAN PENCATATAN
s .d

KEMENTERIAN KEUANGAN RI • PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN BL TH BL TH

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK • PENGHITUNGAN PENGHASILAN DALAM NEGERI LAINNYA P E M B UKUA N P EN C A T A T A N

P E R H A T IA N :
• SEBELUM M ENGISI BACALAH PETUNJUK PENGISIAN
• •
ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
BERI TANDA " X "
DALAM
(KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP :

NAMA WAJIB PAJAK :

BAGIAN B: PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS
(BAGI WAJIB PAJAK YANG MENYELENGGARAKAN PENCATATAN)

PEREDARAN USAHA NORMA PENGHASILAN NETO


NO. JENIS USAHA
(Rupiah) (%) (Rupiah)
( 1) (2) (3) (4) (5)

1 DAGANG

2 INDUSTRI

3 JASA

4 PEKERJAAN BEBAS

5 USAHA LAINNYA

JUMLAH BAGIAN B JBB

Pindahkan Jumlah Bagian B Kolom (5) ke Formulir 1770 Angka 1

BAGIAN C : PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN


(TIDAK TERMASUK PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPh BERSIFAT FINAL)
PENGURANGAN PENGHASILAN
NAMA DAN NPWP PENGHASILAN BRUTO PENGHASILAN NETO
NO. BRUTO/BIAYA
PEMBERI KERJA
(Rupiah) (Rupiah) (Rupiah)
( 1) (2) (3) (4) (5)

JUMLAH BAGIAN C JBC


Pindahkan Jumlah Bagian C Kolom (5) ke Formulir 1770 Angka 2

BAGIAN D : PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI LAINNYA


(TIDAK 8TERMASUK PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPh BERSIFAT FINAL)

JUMLAH PENGHASILAN NETO


NO. JENIS PENGHASILAN
(Rupiah)
( 1) (2) (3)

1 BUNGA

2 ROYALTI

3 SEWA

4 PENGHARGAAN DAN HADIAH

5 KEUNTUNGAN DARI PENJUALAN/PENGALIHAN HARTA

6 PENGHASILAN LAINNYA

JUMLAH BAGIAN D JBD

Pindahkan Jumlah Bagian D ke Formulir 1770 Angka 3

JIKA FORMULIR INI TIDAK MENCUKUPI, DAPAT DIBUAT SENDIRI SESUAI DENGAN BENTUK INI Halaman ke - dari halaman Lampiran -II

52 - Dasar-Dasar Perpajakan
LAMPIRAN - II
2 0
FORMULIR

TAHUN PAJAK
1770 - II SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
s .d
DAFTAR PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PPh OLEH PIHAK LAIN,
KEMENTERIAN KEUANGAN RI
PPh YANG DIBAYAR/DIPOTONG DI LUAR NEGERI DAN BL TH BL TH
PPh DITANGGUNG PEMERINTAH
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PEMBUKUAN PENCATATAN

• • •
(KOTAK PILIHAN) YANG
P E R H A T IA N : SEBELUM M ENGISI BACALAH PETUNJUK PENGISIAN ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM BERI TANDA " X " DALAM
SESUAI

NPWP :

NAMA WAJIB PAJAK :

BAGIAN A : DAFTAR PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PPh OLEH PIHAK LAIN, PPh YANG DIBAYAR / DIPOTONG DI LUAR NEGERI DAN PPh
DITANGGUNG PEMERINTAH

NAMA NPWP BUKTI JUMLAH PPh YANG DIPOTONG /


JENIS PAJAK : PPh PASAL
NO PEMOTONG/PEMUNGUT PEMOTONG/PEMUNGUT PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN DIPUNGUT
21/ 22/23/24/26/DTP *)
PAJAK PAJAK (Rupiah)
NOMOR TANGGAL
( 1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

10

11

12

13

14

15
dst

JUMLAH BAGIAN A JBA

Pindahkan Jumlah Bagian A Kolom 7 ke Formulir 1770 Angka 15

*) - DTP PPh Ditanggung Pemerintah


- Kolom (6) diisi dengan pilihan sebagai berikut : 21 / 22 / 23 / 24 /26/ DTP (Contoh : ditulis 21, 22, 23, 24, 26, DTP)
- Jika terdapat kredit pajak PPh Pasal 24, maka jumlah yang diisi adalah maksimum yang dapat dikreditkan sesuai lampiran tersendiri
(lihat petunjuk pengisian tentang Lampiran II Bagian A dan Induk SPT angka 4)

JIKA FORMULIR INI TIDAK MENCUKUPI, DAPAT DIBUAT SENDIRI SESUAI DENGAN BENTUK INI Halaman ke - dari halaman Lampiran-II

Dasar-Dasar Perpajakan - 53
LAMPIRAN - III
FORMULIR 2 0
1770 - III

TAHUN PAJAK
SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI

• PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PAJAK FINAL DAN/ATAU BERSIFAT


FINAL
s .d

KEMENTERIAN KEUANGAN RI • PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK BL TH BL TH

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK



PENGHASILAN ISTERI/SUAMI YANG DIKENAKAN PAJAK SECARA
PEMBUKUAN PENCATATAN
TERPISAH

P E R H A T IA N :
• SEBELUM M ENGISI BACALAH PETUNJUK
PENGISIAN • ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
• BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP :

NAMA WAJIB PAJAK :

BAGIAN A : PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PAJAK FINAL DAN/ATAU BERSIFAT FINAL

DASAR PENGENAAN PPh TERUTANG


NO JENIS PENGHASILAN
PAJAK/PENGHASILAN BRUTO (Rupiah)
( 1) (2) (3) (4)

BUNGA DEPOSITO, TABUNGAN, DISKONTO SBI, SURAT BERHARGA


1.
NEGARA

2. BUNGA/DISKONTO OBLIGASI

3. PENJUALAN SAHAM DI BURSA EFEK

4. HADIAH UNDIAN

PESANGON, TUNJANGAN HARI TUA DAN TEBUSAN


5.
PENSIUN YANG DIBAYAR SEKALIGUS

6. HONORARIUM ATAS BEBAN APBN / APBD

7. PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

BANGUNAN YANG DITERIMA DALAM RANGKA BANGUNAN


8.
GUNA SERAH

9. SEWA ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

10. USAHA JASA KONSTRUKSI

11. PENYALUR/DEALER/AGEN PRODUK BBM

BUNGA SIMPANAN YANG DIBAYARKAN OLEH KOPERASI


12.
KEPADA ANGGOTA KOPERASI

13. PENGHASILAN DARI TRANSAKSI DERIVATIF

14. DIVIDEN

15. PENGHASILAN ISTERI DARI SATU PEMBERI KERJA

PENGHASILAN LAIN YANG DIKENAKAN PAJAK FINAL


16.
DAN/ATAU BERSIFAT FINAL

17. JUMLAH (1 s.d. 16)

BAGIAN B : PENGHASILAN
3 YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK
PENGHASILAN BRUTO
NO SUMBER/JENIS PENGHASILAN
(Rupiah)
( 1) (2) (3)

1. BANTUAN / SUMBANGAN / HIBAH

2. WARISAN

BAGIAN LABA ANGGOTA PERSEROAN KOMANDITER TIDAK ATAS SAHAM, PERSEKUTUAN,


3.
PERKUMPULAN, FIRMA, KONGSI

4. KLAIM ASURANSI KESEHATAN, KECELAKAAN, JIWA, DWIGUNA, BEASISWA

5. BEASISWA

6. PENGHASILAN LAIN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK

JUMLAH BAGIAN B JBB

BAGIAN C : PENGHASILAN ISTERI/SUAMI YANG DIKENAKAN PAJAK SECARA TERPISAH


(Rupiah)

PENGHASILAN NETO ISTERI/SUAMI YANG DIKENAKAN PAJAK SECARA TERPISAH

54 - Dasar-Dasar Perpajakan
FORMULIR
LAMPIRAN - IV
2 0

TAHUN PAJAK
1770 - IV SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI

• HARTA PADA AKHIR TAHUN s.d


KEMENTERIAN KEUANGAN RI
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK • KEWAJIBAN/UTANG PADA AKHIR TAHUN BL TH BL TH

• DAFTAR SUSUNAN ANGGOTA KELUARGA PEMBUKUAN PENCATATAN

PER HA T IA N
• SEBELUM M ENGISI BACALAH PETUNJUK PENGISIAN
• ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
• BERI TANDA " X " DALAM (KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP :

NAMA WAJIB PAJAK :

BAGIAN A : HARTA PADA AKHIR TAHUN

KODE HARGA PEROLEHAN


NO. NAMA HARTA TAHUN PEROLEHAN KETERANGAN
HARTA (Rupiah)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

10 dst

JUMLAH BAGIAN A JBA

BAGIAN B : KEWAJIBAN/UTANG PADA AKHIR TAHUN

KODE TAHUN JUMLAH


NO. NAMA PEMBERI PINJAMAN ALAMAT PEMBERI PINJAMAN
UTANG PEMINJAMAN (Rupiah)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

10 dst

JUMLAH BAGIAN B JBB

BAGIAN C : DAFTAR SUSUNAN ANGGOTA KELUARGA

NO. NAMA ANGGOTA KELUARGA NIK HUBUNGAN KELUARGA PEKERJAAN

(1) (2) (3) (4) (5)

4
5
dst

JIKA FORMULIR INI TIDAK MENCUKUPI, DAPAT DIBUAT SENDIRI SESUAI DENGAN BENTUK INI Halaman ke- dari halaman Lampiran-IV

Dasar-Dasar Perpajakan - 55
LEMBAR PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN TERUTANG
BAGI WAJIB PAJAK YANG KAWIN DENGAN STATUS PERPAJAKAN SUAMI-ISTERI PISAH HARTA DAN PENGHASILAN (PH) ATAU
ISTERI YANG MENGHENDAKI UNTUK MENJALANKAN HAK DAN KEWAJIBAN PERPAJAKANNYA SENDIRI (MT)

No. Uraian Penghasilan Neto Suami Penghasilan Neto Isteri


(1) (2) (3) (4)

A PENGHASILAN NETO

1 PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS


[Diisi dari Formulir 1770 Bagian A angka 1]

2 PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN


[Diisi dari Formulir 1770 Bagian A angka 2 atau Formulir 1770 S Bagian A angka 1]

3 PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI LAINNYA


[Diisi dari Formulir 1770 Bagian A angka 3 atau Formulir 1770 S Bagian A angka 2]

4 PENGHASILAN NETO LUAR NEGERI


[Diisi dari Formulir 1770 Bagian A angka 4 atau Formulir 1770 S Bagian A angka 3]
5 ZAKAT / SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG BERSIFAT WAJIB
[Diisi dari Formulir 1770 Bagian A angka 6 atau Formulir 1770 S Bagian A angka 5]
6 JUMLAH ( 1 + 2 + 3 + 4 - 5 )

7 KOMPENSASI KERUGIAN
[Khusus Bagi WP OP yang menyelenggarakan pembukuan. Diisi dari Formulir 1770 Bagian A angka 8]
8 JUMLAH PENGHASILAN NETO ( 6 - 7 )

No Uraian Nilai
(1) (2) (3)

B JUMLAH PENGHASILAN NETO SUAMI DAN ISTERI [ A.8.(3) + A.8.(4) ]

C PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK [ K / I / ………. ]

D PENGHASILAN KENA PAJAK [ B - C ]

E PAJAK PENGHASILAN TERUTANG (GABUNGAN)

1 5% x ………………………………

2 15% x …………………………….

3 25% x …………………………….

4 30% x …………………………….
JUMLAH PAJAK PENGHASILAN TERUTANG (GABUNGAN)

F PPh TERUTANG YANG DITANGGUNG SUAMI [ (A.8.(3) / B) x E ]


[Pindahkan nilai pada bagian ini ke SPT Suami bagian C angka 12 Formulir 1770 atau ke bagian C angka 9 Formulir 1770 S]

G PPh TERUTANG YANG DITANGGUNG ISTERI [ (A.8.(4) / B) x E ]


[Pindahkan nilai pada bagian ini ke SPT Isteri bagian C angka 12 Formulir 1770 atau ke bagian C angka 9 Formulir 1770 S]

……………………., ………………………….. 20….

SUAMI

Nama : ………………………………………………………………………………………………

NPWP : ………………………………………………………………………………………………

Tanda Tangan

ISTERI

Nama : ………………………………………………………………………………………………

NPWP : ………………………………………………………………………………………………

Tanda Tangan

56 - Dasar-Dasar Perpajakan
Daftar Jumlah Penghasilan dan Pembayaran PPh Pasal 25
Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu

Nama :
NPWP :
Alamat :

NPWP Tempat Usaha Peredaran Bruto Pedagang


No. Alamat PPh Pasal 25 Dibayar
KPP Lokasi Pengecer

Jumlah

Tanda Tangan, Nama dan Cap

………………………………………………….

Jika formulir ini tidak mencukupi, dapat dibuat sendiri sesuai dengan bentuk ini

Halaman ke- ……. dari ……. halaman

Dasar-Dasar Perpajakan - 57
Daftar Jumlah Penghasilan Bruto dan Pembayaran PPh Final berdasarkan PP 46 Tahun 2013
Per Masa Pajak Serta Dari Masing-Masing Tempat Usaha

Nama :
NPWP :
Alamat :

No. NPWP Tempat Usaha Alamat Peredaran Bruto PPh Final 1% Dibayar
KPP Lokasi

Jumlah

Tanda Tangan, Nama dan Cap

………………………………………………….

Jika formulir ini tidak mencukupi, dapat dibuat sendiri sesuai dengan bentuk ini

Halaman ke- ……. dari ……. halaman

58 - Dasar-Dasar Perpajakan
SPT TAHUNAN
2 0

TAHUN PAJAK
FORMULIR 1770 S PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
BAGI WAJIB PAJAK YANG MEMPUNYAI PENGHASILAN :
KEMENTERIAN KEUANGAN RI • DARI SATU ATAU LEBIH PEMBERI KERJA; SPT PEMBETULAN KE - …
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK • DALAM NEGERI LAINNYA; DAN/ATAU
• YANG DIKENAKAN PPh FINAL DAN/ATAU BERSIFAT FINAL.
PERHATIAN • SEBELUM MENGISI BACA DAHULU PETUNJUK PENGISIAN • ISI DENGAN HURUF CETAK / DIKETIK DENGAN TINTA HITAM
• BERI TANDA "X" PADA ( KOTAK PILIHAN) YANG SESUAI

NPWP :

NAMA WAJIB PAJAK :

PEKERJAAN : KLU :
IDENTITAS

NO. TELEPON : - NO. FAKS : -

STATUS KEWAJIBAN : KK HB PH MT
PERPAJAKAN SUAMI-ISTERI

NPWP ISTERI / SUAMI :

Permohonan perubahan data disampaikan terpisah dari pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi ini, dengan menggunakan
Formulir Perubahan Data Wajib Pajak dan dilengkapi dokumen yang disyaratkan.
*) P engisian ko lo m-ko lo m yang berisi nilai rupiah harus tanpa nilai desimal (co nto h penulisan lihat petunjuk pengisian halaman 3) RUPIAH *)
1 PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN …….
……………………………………………..
1
[ Diisi akumulasi jumlah penghasilan net o pada set iap Formulir 1721-A1 dan/ at au 1721-A2 angka 14 yang dilampirkan at au Bukt i Pot ong Lain]
A. PENGHASILAN NETO

2 PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI LAINNYA ………………………………………………………………………………………………………………………….


2
[Diisi sesuai dengan Fo rmulir 1770 S-I Jumlah B agian A ]

3 PENGHASILAN NETO LUAR NEGERI ………………………………………………………………………………………………………………………….


3
[A pabila memiliki penghasilan dari luar negeri agar diisi dari Lampiran Tersendiri, lihat petunjuk pengisian]

4 JUMLAH PENGHASILAN NETO (1+2+3) ………………………………………………………………………………………


4

5 ZAKAT/SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG SIFATNYA WAJIB ……………………………………………………………………………


5

6 JUMLAH PENGHASILAN NETO SETELAH PENGURANGAN ZAKAT /SUMBANGAN KEAGAMAAN ………………………………………………………………………………………


6
YANG SIFATNYA WAJIB (4-5)
B.PENGHASIL

7 PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK TK / K/ K / I/


AN KENA

7
PAJAK

8 PENGHASILAN KENA PAJAK (6-7) 8


…………………………………………………………………………………………….

9 PPh TERUTANG (TARIF PASAL 17 UU PPh x ANGKA 8) ……………………………………………………………………


C. PPh TERUTANG

[B agi Wajib P ajak dengan status P H atau M T diisi dari Lampiran P erhitungan P P h Terutang sebagaimana dimaksud dalam bagian G: 9
Lampiran huruf d]

10 PENGEMBALIAN / PENGURANGAN PPh PASAL 24 YANG TELAH DIKREDITKAN ………………………………………


10

11 JUMLAH PPh TERUTANG (9+10) ……………………………………………………………………………………………


11

12 PPh YANG DIPOTONG/DIPUNGUT PIHAK LAIN/DITANGGUNG PEMERINTAH DAN/ATAU KREDIT PAJAK LUAR 12
NEGERI DAN/ATAU TERUTANG DI LUAR NEGERI [Diisi dari Formulir 1770 S-I Jumlah Bagian C Kolom (7)]
D. KREDIT PAJAK

13 a. PPh YANG HARUS DIBAYAR SENDIRI


(11-12) ……………………………………………………..13
b. PPh YANG LEBIH DIPOTONG/DIPUNGUT

14 PPh YANG DIBAYAR SENDIRI a. PPh PASAL 25 ……………………………………………………………………


………………………………………………………………………
14a

b. STP PPh Pasal 25 (Hanya Pokok Pajak) ………………………………………………………


14b

15 JUMLAH KREDIT PAJAK (14a + 14b) …………………………………………………………………………………………


15

TGL LUNAS

16 a. PPh YANG KURANG DIBAYAR (PPh PASAL 29)


E. PPh KURANG/LEBIH

(13-15) 16
b. PPh YANG LEBIH DIBAYAR (PPh PASAL 28 A) TGL BLN THN
BAYAR

17 PERMOHONAN : PPh Lebih Bayar pada 16b mohon :


a. DIRESTITUSIKA N c. DIKEM B A LIKA N DENGA N SKP P KP P A SA L 17C (WP dengan Kriteria Tertentu)

b. DIP ERHITUNGKA N DENGA N d. DIKEM B A LIKA N DENGA N SKKP P P A SA L 17D (WP yang M emenuhi P ersyaratan Tertentu)
UTA NG P A JA K

18 ANGSURAN PPh PASAL 25 TAHUN PAJAK BERIKUTNYA SEBESAR 18


……………………………………………………………………………………………………………………..
TAHUN PAJAK
F. ANGSURAN
PPh PASAL 25

BERIKUTNYA

DIHITUNG BERDASARKAN :
a. 1/12 x JUMLAH PADA ANGKA 13
b. PENGHITUNGAN DALAM LAMPIRAN TERSENDIRI
Perhitungan PPh Terutang bagi Wajib Pajak dengan status perpajakan PH
G. LAMPIRAN

a. Fotokopi Formulir 1721- A1 atau 1721- A2 atau Bukti Potong PPh Pasal 21 d. atau MT
b. Surat Setoran Pajak Lembar Ke- 3 PPh Pasal 29 e. …………………………………………………………..

c. Surat Kuasa Khusus (Bila dikuasakan)

PERNYATAAN
D e nga n m e nya da ri s e pe nuhnya a k a n s e ga la a k iba t nya t e rm a s uk s a nk s i- s a nk s i s e s ua i de nga n k e t e nt ua n T A N D A T A N GA N
pe ra t ura n pe runda ng- unda nga n ya ng be rla k u, s a ya m e nya t a k a n ba hwa ya ng t e la h be rit a huk a n dia t a s
be s e rt a la m pira n- la m pira nnya a da la h be na r, le ngk a p da n je la s .

WAJIB PAJAK KUASA TANGGAL


TGL BLN THN

NAMA LENGKAP :

NPW P :

F.1.1.32.18

Dasar-Dasar Perpajakan - 59
LAMPIRAN - I

TAHUN PAJAK
FORMULIR
1770 S - I •
SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI LAINNYA 2 0
KEMENTERIAN KEUANGAN RI • PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DAFTAR PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PPh OLEH PIHAK LAIN DAN PPh YANG DITANGGUNG
PEMERINTAH

NPWP :

NAMA WAJIB PAJAK :

BAGIAN A : PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI LAINNYA


(TIDAK TERMASUK PENGHASILAN DIKENAKAN PPh FINAL DAN/ATAU BERSIFAT FINAL)

JUMLAH PENGHASILAN
NO. JENIS PENGHASILAN
(Rupiah)
(1) (2) (3)

1. BUNGA

2. ROYALTI

3. SEWA

4. PENGHARGAAN DAN HADIAH

5. KEUNTUNGAN DARI PENJUALAN/PENGALIHAN HARTA

6. PENGHASILAN LAINNYA

JUMLAH BAGIAN A JBA

Pindahkan Jumlah Bagian A ke Formulir Induk 1770 S Bagian A


angka (2)
BAGIAN B : PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK

JUMLAH PENGHASILAN
NO. JENIS PENGHASILAN
(Rupiah)
(1) (2) (3)

1. BANTUAN/SUMBANGAN/HIBAH

2. WARISAN

3. BAGIAN LABA ANGGOTA PERSEROAN KOMANDITER TIDAK ATAS SAHAM,


PERSEKUTUAN, PERKUMPULAN, FIRMA, KONGSI

4. KLAIM ASURANSI KESEHATAN, KECELAKAAN, JIWA, DWIGUNA, BEASISWA

5. BEASISWA

6. PENGHASILAN LAINNYA YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK

JUMLAH BAGIAN B JBB

BAGIAN C : DAFTAR PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PPh OLEH PIHAK LAIN DAN PPh YANG DITANGGUNG PEMERINTAH

NAMA PEMOTONG/ NPWP PEMOTONG/ BUKTI PEMOTONGAN/ JENIS PAJAK : JUMLAH PPh YANG
NO PEMUNGUTAN PPh PASAL 21/
PEMUNGUT PAJAK PEMUNGUT PAJAK DIPOTONG / DIPUNGUT
NOMOR TANGGAL 22/23/24/26/DTP*
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1.

2.

3.

4.

5.
dst

JUMLAH BAGIAN C JBC

Pindahkan Jumlah Bagian C ke Formulir


Catatan : Induk 1770 S Bagian D angka 12
*) - DTP : Ditanggung Pemerintah
- Kolom (6) diisi dengan pilihan PPh Pasal 21/22/23/24/26/DTP (Contoh : ditulis 21, 22, 23, 24, 26, DTP)
- Jika terdapat kredit pajak PPh Pasal 24, maka jumlah yang diisi adalah maksimum yang dapat dikreditkan sesuai lampiran tersendiri
(lihat petunjuk pengisian tentang Lampiran I Bagian C dan Induk SPT angka 3)

JIKA FORMULIR INI TIDAK MENCUKUPI, DAPAT DIBUAT SENDIRI SESUAI DENGAN BENTUK INI Halaman ke- dari halaman Lampiran-I

60 - Dasar-Dasar Perpajakan
LAMPIRAN - II

TAHUN PAJAK
FORMULIR
1770 S - II SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
2 0
• PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPh FINAL DAN/ATAU BERSIFAT FINAL
KEMENTERIAN KEUANGAN RI • HARTA PADA AKHIR TAHUN
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK • KEWAJIBAN/UTANG PADA AKHIR TAHUN
• DAFTAR SUSUNAN ANGGOTA KELUARGA

NPWP :

NAMA WAJIB PAJAK :

BAGIAN A : PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPh FINAL DAN/ATAU BERSIFAT FINAL


DASAR PENGENAAN PAJAK/
NO. SUMBER/JENIS PENGHASILAN PPh TERUTANG
PENGHASILAN BRUTO
(Rupiah) (Rupiah)
(1) (2) (3) (4)
BUNGA DEPOSITO, TABUNGAN, DISKONTO SBI, SURAT
1.
BERHARGA NEGARA

2. BUNGA/DISKONTO OBLIGASI

3. PENJUALAN SAHAM DI BURSA EFEK

4. HADIAH UNDIAN

PESANGON, TUNJANGAN HARI TUA DAN TEBUSAN PENSIUN


5.
YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS

6. HONORARIUM ATAS BEBAN APBN/APBD

7. PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN

8. SEWA ATAS TANAH DAN/ATAU BANGGUNAN

BANGUNAN YANG DITERIMA DALAM RANGKA BANGUN GUNA


9.
SERAH
BUNGA SIMPANAN YANG DIBAYARKAN OLEH KOPERASI
10.
KEPADA ANGGOTA KOPERASI

11. PENGHASILAN DARI TRANSAKSI DERIVATIF

12. DIVIDEN

13. PENGHASILAN ISTERI DARI SATU PEMBERI KERJA

PENGHASILAN LAIN YANG DIKENAKAN PAJAK FINAL


14.
DAN/ATAU BERSIFAT FINAL
JUMLAH BAGIAN A JBA

BAGIAN B : HARTA PADA AKHIR TAHUN


KODE TAHUN HARGA PEROLEHAN
NO. NAMA HARTA KETERANGAN
HARTA PEROLEHAN (Rupiah)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1.

2.

3.

4.

5.
dst

JUMLAH BAGIAN B JBB

BAGIAN C : KEWAJIBAN/UTANG PADA AKHIR TAHUN


KODE ALAMAT TAHUN
NO. NAMA PEMBERI PINJAMAN JUMLAH
UTANG PEMBERI PINJAMAN PEMINJAMAN
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

5
dst

JUMLAH BAGIAN C JBC

BAGIAN D : DAFTAR SUSUNAN ANGGOTA KELUARGA

NO. NAMA NIK HUBUNGAN KELUARGA PEKERJAAN

(1) (2) (3) (4) (5)


1

JIKA FORMULIR INI TIDAK MENCUKUPI, DAPAT DIBUAT SENDIRI SESUAI DENGAN BENTUK INI Halaman ke- dari halaman Lampiran-II

Dasar-Dasar Perpajakan - 61
LEMBAR PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN TERUTANG
BAGI WAJIB PAJAK YANG KAWIN DENGAN STATUS PERPAJAKAN SUAMI-ISTERI PISAH HARTA DAN PENGHASILAN (PH) ATAU
ISTERI YANG MENGHENDAKI UNTUK MENJALANKAN HAK DAN KEWAJIBAN PERPAJAKANNYA SENDIRI (MT)

No. Uraian Penghasilan Neto Suami Penghasilan Neto Isteri


(1) (2) (3) (4)

A PENGHASILAN NETO

1 PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI DARI USAHA DAN/ATAU PEKERJAAN BEBAS


[Diisi dari Formulir 1770 Bagian A angka 1]
2 PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN
[Diisi dari Formulir 1770 Bagian A angka 2 atau Formulir 1770 S Bagian A angka 1]
3 PENGHASILAN NETO DALAM NEGERI LAINNYA
[Diisi dari Formulir 1770 Bagian A angka 3 atau Formulir 1770 S Bagian A angka 2]

4 PENGHASILAN NETO LUAR NEGERI


[Diisi dari Formulir 1770 Bagian A angka 4 atau Formulir 1770 S Bagian A angka 3]
5 ZAKAT / SUMBANGAN KEAGAMAAN YANG BERSIFAT WAJIB
[Diisi dari Formulir 1770 Bagian A angka 6 atau Formulir 1770 S Bagian A angka 5]
6 JUMLAH ( 1 + 2 + 3 + 4 - 5 )

7 KOMPENSASI KERUGIAN
[Khusus Bagi WP OP yang menyelenggarakan pembukuan. Diisi dari Formulir 1770 Bagian A angka 8]
8 JUMLAH PENGHASILAN NETO ( 6 - 7 )

No Uraian Nilai
(1) (2) (3)

B JUMLAH PENGHASILAN NETO SUAMI DAN ISTERI [ A.8.(3) + A.8.(4) ]

C PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK [ K / I / ………. ]

D PENGHASILAN KENA PAJAK [ B - C ]

E PAJAK PENGHASILAN TERUTANG (GABUNGAN)

1 5% x ………………………………

2 15% x …………………………….

3 25% x …………………………….

4 30% x …………………………….
JUMLAH PAJAK PENGHASILAN TERUTANG (GABUNGAN)

F PPh TERUTANG YANG DITANGGUNG SUAMI [ (A.8.(3) / B) x E ]


[Pindahkan nilai pada bagian ini ke SPT Suami bagian C angka 12 Formulir 1770 atau ke bagian C angka 9 Formulir 1770 S]

G PPh TERUTANG YANG DITANGGUNG ISTERI [ (A.8.(4) / B) x E ]


[Pindahkan nilai pada bagian ini ke SPT Isteri bagian C angka 12 Formulir 1770 atau ke bagian C angka 9 Formulir 1770 S]

……………………., ………………………….. 20….

SUAMI

Nama : ………………………………………………………………………………………………

NPWP : ………………………………………………………………………………………………

Tanda Tangan

ISTERI

Nama : ………………………………………………………………………………………………

NPWP : ………………………………………………………………………………………………

Tanda Tangan

62 - Dasar-Dasar Perpajakan
STAPLES HANYA PADA BAGIAN INI

1770 SS
KEMENTERIAN KEUANGAN RI TAHUN PAJAK
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK H.03 2 0
PERHATIAN :
SPT TAHUNAN
PAJAK PENGHASILAN DIISI OLEH PETUGAS KPP
▪ SEB ELU M M EN GISI B A C A D A HU LU PET U N JU K PEN GISIA N
WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI BARCODE DITEMPEL DISINI
▪ ISI D EN GA N HU R U F C ET A K/ D IKET IK D EN GA N T IN T A HIT A M

▪ B ER I T A N D A ' X ' PA D A
( KOT A K PILIHA N ) Y A N G SESU AI
H.01 SPT PEMBETULAN KE H.02 - ….
WAJIB PAJAK
IDENTITAS

NPWP I.01 : - -

NAMA WAJIB PAJAK I.02 :

Pengisian kolom-kolom yang berisi nilai rupiah harus tanpa nilai desimal

A. PAJAK PENGHASILAN

1 Penghasilan Bruto dalam Negeri Sehubungan dengan Pekerjaan dan Penghasilan Netto dalam Negeri Lainnya 1 A .01

2 Pengurangan
2 A .02
(Diisi jumlah pengurangan dari Formulir 1721- A1 angka 13 atau 1721- A2 angka 13)

TK/ K/ K/I/
3 Penghasilan Tidak Kena Pajak A .03 A .04 A .05 3 A .06
(Diisi jumlah PTKP dari Formulir 1721- A1 angka 17 atau 1721- A2 angka 16)

4 Penghasilan Kena Pajak ( 1 - 2 - 3 ) 4 A .07

5 Pajak Penghasilan Terutang 5 A .08

6 Pajak Penghasilan yang telah Dipotong oleh Pihak Lain 6 A .09

7 a. A .10 Pajak Penghasilan yang harus Dibayar Sendiri *


(5-6) 7 A .12

b. A .11 Pajak Penghasilan yang Lebih Dipotong

B PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPh FINAL DAN YANG DIKECUALIKAN DARI OBJEK PAJAK

8 Dasar Pengenaan Pajak/Penghasilan Bruto Pajak Penghasilan Final 8 B .01

9 Pajak Penghasilan Final Terutang 9 B .02

10 Penghasilan yang Dikecualikan dari Objek Pajak 10 B .03

C DAFTAR HARTA DAN KEWAJIBAN

11 Jumlah Keseluruhan Harta yang Dimiliki pada Akhir Tahun Pajak 11 C.01

12 Jumlah Keseluruhan Kewajiban/Utang pada Akhir Tahun Pajak 12 C.02

PERNYATAAN

Dengan menyadari sepenuhnya akan segala akibatnya termasuk sanksi-sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Saya menyatakan bahwa apa yang telah saya beritahukan di atas adalah benar, lengkap, jelas.

P .01 - -
dd mm yyyy

TA NDA TA NGA N

* Apa bila te rda pa t P a ja k P e ngha sila n ya ng ha rus diba ya r se ndiri, Wa jib P a ja k ha rus me la mpirka n a sli S S P le mba r ke - 3

Dasar-Dasar Perpajakan - 63
SPT TAHUNAN TAHUN PAJAK
FORMULIR

1771 PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN


PERHATIAN : • SEB ELUM M ENGISI, B A CA DA HULU B UKU P ETUNJUK P ENGISIA N
2 0
KEMENTERIAN KEUANGAN RI • ISI DENGA N HURUF CETA K/DIKETIK DENGA N TINTA HITA M SPT PEMBETULAN
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK • B ERI TA NDA "X" P A DA (KOTA K P ILIHA N) YA NG SESUA I KE-…

NPWP :
IDENTITAS

NAMA WAJIB PAJAK :

JENIS USAHA : KLU :

NO. TELEPON : - NO. FAKS : -

PERIODE PEMBUKUAN : s.d.

NEGARA DOMISILI KANTOR PUSAT (khusus BUT) :

PEMBUKUAN / LAPORAN KEUANGAN : DIAUDIT OPINI AKUNTAN TIDAK DIAUDIT

NAMA KANTOR AKUNTAN PUBLIK :

NPWP KANTOR AKUNTAN PUBLIK :

NAMA AKUNTAN PUBLIK :

N P W P AKUNTAN PUBLIK :

NAMA KANTOR KONSULTAN PAJAK :

N P W P KANTOR KONSULTAN PAJAK :

NAMA KONSULTAN PAJAK :

NPWP KONSULTAN PAJAK :

*) Pengisian kolom-kolom yang berisi nilai rupiah harus t anpa nilai desimal (cont oh penulisan lihat buku pet unjuk hal. 3) RUPIAH *)
(1) (2) (3)
1. PENGHASILAN NETO FISKAL
A. PENGHASILAN

1
(Diisi dari Formulir 1771-I Nomor 8 Kolom 3) ………………………………………………………………….
KENA PAJAK

2. KOMPENSASI KERUGIAN FISKAL


2
(Diisi dari Lampiran Khusus 2A Jumlah Kolom 8) …………………………………

3
3. PENGHASILAN KENA PAJAK (1-2) ……...…..…………………………………….…………………..…………

4. PPh TERUTANG (Pilih salah satu sesuai dengan dengan kriteria Wajib Pajak. Untuk lebih jelasnya, lihat Buku Petunjuk Pengisian SPT)
B. PPh TERUTANG

a. Tarif PPh Ps. 17 ayat (1) Huruf b X Angka 3 ………….


b. Tarif PPh Ps. 17 ayat (2b) X Angka 3 ……………………. 4
c. Tarif PPh Ps. 31E ayat (1)
(Lihat B uku P etunjuk)

5. PENGEMBALIAN / PENGURANGAN KREDIT PAJAK LUAR NEGERI


5
(PPh Ps. 24) YANG TELAH DIPERHITUNGKAN TAHUN LALU ……………………………………….

6
6. JUMLAH PPh TERUTANG (4 + 5) …..………………………………….…………………..…………

7
7. PPh DITANGGUNG PEMERINTAH (Proyek Bantuan Luar Negeri) ……..………………..………………..………

8. a. KREDIT PAJAK DALAM NEGERI


8a
(Diisi dari Formulir 1771-III Jumlah Kolom 6) ……….……………..…....………………..………………..………………..……

b. KREDIT PAJAK LUAR NEGERI


8b
(Diisi dari Lampiran Khusus 7A Jumlah Kolom 8) ……….………………..………………..………………..………………..…
C. KREDIT PAJAK

8c
c. JUMLAH ( 8a + 8b ) ……...……………..….…………………………………………………………………………..………

9. a. PPh YANG HARUS DIBAYAR SENDIRI


(6 – 7 – 8c)…. 9
b. PPh YANG LEBIH DIPOTONG / DIPUNGUT

10. PPh YANG DIBAYAR SENDIRI


10a
a. PPh Ps. 25 BULANAN ….……..………………..…………………………………..…………………..…………

10b
b. STP PPh Ps. 25 (Hanya Pokok Pajak) …….….…..……….…………………………………………………

10c
c. JUMLAH (10a + 10b) …….……………………...………………
D. PPh KURANG/ LEBIH BAYAR

11. a. PPh YANG KURANG DIBAYAR (PPh Ps. 29)


(9 – 10c)….. 11
b. PPh YANG LEBIH DIBAYAR (PPh Ps. 28A)

12. PPh YANG KURANG DIBAYAR PADA ANGKA 11.a DISETOR TANGGAL ………

13. PPh YANG LEBIH DIBAYAR PADA ANGKA 11.b MOHON : TGL BLN THN

a. DIRESTITUSIKAN b. DIPERHITUNGKAN DENGAN UTANG PAJAK


Khusus Restitusi untuk Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu atau Wajib
Pengembalian Pendahuluan (Pasal 17C atau Pasal 17D UU KUP)
Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu:

F.1.1.32.14

64 - Dasar-Dasar Perpajakan
Formulir 1771 Halaman 2
RUPIAH
(1) (2) (3)

14. a. PENGHASILAN YANG MENJADI DASAR


14a
PENGHITUNGAN ANGSURAN ………..………………………
E. ANGSURAN PPh PASAL 25 TAHUN BERJALAN

b. KOMPENSASI KERUGIAN FISKAL:


14b
(Diisi dari Lampiran Khusus 2A Jumlah Kolom 9) .………...

14c
c. PENGHASILAN KENA PAJAK (14a – 14b) …..………………

d. PPh YANG TERUTANG


14d
(Tarif PPh dari Bagian B Nomor 4 X 14c)

e. KREDIT PAJAK TAHUN PAJAK YANG LALU ATAS


PENGHASILAN YANG TERMASUK DALAM ANGKA 14a
14e
YANG DIPOTONG / DIPUNGUT OLEH PIHAK LAIN …..……

14f
f. PPh YANG HARUS DIBAYAR SENDIRI (14d – 14e) ………

14g
g. PPh PASAL 25 : (1/12 X 14f) ………..…….……………………
PENGHASILAN BUKAN
F. PPh FINAL DAN

OBJEK PAJAK

15 a. PPh FINAL :
15a
(Diisi dari Formulir 1771-IV Jumlah Bagian A Kolom 5) …..……..…

b. PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK :


PENGHASILAN BRUTO
15b
(Diisi dari Formulir 1771-IV Jumlah Bagian B Kolom 3) …..……..…..
HUBUNGAN ISTIMEWA

16 a. Ada Transaksi Dalam Hubungan Istimew a dan/atau Transaksi dengan Pihak yang Merupakan Penduduk Negara Tax Haven Country.
TRANSAKSI DALAM
G. PERNYATAAN

(Wajib melampirkan Lampiran Khusus 3A, 3A-1, dan 3A-2 Buku Petunjuk Pengisian SPT )*
b. Tidak Ada Transaksi Dalam Hubungan Istimew a dan/atau Transaksi dengan Pihak yang Merupakan Penduduk Negara Tax Haven
Country

17 SELAIN LAMPIRAN-LAMPIRAN 1771-I, 1771-II, 1771-III, 1771-IV, 1771-V, DAN 1771-VI


BERSAMA INI DILAMPIRKAN PULA :
a. SURAT SETORAN PAJAK LEMBAR KE-3 PPh PASAL 29
b. LAPORAN KEUANGAN
c. TRANSKRIP KUTIPAN ELEMEN-ELEMEN DARI LAPORAN KEUANGAN (Lampiran Khusus 8A -1/ 8A -2 / 8A -3 / 8A -4 / 8A -5 / 8A -6/ 8A -7/ 8A -8)*

d. DAFTAR PENYUSUTAN DAN AMORTISASI FISKAL (Lampiran Khusus 1A Buku Petunjuk Pengisian SPT)*
e. PERHITUNGAN KOMPENSASI KERUGIAN FISKAL (Lampiran Khusus 2A Buku Petunjuk Pengisian SPT)*
f. DAFTAR FASILITAS PENANAMAN MODAL (Lampiran Khusus 4A Buku Petunjuk Pengisian SPT)*
H. LAMPIRAN

g. DAFTAR CABANG UTAMA PERUSAHAAN (Lampiran Khusus 5A Buku Petunjuk Pengisian SPT)*
h. SURAT SETORAN PAJAK LEMBAR KE-3 PPh PASAL 26 AYAT (4) (Khusus bagi BUT)
i. PERHITUNGAN PPh PASAL 26 AYAT (4) (Khusus BUT) (Lampiran Khusus 6A Buku Petunjuk Pengisian SPT)*
j. KREDIT PAJAK LUAR NEGERI (Lampiran Khusus 7A Buku Petunjuk Pengisian SPT)*
k. SURAT KUASA KHUSUS (Bila dikuasakan)
l. RINCIAN JUMLAH PENGHASILAN DAN PEMBAYARAN PPh FINAL PP 46/2013 PER MASA PAJAK DARI MASING-MASING TEMPAT USAHA
m.
n.
* Wajib Pajak dapat langsung mengunduh dari situs Direktorat Jenderal Pajak dengan alamat http://w w w .pajak.go.id. atau mengambil di KPP/KP2KP
terdekat.
PERNYATAAN

Dengan menyadari sepenuhnya akan segala akibatnya termasuk sanksi-sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,
saya menyatakan bahwa apa yang telah saya beritahukan di atas beserta lampiran-lampirannya adalah benar, lengkap dan jelas.

a. WAJIB PAJAK b. KUASA c. …………………………………, d.


(Tempat) tgl b ln thn

TANDA TANGAN DAN CAP PERUSAHAAN :

NAMA LENGKAP
PENGURUS / KUASA : e.

NPWP : f.

F.1.1.32.14

Dasar-Dasar Perpajakan - 65
LAMPIRAN - I

TAHUN PAJAK
FORMULIR

1771 - I SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN


2 0 A A
KEMENTERIAN KEUANGAN RI
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO FISKAL
IDENTITAS

NPWP :

NAMA WAJIB PAJAK :

PERIODE PEMBUKUAN : s.d.

NO URAIAN RUPIAH
(1) (2) (3)
1. PENGHASILAN NETO KOMERSIAL DALAM NEGERI :
1a
a. PEREDARAN USAHA …………..……………………………...…………...…………...…………...……………...…...………………………….
Ø

1b
b. HARGA POKOK PENJUALAN …………...…………...…………...…………...…………...…………...…………...…………...…………...…….
Ø

1c
c. BIAYA USAHA LAINNYA .…………...…………....…………...…………....…………...…………....…………...…………....…………...……
Ø

1d
d. PENGHASILAN NETO DARI USAHA ( 1a - 1b - 1c ) ..…………...………….....…………...………….....…………...………….....…………...….
Ø

1e
e. PENGHASILAN DARI LUAR USAHA .…………...…………....…………...…………....…………...…………....…………...………………….
Ø

1f
f. BIAYA DARI LUAR USAHA .…………...…………....…………...…………....…………...…………....…………...…………....…………...……
Ø

1g
g. PENGHASILAN NETO DARI LUAR USAHA ( 1e - 1f )..…….………….....…………...…...………..…….....…....…………...……….
Ø

1h
h. JUMLAH ( 1d + 1g ) : .…………...…………....…………...…………....…………...…………....…………...…………....…………...……………….
Ø
2. PENGHASILAN NETO KOMERSIAL LUAR NEGERI
2
(Diisi dari Lampiran Khusus 7A Kolom 5) .…………...…………....…………...…………..
Ø

3
3. JUMLAH PENGHASILAN NETO KOMERSIAL (1h + 2) …………………...…………………...…………………...………………….…………...………
Ø

4. PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPh FINAL


4
DAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK ..…………...………….....…………...………
Ø

5. PENYESUAIAN FISKAL POSITIF :


a. BIAYA YANG DIBEBANKAN / DIKELUARKAN UNTUK KEPENTINGAN
5a
PEMEGANG SAHAM, SEKUTU, ATAU ANGGOTA. ..…………...………….....………….
Ø

5b
b. PEMBENTUKAN ATAU PEMUPUKAN DANA CADANGAN ..…………...………….....………….
Ø
c. PENGGANTIAN ATAU IMBALAN PEKERJAAN ATAU
5c
JASA DALAM BENTUK NATURA DAN KENIKMATAN ..…………...…………..

d. JUMLAH YANG MELEBIHI KEWAJARAN YANG DIBAYARKAN KEPADA


PEMEGANG SAHAM / PIHAK YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA
5d
SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN ..…………...………….....…………...…………....
Ø

5e
e. HARTA YANG DIHIBAHKAN, BANTUAN ATAU SUMBANGAN ..…………...………….....………….
Ø

5f
f. PAJAK PENGHASILAN ..…………...………….....…………...………….....…………...……
Ø
g. GAJI YANG DIBAYARKAN KEPADA ANGGOTA PERSEKUTUAN, FIRMA
5g
ATAU CV YANG MODALNYA TIDAK TERBAGI ATAS SAHAM ..…………...………….....…………...…
Ø

5h
h. SANKSI ADMINISTRASI ..…………...………….....…………...………….....…………...…………....
Ø

5i
i. SELISIH PENYUSUTAN KOMERSIAL DI ATAS PENYUSUTAN FISKAL ..…………...……………
Ø

5j
j. SELISIH AMORTISASI KOMERSIAL DI ATAS AMORTISASI FISKAL ..…………...………….....…………...………….....…………...…..
Ø

5k
k. BIAYA YANG DITANGGUHKAN PENGAKUANNYA ..…………...………….....…………...………
Ø

5l
l. PENYESUAIAN FISKAL POSITIF LAINNYA ..…………...………….....…………...…………....
Ø

5m
m. JUMLAH 5a s.d. 5l : ..…………...………….....…………...…………............ Ø

6. PENYESUAIAN FISKAL NEGATIF :


6a
a. SELISIH PENYUSUTAN KOMERSIAL DI BAWAH PENYUSUTAN FISKAL ..………….
Ø

6b
b. SELISIH AMORTISASI KOMERSIAL DI BAWAH AMORTISASI FISKAL ..……… Ø

6c
c. PENGHASILAN YANG DITANGGUHKAN PENGAKUANNYA ..……………… Ø

6d
d. PENYESUAIAN FISKAL NEGATIF LAINNYA ..…………...………….....…………...………
Ø

6e
e. JUMLAH 6a s.d. 6d ..…………...………….....…………...………….....…………...………….....…………...………….....…………...………………..
Ø

7. FASILITAS PENANAMAN MODAL BERUPA PENGURANGAN PENGHASILAN NETO:


7b
TAHUN KE - 7a (Diisi dari Lampiran Khusus 4A Angka 5b) ..………….Ø

8. PENGHASILAN NETO FISKAL (3 - 4 + 5m - 6e - 7b) ..…………...………….....… 8

CATATAN : Pindahkan jumlah Angka 8 ke Formulir 1771 Huruf A Angka 1.

D.1.1.32.31

66 - Dasar-Dasar Perpajakan
LAMPIRAN - II
1771 - II SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN A A
KEMENTERIAN KEUANGAN RI
20

FORMULIR
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERINCIAN HARGA POKOK PENJUALAN, BIAYA USAHA LAINNYA DAN BIAYA DARI LUAR USAHA SECARA KOMERSIAL

TAHUN PAJAK
NPW P : NAMA WAJIB PAJAK :

IDENTITAS
PERIODE PEMBUKUAN : s.d.

HARGA POKOK PENJUALAN BIAYA USAHA LAINNYA BIAYA DARI LUAR USAHA JUMLAH
NO. PERINCIAN
(Rupiah) (Rupiah) (Rupiah) (Rupiah)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) = (3) + (4) + (5)

1. PEMBELIAN BAHAN/BARANG DAGANGAN

2. GAJI, UPAH, BONUS, GRATIFIKASI,


HONORARIUM, THR, DSB

3. BIAYA TRANSPORTASI

4. BIAYA PENYUSUTAN DAN AMORTISASI

5. BIAYA SEWA

6. BIAYA BUNGA PINJAMAN

7. BIAYA SEHUBUNGAN DENGAN JASA

8. BIAYA PIUTANG TAK TERTAGIH

9. BIAYA ROYALTI

10. BIAYA PEMASARAN/PROMOSI

11. BIAYA LAINNYA

12. PERSEDIAAN AWAL

13. PERSEDIAAN AKHIR (-/-)

14 JUMLAH 1 S.D. 12 DIKURANGI 13

Catatan :
• Nomor 1 untuk Perusahaan Dagang diisi pembelian barang dagangan, untuk perusahaan industri diisi pembelian bahan baku, bahan penolong dan barang jadi.
• Nomor 7 termasuk management fee, technical assistance fee, dan jasa lainnya
• Nomor 11 diisi dengan total biaya yang tidak tertampung dalam perincian 1 s.d. 10.
• Nomor 12 dan 13 untuk perusahaan dagang diisi total persediaan awal dan akhir barang dagangan, untuk perusahaan industri diisi total persediaan
awal/akhir bahan baku/bahan penolong ditambah barang setengah jadi ditambah barang jadi.

D.1.1.32.54

Dasar-Dasar Perpajakan - 67
LAMPIRAN - III
1771 - III SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN
KEMENTERIAN KEUANGAN RI 2 0

FORMULIR
TAHUN PAJAK
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK KREDIT PAJAK DALAM NEGERI

NPW P : NAMA WAJIB PAJAK :

IDENTITAS
PERIODE PEMBUKUAN : s.d.

PEMOTONG/ PRMUNGUT PAJAK OBJEK PEMOTONGAN / PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN BUKTI PEMOTONGAN / PEMUNGUTAN/SSP/SSPCP
NO. JENIS PENGHASILAN / YANG DIPOTONG / DIPUNGUT
NAMA NPWP (Rupiah) NOMOR TANGGAL
TRANSAKSI (Rupiah)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

1.

68 - Dasar-Dasar Perpajakan
2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

JUMLAH JML

Catatan :
• Diisi dengan rincian per Bukti Pemotongan / Pemungutan Pajak.
• Pindahkan hasil penjumlahan PPh Pasal 22, PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 Kolom (6) ke Formulir 1771 Huruf C Angka 8.a.

JIKA FORMULIR INI TIDAK MENCUKUPI, DAPAT DIBUAT SENDIRI SESUAI DENGAN BENTUK INI Halaman ke- dari halaman Lampiran-III

D.1.1.32.32
LAMPIRAN - IV

TAHUN PAJAK
FORMULIR 1771 - IV A A
KEMENTERIAN KEUANGAN RI
SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN
2 0
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PPh FINAL DAN PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK
IDENTITAS

NPWP :

NAMA WAJIB PAJAK :

PERIODE PEMBUKUAN : s.d.

BAGIAN A : PPh FINAL


DASAR PENGENAAN PAJAK TARIF PPh TERUTANG
NO. JENIS PENGHASILAN
(Rupiah) (%) (Rupiah)
(1) (2) (3) (4) (5)

1. BUNGA DEPOSITO / TABUNGAN,


DAN DISKONTO SBI / SBN

2. BUNGA / DISKONTO OBLIGASI

3. PENGHASILAN PENJUALAN SAHAM


YANG DIPERDAGANGKAN DI BURSA EFEK

4. PENGHASILAN PENJUALAN SAHAM


MILIK PERUSAHAAN MODAL VENTURA

5. PENGHASILAN USAHA PENYALUR / DEALER /


AGEN PRODUK BBM

6. PENGHASILAN PENGALIHAN HAK ATAS


TANAH / BANGUNAN

7. PENGHASILAN PERSEWAAN ATAS


TANAH / BANGUNAN
IMBALAN JASA KONSTRUKSI :
a. PELAKSANA KONSTRUKSI

8. b. PERENCANA KONSTRUKSI

c. PENGAWAS KONSTRUKSI

9. PERWAKILAN DAGANG ASING

10. PELAYARAN / PENERBANGAN ASING

11. PELAYARAN DALAM NEGERI

12. PENILAIAN KEMBALI AKTIVA TETAP

13. TRANSAKSI DERIVATIF YANG


DIPERDAGANGKAN DI BURSA

14.
……………………………………………………………

JUMLAH BAGIAN A JBA

Pindahkan ke Formulir 1771 huruf F angka 15 butir a

BAGIAN B : PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK


PENGHASILAN BRUTO
NO JENIS PENGHASILAN
(Rupiah)
(1) (2) (3)

1. BANTUAN / SUMBANGAN

2. HIBAH

3. DIVIDEN / BAGIAN LABA DARI PENYERTAAN MODAL


PADA BADAN USAHA DI INDONESIA (Pasal 4 Ayat (3) Huruf f UU PPh)

4. IURAN DAN PENGHASILAN TERTENTU YANG DITERIMA DANA PENSIUN

BAGIAN LABA YANG DITERIMA PERUSAHAAN MODAL VENTURA


5.
DARI BADAN PASANGAN USAHA
SISA LEBIH YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH BADAN ATAU LEMBAGA
NIRLABA YANG BERGERAK DALAM BIDANG PENDIDIKAN DAN/ATAU
BIDANG PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, YANG TELAH TERDAFTAR
6.
PADA INSTANSI YANG MEMBIDANGINYA, YANG DITANAMKAN KEMBALI
DALAM BENTUK SARANA DAN PRASARANA KEGIATAN PENDIDIKAN DAN/
ATAU PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN (Pasal 4 Ayat (3) Huruf m UU PPh)

7.
…………………………………………………….…………

JUMLAH BAGIAN B JBB

Pindahkan ke Formulir 1771 huruf F angka 15 butir b

J IKA F O R M ULIR IN I T ID A K M E N C UKUP I, D A P A T D IB UA T S E N D IR I S E S UA I D E N G A N B E N T UK IN I Halaman ke- dari halaman Lampiran-IV

D.1.1.32.34

Dasar-Dasar Perpajakan - 69
LAMPIRAN - V
FORMULIR

TAHUN PAJAK
1771 - V SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN A A
KEMENTERIAN KEUANGAN RI • DAFTAR PEMEGANG SAHAM/PEMILIK MODAL DAN JUMLAH DIVIDEN YANG DIBAGIKAN 2 0
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK • DAFTAR SUSUNAN PENGURUS DAN KOMISARIS
IDENTITAS

NPWP :

NAMA WAJIB PAJAK :

PERIODE PEMBUKUAN : s.d.

BAGIAN A : DAFTAR PEMEGANG SAHAM / PEMILIK MODAL DAN JUMLAH DIVIDEN YANG DIBAGIKAN
JUMLAH MODAL DISETOR DIVIDEN
NO NAMA ALAMAT NPWP
(Rupiah) % (Rupiah)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

JUMLAH BAGIAN A JBA 100%

BAGIAN B : DAFTAR SUSUNAN PENGURUS DAN KOMISARIS

NO NAMA ALAMAT NPWP JABATAN

(1) (2) (3) (4) (5)

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

JIKA FORMULIR INI TIDAK MENCUKUPI, DAPAT DIBUAT SENDIRI SESUAI DENGAN BENTUK INI Halaman ke- dari halaman Lampiran-V
D.1.1.32.35

70 - Dasar-Dasar Perpajakan
LAMPIRAN - VI

TAHUN PAJAK
FORMULIR 1771 - VI SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN
2 0 A
KEMENTERIAN KEUANGAN RI • DAFTAR PENYERTAAN MODAL PADA PERUSAHAAN AFILIASI
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK • DAFTAR UTANG DARI PEMEGANG SAHAM DAN/ATAU PERUSAHAAN AFILIASI
• DAFTAR PIUTANG KEPADA PEMEGANG SAHAM DAN/ATAU PERUSAHAAN AFILIASI
IDENTITAS

NPWP :

NAMA WAJIB PAJAK :

PERIODE PEMBUKUAN : s.d.

BAGIAN A : DAFTAR PENYERTAAN MODAL PADA PERUSAHAAN AFILIASI


JUMLAH PENYERTAAN MODAL
NO NAMA ALAMAT NPWP
(Rupiah) %
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1.

2.

3.

4.

5.

JUMLAH BAGIAN A JBA

BAGIAN B : DAFTAR UTANG DARI PEMEGANG SAHAM DAN/ATAU PERUSAHAAN AFILIASI


JUMLAH PINJAMAN BUNGA/TH
NO NAMA NPW P TAHUN
(Rupiah) %
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

10.

11.

12.

13.

BAGIAN C : DAFTAR PIUTANG KEPADA PEMEGANG SAHAM DAN/ATAU PERUSAHAAN AFILIASI


JUMLAH PINJAMAN BUNGA/TH
NO NAMA NPW P TAHUN
(Rupiah) %
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

10.

11.

12.

13.

J IKA F O R M ULIR IN I T ID A K M E N C UKUP I, D A P A T D IB UA T S E N D IR I S E S UA I D E N G A N B E N T UK IN I Halaman ke- dari halaman Lampiran-VI

D.1.1.32.36

Dasar-Dasar Perpajakan - 71
PERUSAHAAN LAMPIRAN KHUSUS 8A-8
8A-8 SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN
PEMBIAYAAN TAHUN PAJAK
TRANSKRIP KUTIPAN ELEMEN-ELEMEN
DARI LAPORAN KEUANGAN 2 0
NP WP :

NA M A WA JIB P A JA K :

I. E LE M E N D A R I N E R A C A

N O. UR A IA N N ILA I ( R UP IA H ) N O. UR A IA N N ILA I ( R UP IA H )
KAS DAN SETARA KAS 1. KEWAJIBAN YANG SEGERA DIBAYAR
1. KAS 2. UTANG PAJAK

2. BANK DALAM NEGERI PINJAM AN YANG DITERIM A


3. BANK LUAR NEGERI 3. DALAM NEGERI

4. INVESTASI JANGKA PENDEK DALAM SURAT BERHARGA 4. LUAR NEGERI


PIUTANG PEM BIAYAAN-NETO 5. SURAT BERHARGA YANG DITERBITKAN

5. SEWA GUNA USAHA 6. KEWAJIBAN PAJAK TANGGUHAN


6. ANJAK PIUTANG PINJAM AN SUBORDINASI
7. KARTU KREDIT 7. DALAM NEGERI

8. PEM BIAYAAN KONSUM EN 8. LUAR NEGERI


PENYERTAAN M ODAL 9. KEWAJIBAN LAINNYA

9. BANK M ODAL
10. PERUSAAHAN JASA KEUANGAN LAINNYA 10. M ODAL DISETOR
11. INVESTASI JANGKA PANJANG DALAM SURAT BERHARGA 11. AGIO

12. AKTIVA TETAP YANG DISEWAGUNAUSAHAKAN-NETO 12. DISAGIO

AKTIVA TETAP DAN INVENTARIS-NETO 13. CADANGAN UM UM

13. TANAH DAN BANGUNAN 14. CADANGAN TUJUAN


14. AKTIVA TETAP SELAIN TANAH DAN BANGUNAN 15. CADANGAN REVALUASI AKTIVA TETAP

15. AKTIVA PAJAK TANGGUHAN 16. SALDO LABA (RUGI)

16. AKTIVA LAIN-LAIN 17. LABA (RUGI) TAHUN BERJALAN


JU M LA H A KT IV A JU M LA H KEW A JIB A N D A N EKU IT A S

II. E LE M E N D A R I LA P O R A N LA B A / R UG I

N O. UR A IA N N ILA I ( R UP IA H )
PENDAPATAN OPERASIONAL
1. SEWA GUNA USAHA
2. ANJAK PIUTANG
3. KARTU KREDIT
4. PEM BIAYAAN KONSUM EN
5. PENDAPATAN DARI PENYALURAN PEM BIAAN
6. T OT A L PEN D A PA T A N N A SION A L ( 1+2 +3 +4 +5)
BEBAN OPERASIONAL :
7. BUNGA
8. PREM I SWAP
9. PREM I ASURANSI
10. TENAGA KERJA
11. PENYUSUTAN
12. PENGHAPUSAN PIUTANG PEM BIAYAAN
13. SEWA
14. BIAYA OPERASIONAL LAIN
15. T OT A L B EB A N OPER A SION A L ( 7+8 +9 +10 +11+12 +13 +14 )
16. PENDAPATAN NON OPERASIONAL
17. BEBAN NON OPERASIONAL
18. LA B A B ER SIH ( 6 - 15 + 16 - 17)

III. E LE M E N T R A N S A KS I D E N G A N P IH A K- P IH A K Y A N G M E M P UN Y A I H UB UN G A N IS T IM E WA S E S UA I D E N G A N P S A K N O M O R 7

N O. P IH A K- P IH A K J E N IS T R A N S A KS I N ILA I T R A N S A KS I ( R UP IA H )

P ER N YA T A A N
Dengan menyadari sepenuhnya akan segala akibatnya termasuk sanksi-sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, saya menyatakan bahwa apa yang telah
saya beritahukan di atas adalah benar, lengkap dan jelas.

a. ……………………………………., 2 0
(Tempat) (tgl) (bln) (thn)

b. WA JIB P A JA K KUA SA
c. NA M A LENGKA P P ENGURUS/KUA SA

(d. Tanda tangan dan cap perusahaan)

72 - Dasar-Dasar Perpajakan
LAMPIRAN KHUSUS 1A
SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN
TAHUN PAJAK 2 0
DAFTAR PENYUSUTAN DAN AMORTISASI FISKAL

NPWP : NAMA WAJIB PAJAK :

BULAN / HARGA NILAI SISA BUKU FISKAL METODE PENYUSUTAN / AMORTISASI


KELOMPOK / JENIS HARTA TAHUN PEROLEHAN AWAL TAHUN PENYUSUTAN / AMORTISASI FISKAL TAHUN INI CATATAN
PEROLEHAN (RUPIAH) (RUPIAH) KOMERSIAL FISKAL (RUPIAH)
HARTA BERWUJUD
Kelompok 1 :
………………………………………………….
Kelompok 2 :
………………………………………………….
Kelompok 3 :
………………………………………………….
Kelompok 4 :
………………………………………………….
KELOMPOK BANGUNAN
Permanen
………………………………………………….
Tidak Permanen :
………………………………………………….
JUMLAH PENYUSUTAN FISKAL ……………..……………..……………..……………..……………..……………..……………..……………..……………..……………………………………...……………..………………..……………………………..
Ø
JUMLAH PENYUSUTAN KOMERSIAL ……………..……………..……………..……………..……………..……………..……………..……………..……………..……..………………………...……..……………..…………………………………..
Ø
SELISIH PENYUSUTAN ( PINDAHKAN KE FORMULIR 1771-I ANGKA 5 HURUF i ATAU ANGKA 6 HURUF a) ……………..……………..……………..……………..……………….………………………..………………………….
Ø
HARTA TAK BERWUJUD
Kelompok 1 :
………………………………………………….
Kelompok 2 :
………………………………………………….
Kelompok 3 :
………………………………………………….
Kelompok 4 :
………………………………………………….
Kelompok Lain-lain
………………………………………………….
JUMLAH AMORTISASI FISKAL ……………..……………..……………..……………..……………..……………..……………..……………..……………..………………...…..………………………....…………………………………………………..
Ø
JUMLAH AMORTISASI KOMERSIAL ……………..……………..……………..……………..……………..……………..……………..……………..………………………………….…..………………….…..……………..……………………………………..
Ø
SELISIH AMORTISASI ( PINDAHKAN KE FORMULIR 1771-I ANGKA 5 HURUF j ATAU ANGKA 6 HURUF b) …….………..………..……..……………..……………..………………………………………………….
Ø

………………………..,

WAJIB PAJAK / KUASA

Dasar-Dasar Perpajakan - 73
( ………………………………………………...……… )
LAMPIRAN KHUSUS 2A
SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN
TAHUN PAJAK 2 0
PERHITUNGAN KOMPENSASI KERUGIAN FISKAL
UNTUK TAHUN PAJAK DAN TAHUN PAJAK BERJALAN

NPW P : NAMA WAJIB PAJAK :

KERUGIAN DAN PENGHASILAN NETO FISKAL KOMPENSASI KERUGIAN FISKAL

NO
TH. TH. TH. TH. TH. TH.
TAHUN RUPIAH
(TAHUN PAJAK INI) (TAHUN BERJALAN)
(RUPIAH) (RUPIAH) (RUPIAH) (RUPIAH) RUPIAH *) RUPIAH **)

74 - Dasar-Dasar Perpajakan
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)

dst

JUMLAH JML

CATATAN : ………………………..,
*) PINDAHKAN JUMLAH KOLOM INI KE FORMULIR 1771 HURUF A ANGKA 2 WAJIB PAJAK / KUASA
**) PINDAHKAN JUMLAH KOLOM INI KE FORMULIR 1771 HURUF E ANGKA 14 BUTIR b

( ………………………………………………...……… )
LAMPIRAN KHUSUS 3A
SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN
TAHUN PAJAK
PERNYATAAN TRANSAKSI DENGAN PIHAK YANG MEMILIKI HUBUNGAN ISTIMEWA

NPWP :

NAMA :

I DAFTAR PIHAK YANG MEMILIKI HUBUNGAN ISTIMEWA

Bentuk Hubungan dengan


No Nama Alamat NPWP/ Tax Identification Number Kegiatan Usaha
Wajib Pajak

1 1 2 3 4

2 1 2 3 4

3 1 2 3 4

4 1 2 3 4

5 1 2 3 4

II RINCIAN TRANSAKSI DENGAN PIHAK YANG MEMILIKI HUBUNGAN ISTIMEWA

Metode Penetapan Harga yang


No Nama Mitra Transaksi Jenis Transaksi Nilai Transaksi Alasan Penggunaan Metode
digunakan

1 a b c d e f g

2 a b c d e f g

3 a b c d e f g

4 a b c d e f g

5 a b c d e f g

JIKA FORMULIR INI TIDAK MENCUKUPI DAPAT DIBUAT SENDIRI SESUAI DENGAN BENTUK INI ………………………..,

WAJIB PAJAK / KUASA

Dasar-Dasar Perpajakan - 75
( ………………………………………………...……… )
LAMPIRAN KHUSUS 3A-1
SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WP BADAN
TAHUN PAJAK

PERNYATAAN TRANSAKSI DALAM HUBUNGAN ISTIMEWA

NPW P :

NAMA WAJIB PAJAK / BUT :

I DOKUMENTASI PENETAPAN HARGA WAJAR TRANSAKSI


Berikut catatan-catatan khusus yang kami buat untuk mendukung bahw a transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan Istimew a telah
sesuai dengan prinsip kew ajaran (arm's length principle ) dan kelaziman.

1 Mengenai Gambaran Perusahaan Secara Rinci


Bahw asannya kami telah membuat catatan tentang :

Ya Tidak
Struktur kepemilikan yang menunjukkan keterkaitan antara semua perusahaan dalam satu kelompok perusahaan multinasional.

Struktur organisasi perusahaan Wajib Pajak.

Aspek-aspek operasional kegiatan usaha Wajib Pajak termasuk rincian fungsi-fungsi yang diselenggarakan oleh unit-unit yang berada dalam
organisasi perusahaan Wajib Pajak.

Gambaran Lingkungan Usaha Secara Rinci.

2 Mengenai Transaksi
Bahw asannya kami telah membuat catatan tentang :

Ya Tidak
Transaksi Wajib Pajak dengan perusahaan yang mempunyai hubungan Istimew a.

Transaksi Wajib Pajak dengan perusahaan yang tidak dipengaruhi oleh hubungan Istemew a atau informasi mengenai transaksi pembanding.

Dalam hal Wajib Pajak bertindak sebagai pihak yang menjual, menyerahkan atau meminjamkan dalam transaksi-transaksi sebagaimana disebutkan
di atas, kami telah menyelenggarakan catatan sebagai berikut :
- Kebijakan penentuan harga dan daftar harga selama 5 (lima) tahun terakhir
- Rincian biaya pabrikasi atau harga perolehan atau biaya penyiapan jasa.

3 Mengenai Catatan Hasil Analisis Kesebandingan


Bahw asannya kami telah membuat catatan tentang :

Ya Tidak
Karakteristik dari produk (barang, jasa, pinjaman, instrumen keuangan, dan lain-lain) yang ditransaksikan.

Analisis fungsional yang menjadi pertimbangan dilakukannya transaksi antara Wajib Pajak dengan perusahaan yang mempunyai hubungan
istimew a, semua risiko-risiko diasumsikan dan aktiva-aktiva digunakan dalam transaksi tersebut.

Kondisi-kondisi ekonomi pada saat terjadinya transaksi.

Syarat-syarat transaksi-transaksi (terms of transactions ), termasuk juga perjanjian sesuai kontrak antara Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang
masih mempunyai hubungan Istimew a di luar negeri.

Strategi bisnis Wajib Pajak pada saat melakukan transaksi afiliasi.

4 Mengenai Catatan Mengenai Penentuan Harga Wajar


Bahw asannya kami telah membuat catatan tentang :
Ya Tidak
Metodologi penentuan harga yang diterapkan oleh Wajib Pajak, yang menunjukkan bagaimana harga yang w ajar diperoleh, dan alasan metode
tersebut dipilih dibandingkan dengan metode -metode lainnya.

Data pembanding yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk menentukan harga transfer.

Aplikasi metodologi penentuan harga transfer dan penggunaan data pembanding dalam harga transfer.

……………….,…………………………….
Wajib Pajak / kuasa

76 - Dasar-Dasar Perpajakan
LAMPIRAN KHUSUS 3A-2
SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN
TAHUN PAJAK
PERNYATAAN TRANSAKSI DENGAN PIHAK YANG MERUPAKAN PENDUDUK NEGARA TAX HAVEN COUNTRY

NPWP :

NAMA :

I DALAM HAL WAJIB PAJAK DALAM TAHUN PAJAK INI MELAKUKAN TRANSAKSI DENGAN PIHAK-PIHAK YANG MERUPAKAN PENDUDUK NEGARA TAX HAVEN COUNTRY

No Nama Mitra Transaksi Jenis Transaksi Negara Nilai Transaksi

1 a b c d e f g

2 a b c d e f g

3 a b c d e f g

4 a b c d e f g

5 a b c d e f g

II PENETAPAN NILAI TRANSAKSI DI ATAS, DITETAPKAN DENGAN MENGGUNAKAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA

Ya Tidak
……………………,……………………………………………
WAJIB PAJAK/KUASA

( ……………………………)

Dasar-Dasar Perpajakan - 77
JIKA FORMULIR INI TIDAK MENCUKUPI DAPAT DIBUAT SENDIRI SESUAI DENGAN BENTUK INI
LAMPIRAN KHUSUS 4A
SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN
TAHUN PAJAK 2 0
DAFTAR FASILITAS PENANAMAN MODAL

NPW P :

NAMA WAJIB PAJAK :

1. DALAM HAL PERUSAHAAN MENDAPAT FASILITAS PERPAJAKAN DALAM RANGKA PENANAMAN MODAL, JELASKAN :

a. SURAT PERSETUJUAN KETUA BKPM b. SURAT KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN

1 NOMOR : ……………………………………………………….. 1 NOMOR …………………………………………………………………..


:

2 TANGGAL : ……………………………………………………….. 2 TANGGAL ………………………………………………………………..


:

2. a. JUMLAH PENANAMAN MODAL YANG DISETUJUI : 1. DALAM VALAS : 2a1

2. EQUIVALEN Rp : 2a2 *)

3. DALAM Rp : 2a3

4. JUMLAH Rp : 2a4

b. PENANAMAN MODAL : 1 BARU 2 PERLUASAN

c. DI BIDANG DAN/ ATAU DI DAERAH :……………………………………………………………………………………………………………………………….

d. FASILITAS YANG DIBERIKAN : 1 PENGURANGAN PENGHASILAN NETO

2 PENYUSUTAN / AMORTISASI DIPERCEPAT

3 KOMPENSASI KERUGIAN 4 TAHUN

PENGURANGAN 50 % TARIF PPh ATAS DIVIDEN YANG DIBAYARKAN


5
KEPADA PEMEGANG SAHAM LUAR NEGERI

3. REALISASI PENANAMAN MODAL

a. TAHUN INI : Rp. a

b. S.D TAHUN INI : Rp. b

4. SAAT MULAI BERPRODUKSI KOMERSIAL (SMBK) TANGGAL :

5. FASILITAS PENGURANGAN PENGHASILAN NETO : TAHUN KE a b Rp. **)

(5% X REALISASI PENANAMAN MODAL S.D. SMBK)

CATATAN :
*) DENGAN KURS YANG SEBENARNYA BERLAKU PADA ………………..,
SAAT TRANSFER DANA KE REKENING PERUSAHAAN
**) PINDAHKAN JUMLAH ANGKA 5 b KE FORMULIR 1771-I WAJIB PAJAK / KUASA
ANGKA 7 KOLOM (3)

( ………………………………………………...……… )

78 - Dasar-Dasar Perpajakan
LAMPIRAN KHUSUS 5A
SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN
TAHUN PAJAK 2 0
DAFTAR CABANG UTAMA PERUSAHAAN

NPW P :

NAMA WAJIB PAJAK :

JUMLAH
NO ALAMAT CABANG UTAMA NPWP LOKASI CABANG
PEMBANTU
(1) (2) (3) (4)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
dst

CATATAN : ………………….....,

APABILA TIDAK MENCUKUPI DAPAT DIGANDAKAN


WAJIB PAJAK / KUASA

( ………………………………………………...……… )

Dasar-Dasar Perpajakan - 79
LAMPIRAN KHUSUS 6A
SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN
TAHUN PAJAK 2 0
PERHITUNGAN PPh PASAL 26 AYAT (4)
NPWP :

NAMA WAJIB PAJAK / BUT :

RUPIAH PENUH
1. PENGHASILAN NETO KOMERSIAL : ……..………………….…..………………
(BERDASARKAN LAPORAN KEUANGAN)

2. PENYESUAIAN FISKAL :
a. POSITIF : Rp

b. NEGATIF : Rp

c. JUMLAH (a – b) : ………………………………….………..………………

3. PENGHASILAN NETO FISKAL : (1 +/- 2c) ……….……………..………….….………

4. PAJAK PENGHASILAN BADAN TERUTANG : ……..…………………………...….

5. DASAR PENGENAAN PPh PASAL 26 AYAT (4) : (3 - 4) …..…..………………….

6. PPh PASAL 26 AYAT (4) :

a TERUTANG : …… *) % X JUMLAH ANGKA 5 …………………………...…

b TIDAK TERUTANG, KARENA :

c KETENTUAN P3B INDONESIA - …………………………

d DITANAMKAN KEMBALI SELURUHNYA DI INDONESIA


PADA PERSEROAN TERBATAS (PT) BARU : **)
…………………………...………………...……………..……………………

NPWP : e
ALAMAT : f ………………………………………………………………………………………

………………………………………………………………………………………
g KOTA : ………………………………… KODE POS : h

CATATAN : ………………….....,
*) TARIF 20% ATAU TARIF P3B
**) LAMPIRKAN BUKTI REALISASI PENANAMAN KEMBALI WAJIB PAJAK / KUASA

( ………………………………………………...……… )

80 - Dasar-Dasar Perpajakan
LAMPIRAN KHUSUS 7A
SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN
TAHUN PAJAK
2 0
KREDIT PAJAK LUAR NEGERI
NPWP : NAMA WAJIB PAJAK :

PEMOTONG PAJAK PAJAK YANG TERUTANG / DIBAYAR KREDIT PAJAK YANG


JUMLAH NETO
NO. JENIS PENGHASILAN DI LUAR NEGERI DAPAT DIPERHITUNGKAN
NAMA ALAMAT (RUPIAH)
RUPIAH VALAS (RUPIAH)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

JUMLAH JML

CATATAN : ………………….....,

• DIISI DENGAN RINCIAN PER BUKTI PEMOTONGAN / PEMBAYARAN PAJAK.

• KOLOM (6) RUPIAH DIISI DENGAN NILAI KONVERSI DARI ANGKA DALAM KOLOM (7) VALAS DENGAN MENGGUNAKAN KURS PAJAK YANG WAJIB PAJAK / KUASA
BERLAKU PADA TANGGAL PEMBAYARAN / TERUTANGNYA PAJAK DI LUAR NEGERI.
• KREDIT PAJAK YANG DAPAT DIPERHITUNGKAN PADA KOLOM (8) DIHITUNG BERDASARKAN METODE ORDINARY CREDIT PER COUNTRY BASIS .
• PINDAHKAN HASIL PENJUMLAHAN KOLOM (8) KE FORMULIR 1771 HURUF C ANGKA 8.b.
• PINDAHKAN HASIL PENJUMLAHAN KOLOM (5) KE FORMULIR 1771 - I Nomor 2
• JIKA FORMULIR INI TIDAK CUKUP, DAPAT DIGANDAKAN (FOTOKOPI) SESUAI KEBUTUHAN, ( …………………………………………..…………)

Dasar-Dasar Perpajakan - 81
PERUSAHAAN INDUSTRI LAMPIRAN KHUSUS 8A-1
8A-1 SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN
MANUFAKTUR TAHUN PAJAK
TRANSKRIP KUTIPAN ELEMEN-ELEMEN
DARI LAPORAN KEUANGAN 2 0
NP WP :

NA M A WA JIB P A JA K :

I. E LE M E N D A R I N E R A C A

N O. UR A IA N N ILA I ( R UP IA H ) N O. UR A IA N N ILA I ( R UP IA H )
1. KAS DAN SETARA KAS 1. HUTANG USAHA PIHAK KETIGA

HUTANG USAHA PIHAK YANG M EM PUNYAI


2. INVESTASI SEM ENTARA 2.
HUBUNGAN ISTIM EWA

3. PIUTANG USAHA PIHAK KETIGA 3. HUTANG BUNGA

PIUTANG USAHA PIHAK YANG M EM PUNYAI HUBUNGAN


4. 4. HUTANG PAJAK
ISTIM EWA

5. PIUTANG LAIN-LAIN PIHAK KETIGA 5. HUTANG DIVIDEN

PIUTANG LAIN-LAIN PIHAK YANG M EM PUNYAI


6. 6. BIAYA YANG M ASIH HARUS DIBAYAR
HUBUNGAN ISTIM EWA

7. PENYISIHAN PIUTANG RAGU-RAGU 7. HUTANG BANK

BAGIAN HUTANG JANGKA PANJANG YANG


8. PERSEDIAAN 8.
JATUH TEM PO DALAM TAHUN BERJALAN

9. BEBAN DIBAYAR DI M UKA 9. UANG M UKA PELANGGAN


10. UANG M UKA PEM BELIAN 10. KEWAJIBAN LANCAR LAINNYA

11. AKTIVA LANCAR LAINNYA 11. HUTANG BANK JANGKA PANJANG

HUTANG USAHA JANGKA PANJANG PIHAK


12. PIUTANG JANGKA PANJANG 12.
LAIN

HUTANG USAHA JANGKA PANJANG PIHAK


13. TANAH DAN BANGUNAN 13.
YANG M EM PUNYAI HUBUNGAN ISTIM EWA

14. AKTIVA TETAP LAINNYA 14. KEWAJIBAN PAJAK TANGGUHAN

15. DIKURANGI: AKUM ULASI PENYUSUTAN 15. KEWAJIBAN TIDAK LANCAR LAINNYA

16. INVESTASI PADA PERUSAHAAN ASOSIASI 16. M ODAL SAHAM


17. INVESTASI JANGKA PANJANG LAINNYA 17. AGIO SAHAM (TAM BAHAN M ODAL DISETOR)

18. HARTA TIDAK BERWUJUD 18. LABA DITAHAN TAHUN-TAHUN SEBELUM NYA

19. AKTIVA PAJAK TANGGUHAN 19. LABA DITAHAN TAHUN INI

20. AKTIVA TIDAK LANCAR LAINNYA 20. EKUITAS LAIN-LAIN

JU M LA H A KT I V A JU M LA H KEW A JI B A N D A N EKU I T A S

II. E LE M E N D A R I LA P O R A N LA B A / R UG I

N O. UR A IA N N ILA I ( R UP IA H )
1. PENJUALAN BERSIH
2. BAHAN BAKU YANG DIGUNAKAN
3. UPAH BURUH LANGSUNG
4. BIAYA PABRIKASI
5. JUM LAH BIAYA PRODUKSI (2 + 3 + 4)
6. SALDO BARANG DALAM PROSES - AWAL
7. SALDO BARANG DALAM PROSES - AKHIR
8. HARGA POKOK PRODUKSI (5 + 6 - 7)
9. SALDO BARANG JADI - AWAL
10. SALDO BARANG JADI - AKHIR
11. HARGA POKOK PENJUALAN (8 + 9 - 10)
12 . LA B A KO T O R ( 1 - 11)
13. BEBAN PENJUALAN
14. BEBAN UM UM DAN ADM INISTRASI
15. LA B A U SA HA ( 12 - 13 - 14 )
16. PENGHASILAN/ (BEBAN) LAIN
17. BAGIAN LABA (RUGI) PERUSAHAAN ASOSIASI
18 . LA B A / R U G I SEB ELU M PA JA K PEN G HA SI LA N ( 15 + 16 + 17)
19. BEBAN (M ANFAAT) PAJAK PENGHASILAN
20
LA B A ( R U G I ) D A R I A KT I V I T A S N O R M A L ( 18 - 19 )
.
21. POS LUAR BIASA
22
LA B A / R U G I SEB ELU M HA K M I N O R I T A S ( 2 0 + 2 1)
.
23. HAK M INORITAS ATAS LABA (RUGI) BERSIH ANAK PERUSAHAAN
24
LA B A B ER SI H ( 2 2 - 2 3 )
.

III. E LE M E N T R A N S A KS I D E N G A N P IH A K- P IH A K Y A N G M E M P UN Y A I H UB UN G A N IS T IM E WA S E S UA I D E N G A N P S A K N O M O R 7

N O. P IH A K- P IH A K J E N IS T R A N S A KS I N ILA I T R A N S A KS I ( R UP IA H )

P ER N YA T A A N
Dengan menyadari sepenuhnya akan segala akibatnya termasuk sanksi-sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, saya menyatakan bahwa apa yang telah
saya beritahukan di atas adalah benar, lengkap dan jelas.

a. ……………………………………., 2 0
(Tempat ) (t gl) (bln) (t hn)

b. WA JIB P A JA K KUA SA
c. NA M A LENGKA P P ENGURUS/KUA SA

(d. Tanda t angan dan cap perusahaan)

82 - Dasar-Dasar Perpajakan
PERUSAHAAN LAMPIRAN KHUSUS 8A-2
8A-2 SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN
DAGANG TAHUN PAJAK
TRANSKRIP KUTIPAN ELEMEN-ELEMEN
DARI LAPORAN KEUANGAN 2 0
NP WP :

NA M A WA JIB P A JA K :

I. E LE M E N D A R I N E R A C A

N O. UR A IA N N ILA I ( R UP IA H ) N O. UR A IA N N ILA I ( R UP IA H )
1. KAS DAN SETARA KAS 1. HUTANG USAHA PIHAK KETIGA

HUTANG USAHA PIHAK YANG M EM PUNYAI


2. INVESTASI SEM ENTARA 2.
HUBUNGAN ISTIM EWA

3. PIUTANG USAHA PIHAK KETIGA 3. HUTANG BUNGA

PIUTANG USAHA PIHAK YANG M EM PUNYAI HUBUNGAN


4. 4. HUTANG PAJAK
ISTIM EWA

5. PIUTANG LAIN-LAIN PIHAK KETIGA 5. HUTANG DIVIDEN

PIUTANG LAIN-LAIN PIHAK YANG M EM PUNYAI


6. 6. BIAYA YANG M ASIH HARUS DIBAYAR
HUBUNGAN ISTIM EWA

7. PENYISIHAN PIUTANG RAGU-RAGU 7. HUTANG BANK

BAGIAN HUTANG JANGKA PANJANG YANG


8. PERSEDIAAN 8.
JATUH TEM PO DALAM TAHUN BERJALAN
9. BEBAN DIBAYAR DI M UKA 9. UANG M UKA PELANGGAN

10. UANG M UKA PEM BELIAN 10. KEWAJIBAN LANCAR LAINNYA

11. AKTIVA LANCAR LAINNYA 11. HUTANG BANK JANGKA PANJANG


HUTANG USAHA JANGKA PANJANG PIHAK
12. PIUTANG JANGKA PANJANG 12.
LAIN

HUTANG USAHA JANGKA PANJANG PIHAK


13. TANAH DAN BANGUNAN 13.
YANG M EM PUNYAI HUBUNGAN ISTIM EWA

14. AKTIVA TETAP LAINNYA 14. KEWAJIBAN PAJAK TANGGUHAN

15. DIKURANGI: AKUM ULASI PENYUSUTAN 15. KEWAJIBAN TIDAK LANCAR LAINNYA

16. INVESTASI PADA PERUSAHAAN ASOSIASI 16. M ODAL SAHAM

17. INVESTASI JANGKA PANJANG LAINNYA 17. AGIO SAHAM (TAM BAHAN M ODAL DISETOR)

18. HARTA TIDAK BERWUJUD 18. LABA DITAHAN TAHUN-TAHUN SEBELUM NYA
19. AKTIVA PAJAK TANGGUHAN 19. LABA DITAHAN TAHUN INI

20. AKTIVA TIDAK LANCAR LAINNYA 20. EKUITAS LAIN-LAIN


JU M LA H A KT IV A JU M LA H KEW A JIB A N D A N EKU IT A S

II. E LE M E N D A R I LA P O R A N LA B A / R UG I

N O. UR A IA N N ILA I ( R UP IA H )
1. PENJUALAN BERSIH
2. PEM BELIAN
3. SALDO BARANG DAGANGAN - AWAL
4. SALDO BARANG DAGANGAN - AKHIR
5. HARGA POKOK PENJUALAN (2 + 3 - 4)
6 . LA B A KOT OR ( 1 - 5)
7. BEBAN PENJUALAN
8. BEBAN UM UM DAN ADM INISTRASI
9 . LA B A U SA HA ( 6 - 7 - 8 )
10. PENGHASILAN/(BEBAN) LAIN
11. BAGIAN LABA (RUGI) PERUSAHAAN ASOSIASI
12 . LA B A / R U GI SEB ELU M PA JA K PEN GHA SILA N ( 9 + 10 + 11)
13. BEBAN (M ANFAAT) PAJAK PENGHASILAN
14 . LA B A ( R U GI) D A R I A KT IV IT A S N OR M A L ( 12 - 13 )
15. POS LUAR BIASA
16 . LA B A / R U GI SEB ELU M HA K M IN OR IT A S ( 14 + 15)
17. HAK M INORITAS ATAS LABA (RUGI) BERSIH ANAK PERUSAHAAN
18 . LA B A B ER SIH ( 16 - 17)

III. E LE M E N T R A N S A KS I D E N G A N P IH A K- P IH A K Y A N G M E M P UN Y A I H UB UN G A N IS T IM E WA S E S UA I D E N G A N P S A K N O M O R 7

N O. P IH A K- P IH A K J E N IS T R A N S A KS I N ILA I T R A N S A KS I ( R UP IA H )

P ER N YA T A A N
Dengan menyadari sepenuhnya akan segala akibatnya termasuk sanksi-sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, saya menyatakan bahwa apa yang telah
saya beritahukan di atas adalah benar, lengkap dan jelas.

a. ……………………………………., 2 0
(Tempat) (tgl) (bln) (thn)

b. WA JIB P A JA K KUA SA
c. NA M A LENGKA P P ENGURUS/KUA SA

(d. Tanda tangan dan cap perusahaan)

Dasar-Dasar Perpajakan - 83
BANK LAMPIRAN KHUSUS 8A-3
8A-3 SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN
KONVENSIONAL TAHUN PAJAK
TRANSKRIP KUTIPAN ELEMEN-ELEMEN
DARI LAPORAN KEUANGAN 2 0
NP WP :

NA M A WA JIB P A JA K :

I. E LE M E N D A R I N E R A C A

N O. UR A IA N N ILA I ( R UP IA H ) N O. UR A IA N N ILA I ( R UP IA H )
1. KAS 1. KEWAJIBAN SEGERA

SIM PANAN NASABAH PIHAK YANG


2. GIRO PADA BANK INDONESIA 2.
M EM PUNYAI HUBUNGAN ISTIM EWA

3. GIRO PADA BANK LAIN - BERSIH 3. SIM PANAN NASABAH PIHAK KETIGA

4. PENEM PATAN PADA BANK INDONESIA - BERSIH 4. SIM PANAN DARI BANK LAIN

SURAT BERHARGA YANG DIJUAL DENGAN


5. PENEM PATAN PADA BANK LAIN - BERSIH 5.
JANJI DIBELI KEM BALI - BERSIH

SURAT BERHARGA PIHAK YANG M EM PUNYAI


6. 6. KEWAJIBAN DERIVATIF
HUBUNGAN ISTIM EWA - BERSIH

7. SURAT BERHARGA PIHAK KETIGA - BERSIH 7. KEWAJIBAN AKSEPTASI

SURAT BERHARGA YANG DIBELI DENGAN JANJI DIJUAL


8. 8. HUTANG PAJAK
KEM BALI - BERSIH

9. TAGIHAN DERIVATIF - BERSIH 9. SURAT BERHARGA YANG DITERBITKAN

10. PINJAM AN YANG DIBERIKAN - BERSIH 10. PINJAM AN YANG DITERIM A

11. PIUTANG PEM BIAYAAN KONSUM EN - BERSIH 11. ESTIMASI KERUGIAN KOMITMEN DAN KONTIJENSI

12. TAGIHAN AKSEPTASI - BERSIH 12. KEWAJIBAN PAJAK TANGGUHAN

13. OBLIGASI PEM ERINTAH 13. BEBAN YANG M ASIH HARUS DIBAYAR
14. PENYERTAAN SAHAM - BERSIH 14. KEWAJIBAN LAIN-LAIN

15. GOODWIL - BERSIH 15. PINJAM AN SUBORDINASI

16. AKTIVA TETAP 16. M ODAL SAHAM

17. DIKURANGI: AKUM ULASI PENYUSUTAN 17. AGIO SAHAM (TAM BAHAN M ODAL DISETOR)

18. AKTIVA PAJAK TANGGUHAN 18. LABA DITAHAN TAHUN-TAHUN SEBELUM NYA
19. BIAYA DIBAYAR DI M UKA 19. LABA DITAHAN TAHUN INI

20. AKTIVA LAIN-LAIN BERSIH 20. EKUITAS LAIN-LAIN


JU M LA H A KT IV A JU M LA H KEW A JIB A N D A N EKU IT A S

II. E LE M E N D A R I LA P O R A N LA B A / R UG I

N O. UR A IA N N ILA I ( R UP IA H )
1. PENDAPATAN BUNGA
2. BEBAN BUNGA
3 . PEN D A PA T A N B U N GA - B ER SIH ( 1 - 2 )
4. PENDAPATAN OPERASI LAINNYA
5. BEBAN OPERASIONAL LAINNYA
6 . PEN D A PA T A N / ( B EB A N ) OPER A SION A L LA IN N Y A - B ER SIH ( 4 - 5)
7. PENDAPATAN BUKAN OPERASIONAL
8. BEBAN BUKAN OPERASIONAL
9 . PEN D A PA T A N N ON OPER A SION A L - B ER SIH ( 7 - 8 )
10. BAGIAN LABA (RUGI) PERUSAHAAN ASOSIASI
11. LA B A / R U GI SEB ELU M PA JA K PEN GHA SILA N ( 3 + 6 + 9 + 10 )
12. BEBAN (M ANFAAT) PAJAK PENGHASILAN
13 . LA B A ( R U GI) D A R I A KT IV IT A S N OR M A L ( 11 - 12 )
14. POS LUAR BIASA
15. LA B A / R U GI SEB ELU M HA K M IN OR IT A S ( 13 + 14 )
16. HAK M INORITAS ATAS LABA (RUGI) BERSIH ANAK PERUSAHAAN
17. LA B A B ER SIH ( 15- 16 )

III. E LE M E N T R A N S A KS I D E N G A N P IH A K- P IH A K Y A N G M E M P UN Y A I H UB UN G A N IS T IM E WA S E S UA I D E N G A N P S A K N O M O R 7

N O. P IH A K- P IH A K J E N IS T R A N S A KS I N ILA I T R A N S A KS I ( R UP IA H )

P ER N YA T A A N
Dengan menyadari sepenuhnya akan segala akibatnya termasuk sanksi-sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, saya menyatakan bahwa apa yang telah
saya beritahukan di atas adalah benar, lengkap dan jelas.

a. ……………………………………., 2 0
(Tempat) (tgl) (bln) (thn)

b. WA JIB P A JA K KUA SA
c. NA M A LENGKA P P ENGURUS/KUA SA

(d. Tanda tangan dan cap perusahaan)

84 - Dasar-Dasar Perpajakan
BANK LAMPIRAN KHUSUS 8A-4
8A-4 SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN
SYARIAH TAHUN PAJAK
TRANSKRIP KUTIPAN ELEMEN-ELEMEN
DARI LAPORAN KEUANGAN 2 0
NP WP :

NA M A WA JIB P A JA K :

I. E LE M E N D A R I N E R A C A

N O. UR A IA N N ILA I ( R UP IA H ) N O. UR A IA N N ILA I ( R UP IA H )
1. KAS DAN SETARA KAS 1. KEWAJIBAN SEGERA

2. PENEM PATAN PADA BANK INDONESIA 2. SIM PANAN (GIRO DAN TABUNGAN WADIAH)
KEWAJIBAN LAIN (HUTANG SALAM DAN
3. GIRO PADA BANK LAIN - BERSIH 3.
HUTANG ISTISHNA)

4. PENEM PATAN PADA BANK LAIN - BERSIH 4. KEWAJIBAN PADA BANK LAIN
5. EFEK - EFEK 5. PEM BIAYAAN YANG DITERIM A

PIUTANG (M URABAHAH, SALAM , ISTISHNA, IJAROH KEUNTUNGAN YANG SUDAH DIUM UM KAN
6. 6.
DLL) BELUM DIBAGI
7. PEM BIAYAAN M UDHARABAH 7. HUTANG ZAKAT

8. PEM BIAYAAN M USYAROKAH 8. HUTANG PAJAK


9. PERSEDIAAN (AKTIVA UNTUK DIJUAL KEM BALI) 9. KEWAJIBAN PAJAK TANGGUHAN

10. AKTIVA YANG DIPEROLEH UNTUK IJAROH 10. HUTANG LAINNYA


INVESTASI TIDAK TERIKAT BUKAN BANK
11. AKTIVA ISTISHNA DALAM PENYELESAIAN 11.
(TABUNGAN DAN DEPOSITO M UDHARABAH)

INVESTASI TIDAK TERIKAT BANK (TABUNGAN


12. PENYERTAAN 12.
DAN DEPOSITO M UDHARABAH)

13. AKTIVA TETAP 13. M ODAL SAHAM


14. DIKURANGI: AKUM ULASI PENYUSUTAN 14. AGIO SAHAM (TAM BAHAN M ODAL DISETOR)
15. AKTIVA PAJAK TANGGUHAN 15. LABA DITAHAN TAHUN-TAHUN SEBELUM NYA

16. BIAYA DIBAYAR DIM UKA 16. LABA DITAHAN TAHUN INI
17. AKTIVA LAIN-LAIN 17. EKUITAS LAIN-LAIN

JU M LA H A KT IV A JU M LA H KEW A JIB A N IT T D A N EKU IT A S

II. E LE M E N D A R I LA P O R A N LA B A / R UG I

N O. UR A IA N N ILA I ( R UP IA H )
1. PENDAPATAN OPERASI UTAM A
2. HAK PIHAK KETIGA ATAS BAGI HASIL INVESTASI TIDAK TERIKAT
3 . PEN D A PA T A N OPER A SI U T A M A - B ER SIH ( 1 - 2 )
4. PENDAPATAN OPERASIONAL LAINNYA
5. BEBAN OPERASIONAL LAINNYA
6 . LA B A OPER A SION A L ( 3 + 4 - 5)
7. PENDAPATAN BUKAN OPERASIONAL
8. BEBAN BUKAN OPERASIONAL
9. BAGIAN LABA (RUGI) PERUSAHAAN ASOSIASI
10 . LA B A SEB ELU M PA JA K PEN GHA SILA N ( 6 + 7 - 8 + 9 )
11. BEBAN (M ANFAAT) PAJAK PENGHASILAN
12 . LA B A ( R U GI) D A R I A KT IV IT A S N OR M A L ( 10 - 11)
13. POS LUAR BIASA
14 . LA B A / R U GI SEB ELU M HA K M IN OR IT A S ( 12 - 13 )
15. HAK M INORITAS ATAS LABA (RUGI) BERSIH ANAK PERUSAHAAN
16 . LA B A B ER SIH ( 14 - 15)

III. E LE M E N T R A N S A KS I D E N G A N P IH A K- P IH A K Y A N G M E M P UN Y A I H UB UN G A N IS T IM E WA S E S UA I D E N G A N P S A K N O M O R 7

N O. P IH A K- P IH A K J E N IS T R A N S A KS I N ILA I T R A N S A KS I ( R UP IA H )

P ER N YA T A A N
Dengan menyadari sepenuhnya akan segala akibatnya termasuk sanksi-sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, saya menyatakan bahwa apa yang telah
saya beritahukan di atas adalah benar, lengkap dan jelas.

a. ……………………………………., 2 0
(Tempat) (tgl) (bln) (thn)

b. WA JIB P A JA K KUA SA
c. NA M A LENGKAP P ENGURUS/KUA SA

(d. Tanda tangan dan cap perusahaan)

Dasar-Dasar Perpajakan - 85
PERUSAHAAN LAMPIRAN KHUSUS 8A-5
8A-5 SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN
ASURANSI TAHUN PAJAK
TRANSKRIP KUTIPAN ELEMEN-ELEMEN
DARI LAPORAN KEUANGAN 2 0
NP WP :

NA M A WA JIB P A JA K :

I. E LE M E N D A R I N E R A C A

N O. UR A IA N N ILA I ( R UP IA H ) N O. UR A IA N N ILA I ( R UP IA H )
1. INVESTASI DEPOSITO 1. KEWAJIBAN KEPADA PEM EGANG POLIS

2. INVESTASI SAHAM 2. KEWAJIBAN M ANFAAT POLIS M ASA DEPAN

3. INVESTASI OBLIGASI 3. ESTIM ASI KEWAJIBAN KLAIM

4. INVESTASI SURAT BERHARGA PASAR UANG 4. HUTANG KLAIM


5. INVESTASI PENYERTAAN LANGSUNG 5. PREMI YANG BELUM MERUPAKAN PENDAPATAN

6. INVESTASI TANAH DAN BANGUNAN 6. JUMLAH KEWAJIBAN KEPADA PEMEGANG POLIS

7. INVESTASI PINJAM AN HIPOTIK 7. TITIPAN PREM I

8. INVESTASI PINJAM AN POLIS 8. HUTANG KOM ISI

9. INVESTASI LAINNYA 9. HUTANG REASURANSI

10. KAS DAN BANK 10. BIAYA M ASIH HARUS DIBAYAR

11. PIUTANG PREM I 11. HUTANG PAJAK

12. PIUTANG REASURANSI 12. KEWAJIBAN PAJAK TANGGUHAN

13. PIUTANG HASIL INVESTASI 13. KEWAJIBAN LAIN-LAIN

14. PIUTANG LAIN-LAIN 14. M ODAL SAHAM

15. BIAYA DIBAYAR DI M UKA 15. TAM BAHAN M ODAL DISETOR

SELISIH NILAI TRANSAKSI RESTRUKTURISASI ENTITAS


16. AKTIVA PAJAK TANGGUHAN 16.
SEPENGENDALI

17. AKTIVA TETAP 17. SELISIH PENILAIAN KEM BALI AKTIVA TETAP

LABA BELUM DIREALISASI DARI EFEK


18. DIKURANGI: AKUM ULASI PENYUSUTAN 18.
TERSEDIA UNTUK DIJUAL

19. BIAYA AKUISISI DITANGGUHKAN – BERSIH 19. SALDO LABA

20. AKTIVA LAIN-LAIN 20. EKUITAS LAIN-LAIN

JU M LA H A KT I V A JU M LA H KEW A JI B A N D A N EKU I T A S

II. E LE M E N D A R I LA P O R A N LA B A / R UG I

N O. UR A IA N N ILA I ( R UP IA H )
1. PREM I BRUTO
2. PREM I REASURANSI
3. PENURUNAN (KENAIKAN) PREM I YANG BELUM M ERUPAKAN PENDAPATAN
4 . JU M LA H PEN D A PA T A N PR EM I ( 1 + 2 + 3 )
5. HASIL INVESTASI - BERSIH
6. LAIN-LAIN
7. JU M LA H PEN D A PA T A N ( 4 + 5 + 6 )
8. KLAIM DAN M ANFAAT
9. KLAIM REASURANSI
10. KENAIKAN KEWAJIBAN M ANFAAT POLIS M ASA DEPAN DAN ESTIM ASI KEWAJIBAN KLAIM
11. BIAYA AKUISISI
12. BEBAN USAHA
13. PEM ASARAN
14. UM UM DAN ADM INISTRASI
15. LAIN-LAIN
16 . JU M LA H B EB A N ( JU M LA H 8 S. D . 15)
17. LA B A / R U G I U SA HA ( 7 - 16 )
18. BAGIAN LABA (RUGI) PERUSAHAAN ASOSIASI
19 . LA B A / R U G I SEB ELU M PA JA K PEN G HA SI LA N ( 17 + 18 )
20. BEBAN (M ANFAAT) PAJAK PENGHASILAN
2 1. LA B A ( R U G I ) D A R I A KT I V I T A S N O R M A L ( 19 - 2 0 )
22. POS LUAR BIASA
2 3 . LA B A / R U G I SEB ELU M HA K M I N O R I T A S ( 2 1 + 2 2 )
24. HAK M INORITAS ATAS LABA (RUGI) BERSIH ANAK PERUSAHAAN
25
LA B A B ER SI H ( 2 3 - 2 4 )
.

III. E LE M E N T R A N S A KS I D E N G A N P IH A K- P IH A K Y A N G M E M P UN Y A I H UB UN G A N IS T IM E WA S E S UA I D E N G A N P S A K N O M O R 7

N O. P IH A K- P IH A K J E N IS T R A N S A KS I N ILA I T R A N S A KS I ( R UP IA H )

P ER N YA T A A N
Dengan menyadari sepenuhnya akan segala akibatnya termasuk sanksi-sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, saya menyatakan bahwa apa yang telah
saya beritahukan di atas adalah benar, lengkap dan jelas.

a. ……………………………………., 2 0
(Tempat ) (t gl) (bln) (t hn)

b. WA JIB P A JA K KUA SA
c. NA M A LENGKA P P ENGURUS/KUA SA

(d. Tanda t angan dan cap perusahaan)

86 - Dasar-Dasar Perpajakan
NON- LAMPIRAN KHUSUS 8A-6
8A-6 SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN
KUALIFIKASI TAHUN PAJAK
TRANSKRIP KUTIPAN ELEMEN-ELEMEN
DARI LAPORAN KEUANGAN 2 0
NP WP :

NA M A WA JIB P A JA K :

I. E LE M E N D A R I N E R A C A

N O. UR A IA N N ILA I ( R UP IA H ) N O. UR A IA N N ILA I ( R UP IA H )
1. KAS DAN SETARA KAS 1. HUTANG USAHA PIHAK KETIGA

HUTANG USAHA PIHAK YANG M EM PUNYAI


2. INVESTASI SEM ENTARA 2.
HUBUNGAN ISTIM EWA

3. PIUTANG USAHA PIHAK KETIGA 3. HUTANG BUNGA

PIUTANG USAHA PIHAK YANG M EM PUNYAI HUBUNGAN


4. 4. HUTANG PAJAK
ISTIM EWA

5. PIUTANG LAIN-LAIN PIHAK KETIGA 5. HUTANG DIVIDEN

PIUTANG LAIN-LAIN PIHAK YANG M EM PUNYAI


6. 6. BIAYA YANG M ASIH HARUS DIBAYAR
HUBUNGAN ISTIM EWA

7. PENYISIHAN PIUTANG RAGU-RAGU 7. HUTANG BANK

BAGIAN HUTANG JANGKA PANJANG YANG


8. PERSEDIAAN 8.
JATUH TEM PO DALAM TAHUN BERJALAN

9. BEBAN DIBAYAR DI M UKA 9. UANG M UKA PELANGGAN

10. UANG M UKA PEM BELIAN 10. KEWAJIBAN LANCAR LAINNYA

11. AKTIVA LANCAR LAINNYA 11. HUTANG BANK JANGKA PANJANG

HUTANG USAHA JANGKA PANJANG PIHAK


12. PIUTANG JANGKA PANJANG 12.
LAIN

HUTANG USAHA JANGKA PANJANG PIHAK


13. TANAH DAN BANGUNAN 13.
YANG M EM PUNYAI HUBUNGAN ISTIM EWA

14. AKTIVA TETAP LAINNYA 14. KEWAJIBAN PAJAK TANGGUHAN

15. AKUM ULASI PENYUSUTAN 15. KEWAJIBAN TIDAK LANCAR LAINNYA

16. INVESTASI PADA PERUSAHAAN ASOSIASI 16. M ODAL SAHAM

17. INVESTASI JANGKA PANJANG LAINNYA 17. AGIO SAHAM (TAM BAHAN M ODAL DISETOR)

18. HARTA TIDAK BERWUJUD 18. LABA DITAHAN TAHUN-TAHUN SEBELUM NYA

19. AKTIVA PAJAK TANGGUHAN 19. LABA DITAHAN TAHUN INI

20. AKTIVA TIDAK LANCAR LAINNYA 20. EKUITAS LAIN-LAIN

JU M LA H A KT IV A JU M LA H KEW A JIB A N D A N EKU IT A S

II. E LE M E N D A R I LA P O R A N LA B A / R UG I

N O. UR A IA N N ILA I ( R UP IA H )
1. PENJUALAN BERSIH
2. PERSEDIAAN AWAL
3. PEM BELIAN
4. PERSEDIAAN AKHIR
5. HA R GA POKOK PEN JU A LA N ( 2 + 3 - 4 )
6 . LA B A KOT OR ( 1 - 5)
7. BEBAN PENJUALAN
8. BEBAN UM UM DAN ADM INISTRASI
9 . LA B A U SA HA ( 6 - 7 - 8 )
10. PENGHASILAN/(BEBAN) LAIN
11. BAGIAN LABA (RUGI) PERUSAHAAN ASOSIASI
12 . LA B A / R U GI SEB ELU M PA JA K PEN GHA SILA N ( 9 + 10 + 11)
13. BEBAN (M ANFAAT) PAJAK PENGHASILAN
14 . LA B A ( R U GI) D A R I A KT IV IT A S N OR M A L ( 12 - 13 )
15. POS LUAR BIASA
16 . LA B A / R U GI SEB ELU M HA K M IN OR IT A S ( 14 + 15)
17. HAK M INORITAS ATAS LABA (RUGI) BERSIH ANAK PERUSAHAAN
18 . LA B A B ER SIH ( 16 - 17)

III. E LE M E N T R A N S A KS I D E N G A N P IH A K- P IH A K Y A N G M E M P UN Y A I H UB UN G A N IS T IM E WA S E S UA I D E N G A N P S A K N O M O R 7

N O. P IH A K- P IH A K J E N IS T R A N S A KS I N ILA I T R A N S A KS I ( R UP IA H )

P ER N YA T A A N
Dengan menyadari sepenuhnya akan segala akibatnya termasuk sanksi-sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, saya menyatakan bahwa apa yang telah
saya beritahukan di atas adalah benar, lengkap dan jelas.

a. ……………………………………., 2 0
(Tempat) (tgl) (bln) (thn)

b. WA JIB P A JA K KUA SA
c. NA M A LENGKA P P ENGURUS/KUA SA

(d. Tanda tangan dan cap perusahaan)

Dasar-Dasar Perpajakan - 87
DANA PENSIUN LAMPIRAN KHUSUS 8A-7
8A-7 SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN TAHUN PAJAK
TRANSKRIP KUTIPAN ELEMEN-ELEMEN
DARI LAPORAN KEUANGAN 2 0
NP WP :

NA M A WA JIB P A JA K :

I. E LE M E N D A R I N E R A C A

N O. UR A IA N N ILA I ( R UP IA H ) N O. UR A IA N N ILA I ( R UP IA H )
IN V EST A SI ( Har g a Per o lehan) 1. KEWAJIBAN AKTUARIA

1. DEPOSITO ON CALL 2. SELISIH KEWAJIBAN AKTUARIA

2. DEPOSITO BERJANGKA KEW A JIB A N D ILU A R KEW A JIB A N A KT U A R IA


3. SERTIFIKAT DEPOSITO 3. HUTANG M ANFAAT PENSIUN JATUH TEM PO
4. SERTIFIKAT BANK INDONESIA (SBI) 4. UTANG INVESTASI

5. SAHAM 5. PENDAPATAN DITERIM A DIM UKA


6. OBLIGASI 6. BEBAN YANG M ASIH HARUS DIBAYAR

7. UNIT PENYERTAAN REKSADANA 7. KEWAJIBAN DILUAR KEWAJIBAN AKTUARIA LAIN


8. SURAT BERHARGA PEM ERINTAH
9. UNIT PENYERTAAN INVESTASI KOLEKTIF

10. PENEM PATAN LANGSUNG


11. SURAT PENGAKUAN UTANG

12. TANAH DAN BANGUNAN (Neto)


13. INVESTASI LAIN YANG DIPERKENANKAN
14. SELISIH PENELAIAN INVESTASI

A KT IV A LA N C A R D ILU A R IN V EST A SI
15. KA S & B A N K

16. PIUTANG-IURAN NORM AL PEM BERI KERJA


17. PIUTANG-IURAN NORM AL PESERTA
18. PIUTANG-IURAN TAM BAHAN

19. PIUTANG BUNGA KETERLAM BATAN IURAN


20. BEBAN DIBAYAR DIM UKA

21. PIUTANG INVESTASI


22. PIUTANG HASIL INVESTASI
23. PIUTANG LAIN-LAIN

A KT IV A OPER A SION A L
24. TANAH DAN BANGUNAN (Neto)
25. AKTIVA OPERASIONAL LAIN (Neto)

JU M LA H A KT IV A JU M LA H KEW A JIB A N D A N EKU IT A S

II. E LE M E N D A R I LA P O R A N LA B A / R UG I

N O. UR A IA N N ILA I ( R UP IA H )
1. PENDAPATAN INVESTASI
2. BEBAN INVESTASI
3. HA SIL U SA HA IN V EST A SI ( 1- 2 )
B EB A N OPER A SION A L
4. GAJI/HONOR KARYAWAN, PENGURUS DAN DEWAN PENGAWAS
5. BEBAN KANTOR
6. BEBAN PEM ELIHARAAN
7. BEBAN PENYUSUTAN
8. BEBAN JASA PIHAK KETIGA
9. BEBAN OPERASIONAL LAIN
10 . T OT A L B EB A N OPER A SION A L ( 4 +5+6 +7+8 +9 )
11. PEN D A PA T A N LA IN - LA IN
12 . B EB A N LA IN - LA IN
13 . LA B A B ER SIH ( 3 - 10 +11- 12 )

III. E LE M E N T R A N S A KS I D E N G A N P IH A K- P IH A K Y A N G M E M P UN Y A I H UB UN G A N IS T IM E WA S E S UA I D E N G A N P S A K N O M O R 7

N O. P IH A K- P IH A K J E N IS T R A N S A KS I N ILA I T R A N S A KS I ( R UP IA H )

P ER N YA T A A N
Dengan menyadari sepenuhnya akan segala akibatnya termasuk sanksi-sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, saya menyatakan bahwa apa yang telah
saya beritahukan di atas adalah benar, lengkap dan jelas.

a. ……………………………………., 2 0
(Tempat) (tgl) (bln) (thn)

b. WA JIB P A JA K KUA SA
c. NA M A LENGKA P P ENGURUS/KUA SA

(d. Tanda tangan dan cap perusahaan)

88 - Dasar-Dasar Perpajakan
PERUSAHAAN LAMPIRAN KHUSUS 8A-8
8A-8 SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN
PEMBIAYAAN TAHUN PAJAK
TRANSKRIP KUTIPAN ELEMEN-ELEMEN
DARI LAPORAN KEUANGAN 2 0
NP WP :

NA M A WA JIB P A JA K :

I. E LE M E N D A R I N E R A C A

N O. UR A IA N N ILA I ( R UP IA H ) N O. UR A IA N N ILA I ( R UP IA H )
KAS DAN SETARA KAS 1. KEWAJIBAN YANG SEGERA DIBAYAR
1. KAS 2. UTANG PAJAK

2. BANK DALAM NEGERI PINJAM AN YANG DITERIM A


3. BANK LUAR NEGERI 3. DALAM NEGERI

4. INVESTASI JANGKA PENDEK DALAM SURAT BERHARGA 4. LUAR NEGERI


PIUTANG PEM BIAYAAN-NETO 5. SURAT BERHARGA YANG DITERBITKAN

5. SEWA GUNA USAHA 6. KEWAJIBAN PAJAK TANGGUHAN


6. ANJAK PIUTANG PINJAM AN SUBORDINASI
7. KARTU KREDIT 7. DALAM NEGERI

8. PEM BIAYAAN KONSUM EN 8. LUAR NEGERI

PENYERTAAN M ODAL 9. KEWAJIBAN LAINNYA

9. BANK M ODAL
10. PERUSAAHAN JASA KEUANGAN LAINNYA 10. M ODAL DISETOR
11. INVESTASI JANGKA PANJANG DALAM SURAT BERHARGA 11. AGIO

12. AKTIVA TETAP YANG DISEWAGUNAUSAHAKAN-NETO 12. DISAGIO


AKTIVA TETAP DAN INVENTARIS-NETO 13. CADANGAN UM UM

13. TANAH DAN BANGUNAN 14. CADANGAN TUJUAN


14. AKTIVA TETAP SELAIN TANAH DAN BANGUNAN 15. CADANGAN REVALUASI AKTIVA TETAP
15. AKTIVA PAJAK TANGGUHAN 16. SALDO LABA (RUGI)

16. AKTIVA LAIN-LAIN 17. LABA (RUGI) TAHUN BERJALAN


JU M LA H A KT IV A JU M LA H KEW A JIB A N D A N EKU IT A S

II. E LE M E N D A R I LA P O R A N LA B A / R UG I

N O. UR A IA N N ILA I ( R UP IA H )
PENDAPATAN OPERASIONAL
1. SEWA GUNA USAHA
2. ANJAK PIUTANG
3. KARTU KREDIT
4. PEM BIAYAAN KONSUM EN
5. PENDAPATAN DARI PENYALURAN PEM BIAAN
6. T OT A L PEN D A PA T A N N A SION A L ( 1+2 +3 +4 +5)
BEBAN OPERASIONAL :
7. BUNGA
8. PREM I SWAP
9. PREM I ASURANSI
10. TENAGA KERJA
11. PENYUSUTAN
12. PENGHAPUSAN PIUTANG PEM BIAYAAN
13. SEWA
14. BIAYA OPERASIONAL LAIN
15. T OT A L B EB A N OPER A SION A L ( 7+8 +9 +10 +11+12 +13 +14 )
16. PENDAPATAN NON OPERASIONAL
17. BEBAN NON OPERASIONAL
18. LA B A B ER SIH ( 6 - 15 + 16 - 17)

III. E LE M E N T R A N S A KS I D E N G A N P IH A K- P IH A K Y A N G M E M P UN Y A I H UB UN G A N IS T IM E WA S E S UA I D E N G A N P S A K N O M O R 7

N O. P IH A K- P IH A K J E N IS T R A N S A KS I N ILA I T R A N S A KS I ( R UP IA H )

P ER N YA T A A N
Dengan menyadari sepenuhnya akan segala akibatnya termasuk sanksi-sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, saya menyatakan bahwa apa yang telah
saya beritahukan di atas adalah benar, lengkap dan jelas.

a. ……………………………………., 2 0
(Tempat) (tgl) (bln) (thn)

b. WA JIB P A JA K KUA SA
c. NA M A LENGKA P P ENGURUS/KUA SA

(d. Tanda tangan dan cap perusahaan)

Dasar-Dasar Perpajakan - 89
SURAT SETORAN PAJAK
DEPARTEMEN KEUANGAN R.I. LEMBAR 1
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK (SSP) Untuk Arsip Wajib Pajak

NPWP :
Diisi sesuai dengan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimiliki

NAMA WP : ………….……………………...……………………………………….…………………………………………………………………………………………….

ALAMAT WP : ………….……………………...……………………………………….…………………………………………………………………………………………….
………….……………………...……………………………………….…………………………………………………………………………………………….
NOP :
Diisi sesuai dengan Nomor Objek Pajak

ALAMAT OP : ………….……………………...……………………………………….…………………………………………………………………………………………….
………….……………………...……………………………………….…………………………………………………………………………………………….
Uraian Pembayaran : ……………………………………………...……………………………….
Kode Akun Pajak Kode Jenis Setoran
……………………………………………...…………………..…………………………………………………….
……………………………………………...…………………..……………………………………………………
……………………………………………...…………………..……………………………………………………
Masa Pajak
Tahun Pajak
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

Beri tanda silang (x) pada kolom bulan, sesuai dengan pembayaran untuk masa yang berkenaan Diisi Tahun terutangnya Pajak

Nomor Ketetapan : / / / /
Diisi sesuai Nomor Ketetapan : STP, SKPKB, SKPKBT

Jumlah Pembayaran : …………………………………………………………………………….…………………………………….Diisi dengan rupiah penuh


Terbilang : ………………………………….……………………………………………...…………………………...……………………………………………………………………
………………………………………………….…….……………...………………………………………………………………………………………………………………………………..
………………………………………………….…….……………...………………………………………………………………………………………………………………………………..

Diterima oleh Kantor Penerima Pembayaran Wajib Pajak/Penyetor


Tanggal …………………………………………… ……………………………….. , Tanggal ……………...………….
Cap dan tanda tangan Cap dan tanda tangan

Nama Jelas : ……………………………………. Nama Jelas : …………………………………………..

" Terima kasih Telah Membayar Pajak - Pajak Untuk Pembangunan Bangsa "
Ruang Validasi Kantor Penerima Pembayaran

F.2.0.32.01

90 - Dasar-Dasar Perpajakan
SURAT SETORAN PAJAK
DEPARTEMEN KEUANGAN R.I. LEMBAR 2
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK (SSP) Untuk KPPN

NPWP :
Diisi sesuai dengan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimiliki

NAMA WP : ………….……………………...……………………………………….…………………………………………………………………………………………….

ALAMAT WP : ………….……………………...……………………………………….…………………………………………………………………………………………….
………….……………………...……………………………………….…………………………………………………………………………………………….
NOP :
Diisi sesuai dengan Nomor Objek Pajak

ALAMAT OP : ………….……………………...……………………………………….…………………………………………………………………………………………….
………….……………………...……………………………………….…………………………………………………………………………………………….
Uraian Pembayaran : ……………………………………………...……………………………….
Kode Akun Pajak Kode Jenis Setoran
……………………………………………...…………………..…………………………………………………….
……………………………………………...…………………..……………………………………………………
……………………………………………...…………………..……………………………………………………
Masa Pajak
Tahun Pajak
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

Beri tanda silang (x) pada kolom bulan, sesuai dengan pembayaran untuk masa yang berkenaan Diisi Tahun terutangnya Pajak

Nomor Ketetapan : / / / /
Diisi sesuai Nomor Ketetapan : STP, SKPKB, SKPKBT

Jumlah Pembayaran : …………………………………………………………………………….…………………………………….Diisi dengan rupiah penuh


Terbilang : ………………………………….……………………………………………...…………………………...……………………………………………………………………
………………………………………………….…….……………...………………………………………………………………………………………………………………………………..
………………………………………………….…….……………...………………………………………………………………………………………………………………………………..

Diterima oleh Kantor Penerima Pembayaran Wajib Pajak/Penyetor


Tanggal …………………………………………… ……………………………….. , Tanggal ……………...………….
Cap dan tanda tangan Cap dan tanda tangan

Nama Jelas : ……………………………………. Nama Jelas : …………………………………………..

" Terima kasih Telah Membayar Pajak - Pajak Untuk Pembangunan Bangsa "
Ruang Validasi Kantor Penerima Pembayaran

F.2.0.32.01

Dasar-Dasar Perpajakan - 91
SURAT SETORAN PAJAK
DEPARTEMEN KEUANGAN R.I. LEMBAR 3
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
(SSP) Untuk Dilaporkan oleh
Wajib Pajak ke KPP

NPWP :
Diisi sesuai dengan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimiliki

NAMA WP : ………….……………………...……………………………………….…………………………………………………………………………………………….

ALAMAT WP : ………….……………………...……………………………………….…………………………………………………………………………………………….
………….……………………...……………………………………….…………………………………………………………………………………………….
NOP :
Diisi sesuai dengan Nomor Objek Pajak

ALAMAT OP : ………….……………………...……………………………………….…………………………………………………………………………………………….
………….……………………...……………………………………….…………………………………………………………………………………………….
Uraian Pembayaran : ……………………………………………...……………………………….
Kode Akun Pajak Kode Jenis Setoran
……………………………………………...…………………..…………………………………………………….
……………………………………………...…………………..……………………………………………………
……………………………………………...…………………..……………………………………………………
Masa Pajak
Tahun Pajak
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

Beri tanda silang (x) pada kolom bulan, sesuai dengan pembayaran untuk masa yang berkenaan Diisi Tahun terutangnya Pajak

Nomor Ketetapan : / / / /
Diisi sesuai Nomor Ketetapan : STP, SKPKB, SKPKBT

Jumlah Pembayaran : …………………………………………………………………………….…………………………………….Diisi dengan rupiah penuh


Terbilang : ………………………………….……………………………………………...…………………………...……………………………………………………………………
………………………………………………….…….……………...………………………………………………………………………………………………………………………………..
………………………………………………….…….……………...………………………………………………………………………………………………………………………………..

Diterima oleh Kantor Penerima Pembayaran Wajib Pajak/Penyetor


Tanggal …………………………………………… ……………………………….. , Tanggal ……………...………….
Cap dan tanda tangan Cap dan tanda tangan

Nama Jelas : ……………………………………. Nama Jelas : …………………………………………..

" Terima kasih Telah Membayar Pajak - Pajak Untuk Pembangunan Bangsa "
Ruang Validasi Kantor Penerima Pembayaran

F.2.0.32.01

92 - Dasar-Dasar Perpajakan
SURAT SETORAN PAJAK
DEPARTEMEN KEUANGAN R.I. LEMBAR 4
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK (SSP) Untuk Bank Persepsi/
Kantor Pos & Giro

NPWP :
Diisi sesuai dengan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimiliki

NAMA WP : ………….……………………...……………………………………….…………………………………………………………………………………………….

ALAMAT WP : ………….……………………...……………………………………….…………………………………………………………………………………………….
………….……………………...……………………………………….…………………………………………………………………………………………….
NOP :
Diisi sesuai dengan Nomor Objek Pajak

ALAMAT OP : ………….……………………...……………………………………….…………………………………………………………………………………………….
………….……………………...……………………………………….…………………………………………………………………………………………….
Uraian Pembayaran : ……………………………………………...……………………………….
Kode Akun Pajak Kode Jenis Setoran
……………………………………………...…………………..…………………………………………………….
……………………………………………...…………………..……………………………………………………
……………………………………………...…………………..……………………………………………………
Masa Pajak
Tahun Pajak
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

Beri tanda silang (x) pada kolom bulan, sesuai dengan pembayaran untuk masa yang berkenaan Diisi Tahun terutangnya Pajak

Nomor Ketetapan : / / / /
Diisi sesuai Nomor Ketetapan : STP, SKPKB, SKPKBT

Jumlah Pembayaran : …………………………………………………………………………….…………………………………….Diisi dengan rupiah penuh


Terbilang : ………………………………….……………………………………………...…………………………...……………………………………………………………………
………………………………………………….…….……………...………………………………………………………………………………………………………………………………..
………………………………………………….…….……………...………………………………………………………………………………………………………………………………..

Diterima oleh Kantor Penerima Pembayaran Wajib Pajak/Penyetor


Tanggal …………………………………………… ……………………………….. , Tanggal ……………...………….
Cap dan tanda tangan Cap dan tanda tangan

Nama Jelas : ……………………………………. Nama Jelas : …………………………………………..

" Terima kasih Telah Membayar Pajak - Pajak Untuk Pembangunan Bangsa "
Ruang Validasi Kantor Penerima Pembayaran

F.2.0.32.01

Dasar-Dasar Perpajakan - 93
PETUNJUK PENGISIAN FORMULIR SURAT SETORAN PAJAK

NPWP diisi dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang dimiliki Wajib pajak.
NAMA NPWP diisi dengan Nama Wajib Pajak
ALAMAT NPWP diisi sesuai dengan alamat yang tercantum dalam Surat Keterangan Terdafta
(SKT).
Catatan: Bagi WP yang belum memiliki NPWP
1. NPWP diisi : a. Untuk WP berbentuk Badan Usaha diisi dengan 01.000.000.0-XXX.000
b. Untuk WP orang Pribadi diisi dengan 04.000.000.00-X.000
2. XXX Diisi dengan Nomor Kode KPP Domisili pembayar pajak.
Nama dan Alamat diisi dengan lengkap sesuai dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau identitas lain yang

NOP diisi sesuai dengan Nomor Objek Pajak berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak
Terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Alamat Objek Pajak diisi sesuai dengan alamat tempat Objek Pajak berada berdasarkan SPPT.
Catatan : Diisi hanya apabila terdapat transaksi yang terkait dengan tanah dan/atau bangunan yaitu
transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan kegiatan membangun sendiri.

Kode Akun Pajak diisi dengan angka Akun Pajak sebagaimana dalam Lampiran II untuk setiap akun
pajak yang akan dibayar atau disetor.
Kode Jenis Setoran diisi dengan angka dalam kolom "Kode Jenis Setoran" sebagaimana dalam
Lampiran II untuk setiap jenis setoran pajak yang akan dibayar atau disetor.
Catatan: Kedua kode tersebut harus diisi dengan benar dan lengkap agar kewajiban perpajakan yang telah
dibayar dapat diadministrasikan dengan tepat.
Uraian Pembayaran diisi sesuai dengan uraian dalam kolom "Jenis Setoran" yang berkenaan dengan
Kode Akun Pajak dan Kode Jenis Setoran.
Khusus PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas transaksi Pengalihan Hak atas Tanah dan
Bangunan, dilengkapi dengan nama pembeli.
Khusus PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas transaksi Persewaan Tanah dan Bangunan
yang disetor oleh yang menyewakan, dilengkapi dengan nama penyewa.

Masa Pajak diisi dengan memberi tanda silang pada salah satu kolom Masa Pajak untuk masa
pajak yang dibayar atau disetor. Pembayaran atau penyetoran untuk lebih dari
satu masa pajak dilakukan dengan menggunakan satu SSP untuk setiap masa
pajak. Untuk Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, dapat menyetorkan PPh Pasal
25 untuk beberapa Masa Pajak dalam satu SSP.
Tahun Pajak diisi tahun terutangnya paja.

Nomor Ketetapan diisi nomor ketetapan yang tercantum pada surat ketetapan pajak
(SKPKB,SKPKBT) atau Surat Tagihan Pajak (STP) hanya apabila SSP digunakan
untuk membayar atau menyetor pajak yang kurang dibayar/disetor berdasarkan
surat ketetapan pajak, STP atau putusan lain.

Jumlah Pembayaran diisi dengan angka jumlah pajak yang dibayar atau disetor dalam rupiah penuh.
Pembayaran pajak dengan menggunakan mata uang Dollar Amerika Serikat (bagi
WP yang diwajibkan melakukan pembayaran pajak dalam mata uang Dollar
Amerika Serikat), diisi secara lengkap sampai dengan sen.
Terbilang diisi jumlah pajak yang dibayar atau disetor dengan huruf latin dan menggunakan
bahasa Indonesa.

Diterima oleh Kantor diisi tanggal penerimaan pembayaran atau setoran oleh Kantor Penerima
Penerima Pembayaran Pembayaran, tanda tangan, dan nama jelas petugas penerima pembayaran atau
setoran, serta cap/stempel Kantor Penerima Pembayaran.
Wajib Pajak/Penyetor diisi tempat dan tanggal pembayaran atau penyetoran, tanda tangan, dan nama
jelas Wajib Pajak/Penyetor serta stempel usaha.
Ruang Validasi Kantor diisi Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) dan Nomor Transaksi Bank
Penerima Pembayaran (NTB) atau Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) dan Nomor Transaksi
Pos (NTP) oleh Kantor Penerima Pembayaran.

94 - Dasar-Dasar Perpajakan
BAB III
Pajak Penghasilan (Umum)

Definisi

Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 (Direktorat Jenderal


Pajak tahun 2008), Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap
subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.

Dasar Hukum

Pengenaan pajak penghasilan didasari oleh:


1. Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
2. Undang-Undang No. 7 Tahun 1991 tentang Perubahan Undang-Undang No.
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
3. Undang-Undang No. 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Undang-Undang No.
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan seperti yang sudah diubah dalam
Undang-Undang No. 7 Tahun 1991.
4. Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga terhadap
Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
5. Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat terhadap
Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

Subjek Pajak dan Wajib Pajak (Pasal 2 – 3 UU PPh)

Subjek Pajak merupakan segala hal yang memiliki potensi menerima atau
memperoleh penghasilan dan dapat menjadi sasaran pengenaan pajak
penghasilan.
Yang menjadi Subjek Pajak Penghasilan adalah:
1. Orang pribadi dan warisan yang belum dibagi.
2. Badan, termasuk Bentuk Usaha Tetap (BUT adalah badan usaha yang
dijalankan orang pribadi yang bertempat di Indonesia, atau tidak bertempat di
Indonesia tapi menjalankan usaha di Indonesia).
Berdasarkan UU PPh, Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak dalam negeri
dan Subjek Pajak luar negeri.
1. Subjek Pajak dalam negeri merupakan Wajib Pajak jika telah menerima atau
memperoleh penghasilan yang besarnya lebih dari Penghasilan Tidak Kena
Pajak.

Dasar-Dasar Perpajakan - 95
2. Subjek Pajak luar negeri sekaligus merupakan Wajib Pajak jika menerima
atau memperoleh penghasilan di Indonesia atau diperoleh lewat bentuk
usaha tetap yang dijalankan di Indonesia.
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi
kewajiban subjektif dan objektif dalam hal perpajakan, Wajib Pajak juga dapat
merupakan Subjek Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan.Wajib
Pajak menurut Pasal 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga UU No.6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah orang
pribadi atau badan termasuk pembayar pajak, pemotong pajak dan pemungut
pajak yang memiliki hak dan kewajiban perpajakan yang sesuai dengan peraturan
undang-undang perpajakan.

Yang tidak termasuk Subjek Pajak adalah:


1. Kantor perwakilan negara asing.
2. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain yang
berasal dari luar negeri, dengan syarat:
a. Bukan merupakan WNI dan tidak menerima atau memperoleh
penghasilan lain dari Indonesia diluar jabatan atau pekerjaannya.
b. Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
3. Organisasi-organisasi internasional yang telah ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, dengan syarat:
a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut.
b. Organisasi tersebut tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberi pinjaman
kepada pemerintah yang dananya merupakan hasil iuran dari seluruh
anggotanya. (contoh organisasi: IMF, WHO, ILO, UNESCO, World
Bank, dll)
4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang telah ditetapkan
oleh Menteri Keuangan dengan syarat:
a. Bukan WNI.
b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan maupun pekerjaan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia.
5. Unit-unit tertentu dari badan pemerintah, dengan syarat:
a. Dibentuk berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang
berlaku.
b. Dibiayai oleh APBN/APBD.
c. Penerimaan lembaga tersebut masuk dalam anggaran pemerintah.
d. Pembukuan lembaga tersebut diperiksa oleh aparat pengawasan
fungsional Negara.
Subjek Pajak dibagi menjadi Subjek pajak dalam negeri dan Subjek Pajak
luar negeri. Detail kriteria subjek pajak, wajib pajak dan kewajiban pajak baik
dalam negeri maupun luar negeri dapat dijelaskan dalam tabel berikut:

96 - Dasar-Dasar Perpajakan
Dalam Negeri Luar Negeri
Orang Pribadi Non BUT
Mulai:dilahirkan atau bertempat Mulai: memiliki penghasilan di
tinggal di Indonesia. Indonesia.
Akhir:meninggalkan Indonesia untuk Akhir: tidak lagi memiliki penghasilan
selamanya, atau telah meninggal di Indonesia.
dunia.

Badan BUT
Subjek
Mulai: didirikan atau berada di Mulai: melakukan kegiatan atau
Pajak
Indonesia. usaha melalui BUT yang ada di
Akhir: dibubarkan atau tidak lagi Indonesia.
berada di Indonesia. Akhir: tidak lagi melakukan kegiatan
atau usaha melalui BUT yang ada di
Warisan Indonesia.
Mulai: munculnya warisan.
Akhir: warisan sudah dibagi.

 Tinggal atau berada di Indonesia  Tidak tinggal atau berada di


lebih dari 183 hari dalam kurun Indonesia kurang dari 183 hari
waktu 12 bulan dan berniat dalam kurun waktu 12 bulan.
tinggal menetap di Indonesia.  Badan yang tidak didirikan atau
Wajib  Badan yang didirikan bertempat bertempat di Indonesia, yang
Pajak di Indonesia. menerima atau memperoleh
 Warisan yang belum dibagi. penghasilan dari Indonesia baik
melalui kegiatan melalui BUT di
Indonesia maupun bukan dari
menjalankan usaha.
 Dikenakan pajak terhadap  Dikenai pajak terhadap
penghasilan dari Indonesia penghasilan dari Indonesia.
Kewajiba maupun dari luar Indonesia.  Berdasarkan penghasilan bruto
n Pajak  Berdasarkan penghasilan neto dengan tarif sepadan.
dengan tarif umum.  Tidak wajib menyerahkan SPT.
 Wajib menyerahkan SPT

Menentukan Objek Pajak Penghasilan

OBJEK PAJAK (Berdasarkan Pasal 4–15 UU PPh)


Objek Pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun yang berasal dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk
konsumsi ataupun menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan.
Penghasilan yang Termasuk Objek Pajak:
1. Penggantian atau imbalan yang berhubungan dengan pekerjaan atau jasa
yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honor, komisi,
bonus, gratifikasi, dana pensiun, ataupun bentuk imbalan yang lain.
2. Hadiah dari undian atau kegiatan atau pekerjaan, dan juga hadiah
penghargaan.
3. Laba usaha.
4. Keuntungan penjualan atau keuntungan dari pengalihan harta, termasuk:
a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan,
dan badan usaha lainnya sebagai pengganti saham atau penyerahan
modal.

Dasar-Dasar Perpajakan - 97
b. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau
anggota.
c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, penggabungan,
peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan.
d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan
pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, selama tidak ada
hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan
antara pihak-pihak yang bersangkutan, yang dihitung dari harga pasar
atau harga jual dikurangi nilai bukunya.
e. Keuntungan karena pengalihan atau penjualan hak penambangan dan
tanda turut serta dalam pembiayaan atau pemodalan pada perusahaan
tambang.
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai
biaya.
6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian hutang.
7. Dividen dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi
kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
8. Royalti.
9. Sewa dan penghasilan lain yang berhubungan dengan penggunaan harta.
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
11. Keuntungan karena pembebasan hutang, kecuali sampai jumlah tertentu
yang sudah ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah
12. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.
13. Keuntungan karena selisih lebih penilaian aktiva.
14. Premi asuransi dan reasuransi.
15. Iuran yang diterima oleh suatu perkumpulan dari para anggotanya yang terdiri
dari Wajib Pajak yang menjalankan pekerjaan bebas.
16. Penghasilan dari kegiatan usaha yang berbasis syariah.
17. Imbalan bunga perpajakan.
18. Surplus Bank Indonesia.
Beberapa contoh kasus yang dapat dikatakan sebagai penghasilan adalah:
 PT Aman Sentosa mempunyai sebuah mobil yang digunakan dalam
usahanya. Mobil tersebut memiliki nilai sisa buku sebesar Rp 50.000.000 dan
kemudian dijual dengan harga Rp70.000.000. Maka keuntungan yang
diperoleh PT Aman Sentosa dari penjualan mobil tersebut adalah sebesar
Rp20.000.000. Jika mobil tersebut dijual kepada salah satu pemegang saham
dengan harga Rp 60.000.000, maka nilai jual mobil tersebut tetap dihitung
sebesar harga pasarnya, yaitu seharga Rp 70.000.000. Selisih Rp
20.000.000 merupakan keuntungan PT, dan selisih Rp 10.000.000 dari harga
pasar merupakan penghasilan bagi pemegang saham yang membeli mobil
tersebut.

98 - Dasar-Dasar Perpajakan
 Jika Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan sebagai
biaya kemudian dikembalikan karena suatu sebab, maka jumlah
pengembalian pajak tersebut disebut sebagai penghasilan.

Penghasilan yang Tidak Termasuk Objek Pajak, di antaranya:


1. Bantuan sumbangan atau harta hibah, dengan ketentuan:
 Bantuan, termasuk zakat yang diterima oleh lembaga zakat yang telah
disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak.
 Harta hibah yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat, oleh badan keagamaan, bdan sosial, badan
pendidikan, atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang telah
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
2. Warisan.
3. Harta, termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti
saham atau penyertaan modal.
4. Imbalan yang berhubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau
Pemerintah.
5. Pembayaran dari suatu perusahaan asuransi kepada orang pribadi yang
berhubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi
dwiguna, asuransi beasiswa, dan asuransi jiwa.
6. Dividen atau bagian laba yang diterima oleh PT sebagai Wajib Pajak dalam
negeri, koperasi, BUMN/D, dari penyertaan modal pada badan usaha yang
didirikan dan bertempat di Indonesia, dengan syarat:
 Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan.
 Bagi perseroan terbatas, BUMN/D yang menerima dividen. Kepemilikan
saham pada badan yang memberi dividen paling sedikit 25% dari
jumlah modal yang disetor dan harus memiliki usaha aktif selain
kepemilikan saham tersebut.
7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang telah disahkan oleh
Menteri Keuangan, baik itu yang dibayar oleh pemberi kerja, atau yang
dibayar oleh pegawai.
8. Penghasilan dari penanaman modal dana pensiun dalam bidang-bidang
tertentu yang telah ditetapkan dengan Ketetapan Menteri Keuangan.
9. Bagian laba atau keuntungan yang diterima seorang anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi dalam saham-saham, persekutuan,
perkumpulan, firma, dan kongsi.
10. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura yang
berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan
menjalankan kegiatan usaha di Indonesia. Dengan syarat:
 Pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan kecil, menengah,
atau merupakan perusahaan yang menjalankan kegiatan pada sektor-
sektor usaha yang telah ditetapkan oleh Ketetapan Menteri Keuangan.
 Pasangan usaha tersebut sahamnya tidak diperjualbelikan di bursa efek
Indonesia dan penyertaan modal ventura tidak melebihi 10 tahun.

Dasar-Dasar Perpajakan - 99
11. Beasiswa.
12. Sisa lebih yang diterima organisasi nirlaba.
13. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial pada Wajib Pajak tertentu.

Biaya-Biaya yang Dapat Menyebabkan Pengurangan Penghasilan (Deductible


Expenses)
Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi wajib Pajak dalam negeri dan bentuk
usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya dan
pengurangan yang diperbolehkan.
Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya yang
memiliki hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak yang
pembebanannya dapat dilakukan pada tahun pengeluaran. Atau selama masa
manfaat dari pengeluaran tersebut apabila pengeluaran dilakukan untuk
mendapatkan harta atau aktiva yang memiliki manfaat lebih dalam satu tahun
pajak.
Pengurangan-pengurangan yang diperbolehkan adalah sebagai berikut:
1. Biaya atau Beban Usaha
Beban yang dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dipisahkan
menjadi 2 golongan, yaitu beban biaya yang memiliki masa manfaat tidak
lebih dari satu tahun dan yang memiliki masa manfaat lebih dari satu tahun.
Beban yang memiliki masa manfaat tidak lebih dari satu tahun adalah beban
atau biaya pada tahun yang bersangkutan, contohnya adalah gaji, biaya
administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah, dan lain sebagainya.
Sedangkan beban yang memiliki masa manfaat lebih dari satu tahun,
pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi. Selain itu,
jika dalam suatu tahun pajak terdapat kerugian karena penjualan harta atau
karena selisih kurs, maka kerugian tersebut dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto.
a. Biaya yang berkaitan dengan usaha secara langsung maupun tidak
langsung, yaitu:
1) Biaya pembelian bahan.
2) Biaya dalam bentuk uang yang berhubungan dengan pekerjaan
atau jasa, termasuk upah, gaji, honor, bonus, gratifikasi, dan
tunjangan.
3) Bunga, sewa ataupun royalti.
4) Biaya transportasi dan akomodasi.
5) Biaya pengolahan limbah.
6) Premi asuransi.
7) Biaya promosi dan penjualan.
8) Biaya administrasi.
9) Biaya selain Pajak Penghasilan.
b. Penyusutan dan amortisasi harus dilakukan berdasarkan ketentuan
fiskal, yaitu:

100 - Dasar-Dasar Perpajakan


1) Pada saat mulai depresiasi atau amortisasi:
Sejak perolehan hingga
Sejak 1984 – 2000 Per tahun selesainya pembangunan
aktiva
Sejak perolehan hingga
Sejak 2001 –
Per bulan selesainya pembangunan
sekarang
aktiva
Saat menghasilkan dengan persetujuan Dirjen Pajak
Dengan ketentuan: bagian dari bulan dihitung 1 bulan penuh,
penyusutan dilakukan dengan prinsip taat asas dan konsisten,
penyusutan menurut fiskal atau perpajakan tidak dikenakan nilai residu.

2) Umur ekonomis dengan metode penyusutan:


Kelompok Aktiva
Tarif Penyusutan
Berwujud Masa
I Bukan Bangunan Manfaat Garis Saldo
Lurus Menurun
Kelompok I 4 tahun 25% 50%
Kelompok II 8 tahun 12,5% 25%
Kelompok III 16 tahun 6,25% 12,5%
Kelompok IV 20 tahun 5% 10%
II Bangunan
Permanen 20 tahun 5% -
Bukan Permanen 10 tahun 10% -

Tarif Amortisasi
Kelompok Aktiva Tidak Masa
Saldo
Berwujud Manfaat Garis Lurus
Menurun
Kelompok I 4 tahun 25% 50%
Kelompok II 8 tahun 12,5% 25%
Kelompok III 16 tahun 6,25% 12,5%
Kelompok IV 20 tahun 5% 10%

3) Penyusutan untuk aktiva berwujud selain bangunan dapat


menggunakan metode garis lurus atau saldo menurun.
Aktiva berwujud yang tidak dapat disusutkan antara lain:
a) Tanah dengan status Hak Milik.
b) Tanah dengan status HGU, HGB, Hak Pakai untuk perolehan
pertama kali (untuk perolehan hak kedua dan seterusnya
dapat disusutkan),
c) Rumah dinas perusahaan yang ditempati karyawan sebagai
pemberian kenikmatan dan bukan di daerah terpencil.
d) Kendaraan perusahaan yang dikuasai dan dibawa pulang
pegawai dengan syarat:
 Sampai dengan 17 April 2002 tidak disusutkan,
 Setelah 18 April 2002 disusutkan hanya 50 % dari harga
perolehannya,
 Yang dimiliki sampai dengan 17 April 2002, per 1 Mei
2002 disusutkan hanya 50% dari nilai sisa buku fiskal.
4) Khusus untuk kendaraan dinas berupa sedan, masuk ke dalam
kelompok 2 dan dapat disusutkan 50%. Untuk telepon
seluler/ponsel, penyusutannya masuk ke dalam kelompok 1 dan

Dasar-Dasar Perpajakan - 101


beban penyusutan yang diperkenankan adalah 50%. Beban pulsa
ponsel yang digunakan karyawan untuk urusan perusahaan hanya
dibebankan sebesar 50% saja.
5) Saat mulai amortisasi aktiva tak berwujud seperti paten, hak cipta,
waralaba dan lain sebagainya adalah pada saat tahun
pengeluaran. Metode yang dapat digunakan untuk amortisasi tak
berwujud adalah metode garis lurus atau saldo menurun.
6) Amortisasi pertambangan migas dilakukan menggunakan metode
satuan output produksi. Sedangkan untuk pertambangan non
migas dan Hak Penguasaan Hutan atau Sumber Daya Alam dapat
dilakukan dengan metode satuan output. Maksimal 20% dalam
setahun.
7) Kerugian yang diperoleh karena pengalihan aktiva berwujud dan
tidak berwujud tidak akan dibebankan selama digunakan untuk
operasional perusahaan,
8) Amortisasi atau penyusutan biaya yang berhubungan dengan
perangkat lunak komputer seperti software umum (windows,
Ms.Office, dll) maupun software khusus seperti software
administrasi kantor, perbankan, dan lainnya dapat dimasukkan ke
dalam kelompok 1 dengan masa manfaat 4 tahun.
Contoh penerapan penyusutan fiskal:
 Menggunakan metode garis lurus: sebuah gedung dengan masa
manfaat 20 tahun, harga perolehannya adalah Rp.200.000.000,
maka penyusutan setiap tahunnya adalah Rp.10.000.000
(diperoleh dari Rp.200.000.000 ÷ 20).
 Menggunakan metode saldo menurun: sebuah mesin yang dibeli
dengn harga perolehan Rp. 150.000.000 ditempatkan pada bulan
Januari 2010 dengan masa manfaat 5 tahun. Berdasarkan
ketentuan, masa manfaat aktiva tersebut mendekati kelompok I
yaitu 4 tahun, sehingga tarif penyusutannya adalah 50%, dengan
penghitungan penyusutan sebagai berikut:
Nilai Sisa
Tahun Tarif Penyusutan
Buku Fiskal
Harga perolehan 150.000.000
2010 50% x 150.000.000 75.000.000 75.000.000
2011 50% x 75.000.000 37.500.000 37.500.000
2012 50% x 37.500.000 18.750.000 18.750.000
2013 Disusutkan sekaligus 18.750.000 0

 Total pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung adalah


sebesar Rp.200.000.000. Pembangunan tersebut dimulai pada
bulan Oktober 2010 dan siap digunakan pada tanggal 28 Maret
2011. Penyusutan terhadap harga perolehan gedung tersebut baru
dimulai pada bulan Maret tahun pajak 2011.
 Sebuah mesin yang dibeli pada 10 Maret 2010 seharga
Rp.100.000.000 memiliki masa manfaat selama 4 tahun.

102 - Dasar-Dasar Perpajakan


Berdasarkan ketentuan, tarif penyusutan ditetapkan sebesar 50%,
sehingga penghitungan penyusunannya adalah:
Nilai Sisa Buku
Tahun Tarif Penyusutan
Fiskal
Harga perolehan 100.000.000
2010 50% x 100.000.000 50.000.000 50.000.000
2011 50% x 50.000.000 25.000.000 25.000.000
2012 50% x 25.000.000 12.500.000 12.500.000
2013 Disusutkan sekaligus 12.500.000 0

 PT XYZ membeli sebuah mesin traktor pada tahun 2009 untuk


pertanian. Pertanian tersebut mulai menghasilkan panen pada
tahun 2010. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak,
penyusutan traktor tersebut dapat dilakukan mulai tahun 2010.
 Contoh amortisasi: pengeluaran untuk mendapatkan hak
pengusahaan hutan (HPH) yang memiliki potensi 10.000.000 ton
kayu, sebesar Rp 500.000.000 diamortisasi sesuai dengan
presentase satuan produksi yang direalisasikan dalam tahun
tersebut. Apabila dalam masa satu tahun pajak
 ternyata jumlah produksi mencapai 2.500.000 ton kayu atau hanya
25% dari potensi yang tersedia. Jadi meskipun jumlah produksi
hanya mencapai 25% dari jumlah potensi yang tersedia, besarnya
amortisasi yang dibebankan dari penghasilan bruto pada tahun
tersebut adalah 20% dari pengeluaran, yaitu sebesar Rp.
100.000.000 (diperoleh dari 20% x 500.000.000).
 Perusahaan memiliki aktiva tetap berupa mobil sedan yang harga
pembeliannya adalah Rp. 160.000.000 dan 8 unit ponsel dengan
harga perolehan Rp. 16.000.000 dan diperoleh pada bulan Januari
2009. Penyusutan sedan termasuk dalam kelompok II dan ponsel
termasuk dalam kelompok I. penyusutan tersebut dilakukan
dengan metode garis lurus, dengan perhitungan penyusutan
sebagai berikut:
Beban penyusutan sedan per tahun menurut fiskal:

Beban penyusutan ponsel pertahun menurut fiskal:

c. Iuran dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri


Keuangan. Contohnya adalah iuran pensiun pada PT Taspen dan
Jamsostek.
d. Kerugian karena penjualan dan pengalihan harta.
e. Kerugian karena selisih kurs mata uang asing.
f. Biaya penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia.
g. Biaya beasiswa, magang dan pelatihan.
h. Penghapusan piutang yang jelas-jelas tidak dapat ditagih, dengan
syarat:

Dasar-Dasar Perpajakan - 103


1) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi.
2) perkara penagihannya telah diserahkan kepada Pengadilan Negeri
atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BPULN) atau
adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan
piutang/pembebasan hutang antara kreditor dan debitor yang
bersangkutan.
3) telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus dan
4) menyerahkan daftar piutang yang tidak tertagih kepada Ditjen
Pajak.
Jika salah satu syarat tidak dipenuhi maka penghapusan hutang
tidak tertagih tidak dapat dibebankan menjadi biaya.
i. Sumbangan untuk penanggulangan bencana nasional.
j. Biaya pembangunan infrastruktur sosial.
k. Sumbangan untuk penelitian yang dilakukan di Indonesia.
l. Sumbangan fasilitas pendidikan.
m. Sumbangan untuk pembinaan olah raga.

2. Kompensasi Kerugian
Jika penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya yang sudah
dijelaskan diatas tapi masih mendapatkan kerugian, maka kerugian tersebut
dapat dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya
secara berturut-turut hingga 5 tahun.
Contoh: PT XYZ pada tahun 2010 mengalami kerugian fiskal sebesar Rp.
1.200.000.000. Dalam 5 tahun berikutnya diketahui mendapatkan keuntungan
sebagai berikut:
2011 Laba fiskal 200.000.000
2012 Rugi fiskal 300.000.000
2013 Laba fiskal NIHIL
2014 Laba fiskal 100.000.000
2015 Laba fiskal 800.000.000

Perhitungan kompensasi kerugian dilakukan seperti berikut:


Rugi fiskal 2010 1.200.000.000 Rugi fiskal
Laba fiskal 2011 200.000.000 tahun 2012
dapat
Sisa rugi fiskal 2010 1.000.000.000 dikompensa
Rugi fiskal 2012 300.000.000 sikan
Sisa rugi fiskal 2010 1.000.000.000 hingga 2017
Laba fiskal 2013 0
Sisa rugi
Sisa rugi fiskal 2010 1.000.000.000 fiskal tahun
Laba fiskal 2014 100.000.000 2012 sudah
Sisa rugi fiskal 2010 900.000.000 tidak dapat
dikompensa
Laba fiskal 2015 800.000.000
sikan lagi
Sisa rugi fiskal 2010 100.000.000

Rugi fiskal tahun 2010 sebesar 100.000.000 yang masih tersisa setelah
5 tahun, yaitu setelah akhir tahun 2015 tidak boleh dikompensasikan lagi

104 - Dasar-Dasar Perpajakan


dengan laba fiskal tahun 2016, dan rugi fiskal tahun 2012 hanya dapat
dikompensasikan pada laba fiskal tahun 2016 hingga 2017, karena jangka
waktu 5 dihitung dari awal tahun 2013 berakhir pada tahun 2017.

3. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) khusus Wajib Pajak Orang


Pribadi
Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri mendapatkan pengurangan
berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak yang konsepnya merupakan
penghasilan minimal orang pribadi tidak kena pajak. Apabila penghasilan
seseorang berada dibawah PTKP, maka orang tersebut dianggap “miskin”,
sehingga tidak wajib membayar pajak.

Tabel Penghasilan Tidak Kena Pajak


1 Januari 2009 – Mulai
Keterangan
31 Desember 2012 1 Januari 2013
Untuk Wajib Pajak orang pribadi 15.840.000 24.300.000
Tambahan untuk Wajib Pajak yang 1.320.000 2.025.000
statusnya menikah
Tambahan untuk seorang istri yang 15.840.000 24.300.000
penghasilannya diga-bung dengan
penghasilan suami
Tambahan untuk setiap ang-gota 1.320.000 2.025.000
keluarga sedarah dalam satu garis
keturunan serta anak angkat yang
menjadi tanggungan sepenuhnya,
paling banyak tiga orang untuk setiap
keluarga.

Contoh penghitungan PTKP dalam setahun bagi beberapa status Wajib


Pajak
Tambahan
Istri Memiliki WP yang Tambahan
Keterangan WP Total PTKP
Penghasilan Statusnya Tanggungan
Menikah
Laki-laki (K/-) 24.300.000 0 2.025.000 0 26.325.000
Laki-laki (K/1) 24.300.000 0 2.025.000 2.025.000 28.350.000
Laki-laki (K/2) 24.300.000 0 2.025.000 4.050.000 30.375.000
Laki-laki (K/3) 24.300.000 0 2.025.000 6.075.000 32.400.000
Laki-laki
digabung
24.300.000 24.300.000 2.025.000 50.625.000
penghasilan istri
(K/-)
Laki-laki
digabung
24.300.000 24.300.000 2.025.000 52.650.000
penghasilan istri
(K/1)
Laki-laki (TK/-) 24.300.000 24.300.000
Laki-laki (TK/1) 24.300.000 2.025.000 26.325.000
Wanita (TK/-) 24.300.000 24.300.000
Wanita,
penghasilan tidak
24.300.000 24.300.000
digabung suami
(K/1)

Dasar-Dasar Perpajakan - 105


Tambahan
Istri Memiliki WP yang Tambahan
Keterangan WP Total PTKP
Penghasilan Statusnya Tanggungan
Menikah
Wanita, suami
tidak berpeng- 24.300.000 2.025.000 2.025.000 28.350.000
hasilan (K/1)

a. Undang-undang Pajak Penghasilan menganggap keluarga sebagai


kesatuan ekonomis yang berarti penghasilan seluruh anggota keluarga
digabung dan pemenuhan kewajiban pajak dilakukan oleh kepala
keluarga. Tetapi, penghasilan suami-istri dapat dikenakan pajak secara
terpisah jika suami-istri tersebut hidup terpisah atau memang
menginginkan pemisahan harta dan penghasilan.
b. Penghasilan anak yang belum dewasa digabungkan dengan
penghasilan orang tua.
c. Penghasilan suami-istri dikenakan pajak berbeda jika:
1) Suami-istri hidup berpisah berdasarkan keputusan hakim.
2) Ada perjanjian pemisahan harta dan penghasilan.
3) Istri memilih untuk menjalankan hak dan kewajibannya sendiri.
d. Untuk karyawan wanita yang statusnya menikah, menggunakan PTKP
untuk dirinya sendiri ditambah jumlah keluarga yang menjadi
tanggungannya (jika ada). Jika penghasilan suami-istri digabung, maka
besarnya PTKP suami ditambah PTKP istri dan ditambah jumlah
tanggungan keluarga.
e. Jika karyawan wanita yang statusnya menikah tersebut bisa
menunjukkan keterangan tertulis dari pemda setempat, atau minimal
dari kecamatan yang menyatakan bahwa suaminya tidak
berpenghasilan, maka PTKP nya mendapatkan tambahan sebesar Rp.
2.025.000 ditambah jumlah anggota keluarga lain yang menjadi
tanggungannya.
f. Besar PTKP ditentukan berdasarkan keadaan Wajib Pajak pada awal
tahun takwim, atau awal masuk kerja bagi pegawai yang baru bekerja
pada bagian tahun takwim.

Biaya-Biaya yang Tidak Boleh Mengurangi Penghasilan (Non-Deductible


Expenses)
Biaya atau beban yang tidak boleh dikurangkan diantaranya adalah:
1. Pembagian laba (dividen) dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk
sisa hasil usaha koperasi.
2. Biaya yang dibebankan untuk kepentingan pribadi para pemegang saham,
sekutu, dan anggota.
3. Pembentukan dan penumpukan dana cadangan. Pembentukan dana
cadangan yang diijinkan hanyalah cadangan untuk piutang yang tidak tertagih
bagi sewa guna usaha dengan hak opsi dan cadangan lainnya yang telah
ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Yaitu bank umum, bank perkreditan
rakyat, asuransi jiwa atau kerugian, dan perusahaan pertambangan.
4. Premi asuransi yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak orang pribadi.

106 - Dasar-Dasar Perpajakan


5. Penggantian dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali untuk daerah
tertentu yang berhubungan dengan pelaksanaan pekerjaan yang telah
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
6. Jumlah di luar kewajaran yang telah dibayar ke pemegang saham atau ke
pihak yang memiliki hubungan istimewa sebagai imbalan berkaitan dengan
pekerjaan.
7. Harta yang telah dihibahkan, bantuan, sumbangan, dan warisan.
8. Pajak Penghasilan.
9. Biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan Wajib Pajak ataupun orang lain
yang menjadi tanggungannya.
10. Gaji yang diberikan pada anggota persekutuan, firma, ataupun CV yang
modalnya tidak terbagi menjadi saham.
11. Sanksi di bidang perpajakan.
Untuk penghasilan yang sudah dikenai PPh Final harus dikeluarkan dari
penghasilan dalam penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang. Hal ini
dilakukan untuk menghindari pengenaan pajak ganda.
Contoh A:
Laporan laba rugi PT ABC menurut akuntansi untuk tahun yang berakhir 31
Desember 2012
Laba kotor 300.000.000
Pengurangan beban-beban
Beban gaji 25.000.000
Beban PBB 5.000.000
Sumbangan 6.000.000
Beban perjalanan dinas 10.000.000 70.000.000
Laba bersih 230.000.000

Sebagai informasi tambahan, dalam biaya perjalanan dinas, Rp. 4.000.000


merupakan biaya rekreasi direktur utama dan keluarganya. Dan, sumbangan
diberikan kepada lembaga bukan zakat yang tidak disahkan oelh pemerintah.
Laporan laba rugi tersebut harus mendapatkan koreksi fiskal dan laporan laba rugi
tersebut juga harus disusun menurut fiskal, sehingga dapat diperoleh laba/rugi
bersih yang dapat digunakan sebagai dasar pengenaan Pajak Penghasilan.

Laporan Laba Rugi Fiskal PT ABC tahun 2012


Laba kotor 300.000.000
Pengurangan beban-beban
Beban gaji 25.000.000
Beban PBB 5.000.000
Beban perjalanan dinas 6.000.000 36.000.000
Laba bersih (fiskal) 264.000.000
Contoh B:
Andi yang berstatus menikah dan memiliki dua orang anak, adalah seorang
pengusaha kerupuk. Pada tahun 2012 Andi membukukan laba bersih sebesar Rp
500.000.000. Penghasilan di luar usaha pokok adalah sebesar Rp. 120.000.000.
Apabila ternyata dari laba bersih tersebut terdapat biaya yang secara fiskal tidak
dapat dikurangkan sebesar Rp. 50.000.000 dan dari penghasilan di luar usaha
pokok juga termasuk penghasilan dari bunga deposito Bank BRI senilai

Dasar-Dasar Perpajakan - 107


Rp30.000.000, maka besar penghasilan Andi yang menjadi dasar dalam
penghitung PPh adalah seperti berikut:
Laba usaha 500.000.000 Koreksi Fiskal Positif
Penghasilan di luar usaha pokok 120.000.000
Laba bersih 620.000.000
Penambahan beban non deductible 50.000.000
Pengurangan penghasilan bunga deposito (30.000.000)
Laba bersih (fiskal) 640.000.000
Koreksi Fiskal Negatif
Contoh C:
CV. Deniaji Teknik adalah perusahaan reparasi mesin yang didirikan oleh Deny
dan Aji. Pada tahun 2012 CV. Deniaji Teknik memiliki penghasilan/laba bersih
sebelum pajak sebesar Rp.150.000.000, padalah pada tahun 2010 masih memiliki
sisa kerugian fiskal sebesar Rp. 25.000.000. Dalam penghasilan tersebut telah
termasuk juga:
 Gaji Deny sebesar Rp. 25.000.000
 Dana cadangan piutang tak tertagih sebesar Rp. 5.000.000
 Fiskal luar negeri sebesar Rp. 2.000.000
 Biaya pendidikan karyawan sebesar Rp. 3.000.000
 Premi asuransi kebakaran bangunan bengkel dan kantor sebesar Rp.800.000
 Pemberian sembako bagi karyawan sebesar Rp. 5.000.000
 Hasil menyewakan kantor sebesar Rp. 10.000.000
 Bunga jasa giro Rp. 2.500.000
Dari informasi tersebut, untuk menentukan besarnya penghasilan bersih fiskal CV
Deniaji Teknik, maka perlu dilakukan koreksi fiskal seperti berikut:
Laba kotor 150.000.000
Koreksi fiskal negatif
Sewa kantor 10.000.000
Bunga jasa giro 2.500.000 (12.500.000)
Koreksi fiskal positif
Gaji Deny 25.000.000
Dana cadangan piutang 5.000.000
Fiskal luar negeri 2.000.000
Pemberian sembako 5.000.000 37.000.000
Laba bersih fiskal 174.500.000
Dikurangi kompensasi kerugian (25.000.000)
Penghasilan kena pajak 149.500.000

Penilaian Harta/Aktiva dan Hubungan Istimewa


Ketentuan tentang cara penilaian harta termasuk persediaan, untuk
menghitung penghasilan yang berhubungan dengan penggunaan harta
perusahaan, menghitung keuntungan dan kerugian jika terjadi penjualan atau
pengalihan harta, dan menghitung penghasilan dari penjualan barang dagangan
pada umumnya yang didasarkan pada harga pasar atau harga yang
sesungguhnya diterima. Termasuk juga dalam harga perolehan adalah harga beli
dan biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh harta tersebut, seperti bea
masuk, biaya pengangkutan, dan biaya pemasangan.

108 - Dasar-Dasar Perpajakan


Mengenai hal jual beli yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa, nilai
perolehan bagi pihak pembeli adalah jumlah yang seharusnya dibayar, dan nilai
penjualan bagi pihak penjual adalah jumlah yang seharusnya diterima. Adanya
hubungan istimewa antara penjual dan pembeli dapat mengakibatkan harga
perolehan menjadi lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan jual beli yang
wajar. Maka dari itu, ada ketentuan yang mengatur bahwa nilai perolehan atau nilai
penjualan harta bagi pihak-pihak yang bersangkutan adalah jumlah yang
seharusnya dikeluarkan atau diterima.
Contohnya, Wajib Pajak A menyerahkan 10 buah mesin bubut yang nilai
bukunya sebesar Rp.25.000.000 kepada PT B sebagai pengganti penyertaan
sahamnya dengan nilai nominal Rp.20.000.000. Harga pasar yang wajar bagi
mesin-mesin tersebut adalah Rp.40.000.000. maka, dalam hal ini PT B akan
mencatat mesin bubut tersebut sebagai aktiva yang bernilai Rp.40.000.000 dan
selisih antara nilai nominal saham dengan nilai pasar harta adalah sebesar
Rp.20.000.000 (diperoleh dari Rp.40.000.000 – Rp20.000.000) yang kemudian
dibukukan sebagai agio saham. Bagi Wajib Pajak A, selisih sebesar
Rp.15.000.000 (diperoleh dari Rp.40.000.000 – Rp.25.000.000) merupakan Objek
Pajak.
Hubungan istimewa yang dimaksud diatas disebabkan karena 3 hal, yaitu
karena penyertaan modal, penguasaan secara langsung maupun tidak langsung,
atau bisa juga karena hubungan keluarga seperti pada bagan berikut:

Wajib Pajak

Penyertaan Penguasaan
modal secara
minimal 25% langsung /
langsung / tidak
tidak langsung
langsung

Hubungan
keluarga

Sedarah Semenda

lurus 1 derajat Ke samping 1


Ke samping 1 lurus 1 derajat
- Orang tua derajat - Mertua derajat
- Anak - Saudara - Saudara ipar
- Anak tiri
kandung

Persediaan Akhir dan Harga Pokok Penjualan


Persediaan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu persediaan bahan mentah
atau raw material, barang dalam proses, dan barang jadi. Penilaian persediaan

Dasar-Dasar Perpajakan - 109


dilakukan sesuai dengan biaya perolehannya. Metode penilaian persediaan yang
diijinkan hanya dengan metode FIFO (First In First Out) atau masuk pertama
keluar pertama dan metode harga rata-rata. Metode penilaian dilakukan dengan
taat azas dan menganut prinsip konsistensi.
Penghitungan persediaan ini digunakan untuk menentukan harga pokok
penjualan dari produk yang terjual. Masalah penghitungan persediaan dan harga
pokok penjualan sudah dibahas dalam pelajaran akuntansi, sehingga tidak akan
dibahas lebih rinci dalam perpajakan.

Revaluasi Aktiva/Harta
Penilaian aktiva kembali dilakukan karena adanya faktor penyesuaian
terhadap ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dan penghasilan karena
perkembangan harga. Sebagai contoh, penyesuaian harga tanah yang diperoleh
pada tahun 2000 harga perolehan per meternya adalah Rp.200.000, sedangkan
harga tanah per meter sekarang adalah sekitar Rp.1.500.000. Penyesuaian ini
menyebabkan adanya selisih Rp. 1.300.000 per meternya. Karena nilai selisih
tersebut menjadi tambahan penghasilan bagi Wajib Pajak, maka akan dikenakan
pajak. Besar PPh final terhadap kelebihan revaluasi aktiva adalah Rp. 130.000 per
meter (diperoleh dari 10% x 1.300.000). PPh yang telah dibayarkan tidak dapat
menjadi kredit pajak terhadap seluruh pajak terutang dalam satu tahun pajak.
Jika dalam revaluasi aktiva ternyata harga pasar sekarang lebih rendah,
maka kerugian atas penilaian aktiva dapat dikompensasikan dengan penghasilan
brutonya setelah dihitung dengan penyusutan.

Norma Penghitungan Penghasilan Neto


Informasi yang lengkap dan benar mengenai penghasilan Wajib Pajak sangat
penting untuk keadilan dalam pengenaan pajak agar sesuai dengan kemampuan
ekonomis Wajib Pajak. Untuk mempermudah perhitungan penghasilan neto bagi
Wajib Pajak yang melakukan usaha dan pekerjaan bebas dengan peredaran bruto
tertentu, Direktur Jenderal Pajak telah menerbitkan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto sebagai pedoman untuk menentukan penghasilan neto Wajib
Pajak yang tidak dapat melakukan pembukuan, atau melakukan pembukuan tapi
tidak benar dan lengkap.
Syarat bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) yang boleh menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto adalah:
1. WPOP tersebut memiliki usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan
jumlah peredaran bruto dalam 1 tahunnya adalah kurang dari Rp
480.000.000 (berdasarkan UU No 36 Tahun 2008).
2. WPOP tersebut wajib menyelenggarakan pencatatan terhadap peredaran
brutonya sesuai dengan Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan.
3. WPOP memberitahu Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Pratama dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun
pajak bersangkutan bahwa penghasilannya dihitung dengan menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

110 - Dasar-Dasar Perpajakan


4. Wajib Pajak yang ingin penghasilannya tidak dihitung menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto, maka wajib melakukan pembukuan dengan
benar dan lengkap.
Selain Norma Penghitungan Penghasilan Neto, ada juga Norma
Penghitungan Khusus untuk menghitung penghasilan neto dari Wajib Pajak dalam
negeri atau luar negeri tertentu yang penghasilan kena pajaknya tidak dapat
dihitung dengan cara normal. Norma Penghitungan Khusus ini hanya dapat
digunakan untuk golongan Wajib Pajak tertentu seperti perusahaan pelayaran atau
penerbangan internasional, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan
pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing, dan
perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangunan guna-serah.
Norma Penghitungan Khusus tersebut ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Tarif Pajak

Mengacu pada Pasal 17 ayat 1 Undang-Undang Pajak Penghasilan, besar


tarif pajak penghasilan yang diterapkan terhadap penghasilan kena pajak bagi
Wajib Pajak terbagi menjadi dua macam, yaitu Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri dan Wajib Pajak dalam negeri badan serta Bentuk Usaha Tetap.
1. Tarif Pajak untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai Rp. 50.000.000 5%
Rp. 50.000.000 – Rp. 250.000.000 15%
Rp. 250.000.000 – Rp. 500.000.000 25%
Di atas Rp. 500.000.000 30%

Contoh:
Penghitungan pajak terutang Wajib Pajak orang pribadi:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp. 600.000.000
Pajak penghasilan setahun:
5% x Rp. 50.000.000 Rp. 2.500.000
15% x Rp. 200.000.000 Rp. 30.000.000
25% x Rp. 250.000.000 Rp. 62.500.000
30% x Rp. 100.000.000 Rp. 30.000.000+
Jumlah Pajak yang terutang: Rp. 125.000.000

Untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, besar pajak yang
terutang dalam bagian tahun pajak dihitung berdasarkan banyak jumlah hari
dalam bagian tahun pajak tersebut dibagi 360 dan kemudian dikalikan
dengan jumlah pajak yang terutang untuk satu tahun pajak. Satu bulan penuh
dihitung sebagai 30 hari.
Contoh:
Penghasilan kena pajak setahun: Rp 584.160.000
Pajak penghasilan setahun:
5% x Rp. 50.000.000 Rp. 2.500.000
15% x Rp. 200.000.000 Rp. 30.000.000
25% x Rp. 250.000.000 Rp. 62.500.000

Dasar-Dasar Perpajakan - 111


30% x Rp. 84.160.000 Rp. 25.248.000+
Rp. 120.248.000
Maka, jumlah Pajak Penghasilan yang terutang dalam bagian tahun pajak
selama 3 bulan adalah:
((3 x 30) ÷360) x Rp. 120.248.000 = Rp. 30.062.000
2. Tarif Pajak untuk Wajib Pajak dalam negeri badan dan Bentuk Usaha
Tetap adalah sebesar 28%. Tarif pajak tersebut kemudian berubah
menjadi 25% dan mulai berlaku sejak tahun 2010.
Contoh: penghitungan pajak terutang untuk wajib Pajak badan dalam negeri
dan Bentuk Usaha Tetap
Jumlah Penghasilan Kena Pajak: Rp. 1.250.000.000
Pajak penghasilan yang terutang:25% x Rp. 1.250.000.000 =Rp. 312.500.000
3. Adanya penurunan tarif 5% lebih rendah daripada tarif normal hanya
terjadi jika:
a. Wajib Pajak merupakan Wajib Pajak dalam negeri yang berbentuk
perseroan terbuka dengan kepemilikan saham publik sebesar 40% atau
lebih dari keseluruhan jumlah saham yang disetor, dan saham tersebut
minimal dimiliki oleh 300 pihak.
b. Tiap pihak pemilik saham hanya diperbolehkan memiliki kurang dari 5%
dari jumlah keseluruhan saham yang disetor.
c. Kondisi yang telah disebutkan pada poin a dan b harus dapat dipenuhi
selambat-lambatnya enam bulan (183 hari kalender) dalam jangka
waktu satu tahun pajak.
Contoh:
PT Jaya yang merupakan perseroan terbuka telah memenuhi kriteria Wajib
Pajak yang mendapatkan penurunan tarif sesuai Peraturan Pemerintah.
Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang bagi PT Jaya adalah:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak: Rp. 1.250.000.000
Pajak penghasilan yang terutang:20% x Rp. 1.250.000.000 = Rp.250.000.000
4. Adanya fasilitas penurunan tarif 50% dari 25% yang dikenakan terhadap
penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp
4.800.000.000 hanya dikenakan pada Wajib Pajak badan dalam negeri
yang peredaran bruto nya sampai dengan Rp. 50.000.000.000.
Contoh:
Peredaran bruto PT Berdikari dalam Tahun Pajak 2012 adalah sebesar Rp.
30.000.000.000 dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp. 3.000.000.000.
Penghitungan PPh yang terutang bagi PT Berdikari adalah:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak yang memperoleh fasilitas:
(Rp.4.800.000.000÷Rp.30.000.000.000)x Rp.3.000.000.000= Rp.480.000.000
Jumlah Penghasilan Kena Pajak yang tidak memperoleh fasilitas:
Rp.3.000.000.000 – Rp. 4.800.000.000 = Rp. 2.520.000.000.

(50% x 25%) x Rp. 480.000.000 Rp. 60.000.000


25% x Rp. 2.520.000.000 Rp. 630.000.000 +
Besar Pajak Penghasilan yang terutang: Rp. 690.000.000

112 - Dasar-Dasar Perpajakan


Penghasilan Kena Pajak dan PPh yang Terutang

Penghasilan Kena Pajak yang digunakan sebagai dasar penerapan tarif pajak
bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam satu tahun pajak dihitung dengan cara
mengurangkan dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1
dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 dan ayat 2,
Pasal 7 ayat 1 dan ayat 2, dan Pasal 9 ayat 1 huruf c, d, e, dan g dari Undang-
Undang Pajak Penghasilan. Dengan rincian sebagai berikut:
1. Pasal 4 ayat 2, yang termasuk objek pajak.
2. Pasal 6 ayat 1, biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
pengasilan.
3. Pasal 6 ayat 2, kompensasi kerugian.
4. Pasal 7 ayat 1, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
5. Pasal 9 ayat 1, biaya yang tidak dianggap sebagai objek pajak.
Huruf c pembentukan dan pemupukan dana cadangan, huruf d premi
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi beasiswa, yang dibayar oleh orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh
pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan Wajib Pajak yang
bersangkutan. Huruf e penggantian atau imbalan yang berhubungan dengan
pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura, kecuali penyedia
makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan
dalam daerah tertentu yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan. Huruf g
harta yang dihibahkan, bantuan ataupun sumbangan, dan warisan seperti yang
dimaksud dalam Pasal 4 ayat 3 huruf a dan b, kecuali seperti yang dimaksud
dalam Pasal 6 ayat 1 huruf I sampai huruf m dan juga zakat yang diterima oleh
badan amil zakat yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga
keagamaan yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah dan ketentuannya diatur
oleh Peraturan Pemerintah.
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dikelompokkan seperti berikut:

Wajib Pajak Badan dalam Negeri yang Melakukan Pembukuan


Untuk Wajib Pajak badan dalam negeri yang melakukan pembukuan,
Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan cara penghitungan biasa.
Contoh:
Peredaran bruto 6.000.000.000)
Biaya untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara (5.400.000.000)
penghasilan
Laba/penghasilan neto usaha 600.000.000)
Penghasilan lainnya 50.000.000)
Biaya untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara (30.000.000) 20.000.000)
penghasilan lain
Jumlah seluruh penghasilan neto 620.000.000)
Kompensasi kerugian (10.000.000)
Penghasilan kena pajak 610.000.000)

Dasar-Dasar Perpajakan - 113


Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang mendapatkan
fasilitas:
(4.800.000.000 ÷ 6.000.000.000) x 610.000.000 = 488.000.000
Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak
mendapatkan fasilitas:
610.000.000 – 488.000.000 = 122.000.000
Pajak Penghasilan yang terutang:

(50% x 25%) x 488.000.000 61.000.000


25% x 122.000.000 30.500.000+
Pajak penghasilan yang terutang 91.500.000

Wajib Pajak Orang Pribadi yang Menyelenggarakan Pembukuan


Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang melakukan pembukuan,
Penghasilan Kena Pajaknya dihitung menggunakan cara penghitungan biasa
Peredaran bruto 6.000.000.000)
Biaya untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara (5.400.000.000)
penghasilan
Laba/penghasilan neto usaha
600.000.000)
Penghasilan lainnya 50.000.000)
Biaya untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara (30.000.000) 20.000.000)
penghasilan lain
Jumlah seluruh penghasilan neto
620.000.000)
Kompensasi kerugian (10.000.000)
Penghasilan kena pajak 610.000.000)
PTKP Wajib Pajak Orang Pribadi
(istri + 2 anak) 30.375.000)
Penghasilan Kena Pajak 579.625.000)

PPh yang terutang:


5% x 50.000.000 Rp 2.500.000
15% x 200.000.000 Rp 30.000.000
25% x 250.000.000 Rp 62.500.000
30% x 79.625.000 Rp 23.887.500 +
Jumlah PPh yang terutang Rp 118.887.500

Wajib Pajak Orang Pribadi yang Menggunakan Norma Penghitungan Neto


Wajib Pajak orang pribadi yang mengerjakan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas yang peredaran brutonya kurang dari Rp4.800.000.000 dalam setahun
melakukan penghitungan penghasilan neto menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto.

114 - Dasar-Dasar Perpajakan


Contoh:
Peredaran bruto 4.000.000.000
Penghasilan neto menurut norma
800.000.000
penghitungan (misal 20%)
Penghasilan Neto lainnya 5.000.000
Jumlah penghasilan neto 805.000.000
PTKP (istri + 3 anak) 32.400.000
Penghasilan Kena Pajak 772.600.000

PPh yang terutang:


5% x 50.000.000 Rp 2.500.000
15% x 200.000.000 Rp 30.000.000
25% x 250.000.000 Rp 62.500.000
30% x 272.600.000 Rp 81.780.000 +
Jumlah PPh yang terutang Rp 176.780.000

Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap


Untuk wajib Pajak Luar Negeri yang melakukan usaha atau kegiatan melalui
Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, penghitungan kena pajaknya dilakukan dengan
cara yang pada dasarnya sama dengan penghitungan Penghasilan Kena Pajak
bagi Wajib Pajak badan dalam negeri. Karena Bentuk Usaha Tetap memiliki
kewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan. Penghasilan Kena Pajaknya
dapat dihitung dengan cara penghitungan biasa.
Contoh:
Peredaran bruto 10.000.000.000)
Biaya untuk mendapatkan, menagih
(8000.000.000)
dan memelihara penghasilan
Laba/penghasilan neto usaha 2.000.000.000)
Penghasilan bunga 50.000.000)
Penjualan langsung barang yang
sejenis dengan barang yang dijual
2.000.000.000)
Bentuk Usaha Tetap oleh kantor
pusat
Biaya untuk mendapatkan, menagih
(1.500.000.000)
dan memelihara penghasilan
500.000.000)
Dividen yang diterima/diperoleh
kantor pusat yang mempunyai
1.000.000.000)
hubungan efektif dengan Bentuk
Usaha Tetap
3.550.000.000)
Biaya-biaya menurut Pasal 5 ayat 3
(450.000.000)
UU PPh
Penghasilan Kena Pajak 3.100.000.000)

PPh yang terutang: 25% x 3.100.000.000 = 775.000.000

Dasar-Dasar Perpajakan - 115


Pelunasan Pajak dalam Tahun Berjalan

Pajak terutang yang besarnya sudah diperkirakan oleh Wajib Pajak dilunasi
dalam tahun pajak yang berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh
pihak lain, dan melalui pembayaran pajak mandiri oleh Wajib Pajak yang
bersangkutan.

Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan oleh Wajib Pajak Sendiri
Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang memperoleh penghasilan
melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang berhubungan dengan
pekerjaan dari badan-badan yang tidak diwajibkan untuk melakukan pemotongan
pajak seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 21 ayat 2 Undang-Undang Pajak
Penghasilan, memiliki kewajiban sebagai berikut:
1. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
2. Melakukan sendiri penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan yang
terutang dalam satu tahun berjalan.
Melaporkan hasil penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan yang
terutang dalam satu tahun berjalan kedalam Surat Pemberitahuan Tahunan.
Sedangkan untuk pelunasan pajak penghasilan dalam tahun berjalan melalui
pihak lain.
1. Pemotongan pajak penghasilan yang dilakukan oleh pihak lain seperti yang
dimaksudkan dalam Pasal 21 ayat 1 Undang-Undang Pajak Penghasilan
dilakukan pada akhir bulan saat telah dilakukannya pembayaran atau
terutangnya penghasilan dari Wajib Pajak yang bersangkutan, tergantung
kejadian mana yang terjadi terlebih dahulu.
2. Pemungutan pajak penghasilan yang dilakukan oleh pihak lain seperti yang
dimaksudkan dalam Pasal 22 ayat 1 Undang-Undang Pajak Penghasilan
dilakukan pada saat pembayaran atau hal-hal tertentu lain yang sudah diatur
oleh Menteri Keuangan.
3. Pemotongan pajak penghasilan oleh pihak lain seperti yang dimaksudkan
dalam Pasal 23 ayat 1 Undang-Undang Pajak Penghasilan dilakukan pada
akhir bulan, saat:
a. Penghasilan dibayarkan.
b. Disediakan untuk dibayarkannya penghasilan.
c. Jatuh tempo pembayaran penghasilan yang bersangkutan.
Tergantung kejadian mana yang terjadi terlebih dahulu.
4. Pemotongan pajak penghasilan oleh pihak lain seperti yang telah disebutkan
dalam Pasal 26 ayat 1 Undang-Undang Pajak Penghasilan dilakukan pada
akhir bulan, saat:
a. Penghasilan dibayarkan.
b. Disediakan untuk dibayarkannya penghasilan.
c. Jatuh tempo pembayaran penghasilan yang bersangkutan
Tergantung Kejadian mana yang terjadi terlebih dahulu.

116 - Dasar-Dasar Perpajakan


BAB IV
Pajak Penghasilan Pasal 21

Pengertian

Adapun beberapa pengertian PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:


1. Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa
pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
2. Badan adalah badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3
Undang-Undang nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
3. Penyelenggara Kegiatan adalah Wajib Pajak orang pribadi atau wajib Pajak
badan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu yang melakukan
pembayaran imbalan dengan nama dan dalam bentuk apa pun kepada orang
pribadi sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan tersebut.
4. Penerima Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah orang pribadi
dengan status sebagai Subjek Pajak dalam negeri yang menerima atau
memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
sepanjang tidak dikecualikan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini,
dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan baik
dalam hubungannya sebagai pegawai maupun bukan pegawai, termasuk
penerima pensiun.
5. Pegawai adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, baik sebagai
pegawai tetap atau pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas berdasarkan
perjanjian atau kesepakatan kerja baik secara tertulis maupun tidak tertulis,
untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu
dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan periode tertentu,
penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan pemberi kerja,
termasuk orang pribadi yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau
badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
6. Pegawai tetap adalah pegawai yang menerima atau memperoleh
penghasilan dalam jumlah tertentu secara teratur, termasuk anggota dewan
komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur terus menerus
ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung, serta pegawai yang
bekerja berdasarkan kontrak untuk suatu jangka waktu tertentu sepanjang
pegawai yang bersangkutan bekerja penuh (full time) dalam pekerjaan
tersebut.

Dasar-Dasar Perpajakan - 117


7. Pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas adalah pegawai yang hanya
menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja,
berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan
atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.
8. Penerima Penghasilan Bukan Pegawai adalah orang pribadi selain
pegawai tetap dan pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas yang memperoleh
penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh
Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa atau
kegiatan tertentu yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari
pemberi penghasilan, misalnya konsultan, penyanyi, notaris, dan pengajar.
9. Peserta kegiatan adalah orang pribadi yang terlibat dalam suatu kegaitan
tertentu, termasuk mengikuti rapat, sidang, seminar, lokakarya (workshop),
pendidikan, pertunjukan, olahraga, atau kegiatan lainnya dan menerima atau
memperoleh imbalan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam kegiatan
tersebut.
10. Penerima pensiun adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima
atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu,
termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima tunjangan hari tua
atau jaminan hari tua.
11. Penghasilan Pegawai Tetap yang Bersifat Teratur adalah penghasilan
bagi pegawai tetap berupa gaji atau upah, segala macam tunjangan, dan
imbalan dengan nama apa pun yang diberikan secara periodik berdasarkan
ketentuan yang ditetapkan oleh pemberi kerja, termasuk uang lembur.
12. Penghasilan Pegawai Tetap yang Bersifat Tidak Teratur adalah
penghasilan bagi pegawai tetap selain penghasilan yang bersifat teratur,
yang diterima sekali dalam satu tahun atau periode lainnya, antara lain
berupa bonus, Tunjangan Hari Raya (THR), jasa produksi, tantiem, gratifikasi,
atau imbalan sejanis lainnya dengan nama apa pun.
13. Upah harian adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai
yang terutang atau dibayarkan secara harian.
14. Upah mingguan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh
pegawai yang terutang atau dibayarkan secara mingguan.
15. Upah satuan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh
pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan jumlah unit hasil
pekerjaan yang dihasilkan.
16. Upah borongan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh
pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan penyelesaian suatu
jenis pekerjaan tertentu.
17. Imbalan kepada bukan pegawai adalah penghasilan dengan nama dan
dalam bentuk apa pun yang terutang atau diberikan kepada bukan pegawai
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan, antara
lain berupa honorarium, komisi, fee, dan penghasilan sejenis lainnya.
18. Imbalan kepada bukan pegawai yang bersifat berkesinambungan adalah
imbalan kepada bukan pegawai yang dibayar atau terutang lebih dari satu
kali dalam satu tahun kalender sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau
kegiatan.

118 - Dasar-Dasar Perpajakan


19. Imbalan kepada peserta kegiatan adalah penghasilan dengan nama dan
dalam bentuk apa pun yang terutang atau diberikan kepada peserta kegiatan
tertentu, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat,
honorarium, hadiah atau penghargaan, dan penghasilan sejenis lainnya.
20. Uang pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja
termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengan
nama dan dalam bentuk apa pun, sehubungan dengan berakhirnya masa
kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan
masa kerja dan uang penggantian hak.
21. Uang manfaat pensiun adalah penghasilan dari manfaat pensiun yang
dibayarkan kepada orang pribadi peserta dana pensiun secara sekaligus
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang dana pensiun
oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan
yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
22. Tunjangan hari tua adalah penghasilan yang dihasilkan oleh badan
penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja kepada orang pribadi yang berhak
dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau keadaan lain yang ditentukan.
23. Jaminan hari tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan
penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja kepada orang pribadi yang berhak
dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau keadaan lain yang ditentukan.
24. Masa pajak terakhir adalah masa Desember atau masa pajak tertentu ketika
pegawai tetap berhenti bekerja.

Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21


Termasuk dalam Pemotong PPh Pasal 21 berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008, adalah sebagai berikut:
1. Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan
pusat maupun cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa
yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai.
2. Bendahara atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau
pemegang kas pada Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI,
Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga
negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang
membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain
dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan
atau jabatan, jasa, dan kegiatan.
3. Dana pesiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-
badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau
jaminan hari tua.
4. Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta
badan yang membayar:
a) honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan
jasa dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status
Subjek Pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan
pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan

Dasar-Dasar Perpajakan - 119


untuk dan atas nama persekutuannya;
b) honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan
kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status
Subjek Pajak luar negeri;
c) honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan
magang.
5. Penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang
bersifat Nasional dan Internasional, perkumpulan, orang pribadi serta
lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar
honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apa pun kepada Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.
Pemberi kerja yang tidak mempunyai kewajiban untuk melakukan
pemotongan pajak adalah:
1. Kantor perwakilan Negara asing;
2. Organisasi-organisasi Internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan
oleh Menteri Keuangan;
3. Pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas yang semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk
melakukan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan bukan dalam rangka
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Apabila organisasi Internasional tidak memenuhi ketentuan huruf (2),
organisasi Internasional dimaksud merupakan pemberi kerja yang
berkewajiban melakukan pemotongan pajak.

Hak dan Kewajiban Pemotong Pajak

Hak-Hak Pemotong Pajak adalah sebagai berikut:


1. Pemotong pajak berhak atas kelebihan jumlah penyetoran PPh Pasal 21
yang terjadi karena jumlah PPh Pasal 21 yang terutang dalam satu tahun
takwim lebih kecil dari jumlah PPh Pasal 21 yang disetor.
2. Pemotong pajak berhak mengajukan permohonan memperpanjang jangka
waktu penyampaian SPT Tahunan PPh Pasal 21. Pengajuan permohonan
dilakukan secara tertulis disertai surat pernyataan mengenai penghitungan
sementara pajak terutang dalam satu tahun pajak dan bukti pelunasan
kekurangan pembayaran PPh Pasal 21 yang terutang.
3. Pemotong pajak berhak untuk mengajukan surat keberatan kepada Direktur
Jenderal Pajak dan berhak mengajukan permohonan banding secara tertulis
dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas kepada Badan Peradilan
Pajak.

Adapun Kewajiban Pemotong Pajak adalah sebagai berikut:


1. Pemotong PPh Pasal 21 wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2. Pemotong PPh Pasal 21 wajib menghitung, memotong, menyetorkan, dan
melaporkan PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap bulan takwim.

120 - Dasar-Dasar Perpajakan


3. Pemotong PPh Pasal 21 wajib membuat catatan atau kertas kerja
perhitungan PPh Pasal 21 untuk masing-masing penerima penghasilan, yang
menjadi dasar pelaporan PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap masa
pajak dan wajib menyimpan catatan atau kertas kerja perhitungan tersebut
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
4. Pemotong PPh Pasal 21 wajib membuat bukti pemotongan PPh Pasal 21 dan
memberikan bukti pemotongan tersebut kepada penerima penghasilan yang
dipotong pajak.
5. Pemotong PPh Pasal 21 harus memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21
atas pemotongan PPh Pasal 21 selain pegawai tetap dan penerima pensiun
berkala, serta bukti pemotongan setiap kali melakukan pemotongan PPh
Pasal 21.
6. Pemotong PPh Pasal 21 wajib melaporkan pemotongan dan penyetoran PPh
Pasal 21 untuk setiap Masa Pajak yang dilakukan melalui penyampaian Surat
Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat
pemotong PPh Pasal 21 terdaftar, paling lama dua puluh hari setelah Masa
Pajak berakhir.

Subjek Pajak Penghasilan Pasal 21

Yang disebut sebagai subjek pajak atau penerima penghasilan yang dipotong
PPh Pasal 21 adalah orang pribadi yang memenuhi kriteria berikut ini:
1. Pegawai.
2. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan
hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya.
3. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi:
a) Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari
pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan
aktuaris;
b) Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film,
bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model,
peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan
seniman lainnya;
c) Olahragawan;
d) Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
e) Pengarang, peneliti, dan penerjemah;
f) Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik komputer dan
sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan
sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
g) Agen iklan;
h) Pengawas atau pengelola proyek;
i) pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang
menjadi perantara;
j) Petugas penjaja barang dagangan;
k) Petugas dinas luar asuransi;
l) Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan

Dasar-Dasar Perpajakan - 121


kegiatan sejenis lainnya.
4. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan
dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain meliputi di bawah
ini:
a) Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan
olahraga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan
perlombaan lainnya.
b) Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja.
c) Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara
kegiatan tertentu.
d) Peserta pendidikan, pelatihan, dan magang.
e) Peserta kegiatan lainnya.

Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan Pasal 21

Adapun yang tidak termasuk dalam pengertian Penerima Penghasilan yang


Dipotong PPh Pasal 21 adalah:
1. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsultat atau pejabat lain dari negara
asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja
pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga
negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh
penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta negara
yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
2. Pejabat perwakilan organisasi Internasional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang telah
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat bukan warga negara
Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain
untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Hak dan Kewajiban Wajib Pajak

Hak-Hak Wajib Pajak PPh Pasal 21


1. Wajib pajak berhak meminta bukti pemotongan PPh Pasal 21 kepada
pemotong pajak. Jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong dapat dikreditkan
dari pajak penghasilan untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali PPh
Pasal 21 yang bersifat final.
2. Dalam hal PPh Pasal 21 yang dipotong oleh pemotong pajak tidak sesuai
dengan peraturan yang berlaku, maka Wajib Pajak berhak untuk mengajukan
surat keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak.
3. Wajib Pajak berhak mengajukan permohonan banding secara tertulis dalam
Bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas kepada Badan Peradilan Pajak
terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.

Kewajiban Wajib Pajak PPh Pasal 21


1. Wajib Pajak berkewajiban membuat surat pernyataan yang berisi jumlah
tanggungan keluarga pada awal tahun kalender atau pada saat mulai menjadi

122 - Dasar-Dasar Perpajakan


Subjek Pajak dalam negeri sebagai dasar penentuan PTKP dan wajib
menyerahkan kepada Pemotong PPh Pasal 21 pada saat mulai bekerja atau
mulai pensiun.
2. Dalam hal terjadi perubahan tanggungan keluarga, Wajib Pajak berkewajiban
membuat surat pernyataan baru dan menyerahkannya kepada Pemotong
PPh Pasal 21 paling lama sebelum mulai tahun kalender berikutnya.
3. Wajib Pajak berkewajiban menyerahkan bukti pemotongan PPh Pasal 21
kepada:
a. Pemotong pajak kantor cabang baru dalam hal yang bersangkutan
dipindahtugaskan;
b. Pemotong pajak tempat kerja yang baru dalam hal yang bersangkutan
pindah kerja.
4. Wajib Pajak berkewajiban memasukan Surat Pemberitahunan (SPT)
Tahunan, jika wajib pajak mempunyai NPWP.
5. Wajib Pajak berkewajiban memasukan Surat Pemberitahunan (SPT)
Tahunan, jika wajib pajak mempunyai penghasilan lebih dari satu pemberi
kerja.

Objek Pajak Penghasilan Pasal 21

Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah:


1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa
penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur.
2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur
berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya.
3. Penghasilan sehubungan dengan pemutus hubungan kerja dan penghasilan
sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang
pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua,
dan pembayaran lain sejenis.
4. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah
harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, atau upah yang
dibayarkan secara bulanan.
5. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee,
dan imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apa pun sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan.
6. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang
representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan
nama dan dalam bentuk apa pun, dan imbalan sejenis dengan nama apa
pun.
7. Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 termasuk pula penerimaan dalam
bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk
apa pun yang diberikan oleh:
a. Bukan Wajib Pajak;
b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau
c. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma
penghitungan khusus (deemed profit).

Dasar-Dasar Perpajakan - 123


Tidak Termasuk Objek Pajak Penghasilan Pasal 21

Yang tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh


Pasal 21 adalah:
1. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi
sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,
asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa.
2. Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apa
pun diberikan oleh Wajib Pajak atau pemerintah, kecuali penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam poin 7 objek pajak PPh Pasal 21.
3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan
hari tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan
penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja.
4. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di
Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga
keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sepanjang tidak
ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan.
5. Beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) poin 1 Undang-
Undang Pajak Penghasilan.
Pajak penghasilan yang ditanggung oleh pemberi kerja, termasuk yang
ditanggung oleh Pemerintah, merupakan penerimaan dalam bentuk kenikmatan
sebagaimana dimaksud pada poin 2.

Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21

PPH Pasal 21 Bagi Pegawai


1. Pegawai Tetap
Dalam menghitung PPh Pasal 21 bagi Pegawai Tetap perlu diperhatikan
rumus perhitungannya, yaitu:
Penghasilan Bruto:
Gaji Sebulan Rp. xxxxxx
Tunjangan dan honorarium xxxxxx
Premi asuransi yang dibayar pemberi kerja xxxxxx
Penghasilan bruto Rp. xxxxxx
Pengurangan:
Biaya jabatan
(5% dari penghasilan bruto, maksimum (Rp. xxxxxx)
Rp. 500.000 per bulan)
Iuran pensiun yang dibayarkan oleh penerima (Rp. xxxxxx)
penghasilan
Penghasilan neto sebulan Rp. xxxxxx
Penghasilan neto setahun (12 x penghasilan Rp. xxxxxx

124 - Dasar-Dasar Perpajakan


neto sebulan)
Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) (Rp. xxxxxx)
Penghasilan kena pajak Rp. xxxxxx

PPh Pasal 21 setahun = PKP X tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU


PPh

2. Pegawai Tidak Tetap


a. PPh Pasal 21 Pegawai Tidak Tetap yang upahnya dibayarkan secara
bulanan.
Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan bruto setahun – PTKP
PPh Pasal 21 setahun = Penghasilan Kena Pajak x Tarif Pajak
PPh Pasal 21 sebulan = PPh Pasal 21 setahun: 12
b. Pajak Penghasilan Pasal 21 Pegawai Tidak Tetap yang upahnya
dibayarkan secara harian/ mingguan/ borongan/ satuan.
1) Upah harian lebih dari Rp. 200.000,00 tetapi jumlah kumulatif yang
diterima dalam bulan kalender yang bersangkutan belum melebihi
Rp. 2.025.000,00
PPh Pasal 21 = (upah harian – Rp. 200.000,00) x 5%
2) Penghasilan bruto sebulan melebihi Rp. 2.025.000,00 tapi tidak
lebih dari Rp. 7.000.000,00
PPh Pasal 21 = (upah harian – PTKP sehari) x 5%
3) Penghasilan bruto sebulan lebih dari Rp. 7.000.000,00
PPh Pasal 21 = [(Penghasilan Bruto setahun – PTKP) x
Tarif Pajak] + 12

3. Pajak Penghasilan Pasal 21 Bagi Peserta Kegiatan


PPh Pasal 21 bagi peserta kegiatan = Penghasilan Bruto x Tarif Pasal 17
ayat (1) huruf a UU PPh
Pajak Penghasilan Pasal 21 Bagi Bukan Pegawai.
a. Menerima atau memperoleh penghasilan yang tidak bersifat
berkesinambungan
PPh Pasal 21 = [50% x Penghasilan Bruto] x Tarif Pajak
b. Menerima atau memperoleh penghasilan hanya dari satu pemberi
penghasilan yang bersifat berkesinambungan
DPP=(50%xPenghasilan Bruto Sebulan– PTKP per bulan) kumulatif
PPh Pasal 21 sebulan = DPP x Tarif Pajak
c. Menerima atau memperoleh penghasilan yang bersifat
berkesinambungan dan mempunyai penghasilan lain
DPP=(50%x Penghasilan Bruto sebulan– PTKP per bulan) kumulatif
PPh Pasal 21 sebulan = DPP x Tarif Pajak

Catatan: Bagi penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 yang tidak
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan
tarif lebih tinggi dua puluh persen daripada tarif yang ditetapkan terhadap Wajib
Pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

Dasar-Dasar Perpajakan - 125


Tata Cara Perhitungan Pemotong PPh Pasal 21

Penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dan penerima pensiun


berkala
Penghitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap dan penerima pensiun
berkala dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. penghitungan masa atau bulanan yang menjadi dasar pemotongan PPh
Pasal 21 yang terutang untuk setiap masa pajak, yang dilaporkan dalam SPT
Masa PPh Pasal 21, selain masa pajak Desember atau masa pajak saat
pegawai tetap berhenti bekerja;
2. penghitungan kembali sebagai dasar pengisian Form 1721 A1 atau 1721 A2
dan pemotongan PPh Pasal 21 yang terutang untuk masa pajak Desember
atau masa pajak ketika pegawai tetap berhenti bekerja.
Penghitungan kembali ini dilakukan pada:
a. bulan ketika pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun;
b. bulan Desember bagi pegawai tetap yang bekerja sampai akhir tahun
kalender dan bagi penerima pensiun yang menerima uang pensiun
sampai akhir tahun kalender.

1. Penghitungan Masa atau Bulanan Selain Masa Pajak Desember atau


Masa Pajak Saat Pegawai Tetap Berhenti Bekerja
a. Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Teratur
1) Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Teratur bagi
Pegawai Tetap
a) Untuk menghitung PPh Pasal 21 atas penghasilan pegawai
tetap, terlebih dahulu dihitung seluruh penghasilan bruto yang
diterima atau diperoleh selama sebulan, yang meliputi
seluruh gaji, segala jenis tunjangan dan pembayaran teratur
lainnya, termasuk uang lembur (overtime) dan pembayaran
sejenisnya.
b) Untuk perusahaan yang masuk program Jamsostek, Premi
Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Premi Jaminan Kematian
(JK), dan Premi Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK)
yang dibayar oleh pemberi kerja merupakan penghasilan bagi
pegawai. Ketentuan yang sama diberlakukan juga bagi premi
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, asuransi
jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa yang
dibayarkan oleh pemberi kerja untuk pegawai kepada
perusahaan asuransi lainnya. Dalam menghitung PPh Pasal
21, premi tersebut digabungkan dengan penghasilan bruto
yang dibayarkan oleh pemberi kerja kepada pegawai.
c) Selanjutnya dihitung jumlah penghasilan neto sebulan yang
diperoleh dengan cara mengurangi penghasilan bruto
sebulan dengan biaya jabatan, serta iuran pensiun, iuran
Jaminan Hari Tua, dan/atau Tunjangan Hari Tua yang
dibayar sendiri oleh pegawai yang bersangkutan melalui
pemberi kerja kepada Dana Pensiun yang pendiriannya telah

126 - Dasar-Dasar Perpajakan


disahkan oleh Menteri Keuangan atau kepada Badan
Penyelenggara Program Jamsostek.
d) Selanjutnya dihitung penghasilan neto setahun, yaitu jumlah
penghasilan neto sebulan dikalikan 12.
e) Dalam hal seorang pegawai tetap dengan kewajiban pajak
subjektifnya sebagai Wajib Pajak dalam negeri sudah ada
sejak awal tahun, tetapi mulai bekerja setelah bulan Januari,
maka penghasilan neto setahun dihitung dengan mengalikan
penghasilan neto sebulan dengan banyaknya bulan sejak
pegawai yang bersangkutan mulai bekerja sampai dengan
bulan Desember.
f) Selanjutnya dihitung Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar
penerapan tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh, yaitu sebesar
Penghasilan neto setahun pada huruf d) atau e) di atas,
dikurangi dengan PTKP.
Besarnya PTKP per tahun adalah:
 Rp. 24.300.000,00 untuk diri Wajib Pajak orang pribadi
 Rp. 2.025.000,00 tambahan untuk Wajib Pajak yang
kawin
 Rp. 2.025.000,00 tambahan untuk setiap anggota
keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis
keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi
tanggungan sepenuhnya, paling banyak tiga orang
untuk setiap keluarga.
g) Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPh:

Lapisan PKP Tarif Pajak


sampai dengan Rp.50.000.000 5%
Di atas Rp.50.000.000-Rp.250.000.000 15%
Di atas Rp.250.000.000-Rp.500.000.000 25%
Di atas Rp.500.000.000 30%

h) Setelah diperoleh PPh terutang dengan menerapkan Tarif


Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPh terhadap
Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf
f), selanjutnya dihitung PPh Pasal 21 sebulan, yang harus
dipotong dan/atau disetor ke Kas Negara, yaitu sebesar:
(1) jumlah PPh Pasal 21 setahun atas penghasilan
sebagaimana dimaksud pada huruf d) dibagi dengan 12;
atau
(2) jumlah PPh Pasal 21 setahun atas penghasilan
sebagaimana dimaksud pada huruf e) dibagi banyaknya
bulan yang menjadi faktor pengali sebagaimana
dimaksud pada huruf e)
i) Apabila pajak yang terutang oleh pemberi kerja tidak
didasarkan atas masa gaji sebulan, maka untuk

Dasar-Dasar Perpajakan - 127


penghitungan PPh Pasal 21, jumlah penghasilan tersebut
terlebih dahulu dijadikan penghasilan bulanan dengan
mempergunakan faktor perkalian sebagai berikut.
(1) Gaji untuk masa seminggu dikalikan dengan 4.
(2) Gaji untuk masa sehari dikalikan dengan 26.
j) Selanjutnya dilakukan penghitungan PPh Pasal 21 sebulan
dengan cara seperti dalam huruf d) sampai dengan g) di atas.
k) PPh Pasal 21 atas penghasilan seminggu dihitung
berdasarkan PPh Pasal 21 sebulan dalam huruf I) dibagi 4,
sedangkan PPh Pasal 21 atas penghasilan sehari dihitung
berdasarkan PPh Pasal 21 sebulan dalam huruf I) dibagi 26.
l) Jika kepada pegawai di samping dibayar gaji bulanan juga
dibayar kenaikan gaji yang berlaku surut (rapel), misalnya
untuk lima bulan, maka penghitungan PPh Pasal 21 atas
rapel tersebut adalah:
(1) Rapel dibagi dengan banyaknya bulan perolehan rapel
tersebut (dalam hal ini lima bulan).
(2) Hasil pembagian rapel tersebut ditambahkan pada gaji
setiap bulan sebelum adanya kenaikan gaji, yang sudah
dikenakan pemotongan PPh Pasal 21.
(3) PPh Pasal 21 atas gaji untuk bulan-bulan setelah ada
kenaikan, dihitung kembali atas dasar gaji baru setelah
ada kenaikan.
(4) PPh Pasal 21 terutang atas tambahan gaji untuk bulan-
bulan dimaksud adalah selisih antara jumlah pajak yang
dihitung berdasarkan poin (3) dikurangi jumlah pajak
yang telah dipotong sebagaimana disebut pada poin (2).
(5) Apabila kepada pegawai di samping dibayar gaji yang
didasarkan masa gaji kurang dari satu bulan juga
dibayar gaji lain mengenai masa yang lebih lama dari
satu bulan (rapel) seperti tersebut dalam huruf k), maka
cara penghitungan PPh Pasal 21-nya adalah sesuai
dengan yang telah ditetapkan dalam huruf k) dengan
memperhatikan ketentuan dalam huruf h), i) dan j).
2) Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Teratur bagi
Penerima Pensiun Berkala
a) Penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan yang
diterima atau diperoleh penerima pensiun pada tahun
pertama pensiun adalah:
(1) Pertama hitung penghasilan neto sebulan yang
diperoleh dengan cara mengurangi penghasilan bruto
dengan biaya pensiun, kemudian dikalikan banyaknya
bulan sejak pegawai yang bersangkutan menerima
pensiun sampai dengan bulan Desember.
(2) Penghasilan neto pensiun sebagaimana tersebut pada
poin (1) ditambah dengan penghasilan neto dalam
tahun yang bersangkutan yang diterima atau diperoleh
dari pemberi kerja sebelum pegawai yang bersangkutan

128 - Dasar-Dasar Perpajakan


pensiun sesuai dengan yang tercantum dalam bukti
pemotongan PPh Pasal 21 sebelum pensiun.
(3) Untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak, jumlah
penghasilan pada poin (2) tersebut dikurangi dengan
PTKP, dan selanjutnya dihitung PPh Pasal 21 atas
Penghasilan Kena Pajak tersebut.
(4) PPh Pasal 21 atas uang pensiun dalam tahun yang
bersangkutan dihitung dengan cara mengurangi PPh
Pasal 21 dalam poin (3) dengan PPh Pasal 21 yang
terutang dari pemberi kerja sebelum pegawai yang
bersangkutan pensiun sesuai dengan yang tercantum
dalam bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebelum
pensiun.
(5) PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan adalah
sebesar PPh Pasal 21 seperti tersebut dalam poin (4)
dibagi dengan banyaknya bulan sebagaimana dimaksud
dalam poin (1).
b) Penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan
untuk tahun kedua dan selanjutnya adalah:
(1) Pertama, hitung penghasilan neto sebulan yang
diperoleh dengan cara mengurangi penghasilan bruto
dengan biaya pensiun.
(2) Selanjutnya PPh Pasal 21 dihitung dengan cara
penghitungan untuk pegawai tetap pada butir 1) poin d),
f) dan g).
b. Penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan Tidak Teratur bagi
Pegawai Tetap
1) Apabila kepada pegawai tetap diberikan jasa produksi, tantiem,
gratifikasi, bonus, premi, tunjangan hari raya, dan penghasilan lain
semacam itu yang sifatnya tidak tetap dan biasanya dibayarkan
sekali setahun, maka PPh Pasal 21 dihitung dan dipotong dengan
cara berikut.
a) Hitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang
disetahunkan ditambah dengan penghasilan tidak teratur
berupa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.
b) Hitung PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur yang
disetahunkan tanpa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.
c) Selisih antara PPh Pasal 21 menurut penghitungan huruf a
dan huruf b adalah PPh Pasal 21 atas penghasilan tidak
teratur berupa tantiem, jasa produksi, dan sebagainya.
2) Dalam hal pegawai tetap yang kewajiban pajak subjektifnya sudah
ada sejak awal tahun, tetapi baru mulai bekerja setelah bulan
Januari, maka PPh Pasal 21 atas penghasilan yang tidak teratur
tersebut dihitung dengan cara sebagaimana pada butir 1 dengan
memperhatikan ketentuan mengenai Penghitungan PPh Pasal 21
Bulanan atas Penghasilan Teratur bagi pegawai tetap pada butir 1)
huruf e), f) dan g) di atas.

Dasar-Dasar Perpajakan - 129


2. Penghitungan PPh Pasal 21 Terutang pada Bulan Desember atau Masa
Pajak Tertentu untuk Pegawai Tetap yang Berhenti Bekerja Sebelum
Bulan Desember
a. Penghitungan PPh Pasal 21 terutang pada bulan Desember atau bulan
tertentu untuk pegawai tetap yang berhenti bekerja sebelum bulan
Desember adalah:
1) Hitung PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan yang
diterima atau diperoleh dari pemotong pajak dalam tahun kalender
yang bersangkutan, baik penghasilan yang teratur maupun tidak
teratur.
2) Pajak Penghasilan Pasal 21 terutang yang harus dipotong untuk
bulan Desember atau bulan tertentu untuk pegawai tetap yang
berhenti bekerja sebelum bulan Desember adalah sebesar selisih
antara PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan teratur
dan tidak teratur yang diterima dari pemotong pajak dalam tahun
kalender yang bersangkutan, sebagaimana dimaksud dalam angka
1), dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong dalam tahun
kalender yang bersangkutan sampai dengan bulan sebelumnya.
3) Dalam hal jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong sampai
dengan bulan sebelumnya tersebut lebih besar daripada PPh
Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan teratur dan tidak
teratur yang diterima dari pemotong pajak dalam tahun kalender
yang bersangkutan, misalnya dalam hal pegawai berhenti bekerja
pada pertengahan tahun, atas kelebihan pemotongan PPh Pasal
21 tersebut dikembalikan kepada pegawai tetap yang berhenti
bekerja bersamaan dengan pemberian bukti pemotongan PPh
Pasal 21. Atas kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 untuk
pegawai tetap yang bersangkutan, pemotong pajak dapat
memperhitungkan dengan PPh Pasal 21 terutang atas penghasilan
pegawai tetap lainnya dalam masa pajak yang sama, sehingga
jumlah PPh Pasal 21 yang harus disetor oleh pemotong pajak
untuk masa pajak tersebut telah mempertimbangkan jumlah
kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 yang telah diberikan oleh
pemotong pajak kepada pegawai tetap yang berhenti bekerja.
b. Perhitungan PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan yang
diterima atau diperoleh dari pemotong pajak dalam tahun kalender yang
bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam huruf a angka 1), yaitu:
1) Untuk pegawai tetap yang kewajiban pajak subjektifnya sudah ada
sejak awal tahun, tetapi mulai bekerja setelah bulan Januari atau
berhenti bekerja sebelum bulan Desember, PPh Pasal 21 terutang
dihitung berdasarkan jumlah seluruh penghasilan yang diterima
atau diperoleh baik yang bersifat teratur, maupun tidak teratur,
selama pegawai tetap yang bersangkutan bekerja pada pemotong
pajak.
2) Untuk pegawai tetap yang kewajiban pajak subjektifnya baru
dimulai setelah bulan Januari atau berakhir sebelum bulan
Desember, PPh Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan jumlah

130 - Dasar-Dasar Perpajakan


seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh, baik yang
bersifat teratur maupun tidak teratur, yang disetahunkan.

Perhitungan PPh Pasal 21 Untuk Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja
Lepas
1. Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, Pemagang, dan Calon
Pegawai yang Menerima Upah Harian, Upah Mingguan, Upah Satuan,
Upah Borongan, Uang Saku Harian, atau Mingguan.
a. Tentukan jumlah upah/uang saku harian, atau rata-rata upah/uang saku
yang diterima atau diperoleh dalam sehari:
1) Upah/uang saku mingguan dibagi banyaknya hari bekerja dalam
seminggu;
2) Upah satuan dikalikan dengan jumlah rata-rata satuan yang
dihasilkan dalam sehari;
3) Upah borongan dibagi dengan jumlah hari yang digunakan untuk
menyelesaikan pekerjaan borongan.
b. Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian
belum melebihi Rp. 200.000,00 dan jumlah kumulatif yang diterima atau
diperoleh dalam bulan kalender yang bersangkutan belum melebihi
Rp.2.025.000,00, maka tidak ada PPh Pasal 21 yang harus dipotong.
c. Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang harian telah
melebihi Rp. 200.000,00 dan sepanjang jumlah kumulatif yang diterima
atau diperoleh dalam bulan kalender yang bersangkutan belum melebihi
Rp.2.025.000,00, maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah
sebesar upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian
setelah dikurangi Rp. 200.000,00, diikalikan 5 persen.
d. Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam
bulan kalender yang bersangkutan telah melebihi Rp. 2.025.000,00 dan
kurang dari Rp.7.000.000,00, maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong
adalah sebesar upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku
harian setelah dikurangi PTKP sehari, dikalikan 5 persen.
e. Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam
satu bulan kalender telah melebihi Rp.7.000.000,00 maka PPh Pasal 21
dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-
Undang PPh atas jumlah upah bruto dalam satu bulan yang
disetahunkan setelah dikurangi PTKP, dan PPh Pasal 21 yang harus
dipotong adalah sebesar PPh Pasal 21 hasil perhitungan tersebut dibagi
12.
2. Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, Pemagang, dan Calon
Pegawai yang Menerima Upah yang Dibayarkan Secara Bulanan
Pajak Penghasilan Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat
(1) huruf a Undang-Undang PPh atas jumlah upah bruto yang disetahunkan
setelah dikurangi PTKP, dan PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah
sebesar PPh Pasal 21 hasil perhitungan tersebut dibagi 12.
Penghitungan PPh Pasal 21 Bagi Anggota Dewan Pengawas atau Dewan
Komisaris yang Tidak Merangkap Sebagai Pegawai Tetap, Mantan Pegawai
yang Menerima Jasa Produksi, Tantiem, Gratifikasi, Bonus, atau Imbalan Lain

Dasar-Dasar Perpajakan - 131


yang Bersifat Tidak Teratur, dan Peserta Program Pensiun yang Masih
Berstatus Sebagai yang Menarik Dana Pensiun
1. Penghitungan PPh Pasal 21 untuk Anggota Dewan Pengawas atau Dewan
Komisaris yang Tidak Merangkap Sebagai Pegawai Tetap
PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a
Undang-Undang PPh atas kumulatif jumlah penghasilan bruto yang diterima
atau diperoleh selama satu tahun kalender.
2. Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Mantan Pegawai yang Menerima
Penghasilan Berupa Jasa Produksi, Tantiem, Gratifikasi, Bonus atau Imbalan
Lain yang Bersifat Tidak Teratur
PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a
Undang-Undang PPh atas kumulatif jumlah penghasilan bruto yang diterima
atau diperoleh selama satu tahun kalender.
3. Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Peserta Program Pensiun yang Masih
Berstatus Sebagai Pegawai yang Menarik Dana Pensiun
PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a
Undang-Undang PPh atas kumulatif jumlah penghasilan bruto yang diterima
atau diperoleh selama satu tahun kalender.

Penghasilan PPh Pasal 21 Bagi Orang Pribadi yang Berstatus Sebagai Bukan
Pegawai
1. Pemotongan PPh Pasal 21 bagi orang pribadi dalam negeri bukan pegawai,
atas imbalan yang bersifat berkesinambungan
a. Bagi yang telah memiliki NPWP dan hanya memperoleh penghasilan
dari hubungan kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21 serta tidak
memperoleh penghasilan lainnya, PPh Pasal 21 dihitung dengan
menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPh atas
jumlah kumulatif penghasilan kena pajak dalam tahun kalender yang
bersangkutan. Besarnya penghasilan kena pajak adalah sebesar lima
puluh persen dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan.
b. Bagi yang tidak memiliki NPWP atau memperoleh penghasilan lainnya
selain dari hubungan kerja dengan pemotong PPh Pasal 21 serta
memperoleh penghasilan lainnya.
PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf
a Undang-Undang PPh atas jumlah kumulatif lima puluh persen dari
jumlah penghasilan bruto dalam tahun kalender yang bersangkutan.
2. Pemotongan PPh Pasal 21 bagi Orang Pribadi dalam Negeri Bukan Pegawai,
atas Imbalan yang Tidak Bersifat Berkesinambungan.
Pajak Penghasilan Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat
(1) huruf a Undang-Undang PPh atas 50% (lima puluh persen) dari jumlah
penghasilan bruto.
3. Dalam hal bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan 2
adalah dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau klinik maka
besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jasa dokter yang
dibayarkan pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik sebelum dipotong
biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik.

132 - Dasar-Dasar Perpajakan


4. Dalam hal bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan 2
memberikan jasa kepada Pemotong PPh Pasal 21:
a. mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya maka besarnya jumlah
penghasilan bruto adalah sebesar jumlah pembayaran setelah dikurangi
dengan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut,
kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan bagian
gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut maka besarnya
penghasilan bruto tersebut adalah sebesar jumlah yang dibayarkan.
b. melakukan penyerahan material atau barang maka besarnya jumlah
penghasilan bruto hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila
dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa
dengan material atau barang maka besarnya penghasilan bruto tersebut
termasuk pemberian jasa dan material atau barang.

Penghitungan PPh Pasal 21 Bagi Peserta Kegiatan


Pajak Penghasilan Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat
(1) huruf a Undang-Undang PPh atas jumlah penghasilan bruto untuk setiap kali
pembayaran yang bersifat utuh dan tidak dipecah, yang diterima oleh peserta
kegiatan.

CONTOH PERHITUNGAN PEMOTONGAN PPH PASAL 21 (Halim, dkk., 2014)


Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 21 Terhadap Penghasilan Pegawai
Tetap
1. Gaji Bulanan
Contoh
Arif Rahman pada tahun 2013 bekerja pada perusahaan PT. Sukses dengan
memperoleh gaji sebulan Rp. 5.500.000 dan membayar iuran pensiun
sebesar Rp.100.000, Arif Rahman status menikah, tetapi belum mempunyai
anak. Pada bulan Januari penghasilan Arif Rahman dari PT. Sukses hanya
dari gaji. Penghitungan PPh Pasal 21 adalah:
Gaji sebulan Rp. _ 5.500.000
Pengurangan:
1. Biaya Jabatan: 5% x Rp. 5.500.000 Rp. __ 275.000
2. Iuran Pensiun Rp. __ 100.000
Rp. __ 375.000
Penghasilan neto sebulan Rp. _ 5.125.000
Penghasilan neto setahun (12 x Rp. 5.125.000) Rp. 61.500.000
PTKP setahun
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
 Iuran Pensiun Rp. _ 2.025.000
Rp. 26.325.000
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp. 35.175.000
PPh Pasal 21 terutang:
5% x Rp. 35.175.000 Rp. _ 1.758.750
PPh Pasal 21 sebulan:
Rp. 1.758.750 ÷ 12 Rp. __ 146.563

Dasar-Dasar Perpajakan - 133


Catatan:
a) Biaya Jabatan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang dapat dikurangkan dari penghasilan
setiap orang yang bekerja sebagai pegawai tetap tanpa memandang
mempunyai jabatan ataupun tidak.
b) Contoh di atas berlaku apabila pegawai yang bersangkutan sudah
memiliki NPWP. Dalam hal pegawai yang bersangkutan belum memiliki
NPWP, maka jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada bulan
Januari adalah sebesar: 120% x Rp. 146.563 = Rp. 175.876.
c) Untuk contoh-contoh selanjutnya diasumsikan penerima penghasilan
yang dipotong PPh Pasal 21 sudah memiliki NPWP, kecuali disebut lain
dalam contoh tersebut.
Contoh
Agustiono pegawai pada perusahaan PT. Aman, menikah tanpa anak,
memperoleh gaji sebulan Rp 3.000.000. PT. Aman mengikuti program
Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian
dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50 persen dan
0,30 persen dari gaji. PT. Aman menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap
bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Agustiono membayar iuran
Jaminan Hari Tua sebesar 2% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT. Aman
juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya. PT. Aman membayar
iuran pensiun untuk Agustiono ke dana pensiun, yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar Rp100.000
sedangkan Agustiono membayar iuran pensiun sebesar Rp 50.000. Pada
bulan Juli 2013 Agustiono hanya menerima pembayaran berupa gaji.
Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Juli 2013 adalah:
Gaji sebulan Rp. 3.000.000
Permi Jaminan Kecelakaan Kerja Rp. __ 15.000
Premi Jaminan Kematian Rp. ___ 9.000
Penghasilan bruto Rp. 3.024.000
Pengurangan:
1. Biaya jabatan 5% x Rp.3.024.000 Rp. 151.200
2. Iuran Pensiun Rp. 50.000
3. Iuran Jaminan Hari Tua Rp. 60.000
Rp. _ 261.200
Penghasilan neto sebulan Rp. 2.762.800
Penghasilan neto setahun (12 x Rp. 2.762.800 Rp. 33.153.600
PTKP
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
 tambahan WP kawin Rp. 2.025.000
Rp. 26.325.000
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp. 6.828.600
Pembulatan Rp. 6.828.000
PPh Pasal 21 terutang:
5% x Rp. 6.828.000 Rp. 341.400
PPh Pasal 21 sebulan:
Rp 341.400 ÷ 12 Rp. 28.450

134 - Dasar-Dasar Perpajakan


Contoh
Tuti adalah seorang karyawati dengan status menikah tanpa anak, bekerja
pada PT. Mekar dengan gaji sebulan sebesar Rp. 7.500.000,00. Tuti
membayar iuran pensiun ke dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan sebesar Rp. 50.000,00 sebulan. Berdasarkan surat
keterangan dari Pemda tempat Tuti berdomisili yang diserahkan kepada
pemberi kerja, diketahui bahwa suaminya tidak mempunyai penghasilan apa
pun. Pada Juli 2013 selain menerima pembayaran gaji juga menerima
pembayaran atas lembur (overtime) sebesar Rp. 2.000.000,00. Penghitungan
PPh Pasal 21 Juli 2013 adalah:
Gaji Rp. 7.500.000
Lembur (overtime) Rp. 2.000.000
Penghasilan bruto Rp . 9.500.000
Pengurangan:
1. Biaya Jabatan (5% x Rp. 9.500.000) Rp. 475.000
2. Iuran pensiun Rp. 50.000
Rp. __ 525.000
Penghasilan neto sebulan Rp. 8.975.000
Penghasilan neto setahun (12 x Rp.8.975.000) Rp. 107.700.000
PTKP
 untuk WP sendiri Rp. _ 24.300.000
 tambahan karena menikah Rp. _ 2.025.000
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp. 26.325.000
PPh Pasal 21 setahun: Rp. 81.375.000
5% x Rp. 50.000.000 Rp. __ 2.500.000
15% x Rp. 31.375.000 Rp. __ 4.706.250
Rp. __ 7.206.250
PPh Pasal 21 sebulan:
Rp. 7.206.250 ÷ 12 Rp. __ 600.521

Catatan:
Oleh karena suami Tuti tidak menerima atau memperoleh penghasilan,
besarnya PTKP Tuti adalah PTKP untuk dirinya sendiri ditambah PTKP untuk
status kawin.

Contoh
Rahayu karyawati dengan status menikah dan mempunyai tiga anak bekerja
pada PT. Citra. Suami dari Rahayu merupakan seorang Pegawai Negeri Sipil
di Dinas Kesehatan Kabupaten Semarang. Ayu Rahayu menerima gaji Rp
3.000.000,00 sebulan. PT. Citra mengikuti program pensiun dan jamsostek.
Perusahaan membayar iuran pensiun kepada dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, sebesar Rp 40.000,00
sebulan. Rahayu juga membayar iuran pensiun sebesar Rp 30.000,00
sebulan, di samping itu perusahaan membayarkan uang Jaminan Hari Tua
karyawannya setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji, sedangkan Rahayu
membayar iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 2% dari gaji. Premi

Dasar-Dasar Perpajakan - 135


Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja
dengan jumlah masing-masing sebesar 1% dan 0,30% dari gaji. Pada Juli
2013 di samping menerima pembayaran gaji Rahayu juga menerima uang
lembur (overtime) sebesar Rp. 2.000.000,00. Penghitungan PPh Pasal 21
bulan Juli adalah:
Gaji sebulan Rp. 3.000.000
Lembur (overtime) Rp. 2.000.000
Permi Jaminan Kecelakaan Kerja Rp. 30.000
Premi Jaminan Kematian Rp. 9.000
Penghasilan bruto sebulan Rp. 5.039.000
Pengurangan:
1. Biaya jabatan 5% x Rp.5.039.000 Rp. 251.950
2. Iuran Pensiun Rp. 30.000
3. Iuran Jaminan Hari Tua Rp. 60.000
Rp. 2.341.950
Penghasilan neto sebulan Rp. 4.697.050
Penghasilan neto setahun (12 x Rp. 2.797.050) Rp. 56.364.600
PTKP
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 32.064.600
Pembulatan Rp. 32.064.000
PPh Pasal 21 setahun
5% x Rp. 32.064.000 Rp. 1.603.200
PPh Pasal 21 sebulan:
Rp. 1.603.200 ÷ 12 Rp. 133.600

Catatan:
Karena suami Rahayu menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya
PTKP Rahayu adalah PTKP untuk dirinya sendiri.

Contoh
Bambang (menikah dan mempunyai tiga anak kandung) merupakan dokter
spesialis kandungan yang bekerja sebagai pegawai tetap di rumah sakit
swasta Nyaman dengan gaji tetap sebesar Rp. 20.000.000,00. Jam praktik
dr. Bambang mulai pukul 8.00 – 12.00 selama lima hari dalam seminggu.
Untuk bulan Agustus 2013, dr. Bambang menerima pembayaran dari Rumah
Sakit Nyaman berupa gaji sebesar Rp. 20.000.000,00 dan menerima jasa
medis sebagai dokter yang bersumber dari pasien sebesar Rp
25.000.000,00. Dokter Bambang membayar iuran pensiun sebesar Rp.
200.000,00 setiap bulannya. Penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan
dr. Bambang dari Rumah Sakit Nyaman pada bulan Agustus adalah:
Gaji sebulan Rp. 20.000.000
Penghasilan bruto sebulan Rp. 20.000.000
Pengurangan:
1. Biaya jabatan (5% x Rp.20.000.000) Rp. 1.000.000
Maksimum diperkenankan Rp. 500.000
2. Iuran Pensiun Rp 200.000

136 - Dasar-Dasar Perpajakan


Rp. 700.000
Penghasilan neto sebulan Rp. 19.300.000
Penghasilan neto setahun (12 x Rp 2.797.050) Rp. 231.600.000
PTKP
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
 tambahan karena menikah Rp. 2.025.000
 tambahan tiga orang tanggungan Rp. 6.075.000
Rp. 32.400.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 199.200.000
PPh Pasal 21 setahun
5% x Rp.50.000.000 Rp. 2.500.000
15% x Rp.149.200.000 Rp. 22.380.000
PPh Pasal 21 sebulan:
Rp. 24.880.000,00 ÷ 12 Rp. 2.073.334

Catatan:
Penghitungan PPh Pasal 22 atas jasa medis yang diperoleh oleh dr.Bambang
dihitung sebagai penghasilan yang diterima oleh bukan pegawai.
2. Dengan Gaji Mingguan dan Gaji Harian
Contoh-contoh perhitungan berikut ini berlaku hanya bagi pegawai tetap
(bukan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas) yang gajinya dibayar
mingguan atau harian.

Contoh
Andi, belum menikah, pada tahun 2013 bekerja sebagai pegawai tetap pada
Perusahaan PT. Bahagia menerima gaji yang dibayar mingguan sebesar Rp.
600.000,00. Penghitungan PPh Pasal 21 minggu pertama bulan Agustus
2013 apabila dalam minggu tersebut hanya menerima penghasilan berupa
gaji saja adalah:
Gaji (4 x Rp. 600.000) Rp. 2.400.000
Pengurangan:
1. Biaya jabatan (5% x Rp.2.400.000) Rp. 120.000
Penghasilan neto sebulan Rp. 2.280.000
Penghasilan neto setahun (12 x Rp. 2.280.000) Rp. 27.360.000
PTKP
untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp. 3.060.000
PPh Pasal 21 setahun
5% x Rp.3.060.000 Rp. 153.000
PPh Pasal 21 sebulan:
Rp. 153.000 ÷ 12 Rp. 12.750
PPh Pasal 21 atas gaji/upah mingguan:
Rp. 12.750 ÷ 4 Rp. 3.188

Contoh
Totok pegawai pada perusahaan PT. Terang dengan memperoleh gaji
mingguan sebesar Rp. 1.000.000,00. Totok berstatus telah menikah dan

Dasar-Dasar Perpajakan - 137


mempunyai seorang anak. PT. Terang masuk program Jamsostek, premi
Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh
pemberi kerja dengan jumlah masing-masing setiap bulan sebesar satu
persen dan 0,30 persen dari gaji. PT. Terang membayar iuran Jaminan Hari
Tua setiap bulan sebesar 3,70 persen dari gaji dan Totok membayar iuran
pensiun Rp. 20.000,00 dan Jaminan Hari Tua sebesar dua persen dari gaji.
Dalam minggu kedua pada bulan Agustus 2013 Totok hanya memperoleh
pembayaran berupa gaji saja, sehingga penghitungan PPh Pasal 21 untuk
minggu kedua bulan Agustus adalah:
Gaji (4 x Rp.1.000.000) Rp. 4.000.000
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja Rp. 40.000
Premi Jaminan Kematian Rp. 12.000
Penghasilan bruto Rp. 4.052.000
Pengurangan:
1. Biaya jabatan (5% x Rp.4.052.000) Rp. 202.600
2. Iuran pensiun Rp. 20.000
3. Iuran Jaminan Hari Tua Rp. 80.000
Rp. 302.600
Penghasilan neto sebulan Rp. 3.749.400
Penghasilan neto setahun (12 x Rp. 3.749.400) Rp. 44.992.800
PTKP
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
 tambahan karena menikah Rp. 2.025.000
 tambahan seorang anak Rp. 2.025.000
Rp. 28.350.000
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp. 16.642.800
Pembulatan Rp. 16.642.000
PPh Pasal 21 setahun
5% x Rp.16.642.000 Rp. 832.100
PPh Pasal 21 sebulan:
Rp. 832.100 ÷ 12 Rp. 69.342
PPh Pasal 21 atas gaji/upah mingguan:
Rp. 69.342 ÷ 4 Rp. 17.335

Contoh
Joko pada tahun 2013 bekerja sebagai pegawai tetap pada perusahaan PT.
Harapan dengan memperoleh gaji yang dibayar harian sebesar
Rp.150.000,00. Joko kawin dan mempunyai seorang anak. PT. Harapan
masuk program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi
Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing
setiap bulan sebesar satu persen dan 0,30 persen dari gaji dan Joko
membayar iuran pensiun Rp25.000,00 dan Jaminan Hari Tua sebesar 2%
dari gaji.
Penghasilan sebulan (26 x Rp.150.000) Rp. 3.900.000
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja Rp. 39.000
Premi Jaminan Kematian Rp. 11.700

138 - Dasar-Dasar Perpajakan


Penghasilan bruto Rp. 3.950.700
Pengurangan:
1. Biaya jabatan (5% x Rp.4.052.000) Rp. 197.535
2. Iuran pensiun Rp. 25.000
3. Iuran Jaminan Hari Tua Rp. 78.000
Rp. 300.535
Penghasilan neto sebulan Rp. 3.650.165
Penghasilan neto setahun (12 x Rp. 3.650.165) Rp. 43.801.980
PTKP
 untuk wajib pajak Rp. 24.300.000
 tambahan karena menikah Rp. 2.025.000
 tambahan seorang anak Rp. 2.025.000
Rp. 28.350.000
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp. 15.451.980
Pembulatan Rp. 15.451.000
PPh Pasal 21 setahun
5% x Rp.15.451.000 Rp. 772.550
PPh Pasal 21 sebulan:
Rp. 772.550 ÷ 12 Rp. 64.379
PPh Pasal 21 atas gaji/upah mingguan:
Rp. 64.379 ÷ 4 Rp. 2.476
3. Penghitungan PPh Pasal 21 Atas Pembayaran Uang Rapel
Contoh
Adji status menikah dan mempunyai satu anak bekerja sebagai pegawai
tetap pada PT. Indah dengan memperoleh gaji sebulan sebesar Rp.
3.000.000. Adji menanggung iuran pensiun yang dibayarkan ke yayasan
dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh menteri keuangan dan
iuran Jaminan Hari Tua (JHT) masing-masing sebesar Rp. 15.000 dan Rp.
10.000. Adji pada bulan Juni menerima kenaikan gaji menjadi Rp. 5.000.000
sebulan yang berlaku surut sejak 1 Januari 2013. Dengan adanya kenaikan
gaji yang berlaku surut tersebut, maka Adji menerima rapel sejumlah Rp.
10.000.000 (kekurangan gaji untuk masa Januari-Mei 2013).
Penghitungan PPh Pasal 21 adalah:
Gaji pokok sebulan Rp. 3.000.000
Pengurangan:
1. Biaya jabatan (5% x Rp.3.000.000) Rp. 150.000
2. Iuran pensiun Rp. 15.000
3. Iuran Jaminan Hari Tua Rp. 10.000
Rp. 175.000
Penghasilan neto sebulan Rp. 2.825.000
Penghasilan neto setahun
12 x Rp. 2.825.000 Rp. 33.900.000
PTKP setahun (K/-):
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
 tambahan karena menikah Rp. 2.025.000
 tambahan seorang anak Rp. 2.025.000

Dasar-Dasar Perpajakan - 139


Rp. 28.350.000
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp. 5.550.000
PPh Pasal 21 setahun
5% x Rp.5.550.000 Rp. 277.500
PPh Pasal 21 sebulan:
Rp. 277.500 ÷ 12 Rp. 23.125
Perhitungan PPh Pasal 21 atas gaji setelah ada kenaikan adalah:
Gaji pokok sebulan Rp. 5.000.000
Pengurangan:
1. Biaya jabatan (5% x Rp.5.000.000) Rp. 250.000
2. Iuran pensiun Rp. 15.000
3. Iuran JHT Rp. 10.000
Rp. 275.000
Penghasilan neto sebulan Rp. 4.725.000
Penghasilan neto setahun
12 x Rp. 4.725.000 Rp. 56.700.000
PTKP setahun (K/-):
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
 tambahan karena menikah Rp. 2.025.000
 tambahan seorang anak Rp. 2.025.000
Rp. 28.350.000
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp. 28.350.000
PPh Pasal 21 setahun
5% x Rp.28.350.000 Rp. 1.417.500
PPh Pasal 21 sebulan:
Rp. 277.500 ÷ 12 Rp. 118.125
Penghitungan PPh Pasal 21 atas uang rapel:
PPh Pasal 21 atas Gaji setelah kenaikan:
5 x 118.125 Rp. 590.625
PPh Pasal 21 atas Gaji sebelum kenaikan:
5 x 23.125 Rp. 115.625
PPh Pasal 21 atas rapel Rp. 475.000
4. Penghitungan pemotongan PPh Pasal 21 terhadap penghasilan berupa: jasa
Produksi, tantiem gratifikasi, tunjangan hari raya atau tahun baru, bonus,
premi, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap dan pada
umumnya diberikan sekali dalam setahun.
Apabila pegawai tetap menerima penghasilan teratur ditambah Jasa
Produksi, tantiem, gratifikasi, Tunjangan Hari Raya atau Tahun Baru, bonus,
premi, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap dan pada
umumnya diberikan sekali setahun, maka PPh Pasal 21 dihitung dengan tiga
tahap sebagai berikut.
Contoh
Heri status menikah, tetapi belum memiliki anak bekerja pada PT. Kuat
dengan memperoleh gaji sebulan Rp. 3.500.000. Heri membayar iuran
pensiun sebesar Rp. 100.000. Dalam tahun 2012 Heri menerima bonus
Rp5.000.000.

140 - Dasar-Dasar Perpajakan


Penghitungan PPh Pasal 21 atas bonus adalah:
A) PPh Pasal 21 atas gaji dan bonus
Gaji setahun (12 x Rp.3.500.000) Rp. 42.000.000
Bonus Rp. 5.000.000
Total penghasilan bruto setahun Rp. 47.000.000
Pengurangan:
1. Biaya jabatan (5% x Rp.47.000.000) Rp. 2.350.000
2. Iuran pensiun (12 x Rp.100.000) Rp. 1.200.000
Rp. 3.550.000
Penghasilan neto setahun Rp. 43.450.000
PTKP setahun (K/-):
untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
tambahan WP kawin Rp. 2.025.000
Rp. 26.325.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 17.125.000
PPh Pasal 21 terutang setahun
5% x Rp.17.125.000 Rp. 856.250
B) PPh Pasal 21 atas gaji
Gaji setahun (12 x Rp.3.500.000) Rp. 42.000.000
Pengurangan:
Biaya jabatan (5% x Rp.42.000.000) Rp. 2.100.000
Iuran pensiun (12 x Rp.100.000) Rp. 1.200.000
Rp. 3.300.000
Penghasilan neto setahun Rp. 38.700.000
PTKP setahun (K/-):
untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
tambahan WP kawin Rp. 2.025.000
Rp. 26.325.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 12.375.000
PPh Pasal 21 terutang setahun
5% x Rp.12.375.000 Rp. 618.750
C) PPh Pasal 21 atas bonus:
Rp.856.250 – Rp.618.750 = Rp.237.500

Contoh
Karis berstatus menikah, namun belum memiliki anak, bekerja pada PT.
Megah sebagai pegawai tetap dengan memperoleh gaji sebulan sebesar Rp.
4.000.000. PT. Megah masuk program jamsostek, premi asuransi kecelakaan
kerja dan premi asuransi kematian yang dibayarkan oleh pemberi kerja setiap
bulan masing-masing sebesar Rp. 30.000 dan Rp. 10.000. PT. Megah juga
menanggung iuran pensiun yang dibayarkan ke yayasan dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan iuran Jaminan Hari
Tua (JHT) masing-masing sebesar Rp. 25.000 dan Rp. 15.000, sedangkan
yang ditanggung oleh Karis masing-masing sebesar Rp. 20.000 dan Rp.
15.000. Dalam tahun 2013 Karis menerima Tunjangan Hari Raya (THR) Rp.
3.000.000.

Dasar-Dasar Perpajakan - 141


Perhitungan PPh Pasal 21 adalah:
A) PPh Pasal 21 atas gaji dan THR
Gaji setahun (12 x Rp.4.000.000) Rp. 48.000.000
Premi asuransi kecelakaan kerja
(12 x Rp.30.000) Rp. 360.000
Premi asuransi kematian
(12 x Rp.10.000) Rp. 120.000
Tunjangan Hari Raya Rp. 3.000.000
Total penghasilan bruto setahun Rp. 51.480.000
Pengurangan:
1. Biaya jabatan (5% x Rp.51.480.000) Rp. 2.574.000
2. Iuran pensiun (12 x Rp.100.000) Rp. 240.000
3. Iuran JHT Rp. 180.000
Rp. 2.994.000
Penghasilan neto setahun Rp. 48.486.000
PTKP setahun (K/-):
untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
tambahan WP kawin Rp. 2.025.000
Rp. 26.325.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 22.161.000
PPh Pasal 21 terutang setahun
5% x Rp.22.161.000 Rp. 1.108.050
B) PPh Pasal 21 atas gaji
Gaji setahun (12 x Rp.3.500.000) Rp. 48.000.000
Premi asuransi kecelakaan kerja
(12 x Rp.30.000) Rp. 360.000
Premi asuransi kematian
(12 x Rp.10.000) Rp. 120.000
Total penghasilan bruto setahun Rp 48.480.000
Pengurangan:
Biaya jabatan (5% x Rp.48.480.000) Rp. 2.424.000
Iuran pensiun (12 x Rp.20.000) Rp. 240.000
Iuran JHT (12 x Rp.15.000) Rp. 180.000
Rp. 2.844.000
Penghasilan neto setahun Rp. 45.636.000
PTKP setahun (K/-):
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
 tambahan WP kawin Rp. 2.025.000
Rp. 26.325.000
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp. 19.311.000
PPh Pasal 21 terutang setahun
5% x Rp19.311.000 Rp. 965.550
C) PPh Pasal 21 atas THR:
Rp.1.108.050 – Rp.965.550 = Rp.142.500

142 - Dasar-Dasar Perpajakan


5. Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 21 Atas Penghasilan Pegawai yang
Dipindahtugaskan Dalam Tahun Berjalan
Ketika seorang pegawai dipindahtugaskan, pegawai yang bersangkutan
tidak berhenti bekerja dari perusahaan tempat ia bekerja. Pegawai yang
bersangkutan tetap bekerja pada perusahaan yang sama dan hanya berubah
lokasinya saja. Dengan keadaan demikian, penghitungan PPh Pasal 21 tetap
menggunakan dasar penghitungan selama setahun.
Contoh
Yusuf berstatus belum menikah bekerja sebagai pegawai tetap pada kantor
pusat PT. Sinar di Bandung memperoleh gaji sebulan sebesar Rp. 3.500.000.
Yusuf menanggung biaya iuran pensiun yang dibayarkan ke yayasan dana
pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sebesar
Rp. 100.000. Sejak 1 Juni 2013, Yusuf dipindahtugaskan ke kantor cabang di
Solo dan pada 1 Oktober 2013 dipindahtugaskan lagi ke kantor lagi ke kantor
cabang di Semarang.
Penghitungan PPh Pasal 21 adalah:
Kantor Pusat Bandung
Gaji selama di Bandung Rp. 17.500.000
Pengurangan:
1. Biaya jabatan (5% x Rp.17.500.000) Rp. 875.000
2. Iuran pensiun (5 x Rp.100.000) Rp. 500.000
Rp. 1.375.000
Penghasilan neto lima bulan Rp. 16.125.000
Penghasilan neto setahun:
12/5 x Rp.16.125.000 Rp. 38.700.000
PTKP setahun:
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 14.400.000
PPh Pasal 21 terutang setahun:
5% x Rp.14.400.000 Rp. 720.000
PPh Pasal 21 terutang Januari-Mei 2013:
Rp. 720.000 ÷ 12/5 Rp. 300.000
PPh Pasal 21 terutang yang sudah dipotong
Januari-Mei 2013 (5 x Rp. 60.000) Rp. 300.000
PPh Pasal 21 kurang (lebih) dipotong NIHIL
Catatan:
PPh Pasal 21 yang dipotong pada bulan Januari-Mei untuk setiap bulannya
adalah Rp. 60.000.

Pengisian Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (Form 1721-A1) di kantor


pusat Bandung, Gaji (Januari-Mei 2013)
5 x Rp. 3.500.000 Rp. 17.500.000
Pengurangan:
1. Biaya jabatan (5% x Rp.17.500.000) Rp. 875.000
2. Iuran pensiun (5 x Rp.100.000) Rp. 500.000
. Rp. 1.375.000
Penghasilan neto lima bulan Rp. 16.125.000

Dasar-Dasar Perpajakan - 143


Penghasilan neto setahun:
12/5 x Rp. 16.125.000 Rp. 38.700.000
PTKP setahun:
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 14.400.000
PPh Pasal 21 terutang setahun:
5% x Rp.14.400.000 Rp. 720.000
PPh Pasal 21 terutang Januari-Mei 2013:
Rp. 720.000 ÷ 12/5 Rp. 300.000
PPh Pasal 21 terutang yang sudah dipotong
Januari-Mei 2013 (5 x Rp.60.000) Rp. 300.000
PPh Pasal 21 kurang (lebih) dipotong NIHIL
Kantor Cabang Solo
Penghasilan neto di Solo
Gaji Juni-September 2013
(4 x Rp.3.500.000) Rp. 14.000.000
Pengurangan:
1. Biaya jabatan (5% x Rp.14.000.000) Rp. 700.000
2. Iuran pensiun (4 x Rp.100.000) Rp. 400.000
Rp. 1.100.000
Penghasilan neto di Solo Rp. 12.900.000
Penghasilan neto di Bandung Rp. 16.125.000
Jumlah penghasilan neto 9 bulan Rp. 29.025.000
Penghasilan neto disetahunkan:
12/9 x Rp.29.025.000 Rp. 38.700.000
PTKP setahun:
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak disetahunkan Rp. 14.400.000
PPh Pasal 21 disetahunkan:
5% x Rp.14.400.000 Rp. 720.000
PPh Pasal 21 terutang selama 9 bulan:
9/12 x Rp.720.000 Rp. 540.000
PPh Pasal 21 yang dipotong di Bandung Rp. 300.000
PPh Pasal 21 yang terutang di Solo Rp. 240.000
PPh Pasal 21 yang dipotong di Solo
4 x Rp.60.000 Rp. 240.000
PPh Pasal 21 kurang (lebih) dipotong NIHIL
Catatan: PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada bulan Juni-September untuk
setiap bulannya adalah Rp. 60.000.

Pengisian bukti pemotongan PPh Pasal 21 (Formulir 1721-A1) di Solo.


Penghasilan neto di Solo
Gaji Juni-September 2013
(4 x Rp.3.500.000) Rp. 14.000.000
Pengurangan:
1. Biaya jabatan (5% x Rp.14.000.000) Rp. 700.000

144 - Dasar-Dasar Perpajakan


2. Iuran pensiun (4 x Rp.100.000) Rp. 400.000
Rp. 1.100.000
Penghasilan neto di Solo Rp. 12.900.000
Penghasilan neto di Bandung Rp. 16.125.000
Jumlah penghasilan neto 9 bulan Rp. 29.025.000
Penghasilan neto disetahunkan:
12/9 x Rp.29.025.000 Rp. 38.700.000
PTKP setahun:
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak disetahunkan Rp. 14.400.000
PPh Pasal 21 disetahunkan:
5% x Rp.14.400.000 Rp. 720.000
PPh Pasal 21 terutang selama 9 bulan:
9/12 x Rp.720.000 Rp. 540.000
PPh Pasal 21 yang dipotong di Bandung Rp. 300.000
PPh Pasal 21 yang dipotong di Solo
4 x Rp.60.000 Rp. 240.000
PPh Pasal 21 kurang (lebih) dipotong NIHIL
Kantor Cabang Semarang
Penghasilan neto di Semarang
Gaji Oktober-Desember 2013
(3 x Rp.3.500.000) Rp. 10.500.000
Pengurangan:
1. Biaya jabatan (5% x Rp.10.500.000) Rp. 525.000
2. Iuran pensiun (3 x Rp.100.000) Rp. 300.000
Rp. 8.250.000
Penghasilan neto di Semarang Rp. 9.675.000
Penghasilan neto di Bandung Rp. 16.125.000
Penghasilan neto di Solo Rp. 12.900.000
Jumlah penghasilan neto setahun Rp. 38.700.000
PTKP setahun:
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak disetahunkan Rp. 14.400.000
PPh Pasal 21 disetahunkan:
5% x Rp14.400.000 Rp. 720.000
PPh Pasal 21 terutang di Bandung
dan Solo (Form. 1721-A1) Rp. 540.000
PPh Pasal 21 yang dipotong di Semarang Rp. 180.000
PPh Pasal 21 sebulan yang harus dipotong
di Semarang = Rp.180.000 ÷ 3 Rp. 60.000

Pengisian bukti pemotongan PPh Pasal 21 (Formulir 1721-A1) di


Semarang.
Penghasilan neto di Semarang
Gaji Oktober-Desember 2013
(3 x Rp.3.500.000) Rp. 10.500.000

Dasar-Dasar Perpajakan - 145


Pengurangan:
1. Biaya jabatan (5% x Rp.10.500.000) Rp. 525.000
2. Iuran pensiun (3 x Rp.100.000) Rp. 300.000
Rp. 8.250.000
Penghasilan neto di Semarang Rp. 9.675.000
Penghasilan neto di Bandung Rp. 16.125.000
Penghasilan neto di Solo Rp. 12.900.000
Jumlah penghasilan neto setahun Rp. 38.700.000
PTKP setahun:
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak disetahunkan Rp. 14.400.000
PPh Pasal 21 disetahunkan:
5% x Rp.14.400.000 Rp. 720.000
PPh Pasal 21 terutang di Bandung
dan Solo (Form. 1721-A1) Rp. 540.000
PPh Pasal 21 terutang di Semarang Rp. 180.000
PPh Pasal 21 telah dipotong (3 x Rp.60.000) Rp. 180.000
PPh Pasal 21 kurang (lebih) dipotong NIHIL
6. Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan pegawai yang berkewajiban
pajak subjektifnya sebagai Subjek Pajak dalam negeri sudah ada sejak awal
tahun kalender, namun baru bekerja pada pertengahan tahun
Contoh
Tyasono bekerja pada PT. Sinar Bintang sebagai pegawai tetap sejak 1
September 2013. Tyasono menikah, namun belum memiliki anak. Gaji
sebulan adalah sebesar Rp. 8.000.000 dan iuran pensiun yang dibayar tiap
bulan sebesar Rp. 150.000
Penghitungan PPh Pasal 21 tahun 2013 adalah:
Gaji sebulan Rp. 8.000.000
Pengurangan:
1. Biaya jabatan (5% x Rp.8.000.000) Rp. 400.000
2. Iuran pensiun Rp. 150.000
Rp. 550.000
Penghasilan neto sebulan Rp. 7.450.000
Penghasilan neto setahun (4 x Rp. 7.450.000) Rp. 29.800.000
PTKP
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
 tambahan WP kawin Rp. 2.025.000
Rp. 68.325.000
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp. 3.475.000
PPh Pasal 21 terutang:
5% x Rp.3.475.000 Rp. 173.750
PPh Pasal 21 sebulan:
Rp. 173.750 ÷ 4 Rp. 43.438
7. Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Pegawai yang Kewajiban
Pajak Subjektifnya Sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri Dimulai setelah
Permulaan Tahun Pajak, dan Mulai Bekerja pada Tahun Berjalan

146 - Dasar-Dasar Perpajakan


Abu Bakar adalah seorang yang berstatus menikah dan memiliki 3 anak. Ia
mulai bekerja 1 September 2013. Ia bekerja di Indonesia. Selama tahun 2013
ia menerima gaji per bulan sebanyak Rp. 20.000.000. Penghitungan Pasal 21
bulan September Tahun 2013 dalam hal Abu Bakar hanya menerima
penghasilan berupa gaji adalah:
Gaji sebulan Rp. 20.000.000
Pengurangan:
Biaya jabatan (5% x Rp.20.000.000) Rp. 1.000.000
Maksimum diperkenankan Rp. 500.000
Penghasilan neto sebulan Rp. 19.500.000
Penghasilan neto selama 4 bulan Rp. 78.000.000
Penghasilan neto disetahunkan
12/4 x (Rp.78.000.000) Rp. 234.000.000
PTKP
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
 tambahan WP kawin Rp. 2.025.000
 tambahan 3 anak (3 x Rp.2.025.000) Rp. 8.075.000
Rp. 32.400.000
Penghasilan Kena Pajak disetahunkan Rp. 201.600.000
PPh Pasal 21 disetahunkan:
5% x Rp. 50.000.000 Rp. 2.500.000
15% x Rp.151.600.000 Rp. 22.740.000
Rp. 25.240.000
PPh Pasal 21 terutang untuk tahun 2013
4/12 x Rp.25.240.000 Rp. 8.413.333
PPh Pasal 21 terutang sebulan:
1/4 x Rp. 8.413.333 Rp. 2.103.333
8. Pegawai yang Masih Memiliki Kewajiban Pajak Subjektif Berhenti Bekerja
Pada Tahun Berjalan
Contoh
Ferdawan berstatus belum menikah adalah seorang karyawan PT. Mentari
Utama di Yogyakarta. Sejak 1 Oktober 2013, yang bersangkutan berhenti
bekerja di PT Mentari Utama. Gaji Ferdawan setiap bulan sebesar
Rp.3.500.000 dan yang bersangkutan membayar iuran pensiun kepada Dana
Pensiun yang pendiriannya telah mendapat persetujuan Menteri Keuangan
sejumlah Rp.100.000 setiap bulan.
Gaji sebulan Rp. 3.500.000
Pengurangan:
1. Biaya jabatan (5% x Rp. 3.500.000) Rp. 175.000
2. Iuran pensiun Rp. 100.000
Rp. 275.000
Penghasilan neto Rp. 3.225.000
Penghasilan neto setahun
(12 x Rp.3.225.000) Rp. 38.700.000
PTKP
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000

Dasar-Dasar Perpajakan - 147


Penghasilan Kena Pajak Rp. 14.400.000
PPh Pasal 21 terutang:
5% x Rp.14.400.000 Rp. 720.000
PPh Pasal 21 yang harus dipotong sebulan:
Rp. 720.000 ÷ 12 Rp. 60.000

Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang selama bekerja pada PT. Mentari
Utama dalam tahun kalender 2013 (sampai dengan bulan September 2013)
dilakukan pada saat berhenti bekerja:
Gaji (Januari-September 2013)
9 x Rp.3.500.000 Rp. 31.500.000
Pengurangan:
1. Biaya jabatan (5% x Rp.31.500.000) Rp. 1.575.000
2. Iuran Pensiun (9 x Rp.100.000) Rp. 900.000
Rp. 2.475.000
Penghasilan neto 9 bulan adalah Rp. 29.025.000
PTKP
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 4.725.000
PPh Pasal 21 terutang:
5% x Rp.4.725.000 Rp. 236.250
PPh Pasal 21 terutang untuk masa Januari
s/d September 2013 adalah Rp. 236.250
PPh Pasal 21 yang sudah dipotong
s/d bulan Agustus 2013: 8 x Rp.60.000 Rp. 480.000
PPh Pasal 21 lebih dipotong
(Rp. 480.000- Rp. 236.250) Rp. 243.750
9. Pegawai Berhenti Bekerja Pada Tahun Berjalan dan Sekaligus Kehilangan
Kewajiban Pajak Subjektif
Contoh
Frank Lampard (K/3) mulai bekerja pada bulan Mei 2005 dan berhenti sejak 1
Juni 2013 dan meninggalkan Indonesia ke negara asalnya (kehilangan
kewajiban pajak subjektif). Selama tahun 2013 menerima gaji perbulan
sebesar Rp. 15.000.000 dan pada bulan April 2013 menerima bonus sebesar
Rp.20.000.000
A) Penghitungan PPh Pasal 21 atas gaji adalah:
Gaji sebulan Rp. 15.000.000
Pengurangan:
Biaya jabatan (5% x Rp.15.000.000) Rp. 750.000
Maksimum diperkenankan Rp. 500.000
Penghasilan neto atas gaji sebulan Rp. 14.500.000
Penghasilan neto disetahunkan
(12 x Rp.14.500.000) Rp. 174.000.000
PTKP (K/3)
 untuk WP Rp. 24.300.000
 tambahan WP kawin Rp. 2.025.000

148 - Dasar-Dasar Perpajakan


 tambahan 3 anak Rp. 6.075.000
Rp. 32.400.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 141.600.000
PPh Pasal 21 terutang setahun:
5% x Rp. 17.125.000 Rp. 2.500.000
15% x Rp.91.600.000 Rp. 13.740.000
Rp. 16.240.000
PPh Pasal 21 atas gaji sebulan:
Rp. 16.240.000 ÷ 12 Rp. 1.353.333
B) Penghitungan PPh Pasal 21 atas gaji dan bonus:
Gaji disetahunkan (12 x Rp.15.000.000) Rp. 180.000.000
Bonus Rp. 20.000.000
Penghasilan bruto Rp. 200.000.000
Pengurangan:
Biaya jabatan (5% x Rp.200.000.000) Rp. 10.000.000
Maksimum diperkenankan
(12 x Rp.500.000) Rp. 6.000.000
Penghasilan neto atas gaji setahun
dan bonus Rp. 94.000.000
PTKP (K/3)
 untuk WP Rp. 24.300.000
 tambahan WP kawin Rp. 2.025.000
 tambahan 3 anak Rp. 6.075.000
Rp. 32.400.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 161.600.000
PPh Pasal 21 atas gaji setahun dan bonus:
5% x Rp. 50.000.000 Rp. 2.500.000
15% x Rp.111.600.000 Rp. 16.740.000
Rp. 19.240.000
C) Penghitungan PPh Pasal 21 atas Bonus:
Rp.19.240.000 – Rp16.240.000 = Rp.3.000.000
Penghitungan kembali PPh Pasal 21 terutang pada saat pegawai yang
bersangkutan berhenti dan meninggalkan Indonesia untuk selamanya:
Gaji selama 5 bulan (5 x Rp15.000.000) Rp. 75.000.000
Bonus Rp. 20.000.000
Jumlah seluruh penghasilan selama
5 bulan Rp. 95.000.000
Pengurangan:
Biaya jabatan (5% x Rp.95.000.000) Rp. 4.750.000
Maksimum diperkenankan
(5 x Rp.500.000) Rp. 2.500.000
Penghasilan neto selama 5 bulan Rp. 92.500.000
Jumlah seluruh penghasilan neto disetahunkan:
12/5 x Rp.92.500.000 Rp. 222.000.000
PTKP (K/3)
 untuk WP Rp. 24.300.000

Dasar-Dasar Perpajakan - 149


 tambahan WP kawin Rp. 2.025.000
 tambahan 3 anak Rp. 6.075.000
Rp. 32.400.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 189.600.000
PPh Pasal 21 atas gaji setahun dan bonus:
5% x Rp. 50.000.000 Rp. 2.500.000
15% x Rp139.600.000 Rp. 20.940.000
Rp. 23.440.000
PPh Pasal 21 terutang atas penghasilan 5 bulan:
5/12 x Rp.23.440.000 Rp. 9.766.667
PPh Pasal 21 telah dipotong sampai dengan
bulan April 2013 atas gaji dan bonus:
(4 x Rp.1.353.333) ÷ Rp.3.000.000 Rp. 8.413.333
PPh Pasal 21 terutang dan harus
dipotong untuk bulan Mei 2013 Rp. 1.353.333
Catatan: Cara penghitungan di atas berlaku juga bagi pegawai yang
kehilangan kewajiban subjektifnya pada tahun berjalan yang disebabkan
meninggal dunia.
10. Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 21 Atas Penghasilan yang Sebagian
Atau Seluruhnya Diperoleh Dalam Mata Uang Asing.
Contoh:
Harry Kane adalah seorang pegawai yang memperoleh gaji pada bulan
Januari 2013 dalam mata uang asing sebesar US$2.000 sebulan. Kurs yang
berlaku pada bulan Januari 2013 berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan
adalah Rp.11.250 per US$1. Harry Kane berstatus menikah dengan seorang
anak.
Penghitungan PPh Pasal 21 adalah:
Gaji sebulan (US$ 2.000 x Rp.11.250) Rp. 22.500.000
Pengurangan:
Biaya jabatan (5% x Rp.22.500.000) Rp. 1.125.000
Maksimum diperkenankan Rp. 500.000
Penghasilan neto sebulan Rp. 22.500.000
Penghasilan neto setahun
(12 x Rp. 22.500.000) Rp. 264.000.000
PTKP
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
 tambahan karena menikah Rp. 2.025.000
 tambahan untuk 1 orang anak Rp. 2.025.000
Rp. 28.350.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 235.650.000
PPh Pasal 21 terutang setahun:
5% x Rp. 50.000.000 Rp. 2.500.000
15% x Rp.185.650.000 Rp. 27.847.500
Rp. 30.347.500
PPh Pasal 21 sebulan:
Rp.30.347.500 ÷ 12 Rp. 2.528.958

150 - Dasar-Dasar Perpajakan


11. PPh Pasal 21 Seluruh Atau Sebagian Ditanggung Oleh Pemberi Kerja
Dalam hal PPh Pasal 21 atas gaji pegawai yang ditanggung oleh pemberi
kerja, pihak yang ditanggung pemberi kerja tersebut termasuk dalam
pengertian kenikmatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf
b Undang-Undang PPh dan bukan merupakan penghasilan pegawai yang
bersangkutan.
Contoh:
Jauhari adalah seorang karyawan di PT. Sinar Mas dengan status menikah
dan memiliki 3 orang anak. Ia menerima gaji sebesar Rp. 4.000.000 setiap
bulannya dan PPh ditanggung oleh pemberi kerja. Tiap bulan ia membayar
iuran pensiun ke dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan sebesar Rp.150.000.
Gaji sebulan Rp. 4.000.000
Pengurangan:
1. Biaya jabatan (5% x Rp.4.000.000) Rp. 200.000
2. Iuran pensiun Rp. 150.000
Rp. 350.000
Penghasilan neto sebulan Rp. 3.650.000
Penghasilan neto setahun
(12 x Rp.3.650.000) Rp 43.800.000
PTKP
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
 tambahan karena menikah Rp. 2.025.000
 tambahan untuk 3 orang anak Rp. 6.075.000
Rp. 32.400.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 11.400.000
PPh Pasal 21 setahun:
5% x Rp.11.400.000 Rp. 570.000
PPh Pasal 21 sebulan:
Rp 570.000 ÷ 12 Rp. 47.500
PPh Pasal 21 sebesar Rp.47.500 tersebut ditanggung dan dibayarkan oleh
pemberi kerja. Jumlah sebesar Rp.47.500 tidak dapat dikurangkan dari
Penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan yang
dikenakan pajak kepada Jauhari. Tetapi, jika pemberi kerja adalah bukan
Wajib Pajak selain pemerintah atau Wajib Pajak yang pengenaan pajaknya
berdasarkan PPh Final atau berdasarkan norma penghitungan khusus
(demeed profit), maka kenikmatan berupa pajak yang ditanggung pemberi
kerja ditambahkan ke dalam penghasilan dari pegawai yang bersangkutan
dan penghitungan pajaknya dilakukan seperti contoh 1.12.
12. Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 21 terhadap Pegawai Tetap yang
Menerima Tunjangan Pajak
Dalam hal kepada pegawai diberikan tunjangan pajak, maka tunjangan pajak
tersebut merupakan penghasilan pegawai yang bersangkutan dan
ditambahkan pada penghasilan yang diterimanya.

Dasar-Dasar Perpajakan - 151


Contoh
Toni, berstatus belum menikah dan tidak memiliki tanggungan bekerja pada
PT. Alfamedia dengan memperoleh gaji sebesar Rp.2.500.000 sebulan.
Kepada Toni diberikan tunjangan pajak sebesar Rp.25.000. Iuran pensiun
yang dibayarkan oleh Toni adalah sebesar Rp.25.000 setiap bulan.
Penghitungan PPh Pasal 21 adalah:
Gaji sebulan Rp. 2.500.000
Tunjangan Pajak Rp. 25.000
Penghasilan bruto sebulan Rp. 2.525.000
Pengurangan:
1. Biaya jabatan (5% x Rp.2.525.000) Rp. 126.250
2. Iuran pensiun Rp. 25.000
Rp. 151.250
Penghasilan neto Rp. 2.373.000
Penghasilan neto setahun
(12 x Rp.3.225.000) Rp. 28.485.000
PTKP
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 4.185.000
PPh Pasal 21 setahun:
5% x Rp.4.185.000 Rp. 209.250
PPh Pasal 21 sebulan:
Rp. 209.250 ÷ 12 Rp. 17.438
Contoh
Imam berstatus belum menikah dan tidak memiliki tanggungan. Ia bekerja
pada PT, Berkah Wijaya dengan memperoleh gaji sebesar Rp.4.000.000 per
bulan. Kepada Imam diberikan tunjangan pajak sebesar Rp.20.000. Iuran
pensiun yang dibayar Imam adalah sebesar Rp.25.000 perbulan.
Penghitungan PPh Pasal 21 adalah:
Gaji sebulan Rp. 4.000.000
Tunjangan Pajak Rp. 20.000
Penghasilan bruto sebulan Rp. 4.020.000
Pengurangan:
1. Biaya jabatan (5% x Rp.4.020.000) Rp. 201.000
2. Iuran pensiun Rp. 25.000
Rp. 226.000
Penghasilan neto Rp. 3.794.000
Penghasilan neto setahun
(12 x Rp.3.225.000) Rp. 45.528.000
PTKP
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 21.228.000
PPh Pasal 21 setahun:
5% x Rp.21.228.000 Rp. 1.061.400
PPh Pasal 21 sebulan:
Rp. 1.061.400 ÷ 12 Rp. 88.450

152 - Dasar-Dasar Perpajakan


Selisih pajak terutang dengan tunjangan pajak adalah Rp.88.450–Rp.20.000=
Rp.68.450 dapat ditanggung oleh pegawai yang bersangkutan, yaitu dengan
dipotong dari penghasilan bulanan yang bersangkutan atau ditanggung oleh
pemberi kerja/pemotong pajak. Apabila selisih sebesar Rp.68.450 tersebut
ditanggung oleh pemberi kerja/pemotong pajak, maka jumlah tersebut bukan
merupakan biaya yang bisa dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan
Kena Pajak pemberi kerja/pemotong pajak.
13. Penghitungan PPh Pasal 21 Atas Penerimaan dalam Bentuk Natura dan
Kenikmatan Lainnya yang Diberikan oleh Wajib Pajak yang Pengenaan Pajak
Penghasilannya Bersifat Final atau Berdasarkan Norma Penghitungan
Khusus (Deemed Profit)
Contoh
Abdullah merupakan seorang warga negara Republik Indonesia yang
berstatus menikah dan memiliki seorang anak. Ia bekerja pada Kedutaan
Arab Saudi di Indonesia dan memperoleh gaji sebulan sebesar Rp. 3.000.000
dan mendapatkan beras 25 kg serta gula 10 kg. Harga pasar beras dan gula
pada saat itu masing-masing Rp. 25.000 per kg dan Rp. 10.000 per kg.
penghitungan PPh Pasal 21 adalah:
Gaji sebulan Rp. 3.000.000
Beras (25 kg x Rp.25.000) Rp. 625.000
Gula (10 kg x Rp.10.000) Rp. 100.000
Penghasilan bruto sebulan Rp. 3.725.000
Pengurangan:
Biaya jabatan (5% x Rp.3.725.000) Rp. 186.250
Penghasilan neto sebulan Rp. 3.538.750
Penghasilan neto setahun:
12 x Rp.3.538.250 Rp. 42.465.000
PTKP setahun (K/1):
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
 tambahan WP kawin Rp. 2.025.000
 tambahan untuk 1 orang anak Rp. 2.025.000
Rp. 28.350.000
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp. 14.115.000
PPh Pasal 21 terutang setahun:
5% x Rp.14.115.000 Rp. 705.750
PPh Pasal 21 sebulan:
Rp. 705.750 ÷ 12 Rp. 58.813
14. Penghitungan PPh Pasal 21 bagi Pegawai Tetap Baru Memiliki NPWP pada
Tahun Berjalan
Contoh
Didik berstatus menikah dan memiliki satu orang anak. Ia bekerja pada PT.
Berkah Jaya dan memperoleh gaji sebesar Rp.3.000.000. Didik menanggung
iuran pensiun yang dibayarkan ke yayasan dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan iuran Jaminan Hari Tua (JHT)
masing-masing sebesar Rp.15.000 dan Rp.10.000. Didik baru memiliki
NPWP pada Juni 2013 dan menyerahkan fotokopi kartu NPWP kepada PT.

Dasar-Dasar Perpajakan - 153


Berkah Jaya untuk digunakan sebagai dasar pemotongan PPh Pasal 21
bulan Juni.
Penghitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap bulan Januari-Mei
2013 adalah:
Gaji sebulan Rp. 3.000.000
Pengurangan:
1. Biaya jabatan (5% x Rp3.725.000) Rp. 186.250
2. Iuran Pensiun Rp. 15.000
3. Iuran JHT Rp. 10.000
Rp. 175.000
Penghasilan neto sebulan Rp. 2.825.000
Penghasilan neto setahun:
12 x Rp.2.825.000 Rp. 33.900.000
PTKP setahun (K/1):
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
 tambahan WP kawin Rp. 2.025.000
 tambahan untuk 1 orang anak Rp. 2.025.000
Rp. 28.350.000
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp. 5.550.000
PPh Pasal 21 terutang setahun:
5% x Rp.5.550.000 Rp. 277.500
PPh Pasal 21 sebulan:
Rp. 277.500 ÷ 12 Rp. 23.125
PPh Pasal 21 yang harus dipotong karena yang bersangkutan belum memiliki
NPWP:
120% x Rp.23.125 Rp. 27.750
PPh Pasal 21 yang dipotong dari Januari-Mei 2012:
5 x Rp.27.750 Rp. 138.750
PPh Pasal 21 terutang jika memiliki NPWP:
5 x Rp.23.125 Rp. 115.625
Selisih Rp. 23.125

Penghitungan PPh Pasal 21 terutang dan yang harus dipotong untuk Juni
2013, setelah Didik memiliki NPWP dan menyerahkan fotokopi kartu NPWP
kepada pemberi kerja, dengan catatan gaji untuk bulan Juni 2013 tidak
berubah adalah:
PPh Pasal 21 terutang sebulan Rp. 23.125
Tambahan 20% sebelum memiliki NPWP Januari-Mei 2013
20% x 5 x 23.125 (Rp. 23.125)
PPh Pasal 21 yang harus dipotong bulan Juni 2013 NIHIL

Apabila Didik baru memiliki NPWP pada akhir November 2013 dan
menyerahkan fotokopi kartu NPWP sebelum pemotongan PPh Pasal 21
untuk Desember 2013, dengan asumsi penghasilannya setiap bulan sama
dan tidak ada penghasilan lain selain penghasilan tetap dan teratur setiap

154 - Dasar-Dasar Perpajakan


bulan tersebut, maka perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada
bulan Desember 2013 adalah:
PPh Pasal 21 terutang sebulan Rp. 23.125
Tambahan 20% sebelum memiliki NPWP Januari-November 2013
20% x 11 x 23.125 (Rp. 50.875)
PPh Pasal 21 yang harus dipotong
bulan Desember 2013 (Rp. 27.750)

Dikarenakan jumlah yang diperhitungkan ternyata lebih besar dari jumlah


PPh Pasal 21 terutang untuk bulan Desember 2013, maka jumlah PPh Pasal
21 yang harus dipotong untuk bulan tersebut adalah nihil. Jumlah sebesar
Rp.27.750 dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 untuk bulan
selanjutnya dalam tahun kalender berikutnya, jumlah tersebut tidak termasuk
dalam kredit pajak yang dapat diperhitungkan oleh pegawai tetap dalam SPT
Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi yang bersangkutan.
Penghitungan PPh Pasal 21 terutang untuk tahun 2013, dalam hal ini Didik
sudah memiliki NPWP pada akhir November 2013 sebelum pemotongan PPh
Pasal 21 Desember 2013 adalah:
Gaji setahun (12 x Rp.3.000.000) Rp. 36.000.000
Pengurangan:
1. Biaya jabatan (5% x Rp.36.000.000) Rp. 1.800.000
2. Iuran Pensiun Rp. 180.000
3. Iuran JHT Rp. 120.000
Rp. 2.100.000
Penghasilan neto setahun Rp. 33.900.000
PTKP setahun (K/1):
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
 tambahan WP kawin Rp. 2.025.000
 tambahan untuk 1 orang anak Rp. 2.025.000
Rp. 28.350.000
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp. 5.550.000
PPh Pasal 21 terutang setahun:
5% x Rp5.550.000 Rp. 277.500
PPh Pasal 21 yang telah dipotong:
Bulan Jan-Nov 2013 (11 x Rp27.750) Rp. 305.250
Bulan Desember 2013 Rp. 0
Rp. 305.250

PPh Pasal 21 lebih potong untuk diperhitungkan


pada bulan selanjutnya dalam tahun kalender berikutnya (Rp.27.750)
Karena jumlah sebesar Rp. 27.750 tersebut sudah diperhitungkan dengan
PPh Pasal 21 terutang bulan berikutnya oleh pemotong PPh Pasal 21, maka
jumlah yang dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib
Pajak Orang Pribadi pegawai yang bersangkutan yaitu sebesar Rp. 277.500.
15. Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Pegawai Tetap pada Masa
Pajak Terakhir

Dasar-Dasar Perpajakan - 155


Penghitungan tersebut dilakukan dalam keadaan berikut ini:
a) Bulan Desember untuk pegawai tetap yang bekerja sampai dengan
akhir tahun kalender.
b) Bulan terakhir memperoleh gaji atau penghasilan tetap dan teratur
karena yang bersangkutan berhenti bekerja.
1) Perhitungan PPh Pasal 21 yang Harus Dipotong pada bulan
Desember Bagi Pegawai Tetap yang bekerja sampai dengan Akhir
Tahun Kalender
(a) Dalam hal penghasilan tetap dan teratur setiap bulan sama
atau tidak berubah, maka jumlah PPh Pasal 21 yang harus
dipotong pada bulan Desember besarnya sama dengan yang
dipotong pada bulan-bulan sebelumnya.
(b) Dalam hal besarnya penghasilan tetap dan teratur setiap
bulan mengalami perubahan.
Contoh
Feri, berstatus menikah dan memiliki satu anak. Ia bekerja pada
PT. Makmur Sentosa dan memperoleh gaji sebesar Rp. 3.000.000
per bulan. Feri menanggung iuran pensiun yang dibayarkan ke
yayasan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan dan iuran jaminan hari tua (JHT) yang masing-
masing besarnya Rp. 15.000 dan Rp. 10.000. Mulai bulan Juli
2013, Feri memperoleh kenaikan penghasilan gaji tetap setiap
bulan menjadi sebesar Rp. 5.000.000.
Penghitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap bulan
untuk Januari-Juni 2013 adalah:
Gaji sebulan Rp. 3.000.000
Pengurangan:
1. Biaya jabatan (5% x Rp3.000.000) Rp. 150.000
2. Iuran Pensiun Rp. 15.000
3. Iuran JHT Rp. 10.000
Rp. 175.000
Penghasilan neto sebulan Rp. 2.825.000
Penghasilan neto setahun:
12 x Rp.2.825.000 Rp. 33.900.000
PTKP setahun (K/1):
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
 tambahan WP kawin Rp. 2.025.000
 tambahan untuk 1 orang anak Rp. 2.025.000
Rp. 28.350.000
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp. 5.550.000
PPh Pasal 21 terutang setahun:
5% x Rp.5.550.000 Rp. 277.500
PPh Pasal 21 sebulan:
Rp. 277.500 ÷ 12 Rp. 23.125

156 - Dasar-Dasar Perpajakan


Penghitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap bulan
untuk bulan Juli-November 2013 adalah:
Gaji sebulan Rp. 5.000.000
Pengurangan:
1. Biaya jabatan (5% x Rp5.000.000) Rp. 250.000
2. Iuran Pensiun Rp. 15.000
3. Iuran JHT Rp. 10.000
Rp. 275.000
Penghasilan neto sebulan Rp. 4.725.000
Penghasilan neto setahun:
12 x Rp4.725.000 Rp. 56.700.000
PTKP setahun (K/1):
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
 tambahan WP kawin Rp. 2.025.000
 tambahan untuk 1 orang anak Rp. 2.025.000
Rp. 28.350.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 28.350.000
PPh Pasal 21 terutang setahun:
5% x Rp28.350.000 Rp. 1.417.500
PPh Pasal 21 sebulan:
Rp. 1.417.500 ÷ 12 Rp. 118.125

Penghitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap Desember


2013 adalah:
Penghasilan selama setahun
(6 x Rp3.000.000) ÷ (6 x Rp5.000.000) Rp. 48.000.000
Pengurangan:
1. Biaya jabatan
(5% x Rp48.000.000) Rp. 2.400.000
2. Iuran Pensiun Rp. 180.000
3. Iuran JHT Rp. 120.000
Rp. 2.700.000
Penghasilan neto Rp. 45.300.000
PTKP setahun (K/1):
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
 tambahan WP kawin Rp. 2.025.000
 tambahan untuk 1 orang anak Rp 2.025.000
Rp. 28.350.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 16.950.000
PPh Pasal 21 terutang:
5% x Rp.16.950.000 Rp. 847.500
PPh Pasal 21 yang telah bulan
November 2013:
(6 x Rp.23.125) ÷ (5 x Rp.118.125) Rp. 729.375
PPh Pasal 21 yang harus Rp. 118.125
dipotong pada bulan Desember

Dasar-Dasar Perpajakan - 157


2) Perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada bulan
terakhir pegawai tetap memperoleh gaji atau penghasilan tetap
dan teratur karena yang bersangkutan telah berhenti bekerja
Lihat contoh Pegawai berhenti bekerja pada tahun berjalan.

Perhitungan Pemotongan PPh Pasal 21 Atas Uang Pensiun yang Dibayarkan


Secara Berkala (Bulanan)
Penerima uang pensiun yang dibayarkan secara berkala (bulanan)
Jika waktu pensiun sudah bisa diketahui dengan pasti awal tahun, maka
perhitungan PPh Pasal 21 terutang sebulan dihitung berdasarkan penghasilan
kena pajak yang akan diperoleh dalam periode saat pegawai yang bersangkutan
tersebut akan bekerja dalam tahun berjalan sebelum memasuki masa pensiun.
Meskipun begitu, apabila waktu pensiun belum bisa diketahui dengan pasti pada
waktu menghitung PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap bulan, maka
perhitungan PPh Pasal 21 didasarkan pada penghasilan neto setahun seperti pada
contoh 1.8 Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Pegawai
yang Masih Memiliki Kewajiban Pajak Subjektif Berhenti Bekerja pada Tahun
Berjalan.
Contoh
Hendri, yang berstatus menikah dan memiliki dua orang anak bekerja pada PT.
Bulan Bintang dengan memperoleh gaji pokok sebulan Rp. 6.000.000. Hendri
membayar iuran pensiun ke Dana Pensiun Tunggal Sejati sebesar Rp250.000.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku di PT Bulan Bintang yang dimulai pada
tanggal 1 Juli 2013, Hendri akan memasuki masa pensiun.
A) Penghitungan PPh Pasal 21 sebelum pensiun adalah:
Gaji sebulan Rp. 6.000.000
Pengurangan:
1. Biaya jabatan (5% x Rp.6.000.000) Rp. 300.000
2. Iuran pensiun Rp. 250.000
Rp. 550.000
Penghasilan neto sebulan Rp 5.450.000
Penghasilan neto 6 bulan (Jan-Juni 2013)
6 x Rp.5.450.000 Rp. 32.700.000
PTKP setahun (K/2)
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
 tambahan WP kawin Rp. 2.025.000
 tambahan 2 anak Rp. 4.050.000
Rp. 30.375.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 2.325.000
PPh Pasal 21 terutang:
5% x Rp.2.325.000 Rp. 116.250
PPh Pasal 21 sebulan:
Rp.116.250 ÷ 6 Rp. 19.375
Pada saat Hendri berhenti bekerja dan memasuki masa pensiun, maka
pemberi kerja wajib memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 (Form.
1721-A1) dengan data sebagai berikut:

158 - Dasar-Dasar Perpajakan


Gaji 6 bulan (6 x Rp6.000.000) Rp 36.000.000
Pengurangan:
1. Biaya jabatan (5% x Rp36.000.000) Rp. 1.800.000
2. Iuran pensiun Rp. 1.500.000
Rp. 3.300.000
Penghasilan neto 6 bulan Rp. 32.700.000
PTKP setahun (K/2)
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
 tambahan WP kawin Rp. 2.025.000
 tambahan 2 anak Rp. 4.050.000
Rp. 30.375.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 2.325.000
PPh Pasal 21 terutang (5% x Rp2.325.000) Rp. 116.250
PPh Pasal 21 telah dipotong (6 x Rp19.375) Rp. 116.250
PPh Pasal 21 kurang (lebih) dipotong NIHIL

Apabila pemotongan PPh Pasal 21 setiap bulan didasarkan pada


penghasilan yang disetahunkan, karena pada saat perhitungan belum
diketahui secara pasti saat pensiun atau berhenti bekerja, maka
penghitungan PPh Pasal 21 terutang untuk masa terakhir (saat pensiun atau
berhenti bekerja), akan terjadi kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 atas
penghasilan pegawai yang bersangkutan, yang harus dikembalikan oleh
pemotong pajak kepada pegawai yang bersangkutan.

B) Perhitungan PPh Pasal 21 oleh Dana Pensiun yang membayarkan uang


pensiun bulanan.
Untuk mempermudah pegawai pensiun yang dalam hal ini yang
bersangkutan tidak memiliki penghasilan lain selain dari pekerjaan dari suatu
pemberi kerja dan uang pensiun, Dana Pensiun menghitung pemotongan
PPh Pasal 21 atas uang pensiun pada tahun pertama pegawai menerima
uang pensiun dengan berdasarkan pada gangguan penghasilan neto dari
pemberi kerja sampai dengan pensiun dan perkiraan uang pensiun yang
akan diterima dalam tahun kalender yang bersangkutan. Untuk melakukan
pemotongan PPh Pasal 21 seperti, maka penerima pensiun harus segera
menyerahkan bukti pemotongan PPh Pasal 21 (Formulir 1721 A-1/1721 A-2)
dari pemberi kerja sebelumnya.
Melanjutkan contoh sebelumnya:
Selanjutnya, mulai bulan Juli 2013, Hendri menerima uang pensiun yang
dibayarkan secara bulanan sebesar Rp3.000.000 dari Dana Pensiun Tunggal
Sejati. Perhitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun tersebut adalah:
Pensiun sebulan Rp. 3.000.000
Pengurangan:
Biaya pensiun (5% x Rp.3.000.000) Rp. 150.000
Penghasilan neto sebulan Rp. 2.850.000
Penghasilan neto (Juli-Desember 2013):
6 x Rp.2.850.000 Rp. 17.100.000

Dasar-Dasar Perpajakan - 159


Penghasilan neto dari PT Bulan Bintang sesuai
dengan Bukti pemotongan PPh Pasal 21 adalah Rp. 32.700.000
Jumlah penghasilan neto tahun 2013 Rp. 49.800.000
PTKP setahun (K/2)
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
 tambahan WP kawin Rp. 2.025.000
 tambahan 2 anak Rp. 4.050.000
Rp. 30.375.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 19.425.000
PPh Pasal 21 terutang:
5% x Rp.19.425.000 Rp. 971.250
PPh Pasal 21 terutang di PT Bulan Bintang
sesuai dengan Bukti meotongan
PPh Pasal 21 (Form. 1721-A1) Rp. 116.250
PPh Pasal 21 terutang pada Dana Pensiun
Purna Karya, selama 6 bulan Rp. 855.000
PPh Pasal 21 atas uang pensiun yang harus
tiap bulan: Rp.855.000 ÷ 6 Rp. 142.500
Perhitungan kembali PPh Pasal 21 oleh Dana
Pensiun Tunggal Sejati untuk dicantumkan
dalam Form. 1721-A1:
Pensiun selama 6 bulan (6 x Rp.3.000.000) Rp. 18.000.000
Pengurangan:
Biaya Jabatan (5% x Rp.18.000.000) Rp. 900.000
Penghasilan neto 6 bulan Rp. 17.100.000
Penghasilan neto dari PT. Bulan Bintang sesuai
dengan bukti pemotongan PPh Pasal 21 Rp. 32.700.000
Jumlah penghasilan neto tahun 2013 Rp. 49.800.000
PTKP setahun (K/2)
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
 tambahan WP kawin Rp. 2.025.000
 tambahan 2 anak Rp. 4.050.000
Rp. 30.375.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 19.425.000
PPh Pasal 21 terutang:
5% x Rp.19.425.000 Rp. 971.250
PPh Pasal 21 terutang di PT. Bulan Bintang
sesuai dengan Bukti pemotongan
PPh Pasal 21 (Form. 1721-A1) Rp. 116.250
PPh Pasal 21 terutang pada Dana Pensiun
Tunggal Sejati, selama 6 bulan Rp. 855.000
PPh Pasal 21 telah dipotong (6 x Rp.142.500) Rp. 855.000
PPh Pasal 21 kurang (lebih) dipotong NIHIL

160 - Dasar-Dasar Perpajakan


C) Perhitungan PPh Pasal 21 atas pembayaran uang pensiun secara bulanan
pada tahun kedua dan seterusnya.
Masih menggunakan contoh sebelumnya, penghitungan PPh Pasal 21 atas
uang pensiun bulanan mulai Januari 2014 (tahun kedua yang bersangkutan
pensiun) adalah:
Pensiun sebulan Rp. 3.000.000
Pengurangan:
Biaya pensiun (5% x Rp.3.000.000) Rp. 150.000
Penghasilan neto sebulan Rp. 2.850.000
Penghasilan neto disetahunkan
6 x Rp2.850.000 Rp. 34.200.000
PTKP setahun (K/2)
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
 tambahan WP kawin Rp. 2.025.000
 tambahan 2 anak Rp. 4.050.000
Rp. 30.375.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 3.825.000
PPh Pasal 21 terutang setahun:
5% x Rp.3.825.000 Rp. 191.250
PPh Pasal 21 sebulan:
Rp.191.250 ÷ 12 Rp. 15.938

Perhitungan Pemotongan PPh Pasal 21 Terhadap Penghasilan Pegawai


Harian, Tenaga Harian Lepas, Penerima Upah satuan, dan Penerima Upah
Borongan, Upah Harian, Mingguan, Borongan
Untuk melakukan penghitungan PPh Pasal 21 bagi pegawai tidak tetap yang
upahnya dibayarkan secara harian/mingguan/borongan/ satuan, maka perlu
diperhatikan jumlah upah harian, atau rata-rata upah yang diterima dalam sehari,
yaitu:
a) Upah mingguan dibagi banyaknya hari bekerja dalam seminggu; upah satuan
dikalikan dengan jumlah rata-rata satuan yang dihasilkan dalam sehari; upah
borongan dibagi dengan jumlah hari yang digunakan untuk menyelesaikan
pekerjaan borongan.
b) Upah harian kurang dari Rp.200.000,00 atau penghasilan dalam bulan
kalender yang bersangkutan belum melebihi Rp.2.025.000,00, maka tidak
ada PPh Pasal 21 yang mengharuskan untuk dipotong.
c) Upah harian lebih dari Rp.200.00, tetapi jumlah kumulatif yang diterima dalam
bulan kalender yang bersangkutan belum melebihi Rp2.025.000
PPh Pasal 21 = (upah harian – Rp200.000,00) x 5%
d) Penghasilan bruto sebulan melebihi Rp2.025.000, tetapi tidak lebih dari
Rp7.000.000
PPh Pasal 21 = (upah harian x PTKP sehari) x 5%
e) Penghasilan bruto sebulan lebih dari Rp7.000.000
PPh Pasal 21 = [(Penghasilan Bruto Setahun – PTKP) x Tarif Pajak ]
÷ 12

Dasar-Dasar Perpajakan - 161


Contoh
Dengan Upah Harian
Endratno bekerja sebagai buruh harian di PT. Karya. Ia berstatus belum menikah
pada Januari 2013. Ia bekerja selama 10 hari dan menerima upah harian sebesar
Rp. 200.000.
Upah sehari Rp. 200.000
Pengurangan:
Dikurangi batas upah harian tidak ada
PPh Rp. 200.000
Penghasilan kena pajak sehari NIHIL
PPh Pasal 21 dipotong atas upah sehari NIHIL
Sampai hari ke-10, dikarenakan jumlah kumulatif yang diterima belum melebihi
Rp.2.025.000, maka tidak ada PPh Pasal 21 yang dipotong.
Pada hari ke-11, Endratno telah menerima sebesar Rp.2.200.000, sehingga telah
melebihi Rp.2.025.000. Maka PPh Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan upah
setelah dikurangi PTKP sebenarnya.
Upah sampai dengan hari ke-11 (Rp.200.00 x 11) Rp. 2.200.000
PTKP sebenarnya:
11 x (Rp.24.300.000 ÷ 360) Rp. 742.500
Penghasilan kena pajak sampai hari ke-11 Rp. 1.457.500
PPh Pasal 21 terutang sampai hari ke-11
5% x Rp.1.457.500 Rp. 72.875
PPh Pasal 21 yang telah dipotong sampai hari ke-10 Rp. 0
PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke-11 Rp. 72.875

Jumlah sebesar Rp.72.875 dipotong dari upah harian Rp.200.000. Sehingga upah
yang diterima Endratno pada hari ke-11 adalah Rp.200.000 – Rp.72.875 =
Rp.127.125
Jika Endratno bekerja selama 12 hari, maka penghitungan PPh Pasal 21 yang
harus dipotong pada hari ke-12 adalah:
Upah sehari Rp. 200.000
PTKP sehari
Untuk WP sendiri (Rp.24.300.000 ÷ 360) Rp. 67.500
Penghasilan kena pajak Rp. 132.500
PPh Pasal 21 terutang
5% x Rp.132.500 Rp. 6.625
Pada hari ke-12, Endratno menerima upah sebesar:
Rp.200.000 – Rp.6.625 = Rp.193.375

Contoh
Hasan Basri mulai bekerja pada bulan Agustus 2013 di PT. Sinar. Ia belum
menikah dan menerima upah sebesar Rp. 300.000 per hari.
Penghitungan PPh Pasal 21
Upah sehari Rp. 300.000
Upah sehari tidak kena pajak Rp. 200.000
Upah sehari kena pajak Rp. 100.000

162 - Dasar-Dasar Perpajakan


PPh Pasal 21 sehari:
5% x Rp.100.000 Rp. 5.000

Pada hari ke-7 dalam bulan tersebut, Hasan Basri telah menerima penghasilan
sebesar Rp. 2.100.000, sehingga telah melebihi Rp. 2.025.000. Penghitungan PPh
Pasal 21 atas penghasilan Hasan Basri pada bulan Agustus 2013 adalah:
Upah 7 hari kerja Rp. 2.100.000
PTKP:
7 x (Rp.24.300.000 ÷ 360) Rp. 472.500
Penghasilan kena pajak Rp. 1.627.500
PPh Pasal 21
5% x Rp.1.627.500 Rp. 81.375
PPh Pasal 21 yang telah dipotong sampai hari ke-6
6 x Rp.5.000 Rp. 30.000
PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke-7 Rp. 51.375

Jumlah sebesar Rp.51.375 tersebut dipotong dari upah harian, sehingga upah
yang diterima Hasan Basri pada hari ke-7 adalah:
Rp.300.000 – Rp.52.375 = Rp.248.625
Pada hari ke-8 dan seterusnya dalam bulan kalender tersebut, jumlah PPh Pasal
21 per hari yang dipotong adalah:
Upah sehari Rp. 300.000
PTKP: (Rp24.300.000 ÷ 360) Rp 67.500
Upah sehari kena pajak Rp 232.500
PPh Pasal 21 terutang:
5% x Rp232.500 = Rp. 11.625

Contoh
Dengan Upah Satuan
Alfin Hidayat, berstatus belum menikah dan merupakan seorang pegawai yang
bekerja di PT. Indotama sebagai perakit komputer. PT. Indotama membayar
berdasarkan jumlah unit/satuan yang diselesaikan yaitu Rp. 75.000 per komputer
dan dibayarkan tiap minggu. Dalam waktu satu minggu (enam hari kerja) Alfin
Hidayat telah merakit sebanyak 24 buah komputer dengan upah Rp.1.800.000
Penghitungan PPh Pasal 21 adalah:
Upah sehari (Rp.1.800.000 ÷ 6) Rp. 300.000
Upah di atas Rp.200.000 sehari
Rp.300.000 – Rp.200.000 Rp. 100.000
Upah seminggu terutang pajak
6 x Rp.100.000 Rp. 600.000
PPh Pasal 21
5% x Rp.600.000 (mingguan) Rp. 30.000

Contoh
Dengan Upah Borongan
Fahri berstatus menikah. Ia mengerjakan dekorasi sebuah rumah dengan upah
borongan sebesar Rp.450.000. Pekerjaan tersebut diselesaikan dalam dua hari.

Dasar-Dasar Perpajakan - 163


Penghitungan PPh Pasal 21 adalah:
Upah borongan sehari
Rp.450.000 ÷ 2 Rp. 225.000
Upah sehari di atas Rp200.000
Rp.225.000 – Rp.200.000 Rp. 25.000
Upah borongan terutang pajak
2 x Rp.25.000 Rp. 50.000
PPh Pasal 21 (5% x Rp.50.000) Rp. 2.500

Upah Harian/Satuan/Borongan/Honorarium yang Diterima Tenaga Harian


Lepas, Tetapi Dibayarkan Secara Bulanan
Contoh
Ibrahim, berstatus menikah namun belum memiliki anak. Ia bekerja pada
perusahaan elektronik dengan dasar upah harian yang dibayarkan bulanan. Dalam
Januari 2013, Ibrahim hanya bekerja 20 hari kerja dan upah hariannya adalah
sebesar Rp. 150.000.
Penghitungan PPh Pasal 21 adalah:
Upah Januari 2013 (20 x Rp.150.000) Rp. 3.000.000
Penghasilan neto setahun
12 x Rp3.000.000 Rp. 36.000.000
PTKP (K/-)
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
 tambahan WP kawin Rp. 2.025.000
Rp. 26.325.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 9.675.000
PPh Pasal 21 setahun
5% x Rp.9.675.000 Rp. 483.750
PPh Pasal 21 sebulan:
Rp.483.750 ÷ 12 Rp. 40.312

Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 21 atas Jasa Produksi, Tantiem,


Gratifikasi yang diterima Mantan Pegawai, Honorarium Komisaris yang
Bukan Sebagai Pegawai Tetap dan Penarikan Dana Pensiun oleh Peserta
Program Pensiun yang Masih Berstatus Sebagai Pegawai.
Pembayaran Penghasilan kepada Mantan Pegawai
Contoh
Arif Budiman berstatus menikah dan bekerja pada PT. Karya Medika. Pada
Januari 2013, ia dinyatakan pensiun dan atas kontribusinya terhadap perusahaan,
pada Maret 2013 ia menerima jasa produksi tahun 2012 dari PT. Karya Medika
sebesar Rp.55.000.000.
PPh Pasal 21 terutang:
5% x Rp.50.000.000 Rp. 2.500.000
15% x Rp.5.000.000 Rp. 750.000
PPh Pasal 21 yang harus dipotong Rp. 3.250.000

164 - Dasar-Dasar Perpajakan


Apabila dalam tahun kalender yang bersangkutan, dibayarkan penghasilan kepada
mantan pegawai lebih dari satu kali, maka PPh Pasal 21 atas pembayaran
penghasilan yang berikutnya dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1)
huruf a Undang-Undang PPh atas jumlah penghasilan bruto yang diterima dengan
memperhitungkan penghasilan yang telah diterima sebelumnya.

Honorarium Komisaris yang Tidak Merangkap Sebagai Pegawai Tetap


Contoh
Rahman adalah komisaris PT. Abadi, yang bukan pegawai tetap. Di tahun 2013,
yaitu pada bulan Desember 2013, ia menerima honorarium sebesar
Rp.75.000.000.
PPh Pasal 21 terutang:
5% x Rp.50.000.000 Rp. 2.500.000
15% x Rp.25.000.000 Rp. 3.750.000
PPh Pasal 21 yang harus dipotong Rp. 6.250.000

Apabila dalam tahun kalender yang bersangkutan, dibayarkan penghasilan kepada


mantan pegawai lebih dari satu kali, maka PPh Pasal 21 atas pembayaran
penghasilan yang berikutnya dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1)
huruf a Undang-Undang PPh atas jumlah penghasilan bruto yang diterima dengan
memperhitungkan penghasilan yang telah diterima sebelumnya.

Penarikan Dana Pensiun Oleh Peserta Program Pensiun yang Masih


Berstatus Sebagai Pegawai
Aripin adalah pegawai PT. Mitra Sejati yang menerima gaji sebesar Rp. 2.000.000
perbulan. PT. Mitra Sejati mengikuti program pensiun untuk para pegawainya. PT
Mitra Sejati membayar iuran dana pensiun untuk Aripin sebesar Rp.100.000
perbulan ke Dana Pensiun Abadi, yang merupakan dana pensiun yang dibentuk
bagi pengelolaan uang pensiun pegawai PT . Mitra Sejati yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan. Aripin membayar iuran serupa ke dana pensiun
yang sama sebesar Rp.50.000 perbulan.
Pada bulan April 2013, Aripin memerlukan biaya untuk perbaikan rumahnya. Ia
mengambil iuran dana pensiun yang telah dibayar sendiri sebesar Rp. 20.000.000.
Kemudian, pada Juni 2013, ia menarik lagi dana sebesar Rp. 15.000.000.
Kemudian pada Oktober 2013 ia menarik lagi dananya sebesar Rp. 25.000.000
untuk keperluan lainnya.
Penghitungan PPh Pasal 21 adalah:
 atas penarikan dana sebesar Rp. 20.000.000 pada April 2013 terutang PPh
Pasal 21 sebesar
5% x Rp20.000.000 = Rp. 1.000.000
 atas penarikan dana sebesar Rp. 15.000.000 pada Juni 2013 terutang PPh
Pasal 21 sebesar
5% x Rp15.000.000 = Rp. 750.000
 atas penarikan dana sebesar Rp25.000.000 pada Oktober 2013 terutang PPh
Pasal 21 sebesar:

Dasar-Dasar Perpajakan - 165


5% x Rp.15.000.000 Rp. 750.000
15% x Rp.10.000.000 Rp. 1.500.000
Rp. 2.250.000

Penghitungan PPh Pasal 21 Bagi Bukan Pegawai


Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan yang Diterima oleh Bukan
Pegawai yang Memperoleh Penghasilan yang Bersifat Berkesinambungan.
Contoh
Jasa Dokter yang praktik di Rumah Sakit dan/atau klinik
Dokter Heru, Sp.THT melakukan praktik di Rumah Sakit Sejahtera dengan
perjanjian bahwa setiap jasa dokter yang dibayarkan oleh pasien akan dipotong
20% oleh rumah sakit sebagai penghasilan rumah sakit. Kemudian sisanya 80%
dari jasa dokter tersebut akan dibayarkan pada dokter yang bersangkutan setiap
bulan. Dokter Heru juga membuka praktik sendiri di rumahnya. Dokter Heru telah
memiliki NPWP. Dan pada tahun 2013, jasa dokter yang dibayarkan pasien dari
praktik dr. Heru di Rumah Sakit Sejahtera adalah:

Bulan Jasa Dokter yang Dibayar Pasien (Rp)


Januari (30.000.000
Februari (35.000.000
Maret (40.000.000
April (35.000.000
Mei (47.000.000
Juni (30.000.000
Juli (40.000.000
Agustus (35.000.000
September (40.000.000
Oktober (35.000.000
November (30.000.000
Desember (40.000.000
Jumlah 437.000.000

Penghitungan PPh Pasal 21 untuk Januari–Desember 2013 adalah

Bulan Jasa yang Dasar Dasar Tarif PPh Pasal 21


dibayar pasien Pemotongan Pemotongan Pasal 17 terutang (Rp)
(Rp) PPh Pasal 21 PPh Pasal 21 ayat (1)
(Rp) kumulatif (Rp) huruf a
UU PPh
(1) (2) (3) = 50% x (2) (4) (5) (6) = (3) x (5)
Januari 30.000.000 15.000.000 15.000.000 5% 750.000
Februari 35.000.000 17.500.000 32.500.000 5% 875.000
Maret 40.000.000 17.500.000 50.000.000 5% 875.000
2.500.000 52.500.000 15% 375.000

166 - Dasar-Dasar Perpajakan


Bulan Jasa yang Dasar Dasar Tarif PPh Pasal 21
dibayar pasien Pemotongan Pemotongan Pasal 17 terutang (Rp)
(Rp) PPh Pasal 21 PPh Pasal 21 ayat (1)
(Rp) kumulatif (Rp) huruf a
UU PPh
April 35.000.000 17.500.000 70.000.000 15% 2.625.000
Mei 47.000.000 23.500.000 93.500.000 15% 3.525.000
Juni 30.000.000 15.000.000 108.500.000 15% 2.250.000
Juli 40.000.000 20.000.000 128.500.000 15% 3.000.000
Agustus 35.000.000 17.500.000 146.000.000 15% 2.625.000
September 40.000.000 20.000.000 166.000.000 15% 3.000.000
Oktober 35.000.000 17.500.000 183.500.000 15% 2.625.000
November 30.000.000 15.000.000 198.500.000 15% 2.250.000
Desember 40.000.000 20.000.000 218.500.000 15% 3.000.000
Jumlah 437.000.000 218.500.000 27.775.000

Apabila dr. Heru tidak memiliki NPWP, maka PPh Pasal 21 terutangnya menjadi
sebesar 120% dari PPh Pasal 21 terutang sebagaimana contoh di atas.

Contoh
Penghitungan PPh Pasal 21 atas Komisi yang Dibayarkan kepada Petugas
Dinas Luar Asuransi (Bukan Sebagai Pegawai Perusahaan Asuransi)
Siti Aminah adalah petugas dinas luar asuransi dari PT. Smart Life. Suami Siti
Aminah telah terdaftar sebagai wajib pajak dan memiliki NPWP, dan yang
bersangkutan bekerja pada PT. Sentosa. Siti Aminah telah menyampaikan fotokopi
surat nikah dan fotokopi kartu keluarga kepada pemotong pajak. Siti Aminah hanya
memperoleh penghasilan dari kegiatannya sebagai petugas dinas luar asuransi,
dan telah menyampaikan surat pernyataan yang menerangkan hal tersebut
kepada PT. Smart Life. Pada tahun 2013, penghasilan yang diterima oleh Siti
Aminah sebagai petugas dinas luar asuransi dari PT. Smart Life tersebut adalah:

Bulan Komisi Agen (Rp)


Januari 38.000.000
Februari 38.000.000
Maret 41.000.000
April 42.000.000
Mei 44.000.000
Juni 45.000.000
Juli 45.000.000
Agustus 48.000.000
September 50.000.000
Oktober 52.000.000

Dasar-Dasar Perpajakan - 167


Bulan Komisi Agen (Rp)
November 55.000.000
Desember 56.000.000
Jumlah 554.000.000

Penghitungan PPh Pasal 21 untuk Januari–Desember 2013 adalah:

Bulan Penghasilan 50% dari PTKP PKP (Rp) PKP Tarif PPh Pasal
Bruto (Rp) Penghasilan sebulan Kumulatif Pasal 21 terutang
bruto (Rp) (Rp) (Rp) 17 (Rp)
ayat
(1)
huruf
a UU
PPh

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)=(5)x(7)

Jan 38.000.000 19.000.000 2.025.000 16.975.000 16.975.000 5% 848.750

Feb 38.000.000 19.000.000 2.025.000 16.975.000 33.950.000 5% 848.750

Mar 41.000.000 20.500.000 2.025.000 16.050.000 50.000.000 5% 802.500


2.425.000 52.425.000 363.750

Apr 42.000.000 21.000.000 2.025.000 18.975.000 71.400.000 15% 2.846.250

Mei 44.000.000 22.000.000 2.025.000 19.975.000 91.375.000 15% 2.996.250

Jun 45.000.000 22.500.000 2.025.000 20.475.000 111.850.000 15% 3.071.250

Jul 45.000.000 22.500.000 2.025.000 20.475.000 132.325.000 15% 3.071.250

Agt 48.000.000 24.000.000 2.025.000 21.975.000 154.300.000 15% 3.296.250

Sept 50.000.000 25.000.000 2.025.000 22.975.000 177.275.000 15% 3.446.250

Okt 52.000.000 26.000.000 2.025.000 23.975.000 201.250.000 15% 3.596.250

Nov 55.000.000 27.500.000 2.025.000 25.475.000 226.725.000 15% 3.821.250

Des 56.000.000 28.000.000 2.025.000 23.275.000 250.000.000 15% 3.491.250


2.700.000 252.700.000 25% 675.000

Jml 554.000.000 277.000.000 33.175.000

Dalam hal Siti Aminah tidak dapat menunjukan fotokopi kartu NPWP suami,
fotokopi surat nikah dan fotokopi kartu keluarga, dan Siti Aminah sendiri tidak
memiliki NPWP, maka Penghitungan PPh Pasal 21 terutang adalah sebesar 120%
dari PPh Pasal 21 terutang sebagaimana contoh di atas. Masih melanjutkan
contoh di atas, sebagaimana penghitungan berikut ini.

168 - Dasar-Dasar Perpajakan


Bulan Penghasilan Dasar Dasar Tarif Tarif PPh Pasal 21
Bruto (Rp) Pemotongan Pemotongan Pasal Tidak terutang (Rp)
PPh Pasal 21 PPh Pasal 21 17 Memiliki
(Rp) kumulatif(Rp) ayat NPWP
(1)
huruf a
UU
PPh
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)=(3)x(5)x(6)
Jan 38.000.000 19.000.000 19.000.000 5% 120% 1.140.000
Feb 38.000.000 19.000.000 38.000.000 5% 120% 1.140.000
Mar 41.000.000 12.000.000 50.000.000 5% 120% 720.000
8.500.000 58.500.000 15% 120% 1.530.000
Apr 42.000.000 21.000.000 79.500.000 5% 120% 3.780.000
Mei 44.000.000 22.000.000 101.500.000 15% 120% 3.960.000
Jun 45.000.000 22.500.000 124.000.000 15% 120% 4.050.000
Jul 45.000.000 22.500.000 146.500.000 15% 120% 4.050.000
Agt 48.000.000 24.000.000 170.500.000 15% 120% 4.320.000
Sept 50.000.000 25.000.000 195.500.000 15% 120% 4.500.000
Okt 52.000.000 26.000.000 221.500.000 15% 120% 4.680.000
Nov 55.000.000 27.500.000 249.000.000 15% 120% 4.950.000
Des 56.000.000 1.000.000 250.000.000 25% 120% 180.000
27.000.000 277.000.000 120% 8.100.000
Jml 554.000.000 277.000.000 47.100.000

Dalam hal ini, suami Siti Aminah atau Siti Aminah sendiri telah memiliki NPWP,
tetapi Siti Aminah memiliki penghasilan lain di luar kegiatannya sebagai petugas
dinas luar asuransi, maka penghitungan PPh Pasal 21 terutang yang bersangkutan
adalah sebagaimana contoh di atas, tetapi tidak dikenakan tarif 20% lebih tinggi
karena yang bersangkutan atau suaminya telah memiliki NPWP.

Bukan Pegawai yang Menerima Imbalan yang Tidak Bersifat


Berkesinambungan
Contoh
Maulana adalah seorang bintang iklan yang menerima fee sebesar Rp10.000.000
atas iklan parfum yang dibintanginya.
PPh Pasal 21 yang terutang adalah:
5% x 50% x Rp.10.000.000 = Rp.250.000
Dalam hal Maulana tidak memiliki NPWP, maka PPh Pasal 21 yang terutang
adalah:
120% x 5% x Rp.10.000.000 = Rp.600.000

Contoh
Mario telah melakukan jasa perbaikan komputer terhadap PT. Bintang Gemilang
dengan bayaran sebesar Rp.5.000.000

Dasar-Dasar Perpajakan - 169


Besarnya PPh Pasal 21 yang terutang adalah:
5% x 50% x Rp.5.000.000 = Rp.125.000
Dalam hal Mario tidak memiliki NPWP, maka besarnya PPh Pasal 21 yang
terutang adalah:
120% x 5% x Rp.5.000.000 = Rp.150.000

Contoh
Amron adalah seorang penceramah. Ia melakukan ceramah pada hari ulang tahun
PT. Indah Karya dan menerima honorarium sebesar Rp.20.000.000
Besarnya PPh Pasal 21 yang terutang adalah:
5% x 50% x Rp.20.000.000 = Rp.500.000

Contoh
Fergansyah adalah seorang penyanyi. Ia telah melakukan konser di kota
Yogyakarta dan menerima honorarium sebesar Rp.50.000.000
Besarnya PPh Pasal 21 yang terutang adalah:
5% x 50% x Rp.50.000.000 = Rp.1.250.000

Contoh Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 21 Atas Penghasilan yang


Diterima oleh Bukan Pegawai, sehubungan dengan Pemberian Jasa yang
dalam Pemberian Jasanya Mempekerjakan Orang Lain sebagai Pegawainya
dan/atau Melakukan Penyerahan Material/Bahan
Contoh
Farid Anwar melakukan jasa perawatan Mesin kepada PT. Mekar Abadi dengan
imbalan Rp.10.000.000. Farid Anwar mempergunakan 5 orang pekerja dengan
membayarkan upah harian masing-masing sebesar Rp.180.000. Upah harian yang
dibayarkan untuk lima orang selama melakukan pekerjaan totalnya sebesar
Rp.4.500.000. Selain itu, Farid Anwar juga membeli spare part mesin yang dipakai
untuk perawatan mesin sebesar Rp. 1.000.000.
Penghitungan PPh Pasal 21 terutang adalah:
a) Dalam hal berdasarkan perjanjian serta dokumen yang diberikan Farid
Anwar, dapat diketahui bagian imbalan bruto yang merupakan upah yang
harus dibayarkan kepada pekerja harian yang dipekerjakan oleh Farid Anwar
dan biaya untuk membeli spare part mesin. Dengan demikian jumlah imbalan
bruto sebagai dasar penghitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong PT.
Mekar Abadi atas imbalan yang diberikan kepada Farid Anwar adalah
sebesar imbalan bruto dikurangi bagian upah tenaga kerja harian yang
dipekerjakan Farid Anwar dan biaya spare part mesin. Sebagaimana
penghitungan dalam contoh di bawah ini:
Rp.10.000.000–Rp.4.500.000–Rp.1.000.000= Rp. 4.500.000
PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh PT. Mekar Abadi atas penghasilan
yang diterima Farid Anwar adalah:
5% x 50% x Rp.4.500.000 = Rp. 112.500
Jika Farid Anwar tidak memiliki NPWP, maka PPh Pasal 21 yang harus
dipotong oleh PT Mekar Abadi menjadi:
120% x 5% x 50% x Rp.4.500.000 = Rp. 135.000

170 - Dasar-Dasar Perpajakan


b) Dalam hal PT. Mekar Abadi tidak memperoleh informasi berdasarkan
perjanjian yang dilakukan atau dokumen yang diberikan oleh Farid Anwar
mengenai upah yang harus dikeluarkan Farid Anwar atau pembelian material
maupun bahan, PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh PT Mekar Abadi
berjumlah sebesar:
5% x 50% x Rp. 10.000.000 = Rp. 250.000
Jika Farid Anwar tidak memiliki NPWP, maka PPh Pasal 21 yang harus
dipotong oleh PT Mekar Abadi menjadi:
5% x 120% x 50% x Rp10.000.000 = Rp300.000
Catatan: Pembayaran upah harian kepada masing-masing pekerja wajib
dipotong PPh Pasal 21 oleh Farid Anwar.

Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 21 Terhadap Peserta Kegiatan yang


Menerima atau Memperoleh Penghasilan Sehubungan dengan
Keikutsertaannya dalam Suatu Kegiatan
Tarif berdasarkan Pasal 17 atau (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan
ditetapkan atas jumlah penghasilan bruto untuk setiap kali pembayaran yang
bersifat utuh dan tidak dipecah yang diterima oleh peserta kegiatan.
Contoh
Ridwan adalah seorang pemain tenis profesional. Pada bulan Maret tahun 2013, ia
menjuarai Indonesia Open dan menerima hadiah sebesar Rp.150.000.000
PPh Pasal 21 terutang adalah:
5% x Rp. 50.000.000 Rp. 2.500.000
15% x Rp.100.000.000 Rp. 15.000.000
PPh Pasal 21 yang harus dipotong Rp. 17.500.000

Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah

Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung pemerintah diberikan kepada


pekerja yang bekerja pada pemberi kerja yang berusaha pada kategori usaha
tertentu, dengan jumlah penghasilan bruto di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak
dan tidak lebih dari Rp. 5.000.000 dalam satu bulan, serta telah memiliki NPWP.
Besarnya PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah yang diterima pekerja adalah
sebesar pajak terutang berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak
Penghasilan dan tidak termasuk kenaikan tarif pajak sebesar 20% lebih tinggi bagi
pekerja yang belum memiliki NPWP sebagaimana dimaksuda dalam Pasal 21 ayat
(5a) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Kategori usaha tertentu di atas terdiri dari:
1. kategori usaha pertanian termasuk perkebunan dan peternakan, perburuan,
serta kehutanan;
2. kategori usaha perikanan; dan
3. kategori usaha industri pengolahan,
Sebagaimana tercantum dalam PMK No. 43/PMK.03/2009 (Lampiran 4
dalam CD buku ini) tentang pajak penghasilan Pasal 21 ditanggung pemerintah
atas penghasilan pekerja pada kategori usaha tertentu.

Dasar-Dasar Perpajakan - 171


Contoh Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah
Atas Penghasilan Pekerja pada Kategori Usaha Tertentu
Contoh 1
Suwito adalah pegawai tetap di PT. Merpati Citra. PT. Merpati Citra adalah
perusahaan yang bergerak di kategori usaha industri pertenunan dengan
Klasifikasi Lapangan usaha 17114. Pada Maret 2009 Suwito memperoleh gaji
beserta tunjangan berupa uang sebesar Rp. 5.000.000 dan membayar uang
pensiun sebesar Rp. 25.000. Suwito menikah dan memiliki 2 orang anak (status
K/2).
Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang Maret 2009:
Penghasilan bruto sebulan Rp. 5.000.000
Pengurangan:
1. Biaya jabatan (5% x Rp.5.000.000) Rp. 250.000
2. Iuran Pensiun Rp. 25.000
Rp. 275.000
Penghasilan neto sebulan Rp. 4.725.000
Penghasilan neto setahun 12 x Rp.4.725.000 Rp. 56.700.000
PTKP setahun:
 untuk WP sendiri Rp. 24.300.000
 tambahan WP kawin Rp. 2.025.000
 tambahan untuk 2 orang anak Rp. 4.050.000
Rp. 30.375.000
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp. 26.325.000
PPh Pasal 21 terutang setahun:
5% x Rp.26.325.000 Rp. 1.316.250
PPh Pasal 21 sebulan:
Rp. 1.316.250 ÷ 12 Rp. 109.688

Besarnya penghasilan yang diterima Suwito apabila PPh Pasal 21 tidak


ditanggung Pemerintah:
Penghasilan bruto sebulan Rp. 5.000.000)
Dikurangi iuran pensiun Rp. (25.000)
Dikurangi PPh Pasal 21 terutang Rp. (109.688)
Besarnya penghasilan yang diterima Rp. 4.821.250)
Besarnya penghasilan yang diterima Umar apabila PPh Pasal 21 ditanggung
Pemerintah:
Besarnya penghasilan jika
PPh Pasal 21 tidak ditanggung Pemerintah Rp. 4.821.250
Ditambah PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah Rp. 153.750
Besarnya penghasilan yang diterima Rp. 4.865.312

Contoh 2
Ridwan Himawan adalah seorang pegawai dari PT. Jaya Sentosa. PT, Jaya
Sentosa adalah perusahaan yang bergerak di bidang usaha industri pertenunan
dengan Klasifikasi Lapangan Usaha 17114. Pada bulan Maret 2009 Ridwan
Himawan memperoleh gaji sebesar Rp. 4.000.000 dan membayar iuran pensiun

172 - Dasar-Dasar Perpajakan


sebesar Rp. 25.000. Selama ini PPh Pasal 21 yang terutang ditanggung oleh PT
Jaya Sentosa. Ridwan Himawan telah menikah dan memiliki 2 orang anak (status
K/2).
Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang Maret 2009:
Gaji Rp. 4.000.000
Pengurangan:
1. Biaya jabatan (5% x Rp4.000.000) Rp. 200.000
2. Iuran Pensiun Rp. 25.000
Rp. 225.000
Penghasilan neto sebulan Rp. 3.775.000
Penghasilan neto setahun 12 x Rp.3.775.000 Rp. 45.300.000
PTKP setahun:
 untuk WP sendiri Rp. 15.840.000
 tambahan WP kawin Rp. 1.320.000
 tambahan untuk 2 orang anak Rp. 2.640.000
Rp. 19.800.000
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp. 25.500.000
PPh Pasal 21 terutang setahun:
5% x Rp.25.500.000 Rp. 1.275.000
PPh Pasal 21 terutang sebulan:
Rp. 1.275.000 ÷ 12 Rp. 106.250

Besarnya penghasilan yang diterima Ridwan Himawan apabila PPh Pasal 21 tidak
ditanggung Pemerintah:
Gaji Rp 4.000.000)
Dikurangi iuran pensiun Rp (25.000)
Besarnya penghasilan yang diterima Rp 3.975.000)

Besarnya penghasilan yang diterima Ridwan Himawan apabila PPh Pasal 21


ditanggung Pemerintah:
Besarnya penghasilan jika
PPh Pasal 21 tidak ditanggung Pemerintah Rp. 3.975.000
Ditambah PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah Rp. 106.250
Besarnya penghasilan yang diterima Rp 4.081.250

Catatan: Dikarenakan selama ini PT Jaya Sentosa menanggung PPh Pasal 21,
maka PPh yang ditanggung tersebut tidak dapat dibebankan sebagai biaya
perusahaan.

Contoh 3
Muslih adalah pegawai tetap di PT. Sari Kertas. PT. Sari Kertas merupakan
perusahaan yang bergerak pada kategori usaha industri bubur kertas dengan
Klasifikasi Lapangan Usaha 21011. Pada bulan April 2009, Muslih memperoleh
gaji sebesar Rp. 2.500.000 dan diberikan tunjangan PPh Pasal 21 sebesar Rp.
30.000. Iuran Pensiun yang dibayar Muslih adalah sebesar Rp. 25.000. Muslih
menikah dan memiliki 2 orang anak (status K/2).

Dasar-Dasar Perpajakan - 173


Penghitungan PPh Pasal 21 yang terutang April 2009:
Gaji sebulan Rp. 2.500.000
Tunjangan PPh Pasal 21 Rp. 30.000
Penghasilan bruto sebulan Rp. 2.530.000
Pengurangan:
1. Biaya jabatan (5% x Rp2.530.000) Rp. 126.500
2. Iuran Pensiun Rp. 25.000
Rp. 151.500
Penghasilan neto sebulan Rp. 2.378.500
Penghasilan neto setahun 12 x Rp.2.378.500 Rp. 28.542.000
PTKP setahun:
 untuk WP sendiri Rp. 15.840.000
 tambahan WP kawin Rp. 1.320.000
 tambahan untuk 2 orang anak Rp. 2.640.000
Rp. 19.800.000
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp 8.742.000
PPh Pasal 21 terutang setahun:
5% x Rp.8.742.000 Rp. 437.100
PPh Pasal 21 terutang sebulan:
Rp. 437.100 ÷ 12 Rp. 36.425

Besarnya penghasilan yang diterima Muslih apabila PPh Pasal 21 Tidak


Ditanggung Pemerintah:
Penghasilan bruto sebulan Rp. 2.530.000)
Dikurangi iuran pensiun Rp. (25.000)
Dikurangi PPh Pasal 21 terutang Rp. (36.425)
Besarnya penghasilan yang diterima Rp. 2.468.575

Besarnya penghasilan yang diterima Muslih apabila PPh Pasal 21 ditanggung


Pemerintah:
Besarnya penghasilan jika
PPh Pasal 21 tidak ditanggung Pemerintah Rp. 2.468.575
Ditambah PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah Rp. 36.425
Besarnya penghasilan yang diterima Rp. 2.505.000
Contoh 4
Pada bulan Mei 2009, selain memperoleh gaji beserta tunjangan PPh Pasal 21
sebesar Rp2.530.000, Muslih juga menerima bonus sebesar Rp. 5.000.000.
Karena penghasilan Muslih pada Mei 2009 totalnya telah melebihi Rp. 5.000.000
(gaji dan tunjangan PPh Pasal 21 sebesar Rp. 2.530.000 serta bonus sebesar Rp.
5.000.000, sehingga total penghasilannya menjadi Rp. 7.530.000) maka seluruh
PPh Pasal 21 terutang atas penghasilan Muslih pada bulan Mei 2009 harus
dipotong dan disetor oleh pemberi kerja. Dengan demikian, Muslih pada Mei 2009
tidak mendapat Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah.

174 - Dasar-Dasar Perpajakan


Contoh 5
Hamzah bekerja pada PT Hijau Makmur pada Juni 2009 sebagai tenaga harian
lepas. PT Hijau Makmur merupakan perusahaan yang bergerak pada kategori
perkebunan dengan Klasifikasi Lapangan Usaha 01115. Ia bekerja selama enam
hari dan menerima upah harian sebesar Rp. 200.000. Hamzah belum menikah
(status TK/0).
Penghitungan PPh Pasal 21 terutang:
Upah sehari Rp. 200.000
Dikurangi batas upah harian tidak dilakukan
pemotongan PPh (Sesuai Peraturan
Menteri Keuangan No.254/PMK.03/2008) Rp. 150.000
Penghasilan Kena Pajak sehari Rp. 50.000
PPh Pasal 21 terutang sehari
5% x Rp.50.000 Rp. 2.500
Jumlah PPh Pasal 21 terutang selama enam hari:
6 x Rp.2.500 Rp. 15.000

Besarnya penghasilan yang diterima Hamzah apabila PPh Pasal 21 Tidak


Ditanggung Pemerintah:
Penghasilan bruto berupa upah harian pada Juni 2009
6 x Rp.200.000 Rp. 1.200.000)
Dikurangi PPh Pasal 21 terutang Rp. (15.000)
Besarnya penghasilan yang diterima Rp. 1.185.000)

Besarnya penghasilan yang diterima Hamzah apabila PPh Pasal 21 ditanggung


Pemerintah:
Besarnya penghasilan jika
PPh Pasal 21 tidak ditanggung Pemerintah Rp. 1.185.000
Ditambah PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah Rp. 15.000
Besarnya penghasilan yang diterima Rp 1.200.000

Dasar-Dasar Perpajakan - 175


LAMPIRAN

SPT PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26

176 - Dasar-Dasar Perpajakan


area staples

SURAT PEMBERITAHUAN (SPT) MASA


PAJAK PENGHASILAN FORMULIR 1721
PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26
Formulir ini digunakan untuk melaporkan
KEMENTERIAN KEUANGAN RI Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau
a re a b a rco de
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK Pasal 26
Bacalah petunjuk pengisian sebelum mengisi formulir ini JUMLAH LEMBAR SPT
MASA PAJAK : SPT SPT TERMASUK LAMPIRAN :
[mm - yyyy] H. 0 1 - H. 0 2 NORMAL H. 0 3 PEMBETULAN KE - H. 0 4 ( D I I S I OL EH P ET U GA S )
H. 0 5 H. 0 6

A. IDENTITAS PEMOTONG
1. NPWP : A .0 1 - .

2. NAMA : A .0 2

3. ALAMAT : A .0 3

4. NO. TELEPON : A . 0 4 5. EMAIL : A .0 5

B. OBJEK PAJAK
JUMLAH
KODE OBJEK JUMLAH PENGHASILAN JUMLAH PAJAK
NO PENERIMA PENGHASILAN PENERIMA
PAJAK BRUTO (Rp) DIPOTONG (Rp)
PENGHASILAN
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1. PEGAWAI TETAP 21-100-01

2. PENERIMA PENSIUN BERKALA 21-100-02

3. PEGAWAI TIDAK TETAP ATAU TENAGA KERJA LEPAS 21-100-03

4. BUKAN PEGAWAI

4a. DISTRIBUTOR MULTILEVEL MARKETING (MLM) 21-100-04

4b. PETUGAS DINAS LUAR ASURANSI 21-100-05

4c. PENJAJA BARANG DAGANGAN 21-100-06

4d. TENAGA AHLI 21-100-07

BUKAN PEGAWAI YANG MENERIMA IMBALAN YANG BERSIFAT


4e. 21-100-08
BERKESINAMBUNGAN
BUKAN PEGAWAI YANG MENERIMA IMBALAN YANG TIDAK
4f. 21-100-09
BERSIFAT BERKESINAMBUNGAN
ANGGOTA DEWAN KOMISARIS ATAU DEWAN PENGAWAS YANG
5. 21-100-10
TIDAK MERANGKAP SEBAGAI PEGAWAI TETAP
MANTAN PEGAWAI YANG MENERIMA JASA PRODUKSI, TANTIEM,
6. 21-100-11
BONUS ATAU IMBALAN LAIN

7. PEGAWAI YANG MELAKUKAN PENARIKAN DANA PENSIUN 21-100-12

8. PESERTA KEGIATAN 21-100-13

PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPH PASAL 21 TIDAK


9. 21-100-99
FINAL LAINNYA
PEGAWAI/PEMBERI JASA/PESERTA KEGIATAN/PENERIMA PENDIUN
10. 27-100-99
BERKALA SEBAGAI WAJIB PAJAK LUAR NEGERI
11. JUMLAH (PENJUMLAHAN ANGKA 1 S.D. 10)

PENGHITUNGAN PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26 YANG KURANG (LEBIH) DISETOR JUMLAH (Rp)

12. STP PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26 (HANYA POKOK PAJAK) B .0 1

13. KELEBIHAN PENYETORAN PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26 DARI

MASA PAJAK B .0 2 B .0 3

01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 TAHUN KALENDER [YYYY]

14. JUMLAH (ANGKA 12 + ANGKA 13) B .0 4

15. PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26 YANG KURANG (LEBIH) DISETOR (ANGKA 11 KOLOM 6 - ANGKA 14) B .0 5

LA NJUTKA N P ENGISIA N P A DA A NGKA 16 & 17 A P A B ILA SP T P EM B ETULA N DA N/A TA U P A DA A NGKA 18 A P A B ILA P P h LEB IH DISETOR

16. PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26 YANG KURANG (LEBIH) DISETOR PADA SPT YANG DIBETULKAN
B .0 6

(P INDA HA N DA RI B A GIA N B A NGKA 15 DA RI SP T YA NG DIB ETULKA N)

17. PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26 YANG KURANG (LEBIH DISETOR KARENA PEMBETULAN (A NGKA 15 - A NGKA 16) B . 0 7

18. KELEBIHAN SETOR PADA ANGKA 15 ATAU ANGKA 17 AKAN DIKOMPENSASIKAN PADA MASA PAJAK (mm - yyyy) B .0 8
-
HALAMAN 1

Dasar-Dasar Perpajakan - 177


area staples

NPWP PEMOTONG : B .0 9 - . FORMULIR 1721

C. OBJEK PAJAK FINAL


JUMLAH
KODE OBJEK JUMLAH PENGHASILAN JUMLAH PAJAK
NO PENERIMA PENGHASILAN PENERIMA
PAJAK BRUTO (Rp) DIPOTONG (Rp)
PENGHASILAN

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1. PENERIMA UANG PESANGON YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS 21-401-01


P ENERIM A UA NG M A NFA A T P ENSIUN, TUNJA NGA N HA RI TUA A TA U
2. JA M INA N HA RI TUA DA N P EM B A YA RA N SEJENIS YA NG DIB A YA RKA N 21-401-02
SEKA LIGUS
P EJA B A T NEGA RA , P EGA WA I NEGERI SIP IL, A NGGOTA TNI/P OLRI DA N
3. P ENSIUNA N YA NG M ENERIM A HONORA RIUM DA N IM B A LA N LA IN YA NG 21-402-01
DIB EB A NKA N KEP A DA KEUA NGA N NEGA RA /DA ERA H

PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PPh PASAL 21 FINAL


4. 21-499-99
LAINNYA

5. JUMLAH BAGIAN C (PENJUMLAHAN ANGKA 1 S.D. 4)

D. LAMPIRAN
1. FORMULIR 1721 - I LEMBAR 5. FORMULIR 1721 - IV LEMBAR
D . 0 1 (Untuk Satu M asa P ajak) D .0 2 D .0 9 D . 10

2. FORMULIR 1721 - I 6. FORMULIR 1721 - V


LEMBAR
D . 0 3 (Untuk Satu Tahun P ajak) D .0 4 D . 11

3. FORMULIR 1721 - II 7. SURAT SETORAN PAJAK (SSP)


LEMBAR LEMBAR
D .0 5 D .0 6 D . 12 DA N/A TA U B UKTI P EM INDA HB UKUA N (P bk) D . 13

4. FORMULIR 1721 - IIII 8. SURAT KUASA KHUSUS


LEMBAR
D .0 7 D .0 8 D . 14

E. PENYATAAN DAN TANDA TANGAN PEMOTONG


Dengan menyadari sepenuhnya atas segala akibatnya termasuk sanksi-sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, saya menyatakan
bahwa apa yang telah saya beritahukan di atas beserta lampiran-lampirannya adalah benar, lengkap, dan jelas.

1. E. 0 1 PEMOTONG E. 0 2 KUASA 6. TANDA TANGAN :

2. NPWP : - .
E. 0 2

3. NAMA :
E. 0 2

4. TANGGAL : - -
E. 0 2

5. TEMPAT :
E. 0 2

HALAMAN 2

178 - Dasar-Dasar Perpajakan


DAFTAR PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEGAWAI TETAP DAN PENERIMA PENSIUN ATAU
TUNJANGAN HARI TUA/JAMINAN HARI TUA BERKALA SERTA BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIIL, ANGGOTA TENTARA NASIONAL
INDONESIA. ANGGOTA POLISI REPUBLIK INDONESIA, PEJABAT NEGARA DAN PENSIUNANNYA FORMULIR 1721 - I

KEMENTERIAN KEUANGAN RI MASA PAJAK : SATU M ASA PAJAK Lembar ke-1 : Untuk KPP
[mm - yyyy] -
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK H.0 1 SATU TAHUN PAJAK NPWP PEMOTONG : H.0 2 - . Lembar ke-2 : Untuk Pemotong
area staples

A. PEGAWAI TETAP DAN PENERIMAAN PENSIUN ATAU THT/JHT SERTA PNS, ANGGOTA TNI/POLRI. PEJABAT NEGARA DAN PENSIUNANNYA YANG PENGHASILANNYA MELEBIHI PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)

BUKTI PEMOTONGAN KODE OBJEK M ASA KODE


JUMLAH PENGHASILAN
NO. NPWP NAMA PPh DIPOTONG (Rp) PEROLEHAN NEGARA
NOMOR TANGGAL (dd-mm-yyyy) PAJAK BRUTO (Rp) PENGHASILAN DOM ISILI

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
JUMLAH A (PENJUM LAHAN ANGKA 1 S.D. ANGKA 20)
PEGAWAI TETAP DAN PENERIMAAN PENSIUN ATAU THT/JHT SERTA PNS, ANGGOTA TNI/POLRI. PEJABAT NEGARA
B. : ORANG
DAN PENSIUNANNYA YANG PENGHASILANNYA TIDAK MELEBIHI PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP) B .0 1

C. TOTAL (JUMLAH A + B)

Dasar-Dasar Perpajakan - 179


DAFTAR PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 (TIDAK FINAL)
DAN/ATAU PASAL 26 FORMULIR 1721 - II
Form ulir ini digunakan untuk m elaporkan pem otongan PPh dengan bukti pem otongan m enggunakan form ulir 1721-VI
KEMENTERIAN KEUANGAN RI MASA PAJAK : SATU M ASA PAJAK Lembar ke-1 : Untuk KPP
[mm - yyyy] -
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK H.0 1 SATU TAHUN PAJAK H.0 2 Lembar ke-2 : Untuk Pemotong
NPWP PEMOTONG : - .

BUKTI PEMOTONGAN KODE


KODE OBJEK JUMLAH PENGHASILAN
NO. NPWP NAMA PPh DIPOTONG (Rp) NEGARA
area staples

NOMOR TANGGAL (dd-mm-yyyy) PAJAK BRUTO (Rp) DOM ISILI

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)

1.

2.

180 - Dasar-Dasar Perpajakan


3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

JUMLAH (PENJUM LAHAN ANGKA 1 S.D. ANGKA 20)


DAFTAR PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21
(FINAL) FORMULIR 1721 - III
Form ulir ini digunakan untuk m elaporkan pem otongan PPh dengan bukti pem otongan m enggunakan form ulir 1721-VII
KEMENTERIAN KEUANGAN RI MASA PAJAK : SATU M ASA PAJAK Lembar ke-1 : Untuk KPP
[mm - yyyy] -
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK H.0 1 SATU TAHUN PAJAK NPWP PEMOTONG : H.0 2 - . Lembar ke-2 : Untuk Pemotong

BUKTI PEMOTONGAN KODE OBJEK JUMLAH PENGHASILAN


NO. NPWP NAMA PPh DIPOTONG (Rp)
PAJAK BRUTO (Rp)
area staples

NOMOR TANGGAL (dd-mm-yyyy)


(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

7
8

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

JUMLAH (PENJUMLAHAN ANGKA 1S.D. ANGKA 20)

Dasar-Dasar Perpajakan - 181


area staples
DAFTAR SURAT SETORAN PAJAK (SSP)
DAN/ATAU BUKTI PEMINDAHBUKUAN (PBk) FORMULIR 1721 - IV
UNTUK PEMOTONGAN PAJAK
KEMENTERIAN KEUANGAN RI PENGHASILAN PASAL 21 Lembar ke-1 : Untuk KPP
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DAN/ATAU PASAL 26 Lembar ke-2 : Untuk Pemotong

MASA PAJAK :
NPWP PEMOTONG :
[ mm - yyyy]H.0 1 - H.0 2
- -

KODE JENIS
KODE AKUN TGL SSP/BUKTI Pbk
NO SETORA N NTPN/NOMOR BUKTI Pbk JUMLAH PPh DISETOR KET
PAJAK (KAP) (KJS) [dd - mm - yyy]
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1

6
7

10

11

12

13
14

15

16

17

18

19
20

JUMLAH (PENJUM LAHAN ANGKA 1 S.D. ANGKA 20)

KETERA NGA N :
KOLOM (7) DIISI DENGA N A NGKA :
0 : UNTUK SSP
1 : UNTUK SSP P P h P A SA L 21DITA NGGUNG P EM ERINTA H
2 : UNTUK B UKTI P B k

182 - Dasar-Dasar Perpajakan


area staples

DAFTAR BIAYA
FORMULIR 1721 - V
Lembar ke-1 : Unt uk KPP
Lembar ke-2 : Unt uk Pemot ong

KEMENTERIAN KEUANGAN RI Formulir ini hanya disampaikan pada masa pajak


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK Desember oleh Wajib Pajak yang tidak wajib
menyampaikan SPT Tahunan
MASA PAJAK :
NPWP PEMOTONG H. 0 2 :
[ mm - yyyy]H. 0 1 - - -

NO PERINCIAN JUMLAH (Rp)


(1) (2) (3)

1 GAJI, UPAH, BONUS, GRATIFIKASI, HONORARIUM, TUNJANGAN HARI RAYA, DLL

2 BIAYA TRANSPORTASI

3 BIAYA PENYUSUTAN DAN AMORTISASI


4 BIAYA SEWA

5 BIAYA BUNGA PINJAMAN

6 BIAYA SEHUBUNGAN DENGAN JASA

7 BIAYA PIUTANG TAK TERTAGIH

8 BIAYA ROYALTI

9 BIAYA PEMASARAN/PROMOSI

10 BIAYA LAINNYA

JUMLAH ( PENJUMLAHAN ANGKA 1S.D. ANGKA 10)

Dasar-Dasar Perpajakan - 183


area staples

DAFTAR BIAYA
BUKTI PEMOTONGAN PAJAK
PENGHASILAN PASAL 21 (TIDAK FINAL) FORMULIR 1721 - VI
ATAU PASAL 26 Lembar 1 : Untuk Penerima Penghasilan
Lembar 2 : Untung Pemotong
KEMENTERIAN KEUANGAN RI
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK NOMOR : 1 . 3 - - -
H.0
1

A. IDENTITAS PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG


1. NPWP : A.01 - - 2. NIK / NO. PASPOR : A.02

3. NAMA : A.03

4. ALAMAT : A.04

5. WAJIB PAJAK LUAR NEGERI : A.05 YA 6. KODE NEGARA DOMISILI: A.05

B. PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26 YANG DIPOTONG

TARIF LEBIH
JUMLAH DASAR PENGENAAN
TINGGI 20% TARIF PPh DIPOTONG
KODE OBJEK PAJAK PENGHASILAN BRUTO PAJAK
(TIDAK BER- (%) (Rp)
(Rp) (Rp)
NPWP)

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

- -

C. IDENTITAS PEMOTONG

C.01
1. NPWP : - - 3. TANGGAL & TANDA TANGAN

C.02 C.03
2. NAMA : - -
[dd - mm - yyyy]

KODE OBJEK PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 (TIDAK FINAL) ATAU PASAL 26

PPh PASAL 21 TIDAK FINAL


1. 21 - 100 - 03Upah Pegaw ai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas
2. 21 - 100 - 04Imbalan kepada Distributor Multi Level Marketing (MLM)
3. 21 - 100 - 05Imbalan kepada Petugas Dinas Luar Asuransi
4. 21 - 100 - 06Imbalan kepada Penjaja Barang Dagangan
5. 21 - 100 - 07Imbalan kepada Tenaga Ahli
6. 21 - 100 - 08Imbalan kepada Bukan Pegaw ai yang Menerima Penghasilan yang Bersifat Berkesinambungan
7. 21 - 100 - 09Imbalan kepada Bukan Pegaw ai yang Menerima Penghasilan yang Tidak Bersifat Berkesinambungan
8. 21 - 100 - 10Honorarium arau Imbalan kepada Anggota Dew an Kemisaris atau Dew an Pengaw as yang tidak Merangkap sebagai Pegaw ai Tetap
9 21 - 100 - 11Jasa Produksi, Tantiem, Bonus atau Imbalan Kepada Mantan Pegaw ai
10. 21 - 100 - 12Penarikan Dana Pensiun oleh Pegaw ai
11. 21 - 100 - 13Imbalan Kepada Peserta Kegiatan
12. 21 - 100 - 99Objek PPh Pasal 21 Tidak Final Lainnya

PPh PASAL 21 TIDAK FINAL


Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan, hadiah dan penghargaan, pensiun dan pembayaran berkala lainnya yang
1. 27 - 100 - 99
dipotong PPh Pasal 26

184 - Dasar-Dasar Perpajakan


area staples

DAFTAR BIAYA
BUKTI PEMOTONGAN PAJAK
PENGHASILAN PASAL 21 FORMULIR 1721 - VII
(FINAL) Lembar 1 : Untuk Penerima Penghasilan
Lembar 2 : Untung Pemotong
KEMENTERIAN KEUANGAN RI
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK NOMOR : 1 . 4 - - -
H.0
1

A. IDENTITAS PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG


1. NPWP :A .0 1 - - 2. NIK / NO. PASPOR : A .0 2

3. NAMA :A .0 3

4. ALAMAT :A .0 4

B. PPh PASAL 21 YANG DIPOTONG

JUMLAH PENGHASILAN BRUTO TARIF PPh DIPOTONG


KODE OBJEK PAJAK
(Rp) (%) (Rp)

(1) (2) (3) (4)

- -

C. IDENTITAS PEMOTONG

C .0 1
1. NPWP : - - 3. TANGGAL & TANDA TANGAN

2. NAMA : C .0 2 C .0 3
- -
[dd - mm - yyyy]

KODE OBJEK PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 (FINAL)

1 21 - 401 - 01Uang Pesangon yang Dibayarkan Sekaligus


2 21 - 401 - 02Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang Dibauarkan Sekaligus
3 21 - 402 - 01Honor dan Imbalan Lain yang Dibebankan kepada APBN atau APBD yang Diterima oleh PNS, Anggota TNI/POLRI, Pejabat Negara dan
Pensiunannya
4 21 - 499 - 99Objek PPh Pasal 21 Final Lainnya

Dasar-Dasar Perpajakan - 185


area staples

DAFTAR BIAYA PAJAK PENGHASILAN


BUKTI PEMOTONGAN
PASAL 21 BAGI PEGAWAI TETAP ATAU FORMULIR 1721 - A1
PENERIMA PENSIUN ATAU TUNJANGAN HARI Lembar 1 : Untuk Penerima Penghasilan
Lembar 2 : Untung Pemotong
TUA/JAMINAN HARI TUA BERKALA
KEMENTERIAN KEUANGAN RI M A SA PER OLEHA N
PEN GHA SILA N [ mm - mm]
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
NOMOR : H.0
1 . 1 - - - H.0 2 -

NPWP
- -
PEMOTONG : H.03

NAMA
PEMOTONG : H.04

A. IDENTITAS PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG

1. NPWP :A .0 1 - - 6. STATUS / JUMLAH TANGGUNGAN KELUARGA UNTUK PTKP


2. NIK/NO : K/ TK/ A .0 8 HB/ A .0 9
A .0 7
PASPOR A .0 2
3. NAMA :A .0 3 7. NAMA JABATAN :
A .10
4. ALAMAT : 8. KARYAWAN ASING : YA
A .0 4 A .11

9. KODE NEGARA DOMISILI :


A .12
5. JENIS KELAMIN :A .0 5 LAKI-LAKI A .0 6 PEREMPUAN

B. RINCIAN PENGHASILAN DAN PENGHITUNGAN PPh PASAL 21


URAIAN JUMLAH (Rp)
KOD E OB JEK P A JA K : 21-100-01 21-100-02

P EN GH A SILA N B R UT O :

1. GAJI/PENSIUN ATAU THT/JHT

2. TUNJANGAN PPh

3. TUNJANGAN LAINNYA. UANG LEM BUR DAN SEBAGAINYA

4. HONORARIUM DAN IM BALAN LAIN SEJENISNYA

5. PREM I ASURANSI YANG DIBAYAR PEM BERI KERJA

6. PENERIM AAN DALAM BENTUK NATURA DAN KENIKM ATAN LAINNYA YANG DIKENAKAN PEM OTONGAN PPh PASAL 21

7. TANTIEM , BONUS, GRATIFIKASI, JASA PRODUKSI DAN THR

8. JUM LAH PENGHASILAN BRUTO (1S.D. 7)

P EN GUR A N GA N :

9. BIAYA JABATAN/BIAYA PENSIUN

10. IURAN PENSIUN ATAU IURAN THT/JHT

11. JUM LAH PENGURANGAN ( 9 S.D. 10)

P EN GH IT UN GA N P P h P A SA L 21 :

12. JUM LAH PENGHASILAN NETTO (8 - 11)

13. PENGHASILAN NETO M ASA PAJAK SEBELUM NYA

14. JUM LAH PENGHASILAN NETO UNTUK PENGHITUNGAN PPh PASAL 21(SETAHUN/DISETAHUNKAN)

15. PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)

16. PENGHASILAN KENA PAJAK SETAHUN/DISETAHUNKAN (14 - 15)

17. PPh PASAL 21ATAS PENGHASILAN KENA PAJAK SETAHUN/DISETAHUNKAN

18. PPh PASAL 21YANG TELAH DIPOTONG M ASA SEBELUM NYA

19. PPh PASAL 21TERUTANG

20. PPh PASAL 21DAN PPh PASAL 26 YANG TELAH DIPOTONG DAN DILUNAS

C. IDENTITAS PEMOTONG

1. NPWP : C .0 1 3. TANGGAL & TANDA TANGAN


- -

2. NAMA : C .0 2 C .0 3 - -
[dd - mm - yyyy]

186 - Dasar-Dasar Perpajakan


area staples

DAFTAR BIAYA PAJAK PENGHASILAN


BUKTI PEMOTONGAN
PASAL 21 BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL ATAU FORMULIR 1721 - A2
Lembar 1 : Untuk Penerima Penghasilan
ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA ATAU Lembar 2 : Untung Pemotong

KEMENTERIAN KEUANGAN RI ANGGOTA POLISI REPUBLIK INDONESIA ATAU M A SA PER OLEHA N

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PEJABAT NEGARA ATAU PENSIUNANNYA PEN GHA SILA N [ mm - mm]

NOMOR : H.0 1 . 2 - - - H.0 2 -

NAMA INSTANSI/ NPWP


- -
BADAN LAIN : H.0 3 BENDAHARA : H.0 5
NAMA
BENDAHARA : H.0 4 - -

A. IDENTITAS PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG

1. NPWP :A .0 1 - - 6. JENIS KELAMIN :A .0 7 LAKI-LAKI A .0 8 PEREMPUAN


2. NIP/ : 7. NIK :A .0 9
NRP A .0 2

3. NAMA :A .0 3 8. STATUS/JUMLAH TANGGUNGAN KELUARGA UNTUK PTKP


4. PANGKAT/
A .0 5 K/ A .10 TK/ A .11 HB/ A .12
GOLONGAN :A .0 4
5. ALAMAT :A .0 6 9. NAMA JABATAN : A .13

B. RINCIAN PENGHASILAN DAN PENGHITUNGAN PPh PASAL 21


URAIAN JUMLAH (Rp)
KO D E O B J E K P A J A K : 2 1- 10 0 - 0 1 2 1- 10 0 - 0 2

P E N G H A S ILA N B R UT O :

1. GA JI P OKOK/P ENSIUN

2. TUNJA NGA N ISTERI

3. TUNJA NGA N A NA K

4. JUM LA H GA JI DA N TUNJA NGA N KELUA RGA (1S.D. 3)

5. TUNJA NGA N P ERB A IKA N P ENGHA SILA N

6. TUNJA NGA N STRUKTURA L/FUNGSIONA L

7. TUNJA NGA N B ERA S

8. TUNJA NGA N KHUSUS

9. TUNJA NGA N LA IN-LA IN

10. P ENGHA SILA N TETA P DA N TERA TUR LA INNYA YA NG P EM B A YA RA NNYA TERP ISA H DA RI P EM B A YA RA N GA JI

11. JUM LA H P ENGHA SILA N B RUTO (4 S.D. 10)

P E N G UR A N G A N :

12. B IA YA JA B A TA N/B IA YA P ENSIUN

13. IURA N P ENSIUN A TA U IURA N THT

14. JUM LA H P ENGURA NGA N ( 12 S.D. 14)

P E N G H IT UN G A N P P h P A S A L 2 1 :

15, JUM LA H P ENGHA SILA N NETTO (11- 14)

16. P ENGHA SILA N NETO M A SA P A JA K SEB ELUM NYA

17. JUM LA H P ENGHA SILA N NETO UNTUK P ENGHITUNGA N P P h P A SA L 21(SETA HUN/DISETA HUNKA N)

18. P ENGHA SILA N TIDA K KENA P A JA K (P TKP )

19. P ENGHA SILA N KENA P A JA K SETA HUN/DISETA HUNKA N (17 - 18)

20. P P h P A SA L 21A TA S P ENGHA SILA N KENA P A JA K SETA HUN/DISETA HUNKA N

21. P P h P A SA L 21YA NG TELA H DIP OTONG M A SA SEB ELUM NYA

22. P P h P A SA L 21TERUTA NG

23. P P h P A SA L 21YA NG TELA H DIP OTONG DA N DILUNA SI

23A . A TA S GA JI DA N TUNJA NGA N

23B . A TA S P ENGHA SILA N TETA P DA N TERA TUR LA INNYA YA NG P EM B A YA RA NNYA TERP ISA H DA RI P EM B A YA RA N GA JI

C. PEGAWAI TERSEBUT : C .0 1 D IP IN D A H KACN.0 2 P IN D A H A NC .0 3 B A R U C .0 3 P E N S IUN

D. TANDA TANGAN BENDAHARA

1. NPWP : D .0 1 3. TANGGAL & TANDA TANGAN


- -

2. NAMA : D .0 2 C .0 3 - -
[dd - mm - yyyy]
3. NAMA : D .0 2

Dasar-Dasar Perpajakan - 187


BAB V
Pajak Penghasilan Pasal 22

Pengertian

Pajak Penghasilan Pasal 22 atau PPh Pasal 22 adalah pajak yang dipungut
oleh bendaharawan pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah
Daerah, baik instansi maupun lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara
lain, yang berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan badan-
badan tertentu baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan
kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
Pajak Penghasilan Pasal 22 dibayarkan dalam tahun berjalan, melalui
pemotongan atau pemungutan oleh pihak-pihak tertentu. Pemungutan PPh Pasal
22 ada yang bersifat final dan tidak final. Apabila pemungutan PPh Pasal 22
bersifat final maka jumlah pajak yang telah dibayar dalam tahun berjalan tersebut
dapat dikreditkan dari total PPh terutang pada akhir tahun saat pengisian Surat
Pemberitahuan (SPT) Tahunan.

Dasar Pemungutan

Dasar pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 ialah:


1. Nilai impor.
2. Harga jual lelang.
3. Harga pembelian.

Pemungut Pajak

Pemungut PPh Pasal 22 adalah:


1. Bendahara pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan
pembayaran atas penyerahan barang.
2. Badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang
melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain; dan
3. Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas
pembelian barang yang tergolong sangat mewah.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 224/PMK.011/2012,
Pemungut PPh Pasal 22 meliputi:
1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang.
2. Bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai
pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau
lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan

188 - Dasar-Dasar Perpajakan


dengan pembayaran atas pembelian barang.
3. Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian
barang yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP).
4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah
Membayar yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA),
berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga
yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS).
5. Badan Usaha Milik Negara, yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian
besar modalnya dimiliki oleh Negara, melalui penyertaan secara langsung
yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan, yang meliputi:
1. PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT
Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia
(Persero) Tbk., PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., PT Pembangunan
Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT Adhi
Karya (Persero) Tbk., PT Hutama Karya (Persero) Tbk., PT Krakatau
Steel (Persero), dan
2. Bank-bank Badan Umum Milik Negara, berkenaan dengan pembayaran
atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan
usahanya.
6. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri
kertas, industri baja, industri otomotif dan industri farmasi, atas penjualan
hasil industrinya kepada distributor di dalam negeri.
7. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (ATM), dan
importer umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di
dalam negeri.
8. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas,
atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas.
9. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan,
pertanian, peternakan, dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari
pedagang pengumpul untuk keperluan industrinya atau ekspornya.
10. Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat
mewah.

Objek Pemungutan PPh Pasal 22

Objek PPh Pasal 22 berupa kegiatan. Kegiatan yang dikenakan PPh Pasal
22 meliputi:
1. Impor barang.
2. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh Bendahara
Pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak
pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga
Pemberintah dan lembaga-lembaga Negara lainnya.
3. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan dengan mekanisme
uang persediaan (UP) oleh bendahara pengeluaran.
4. Pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga yang dilakukan
dengan mekanisme pembayaran langsung (LS) yang dilakukan oleh Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar

Dasar-Dasar Perpajakan - 189


yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
5. Pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan
kegiatan usahanya Badan Usaha Milik Negara meliputi PT Pertamina
(Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Perusahaan Gas
Negara (Persero) Tbk., PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk., PT
Garuda Indonesia (Persero) Tbk., PT Pembangunan Perumahan (Persero)
Tbk., PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT Adhi Karya (Persero) Tbk., PT
Hutama Karya (Persero) Tbk., PT Krakatau Steel (Persero), dan Bank-bank
Badan Umum Milik Negara.
6. Penjualan hasil industri yang bergerak di bidang usaha industri semen,
industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi kepada
distributor di dalam negeri.
7. Penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh Agen Tunggal
Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (ATM), dan importir
umum kendaraan bermotor.
8. Penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh
produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas.
9. Pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul untuk keperluan
industrinya, atau ekspornya oleh industri dan eksportir yang bergerak dalam
sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan.
10. Penjualan barang yang tergolong sangat mewah oleh Wajib Pajak Badan.
Adapun barang yang tergolong sangat mewah meliputi:
1. Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp. 20.000.000.000.
2. Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp.
10.000.000.000
3. Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya
2
lebih dari Rp. 10.000.000.000 dan luas bangunan lebih dari 500 m .
4. Apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau
pengalihannya lebih dari Rp. 10.000.000.000 dan/atau luas bangunan
lebih dari 400 m2.
5. Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10
orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle (suv), multipurpose
vehicle (mpv), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp.
5.000.000.000 (lima miliar rupiah) dan dengan kapasitas silinder lebih
dari 3.000 cc.

Kegiatan yang Tidak Dikenakan PPh Pasal 22

Kegiatan yang tidak dikenakan PPh Pasal 22 meliputi:


1. Impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan.
2. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan/atau Pajak
Pertambahan Nilai, meliputi:
 Barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas
di Indonesia berdasarkan asas timbal balik;
 Barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang

190 - Dasar-Dasar Perpajakan


bertugas di Indonesia uang diakui dan terdaftar dalam peraturan menteri
keuangan yang mengatur tentang tata cara pemberian pembebasan
bea masuk dan cukai atas impor barang untuk keperluan badan
internasional beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia;
 Barang kiriman hadiah/hibah untuk keperluan ibadah umum, amal,
sosial, kebudayaan atau untuk kepentingan penanggulangan bencana;
 Barang untuk kepentingan museum, kebun binatang, konservasi alam,
dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum;
 Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan;
 Barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat
lainnya;
 Peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;
 Barang pindahan;
 Barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas,
dan barang kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan kepabeanan;
 Barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
yang ditujukan untuk kepentingan umum;
 Persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang
yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
 Barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi
keperluan pertahanan dan keamanan negara;
 Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi
Nasional (PIN);
 Buku-buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku-buku pelajaran
agama;
 Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau, kapal
angkutan penyebrangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap
ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan
pelayaran atau keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh
Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau Perusahaan Penangkapan
Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhanan
Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai,
Danau, dan Penyeberangan Nasional, sesuai dengan kegiatan
usahanya;
 Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan
atau alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau
pemeliharaan yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkatan
Udara Niaga Nasional dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan
atau pemeliharaan pesawat udara yang diimpor oleh pihak yang
ditunjuk oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang
digunakan dalam rangka pemberian jasa perawatan atau reparasi
pesawat udara kepada Perusahaan Angkatan Udara Niaga Nasional;
 Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau
pemeliharaan serta prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT

Dasar-Dasar Perpajakan - 191


Kereta Api Indonesia (Persero) dan komponen atau bahan yang diimpor
oleh pihak yang ditunjuk oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero), yang
digunakan untuk pembuatan kereta api, suku cadang, peralatan untuk
perbaikan atau pemeliharaan, serta prasarana yang akan digunakan
oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero);
 Peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh Kementrian
Pertahanan atau TNI untuk penyediaan data batas dan photo udara
wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan untuk mendukung
pertahanan Nasional, yang diimpor oleh Kementrian Pertahanan, TNI
atau pihak lain yang ditunjuk oleh Kementrian Pertahanan atau TNI;
dan/atau
 Barang untuk kegiatan hulu minyak dan gas bumi yang importasinya
dilakukan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama.
3. Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk
diekspor kembali.
4. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor
kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang
yang telah dieskpor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian,
yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai.
5. Pembayaran yang dilakukan oleh Pemungut Pajak berkenaan dengan:
 Pembayaran yang dilakukan oleh Pemungut Pajak yang jumlahnya
paling banyak Rp. 2.000.000 dan tidak merupakan jumlah yang
dipecah-pecah. Pemungut pajak ini meliputi Bendahara pemerintah dan
Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) pada Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga Pemerintah dan lembaga-
lembaga Negara lainnya, bendahara pengeluaran, Kuasa Pengguna
Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang
diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran.
 Pembayaran yang dilakukan oleh Pemungut Pajak yang jumlahnya
paling banyak Rp. 10.000.000 dan tidak merupakan jumlah yang
dipecah-pecah. Pemungut pajak ini meliputi Badan Usaha Milik Negara
meliputi: PT Kereta Api Indonesia (Persero) dan komponen atau bahan
yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh PT Kereta Api Indonesia
(Persero), yang digunakan untuk pembuatan kereta api, suku cadang,
peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan, serta prasarana yang
akan digunakan oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero), dan Bank-
Bank Badan Umum Milik Negara.
 Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas,
pelumas, dan benda-benda pos, pemakaian air dan listrik.
6. Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan
dari emas untuk tujuan ekspor.
7. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana
Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

192 - Dasar-Dasar Perpajakan


Saat Terutang PPh Pasal 22

Saat terutangnya PPh pasal 22 dibagi kedalam periode berikut ini:

No. Jenis Kegiatan Saat Terutang PPh Pasal 22


1. PPh Pasal 22 atas impor barang. Terutang dan dilunasi bersamaan
dengan saat pembayaran Bea
Masuk. Dalam hal pembayaran Bea
Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh
Pasal 22 terutang dan dilunasi pada
saat penyelesaian dokumen
Pemberitahuan Impor Barang (PIB).
2. PPh Pasal 22 atas pembelian Terutang dan dipungut pada saat
barang oleh Pemungut Pajak pada pembayaran.
nomor 2,3, dan 4 (bendahara
pemerintah, KPA, bendahara
pengeluaran, pejabat penerbit SPM),
BUMN tertentu, dan bank-bank
BUMN.
3. PPh Pasal 22 atas penjualan hasil Terutang dan dipungut pada saat
produksi industri semen, industri penjualan.
kertas, industri baja, industri
otomotif, industri farmasi, dan
penjualan kendaraan bermotor oleh
ATPM, APM, dan importirnya.
4. PPh Pasal 22 atas penjualan bahan Terutang dan dipungut pada saat
bakar minyak, bahan bakar gas, dan penerbitan Surat Perintah
pelumas. Pengeluaran Barang (delivery order)
5. PPh Pasal 22 atas pembelian Terutang dan dipungut pada saat
bahan-bahan dari pedagang pembelian.
pengumpul.

Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran PPh Pasal 22

Pemungutan dan penyetoran PPh Pasal 22 dilaksanakan oleh dan dengan


cara tertentu berdasarkan transaksi atau kegiatan berikut ini:

No. Pemungutan Penyetoran


1. Pemungutan PPh Pasal 22 atas Dilaksanakan dengan cara
impor barang. penyetoran oleh importir yang
bersangkutan atau Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai ke kas
negara melalui Kantor Pos, Bank
Devisa, atau bank yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan. Penyetoran pajak
menggunakan surat setoran pajak
yang berlaku sebagai bukti
pemungutan pajak.
2. Pemungutan PPh Pasal 22 oleh Wajib disetor oleh pemungut ke Kas

Dasar-Dasar Perpajakan - 193


No. Pemungutan Penyetoran
Pemungut Pajak Bendahara Negara melalui Kantor Pos, Bank
Pemerintah, Kuasa Pengguna Devisa, atau bank yang ditunjuk oleh
Anggaran (KPA), Bendahara Menteri Keuangan dengan
Pengeluaran, Pejabat Penerbit menggunakan surat setoran pajak
Surat Perintah Membayar atas yang telah diisi atas nama rekanan
delegasi KPA. serta ditandatangani oleh Pemungut
Pajak. Surat setoran pajak berlaku
sebagai bukti pemungutan pajak.
3. Pemungutan PPh Pasal 22 oleh Wajib disetor oleh pemungut ke Kas
Pemungut Pajak: Negara melalui Kantor Pos, ank
1. Badan Usaha Milik Negara Devisa, atau bank yang ditunjuk oleh
tertentu (PT Pertamina, PT PLN, Menteri Keuangan dengan
dan lain-lain) dan bank-bank menggunakan surat setoran pajak.
BUMN; Pemungut pajak wajib menerbitkan
2. Badan usaha yang bergerak di bukti pemungutan pajak rangkap tiga
industri semen, kertas, otomotif, (lembar pertama untuk wajib pajak,
baja, dan farmasi; lembar kedua untuk KPP sebagai
3. Agen Tunggal Pemegang Merek lampiran SPT, lembar ketiga sebagai
(ATPM), Agen Pemegang Merek arsip pemungut yang bersangkutan).
(APM), dan importir umum
kendaraan bermotor;
4. Produsen atau importir bahan
bakar minyak, bahan bakar gas,
dan pelumas.
5. Industri dan eksportir yang
bergerak di sektor perkebunan,
pertanian, peternakan, dan
perikanan.

Sifat Pemungutan

Pemungutan PPh Pasal 22 dapat bersifat final dan tidak final. Pemungutan
pajak yang bersifat final terjadi jika pajak yang telah dibayar oleh Wajib Pajak
melalui pemungutan oleh pihak lain dalam tahun berjalan tersebut tidak dapat
dikreditkan pada total PPh yang terutang pada akhir suatu tahun pada saat
pengisian SPT Tahunan PPh. Namun sebaliknya, pemungutan pajak bersifat tidak
final berarti bahwa pajak yang sudah dipungut oleh pemungut atau dibayarkan
dapat dikreditkan/diperhitungkan sebagai pembayaran pajak penghasilan dalam
tahun berjalan oleh Wajib Pajak yang dipungut.
Berikut ini daftar penghasilan Pasal 22 yang pemungutannya bersifat tidak
final.
1. Pemungutan PPh Pasal 22 atas impor barang.
2. Pemungutan PPh Pasal 22 atas pembelian barang oleh pemungut pajak
meliputi bendahara pemerintah, KPA, bendahara pengeluaran, pejabat
penerbit (SPM).
3. Pemungutan PPh Pasal 22 atas pembelian barang oleh pemungut pajak
meliputi BUMN tertentu (PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik
Negara (Persero), PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk., PT

194 - Dasar-Dasar Perpajakan


Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk., PT Garuda Indonesia (Persero)
Tbk., PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya Karya
(Persero) Tbk., PT Adhi Karya (Persero) Tbk., PT Hutama Karya (Persero)
Tbk., PT Krakatau Steel (Persero), dan Bank-bank BUMN.
4. Pemungutan PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi oleh industri semen,
industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi;
5. Pemungutan PPh Pasal 22 atas penjualan produsen atau impoter bahan
bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas kepada selain penyalur/agen;
6. Pemungutan PPh Pasal 22 atas penjualan kendaraan bermotor oleh ATPM,
APM, atau importer;
7. Pemungutan PPh Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan
industri atau ekspor oleh industri atau eksportir dalam sektor kehutanan,
pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan.
Pajak Penghasilan Pasal 22 yang pemungutannya bersifat final adalah
Pemungutan PPh Pasal 22 atas penjualan produsen atau importer bahan bakar
minyak, bahan bakar gas, dan pelumas kepada penyalur/agen.

Dasar Pengenaan Pajak dan Tarif PPh Pasal 22

Besarnya Pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 ditetapkan sebagai berikut.


1. Atas impor:
a. yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 2,5 persen
dari nilai impor, kecuali atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu
sebesar 0,5 persen dari nilai impor;
b. yang tidak menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 7,5
persen dari nilai impor; dan/atau
c. yang tidak dikuasai, sebesar 7,5 persen dari harga jual lelang.
2. Atas pembelian barang sebagaimana dimaksud pada poin 2, 3, dan 4 sub
bab “Pemungut Pajak” (bendahara pemerintah, KPA, bendahara
pengeluaran, pejabat penerbit SPM) sebesar 1,5 persen dari harga
pembelian.
3. Atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas oleh produsen atau
importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas adalah:
a. Bahan Bakar Minyak:
1) sebesar 0,25 persen dari penjualan tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada SPBU Pertamina;
2) sebesar 0,3 persen dari penjualan tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada SPBU bukan
Pertamina dan non-SPBU.
b. Bahan Bakar Gas sebesar 0,3 persen dari penjualan tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai.
c. Pelumas sebesar 0,3 persen dari penjualan tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai.
4. Atas penjualan hasil produksi di dalam negeri oleh badan usaha yang
bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja,
dan industri otomotif:

Dasar-Dasar Perpajakan - 195


5. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh
badan usaha industri atau eksportir yang bergerak dalam bidang kehutanan,
perkebunan, pertanian, dan perikanan yang ditunjuk sebagai pemungut Pajak
Penghasilan Pasal 22 dari pedagang pengumpul sebesar 0,25 persen dari
harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea
Masuk, yaitu Cost Insurance and Freight (CIF) ditambahkan dengan Bea Masuk
dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan kepabeanan di bidang impor.
Besarnya tarif pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak
lebih tinggi seratus persen dari tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang
dapat menunjukan Nomor Pokok Wajib Pajak.

Skema Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak dan Perhitungan PPh Pasal 22

Dasar
Perhitungan
Pemungut Objek Pajak Tarif Pengenaan
PPh Pasal 22
Pajak
Bank Devisa dan Impor barang 2,5% (dengan Nilai impor 2,5% x Nilai
Ditjen Bea dan API) Impor
Cukai
7,5% (tanpa 7,5% x Nilai
API) Impor
0,5% (kedelai, 0,5% x Nilai
gandum, terigu Impor
dengan API)
7,5% (yang Harga jual 7,5% x Harga
tidak dikuasai) lelang jual lelang
Bendahara Pembayaran 1,5% Harga beli 1,5% x Harga
Pemerintah dan atas pembelian pembelian
Kuasa Pengguna tidak termasuk
Anggaran (KPA) PPN dan
PPnBM
Bendahara Pembayaran 1,5% 1,5% x Harga
pengeluaran atas pembelian pembelian
barang yang tidak termasuk
dilakukan PPN dan
dengan PPnBM
mekanisme
uang
persediaan (UP)

196 - Dasar-Dasar Perpajakan


Dasar
Perhitungan
Pemungut Objek Pajak Tarif Pengenaan
PPh Pasal 22
Pajak
Kuasa Pengguna Pembayaran 1,5% 1,5% x Harga
Anggaran (KPA) atas pembelian pembelian
atau pejabat barang kepada tidak termasuk
penerbit Surat pihak ketiga PPN dan
Perintah yang dilakukan PPnBM
Membayar yang dengan
diberi delegasi mekanisme
oleh KPA. pembayaran
langsung (LS)
Industri dan Pembelian dari 0,25% 0,25% x Harga
eksportir Pedagang pembelian
(kehutanan, Pengumpul tidak termasuk
pertanian, PPN
perkebunan, dan
perikanan)
Produsen atau Penjualan 0,25% BBM Penjualan 0,25% x
importir bahan bahan bakar SPBU Penjualan
bakar minyak, minyak dan gas Pertamina tidak termasuk
gas, dan pelumas PPN
0,3% BBM 0,3% x
SPBU Non- Penjualan
Pertamina tidak termasuk
0,3% BBG PPN
0,3% x
0,3% Pelumas Penjualan
tidak termasuk
PPN
0,3% x
Penjualan
tidak termasuk
PPN
Industri-industri Penjualan hasil 0,25% Semen DPP PPN 0,25% x DPP
Tertentu produksi di 0,1% Kertas PPN
dalam negeri 0,3% Baja 0,1% x DPP
0,45% PPN
Otomotif 0,3% x DPP
PPN
0,45% x DPP
PPN
WP Badan yang Penjualan 5% Harga jual 5% x Harga
melakukan Barang Mewah jual
penjualan Barang
Sangat Mewah

Dasar-Dasar Perpajakan - 197


CONTOH PENGHITUNGAN (Halim dkk, 2014)
Contoh 1: PPh Pasal 22 atas Pembelian barang oleh instansi pemerintah
Pada 1 Juli 2013, PT. Jaya berkedudukan di Sukoharjo, menjadi pemasok alat-alat
tulis kantor bagi Dinas Pendidikan Kabupaten Sukoharjo dengan nilai kontrak
sebesar Rp. 11.000.000 (nilai kontrak termasuk PPN).
Jawab
PPh Pasal 22 yang dipungut oleh bendahara Dinas Pendidikan Kabupaten
Sukoharjo adalah:
Nilai kontrak termasuk PPN Rp. 11.000.000
DPP: (100 ÷ 110) x Rp.11.000.000) Rp. 10.000.000
PPN dipungut (10% dari DPP) Rp. 1.000.000
PPh Pasal 22 yang dipungut
(1,5% x Rp.10.000.000) Rp. 150.000

Contoh 2: PPh Pasal 22 atas impor barang


Pada 1 Mei 2011, PT. Tunas mengimpor barang dari Perancis dengan harga faktur
US$10,000. Biaya asuransi yang dibayar di luar negeri sebesar lima persen dari
harga faktur dan biaya angkut sebesar sepuluh persen dari harga faktur. Bea
masuk dan bea masuk tambahan masing-masing sebesar 20 persen dan sepuluh
persen. Kurs yang ditetapkan Menteri Keuangan pada saat itu US$1 = Rp.10.000.
1. Hitung PPh Pasal 22 yang dipungut jika PT. Tunas memiliki API
2. Hitung PPh Pasal 22 yang dipungut jika PT. Tunas tidak memiliki API
Jawab:
Harga faktur (Cost) US$ 10,000
Biaya Asuransi (insurance): 5% x US$10,000 US$ 500
Biaya angkut (freight): 10% x US$10,000 US$ 1,000
CIF (Cost, Insurance, & Freight) US$ 11,500
CIF (dalam Rupiah): US$11,500 x Rp10.000 Rp. 115.000.000
Bea masuk (20% x Rp115.000.000) Rp. 23.000.000
Bea masuk tambahan (10% x Rp115.000.000) Rp. 11.500.000
Nilai Impor Rp. 80.500.000
1. PPh Pasal 22 jika PT. Tunas memiliki Angka Pengenal Impor (API)
2,5% x Rp. 80.500.000 = Rp. 2.012.500
2. PPh Pasal 22 jika PT Tunas tidak memiliki Angka Pengenal Impor (API)
7,5% x Rp.80.500.000 = Rp. 6.037.500

Contoh 3: PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi industri tertentu


1. Pada bulan April PT. Semen Indonesia menjual hasil produksinya senilai
Rp.825.000.000 kepada PT. Sinar Indah. Harga tersebut termasuk PPN
sebesar sepuluh persen.
Jawab:
DPP PPN: (100 ÷ 110) x Rp. 825.000.000 Rp. 750.000.000
PPh Pasal 22 yang dipungut oleh PT. Semen Indonesia ialah:
0,25% x Rp.750.000.000 Rp. 1.875.000
2. Pada bulan Mei, PT. Indah Karya sebagai industri kertas menjual hasil
produksinya senilai Rp165.000.000 kepada PT. Andalas. Harga tersebut
termasuk PPN sebesar sepuluh persen.

198 - Dasar-Dasar Perpajakan


Jawab:
DPP PPN: (100 ÷ 110) x Rp165.000.000 Rp. 150.000.000
PPh Pasal 22 yang dipungut oleh PT Indah Karya ialah:
0,10% x Rp.150.000.000 Rp. 150.000

Contoh 4: PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi oleh produsen atau
importir bahan bakar dan pelumas
PT Pertamina selaku produsen bahan bakar minyak, gas, dan pelumas
menyerahkan bahan bakar minyak senilai Rp.100.000.000 (tidak termasuk PPN)
kepada non-SPBU.
Jawab:
PPh Pasal 22 yang dipungut atas penyerahan bahan bakar minyak adalah:
0,3% x Rp. 100.000.000 Rp. 300.000

Dasar-Dasar Perpajakan - 199


BAB VI
Pajak Penghasilan Pasal 23

Pengertian

Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh pasal 23) adalah Pajak Penghasilan yang
dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri
dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau
penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21,
yang dibayarkan atau terutang oleh Badan Pemerintah atau Subjek Pajak Dalam
Negeri, penyelenggaraan kegiatan, Bentuk Usaha Tetap atau perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya. Penghasilan modal ini dapat berupa bunga,
dividen, royalti, hadiah, bonus, penghargaan, sewa, dan jasa manajemen atau jasa
konstruksi.
Dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan,
PPh pasal 23 ini banyak mengalami perubahan baik dalam hal tarif maupun jenis
penghasilan yang kena pajak. Banyak wajib pajak mengira bahwa PPh pasal 23 ini
bersifat final, padahal ada beberapa jenis penghasilan yang pajaknya dapat
diperlakukan sebagai kredit pajak.
Subjek Pajak atau penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 adalah
Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap.

Pemotong Pajak

Pemotong Pajak PPh Pasal 23 adalah:


1. Badan Pemerintah
Tidak ada penjelasan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan
tentang arti Badan Pemerintah ini. Namun demikian, bahwa yang dimaksud
dengan Badan Pemerintah adalah Pemerintah Negara Republik Indonesia
dan Pemerintah Daerah di Indonesia beserta instansi-instansi dibawahnya.
Dalam praktiknya, pemotongan PPh Pasal 23 oleh instansi pemerintah
dilakukan oleh bendahara pemerintah.
2. Subjek Pajak Badan dalam Negeri
Subjek pajak badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia. Istilah didirikan mengandung arti bahwa
badan tersebut didirikan berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia.
Bertempat kedudukan menunjukkan bahwa badan tersebut memiliki
efektif manajemen di Indonesia di mana pengambilan keputusan-keputusan
penting tentang badan tersebut dilakukan di Indonesia.

200 - Dasar-Dasar Perpajakan


Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha
yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
badan usaha milik Negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan
dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau
organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak
investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
3. Penyelenggara Kegiatan
Penyelenggara kegiatan bisa berbentuk badan, orang pribadi atau
kepanitiaan yang melakukan suatu event atau kegiatan. Contoh
penyelenggara kegiatan adalah orang pribadi atau badan yang mengorganisir
suatu acara seperti pertunjukan, perlombaan, seminar, dan lain-lain.
4. Bentuk Usaha Tetap (BUT)
BUT adalah bagian dari Subjek Pajak luar negeri yang melakukan
kegiatan di Indonesia sehingga menerima atau memperoleh penghasilan
yang bersumber dari Indonesia. Walaupun termasuk Wajib Pajak luar negeri,
pemenuhan hak dan kewajiban BUT disamakan dengan pemenuhan hak dan
kewajiban Wajib Pajak dalam negeri.
Pengertian BUT yaitu bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada
di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen,
cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, dan
lain-lain.
5. Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya
Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di
Indonesia juga merupakan pemotong PPh Pasal 23. Contohnya adalah
Representative Office (RO) dari perusahaan-perusahaan asing.
6. Orang Pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri tertentu, berdasarkan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-50/PJ./1994, Wajib Pajak
Orang Pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 23 adalah:
a. Akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
kecuali PPAT tersebut adalah camat, pengacara, dan konsultan, yang
melakukan pekerjaan bebas.
b. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan
pembukuan.
Wajib Pajak Orang Pribadi tersebut menjadi pemotong PPh Pasal 23
setelah adanya keputusan penunjukan sebagai pemotong dari Kepala KPP
yang bersangkutan. Setelah ada keputusan penunjukan barulah ia bisa
memotong PPh Pasal 23 itu pun terbatas pada penghasilan berupa sewa
saja.

Dasar-Dasar Perpajakan - 201


Tarif Pajak dan Objek Pajak

Struktur tariff PPh Pasal 23 adalah sebagai berikut:


1. Tarif 15% x Penghasilan Bruto dan bersifat tidak final dikenakan terhadap
penghasilan berupa dividen, bunga, royalti dan hadiah, penghargaan dan
bonus selain yang sudah dipotong PPh Pasal 21.
2. Tarif sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta,
kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2); dan
b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan
No. 36 Tahun 2008, atas beberapa jenis objek PPh Pasal 23 dikenakan
pemotongan PPh Pasal 23 dengan tarif 15% dari jumlah bruto.

Objek Pemotongan PPh Pasal 23 yang Dikenakan Tarif 15% dari Jumlah Bruto

 Dividen
Dividen adalah bagian atas laba yang diperoleh pemegang saham atau
pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang
diperoleh anggota koperasi. Pengertian dividen ini mengacu kepada Pasal 4 ayat
(1) huruf g Undang-undang Pajak Penghasilan.
Dalam penjelasan lebih lanjut dirinci pengertian dividen mencakup hal-hal
berikut ini:
1. Pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan
nama dan dalam bentuk apa pun.
2. Pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang
disetor.
3. Pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk
saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham.
4. Pembagian laba dalam bentuk saham.
5. Pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran.
6. Jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau
diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham
oleh perseroan yang bersangkutan.
7. Pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang
disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan,
kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal
dasar (statute) yang dilakukan secara sah.
8. Pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang
diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut.
9. Bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi.
10. Bagian laba yang diterima oleh pemegang polis.
11. Pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi.

202 - Dasar-Dasar Perpajakan


12. Pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham
yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Untuk PT, BUMN, dan BUMD yang memiliki penyertaan (saham) pada
perusahaan lain di Indonesia, penerimaan dividen dikecualikan sebagai objek
pajak dengan syarat:
1. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan.
2. Wajib pajak badan tersebut memiliki saham pada PT yang memberikan
dividen sebesar 25% atau lebih dari jumlah modal yang disetor.
Secara implisit PPh pasal 23 untuk dividen yang dikenakan tarif 15% dari
penghasilan bruto adalah dividen yang diterima wajib pajak badan yang
kepemilikan sahamnya kurang dari 25% dan pajak ini dapat diperlakukan sebagai
kredit pajak.

 Bunga
Pengertian bunga merujuk kepada Pasal 4 ayat (1) huruf f Undang-undang
Pajak Penghasilan dimana dalam pengertian bunga termasuk juga premium,
diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
Seperti halnya dividen, tidak semua bunga juga menjadi objek pemotongan
PPh Pasal 23. Ada jenis bunga yang bukan merupakan objek pajak sehingga tidak
boleh dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3)
huruf h Undang-undang Pajak Penghasilan. Jenis bunga yang lain seperti bunga
deposito dan tabungan menjadi objek pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) final. Ada
juga bunga yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 26 jika penerimanya
adalah Wajib Pajak luar negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) huruf
b Undang-undang Pajak Penghasilan. Dalam Undang-undang Pajak Penghasilan
ada objek pajak baru, yaitu imbalan bunga yang diperoleh atau diterima oleh wajib
pajak berkenaan dengan pengembalian kelebihan pembayaran pajak berdasarkan
Surat Keputusan Keberatan atau Putusan Banding, atau Surat Keputusan
Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat adanya
Keputusan Keberatan atau Keputusan Banding. Meskipun wajib pajak memperoleh
imbalan atas kelebihan pembayaran pajak, namun imbalan bunga ini bukan
merupakan objek pajak PPh pasal 23.

 Royalti
Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau
perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai
imbalan atas:
1. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan,
kesenian, atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula
atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan
intelektual/industrial atau hak serupa lainnya.
2. Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/ perlengkapan industrial,
komersial, atau ilmiah.
3. Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal,
industrial, atau komersial.

Dasar-Dasar Perpajakan - 203


4. Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan
penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1,
penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut
pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut
pada angka 3, berupa:
a. Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman
suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui
satelit, kabel, serat optic, atau teknologi yang serupa.
b. Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau
rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio
yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau
teknologi yang serupa.
c. Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh
spektrum radio komunikasi.
5. Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture
film), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk
siaran radio.
6. Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan
penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau
hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.
Royalti dikenakan tarif pajak 15% dari penghasilan bruto dan dapat
diperlakukan sebagai kredit pajak.
Perlu diperhatikan bahwa untuk imbalan royalti ini ada kemungkinan juga
merupakan objek pemotongan PPh Pasal 26 jika penerima penghasilannya adalah
Wajib Pajak luar negeri.

 Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong


Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21.
Hadiah, penghargaan, dan bonus sebenarnya merupakan objek pemotongan
PPh Pasal 21 juga. Namun harus diperhatikan bahwa ruang lingkup pemotongan
PPh Pasal 21 adalah bahwa penerima penghasilannya Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri. Apabila penerimanya adalah Wajib Pajak badan dalam negeri atau
BUT, maka PPh Pasal 21 tidak bisa diterapkan. Nah, untuk jenis Wajib Pajak
tersebut maka PPh Pasal 23 lah yang bisa diterapkan.
Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan
kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olahraga dan
lain sebagainya (baik dalam bentuk uang, barang maupun kenikmatan). Yang
dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan
dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan
penemuan benda-benda purbakala. Hadiah atau penghargaan dapat diterima oleh
wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan. Pemberi hadiah dapat berbentuk
orang pribadi, badan, kepanitiaan, organisasi dan perusahaan. Bila hadiah
diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan, maka hadiah tersebut dinilai
berdasarkan harga pasarnya. Atas hadiah undian yang bernilai kurang dari Rp
5.000.000,00 harus dibuatkan daftar nominatif tersendiri yang berisikan nama
pemenang dan besarnya nilai hadiah undian.

204 - Dasar-Dasar Perpajakan


Adapun hadiah yang dipotong PPh Pasal 23 adalah hadiah dan penghargaan
dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Badan dan
Wajib Pajak Pribadi dalam negeri dan luar negeri berkenaan dengan suatu
kegiatan yang diselenggarakan (misalnya: kegiatan olahraga, keagamaan,
kesenian, dan kegiatan lainnya). Hadiah (selain hadiah undian) dan penghargaan
ini dikenakan tarif 15% dan bersifat tidak final, sedangkan untuk hadiah undian
dikenakan tarif 25% dan bersifat final.

Jenis-Jenis Penghasilan Objek Pemotongan PPh Pasal 23 yang Dikenakan


Tarif PPh Pasal 23 sebesar 2% dari Jumlah Bruto

 Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta


Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta adalah
penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan kesepakatan untuk
memberikan hak menggunakan harta selama jangka waktu tertentu baik dengan
perjanjian tertulis maupun tidak tertulis sehingga harta tersebut hanya dapat
digunakan oleh penerima hak selama jangka waktu yang telah disepakati. Definisi
ini ditegaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-35/PJ/2010
tentang Pengertian Sewa dan Penghasilan Lain Sehubungan Dengan Penggunaan
Harta, Jasa Teknik, Jasa Manajemen, dan Jasa Konsultan Sebagaimana
Dimaksud Dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang
Pajak Penghasilan.
Perlu digarisbawahi bahwa tidak termasuk dalam objek pemotongan PPh
Pasal 23 adalah sewa tanah dan/atau bangunan yang telah dikenakan PPh final
berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan.
 Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain
Jasa konstruksi telah dikenakan PPh final Pasal 4 ayat (2) sehingga tidak lagi
menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23. Dengan demikian, dalam kelompok ini
pada umumnya adalah imbalan jasa selain dari imbalan jasa konstruksi.
Pengertian dari jasa teknik, jasa manajemen, dan jasa konsultan dapat
ditemukan di Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-35/PJ/2010 tentang
Pengertian Sewa dan Penghasilan Lain Sehubungan Dengan Penggunaan Harta,
Jasa Teknik, Jasa Manajemen, dan Jasa Konsultan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan.
Jasa teknik adalah pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang
berkaitan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan, dan ilmu
pengetahuan yang meliputi:
1. Pemberian informasi dalam pelaksanaan suatu proyek tertentu, seperti
pemetaan dan/atau pencarian menggunakan bantuan gelombang
seismik.
2. Pemberian informasi dalam pembuatan suatu jenis produk tertentu,
seperti pemberian informasi dalam bentuk gambar-gambar, petunjuk
produksi, perhitungan-perhitungan dan sebagainya.

Dasar-Dasar Perpajakan - 205


3. Pemberian informasi berkaitan dengan pengalaman dalam bidang
manajemen, seperti pemberian informasi melalui pelatihan atau seminar
dengan peserta dan materi yang sudah ditentukan oleh pengguna jasa.
Jasa manajemen adalah pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung
dalam pelaksanaan atau pengelolaan manajemen.
Jasa konsultan adalah pemberian advice (petunjuk, pertimbangan, atau
nasihat) professional dalam suatu bidang usaha, kegiatan, atau pekerjaan yang
dilakukan oleh tenaga ahli yang tidak disertai dengan keterlibatan langsung para
tenaga ahli tersebut dalam pelaksanaannya.
Untuk jasa lain, Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 23 ayat (2)
memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan untuk mengatur lebih lanjut
tentang jenis jasa lain ini dengan Peraturan Menteri Keuangan. Untuk itu, Menteri
Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
244/PMK.03/2008 tentang Jenis Jasa Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
ayat (1) huruf c angka 2 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 36 tahun 2008.

Jenis jasa lain sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor


244/PMK.03/2008 yang dikenakan PPh Pasal 23 sebesar 2% dari jumlah
bruto.
1. Jasa penilai (appraisal)
2. Jasa aktuaris
3. Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan
4. Jasa perancang (design)
5. Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi
(migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap (BUT)
6. Jasa penunjang di bidang penambangan migas
7. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain
migas
8. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara
9. Jasa penebangan hutan
10. Jasa pengolahan limbah
11. Jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services)
12. Jasa perantara dan/atau keagenan
13. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan
oleh Bursa Efek, KSEI, dan KPEI
14. Jasa custodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh KSEI
15. Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara
16. Jasa mixing film
17. Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan,
pemeliharaan dan perbaikan
18. Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC,
dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang
lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi
sebagai pengusaha konstruksi

206 - Dasar-Dasar Perpajakan


19. Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air,
gas, AC, TV kabel, alat transportasi/ kendaraan dan/atau bangunan, selain
yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi
dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi.
20. Jasa maklom
21. Jasa penyelidikan dan keamanan
22. Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer
23. Jasa pengepakan
24. Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media massa, media luar
ruang atau media lain untuk penyampaian informasi
25. Jasa pembasmian hama
26. Jasa kebersihan atau cleaning service
27. Jasa catering atau tata boga

Tarif untuk Wajib Pajak Non-NPWP

Berdasarkan pasal 23 ayat (1a) Undang-Undang pajak penghasilan, Wajib


Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek
pemotongan PPh Pasal 23 dan tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP),
maka besarnya tarif pemotongan PPh Pasal 23 adalah lebih tinggi 100%
(seratus persen) daripada tarif PPh Pasal 23 umumnya.

Bukan Objek Pemotongan PPh Pasal 23

Pasal 23 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan memberikan daftar


penghasilan-penghasilan tertentu yang tidak dipotong PPh Pasal 23 yaitu:
1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank.
2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha
dengan hak opsi.
3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau
perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, atau
BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia, dengan syarat:
a. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan.
b. Bagi PT, BUMN, dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan
saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari
jumlah modal yang disetor.
Seluruh syarat harus terpenuhi agar dividen tersebut dikecualikan sebagai
objek pajak. Jika salah satu syarat di atas tidak dipenuhi, maka dividen
merupakan objek pajak.
4. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer
yang modalnya terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma,
dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif
(sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i Undang-Undang Pajak
Penghasilan.
5. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggotanya.

Dasar-Dasar Perpajakan - 207


6. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa
keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan
yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Saat Terutang, Penyetoran, dan Pelaporan

1. Pemotongan PPh pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya


pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang
bersangkutan.
2. Yang dimaksud dengan saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan
adalah saat pembebanan sebagai biaya oleh pemotongan pajak sesuai
dengan metode pembukuan yang dianutnya.
3. PPh pasal 23 harus disetorkan oleh pemotong pajak selambat-lambatnya
tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya
pajak.
4. Pemotong Pajak PPh pasal 23 diwajibkan menyampaikan Surat
Pemberitahuan Masa selambat-lambatnya tanggal 20 (dua puluh) hari
setelah Masa Pajak berakhir.
5. Pemotong Pajak PPh pasal 23 harus memberikan tanda bukti pemotongan
kepada orang pribadi atau badan yang dibebani membayar Pajak
Penghasilan yang dipotong.

CONTOH PENGHITUNGAN (Utomo dkk, 2010)


1. PT. Sahabat menginvestasikan modalnya dengan cara membeli saham PT.
Indah Kiat sebanyak 23% dari total saham yang beredar di pasar modal.
Pada tanggal 2 Juli 2014 PT. Indah Kiat membagikan dividen kepada para
pemegang sahamnya. Pada tahun 2014 perusahaan membagi laba setelah
pajak sebesar Rp 75.000.000,00 dan dividen yang dibagikan sebanyak 80%
dari laba yang diperoleh itu. PT. Indah Kiat beralamat di Jl. Patimura No. 99
Semarang, NPWP: 02.111.222.1.542.000.
Jawab:
Atas penghasilan tersebut, perhitungan PPh Pasal 23 dilakukan sebagai
berikut:
Jumlah dividen yang dibagikan
80% x Rp. 75.000.000,00 = Rp. 60.000.000,00
Penghasilan dividen yang diterima PT. Sahabat
23% x Rp. 60.000.000,00 = Rp. 13.800.000,00
PPh pasal 23 = 15% × Rp. 13.800.000,00 = Rp 2.070.000,00
2. Pada tanggal 1 Pebruari 2013 PT. Karya membayar royalti atas penggunaan
formula produk yang dihasilkan kepada PT. Utama sebesar
Rp.10.000.000,00. PT. Karya beralamat di Jl. Rasamala No. 7 Semarang,
NPWP: 02.105.545.1.542.000.
PPh pasal 23 = 15% × Rp. 10.000.000,00 = Rp. 1.500.000,00
3. Pada tanggal 7 Mei 2013 PT. Cerah membayar jasa audit kepada KAP
Bersahaja dan Rekan sebesar Rp. 15.000.000,00. KAP Bersahaja dan
Rekan beralamat di Jl. Gaharu 13 Semarang, NPWP: 01.222.224.1.543.000.
PPh pasal 23 = 2% × Rp. 15.000.000,00 = Rp. 300.000,00

208 - Dasar-Dasar Perpajakan


4. Pada tanggal 12 Juni 2013 PT. Bahagia membayar sewa kendaraan
angkutan kepada PT.Cepat senilai Rp. 5.000.000,00. PT. Bahagia beralamat
di Jl. Meranti No. 5 Semarang, NPWP: 01.224.124.1.541.000.
PPh pasal 23 = 2% × Rp. 5.000.000,00 = Rp. 100.000,00
5. Pada tanggal 18 Maret 2013 PT. Maju Lancar membayar jasa appraisal pada
PT. Usaha Jaya kantor cabang Surakarta sebesar Rp 4.000.000,00. PT.
Usaha Jaya beralamat di Jl. Kapten Mulyadi 14 Surakarta, NPWP:
02.115.555.1.502.001.
PPh pasal 23 = 2% × Rp. 4.000.000,00= Rp. 80.000,00

Dasar-Dasar Perpajakan - 209


LAMPIRAN

SPT PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26

210 - Dasar-Dasar Perpajakan


SURAT PEMBERITAHUAN (SPT) MASA
DEPARTEMEN SPT Normal
KEUANGAN RI
PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 DAN/ATAU PASAL
26 SPT Pembetulan Ke- __
DIREKTORAT Formulir ini digunakan untuk melaporkan Pemotongan Masa Pajak
JENDERAL PAJAK Pajak Penghasilan Pasal 23 dan/atau Pasal 26 /
BAGIAN A. IDENTITAS PEMOTONG PAJAK/WAJIB PAJAK
1. N P W P :
2. Nama :
3. Alamat :
BAGIAN B. OBJEK PAJAK
1. PPh Pasal 23 yang telah Dipotong
Jumlah Penghasilan PPh yang Dipotong
Uraian KAP/KJS
Bruto (Rp) (Rp)
(1) (2) (3) (4)
1. Dividen *) 411124/101
2. Bunga **) 411124/102
3. Royalti 411124/103
4. Hadiah dan penghargaan 411124/100
5. Sewa dan Penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta ***) 411124/100
6. Jasa Teknik, Jasa Manajemen, Jasa Konsultansi dan jasa lain
sesuai dengan PMK-244/PMK.03/2008 :
a. Jasa Teknik 411124/104
b. Jasa Manajemen 411124/104
c. Jasa Konsultan 411124/104
d. Jasa lain :****)
1) …………………………………………………
2) …………………………………………………
3) …………………………………………………
7. ………………………………………………………….
JUMLAH
Terbilang :
2. PPh Pasal 26 yang telah Dipotong
Jumlah Penghasilan Perkiraan Pengha PPh yang
Uraian KAP/KJS
Bruto (Rp) silan Neto (%) Dipotong (Rp)
P enghasilan Kena P ajak B UT setelah pajak (2) (3) (4) (5)
1. Dividen 411127/101
2. Bunga 411127/102
3. Royalti 411127/103
4. Sewa dan Penghasilan lain sehubungan
411127/100
penggunaan harta
5. Imbalan sehubungan dengan jasa, peker
411127/104
jaan dan kegiatan
6. Hadiah dan penghargaan 411127/100
7. Pensiun dan pembayaran berkala 411127/100
8. Premi swap dan transaksi lindung nilai 411127/102
9. Keuntungan karena pembebasan utang 411127/100
10. Penjualan harta di Indonesia 411127/100
11. Premi asuransi/reasuransi 411127/100
12. Penghasilan dari pengalihan saham 411127/100
13. Penghasilan Kena Pajak BUT setelah pajak 411127/105
JUMLAH - -
Terbilang :
*) Tidak termasuk dividen kepada WP Orang P ribadi Dalam Negeri. ***) Kecuali sewa tanah dan bangunan.
**) Tidak termasuk bunga simpanan yang dibayarkan o leh ko perasi kepada WP OP . ****) A pabila kurang harap dibuat lampiran tersendiri.
BAGIAN C. LAMPIRAN
1. Surat Setoran Pajak: lembar 4. Surat Kuasa Khusus
2. Daftar Bukti Pemotongan PPh Ps. 23 dan/atau Ps. 26. 5. Legalisasi fotocopy Surat Keterangan Domisili yang masih
berlaku, dalam hal PPh Psl 26 dihitung berdasarkan tarif
3. Bukti Pemotongan PPh Ps. 23 dan/atau Ps. 26: lembar
Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
BAGIAN D. PERNYATAAN DAN TANDA TANGAN
Dengan menyadari sepenuhnya akan segala akibatnya termasuk sanksi-sanksi sesuai dengan Diisi Oleh Petugas
ketentuan perundang-undangan yang berlaku, saya menyatakan bahw a apa yang telah saya SPT Masa diterima :
beritahukan di atas beserta lampiran-lampirannya adalah benar, lengkap dan jelas. Langsung dari WP
PEMOTONG PAJAK/PIMPINAN KUASA WAJIB PAJAK Melalui Pos
Tanggal

Nama
tanggal bulan tahun
NPWP
Tanda tangan & Cap Tanggal Tanda tangan
tanggal bulan tahun

F.1.1.32.03 Lampiran IV.1 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-53/PJ/2009

Dasar-Dasar Perpajakan - 211


PETUNJUK PENGISIAN FORMULIR
SPT MASA PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 DAN/ATAU PASAL 26
(F.1.1.32.03)

PETUNJUK UMUM
SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 menggunakan format yang dapat dibaca dengan mesin scanner, oleh karena itu perlu
diperhatikan hal-hal berikut ini:
 Jika Wajib Pajak membuat sendiri formulir SPT ini, jangan lupa untuk membuat tanda ■ (segi empat hitam) di keempat sudut
kertas sebagai pembatas agar dokumen dapat di-scan.
 Kertas berukuran F4/Folio (8.5 x 13 inchi) dengan berat minimal 70 gram.
 Kertas tidak boleh dilipat atau kusut.
 Kolom Identitas:
Bagi Wajib Pajak yang mengisi menggunakan komputer atau tulis tangan, semua isian identitas harus ditulis di dalam kotak-
kotak yang disediakan.
Bagi Wajib Pajak yang mengisi menggunakan mesin ketik, NPWP harus ditulis di dalam kotak-kotak sedangkan nama dan
alamat Wajib Pajak dapat ditulis dengan mengabaikan kotak-kotak namun tidak boleh melewati batas kotak paling kanan.
Contoh : Nama
PT. MAJU LANCAR JAYA SENTOSA ABADI

 Kolom-kolom nilai rupiah atau US dollar harus diisi tanpa nilai desimal.
Contoh : dalam menuliskan sepuluh juta rupiah adalah : 10.000.000 (BUKAN 10.000.000,00)
dalam menuliskan seratus dua puluh lima rupiah lima puluh sen adalah : 125 (BUKAN 125,50)

PETUNJUK KHUSUS
1. Bagian Judul
 Beri tanda silang (X) pada kotak di depan baris ”SPT Normal” jika SPT yang disampaikan merupakan SPT biasa, dan beri
tanda silang (X) pada kotak di depan baris ”SPT Pembetulan Ke- __” jika SPT yang disampaikan merupakan SPT
Pembetulan.
 Untuk SPT Pembetulan, maka pada baris: “SPT Pembetulan Ke- ___ ” diisi dengan angka kesekian kalinya Wajib Pajak
melakukan pembetulan.
 Masa Pajak diiisi dengan Masa Pajak yang bersangkutan, dengan format penulisan bulan-tahun .
Untuk SPT Pembetulan, Masa Pajak diisi dengan Masa Pajak dari SPT yang dibetulkan.

2. Bagian A
Diisi dengan identitas lengkap (NPWP, nama, dan alamat) Pemotong Pajak/Wajib Pajak.

3. Bagian B
1) PPh Pasal 23 yang telah dipotong
Kolom (1) : Cukup Jelas.
Kolom (2) : Merupakan Kode Akun Pajak (KAP) dan Kode Jenis Setoran (KJS) yang harus diisikan pada Surat Setoran
Pajak (SSP).
Kolom (3) : Cukup Jelas
Kolom (4) : Diisi dengan jumlah PPh Pasal yang dipotong
Terbilang : Diisi untuk jumlah PPh Pasal 23

2) PPh Pasal 26 yang telah dipotong


Kolom (1) : Cukup Jelas.
Kolom (2) : Merupakan Kode Akun Pajak (KAP) dan Kode Jenis Setoran (KJS) yang harus diisikan pada Surat Setoran
Pajak (SSP).
Kolom (3) : Cukup Jelas
Kolom (4) : Diisi dengan prosentase perkiraan penghasilan neto sesuai ketentuan yang berlaku.
Kolom (5) : Diisi dengan jumlah PPh Pasal yang dipotong
Terbilang : Diisi untuk jumlah PPh

4. Bagian C
Beri tanda X dalam kotak sesuai dengan dokumen yang dilampirkan dan isi jumlah dokumen yang dilampirkan pada kotak
yang tersedia.
Jika SPT ditandatangani oleh bukan Pemotong Pajak/Wajib Pajak, maka harap dilampirkan Surat Kuasa Khusus bermaterai
cukup.

5. Bagian D
 Beri tanda (X) pada kotak yang sesuai. Pemotong Pajak/Pimpinan atau Kuasanya wajib membubuhkan Nama Lengkap dan
NPWP yang bersangkutan serta wajib menandatangani dan membubuhkan cap perusahaan.
Tanggal diisi dengan tanggal dibuatnya SPT dengan format penulisan tanggal-bulan-tahun.
 Kotak yang harus diisi oleh petugas cukup dikosongkan saja oleh Wajib Pajak.

6. SPT disampaikan oleh Pemotong Pajak PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26. Penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa Pajak
dan penyampaian SPT selambat-lambatnya 20 hari setelah akhir Masa Pajak.

212 - Dasar-Dasar Perpajakan


Lembar ke-1 untuk : Wajib Pajak
Lembar ke-2 untuk : Kantor Pelayanan Pajak
Lembar ke-3 untuk : Pemotong Pajak
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA
(1)

BUKTI PEMOTONGAN PPh PASAL 23


Nomor : ………………………………….. (2)

NPW P : - - - - - (3)

Nama :
Alamat :

Jumlah Tarif lebih tinggi PPh yang


Tarif
No. Jenis Penghasilan Penghasilan Bruto 20% (Tidak Ber- Dipotong
(%)
(Rp) NPWP) (Rp)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1. Dividen *)

2. Bunga **)

3. Royalti

4. Hadiah dan penghargaan


Sewa dan Penghasilan lain sehubung
5.
an dengan penggunaan harta ***)
6. Jasa Teknik, Jasa Manajemen, Jasa
Konsultan dan Jasa Lain sesuai PMK-
244/PMK.03/2008:

a. Jasa Teknik

b. Jasa Manajemen

c. Jasa Konsultan

d. Jasa lain :
1) ………………………………………..

2) ………………………………………..

3) ………………………………………..

4) ………………………………………..

5) ………………………………………..

6) ………………………………………..
****)
JUMLAH - -
Terbilang :

Perhatian : ………………………, …………..20… (4)


1. Jumlah Pajak Penghasilan
Pasal 23 yang dipotong di atas Pemotong Pajak (5)
merupakan agsuran atas
Pajak Penghasilan yang NP W P - - - - -
:
terutang untuk tahun pajak
yang bersangkutan. Simpanlah Na m a :
bukti pemotongan ini baik-baik
untuk diperhitungkan sebagai
kredit pajak
2. Bukti Pemotongan ini Tanda tangan, nama dan cap
dianggap sah apabila diisi
dengan lengkap dan benar.

*) Tidak termasuk dividen kepada WP Orang Pribadi dalam negeri. …………………………...…… (6)
**) Tidak termasuk bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi
kepada anggota WP Orang Pribadi.
***) Kecuali sewa tanah dan bangunan.
****) Apabila kurang harap diisi sendiri.

F.1.1.33.06 Lampiran IV.3 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-53/PJ/2009

Dasar-Dasar Perpajakan - 213


PETUNJUK PENGISIAN
FORMULIR BUKTI POTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 23
(F.1.1.33.06)

Petunjuk Umum:

Bukti Pemotongan ini menggunakan format yang dapat dibaca dengan mesin scanner , oleh karena itu
perlu diperhatikan hal-hal berikut ini:
- Jika Wajib Pajak membuat sendiri formulir Bukti Pemtongan ini, jangan lupa untuk membuat tanda ■
(segi empat hitam) di keempat sudut kertas sebagai pembatas agar dokumen dapat di- scan.
- Kertas berukuran F4/Folio (8.5 x 13 inchi) dengan berat minimal 70 gram.
- Kertas tidak boleh dilipat atau kusut.
- Kolom Identitas:
Bagi Wajib Pajak yang mengisi menggunakan komputer atau tulis tangan, semua isian identitas harus
ditulis di dalam kotak-kotak yang disediakan.
Bagi Wajib Pajak yang mengisi menggunakan mesin ketik, NPWP harus ditulis di dalam kotak-kotak
sedangkan nama dan alamat Wajib Pajak dapat ditulis dengan mengabaikan kotak-kotak namun tidak
boleh melewati batas kotak paling kanan.
Contoh: Nama PT MAJU LANCAR JAYA SENTOSA ABADI
- Kolom-kolom nilai rupiah atau US dollar harus diisi tanpa nilai desimal.
Contoh: dalam menuliskan sepuluh juta rupiah adalah: 10.000.000 (BUKAN 10.000.000,00)
dalam menuliskan seratus dua puluh lima rupiah lima puluh sen adalah: 125 (BUKAN 125,50)

(1) Diisi dengan nama Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Pemotong Pajak/Wajib Pajak terdaftar.
(2) Diisi dengan Nomor Bukti Potong.
(3) Diisi dengan identitas lengkap Wajib Pajak yang dipotong
(4) Diisi dengan tempat dan tanggal dibuatnya Bukti Potong
(5) Diisi dengan NPWP dan nama Pemotong Pajak
(6) Diisi dengan tanda tangan, nama dan cap Pemotong Pajak

Petunjuk Khusus :

Bukti Pemotongan ini dibuat dalam rangkap 3 (tiga), yaitu:


Lembar ke 1 : Untuk Wajib Pajak
Lembar ke 2 : Untuk Kantor Pelayanan Pajak
Lembar ke 3 : Untuk Pemotong Pajak

Kolom 1 : Nomor, cukup jelas.


Kolom 2 : Uraian, cukup jelas.
Kolom 3 : Jumlah Penghasilan Bruto, diisi dengan jumlah bruto objek pajak yang dipotong
Kolom 4 : Tarif Lebih Tinggi 100% (Tdk ber-NPWP)
Jika pemotongan dilakukan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP, isilah kotak
dengan tanda X, namun jika pemotongan dilakukan terhadap Wajib Pajak yang memiliki
NPWP maka kosongkan kotak.
Kolom 5 : Tarif , cukup jelas
Kolom 6 : PPh yang dipotong , diisi dengan jumlah Pajak Penghasilan yang dipotong yaitu:
- Atas pemotongan yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang memiliki NPWP Kolom 3 x
Kolom 5
- Atas pemotongan yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP Kolom
3 x Kolom 5 x 200%
Terbilang : Diisi untuk jumlah PPh

214 - Dasar-Dasar Perpajakan


Lembar ke-1 untuk : Wajib Pajak
Lembar ke-2 untuk : Kantor Pelayanan Pajak
Lembar ke-3 untuk : Pemotong Pajak
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA
(1)

BUKTI PEMOTONGAN PPh PASAL 26


Nomor : ………………………………….. (2)

NPW P : - - - - - (3)

Nama :
Alamat :

Jumlah Perkiraan PPh yang


Tarif
No. Uraian Penghasilan Bruto Penghasilan Dipotong
(%)
(Rp) Neto (%) (Rp)
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1. Dividen
2. Bunga
3. Royalti
4. Sewa dan Penghasilan lain sehubung
an dengan penggunaan harta selain
penghasilan atas pengalihan tanah dan
atau bangunan
5. Imbalan sehubungan dengan jasa,
pekerjaan, dan kegiatan
6. Hadiah dan penghargaan
7. Pensiun dan pembayaran berkala
8. Premi swap dan transaksi lindung nilai
9. Keuntungan karena pembebasan utang
10. Penjualan harta di Indonesia
11. Premi asuransi/reasuransi
12. Penghasilan dari penjualan atau
pengalihan saham
13. Penghasilan Kena Pajak BUT sesudah
dikurangi pajak
JUMLAH - -
Terbilang :

………………………, …………..20… (4)

Pemotong Pajak (5)

NP W P : - - - - -
Na m a :

Tanda tangan, nama dan cap

…………………………...…… (6)

F.1.1.33.08

Dasar-Dasar Perpajakan - 215


PETUNJUK PENGISIAN
FORMULIR BUKTI POTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 26

Petunjuk Umum:

Bukti Pemotongan ini menggunakan format yang dapat dibaca dengan mesin scanner , oleh karena itu
perlu diperhatikan hal-hal berikut ini:
- Jika Wajib Pajak membuat sendiri formulir Bukti Pemtongan ini, jangan lupa untuk membuat tanda ■
(segi empat hitam) di keempat sudut kertas sebagai pembatas agar dokumen dapat di- scan.
- Kertas berukuran F4/Folio (8.5 x 13 inchi) dengan berat minimal 70 gram.
- Kertas tidak boleh dilipat atau kusut.
- Kolom Identitas:
Bagi Wajib Pajak yang mengisi menggunakan komputer atau tulis tangan, semua isian identitas harus
ditulis di dalam kotak-kotak yang disediakan.
Bagi Wajib Pajak yang mengisi menggunakan mesin ketik, NPWP harus ditulis di dalam kotak-kotak
sedangkan nama dan alamat Wajib Pajak dapat ditulis dengan mengabaikan kotak-kotak namun tidak
boleh melewati batas kotak paling kanan.
Contoh: Nama FRANK MERLIN FRISSEL
- Kolom-kolom nilai rupiah atau US dollar harus diisi tanpa nilai desimal.
Contoh: dalam menuliskan sepuluh juta rupiah adalah: 10.000.000 (BUKAN 10.000.000,00)
dalam menuliskan seratus dua puluh lima rupiah lima puluh sen adalah: 125 (BUKAN 125,50)

(1) Diisi dengan nama Kantor Pelayanan Pajak (KPP)


(2) Diisi dengan Nomor Bukti Pemotongan sesuai dengan urutan yang dibuat oleh Pemotong Pajak
(3) Diisi dengan Identitas Wajib Pajak yang dipotong PPh Pasal 26
(4) Diisi dengan tempat, tanggal, bulan dan tahun dibuatnya Bukti Pemotongan Pajak
(5) Diisi dengan Identitas lengkap Pemotong Pajak
(6) Diisi dengan tanda tangan, nama dan cap Pemotong Pajak

Petunjuk Khusus :
Bukti Pemotongan ini dibuat dalam rangkap 3 (tiga), yaitu:
Lembar ke 1 : Untuk Wajib Pajak
Lembar ke 2 : Untuk KPP sebagai lampiran pada saat pelaporan SPT Masa PPh Pasal 23 dan Pasal 26
Lembar ke 3 : Untuk Pemotong Pajak

Kolom 1 : Nomor, cukup jelas.


Kolom 2 : Uraian, cukup jelas.
Kolom 3 : Jumlah Penghasilan Bruto, Diisi dengan jumlah penghasilan yang dibayarkan.
Kolom 4 : Perkiraan Penghasilan Neto
Diisi dengan prosentase perkiraan penghasilan netto sesuai dengan ketentuan pelaksanaan
Pasal 26 ayat (2) dan 2a UU PPh.
Kolom 5 : Tarif , cukup jelas
Tarif umum adalah 20%. Apabila terdapat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda,
fasilitas perpajakan, atau ketentuan khusus, maka tarif agar disesuaikan.
Kolom 6 : PPh yang dipotong, diisi dengan jumlah PPh Pasal 26 yang dipotong, yaitu:
(Kolom 3 x Kolom 4 x Kolom 5) atau (Kolom 3 x Kolom 5)
Terbilang : Diisi untuk jumlah PPh

216 - Dasar-Dasar Perpajakan


BAB VII
Pajak Penghasilan Pasal 24

Pengertian

Pajak Penghasilan Pasal 24 merupakan pajak yang dibayar atau terutang di


luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak dalam negeri yang boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang
berdasarkan Undang-Undang PPh dalam tahun pajak yang sama.
Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan, termasuk
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Untuk meringankan
beban pajak ganda yang dapat terjadi karena pengenaan pajak atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh di luar negeri, ketentuan ini mengatur tentang
perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar
negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas seluruh
penghasilan Wajib Pajak dalam negeri .
Pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang dapat
dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia hanyalah pajak yang
langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak.
Contoh:
PT. Merdeka yang berkedudukan di Indonesia merupakan pemegang saham
tunggal dari Insta Inc. di Negara Singapura. Insta Inc. tersebut dalam tahun 2000
memperoleh keuntungan sebesar US$100.000. Pajak Penghasilan yang berlaku di
negara X adalah 48% dan pajak atas dividen adalah 38%. Berikut penghitungan
pajak atas dividen tersebut.
Keuntungan Insta Inc. US$100.000
Pajak Penghasilan (corporate income tax)
atas Insta Inc.: (48%) US$ 48.000 (-)
US$ 52.000
Pajak atas dividen (38%) US$ 19.760 (-)
Dividen yang dikirim ke Indonesia US$ 32.240

Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan terhadap seluruh Pajak Penghasilan


yang terutang atas PT. Merdeka adalah pajak yang langsung dikenakan atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri, dalam contoh di atas, yaitu
jumlah sebesar US$ 19.760.
Pajak Penghasilan (corporate income tax) atas Insta Inc. sebesar US$48.000 tidak
dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang atas PT. Merdeka,
karena pajak sebesar US$ 48.000 tersebut tidak dikenakan langsung atas

Dasar-Dasar Perpajakan - 217


penghasilan yang diterima atau diperoleh PT. Merdeka dari luar negeri, melainkan
pajak yang dikenakan atas keuntungan Insta Inc. di negara Singapura.

Permohonan Kredit Pajak Luar Negeri

Apabila pengajuan pengkreditan pajak luar negeri buat oleh Wajib Pajak
maka surat permohonan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan
dilampiri:
1. Laporan keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri.
2. Fotokopi surat pemberitahuan pajak yang disampaikan di luar negeri.
3. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.
Penyampaian permohonan kredit pajak luar negeri tersebut dilakukan
bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan. Atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat
memperpanjang jangka waktu penyampaian lampiran-lampiran karena alasan-
alasan di luar kemampuan Wajib Pajak (force majeur).

Penggabungan Penghasilan

Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas Penghasilan Kena Pajak yang
berasal dari seluruh penghasilan termasuk penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari luar negeri, maka seluruh penghasilan di dalam maupun luar negeri
digabungkan. Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan
sebagai berikut:
1. Untuk penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya
penghasilan tersebut.
2. Untuk penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya
penghasilan tersebut.
3. Untuk penghasilan berupa dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan dalam tahun pajak
pada saat perolehan dividen tersebut ditetapkan sesuai dengan Keputusan
Menteri Keuangan.
Kerugian yang diderita di luar negeri tidak boleh digabungkan dalam
menghitung Penghasilan Kena Pajak.
Contoh:
PT. Semangat Jaya di Semarang dalam tahun pajak 2012 menerima dan
memperoleh penghasilan neto dari sumber luar negeri sebagai berikut:
1. Hasil usaha di Malaysia dalam tahun pajak 2012 sebesar Rp. 800.000.000.
2. Dividen atas pemilikan saham pada Income Ltd. di Amerika sebesar Rp.
200.000.000, yaitu berasal dari keuntungan tahun 2009 yang ditetapkan
dalam rapat pemegang saham tahun 2011 dan baru dibayar dalam tahun
2012.
3. Dividen atas penyertaan saham sebanyak 70% pada Inchung Corporation di
Taiwan yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sebesar Rp.
75.000.000, yaitu berasal dari keuntungan saham 2010 yang berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan ditetapkan diperoleh tahun 2012.

218 - Dasar-Dasar Perpajakan


4. Bunga kuartal IV tahun 2012 sebesar Rp. 100.000.000 dari Tasuko Ltd dari
Jepang yang baru akan diterima Juni 2013.
Penghasilan dari sumber luar negeri yang digabungkan dengan penghasilan
dalam negeri dalam tahun pajak 2012 adalah penghasilan pada poin 1, 2, dan 3,
sedangkan penghasilan pada poin 4 digabungkan dengan penghasilan dalam
negeri dalam tahun pajak 2013.

Cara Menentukan Sumber Penghasilan

Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, sumber


penghasilan ditentukan sebagai berikut:
1. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari
pengalihan saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang
menerbitkan saham atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat
kedudukan.
2. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan
penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau
dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau
berada.
3. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak
adalah negara tempat harta tersebut terletak.
4. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan
kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan
tersebut bertempat kedudukan atau berada.
5. Penghasilan Bentuk Usaha Tetap adalah negara tempat Bentuk Usaha Tetap
tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
6. Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau
tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan
pertambangan adalah negara tempat lokasi penambangan berada.
7. Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harga tetap
berada.
8. Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu Bentuk
Usaha Tetap adalah negara tempat Bentuk Usaha Tetap berada.
Mengingat pengertian penghasilan yang luas, maka penentuan sumber dari
penghasilan selain yang tersebut di atas dipergunakan prinsip yang sama dengan
prinsip sebagaimana disebutkan di atas. Misalnya, Ahmad sebagai Wajib Pajak
dalam negeri memiliki sebuah rumah di Amerika dan dalam tahun 2012 rumah
tersebut dijual. Keuntungan yang diperoleh dari penjualan rumah tersebut
merupakan penghasilan yang bersumber di Amerika karena rumah tersebut
terletak di Amerika.
Apabila terjadi pengurangan atau pengembalian pajak atas penghasilan yang
dibayar di luar negeri, sehingga besarnya pajak yang dapat dikreditkan di
Indonesia menjadi lebih kecil dari besarnya perhitungan semula, maka selisihnya
ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang terutang menurut Undang-Undang
Pajak Penghasilan. Misalnya, dalam tahun 2012, Wajib Pajak mendapat
pengurangan pajak atas penghasilan luar negeri tahun pajak 2011 sebesar

Dasar-Dasar Perpajakan - 219


Rp.7.000.000 yang semula telah termasuk dalam jumlah pajak yang dikreditkan
terhadap Pajak yang terutang untuk tahun pajak 2011, maka jumlah sebesar
Rp.7.000.000 tersebut ditambahkan pada Pajak Penghasilan yang terutang dalam
tahun pajak 2012.

Tata Cara Penghitungan Kredit Pajak Luar Negeri

Besarnya kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan dikreditkan (PPh 24)
dipilih mana yang terendah di antara 2 kemungkinan:
1. Jumlah pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri, atau
2. PPh yang dihitung berdasarkan:

Penghasilan LN
( ) x PPh seluruh penghasilan
Penghasilan LN+Penghasilan DN

Cara Menghitung Kredit Pajak Luar Negeri Wajib Pajak Badan

PT. Sinar Mata di Surakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2013
sebagai berikut:
Penghasilan dalam negeri Rp. 1.000.000.000
Penghasilan luar negeri (tarif pajak 20%) Rp. 1.000.000.000
Penghitungan jumlah maksimum kredit pajak luar negeri adalah:
1. Penghasilan luar negeri Rp. 1.000.000.000
Penghasilan dalam negeri Rp. 1.000.000.000 (+)
Jumlah penghasilan neto Rp. 2.000.000.000
2. Apabila jumlah Penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak,
maka sesuai tarif Pasal 17 ayat (2a), Pajak Penghasilan yang terutang
sebesar:
25% x Rp. 2.000.000.000 = Rp. 500.000.000
3. Batas maksimum kredit pajak luar negeri adalah:
Rp. 1.000.000.000
-------------------------- x Rp. 500.000.000 = Rp. 250.000.000
Rp. 2.000.000.000

Oleh karena batas maksimum kredit pajak luar negeri sebesar Rp. 250.000.000
lebih besar dari jumlah pajak luar negeri yang terutang atau dibayar di luar negeri,
yaitu sebesar Rp. 200.000.000 (20% x Rp. 1.000.000.000), maka jumlah kredit
pajak luar negeri yang diperkenankan adalah sebesar Rp. 200.000.000.
Apabila penghasilan luar negeri berasal dari beberapa negara, maka
penghitungan kredit pajak dilakukan untuk masing-masing negara.

Cara Menghitung Kredit Pajak Luar Negeri Wajib Orang Pribadi

Joko Susilo, status belum menikah dan tidak memiliki tanggungan (TK/0)
memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2014 sebagai berikut:
Penghasilan dalam negeri Rp. 1.000.000.000
Penghasilan luar negeri (tarif pajak 20%) Rp. 1.000.000.000

220 - Dasar-Dasar Perpajakan


Penghitungan jumlah maksimum kredit pajak luar negeri adalah:
1. Penghasilan luar negeri Rp. 1.000.000.000
Penghasilan dalam negeri Rp. 1.000.000.000(+)
Jumlah penghasilan neto Rp. 2.000.000.000
Dikurangi:
PTKP (TK/0) Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 1.975.700.000
2. Pajak penghasilan terutang sesuai tarif Pasal 17 ayat (1)a Undang-Undang
Pajak Penghasilan:
5% x Rp. 50.000.000 = Rp. 2.500.000
15% x Rp. 200.000.000 = Rp. 30.000.000
25% x Rp. 250.000.000 = Rp. 62.500.000
30% x Rp. 1.475.700.000 = Rp. 442.710.000
Total Rp. 537.710.000
3. Batas maksimum kredit pajak luar negeri adalah:
Rp. 1.000.000.000 x Rp. 537.710.000 = Rp. 272.161.765
Rp. 1.975.700.000

Oleh karena batas maksimum kredit pajak luar negeri sebesar Rp.272.161.765
lebih besar dari jumlah pajak luar negeri yang terutang atau dibayar di luar negeri,
yaitu sebesar Rp 200.000.000 (20% x Rp. 1.000.000.000), maka jumlah kredit
pajak luar negeri yang diperkenankan adalah sebesar Rp. 200.000.000.

Apabila Terjadi Kerugian di Dalam Negeri

PT. Alamanda di Bandung memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2014, yaitu:
Penghasilan dari usaha di luar negeri Rp. 1.000.000.000)
Rugi usaha dalam negeri (Rp. 200.000.000)
Pajak atas penghasilan di luar negeri,
misalnya 40% Rp. 400.000.000))
Penghitungan maksimum kredit pajak luar negeri serta pajak terutang adalah:
1. Penghasilan usaha luar negeri Rp. 1.000.000.000)
Rugi usaha dalam negeri (Rp. 200.000.000)
Jumlah penghasilan neto Rp. 800.000.000)
2. Apabila jumlah penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak,
maka sesuai tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh, Pajak Penghasilan yang
terutang sebesar 25% x Rp800.000.000 = Rp. 200.000.000
3. Batas maksimum kredit pajak luar negeri adalah:
Rp. 1.000.000.000 x Rp. 200.000.000 = Rp. 250.000.000
Rp. 800.000.000
Oleh karena pajak yang dibayar di luar negeri Rp. 400.000.000 dan batas
maksimum kredit pajak luar negeri yang dapat dikreditkan Rp.250.000.000 masih
lebih besar dari jumlah pajak yang terutang Rp. 200.000.000, maka kredit pajak
luar negeri yang diperkenankan untuk dikreditkan dalam penghitungan Pajak
Penghasilan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang, yaitu
Rp.200.000.000.

Dasar-Dasar Perpajakan - 221


Apabila Terjadi Kerugian di Luar Negeri

Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, kerugian yang diderita oleh


Wajib Pajak di luar negeri tidak dapat dikompensasikan dengan penghasilan yang
diterima atau diperoleh dari Indonesia.
Contoh
PT. Semangat di Medan memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2014 sebagai
berikut:
1. Di India, memperoleh penghasilan (laba) Rp. 1.000.000.000, dengan tarif
pajak sebesar 40% (Rp. 400.000.000).
2. Di Jepang, memperoleh penghasilan (laba) Rp. 3.000.000.000, dengan tarif
pajak sebesar 30% (Rp. 900.000.000).
3. Di Brunei, menderita kerugian Rp. 2.500.000.000.
4. Penghasilan usaha di dalam negeri Rp. 4.000.000.000.

Penghitungan kredit pajak luar negeri adalah:


1. Penghasilan luar negeri: Rp. 4.000.000.000
Penghasilan dalam negeri Rp. 4.000.000.000
Jumlah penghasilan neto adalah Rp. 8.000.000.000
2. PPh terutang menurut tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh:
25% x Rp 8.000.000.000 = Rp. 2.000.000.000
3. Batas maksimum kredit pajak luar negeri untuk masing-masing negara
adalah:
a. Untuk India
×Rp. 2.000.000.000 = Rp. 250.000.000
b. Untuk Jepang
× Rp. 2.000.000.000 = Rp. 750.000.000

Pajak yang terutang di Jepang sebesar Rp. 900.000.000, lebih besar dari
maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah Rp. 750.000.000, maka
jumlah kredit pajak luar negeri yang diperkenankan sebesar Rp. 750.000.000.
Jumlah kredit pajak luar negeri yang diperkenankan adalah:
Rp. 250.000.000 + Rp. 750.000.000 = Rp. 1.000.000.000
Dari contoh di atas jelas bahwa dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak,
kerugian yang diderita di luar negeri (di Brunei sebesar Rp. 2.500.000.000) tidak
dapat dikompensasikan.

Penghasilan Luar Negeri Bersumber dari Beberapa Negara

Dalam hal penghasilan luar negeri bersumber dari beberapa negara, maka
jumlah maksimum kredit pajak luar negeri dihitung untuk masing-masing negara
dengan menerapkan cara penghitungan sebagai berikut:
Contoh:
PT. Alibaba di Jakarta dalam tahun 2014 memperoleh penghasilan neto sebagai
berikut:

222 - Dasar-Dasar Perpajakan


Penghasilan dalam negeri Rp. 2.000.000.000
Penghasilan dari Spanyol (tarif pajak 40%) Rp. 1.000.000.000
Penghasilan dari Inggris (tarif pajak 30%) Rp. 2.000.000.000
Jumlah penghasilan neto Rp. 5.000.000.000
Apabila penghasilan neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak, maka Pajak
Penghasilan terutang menurut tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh sebesar:
25% × Rp. 5.000.000.000 = Rp. 1.250.000.000

Batas maksimum kredit pajak luar negeri setiap negara adalah:


a. Untuk negara Spanyol
× Rp. 1.250.000.000 =Rp. 250.000.000

Pajak yang terutang di luar negeri sebesar Rp 400.000.000 (40% × Rp.


1.000.000.000) lebih besar dari batas maksimum kredit pajak yang dapat
dikreditkan, maka jumlah kredit yang diperkenankan hanya sebesar Rp.
250.000.000.
b. Untuk Inggris
× Rp. 1.250.000.000 = Rp. 500.000.000

Pajak yang terutang di luar negeri sebesar Rp. 600.000.000 (30% ×


Rp.2.000.000.000) lebih besar dari batas maksimum kredit pajak yang dapat
dikreditkan, maka jumlah kredit yang diperkenankan hanya sebesar
Rp.500.000.000.
Jumlah kredit pajak luar negeri:
Rp. 250.000.000+ Rp. 500.000.000 = Rp. 750.000.000

Penghasilan yang Dikenakan Pajak yang Bersifat Final

Dalam hal Wajib Pajak memperoleh penghasilan yang dikenakan Pajak yang
bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh,
maka atas penghasilan tersebut bukan merupakan faktor penambahan
penghasilan pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak.
Contoh
PT. Amanah di Makasar dalam tahun 2014 memperoleh penghasilan sebagai
berikut:
1. Penghasilan dari Yordania
(tarif pajak 30%) Rp. 2.000.000.000
2. Penghasilan Dalam Negeri Rp. 3.500.000.000
(Penghasilan Dalam Negeri ini termasuk penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh sebesar Rp. 500.000.000).
3. Penghasilan Kena Pajak PT. Amanah sebesar:
Penghasilan dari Yordania Rp. 2.000.000.000)
Penghasilan dari dalam negeri Rp. 3.500.000.000)
PPh Pasal 4 ayat (2) Rp. (500.000.000)
Rp. 3.000.000.000)
Penghasilan neto Rp. 5.000.000.000)

Dasar-Dasar Perpajakan - 223


4. Sesuai tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh, Pajak Penghasilan yang terutang
sebesar:
25% × Rp. 5.000.000.000 = Rp. 1.250.000.000
5. Batas maksimum kredit pajak luar negeri adalah:
× Rp. 1.250.000.000 = Rp. 500.000.000

Pajak yang terutang di Yordania sebesar Rp. 600.000.000 (30% × Rp.


2.000.000.000), tetapi maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan sebesar
Rp. 500.000.000, maka jumlah kredit pajak yang diperkenankan adalah Rp.
500.000.000.

Perubahan Jumlah Penghasilan dari Luar Negeri

Pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan karena perubahan penghasilan


dari luar negeri, dilakukan sebagai berikut:
Jika terjadi koreksi fiskal di luar negeri yang menyebabkan adanya tambahan
penghasilan yang mengakibatkan pajak atas penghasilan terutang di luar negeri
lebih besar dari yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan, sehingga
pajak di luar negeri kurang dibayar, maka terdapat kemungkinan Pajak
Penghasilan di Indonesia juga kurang dibayar. Sepanjang koreksi fiskal di luar
negeri tersebut dilaporkan sendiri oleh Wajib Pajak melalui pembetulan Surat
Pemberitahuan Tahunan, maka bunga yang terutang atas pajak yang kurang
dibayar tersebut tidak ditagih.
Contoh:
1. Penghasilan luar negeri (SPT) Rp 1.000.000.000.
2. Penghasilan dalam negeri Rp 2.000.000.000.
3. Penghasilan luar negeri (setelah dikoreksi di luar negeri) Rp 2.000.000.000.
4. Pajak atas penghasilan yang terutang di luar negeri, misalnya 20%.
5. PPh Pasal 25 yang dibayar Rp 500.000.000.
6. PPh terutang sebelum dan sesudah koreksi fiskal di luar negeri adalah:
SPT SPT PEMBETULAN
1. Penghasilan luar negeri Rp 1.000.000.000 1. Penghasilan luar negeri Rp 2.000.000.000
2. Penghasilan dalam negeri Rp 2.000.000.000 2. Penghasilan dalam negeri Rp 2.000.000.000
3. Penghasilan Kena Pajak Rp 3.000.000.000 3. Penghasilan Kena Pajak Rp 4.000.000.000
4. PPh terutang (tarif Pasal 17) Rp 840.000.000 4. PPh terutang (tarif Pasal 17) Rp 1.120.000.000
5. Kredit Pajak Luar Negeri: 5. Kredit Pajak Luar Negeri:
× Rp840.000.000 Rp 280.000.000 ×Rp1.120.000.000 Rp 560.000.000
6. PPh dibayar di luar negeri Rp 200.000.000 6. PPh dibayar di luar negeri Rp 400.000.000
7. PPh harus dibayar Rp 640.000.000 7. PPh harus dibayar Rp 720.000.000
8. PPh Pasal 25 Rp 500.000.000 8. PPh Pasal 25 Rp 500.000.000
9. PPh Pasal 29 Rp 140.000.000 9. PPh Pasal 29 Rp 220.000.000
10. Masih harus dibayar Rp 80.000.000
Terhadap PPh yang masih harus dibayar sebesar
Rp80.000.000 tidak ditagih bunga

Jika terjadi koreksi fiskal di luar negeri berupa koreksi yang menyebabkan
penghasilan dan pajak atas penghasilan terutang di luar negeri lebih kecil dari
yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan, sehingga pajak di luar
negeri lebih dibayar. Koreksi fiskal di luar negeri tersebut akan mengakibatkan
Pajak Penghasilan terutang di Indonesia juga menjadi lebih kecil, sehingga Pajak

224 - Dasar-Dasar Perpajakan


Penghasilan menjadi lebih dibayar. Kelebihan bayar pajak tersebut dapat
dikembalikan kepada Wajib Pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak yang
lain.

Contoh:
1. Penghasilan luar negeri (SPT) Rp. 1.000.000.000.
2. Penghasilan dalam negeri Rp. 2.000.000.000.
3. Penghasilan luar negeri (setelah dikoreksi di luar negeri) Rp.2.000.000.000.
4. Pajak atas penghasilan yang terutang di luar negeri, misalnya 20%.
5. PPh Pasal 25 yang dibayar Rp. 500.000.000.
6. PPh terutang sebelum dan sesudah koreksi fiskal di luar negeri adalah:
SPT SPT PEMBETULAN
1. Penghasilan luar negeri Rp 1.000.000.000 1. Penghasilan luar negeri Rp 500.000.000
2. Penghasilan dalam negeri Rp 2.000.000.000 2. Penghasilan dalam negeri Rp 2.000.000.000
3. Penghasilan Kena Pajak Rp 3.000.000.000 3. Penghasilan Kena Pajak Rp 2.500.000.000
4. PPh terutang (tarif Pasal 17) Rp 840.000.000 4. PPh terutang Rp 700.000.000
5. Kredit Pajak Luar Negeri: 5. Kredit Pajak Luar Negeri:
× Rp840.000.000 Rp 280.000.000 × Rp700.000.000 Rp 140.000.000
6. PPh dibayar di luar negeri Rp 200.000.000 6. PPh dibayar di luar negeri Rp 100.000.000
7. PPh harus dibayar Rp 640.000.000 7. PPh harus dibayar Rp 600.000.000
8. PPh Pasal 25 Rp 500.000.000 8. PPh Pasal 25 Rp 500.000.000
9. PPh Pasal 29 Rp 140.000.000 9. PPh Pasal 29 Rp 100.000.000
10. Lebih dibayar Rp 40.000.000

Kelebihan bayar sebesar Rp 40.000.000 dapat diminta kembali setelah


diperhitungkan dengan utang pajak yang lain.

Dasar-Dasar Perpajakan - 225


BAB VIII
Pajak Penghasilan Pasal 25

Pengertian

Undang-undang pajak penghasilan pasal 25 mengatur tentang perhitungan


besar angsuran bulanan yang dibayar sendiri oleh wajib pajak dalam tahun
berjalan. Dalam melakukan pembayaran pajak tahun berjalan dapat dilakukan
dengan cara berikut ini:
1. Wajib pajak membayar sendiri pajaknya melalui angsuran setiap bulan (PPh
Pasal 25).
2. Wajib pajak dikenakan pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga maupun
dibayar atau terutang di luar negeri (PPh Pasal 21, 22, 23, dan 24).
Jadi Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh Pasal 25) dapat didefinisikan sebagai
angsuran PPh yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan
dalam tahun pajak berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 UU No. 7
Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan. Pembayaran angsuran setiap bulan itu sendiri
dimaksudkan untuk meringankan beban Wajib Pajak dalam membayar pajak
terutang.
Angsuran PPh Pasal 25 tersebut dapat dijadikan kredit pajak terhadap pajak
yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak pada akhir tahun pajak yang
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT
Tahunan PPh).

Perhitungan Angsuran Bulanan

Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan (PPh Pasal 21 ayat (1)) adalah
sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
dan Pasal 23 serta pajak penghasilan yang dipungut dalam pasal 22
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, dibagi 12 (dua belas)
atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
Penghitungan angsuran pajak penghasilan 25 dibedakan menjadi dua, yaitu
bagi Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak Badan.

226 - Dasar-Dasar Perpajakan


Menghitung Angsuran PPh Pasal 25 Ayat (1) bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
PPh menurut SPT Tahunan PPh tahun lalu xxx
Pengurangan/Kredit Pajak:
PPh Pasal 21 xxx
PPh Pasal 22 xxx
PPh Pasal 23 xxx
PPh Pasal 24 xxx
Total kredit pajak xxx
Dasar penghitungan angsuran xxx

Angsuran PPh Pasal 25 = dasar penghitungan angsuran ÷ 12 atau banyaknya


bulan dalam bagian tahun pajak.
Contoh 1
Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tuan Abdul berdasarkan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2012 sebesar Rp. 50.000.000.
Pajak yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak ketiga serta yang terutang atau
dibayar di luar negeri dalam tahun 2012 adalah sebagai berikut:
 Pemotongan PPh Pasal 21 melalui pemberi kerja sebesar Rp.15.000.000.
 Pemungutan PPh Pasal 22 oleh pihak lain sebesar Rp.10.000.000.
 Pemotongan PPh Pasal 23 oleh penyelenggara kegiatan sebesar Rp.
2.500.000.
 Pembayaran pajak di luar negeri sebesar Rp. 7.500.000 seluruhnya dapat
dikreditkan (sebagai PPh Pasal 24).
Angsuran bulanan PPh Pasal 25 ayat (1) untuk tahun 2013 adalah:
PPh terutang berdasar SPT
Tahunan PPh tahun 2012 Rp. 50.000.000)
Kredit Pajak:
PPh Pasal 21 Rp. 15.000.000)
PPh Pasal 22 Rp. 10.000.000)
PPh Pasal 23 Rp. 2.500.000)
PPh Pasal 24 Rp. 7.500.000)
Total kredit pajak Rp. 35.000.000
Dasar penghitungan angsuran Rp. 15.000.000)

Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak setiap bulan
(PPh Pasal 25 ayat (1)) dalam tahun 2013 adalah:
Rp. 15.000.000 ÷ 12 Rp. 1.250.000)

Menghitung Angsuran PPh Pasal 25 Ayat (1) bagi Wajib Pajak Badan
PPh menurut SPT Tahunan PPh tahun lalu xxx
Pengurangan/Kredit Pajak:
PPh Pasal 22 xxx
PPh Pasal 23 xxx
PPh Pasal 24 xxx
Total kredit pajak xxx
Dasar penghitungan angsuran xxx

Dasar-Dasar Perpajakan - 227


Angsuran PPh Pasal 25 = dasar penghitungan angsuran ÷ 12 (atau jumlah bulan
dalam bagian tahun pajak).
Contoh 2
Pajak Penghasilan yang terutang untuk PT. Merdeka berdasarkan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2013 sebesar Rp. 125.000.000.
Pajak yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak ketiga serta yang terutang atau
dibayar di luar negeri dalam tahun 2013 adalah sebagai berikut:
 Pajak Penghasilan yang dipungut oleh pihak lain (PPh Pasal 22) sebesar
Rp.30.000.000
 Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak lain (PPh Pasal 23) sebesar
Rp.15.000.000
 Pajak Penghasilan yang dibayar di luar negeri sebesar Rp.42.500.000, tetapi
berdasar ketentuan yang dapat dikreditkan (PPh Pasal 24) sebesar
Rp.40.000.000
Pajak Penghasilan yang telah dipotong/dipungut oleh pihak lain, dan yang
dibayarkan atau terutang di luar negeri tersebut untuk bagian tahun pajak yang
meliputi masa 8 (delapan) bulan dalam tahun 2013.
Angsuran PPh Pasal 25 untuk tahun 2014 adalah:
PPh terutang berdasar SPT
Tahunan PPh tahun 2013 Rp. 125.000.000
Kredit Pajak:
PPh Pasal 22 Rp. 30.000.000
PPh Pasal 23 Rp. 15.000.000
PPh Pasal 24 Rp. 40.000.000
Total kredit pajak Rp. 85.000.00
Dasar penghitungan angsuran Rp. 40.000.000

Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak setiap bulan
(PPh Pasal 25) dalam tahun 2014 adalah:
Rp. 40.000.000 ÷ 8 Rp. 5.000.000

Angsuran PPh untuk Bulan-Bulan sebelum Batas Waktu Penyampaian SPT


Tahunan PPh

Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan


bagi Wajib Pajak orang pribadi adalah akhir bulan ketiga tahun pajak berikutnya
dan bagi Wajib Pajak badan adalah akhir bulan keempat tahun pajak berikutnya.
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk
bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
disampaikan belum dapat dihitung sesuai dengan ketentuan di atas (PPh Pasal 25
ayat (1)).
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk
bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
disampaikan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir
tahun pajak yang lalu.

228 - Dasar-Dasar Perpajakan


Contoh 3
Jika Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi
disampaikan oleh Wajib Pajak orang pribadi pada bulan Maret 2013, besarnya
angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak tersebut untuk bulan Januari dan
Februari 2013 adalah sebesar angsuran pajak bulan Desember 2012. Misalnya,
besarnya angsuran pajak bulan Desember 2012 adalah Rp. 1.000.000 (satu juta
rupiah), maka angsuran PPh untuk bulan Januari dan Februari 2013 adalah
Rp.1.000.000.

Contoh 3.1
Jika surat pemberitahuan Pajak Penghasilan pada disampaikan oleh Wajib Pajak
Badan pada akhir bulan April 2014 yaitu batas akhir penyampaian SPT Tahunan
PPh Wajib Pajak Badan, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar oleh WP
badan pada bulan Januari, Februari, dan Maret 2014 adalah sebesar angsuran
pajak bulan Desember 2013. Misalnya, besarnya angsuran pajak bulan Desember
2013 adalah Rp. 5.500.000 maka angsuran PPh untuk bulan Januari sampai
dengan Maret 2014 masing-masing adalah Rp. 5.500.000.

Angsuran PPh Pasal 25 Jika dalam Tahun Berjalan Diterbitkan Surat


Ketetapan Pajak untuk Tahun Pajak yang Lalu

Jika dalam tahun berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak
yang lalu, besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan
pajak tersebut. Perubahan besarnya angsuran pajak tersebut berlaku mulai bulan
berikutnya setelah bulan diterbitkannya surat ketetapan pajak.
Contoh 4
Jika berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak
2014 yang disampaikan Wajib Pajak dalam bulan Februari 2015, perhitungan
besarnya angsuran pajak yang harus dibayar adalah sebesar Rp. 1.250.000 (satu
juta dua ratus lima puluh ribu rupiah). Dalam bulan Juni 2015 telah diterbitkan
surat ketetapan pajak tahun pajak 2014 yang menghasilkan besarnya angsuran
pajak setiap bulan sebesar Rp. 2.000.000 (dua juta rupiah).
Sesuai ketentuan tersebut, besarnya angsuran pajak mulai bulan Juli 2015 adalah
sebesar Rp. 2.000.000 (dua juta rupiah). Penetapan besarnya angsuran pajak
berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut bisa sama, lebih besar, atau lebih kecil
dari angsuran pajak sebelumnya berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan.

Contoh 5
Wajib Pajak PT. Andalusia pada tahun 2014 memperoleh penghasilan neto
sebesar Rp. 500.000.000. Pajak yang telah dibayarkan melalui
pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga serta yang terutang atau dibayar di
luar negeri dalam tahun 2014 sebagai berikut:
 PPh Pasal 22 atas impor barang sebesar Rp. 50.000.000
 PPh Pasal 23 atas sewa, dividen, dan lain-lain Rp. 10.000.000
 Pajak yang dibayar di luar negeri sebesar Rp. 25.750.000. Dari jumlah
tersebut yang boleh dikreditkan sebesar Rp. 20.000.000

Dasar-Dasar Perpajakan - 229


Surat Pemberitahuan Tahunan PPh disampaikan pada tanggal 30 April 2015.
Angsuran pajak bulan Desember 2014 sebesar Rp3.000.000. Pada bulan Agustus
2015 diterima surat ketetapan pajak yang menyebutkan bahwa angsuran PPh
tahun 2015 adalah Rp 4.000.000. Besarnya angsuran pajak dalam tahun 2015
dihitung sebagai berikut:
a. Angsuran PPh bulan Januari s.d. Maret 2015 adalah sama dengan angsuran
bulan terakhir tahun 2014, yaitu Rp.3.000.000.
b. Angsuran PPh bulan April s.d. Agustus 2015 dihitung sebagai berikut:
PPh terutang tahun pajak 2014:
25% × Rp. 500.000.000 = Rp. 125.000.000
(dengan asumsi peredaran bruto tahun 2014 lebih dari Rp.50.000.000.000).
Angsuran bulanan PPh Pasal 25 ayat (1) untuk tahun 2015 adalah:
PPh terutang berdasar SPT
Tahunan PPh tahun 2014 Rp. 125.000.000
Kredit Pajak:
PPh Pasal 22 Rp. 50.000.000
PPh Pasal 23 Rp. 10.000.000
PPh Pasal 24 Rp. 20.000.000
Total kredit pajak Rp. 80.000.000
Dasar penghitungan angsuran Rp. 45.000.000

Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak setiap
bulan mulai bulan April s.d. Agustus 2015 adalah:
Rp. 45.000.000 ÷ 12 Rp. 3.750.000
c. Angsuran PPh bulan September s.d. Desember 2015 adalah sama dengan
jumlah yang ada pada surat ketetapan pajak atau sebesar Rp. 4.000.000.

Angsuran PPh Pasal 25 dalam Hal-Hal Tertentu

Besarnya pembayaran angsuran pajak oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun
berjalan sedapat mungkin diupayakan mendekati jumlah pajak yang akan terutang
pada akhir tahun. Oleh karena itu, dalam hal-hal tertentu Direktur Jenderal Pajak
diberikan wewenang untuk menyesuaikan perhitungan besarnya angsuran pajak
yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan. Hal-hal tertentu
yang dimaksud adalah:
1. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian.
2. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur.
3. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu
disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan.
4. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
5. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari
angsuran bulanan sebelum pembetulan.
6. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.

230 - Dasar-Dasar Perpajakan


Wajib Pajak Berhak atas Kompensasi Kerugian

Apabila Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian, besarnya angsuran


PPh Pasal 25 sama dengan PPh yang dihitung atas dasar penghitungan PPh
dikurangi dengan PPh yang dipotong/dipungut atau terutang di luar negeri yang
boleh dikreditkan sesuai ketentuan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 UU
PPh kemudian dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
Contoh 6
Penghasilan kena pajak PT, Makmur tahun 2014 adalah Rp. 120.000.000. Sisa
kerugian tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan Rp. 150.000.000.
Sisa kerugian yang belum dikompensasikan tahun 2014 adalah Rp. 30.000.000 (=
sisa rugi Rp. 150.000, dikompensasikan dengan penghasilan kena pajak tahun
2014 sebesar Rp. 120.000.000).
Penghitungan kena pajak tahun 2014 Rp. 120.000.000
Sisa kerugian yang belum dikompensasikan
tahun 2014 Rp. 30.000.000
Penghasilan yang dipakai dasar penghitungan
Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 Rp. 90.000.000
Pajak Penghasilan yang terutang:
50% × 25% × Rp 90.000.000 = Rp. 11.250.000

(catatan: peredaran bruto tahun 2014 kurang dari Rp.4.800.000.000)

Apabila pada tahun 2014 tidak ada Pajak Penghasilan yang dipotong atau
dipungut oleh pihak lain dan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 24, besarnya angsuran pajak bulanan PT. Makmur
tahun 2015 adalah:
1/12 × Rp. 11.250.000 = Rp. 937.500
Jika SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2014 disampaikan pada bulan Maret 2015,
angsuran bulan Januari dan Februari 2015 didasarkan pada angsuran PPh Pasal
25 untuk bulan Desember 2014. Misalnya pada contoh sebelumnya, besarnya
angsuran PPh Pasal 25 bulan Desember 2014 adalah NIHIL, maka angsuran
untuk bulan Januari dan Februari 2015 adalah juga NIHIL, sedangkan mulai bulan
Maret 2015 besarnya angsuran adalah Rp. 937.500.
Jika PT. Makmur menyampaikan SPT Tahunan PPh tahun pajak 2014 pada
tanggal 30 Maret 2015, dan ternyata mengalami kerugian, angsuran PPh Pasal 25
mulai bulan Maret 2015 adalah NIHIL. Sedangkan besarnya angsuran PPh Pasal
25 untuk bulan Januari dan Februari 2015 sama dengan angsuran bulan
Desember tahun 2014, yang didasarkan pada penghitungan SPT Tahunan PPh
tahun pajak 2014 maupun SKP yang terbit dalam tahun 2015.
Apabila sisa kerugian tahun sebelumnya telah melewati batas waktu kompensasi
(lima tahun) maka kerugian tersebut tidak dapat dikompensasikan. Oleh karena itu,
tidak mempengaruhi penghitungan angsuran PPh Pasal 25.

Dasar-Dasar Perpajakan - 231


Contoh 7
Perusahaan Intan dimiliki oleh Tuan Berlian (K/1). Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2012 disampaikan pada akhir tahun 2012. Data
yang terdapat dalam SPT tersebut adalah:
Penghasilan neto Rp. 528.350.000
PTKP (K/1) Rp. 28.350.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 500.000.000
Sisa kerugian fiskal tahun pajak 2007
sebesar Rp. 300.000.000

Sisa kerugian tersebut tidak dapat dikompensasikan pada penghasilan neto tahun
2012 karena telah lewat 5 tahun.
Jadi, Penghasilan Kena Pajak tahun 2012 Rp. 500.000.000
Pajak Penghasilan terutang:
5% × Rp. 50.000.000 Rp. 2.500.000
15% × Rp. 200.000.000 Rp. 30.000.000
25% × Rp. 250.000.000 Rp. 62.500.000
Rp. 95.000.000
Apabila pada tahun 2012 tidak ada Pajak Penghasilan yang dipotong atau
dipungut oleh pihak lain dan pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri sesuai
dengan ketentuan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, maka besarnya
angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun 2013 adalah: Rp 95.000.000 ÷ 12 =
Rp7.916.670.

Apabila Wajib Pajak Memperoleh Penghasilan Tidak Teratur

Yang dimaksud penghasilan teratur adalah penghasilan yang lazimnya


diterima atau diperoleh secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam setiap
tahun pajak. Penghasilan ini dapat bersumber dari kegiatan usaha, pekerjaan
bebas, pekerjaan, maupun pengalihan harta dan/atau modal, kecuali penghasilan
yang telah dikenakan PPh yang bersifat final.
Apabila Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur, maka besarnya
angsuran PPh Pasal 25 adalah sama dengan PPh yang dihitung dengan dasar
penghitungan PPh dikurangi dengan PPh yang dipotong/dipungut atau
dibayar/terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sesuai ketentuan Pasal 21,
Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 UU PPh, kemudian dibagi 12 atau banyaknya
bulan dalam bagian tahun pajak.
Dasar penghitungan PPh yang dimaksud adalah jumlah penghasilan neto
menurut SPT tahunan PPh tahun pajak yang lalu setelah dikurangi dengan
penghasilan tidak teratur yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh.
Contoh 8
Jika Wajib Pajak PT A pada tahun 2012 memperoleh dari total peredaran bruto
sebesar Rp. 14.800.000.000 penghasilan neto yang bersifat teratur dari usaha
dagang sebesar Rp. 148.000.000 dan penghasilan tidak teratur dari
mengontrakkan rumah selama 3 (tiga) tahun yang dibayar sekaligus pada tahun
2012 sebesar Rp.72.000.000. Mengingat penghasilan yang tidak teratur tersebut
diterima sekaligus pada tahun 2012, maka penghasilan yang dipakai sebagai

232 - Dasar-Dasar Perpajakan


dasar penghitungan angsuran PPh Pasal 25 pada tahun 2013 adalah hanya
penghasilan teratur tahun 2012. Dengan catatan bahwa dalam tahun 2012 Wajib
Pajak A telah dipungut PPh Pasal 22 oleh pihak lain sebesar Rp. 2.900.000, maka
angsuran PPh Pasal 25 untuk tahun 2013 dihitung sebagai berikut:
Penghasilan neto (teratur) Rp. 148.000.000
Tidak ada sisa kerugian yang bisa dikompensasikan, sehingga besarnya PKP
adalah Rp 148.000.000.

Penghasilan kena pajak yang memperoleh fasilitas:


(Rp. 4.800.000.000 ÷ 14.800.000.000) × Rp. 148.000.000
= Rp. 48.000.000

Penghasilan kena pajak yang tidak memperoleh fasilitas:


Rp 148.000.000 – Rp 48.000.000 = Rp 100.000.000

PPh yang terutang:


50% × 25% × Rp. 48.000.000 Rp. 6.000.000
25% ×Rp. 100.000.000 Rp. 25.000.000
Rp. 31.000.000
Kredit pajak/pengurangan:
 PPh Pasal 22 Rp. 2.900.000
Dasar penghitungan angsuran Rp. 28.100.000
Angsuran bulanan PPh Pasal 25 tahun 2013:
Rp. 28.100.000 ÷ 12 Rp. 2.341.667

SPT Tahunan PPh Tahun yang Lalu Disampaikan setelah Lewat Batas Waktu
yang Ditentukan

Apabila SPT Tahunan PPh tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas
waktu yang ditentukan, yaitu selambat-lambatnya tiga bulan setelah akhir tahun
pajak, besarnya PPh Pasal 25 dihitung-hitung sebagai berikut:
a. Untuk bulan-bulan mulai batas waktu penyampaian SPT sampai dengan
bulan sebelum disampaikannya SPT tersebut, besarnya angsuran PPh Pasal
25 sama dengan besarnya angsuran PPh Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak
yang lalu dan bersifat sementara.
b. Untuk bulan-bulan setelah Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh,
besarnya angsuran PPh Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan ketentuan
yang telah dibahas sebelumnya dan berlaku surut. Ketentuan tersebut
adalah:
 Besarnya angsuran PPh Pasal 25 sama dengan PPh yang terutang
menurut SPT Tahunan PPh tahun yang lalu dikurangi dengan PPh yang
dipotong/dipungut oleh pihak lain (Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23) serta
PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
(Pasal 24), dibagi dengan 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam
bagian tahun pajak.
 Jika diterbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk tahun yang lalu, besarnya
angsuran PPh Pasal 25 adalah sesuai dengan jumlah yang tercantum

Dasar-Dasar Perpajakan - 233


dalam Surat Ketetapan tersebut dan dimulai pada bulan berikutnya
setelah bulan penerimaan SKP.
 Jika Wajib Pajak berhak kompensasi, besarnya angsuran PPh Pasal 25
sama dengan PPh yang terutang menurut SPT Tahunan PPh tahun
yang lalu (PPh yang terutang ini dihitung berdasar penghasilan teratur
saja), dikurangi dengan PPh yang dipotong/dipungut oleh pihak lain
(Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23) dan PPh yang dibayar atau terutang di
luar negeri yang boleh dikreditkan (Pasal 24), dibagi dengan 12 (dua
belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
Jika besarnya PPh Pasal 25 pada huruf a lebih besar daripada besarnya PPh
Pasal 25 pada huruf b, atas kekurangan tersebut terutang bunga 2% (dua persen)
sebulan untuk jangka waktu yang dihitung sejak jatuh tempo penyetoran PPh
Pasal 25 dari masing-masing bulan sampai dengan tanggal penyetoran.
Jika besarnya PPh Pasal 25 pada huruf a lebih kecil daripada besarnya PPh
Pasal 25 pada huruf b, atas kelebihan setoran tersebut dapat dipindahbukukan ke
PPh Pasal 25 bulan-bulan berikutnya setelah penyampaian SPT Tahunan PPh.
Contoh 9
PT. Harapan menyampaikan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2012 pada tanggal
25 Mei 2013, dengan data sebagai berikut:
 PPh yang terutang Rp. 150.000.000
 PPh Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 Tahun Pajak 2012 yang dapat
dikreditkan Rp. 42.500.000
 PPh Pasal 25 bulan Desember 2012 Rp. 8.000.000

Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun 2013 adalah:


 Angsuran PPh Pasal 25 bulan Januari dan Maret 2013 masing-masing
sebesar Rp. 8.000.000 (sama dengan angsuran PPh Pasal 25 bulan
Desember 2012).

 Angsuran PPh Pasal 25 bulan April sampai dengan Mei 2013 sama dengan
Rp. 8.000.000.

 Angsuran PPh Pasal 25 bulan April sampai dengan Desember 2013 dihitung
kembali berdasarkan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2012, yaitu:
PPh yang terutang Rp. 150.000.000
Kredit pajak diperbolehkan
(Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24) Rp. 42.500.000
Dasar penghitungan angsuran Rp. 107.500.000
Angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan April sampai dengan Desember 2013:
Rp. 107.500.000 ÷ 12 Rp. 8.958.333

 PPh Pasal 25 bulan April sampai dengan Mei 2013 yang telah disetor
sebesar Rp. 8.000.000 sebulan, padahal yang seharusnya adalah sebesar
Rp. 8.958.333; sehingga terdapat kekurangan sebesar Rp 958.333 setiap
bulan untuk bulan April sampai dengan Mei 2013. Jumlah tersebut harus
disetor dan terutang bunga sebagai berikut:

234 - Dasar-Dasar Perpajakan


 Untuk Masa April 2013 terutang bunga 2% (dua persen) per bulan
dihitung sejak 16 April 2013 sampai dengan tanggal penyetoran.
 Untuk Masa Mei 2013 terutang bunga 2% (dua persen) per bulan
dihitung sejak 16 Juni 2013 sampai dengan tanggal penyetoran.
Apabila penghitungan kembali PPh Pasal 25 untuk bulan Maret sampai
dengan Desember 2013 menghasilkan jumlah yang lebih kecil daripada jumlah
PPh Pasal 25 untuk bulan April dan Mei 2013, maka kelebihan setoran bulan April
dan Mei tersebut dapat diperhitungkan dengan setoran bulan Mei 2013, dan
seterusnya.

Wajib Pajak Diberikan Perpanjangan Jangka Waktu Penyampaian SPT


Tahunan PPh

Apabila Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT


Tahunan PPh, besarnya PPh Pasal 25 dihitung sebagai berikut:
a. Untuk bulan-bulan mulai batas waktu penyampaian SPT Tahunan sampai
dengan bulan sebelum disampaikannya SPT Tahunan tersebut, besarnya
angsuran PPh Pasal 25 sama dengan besarnya PPh Pasal 25 yang dihitung
berdasarkan SPT Tahunan sementara yang disampaikan Wajib Pajak pada
saat mengajukan permohonan izin perpanjangan.
b. Untuk bulan-bulan setelah Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh,
besarnya angsuran PPh Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan SPT
Tahunan tersebut (sama dengan ketentuan pada huruf b “SPT Tahunan PPh
Tahun yang Lalu disampaikan Setelah Lewat Batas Waktu yang Ditentukan”)
dan berlaku surut mulai bulan batas waktu penyampaian SPT Tahunan.
Jika besarnya PPh Pasal 25 pada huruf a lebih besar daripada besarnya PPh
Pasal 25 pada huruf b, atas kekurangan tersebut terutang bunga 2% (dua persen)
sebulan untuk jangka waktu yang dihitung sejak jatuh tempo penyetoran PPh
Pasal 25 dari masing-masing bulan sampai dengan tanggal penyetoran.
Jika besarnya PPh Pasal 25 pada huruf a lebih kecil daripada besarnya PPh
Pasal 25 pada huruf b, maka atas kelebihan setoran tersebut dapat
dipindahbukukan ke PPh Pasal 25 bulan-bulan berikutnya setelah penyampaian
SPT Tahunan PPh.
Contoh 10
PT Ananda menyampaikan permohonan perpanjangan waktu penyampaian SPT
Tahunan PPh Tahun Pajak 2011 pada tanggal 10 Januari 2012, dengan
melampirkan penghitungan sementara sebagai berikut:
 PPh yang terutang Rp. 100.000.000
 PPh Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24
Tahun Pajak 2011 yang dapat dikreditkan Rp. 42.500.000
 Izin perpanjangan waktu penyampaian SPT Tahunan
 PPh Pasal 25 Masa Desember 2011 Rp. 4.000.000

Dasar-Dasar Perpajakan - 235


SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2011 disampaikan pada 10 Juni 2012, dengan
data sesungguhnya sebagai berikut:
 PPh yang terutang Rp. 25.000.000
 PPh Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24
Tahun Pajak 2011 yang dapat dikreditkan Rp. 2.500.000

Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun 2012 adalah:


 Angsuran PPh Pasal 25 bulan Januari sampai dengan Maret 2012 masing-
masing sebesar Rp. 4.000.000.
 Angsuran PPh Pasal 25 bulan April sampai dengan Mei 2012 dihitung
berdasarkan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2011 (penghitungan
sementara), yaitu:
PPh yang terutang Rp. 100.000.000)
Kredit pajak diperbolehkan
(Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24) Rp. 42.500.000
Dasar penghitungan angsuran Rp. 57.500.000)

Angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan Maret sampai dengan Mei 2012:
Rp. 57.500.000 ÷ 12 Rp. 4.791.600

1. Angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan April sampai dengan Desember 2012
dihitung berdasarkan SPT Tahunan PPh tahun pajak 2011 (penghitungan
sesungguhnya), yaitu:
PPh yang terutang Rp. 125.000.000
Kredit pajak diperbolehkan
(Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24) Rp. 42.500.000
Dasar penghitungan angsuran Rp. 82.500.000
Angsuran PPh Pasal 25 bulan April sampai dengan Desember 2012:
Rp 82.500.00 ÷ 12 Rp 6.875.000

2. PPh Pasal 25 untuk bulan April sampai dengan Mei 2012 yang telah disetor
sebesar Rp. 4.791.600 sebulan, padahal yang seharusnya adalah sebesar
Rp. 6.875.000, sehingga terdapat kekurangan sebesar Rp. 2.083.400 setiap
bulan untuk bulan April sampai dengan Mei 2012. Jumlah tersebut harus
disetor dan terutang bunga sebagai berikut:
 Untuk Masa April 2012 terutang bunga 2% (dua persen) per bulan
dihitung sejak 16 Mei 2012 sampai dengan tanggal penyetoran.
 Untuk Masa Mei 2012 terutang bunga 2% (dua persen) per bulan
dihitung sejak 16 Juni 2012 sampai dengan tanggal penyetoran.
 Untuk Masa Mei 2012 terutang bunga 2% (dua persen) per bulan
dihitung sejak 16 Juni 2012 sampai dengan tanggal penyetoran.
Dalam hal penghitungan kembali PPh Pasal 25 untuk Masa April
sampai dengan Desember 2012 menghasilkan jumlah yang lebih kecil
daripada jumlah PPh Pasal 25 untuk bulan April sampai dengan Mei 2012,
maka kelebihan setoran bulan April sampai dengan Mei tersebut dapat
diperhitungkan dengan setoran bulan Mei 2012, dan seterusnya.

236 - Dasar-Dasar Perpajakan


Jika Wajib Pajak Membetulkan Sendiri SPT Tahunan PPh yang Mengakibatkan
Angsuran Bulanan Lebih Besar daripada Angsuran Bulanan Sebelum
Pembetulan

Jika dalam tahun berjalan Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT


Tahunan PPh tahun pajak yang lalu, besarnya PPh Pasal 25 dihitung kembali
berdasarkan SPT Tahunan PPh Pembetulan tersebut dan berlaku surut mulai
bulan batas waktu penyampaian SPT tersebut. Penghitungan kembali
besarnya angsuran PPh Pasal 25 berdasarkan SPT Pembetulan tetap
memperhatikan ketentuan kompensasi kerugian dan ketentuan penghasilan
tidak teratur.
Jika besarnya PPh Pasal 25 setelah pembetulan SPT Tahunan tersebut
lebih besar daripada PPh Pasal 25 sebelum dilakukan pembetulan, atas
kekurangan setoran PPh Pasal 25 terutang bunga sebesar 2% (dua persen)
untuk jangka waktu yang dihitung sejak jatuh tempo penyetoran PPh Pasal
25 dari masing-masing bulan sampai dengan tanggal penyetoran.
Jika besarnya PPh Pasal 25 setelah pembetulan SPT Tahunan tersebut
lebih kecil daripada PPh Pasal 25 sebelum dilakukan pembetulan, atas
kelebihan setoran PPh Pasal 25 dapat dipindahbukukan ke PPh Pasal 25
bulan-bulan berikutnya setelah penyampaian SPT Tahunan Pembetulan.
Contoh 11
a. SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2011 PT Perdana disampaikan pada
tanggal 25 April 2012, dengan data sebagai berikut:
 PPh terutang Rp. 125.000.000
 PPh Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 yang
dapat dikreditkan Rp. 42.500.000

b. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan Desember 2011 adalah


Rp. 6.000.000.

c. Wajib Pajak melakukan pembetulan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak


2011 pada tanggal 16 Agustus 2012, dengan data baru sebagai berikut:
 PPh terutang Rp. 150.000.000
 PPh Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 yang
dapat dikreditkan Rp. 42.500.000

d. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun 2012 adalah:


 Angsuran PPh Pasal 25 bulan Januari sampai dengan Maret 2012
masing-masing sebesar Rp. 6.000.000 (sama dengan angsuran
bulan terakhir tahun yang lalu, yaitu angsuran bulan Desember
2011).
 Angsuran PPh Pasal 25 bulan April sampai dengan Juli 2012
dihitung berdasarkan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2011 sebelum
pembetulan, yaitu:
PPh yang terutang Rp. 125.000.000
Kredit pajak diperbolehkan
(Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24) Rp. 42.500.000

Dasar-Dasar Perpajakan - 237


Dasar penghitungan angsuran Rp. 82.500.000
Angsuran PPh Pasal 25 April sampai dengan Juli 2012:
Rp. 82.500.000 ÷ 12 Rp. 6.875.000
 Angsuran PPh Pasal 25 bulan Agustus sampai dengan Desember
2012 dihitung kembali berdasarkan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak
2011 setelah pembetulan, yaitu:
PPh yang terutang Rp. 150.000.000
Kredit pajak diperbolehkan
(Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24) Rp. 42.500.000
Dasar penghitungan angsuran Rp. 107.500.000

3. Angsuran PPh Pasal 25 April sampai dengan Juli 2012:


Rp. 107.500.000 ÷ 12 Rp. 8.958.333

4. PPh Pasal 25 bulan April sampai dengan Juli 2012 yang telah disetor sebesar
Rp. 6.875.000 sebulan, padahal yang seharusnya adalah sebesar Rp.
8.958.333 sebulan, sehingga terdapat kekurangan sebesar Rp 2.083.333
setiap bulan untuk bulan April sampai dengan Juli 2012. Jumlah tersebut
harus disetor dan terutang bunga sebagai berikut:
 Untuk Masa April 2012 terutang bunga 2% (dua persen) per bulan
dihitung sejak 16 Mei 2012 sampai dengan tanggal penyetoran.
 Untuk Masa Mei 2012 terutang bunga 2% (dua persen) per bulan
dihitung sejak 16 Juni 2012 sampai dengan tanggal penyetoran.
 Untuk Masa Juni 2012 terutang bunga 2% (dua persen) per bulan
dihitung sejak 16 Juli 2012 sampai dengan tanggal penyetoran.
 Untuk Masa Juli 2012 terutang bunga 2% (dua persen) per bulan
dihitung sejak 16 Agustus 2012 sampai dengan tanggal penyetoran.
Dalam hal penghitungan kembali PPh Pasal 25 untuk Masa Agustus sampai
dengan Desember 2012 menghasilkan jumlah yang lebih kecil daripada jumlah
PPh Pasal 25 untuk bulan April sampai dengan Juli 2012, kelebihan setoran bulan
Maret sampai dengan Juli tersebut dapat diperhitungkan dengan setoran bulan Juli
2012, dan seterusnya.

Adanya Perubahan Usaha atau Kegiatan Wajib Pajak

Jika perubahan usaha atau kegiatan Wajib Pajak terjadi karena penurunan
usaha maupun peningkatan usaha. Penurunan atau peningkatan usaha tersebut
berpengaruh pada besarnya penghasilan dan selanjutnya mempengaruhi PPh.
Jika sesudah 3 (tiga) bulan atau lebih berjalannya suatu tahun pajak, Wajib
Pajak mengalami penurunan usaha, dan dapat menunjukkan bahwa PPh yang
akan terutan untuk tahun pajak tersebut kurang dari 75% (tujuh puluh lima persen)
dari PPh yang terutang yang menjadi dasar penghitungan besarnya PPh Pasal 25,
maka Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan besarnya PPh
Pasal 25 dengan cara sebagai berikut:
a. Permohonan diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar.

238 - Dasar-Dasar Perpajakan


b. Pengajuan permohonan pengurangan besarnya PPh Pasal 25 tersebut harus
disertai dengan penghitungan besarnya PPh yang akan terutang berdasarkan
perkiraan penghasilan yang akan diterima atau diperoleh dan besarnya PPh
Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang bersangkutan.
c. Apabila dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya surat
permohonan Wajib Pajak tentang pengurangan PPh Pasal 25, Kepala Kantor
Pelayanan Pajak tidak memberikan keputusan, maka permohonan Wajib
Pajak tersebut dianggap diterima dan Wajib Pajak dapat melakukan
pembayaran PPh Pasal 25 sesuai dengan penghitungannya.
Jika dalam tahun pajak berjalan Wajib Pajak mengalami peningkatan usaha
dan diperkirakan PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut lebih dari
150% (seratus lima puluh persen) dari PPh yang terutang yang menjadi dasar
penghitungan, besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun
pajak yang bersangkutan harus dihitung kembali berdasarkan perkiraan kenaikan
PPh yang terutang tersebut oleh Wajib Pajak sendiri atau Kepala Kantor
Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.

Contoh 12
PT. Maju Lancar merupakan perusahaan yang bergerak di bidang produksi tekstil.
Dalam tahun 2012 membayar angsuran bulanan sebesar Rp 10.000.000 (jumlah
ini didasarkan pada SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2011). Pada bulan Juni 2012
terjadi bencana alam banjir yang menimpa sebagian pabrik milik PT. Maju Lancar
tersebut. Atas keadaan ini PT. Maju Lancar mengajukan permohonan kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak agar angsuran PPh Pasal 25 dapat diturunkan
menjadi Rp 7.000.000 (sesuai lampiran penghitungan). Sampai dengan bulan Juli
2012, tidak diterima Surat Keputusan dari Dirjen Pajak, oleh karena itu dianggap
permohonan diterima. Mulai bulan Juli 2012, PT. Maju Lancar membayar angsuran
PPh Pasal 25 sebesar Rp 7.000.000.
Sebaliknya, apabila Wajib Pajak mengalami peningkatan usaha, misalnya adanya
peningkatan penjualan dan diperkirakan PKP-nya juga meningkat atau lebih
besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya, maka kewajiban angsuran bulanan
Wajib Pajak tersebut dapat disesuaikan lagi.

PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak Baru; Bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan
Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa, Dan Wajib Pajak Lainnya Yang
Berdasarkan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Harus Membuat
Laporan Keuangan Berkala; Dan Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha
Tertentu Dengan Tarif Paling Tinggi 0,75% (Nol Koma Tujuh Puluh Lima
Persen) Dari Peredaran Bruto
Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran Pajak Penghasilan
dalam tahun pajak berjalan untuk setiap bulan yang harus dibayar sendiri oleh
Wajib Pajak.

Dasar-Dasar Perpajakan - 239


PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak Baru
Wajib Pajak Baru adalah Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang baru
pertama kali memperoleh penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas dalam
tahun pajak berjalan.
Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak baru
adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif
umum atas penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).
Besarnya penghasilan neto adalah:
1. Jika Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan dan dari pembukuannya
dapat dihitung besarnya penghasilan neto setiap bulan, penghasilan neto
fiskal dihitung berdasarkan pembukuannya;
Contoh 13
PT. Topan terdaftar sebagai Wajib Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak
Semarang pada tanggal 1 Februari 2011. Peredaran atau penerimaan bruto
menurut pembukuan bulan Februari 2011 sebesar Rp. 75.000.000. Setelah
dikurangi dengan pengurangan/biaya yang diperkenankan maka didapatkan
penghasilan neto sebesar Rp. 10.000.000. Penghitungan PPh Pasal 25 bulan
Februari 2012 sebagai berikut:
Penghasilan neto bulan Februari 2011 Rp. 10.000.000
Penghasilan neto disetahunkan:
12 × Rp. 10.000.000 Rp.120.000.000

PPh yang terutang sebagai dasar penghitungan PPh Pasal 25:


50% × 25% × Rp 120.000.000 Rp. 15.000.000

Angsuran PPh Pasal 25 bulan Februari 2012:


Rp. 15.000.000 ÷ 12 Rp. 1.250.000

2. Apabila Wajib Pajak hanya menyelenggarakan pencatatan dengan


menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto atau
menyelenggarakan pembukuan tetapi dari pembukuannya tidak dapat
dihitung besarnya penghasilan neto setiap bulan, penghasilan neto fiskal
dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto atas peredaran
atau penerimaan bruto.
Bagi Wajib Pajak orang pribadi baru, jumlah penghasilan neto fiskal yang
disetahunkan harus dikurangi terlebih dahulu dengan Penghasilan Tidak
Kena Pajak.

Contoh 14
Perusahaan Aceh yang dimiliki oleh Marinah (tidak kawin, tanpa tanggungan –
TK/0) terdaftar sebagai Wajib Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Semarang sejak
tanggal 1 Maret 2011. Peredaran atau penerimaan bruto menurut catatan harian
selama bulan Maret 2011 sebesar Rp. 50.000.000. Persentase Norma
Penghitungan untuk perusahaan Aceh sesuai dengan jenis usahanya adalah 15%
(lima belas persen).

240 - Dasar-Dasar Perpajakan


Penghitungan PPh Pasal 25 bulan Maret 2011 sebagai berikut:
Peredaran atau penerimaan bruto
bulan Maret 2011 Rp. 50.000.000

Penghasilan neto:
15% × Rp. 50.000.000 Rp. 7.500.000
Penghasilan neto disetahunkan:
12 × Rp. 7.500.000 Rp. 90.000.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak Rp. 24.300.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 65.700.000

PPh yang terutang sebagai dasar penghitungan PPh Pasal 25:


5% × Rp. 50.000.000 Rp. 2.500.000
15% × Rp. 15.700.000 Rp. 2.355.000
Rp. 4.855.000

Angsuran PPh Pasal 25 bulan Maret 2011:


Rp. 4.855.000 ÷ 12 Rp. 404.583

Jika Wajib Pajak baru adalah Wajib Pajak badan yang mempunyai kewajiban
membuat laporan berkala, besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah
Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas
proyeksi laba-rugi fiskal pada laporan berkala pertama yang disetahunkan,
dibagi 12 (dua belas).

Wajib Pajak Bank dan Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi
Maksud dari besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib
Pajak bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi adalah Pajak Penghasilan
yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut
laporan keuangan triwulan terakhir yang disetahunkan dikurangi Pajak
Penghasilan Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak
yang lalu, dibagi 12 (dua belas).

Angsuran PPh Pasal 25 sebulan


= Tarif Pasal 7 Perkiraan laba triwulan pertama ÷

Contoh 15
Bank Buana Jaya berdiri dan terdaftar sebagai Wajib Pajak pada Kantor
Pelayanan Pajak Surakarta sejak tanggal 1 April 2011. Perkiraan Laporan
Keuangan Triwulan II (April sampai dengan Juni 2011) menunjukkan penghasilan
neto sebesar Rp 80.000.000.
Penghitungan PPh Pasal 25 bulan April, Mei, Juni 2011 masing-masing adalah:
Perkiraan penghasilan neto triwulan disetahunkan
4 × Rp. 80.000.000 Rp. 320.000.000

Dasar-Dasar Perpajakan - 241


PPh yang terutang sebagai dasar penghitungan PPh Pasal 25:
50% × 28% × Rp. 320.000.000 Rp. 40.000.000
Angsuran PPh Pasal 25 bulan April, Mei, dan Juni 2011 masing-masing sebesar:
Rp. 40.000.000 ÷ 12 Rp. 3.333.333

Angsuran PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak BUMN dan BUMD


Penghitungan besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib
Pajak Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah dengan nama
dan dalam bentuk apa pun, kecuali Wajib Pajak bank dan sewa guna usaha
dengan hak opsi, adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan
penerapan tarif umum atas laba rugi fiskal menurut Rencana Kerja dan Anggaran
Pendapatan (RKAP) tahun pajak yang bersangkutan yang telah disahkan Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS) dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan
Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan Pasal 24 yang
dibayar atau terutang di luar negeri tahun pajak yang lalu, dibagi 12 (dua belas).
Jika Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) belum disahkan,
maka besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum
bulan pengesahan adalah sama dengan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25
bulan terakhir tahun pajak sebelumnya.
Jika dalam tahun pajak yang bersangkutan terdapat sisa kerugian yang
masih dapat dikompensasikan, maka dasar penghitungan PPh Pasal 25 adalah
PPh yang terutang atas PKP yang dihitung dari penghasilan neto menurut RKAP
setelah dikurangi dengan jumlah sisa kerugian yang belum dikompensasikan
tersebut.
Apabila Wajib Pajak BUMN/BUMD tersebut adalah Wajib Pajak baru, maka
besarnya angsuran PPh Pasal 25 tidak dihitung sebagaimana halnya
penghitungan untuk Wajib Pajak baru tetapi dihitung berdasarkan RKAP.
Apabila Wajib Pajak BUMN/BUMD tersebut adalah Wajib Pajak bank atau
Wajib Pajak sewa guna usaha dengan hak opsi, maka besarnya angsuran PPh
Pasal 25 dihitung berdasarkan laporan triwulan sebagaimana berlaku untuk Wajib
Pajak bank atau Wajib Pajak sewa guna usaha dengan hak opsi.
Apabila Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) belum disahkan,
maka besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum
bulan pengesahan adalah sama dengan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25
bulan terakhir tahun pajak sebelumnya.

Apabila Wajib Pajak Masuk Bursa dan Wajib Pajak Lainnya yang Berdasarkan
Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Harus Membuat Laporan
Keuangan Berkala
Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak masuk
bursa dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat
laporan keuangan berkala, adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung
berdasarkan penerapan tarif umum atas laba rugi fiskal menurut laporan keuangan
berkala terakhir yang disetahunkan dikurangi dengan pemotongan dan
pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22, Pasal 23, serta Pasal 24 yang dibayar
atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12 (dua belas).

242 - Dasar-Dasar Perpajakan


Cara Menghitung PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha
Tertentu

Yang dimaksud Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib
Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha di bidang perdagangan yang
mempunyai tempat usaha lebih dari satu, atau mempunyai tempat usaha yang
berbeda alamat dengan domisili.
Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak orang
pribadi pengusaha tertentu, ditetapkan sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh lima
persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat
usaha tersebut.

Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 25

1. PPh Pasal 25 harus dibayar/disetorkan selambat-lambatnya pada tangal 15


(lima belas) bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
2. Wajib Pajak diwajibkan untuk menyampaikan SPT Masa selambat-lambatnya
20 (dua puluh hari) setelah Masa Pajak berakhir.
3. Bagi Wajib Pajak pengusaha tertentu, berlaku juga ketentuan sebagai berikut:
 Jika Wajib Pajak memiliki beberapa tempat usaha dalam satu wilayah
kerja Kantor Pelayanan Pajak, harus mendaftarkan masing-masing
tempat usahanya di Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan.
 Wajib Pajak yang memiliki beberapa tempat usaha di lebih dari 1 (satu)
wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak, harus mendaftarkan setiap
tempat usahanya di Kantor Pelayanan Pajak masing-masing tempat
usaha Wajib Pajak berkedudukan.
 SPT Tahunan PPh harus disampaikan di Kantor Pelayanan Pajak
tempat domisili Wajib Pajak terdaftar dengan batas waktu seperti pada
ketentuan butir 2.

PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang Bepergian ke Luar Negeri

Apabila Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak ke
luar negeri wajib membayar pajak. Termasuk Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri adalah istri, anggota keluarga sedarah, dan keluarga semenda dalam garis
keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya Wajib
Pajak yang bersangkutan.
Besaran fiskal luar negeri (FLN) yang wajib dibayar oleh Wajib Pajak orang
pribadi adalah:
1. Rp. 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap orang setiap kali
bertolak ke luar negeri dengan menggunakan pesawat udara.
2. Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) untuk setiap orang setiap kali bertolak ke luar
negeri dengan menggunakan angkutan laut.
Pembayaran FLN oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang akan
bertolak ke luar negeri dilakukan dengan menggunakan Tanda Bukti Pembayaran
Fiskal Luar Negeri (TBPFLN). FLN yang dibayar Wajib Pajak orang pribadi dalam

Dasar-Dasar Perpajakan - 243


negeri yang akan bertolak ke luar negeri merupakan pembayaran angsuran Pajak
Penghasilan. Angsuran pembayaran Pajak Penghasilan tersebut dapat dikreditkan
terhadap Pajak Penghasilan yang terutang pada akhir tahun yang bersangkutan
setelah Wajib Pajak tersebut memiliki PWP. Ketentuan tersebut tidak berlaku lagi
sejak 31 Desember 2010.

Pengecualian Pembayaran Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi


Dalam Negeri yang akan Bertolak ke Luar Negeri
1. Orang asing yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau yang berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, dengan menunjukkan visa kunjungan atau visa
singgah.
2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain
dari negara asing, termasuk anggota keluarganya dan orang-orang yang
diperbantukan kepada mereka, yang bekerja pada dan bertempat tinggal
bersama-sama mereka, sepanjang bukan warga Negara Indonesia dan di
Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau
Penghasilan tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan
timbal balik, dengan menunjukkan paspor Diplomatik.
3. Pejabat-pejabat dari perwakilan organisasi internasional yang tidak termasuk
Subjek Pajak Penghasilan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan,
termasuk anggota keluarganya, sepanjang bukan warga negara Indonesia
dan tidak menjalankan usaha.

244 - Dasar-Dasar Perpajakan


BAB IX
Pajak Penghasilan Pasal 26

Pengertian

Pajak Penghasilan Pasal 26 merupakan pajak penghasilan atas dividen,


bunga termasuk premium, diskonto, premi swap, dan imbalan sehubungan dengan
jaminan pengembalian utang, royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta, imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan
kegiatan, hadiah dan penghargaan, pensiun, dan pembayaran berkala lainnya,
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap di
Indonesia.

Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26

Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 adalah:


1. Badan pemerintah
2. Subjek Pajak dalam negeri
3. Penyelenggara kegiatan
4. Bentuk Usaha Tetap
5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
6. Pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong PPh pasal 26

Objek Pajak Penghasilan Pasal 26

Penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 adalah:


1. Dividen
2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan dengan jaminan
pengembalian utang.
3. Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
4. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan.
5. Hadiah dan penghargaan.
6. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
7. Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
8. Keuntungan karena pembebasan utang.

Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 26

1. Dua puluh persen (20%) dari jumlah penghasilan bruto yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri berupa:

Dasar-Dasar Perpajakan - 245


a. Dividen
b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan dengan jaminan
pengembalian utang.
c. Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta.
d. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan.
e. Hadiah dan penghargaan.
f. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
g. Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya.
h. Keuntungan karena pembebasan utang.
2. Dua puluh persen (20%) dari perkiraan penghasilan neto adalah:
a. Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia.
b. Premi asuransi dan premi reasuransi yang dibayarkan langsung
maupun melalui pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
Adapun besarnya perkiraan penghasilan neto adalah:
 Atas premi dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar
negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar lima
puluh persen dari jumlah premi yang dibayar.
 Atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan
di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara
langsung maupun melalui pialang, sebesar sepuluh persen dari jumlah
premi yang dibayar.
 Atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi yang
berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri
baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar lima persen dari
jumlah premi yang dibayar.
3. Dua puluh persen (20%) dari perkiraan penghasilan neto atas penjualan atau
pengalihan saham perusahaan antara conduit company atau special purpose
company yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang
memberikan perlindungan pajak yang mempunyai hubungan istimewa
dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau
BUT di Indonesia.
4. Dua puluh persen (20%) dari Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi
pajak dari suatu BUI di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan
kembali di Indonesia.
5. Tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)/Tax Treaty
antara Indonesia dengan negara pihak pada persetujuan.

246 - Dasar-Dasar Perpajakan


Tarif PPh Pasal 26 Berdasar P3B untuk Dividen Diatur Sebagai Berikut:
TARIF PPh PASAL 26 ATAS DIVIDEN DAN BRANCH PROFIT TAX
(Untuk P3B yang Sudah Berlaku Maupun yang Baru Diratifikasi Per 1 Januari
2001)

Dividen
No. Negara Penyertaan Branch Profit Tax
Portofolio
Langsung
1. Australia 15% 15% 15%
2. Austria 15% 10% 12%
3. Belgia 15% 15% 15%
Renegosiasi 15% 10% 10%
4. Brunei Darussalam 15% 15% 10%
5. Bulgaria 15% 15% 15%
6. Kanada 15% 15% 15%
Renegosiasi 15% 10% 15%
7. Republic Cheska 15% 10% 12,5%
8. Denmark 20% 10% 15%
9. Mesir 15% 15% 15%
10. Finlandia 15% 10% 15%
11. Prancis 15% 10% 10%
12. Jerman 15% 10% 10%
13. Hungaria 15% 15% 20%
14. India 15% 10% 10%
15. Italia 15% 10% 12%
16. Jepang 15% 10% 10%
17. Jordania 10% 10% N/A
18. Kuwait 10% 10% 10%
19. Luksemburg 15% 10% 10%
20. Malaysia 15% 15% 12,5%
21. Mauritius 10% 5% 10%
22. Mongolia 10% 10% 10%
23. Belanda 15% 10% 9%
Renegosiasi 15% 10% 9%
24. Selandia Baru 15% 15% 20%
25. Norwegia 15% 15% 15%
26. Pakistan 15% 10% 10%
27. Polandia 15% 10% 10%
28. Republik Korea 15% 10% 10%
29. Rumania 15% 12,5% 12,5%
30. Rusia 15% 15% 12,5%
31. Seychelles 10% 10% 20%
32. Singapura 15% 10% 15%
33. Afrika Selatan 15% 10% 10%
34. Spanyol 15% 10% 10%
35. Sri Lanka 15% 15% 20%
36. Sudan 10% 10% 10%
37. Swedia 15% 10% 15%
38. Swiss 15% 10% 10%
39. Syria 10% 10% 10%
40. Taiwan 10% 10% 5%
41. Thailand 15% 15% 20%

Dasar-Dasar Perpajakan - 247


Dividen
No. Negara Penyertaan Branch Profit Tax
Portofolio
Langsung
42. Filipina 20% 15% 20%
43. Tunisia 12% 12% 12%
44. Turki 15% 10% 15%
45. U.A.E 10% 10% 5%
46. Ukraina 15% 10% 10%
47. Inggris 15% 10% 10%
Renegosiasi 15% 10% 10%
48. Amerika Serikat 15% 15% 15%
Renegosiasi 15% 10% 10%
49. Uzbekistan 10% 10% 10%
50. Venezuela 15% 10% 10%
51. Vietnam 15% 15% 10%
52. Slovakia 10% 10% 10%

CONTOH PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 (Halim dkk, 204)


1. Tarif 20% × Penghasilan bruto
Contoh 1
Pada bulan Juni 2012 PT. Bulan Bintang membayar royalti kepada Wayne
Rooney sebagai pengarang lagu sebesar Rp 75.000.000. Wayne Rooney
adalah Wajib Pajak luar negeri.
Jawab
PPh Pasal 26 yang harus dipotong PT. Bulan Bintang adalah:
20% × Rp. 75.000.000 = Rp. 15.000.000
Contoh 2
PT. Adil memberikan hadiah perlombaan kepada Lionel Messi sebagai juara
kompetisi pemain terbaik sepak bola sebesar Rp. 150.000.000. Lionel Messi
adalah Wajib Pajak luar negeri.
Jawab
PPh Pasal 26 yang harus dipotong PT. Adil adalah:
20% × Rp. 150.000.000 = Rp. 30.000.000

2. Tarif 20% × Penghasilan neto


Penghasilan neto = perkiraan penghasilan neto × penghasilan bruto
Contoh 1
PT. Golden mengasuransikan gedungnya kepada perusahaan asuransi luar
negeri dengan membayar jumlah premi asuransi selama tahun 2012 sebesar
Rp. 100.000.000.
Jawab
PPh Pasal 26 yang dipotong PT. Golden adalah:
20 % × 50% × Rp. 100.000.000 = Rp. 10.000.000
Contoh 2
PT. Fumira mengasuransikan gedungnya kepada perusahaan asuransi di
dalam negeri, yaitu perusahaan asuransi Aman dengan membayar premi
asuransi sebesar Rp. 200.000.000. Untuk mengurangi risiko perusahaan

248 - Dasar-Dasar Perpajakan


asuransi Aman mengasuransi sebagian polis asuransinya kepada
perusahaan asuransi di luar negeri dengan premi sebesar Rp. 100.000.000.
Jawab
PPh Pasal 26 yang dipotong PT. Fumira adalah:
20% × 10% × Rp. 100.000.000 = Rp. 2.000.000

Dasar-Dasar Perpajakan - 249


BAB X
Pajak Penghasilan Bersifat Final
(PPh Pasal 4 Ayat 2)

Pengertian

Pajak penghasilan bersifat final merupakan pajak penghasilan yang tidak


dapat dikreditkan (dikurangkan) dari total pajak penghasilan terutang pada akhir
tahun pajak. Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh (Direktorat
Jenderal Pajak, 2009), pajak penghasilan yang bersifat final terdiri dari
penghasilan berikut ini:
1. Bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang
negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota
koperasi wajib orang pribadi.
2. Hadiah undian.
3. Transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh
perusahaan modal ventura.
4. Transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa
konstruksi, usaha real estat, dan persewaan tanah dan/atau bangunan.
5. Penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.

Jenis Penghasilan yang Dipotong PPh Final dan Pelaksanaanya

Pajak Penghasilan Atas Bunga dan Deposito Lainnya


Dasar Hukum
Peraturan yang terkait pelaksaan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas
penghasilan berupa bunga deposito/bunga tabungan/diskonto SBI yaitu:
1. Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000;
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 51/KMK.04/2001.

Pengertian
Deposito yang dimaksud yaitu deposito dengan nama dan dalam bentuk
apapun termasuk deposito berjangka, sertifikat deposito, dan deposit on call, baik
dalam rupiah maupun dalam valuta asing yang ditempatkan pada atau diterbitkan
oleh bank. Termasuk bunga yang diterima atau diperoleh dari deposito dan

250 - Dasar-Dasar Perpajakan


tabungan yang ditempatkan di luar negeri melalui bank yang didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.

Objek dan Tarif


Besarnya PPh yang bersifat final yang dipotong adalah dua puluh dari jumlah
bruto, sebagaimana ditunjukkan dalam tabel di bawah ini.
Tarif Bunga dan Deposito
Objek Pajak Subjek Pajak Pajak
Bunga Deposito/Bunga Wajib Pajak dalam Negeri dan 20%
Tabungan/Diskonto SBI BUT
Wajib Pajak Luar Negeri 20% atau sesuai tarif P3B

Pemotong PPh
1. Bank pembayar bunga.
2. Dana pensiun yang telah disahkan Menteri Keuangan dan bank yang menjual
kembali SBI kepada pihak yang bukan dana pensiun yang pendiriannya
belum disahkan oleh Menteri Keuangan dan bukan bank wajib pemotong PPh
atas diskonto SBI tersebut.

Dikecualikan dari Pemotongan PPh


1. Bunga dari deposito/tabungan/SBI sepanjang jumlah deposito/tabungan/SBI
tidak lebih dari Rp7.500.000 dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-
pecah.
2. Bunga diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di Indonesia
atau cabang bank luar negeri di Indonesia.
3. Bunga deposito/tabungan/diskonto SBI yang diterima atau diperoleh Dana
Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sepanjang
dananya diperoleh dari sumber pendapatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun.
4. Bunga tabungan pada bank yang ditunjuk pemerintah dalam rangka
pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bangun
untuk rumah sederhana dan sangat sederhana atau rumah susun sederhana
sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk dihuni sendiri.

Bunga Obligasi dan Surat Utang Negara

Dasar Hukum
1. Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009.
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2011 sebagaimana telah
diubah dan disempurnakan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
07/PMK.011/2012.

Pengertian
Obligasi merupakan Surat Utang dan Surat Utang Negara, yang memiliki
jangka waktu lebih dari dua belas bulan. Bunga Obligasi adalah imbalan yang
diterima oleh pemegang obligasi dalam bentuk bunga dan/atau diskonto.

Dasar-Dasar Perpajakan - 251


Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak
Besarnya pajak penghasilan atau bunga obligasi yaitu:
1. Bunga dari obligasi dengan kupon sebesar:
a. lima belas persen bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha
Tetap; dan
b. dua puluh persen atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan
penghindaran pajak berganda bagi Wajib Pajak luar negeri selain
bentuk Usaha Tetap dari jumlah bruto bunga sesuai dengan masa
kepemilikan obligasi.
2. Diskonto dari Obligasi dengan kupon sebesar:
a. lima belas persen bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha
Tetap; dan
b. dua puluh persen atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan
penghindaran pajak berganda bagi Wajib Pajak luar negeri selain
bentuk Usaha Tetap dari selisih lebih harga jual atau nilai nominal di
atas harga perolehan obligasi, tidak termasuk bunga berjalan.
3. Diskonto dari Obligasi tanpa bunga sebesar:
a. lima belas persen bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha
Tetap; dan
b. dua puluh persen atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan
penghindaran pajak berganda bagi Wajib Pajak luar negeri selain
Bentuk Usaha Tetap dari selisih lebih harga jual atau nominal di atas
harga perolehan obligasi.
4. Bunga dan/atau diskonto dari obligasi yang diterima dan/atau diperoleh Wajib
Pajak reksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan sebesar,
a. nol persen untuk tahun 2009 sampai dengan tahun 2010;
b. lima persen untuk tahun 2011 sampai dengan tahun 2013; dan
c. lima belas persen untuk tahun 2014 dan seterusnya.
Dalam hal tersebut terdapat diskonto negatif atau rugi pada saat penjualan
obligasi, diskonto, negatif atau rugi tersebut dapat diperhitungkan dengan
penghasilan bunga berjalan.

Pemotong PPh
Pemotong PPh bunga obligasi yaitu:
1. Penerbit Obligasi atau kustodian selaku agen pembayaran yang ditunjuk,
atas bunga dan/atau diskonto yang diterima pemegang Obligasi dengan
kupon pada saat jatuh tempo Bunga Obligasi, dan diskonto yang diterima
pemegang Obligasi tanpa bunga pada saat jatuh tempo Obligasi; dan/atau
2. Perusahaan efek, bank, atau diler, selaku pedagang perantara dan/atau
pembeli, atas bunga dan diskonto yang diterima penjual Obligasi pada saat
transaksi.

Dikecualikan dari Pemotongan PPh


Tidak dilakukan Pemotongan PPh Bersifat Final atas bunga obligasi yang
diterima oleh:

252 - Dasar-Dasar Perpajakan


1. Wajib Pajak dana pensiun yang pendirian atau pembentukannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan; dan
2. Wajib Pajak bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di
Indonesia.

Bunga Simpanan yang Dibayarkan Koperasi kepada Anggota Koperasi Wajib


Orang Pribadi

Dasar Hukum
Peraturan yang terkait pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas
penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan kepada anggota koperasi
orang pribadi adalah:
1. Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak penghasilan;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2009
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2010.

Objek Pajak
Atas penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi
yang didirikan di Indonesia kepada anggota koperasi orang pribadi dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final.

Tarif Pajak
Besarnya Pajak Penghasilan yaitu:
1. nol persen untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan
Rp240.000,00 per bulan; atau
2. sepuluh persen dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan berupa bunga
simpanan lebih dari Rp240.000,00 per bulan.

Pemotong PPh
Koperasi yang melakukan pembayaran bunga simpanan kepada anggota
koperasi orang pribadi.

Saat Terutang, Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan


1. Dipotong oleh koperasi yang melakukan pembayaran bunga simpanan
kepada anggota koperasi orang pribadi pada saat pembayaran.
2. Koperasi memberikan tanda bukti pemotongan Pajak Penghasilan Final
Pasal 4 ayat (2) kepada Wajib Pajak orang pribadi yang dipotong Pajak
Penghasilan setiap melakukan pemotongan.
3. Kewajiban memberikan tanda bukti pemotongan Pajak Penghasilan Final
Pasal 4 ayat (2), tetap dilakukan terhadap penghasilan dari bunga simpanan
yang dikenai tarif pemotongan sebesar nol persen.
4. Pajak Penghasilan yang telah dipotong oleh koperasi wajib disetor ke Kas
Negara melalui Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan,
paling lama tanggal sepuluh bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir
dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.
5. Koperasi wajib menyampaikan laporan tentang pemotongan dan penyetoran
Pajak Penghasilan paling lama dua puluh hari setelah masa pajak berakhir

Dasar-Dasar Perpajakan - 253


menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Final Pasal 4
ayat (2).

Hadiah Undian

Dasar Hukum
Peraturan yang terkait pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas
penghasilan berupa hadiah undian yaitu:
1. Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 132 Tahun 2000.

Pengertian
Hadiah undian merupakan hadiah dengan nama dan dalam bentuk apa pun
yang diberikan melalui undian.

Objek Pajak
Penghasilan berupa hadiah undian dengan nama dan dalam bentuk apa pun
yang diberikan melalui undian.

Pengecualian Objek Pajak


Tidak termasuk dalam pengertian hadiah dan penghargaan yang dikenakan
Pajak Penghasilan yaitu hadiah langsung dalam penjualan barang atau jasa
sepanjang diberikan kepada semua konsumen atau pembeli akhir tanpa diundi dan
hadiah tersebut diterima langsung oleh konsumen akhir pada saat pembelian
barang atau jasa.

Tarif Pajak
Hadiah undian dikenakan PPh sebesar 25 persen dari jumlah bruto hadiah
atau nilai pasar hadiah berupa natura dan bersifat final.

Pemotong PPh
Penyelenggaraan undian baik orang pribadi, kepanitiaan, badan, organisasi
(termasuk organisasi internasional) atau penyelenggara lainnya termasuk
pengusaha yang menjual barang atau jasa yang memberikan hadiah dengan cara
diundi.

Transaksi Saham dan Sekuritas Lainnya

Dasar Hukum
Peraturan yang terkait pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas
penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya yaitu:
1. Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997;
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 28/KMK.04/1997.

254 - Dasar-Dasar Perpajakan


Pengertian
1. Termasuk dalam pengertian saham pendiri yaitu:
a. saham yang diperoleh pendiri yang berasal dari kapitalisasi agio yang
dikeluarkan setelah penawaran umum perdana (initial public offering);
b. saham yang berasal dari pemecahan saham pendiri.
2. Tidak termasuk dalam pengertian saham pendiri yaitu:
a. saham yang diperoleh pendiri yang berasal dari pembagian dividen
dalam bentuk saham;
b. saham yang diperoleh pendiri setelah penawaran umum perdana (initial
public offering) yang berasal dari pelaksanaan hak pemesanan efek
terlebih dahulu (right issue), waran, obligasi konversi dan efek konversi
lainnya;
c. saham yang diperoleh pendiri perusahaan Reksa Dana.
3. Pendiri merupakan orang pribadi atau badan yang namanya tercatat dalam
Daftar Pemegang Saham Perseroan Terbatas atau tercantum dalam
Anggaran Dasar Perseroan Terbatas sebelum Pernyataan Pendaftaran yang
diajukan kepada Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dalam rangka
penawaran umum perdana (initial public offering) menjadi efektif.
4. Termasuk dalam pengertian pendiri merupakan orang pribadi atau badan
yang menerima pengalihan saham dari pendiri karena:
a. warisan;
b. hibah yang memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 2 Undang-
Undang PPh;
c. cara lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan pada saat pengalihan
tersebut.

Objek Pajak
Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari
transaksi penjualan saham di bursa efek.

Tarif Pajak
1. Besarnya tarif Pajak Penghasilan adalah 0,1 persen dari jumlah bruto nilai
transaksi penjualan.
2. Pemilik saham pendiri dikenakan tambahan Pajak Penghasilan sebesar
setengah persen dari nilai saham perusahaan pada saat penutupan bursa di
akhir tahun 1996. Dalam hal saham perusahaan diperdagangkan di bursa
efek setelah 1 Januari 1997, maka nilai saham ditetapkan sebesar harga
saham pada saat penawaran umum perdana.

Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan


1. Pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan dengan cara pemotongan oleh
penyelenggaraan bursa efek melalui perantara pedagang efek pada saat
pelunasan transaksi penjualan saham.
2. Penyelenggara bursa efek wajib menyetor Pajak Panghasilan kepada bank
persepsi atau Kantor Pos dan Giro selambat-lambatnya tanggal 20 setiap
bulan atas transaksi penjualan saham yang dilakukan dalam bulan
sebelumnya.

Dasar-Dasar Perpajakan - 255


3. Penyelenggara bursa efek wajib menyampaikan laporan tentang pemotongan
dan penyetoran Pajak Penghasilan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
setempat selambat-lambatnya tanggal 25 pada bulan yang sama dengan
bulan penyetoran.

Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan

Dasar Hukum
Peraturan yang terkait pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yaitu:
1. Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008;
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
243/PMK.03/2008;
4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2010;
5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2009;
6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-30/PJ/2009;

Pengertian
Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan meliputi hal-hal berikut.
1. Penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak,
penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak
lain selain pemerintah.
2. Penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain
yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan,
termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan
persyaratan khusus.
3. Penjualan, tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, atau cara lain
kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum yang memerlukan persyaratan khusus.

Objek Pajak
Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Subjek Pajak
Orang pribadi atau badan yang memperoleh penghasilan dari pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan.

Dikecualikan dari Subjek Pajak


1. Pihak-pihak yang diberikan penerbitan Surat Keterangan Bebas meliputi
berikut.
a. Orang pribadi yang mempunyai penghasilan dibawah PTKP yang
jumlah bruto pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunannya kurang

256 - Dasar-Dasar Perpajakan


dari Rp60.0000.000,00 dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-
pecah.
b. Orang pribadi yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan sehubungan dengan hibah yang diberikan kepada keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan kepada badan
keagamaan atau badan sosial atau badan pendidikan atau pengusaha
kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha,
kepemilikan, pekerjaan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
c. Badan yang melakukan penglihan hak atas tanah dan/atau bangunan
sehubungan dengan hibah yang diberikan kepada badan keagamaan
atau badan sosial atau badan pendidikan atau pengusaha kecil
termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang
hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, kepemilikan,
pekerjaan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
d. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sehubungan dengan
warisan.
2. Pihak-pihak yang diberikan secara langsung tanpa penerbitan Surat
Keterangan Bebas:
a. Orang pribadi atau badan yang memperoleh atau menerima
penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada
pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
yang memerlukan persyaratan khusus.
b. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh
orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak.

Tarif Pajak
Tarif PPh yang bersifat final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan:
1. Selain Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan sebesar lima persen dari jumlah bruto nilai
pengalihan tersebut.
2. Bagi Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan:
a. Satu persen dari jumlah bruto nilai pengalihan untuk pengalihan Rumah
Sederhana dan Rumah Susun Sederhana;
b. Lima persen dari jumlah bruto nilai pengalihan untuk pengalihan lainnya.

Tata Cara Pelunasan dan Pelaporan


1. Orang pribadi atau badan yang memperoleh atau menerima penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dari pihak selain pemerintah
wajib membayar sendiri pajak penghasilannya dan menyampaikan Surat
Pemberitahuan Masa paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah
bulan dilakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau
diterimanya pembayaran.

Dasar-Dasar Perpajakan - 257


2. Bendaharawan atau pejabat yang melakukan pembayaran atau pejabat yang
menyetujui tukar-menukar, yang melakukan pemungutan pajak penghasilan
wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa paling lama tanggal 20
bulan berikutnya setelah bulan dilakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan atau diterimanya pembayaran.

Usaha Jasa Konstruksi

Dasar Hukum
Peraturan yang terkait pelaksanaan pemotong PPh pasal 4 ayat (2) atas
penghasilan berupa penghasilan dari usaha jasa konstruksi adalah:
1. Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009;
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2008 sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153/PMK.03/2009.

Pengertian
1. Jasa Konstruksi merupakan layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan
konstruksi layanan pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa
konsultasi pengawasan konstruksi.
2. Pekerjaan Konstruksi merupakan keseluruhan atau sebagian rangkaian
kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang
mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, elektris, mekanis, dan tata lingkungan
yang masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu
bangunan atau bentuk fisik lain.
3. Perencanan Konstruksi merupakan pemberian jasa oleh orang pribadi atau
badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa
konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen
perencanaan bangunan fisik lain.
4. Pelaksanaan Konstruksi merupakan pemberian jasa oleh orang pribadi atau
badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa
konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan
suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain,
termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi, adalah
penggabungann fungsi layanan dalam model penggabungan perencanaan,
pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement, and construction)
serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and
build).
5. Pengawasan Konstruksi merupakan pemberian jasa oleh orang pribadi
atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa
konstruksi, yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal
pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.
6. Pengguna Jasa merupakan orang pribadi atau badan termasuk Bentuk
Usaha Tetap yang memerlukan layanan jasa konstruksi.
7. Penyedia Jasa merupakan orang perseorangan atau badan termasuk
Bentuk Usaha Tetap yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa

258 - Dasar-Dasar Perpajakan


konstruksi baik sebagai perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan
pengawas konstruksi maupun sub-subnya.
8. Nilai Kontrak Jasa Konstruksi merupakan nilai yang tercantum dalam suatu
kontrak jasa kosntruksi secara keseluruhan.

Objek Pajak
Atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi dikenakan penghasilan yang
bersifat final.

Tarif
Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang menerima
penghasilan dari jasa konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan sebagai berikut.

Tarif Memiliki Kualifikasi Usaha


Bentuk Usaha Klasifikasi Usaha Tarif
2% dari penerimaan
Kecil pembayaran tidak termasuk
PPN
Pelaksana Konstruksi
3% dari penerimaan
Menengah & besar pembayaran tidak termasuk
PPN
4% dari penerimaan
Perencanaan dan
Kecil, Menengah, & Besar pembayaran tidak termasuk
Pengawasan
PPN

Tarif Tidak Memiliki Kualifikasi Usaha


Bentuk Usaha Tarif
4% dari penerimaan pembayaran tidak
Pelaksana Konstruksi
termasuk PPN
6% dari penerimaan pembayaran tidak
Perencanaan dan Pengawasan
termasuk PPN

Pemotongan dan Penyetoran


1. Pajak penghasilan dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran,
dalam hal Pengguna Jasa merupakan pemotong pajak.
2. Pajak penghasilan disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, dalam hal Pengguna
Jasa bukan merupakan pemotong pajak.
3. Dalam hal:
a. Terdapat selisih kekurangan PPh yang terutang berdasarkan Nilai
Kontrak Jasa Konstruksi dengan PPh berdasarkan pembayaran yang
telah dipotong atau disetor sendiri, selisih kekurangan tersebut disetor
sendiri oleh Penyedia Jasa.
b. Nilai Kontrak Jasa Konstruksi tidak dibayar sepenuhnya oleh Pengguna
Jasa, atas Nilai Kontrak Jasa Konstruksi yang tidak dibayar tersebut
tidak terutang PPh yang bersifat final, dengan syarat Nilai Kontrak Jasa
Konstruksi yang tidak dibayar tersebut dicatat sebagai piutang yang
tidak dapat ditagih.
1) Piutang yang tidak dapat ditagih yaitu piutang yang nyata-nyata
tidak dapat ditagih.

Dasar-Dasar Perpajakan - 259


2) Dalam hal piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat
ditagih kembali, tetap dikenakan PPh yang bersifat final.

Persewaan Tanah dan/atau Bangunan

Dasar Hukum
Peraturan yang terkait pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas
persewaan tanah dan/atau bangunan yaitu:
1. Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002;
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996 sebagaimana telah
diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 120/KMK.03/2002;
4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-227/PJ./2002;
5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-50/PJ./1996.

Objek Pajak
Penghasilan berupa sewa atas tanah dan/atau bangunan berupa tanah,
rumah, rumah susun, kondominium, apartemen, gedung pertokoan, gedung
perkantoran, atau gedung pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko,
rumah toko, bangunan industri, dan gudang.

Tarif Pajak
Besarnya Pajak Penghasilan yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi
maupun Wajib Pajak badan yang memperoleh atau menerima penghasilan dari
persewaan tanah yaitu sepuluh persen dari jumlah bruto nilai persewaan tanah
dan bangunan. Jumlah bruto nilai persewaan merupakan semua jumlah yang
dibayarkan atau terutang oleh pihak yang menyewa dengan nama dan dalam
bentuk apa pun yang berkaitan dengan tanah dan/atau bangunan yang disewa,
termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan, dan service
charge baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan
dengan perjanjian persewaan yang bersangkutan.

Tata Cara Pelunasan


Tata cara pelunasan Pajak Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau
bangunan dilakukan melalui:
1. Pemotongan oleh penyewa dalam hal penyewa merupakan Badan
Pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan,
Bentuk Usaha Tetap, kerjasama operasi, perwakilan perusahaan luar negeri
lainnya, dan orang pribadi yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
2. Penyetoran sendiri oleh yang menyewakan dalam hal penyewa merupakan
orang pribadi atau bukan Subjek Pajak.

Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan


1. Dalam melaksanakan pemotongan Pajak Penghasilan pihak penyewa wajib:

260 - Dasar-Dasar Perpajakan


a. Memotong Pajak Penghasilan yang terutang pada saat pembayaran
atau terutangnya sewa, tergantung peristiwa mana lebih dahulu terjadi;
b. Menyetor Pajak Penghasilan yang terutang ke Bank Persepsi atau
Kantor Pos dan Giro paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya
setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa;
c. Melaporkan pemotongan dan penyetoran Pajak Penghasilan yang
terutang ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 bulan
takwim berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa.
2. Dalam melaksanakan penyetoran sendiri Pajak Penghasilan, pihak yang
menyewakan wajib:
a. Menyetor Pajak Penghasilan yang terutang ke Bank Persepsi atau
Kantor Pos dan Giro paling lambat tanggal 15 bulan takwim berikutnya
setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa;
b. Melaporkan pemotongan dan penyetoran Pajak Penghasilan yang
terutang ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 bulan
takwim berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa.

Wajib Pajak yang Memilik Peredaran Bruto Tertentu

Dasar Hukum
Peraturan yang terkait dengan pajak penghasilan atas penghasilan dari
usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto
tertentu.
1. Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang Pajak Penghasilan.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013.
3. Peraturan Menteri Keuangan No. 107/PMK.11/2013.

Objek Pajak
Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang
memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Subjek Pajak (Wajib Pajak)


Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Dalam hal ini Wajib pajak
yang memenuhi kriteria sebagai berikut.
1. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk Bentuk
Usaha Tetap; dan
2. menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi
Rp. 4.800.000,00 dalam satu Tahun Pajak.
Tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas,
meliputi pihak-pihak berikut.
1. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari akuntan,
pengacara, dokter, konsultan, arsitek, notaris, penilai, dan aktuaris.
2. Pemain musik, penyanyi, pembawa acara, pelawak, bintang film, bintang
iklan, bintang sinetron, sutradara, kru film, peragawan/peragawati, foto model,
pemain drama, dan penari.

Dasar-Dasar Perpajakan - 261


3. Agen iklan.
4. Agen asuransi.
5. Penasihat, pelatih, pengajar, penyuluh, penceramah, dan moderator.
6. Olahragawan.
7. Peneliti, pengarang, dan penerjemah.
8. Pengawas atau pengelola proyek.
9. Perantara.
10. Petugas penjaga barang dagangan.
11. Distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau
penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.

Tidak Termasuk Subjek Pajak (Wajib Pajak)


1. Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi yaitu Wajib Pajak orang pribadi
yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam
usahanya:
a. Menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang,
baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
b. Menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum
yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
Misalnya, pedagang asongan, pedagang makanan keliling, warung
tenda di trotoar, dan sejenisnya.
2. Tidak termasuk Wajib Pajak badan yaitu:
a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
b. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu satu tahun setelah
beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp.
4.800.000.000,00.

Tarif Pajak
Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah satu persen.

Pengenaan Pajak Penghasilan


1. Pengenaan Pajak Penghasilan didasarkan pada peredaran bruto dari usaha
dalam satu tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang
bersangkutan.
Contoh 1:
CV. Indah memiliki usaha penjualan toko kelontong yang berdasarkan
pembukuan atau catatan pada Tahun Pajak 2013 (Januari 2013 sampai
dengan Desember 2013), memiliki peredaran bruto sebesar empat miliar
rupiah. Dengan demikian, atas penghasilan dari usaha yang diterima oleh CV
Bahari pada tahun 2014 dikenai Pajak Penghasilan bersifat final sebesar satu
persen, karena peredaran bruto CV Bahari pada Tahun Pajak 2013 tidak
melebihi Rp. 4.800.000.000,00.
2. Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah
melebihi jumlah Rp. 4.800.000.000,00 dalam suatu Tahun Pajak, Wajib Pajak
tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan satu persen sampai dengan akhir Tahun
Pajak yang bersangkutan.

262 - Dasar-Dasar Perpajakan


Contoh 2:
Jika CV. Indah, sebagaimana contoh 1, pada Januari sampai dengan Oktober
2014 memperoleh peredaran bruto sebesar lima miliar rupiah, maka atas
penghasilan dari usaha yang diterima CV Bahari sampai dengan Desember
2014 (akhir Tahun Pajak 2014) tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan yang
bersifat final sebesar satu persen.
3. Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp.
4.800.000.000,00 pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif Pajak
Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Contoh 3:
Jika CV Bahari, sebagaimana contoh 2, pada Januari sampai dengan
Desember 2014 memperoleh peredaran bruto sebesar enam miliar rupiah,
maka penghasilan yang diperoleh CV Bahari pada tahun 2015 (tahun
berikutnya), dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan Undang-Undang
Pajak Penghasilan. Dengan kata lain, tidak dikenai tarif Pajak Penghasilan
yang bersifat final satu persen.

Dasar Pengenaan Pajak


Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak
Penghasilan yang bersifat final yaitu jumlah peredaran bruto setiap bulan.

Perhitungan Pajak Penghasilan Terutang


Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif pajak dikalikan dengan
dasar pengenaan pajak yang dapat dirumuskan sebagai berikut.

PPh Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak


= 1% x Jumlah peredaran bruto setiap bulan

Contoh 4:
CV. Biru memiliki usaha penjualan toko buku yang berdasarkan pembukuan atau
catatan pada Tahun Pajak 2013 (Januari 2013 sampai dengan Desember 2013),
memiliki peredaran bruto sebesar empat miliar rupiah. Dengan demikian, atas
penghasilan dari usaha yang diterima oleh CV. Biru pada tahun 2014 dikenai Pajak
Penghasilan bersifat final sebesar satu persen.
Jika CV. Biru pada Agustus 2014 memperoleh penghasilan dari usaha penjualan
toko buku sebesar Rp. 50.000.000, maka Pajak Penghasilan yang bersifat final
yang terutang untuk Agustus 2014 dihitung sebagai berikut.
PPh yang bersifat final = 1% x Rp50.000.000 = Rp500.000

Hal-Hal Khusus
Hal-hal khusus terkait peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final, diatur sebagai berikut.
1. Didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum
Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 yang

Dasar-Dasar Perpajakan - 263


disetahunkan, dalam hal Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak
berikutnya aturan ini meliputi kurang dari jangka waktu dua belas bulan.
Contoh 5:
PT. Sumber Bahagia menggunakan tahun kalender sebagai Tahun Pajak.
Terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak Agustus 2013. Peredaran bruto selama
Agustus 2013 sampai dengan Desember 2013 adalah Rp150.000.000.
Peredaran bruto tahun 2013 disetahunkan adalah:
Rp150.000.000 x 12/5 = Rp360.000.000.
Karena peredaran bruto disetahunkan di tahun 2013 tidak melebihi Rp.
4.800.000.000, maka penghasilan yang diperoleh di tahun 2014 dikenai pajak
yang bersifat final.
2. Didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak
terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2013 ini yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak terdaftar
dalam Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak saat berlakunya aturan
ini di bulan sebelu aturan ini berlaku.
Contoh 6:
PT. Merak terdaftar tiga bulan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2013 ini pada Tahun Pajak yang sama dengan tahun
berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
Jumlah peredaran bruto selama tiga bulan tersebut adalah Rp. 150.000.000.
Peredaran bruto selama tiga bulan yang disetahunkan adalah:
Rp.150.000.000 x 12/3 = Rp600.000.000.
Karena peredaran bruto disetahunkan untuk tiga bulan tersebut tidak melebihi
Rp4.800.000, maka penghasilan yang diperoleh mulai pada bulan berlakunya
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 ini sampai dengan akhir tahun
pajak bersangkutan, dikenai pajak yang bersifat final sesuai ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah ini.
3. Didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya
penghasilan dari usaha yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak yang baru
terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak berlakunya aturan ini.
Contoh 7:
Bambang terdaftar sebagai Wajib Pajak baru pada November 2014. Pada
November 2014 tersebut, memperoleh peredaran bruto sebesar Rp.
15.000.000. Penghasilan bruto November 2014 disetahunkan adalah: 12/1 x
Rp. 15.000.000 = Rp. 180.000.000
Karena penghasilan November 2014 (bulan pertama mulai terdaftar sebagai
Wajib Pajak) yang disetahunkan tidak melebihi Rp. 4.800.000.000, maka
penghasilan yang diperoleh di tahun 2014 dikenai Pajak Penghasilan yang
bersifat final.

Penyetoran dan Pelaporan


1. Wajib Pajak menyetor Pajak Penghasilan terutang ke kantor pos atau bank
yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat
Setoran Pajak, yang telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi

264 - Dasar-Dasar Perpajakan


Penerimaan Negara, paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa
Pajak berakhir.
2. Wajib Pajak yang melakukan pembayaran Pajak Penghasilan wajib
menyampaikan SPT Masa Pajak Penghasilan paling lama dua puluh hari
setelah Masa Pajak berakhir.
3. Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran Pajak Penghasilan, dianggap
telah menyampaikan SPT Masa Pajak Penghasilan, sesuai dengan tanggal
validasi Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang tercantum pada Surat
Setoran Pajak.

CONTOH PENGHITUNGAN (Halim dkk, 2014)


PT. Jawa bergerak di bidang industri karet beralamat di Jl. Cempaka No. 5
Semarang. PT. Jawa terdaftar sebagai Wajib Pajak, sehingga diwajibkan untuk
memotong pajak penghasilan atas pembayaran yang dilakukan. Berikut transaksi
yang berkaitan dengan PT. Jawa di bulan Mei 2012:
3 Mei Membayar imbalan jasa pelaksana konstruksi kepada PT. Megah
sebesar Rp.75.000.000. PT. Megah beralamat di Jl. Sukun No. 1,
Semarang, NPWP 68.796.045.0-517.000 dan sebagai penyedia jasa
yang memiliki kualifikasi usaha kecil.
5 Mei Melakukan Undian berhadiah untuk memperingati 15 tahun berdiri PT.
Jawa. Undian berhadiah dilakukan atas pelanggan yang mengirimkan
kemasan terigu selama enam bulan pertama di tahun 2011. Pada
Undian tersebut berhadiah uang tunai sebesar Rp.100.000.000 yang
diterima oleh Titik sebagai pemenang undian. Titik beralamat di Jl.
Meranti 25, Semarang.
25 Mei Membayar sewa tanah dan bangunan di Jl. Pandanaran No. 5,
Semarang kepada Anwar Sanusi sebesar Rp. 30.000.000. Anwar
Sanusi beralamat di Jl. Nakula No. 3, Semarang.

Dari transaski diatas hitunglah PPh Final yang harus dipotong oleh PT. Jawa.

Jawab:
PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh PT. Jawa adalah:
3 Mei Jasa pelaksana konstruksi dengan wajib pajak PT. Megah maka PPh
yang dipotong:
Rp.75.000.000 x 2% = Rp.1.500.000
5 Mei Hadiah undian dengan wajib pajak Titik maka PPh yang dipotong:
Rp.100.000.000 x 25% = Rp. 25.000.000
25 Mei Sewa tanah dan bangunan dengan wajib pajak Anwar Sanusi maka PPh
yang dipotong:
Rp.30.000.000 x 10% = Rp. 3.000.000

Dasar-Dasar Perpajakan - 265


LAMPIRAN

SPT MASA PPh FINAL

266 - Dasar-Dasar Perpajakan


DEPARTEMEN SURAT PEMBERITAHUAN (SPT) MASA SPT Normal
KEUANGAN RI PAJAK PENGHASILAN FINAL PASAL 4 AYAT (2) SPT Pembetulan Ke- __
DIREKTORAT Formulir ini digunakan untuk melaporkan Pemotongan Masa Pajak
JENDERAL PAJAK /Pemungutan Pajak Penghasilan Final Pasal 4 Ayat (2) /
BAGIAN A. IDENTITAS PEMOTONG PAJAK/WAJIB PAJAK
1. N P W P :
2. Nama :
3. Alamat :
BAGIAN B. OBJEK PAJAK
Nilai Objek PPh yang
Tarif
Uraian KAP/KJS Pajak Dipotong/Dipungut/
(%) Disetor Sendiri (Rp)
(Rp)
(1) (2) (3) (4) (5)
1. Bunga Deposito/Tabungan, Diskonto SBI dan Jasa Giro
a. Bunga Deposito/Tabungan
1) Yang ditempatkan di Dalam Negeri 411128/404
2) Yang ditempat ditempatkan Luar Negeri 411128/404
b. Diskonto Sertifikat Bank Indonesia 411128/404
c. Jasa Giro 411128/404
2. Transaksi Penjualan Saham
a. Saham Pendiri 411128/407
b. Bukan Saham Pendiri 411128/407
3. Bunga/Diskonto Obligasi dan Surat Berharga Negara 411128/401
4. Hadiah Undian 411128/405
5. Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
a. Penyewa sebagai Pemotong Pajak 411128/403
b. Orang Pribadi/Badan yang Menyetor Sendiri PPh 411128/403
6. Jasa Konstruksi
a. Perencana Konstruksi
1) Pengguna Jasa sebagai Pemotong PPh 411128/409
2) Penyedia Jasa yang Menyetor Sendiri PPh 411128/409
b. Pelaksana Konstruksi
1) Pengguna Jasa sebagai Pemotong PPh 411128/409
2) Penyedia Jasa yang Menyetor Sendiri PPh 411128/409
c. Pengawas Konstruksi
1) Pengguna Jasa sebagai Pemotong PPh 411128/409
2) Penyedia Jasa yang Menyetor Sendiri PPh 411128/409
7. Wajib Pajak yang Melakukan Pengalihan Hak Atas 411128/402
Tanah/Bangunan
8. Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi
411128/417
kepada Anggota Wajib Pajak Orang Pribadi
9. Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang
411128/418
Diperdagangkan di Bursa
10. Dividen yang Diterima/Diperoleh Wajib Pajak Orang
411128/419
Pribadi Dalam Negeri
11. Penghasilan Tertentu Lainnya
a. ………………………………………………………
b. ………………………………………………………
c. ………………………………………………………
JUMLAH
Terbilang :
BAGIAN C. LAMPIRAN
1. Surat Setoran Pajak: lembar
2. Daftar Bukti Pemotongan/Pemungutan PPh Final Pasal 4 ayat (2).
3. Bukti Pemotongan/Pemungutan PPh Final Pasal 4 ayat (2): lembar
4. Surat Kuasa Khusus

BAGIAN D. PERNYATAAN DAN TANDA TANGAN


Dengan menyadari sepenuhnya akan segala akibatnya termasuk sanksi-sanksi sesuai dengan Diisi Oleh Petugas
ketentuan perundang-undangan yang berlaku, saya menyatakan bahw a apa yang telah saya SPT Masa diterima :
beritahukan di atas beserta lampiran-lampirannya adalah benar, lengkap dan jelas. Langsung dari WP
PEMOTONG PAJAK/PIMPINAN KUASA WAJIB PAJAK Melalui Pos
Tanggal

Nama
tanggal bulan tahun
NPWP
Tanda tangan & Cap Tanggal Tanda tangan
tanggal bulan tahun

F.1.1.32.04 Lampiran I.1 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-53/PJ/2009

Dasar-Dasar Perpajakan - 267


PETUNJUK PENGISIAN FORMULIR
SPT MASA PAJAK PENGHASILAN FINAL PASAL 4 AYAT (2)
(F.1.1.32.04)

PETUNJUK UMUM
SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat 2 menggunakan format yang dapat dibaca dengan mesin scanner, oleh karena itu perlu diperhatikan
hal-hal berikut ini:
 Jika Wajib Pajak membuat sendiri formulir SPT ini, jangan lupa untuk membuat tanda ■ (segi empat hitam) di keempat sudut
kertas sebagai pembatas agar dokumen dapat di-scan.
 Kertas berukuran F4/Folio (8.5 x 13 inchi) dengan berat minimal 70 gram.
 Kertas tidak boleh dilipat atau kusut.
 Kolom Identitas:
Bagi Wajib Pajak yang mengisi menggunakan komputer atau tulis tangan, semua isian identitas harus ditulis di dalam kotak-
kotak yang disediakan.
Bagi Wajib Pajak yang mengisi menggunakan mesin ketik, NPWP harus ditulis di dalam kotak-kotak sedangkan nama dan
alamat Wajib Pajak dapat ditulis dengan mengabaikan kotak-kotak namun tidak boleh melewati batas kotak paling kanan.
Contoh : Nama
PT. MAJU LANCAR JAYA SENTOSA ABADI

 Kolom-kolom nilai rupiah atau US dollar harus diisi tanpa nilai desimal.
Contoh : dalam menuliskan sepuluh juta rupiah adalah : 10.000.000 (BUKAN 10.000.000,00)
dalam menuliskan seratus dua puluh lima rupiah lima puluh sen adalah : 125 (BUKAN 125,50)

PETUNJUK KHUSUS
1. Bagian Judul
 Beri tanda silang (X) pada kotak di depan baris ”SPT Normal” jika SPT yang disampaikan merupakan SPT biasa, dan beri
tanda silang (X) pada kotak di depan baris ”SPT Pembetulan Ke- __” jika SPT yang disampaikan merupakan SPT
Pembetulan.
 Untuk SPT Pembetulan, maka pada baris: “SPT Pembetulan Ke- ___ ” diisi dengan angka kesekian kalinya Wajib Pajak
melakukan pembetulan.
 Masa Pajak diiisi dengan Masa Pajak yang bersangkutan, dengan format penulisan bulan-tahun .
Untuk SPT Pembetulan, Masa Pajak diisi dengan Masa Pajak dari SPT yang dibetulkan.

2. Bagian A
Diisi dengan identitas lengkap (NPWP, nama, dan alamat) Pemotong Pajak/Wajib Pajak.

3. Bagian B
Kolom (1) : Uraian , cukup jelas.
Kolom (2) : KAP/KJS
Kode Akun Pajak (KAP) dan Kode Jenis Setoran (KJS) yang harus diisikan pada Surat Setoran Pajak (SSP).
Kolom (3) : Nilai Jual Objek Pajak
Diisi dengan jumlah bruto bunga deposito/tabungan, diskonto Sertifikat Bank Indonesia, jasa giro, transaksi
penjualan saham, bunga/diskonto obligasi, hadiah undian, nilai sewa tanah dan atau bangunan, imbalan atas
jasa konstruksi.
Kolom (4) : Tarif , cukup jelas
Tarif atas jasa konstruksi ditulis sesuai dengan pemotongan/penyetoran yang dilakukan.
Contoh : Jika pada masa pajak yang sama dilakukan pemotongan PPh atas jasa pelaksanaan konstruksi oleh
penyedia jasa dengan kualifikasi usaha kecil dan oleh penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi
usaha maka kolom tarif diisi: 2 / 4.
Kolom (5) : PPh yang dipotong/dipungut/disetor sendiri
Diisi dengan jumlah PPh yang dipotong/dipungut/disetor sendiri yaitu sebesar Nilai Objek Pajak x Tarif
Terbilang : Diisi untuk jumlah PPh
Diisi dengan hasil penjumlahan angka 6 sampai dengan angka 19.

4. Bagian C
Beri tanda X dalam kotak sesuai dengan dokumen yang dilampirkan dan isi jumah dokumen yang dilampirkan pada kotak
yang tersedia.
Jika SPT ditandatangani oleh bukan Pemotong Pajak/WP, maka harap dilampirkan Surat Kuasa Khusus bermaterai cukup.

5. Bagian D
 Beri tanda (X) pada kotak yang sesuai. Pemotong Pajak/Pimpinan atau Kuasanya wajib membubuhkan Nama Lengkap dan
NPWP yang bersangkutan serta wajib menandatangani dan membubuhkan cap perusahaan.
Tanggal diisi dengan tanggal dibuatnya SPT dengan format penulisan tanggal-bulan-tahun.
 Kotak yang harus diisi oleh petugas cukup dikosongkan saja oleh Wajib Pajak.

6. Selain oleh Pemotong Pajak, SPT Masa ini juga wajib diisi dan dilaporkan oleh Wajib Pajak yang menurut ketentuan yang
berlaku wajib menyetor sendiri Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2) yang terutang.

7. Penyetoran dilakukan dengan menggunakan SSP ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro.
Jadwal penyetoran PPh dan pelaporan SPT untuk masing-masing jenis penghasilan adalah sebagai berikut:
Jenis Penghasilan Penyetoran Pelaporan
Bunga Deposito/Tabungan, Paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya Paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak
Diskonto SBI, Bunga/Diskonto setelah Masa Pajak berakhir berakhir
Transaksi Penjualan Saham Paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya Paling lambat tanggal 25 bulan berikutnya
setelah bulan terjadinya transaksi penjualan setelah bulan terjadinya transaksi penjualan
saham. saham.
Hadiah Undian Paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya Paling lambat 20 hari setelah masa pajak
setelah bulan saat terutangnya pajak. berakhir.
Persewaan Tanah Dan Atau Paling lambat tanggal 10 (bagi Pemotong Pajak) Paling lambat 20 hari setelah masa pajak
Bangunan atau tanggal 15 (bagi WP pengusaha berakhir.
persewaan) dari bulan berikutnya setelah masa
Jasa Konstruksi Paling lambat tanggal 10 (bagi Pemotong Pajak) Paling lambat 20 hari setelah masa pajak
dan tanggal 15 (bagi WP jasa konstruksi) bulan berakhir.
berikutnya setelah masa pajak berakhir.

268 - Dasar-Dasar Perpajakan


BAB XI
Rekonsiliasi Fisikal

Pengertian Pajak penghasilan (PPh) Badan

PPh Badan adalah pajak atas penghasilan yang diperoleh atau diterima
badan usaha yang bertempat kedudukan Indonesia. Besarnya PPh yang terutang
bergantung pada jumlah besarnya laba sebelum pajak. Laba sebelum pajak dapat
diketahui secara akurat jika pembukuan yang dilakukan oleh Wajib Pajak telah
sesuai dengna ketentuan prinsip akuntansi berlaku umum dan Undang-Undang
Perpajakan.

Pembukuan sebagai Dasar Penghitungan Pajak

Pembukuan sebagai dasar penghitungan pajak menurut UU No. 7 Tahun


1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU
No. 36 Tahun 2008, dalam pasal 16 menyebutkan bahwa salah satu cara untuk
menghitung besarnya penghasilan kena pajak yaitu:
Penghasilan bruto dikurangi dengan biaya dan beban seperti yang dimaksud
pada pasal 4 ayat (1), pasal 6 dan pasal 9, dan untuk bentuk usaha tetap
(BUT) disebutkan pada pasal 5 ayat (2) dan ayat (3).
Pasal ini secara tegas menyatakan bahwa dasar yang dapat digunakan untuk
memperoleh besaran laba kena pajak (penghasilan kena pajak) adalah dengan
cara penghasilan bruto dikurangi dengan biaya dan beban, cara demikian ini tidak
lain adalah pembukuan. Dalam pembukuan ini informasi yang terpenting untuk
menghitung PPh yang terutang yaitu penghasilan dan biaya. Proses matching
antara penghasilan dengan biaya terrefleksikan dalam Laporan Perhitungan Laba
Rugi Badan Usaha.

Klasifikasi Penghasilan dan Biaya

1. Penghasilan di dalam perpajakan dapat dibedakan menjadi 3 kelompok,


yaitu:
a. Penghasilan, Obyek Pajak Penghasilan
b. Penghasilan, Bukan Obyek Pajak Penghasilan
c. Penghasilan Kena Pajak secara Final
2. Sedangkan biaya diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu:
a. Pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya
b. Pengeluaran yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya

Dasar-Dasar Perpajakan - 269


Penghasilan Badan Usaha (Pasal 44 UU PPh)

Penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau


diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia,
yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dalam konteks wajib
pajak badan, maka berikut ini termasuk pengertian penghasilan meliputi:
1. Laba Usaha,
2. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta,
3. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai
biaya,
4. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang,
5. Deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi,
6. Royalti,
7. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta,
8. Keuntungan karena pembebasan utang,
9. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing,
10. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva,
11. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak.

Penghasilan Kena Pajak secara Final

1. Bunga Deposito/Tabungan, Diskonto SBI


2. Hadiah, Undian
3. Bunga Simpanan Anggota Koperasi
4. Penjualan Saham Pendiri (di luar Bursa Efek)
5. Penjualan Saham milik Perusahaan Modal Ventura
6. Penyalur, Dealer, Agen dari Produk Pertamina dan Premix
7. Penyalur, Grosir dari Terigu, Gula Pasir, Rokok
8. Penghasilan lain dari usaha di bidang Pelayaran dan Penerbangan Luar
Negeri.

Penghasilan bukan Objek Pajak

1. Bantuan atau sumbangan, dan harta hibahan yang diterima


2. Warisan
3. Harta setoran tunai sebagai pengganti saham atau penyertaan modal
4. Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia
5. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham
6. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana

270 - Dasar-Dasar Perpajakan


7. Bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura dari
perusahaan pasangannya.

Pengeluaran yang Dapat Dibebankan sebagai Biaya

Biaya merupakan pengeluaran yang mempunyai hubungan langsung dengan


usaha atau kegiatan usaha dalam rangka untuk memperoleh, mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan. Karena penghasilan ada yang
dikelompokkan sebagai penghasilan bukan obyek pajak, maka penghasilan yang
dimaksudkan dikurangi biaya ini adalah penghasilan yang merupakan obyek pajak,
dan pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama
manfaat dari pengeluaran tersebut. Berikut pengeluaran-pengeluaran yang
diperkenankan mengurangi penghasilan bruto, meliputi:
1. Biaya untuk mendapatkan/memperoleh, menagih dan memelihara
penghasilan
2. Penyusutan
3. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan
4. Kerugian karena selisih kurs mata uang asing
5. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia
6. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan.

Pengeluaran yang Tidak Diperkenankan Mengurangi Penghasilan Bruto

Pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto atau tidak
dapat dibebankan sebagai biaya adalah pengeluaran untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan obyek pajak, atau
pengeluaran tidak dilakukan tidak dalam batas-batas kewajaran sesuai dengan
adat kebiasaan pedagang yang baik. Berikut pengeluaran-pengeluaran yang tidak
diperkenankan mengurangi penghasilan bruto:
1. Pembagian laba dalam bentuk apapun
2. Biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham,
sekutu/anggota
3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali untuk bank, leasing
dengan hak opsi, usaha pertambangan, dan asuransi
4. Premi asuransi yang dibayar oleh Wajib Pajak Orang pribadi, kecuali dibayar
pemberi kerja
5. Pemberian dalam bentuk natura
6. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pihak yang punya
hubungan istimewa sehubungan dengan pekerjaan
7. Harta yang dihibahkan, bantuan/sumbangan dan warisan
8. PPh
9. Biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi yang menjadi
tanggungannya
10. Gaji yang dibayarkan kepada angota persekutuan firma dan CV yang
modalnya tidak terbagi atas saham
11. Sanksi administrasi berupa bunga, denda di bidang perpajakan.

Dasar-Dasar Perpajakan - 271


Penghitungan Laba Fiskal

1. Pengertian
Laba Fiskal merupakan laba yang dihitung berdasarkan ketentuan dan
peraturan undang-undang perpajakan. Laba fiskal ini juga dikenal sebagai
laba kena pajak atau penghasilan kena pajak. Laba kena pajak ini digunakan
untuk menghitung pajak penghasilan yang terutang.
2. Koreksi Fiskal
Koreksi fiskal bertujuan untuk menyesuaikan laba komersial (yaitu laba yang
dihitung menurut Prinsip Akuntansi Berlaku Umum) dengan ketentuan-
ketentuan perpajakan sehingga diperoleh laba fiskal. Laporan Perhitungan
Laba Rugi yang dibuat perusahaan merupakan laporan keuangan yang
disusun berdasarkan Prinsip Akuntansi Berlaku Umum. Oleh karena itu agar
dapat menghitung besarnya pajak penghasilan yang terutang, perusahaan
harus melakukan penyesuaian laporan penghitungan rugi labanya tersebut
agar sesuai dengan ketentuan dan peraturan undang-undang perpajakan.
Langkah penyesuaian ini dilakukan dengan cara mencari pos-pos rekening
yang berbeda perlakuan antara prinsip akuntansi berlaku umum dengan
ketentuan peraturan undang-undang perpajakan. Pos-pos rekening ini yang
perlu dilakukan koreksi fiskal.
3. Timbulnya Koreksi Fiskal
Hal-hal yang menimbulkan perbedaan antara Prinsip Akuntansi Berlaku
Umum dengan UU Perpajakan antara lain:
a. Perbedaan Konsep Penghasilan
Contoh:
1) Deviden yang diterima oleh PT, Yayasan, Koperasi, BUMN/BUMD
2) Sisa Cadangan Kerugian Piutang bagi Bank, Leasing, dan
Asuransi
b. Perbedaan Cara Pengukuran Penghasilan
Contoh:
Penjualan diukur sebesar jumlah yang dibebankan kepada pembeli
tidak melihat apakah ada hubungan istimewa atau tidak
c. Perbedaan Konsep Biaya
Pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya yaitu semua
pengorbanan ekonomis dalam rangka memperoleh barang dan jasa.
Tidak terbatas hanya biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan saja. Singkatnya, biaya menurut pajak
merupakan pengeluaran-pengeluaran yang ada kaitan langsung dengan
perolehan penghasilan
d. Perbedaan Cara Pengukuran Biaya
Sama dengan cara pengukuran penghasilan, jika ada transaksi yang
tidak wajar karena hubungan istimewa maka transaksi tersebut harus
dikoreksi.
e. Perbedaan Cara Pembebanan atau Alokasi Biaya

272 - Dasar-Dasar Perpajakan


Contoh:
1) Penyusutan, hanya metode Garis Lurus dan Saldo Menurun
dengan tarif yang telah ditentukan.
2) Pengakuan Kerugian Piutang hanya menggunakan metode
langsung.
3) Penilaian Persediaan hanya menggunakan metode rata-rata dan
FIFO.
f. Adanya penghasilan yang kena pajak penghasilan secara final.
Penghasilan yang dikenakan pajak secara final berarti telah
diperhitungkan pajak penghasilannya sehingga tidak perlu
diperhitungkan lagi dalam menghitung pajak penghasilan di akhir tahun
maka harus dikeluarkan dari laporan perhitungan laba-rugi
4. Jenis Koreksi Fiskal
a. Koreksi Fiskal Positif
Koreksi Fiskal Positif (FKP) merupakan koreksi fiskal yang menambah
besarnya laba kena pajak.
b. Koreksi Fiskal Negatif
Koreksi Fiskal Negatif (FKN) merupakan koreksi fiskal yang mengurangi
laba kena pajak.
5. Kertas Kerja Rekonsiliasi Fiskal

Lap. Keu. Koreksi Fiskal Lap. Keu.


No Nama Rekening
Komersial Positif Negatif Fiskal

6. Contoh Kasus (Kesit, 2010)


PT ISANAYUF Tbk (Terbuka) yang berdiri 1 Januari 2005 berusaha di bidang
pertenunan. Berikut ini laporan laba-rugi yang berakhir 31 Desember 2013:

PT ISANAYUF Tbk (Terbuka)


Laporan Perhitungan Laba-Rugi
per 31 Desember 2013
Dalam 000
Penjualan Rp. 765.300.000,00)
HPP (Rp. 50.000.000,00)
Laba Kotor Rp. 315.300.000,00)
Total Biaya Usaha (Rp. 12.900.000,00)
Laba Sebelum Pajak Rp. 102.400.000,00)
Pajak Penghasilan (Rp. 3.220.000,00)
Laba Setelah Pajak Rp. 89.180.000,00)
Total Biaya Usaha tersebut terdiri dari (dalam 000):
a. Gaji karyawan Rp. 120.000.000,00)
b. Penyusutan mesin Rp. 10.000.000,00)

Dasar-Dasar Perpajakan - 273


c. Penyusutan gedung Rp. 25.000.000,00)
d. Penyusutan tanah Rp. 2.000.000,00)
e. Biaya pengeluaran saham Rp. 500.000,00)
f. Premi asuransi kebakaran Rp. 200.000,00)
g. Sumbangan korban Merapi Rp. 100.000,00)
h. Piutang ragu-ragu Rp. 500.000,00)
i. Cadangan umum Rp. 20.000.000,00)
j. Deviden yang dibayar Rp. 30.000.000,00)
k. PPh Pasal 25 yang dibayar Rp. 4.600.000,00)
Total Biaya Usaha Rp. 212.900.000,00)

Informasi tambahan:
1) Dalam jumlah gaji karyawan sebesar Rp. 120.000.000,00 termasuk juga
pengeluaran pribadi direktur utama sebesar Rp. 150.000,00 sebulan
untuk biaya sopir dan iuran asuransi kecelakaan dan kematian
karyawan Rp.10.000.000,00 dan beras yang dibagikan kepada
karyawan Rp. 2.000.000,00.
2) Hasil stock opname ditemukan nilai persediaan akhir lebih tinggi
Rp.50.000.000,00 dari nilai yang dilaporkan dalam laporan rugi-laba.
3) Harga perolehan mesin adalah Rp. 50.000.000,00 dan disusutkan
setahun 20% (metode saldo menurun), mesin tersebut memiliki masa
manfaat 4 tahun.
4) Gedung dengan harga perolehan Rp. 250.000.000,00 disusutkan
sebesar 10% setahun (metode garis lurus).
5) Tanah disusutkan 2% setahun (metode garis lurus)
6) Piutang ragu-ragu dihapuskan karena yang bersangkutan ternyata telah
meninggalkan Indonesia untuk selamanya tanpa diketahui alamatnya.
7) Cadangan umum merupakan penyisihan laba untuk tujuan umum
(merupakan pembentukan cadangan).
Diminta: Buatlah laporan rekonsiliasi fiskal, dan hitunglah PPh yang
masih harus dibayar.
a) Buatlah kertas kerja koreksi untuk menghitung laba-rugi fiskal PT.
ISANAYUF Tbk per 31 Desember 2013!
b) Tentukan besarnya PPh yang terutang dan PPh yang masih harus
dibayar oleh PT. ISANAYUF Tbk untuk masa pajak 2013!
7. Penyelesaian
Penjelasan:
a. Dalam jumlah gaji karyawan sebesar Rp. 120.000.000,00 termasuk juga
pengeluaran pribadi direktur utama sebesar Rp. 150.000,00 sebulan
untuk biaya sopir dan iuran asuransi kecelakaan dan kematian
karyawan Rp.10.000.000,00 dan beras yang dibagikan kepada
karyawan Rp. 2.000.000,00
Analisis:
Karena Rp. 150.000,00 merupakan pengeluaran pribadi, maka tidak
boleh dikurangkan terhadap penghasilan bruto perusahaan, sehingga
dalam satu tahun (Rp.150.000,00 x 12 bln) jumlahnya Rp. 1.800.000,00.

274 - Dasar-Dasar Perpajakan


Demikian pula untuk iuran asuransi kecelakaan dan kematian karyawan
yang dibayar oleh karyawan Rp. 10.000.000,00 juga tidak boleh
dikurangkan terhadap penghasilan bruto perusahaan. Adapun beras
yang dibagikan kepada karyawan termasuk natura sehingga tidak boleh
dikurangkan terhadap penghasilan bruto perusahaan. Total koreksi
sejumlah Rp. 13.800.000,00 harus dikoreksi fiskal positif karena koreksi
ini mengakibatkan laba kena pajaknya meningkat.
b. Hasil stock opname ditemukan nilai persediaan akhir lebih tinggi
Rp.50.000.000,00 dari nilai yang dilaporkan dalam rugi-laba.
Analisis:
Stock opname merupakan cara penghitungan persediaan akhir secara
fisik atau secara langsung. Nilai persedian akhir ini berpengaruh pada
nilai harga pokok penjualan. Jika hasil stock opname ditemukan nilai
persediaan akhir lebih tinggi Rp. 50.000.000,00 dari nilai yang
dilaporkan dalam laporan rugi-laba, maka nilai persediaan akhir tersebut
perlu dikoreksi agar sesuai dengan nilai persediaan sesungguhnya.
Akibatnya harga pokok penjualan juga perlu dikoreksi, jika nilai
persediaan akhir naik sebesar Rp. 50.000.000,00, maka harga pokok
penjualan ini berakibat naiknya laba kotor atau laba kena pajak, maka
koreksi sebesar Rp. 50.000.000,00 ini disebut koreksi fiskal positif.
c. Harga perolehan mesin adalah Rp. 50.000.000,00 dan disusutkan
setahun 20% (metode saldo menurun), mesin tersebut memiliki masa
manfaat 4 tahun.
Analisis:
Penyusutan merupakan cara penghitungan manfaat ekonomis dinikmati
atau terpakai selama satu tahun. Nilai penyusutan ini akan
mempengaruhi nilai ekonomis dari mesin tersebut. Peraturan
Perpajakan menetapkan bahwa tarif penyusutan untuk harta tetap yang
disusutkan dengan metode saldo menurun sebesar 50% dari harga
perolehannya. Dengan demikian, wajib pajak dalam melakukan
penyusutan harta tetapnya ini kurang 30%, sehingga besarnya
penyusutan mesin ini perlu ditambah atau dikoreksi sebesar 30% dari
harga perolehannya yaitu 30% x Rp. 50.000.000,00 atau Rp.
15.000.000,00. Karena adanya penambahan biaya penyusutan ini,
biaya penyusutannya menjadi lebih besar atau naik sebesar
Rp.15.000.000,00. Hal ini menjadikan turunnya laba kena pajak sebesar
Rp. 15.000.000,00 juga maka koreksi fiskalnya disebut koreksi fiskal
negatif.
d. Gedung dengan harga perolehan Rp. 250.000.000,00 disusutkan
sebesar 10% setahun (metode garis lurus)
Analisis:
Peraturan Perpajakan mengklasifikasikan bangunan menjadi bangunan
permanen dan bangunan tidak permanen. Besarnya tarif penyusutan
untuk bangunan permanen sebesar 5% dan bangunan tidak permanen
sebesar 10% dari harga perolehannya. Karena gedung merupakan
bangunan permanen, maka tarifnya 5% x Rp.250.000.000,00, sehingga
besarnya penyusutan bukan Rp. 25.000.000,00 tetapi

Dasar-Dasar Perpajakan - 275


Rp.12.500.0000,00. Oleh karena itu biaya penyusutan gedung perlu
dikoreksi menjadi Rp.12.500.000,00, atau biayanya turun
Rp.12.500.000,00. Turunnya biaya penyusutan ini berakibat naiknya
laba kotor atau laba kena pajak, maka koreksi sebesar
Rp.12.500.000,00 ini disebut koreksi fiskal positif.
e. Tanah disusutkan 2% setahun (metode garis lurus)
Analisis:
Tanah, dalam UU Perpajakan tidak boleh disusutkan, kecuali tanah
yang digunakan produksi, misal untuk pembuatan batu bata, genting,
gerabah, dan sejenisnya. Tidak berlaku jika tanah yang digunakan untuk
memproduksi batu-bata, genting, dan sejenisnya tersebut dari hasil
membeli. Dengan demikian, penyusutan atas tanah ini harus dikoreksi
atau harus dikeluarkan dari cara penghitungan laba kena pajak. Akibat
koreksi terhadap biaya penyusutan tanah ini, maka laba kena pajaknya
akan naik sebesar penghapusan biaya penyusutan tanah tersebut,
maka koreksi fiskal atau biaya penyusutan tanah sebesar
Rp.2.000.000,00 ini disebut koreksi fiskal positif.
f. Piutang ragu-ragu dihapuskan karena yang bersangkutan ternyata telah
meninggalkan Indonesia untuk selamanya tanpa diketahui alamatnya.
Analisis:
Metode penghapusan piutang, dalam akuntansi ada 2 (dua) yaitu
metode indirect (tidak langsung) dan metode direct (langsung). Metode
indirect, penghapusan piutang menggunakan cara taksiran terhadap
piutang yang telah melebihi waktu tagihannya. Semakin lama umur
tagihan piutang maka dimungkinkan semakin kecil tingkat tertagihnya.
Piutang yang tidak dimungkinkan ditagih dianggap sebagai Kerugian
Piutang, sehingga cara ini dikenal sebagai metode Cadangan Kerugian
Piutang. Adapun metode direct, penghapusan piutang jika benar-benar
telah tidak dapat ditagih secara riil, tidak berdasarkan taksiran. UU
Perpajakan menggunakan metode langsung ini, untuk menghapuskan
piutang yang tidak tertagih. Pada kasus ini, maka piutang ragu-ragu ini
dapat diklasifikasikan sebagai piutang yang tidak dapat ditagih secara
riil, sehingga telah sesuai dengan aturan perpajakan dan dapat
diperlakukan sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung laba
kena pajak. Dengan demikian dalam hak ini tidak terjadi koreksi fiskal.
g. Cadangan umum merupakan penyisihan laba untuk tujuan umum
(merupakan pembentukan cadangan)
Analisis:
Segala macam dan jenis pembentukan cadangan tidak diperkenankan
dalam perpajakan maka cadangan umum ini harus dikoreksi atau
dikeluarkan dari unsur pengurang penghasilan. Karena cadangan
sifatnya mengurangi laba kena pajak maka adanya koreksi terhadap
cadangan umum ini maka laba kena pajak menjadi bertambah maka
koreksinya disebut koreksi fiskal positif.

276 - Dasar-Dasar Perpajakan


h. Sumbangan korban merapi
Analisis:
Segala macam dan jenis sumbangan tidak diperkenankan dalam
perpajakan kecuali sumbangan yang diatur secara resmi oleh
Pemerintah melalui peraturan pemerintah misal sumbangan Gerakan
Nasional Orang Tua (GNOT), PMI dan sejenisnya. Sumbangan korban
merapi ini tidak dapat dikategorikan dalam jenis ini, maka harus
dikoreksi atau dikeluarkan dari unsur pengurang penghasilan
(mengurangi laba kena pajak), sehingga adanya koreksi terhadap
sumbangan korban merapi ini, laba kena pajak menjadi bertambah
maka koreksinya disebut koreksi fiskal positif.
i. Deviden yang dibayar
Analisis:
Segala macam pembayaran deviden dalam perpajakan tidak
diperkenankan mengurangi penghasilan bruto dalam menghitung laba
kena pajak, sehingga perlu dilakukan koreksi. Akibatnya laba kena
pajak akan bertambah, maka koreksinya disebut koreksi fiskal positif.
j. PPh Pasal 25
Analisis:
Segala macam dan jenis pajak penghasilan serta sanksi perpajakannya
tidak diperkenankan mengurangi penghasilan bruto dalam menghitung
laba kena pajak maka adanya koreksi terhadap pajak penghasilan pasal
25 (PPh Pasal 25) ini laba kena pajak menjadi bertambah sehingga
koreksinya disebut koreksi fiskal positif.

KERTAS KERJA REKONSILIASI FISKAL


PT ISANAYUF
No Keterangan LK. Komersial KF Positif KF Negatif LK. Fiskal
1 Penghasilan Usaha
2 Penjualan 765,300,000) 765,300,000)
3 HPP (450,000,000) 50,000,000 (400,000,000)
4 Laba Kotor 315,300,000) 50,000,000 365,300,000)
5 Pengeluaran Usaha
6 Gaji Karyawan (120,000,000) 13,800,000 (106,200,000)
7 Peny. Mesin (10,000,000) (15,000,000) (25,000,000)
8 Peny. Gedung (25,000,000) 12,500,000 (12,500,000)
9 Peny. Tanah (2,000,000) 2,000,000 -
10 B. Penerbitan Saham (500,000) 500,000
11 Premi Ass. Kebakaran (200,000) 200,000
12 Sumbangan (100,000) 100,000 -
13 Piutang Ragu-Ragu (500,000) 500,000
14 Cadangan Umum (20,000,000) 20,000,000 -
15 Deviden yang dibayar (30,000,000) 30,000,000 -
16 PPh yang dibayar (4,600,000) 4,600,000 -
17 Total Peng. Usaha (212,900,000) 83,000,000 (15,000,000) (144,900,000)
18 Laba Sebelum Pajak 102,400,000) 133,000,000 (15,000,000) 220,400,000)

Dasar-Dasar Perpajakan - 277


Besarnya Pajak Penghasilan yang terutang (dalam 000):
25% x Rp 220.400.000,00 = Rp 55.100.000,00
PPh Pasal 25 yang dibayar Rp 55.100.000,00)
PPh yang masih harus dibayar (Rp 4.600.000,00)
Rp 50.500.000,00)

278 - Dasar-Dasar Perpajakan


BAB XII
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah

Pengertian

Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak yang dikenakan atas setiap


pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke
konsumen.

Dasar Hukum

Dasar hukum Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (PPnBM) yaitu UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan
UU No. 11 Tahun 1994, diubah lagi dengan UU No. 18 Tahun 2000 dan diubah
lagi dengan UU No. 42 Tahun 2009.

Istilah dan Pengertian

Menurut UU No. 42 Tahun 2009 dalam Pasal 1, yang dimaksud dengan:


1. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah
darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di
Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku
Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan.
2. Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat
berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak
berwujud.
3. Barang Kena Pajak (BKP) adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan
Undang-Undang ini.
4. Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang
Kena Pajak.
5. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan
atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas,
kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan
untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan
dan atas petunjuk dari pemesan.
6. Jasa Kena Pajak (JKP) adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan
Undang-Undang ini.

Dasar-Dasar Perpajakan - 279


7. Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena
Pajak.
8. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap
kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean.
9. Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean
ke dalam Daerah Pabean.
10. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
11. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud adalah setiap kegiatan mengeluarkan
Barang Kena Pajak Berwujud dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah
Pabean.
12. Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk
kegiatan tukar-menukar barang, tanpa mengubah bentuk dan/atau sifatnya.
13. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang
meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan
usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau
organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak
investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
14. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang
dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor
barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan
barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa
termasuk mengekspor jasa, atau memanfatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
15. Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang
dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang No. 42 Tahun 2009.
16. Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk
dan/atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau
mempunyai daya guna baru atau kegiatan mengolah sumber daya alam,
termasuk menyuruh orang pribadi atau badan lain melakukan kegiatan
tersebut.
17. Dasar Pengenaan Pajak (DPP) adalah jumlah Harga Jual, Penggantian,
Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk
menghitung pajak yang terutang.
18. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta
atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena
Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut
Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur
Pajak.
19. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta
atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena
Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak

280 - Dasar-Dasar Perpajakan


Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut
melalui Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam
Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar
oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh
penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean.
20. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea
masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk
impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-Undang ini.
21. Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya
menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau
seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak tersebut.
22. Penerima Jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau
seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar
atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut.
23. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena
Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan
Jasa Kena Pajak.
24. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah
dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak
dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.
25. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib
dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak
Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa
Kena Pajak.
26. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta
atau seharusnya diminta oleh eksportir.
27. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendahara pemerintah, badan,
atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk
memungut menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha
Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa
Kena Pajak kepada bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah
tersebut.
28. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah setiap kegiatan
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean
di luar Daerah Pabean.
29. Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena
Pajak ke luar Daerah Pabean.

Dasar-Dasar Perpajakan - 281


Siapa yang Dikenakan PPN/Subjek PPN

1. Pengusaha Kena Pajak (PKP)


Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai
pajak berdasarkan Undang-Undang PPN dan PPnBM No. 42 Tahun 2009.
2. Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak (PKP) dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
197/PMK.03/2013 tanggal 20 Desember 2013 Tentang Perubahan PMK
68/PMK.03/2010.
Pengusaha kecil adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP
dan/atau JKP dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto
tidak lebih dari Rp. Rp. 4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta
rupiah) dalam satu tahun. Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan
sebagai PKP, selanjutnya wajib melaksanakan kewajiban sebagaimana
halnya PKP.
3. Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP tidak berwujud dan/atau
JKP dari luar Daerah Pabean
4. Orang pribadi atau badan yang melakukan pembangunan rumahnya sendiri
dengan persyaratan tertentu.
Orang pribadi atau badan yang membangun rumahnya sendiri harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Luas bangunan lebih atau sama dengan 200 meter persegi
b. Bangunan diperuntukkan sebagai tempat tinggal atau tempat usaha
c. Bangunan bersifat permanen
d. Tidak dibangun dalam lingkungan real estate
e. Pembangunan dilakukan tidak dalam lingkungan perusahaan atau
pekerjaan oleh orang pribadi, yang hasilnya digunakan sendiri atau
pihak lain
f. Pemungut Pajak yang ditunjuk oleh pemerintah.
Yang terdiri atas kantor pembendaharaan negara, bendahara
pemerintah pusat dan daerah, termasuk bendahara proyek.

Apa yang Dikenakan PPN/Objek PPN

Yang dikenakan PPN (Objek PPN) terdiri atas:


1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan
oleh pengusaha;
a. barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak;
b. barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud;
c. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
d. penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
2. Impor Barang Kena Pajak;
Pajak juga dipungut pada saat impor Barang Kena Pajak. Pemungutan
dilakukan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Berbeda dengan
penyerahan Barang Kena Pajak pada huruf a, siapa pun yang memasukkan

282 - Dasar-Dasar Perpajakan


Barang Kena Pajak ke dalam Daerah Pabean, tanpa memperhatikan apakah
dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya atau tidak, tetap
dikenai pajak.
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha;
Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a. jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak;
b. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
c. penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean;
Untuk dapat memberikan perlakuan pengenaan pajak yang sama dengan
impor Barang Kena Pajak, atas Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang berasal
dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam Daerah
Pabean juga dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
Contoh:
Pengusaha A yang berkedudukan di Jakarta memperoleh hak menggunakan
merek yang dimiliki Pengusaha B yang berkedudukan di Malaysia. Atas
pemanfaatan merek tersebut oleh Pengusaha A di dalam Daerah Pabean terutang
Pajak Pertambahan Nilai.
1. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean;
Jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapa
pun di dalam Daerah Pabean dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Misalnya,
Pengusaha Kena Pajak C di Semarang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari
Pengusaha B yang berkedudukan di Thailand. Atas pemanfaatan Jasa Kena
Pajak tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai.
2. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Pajak;
Berbeda dengan pengusaha yang melakukan kegiatan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan/atau huruf c, pengusaha yang melakukan ekspor
Barang Kena Pajak Berwujud hanya pengusaha yang telah dikukuhkan
menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A
ayat (1).
3. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
Sebagaimana halnya dengan kegiatan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud,
pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
hanya pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1).
4. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak;
Termasuk dalam pengertian ekspor Jasa Kena Pajak merupakan penyerahan
Jasa Kena Pajak dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean oleh
Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang
Kena Pajak Berwujud atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan
dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean.

Dasar-Dasar Perpajakan - 283


Penyerahan Terutang PPN dan Tidak Terutang PPN

Dalam surat pemberitahuan (SPT) PPN Masa, penyerahan BKP dan/atau


JKP dibedakan menjadi Penyerahan yang terutang PPN dan penyerahan yang
tidak terutang PPN.
Penyerahan Terutang PPN
Penyerahan yang terutang PPN dikelompokkan menjadi:
1. Ekspor
Merupakan setiap kegiatan mengeluarkan barang dari dalam Daerah Pabean
ke luar Daerah Pabean. Atas ekspor BKP terutang PPN dan PPnBM dengan
tarif 0% (nol persen).
2. Penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri.
Merupakan PPN atas penyerahan di dalam negeri selain kepada pemungut
PPN.
3. Penyerahan yang PPN-nya dipungut oleh Pemungut PPN.
Merupakan penyerahan BKP kepada pemungut PPN. Atas penyerahan ini
PPN langsung dipungut oleh pembeli, yang disebut sebagai pemungut PPN.
Ketentuan PPN oleh pemungut PPN dibahas dalam bagian tersendiri.
4. Penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut.
5. Penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN.

Penyerahan Tidak Terutang PPN


Penyerahan yang tidak terutang PPN adalah penyerahan bukan BKP
dan/atau bukan JKP, tidak termasuk penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut dan
penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN.
Barang Kena Pajak (BKP) merupakan barang berwujud, yang menurut sifat
atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak dan
barang tidak berwujud (merek dagang, hak cipta, hak paten, dan lain-lain) yang
dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang PPN dan PPnBM.
Bukan Barang Kena Pajak (Bukan BKP). Pada prinsipnya semua barang
adalah BKP, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan. Dalan UU No. 42 Tahun 2009, jenis barang yang tidak dikenakan
Pajak Pertambahan Nilai yaitu barang tertentu dalam kelompok barang sebagai
berikut:
1. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung
dari sumbernya, meliputi;
a. Minyak mentah (crude oil);
b. Gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi
langsung oleh masyarakat;
c. Panas bumi;
d. Asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu
permata, bentonit, dolomit, felsper (feldspar), garam batu (halite), grafit,
granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat,
opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat),
talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum),
tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakkit;
e. Batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan

284 - Dasar-Dasar Perpajakan


f. Bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak,
serta bijih bauksit.
2. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak,
meliputi:
a. Beras;
b. Gabah;
c. Jagung;
d. Sagu;
e. Kedelai;
f. Garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
g. Daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui
proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas
atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan
cara lain, dan/atau direbus;
h. Telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan,
diasinkan, atau dikemas;
i. Susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan
maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan
lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
j. Buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah
melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading,
dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
k. Sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan,
dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang
dicacah.
3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan,
warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang
dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang
diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan
4. Uang, emas batangan, dan surat berharga.
Jasa Kena Pajak (JKP). Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pelayanan
berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu
barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk
jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan
dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesanan, yang dikenakan pajak
berdasarkan undang-undang PPN dan PPnBM.
Bukan Jasa Kena Pajak (bukan JKP). Pada prinsipnya semua jasa adalah
JKP, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dalam UU No. 42 Tahun 2009, jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan
Nilai merupakan jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:
1. Jasa pelayanan kesehatan medis, meliputi:
a. Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;
b. Jasa dokter hewan;
c. Jasa ahli kesehatan seperti ahli akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli
fisioterapi;
d. Jasa kebidanan dan dukun bayi;

Dasar-Dasar Perpajakan - 285


e. Jasa paramedik dan perawat;
f. Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium
kesehatan, dan sanatorium;
g. Jasa psikolog dan psikiater;
h. Jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal.
2. Jasa pelayanan sosial, meliputi:
a. Jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo;
b. Jasa pemadam kebakaran;
c. Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;
d. Jasa lembaga rehabilitasi;
e. Jasa penyedia rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk
krematorium; dan
f. Jasa di bidang olah raga kecuali yang bersifat komersial.
3. Jasa pengiriman surat dengan perangko, meliputi jasa pengiriman surat
dengan menggunakan perangko tempel dan menggunakan cara lain
pengganti perangko tempel.
4. Jasa keuangan, meliputi:
a. Jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito
berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang
dipersamakan dengan itu;
b. Jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana
kepada pihak lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi
maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya;
c. Jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah,
berupa:
 Sewa guna usaha dengan hak opsi;
 Anjak piutang;
 Usaha kartu kredit; dan/atau
 Pembiayaan konsumen;
d. Jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai
syariah dan fidusia;
e. Jasa penjaminan.
5. Jasa asuransi merupakan jasa pertanggungan yang meliputi asuransi
kerugian, asuransi jiwa, dan reasuransi, yang dilakukan oleh perusahaan
asuransi kepada pemegang polis asuransi, tidak termasuk jasa penunjang
asuransi seperti agen asuransi, penilai kerugian asuransi, dan konsultan
asuransi.
6. Jasa keagamaan meliputi:
a. Jasa pelayanan rumah ibadah;
b. Jasa pemberian khotbah atau dakwah;
c. Jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan;
d. Jasa lainnya di bidang keagamaan.
7. Jasa pendidikan, meliputi:
a. Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa
penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan

286 - Dasar-Dasar Perpajakan


luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan
akademik, dan pendidikan professional;
b. Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.
8. Jasa kesenian dan hiburan, meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh
pekerja seni dan hiburan.
9. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, meliputi jasa penyiaran radio atau
televisi yang dilakukan oleh instansi pemerintah atau swasta yang tidak
bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersil.
10. Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam
negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara
luar negeri.
11. Jasa tenaga kerja, meliputi:
a. Jasa tenaga kerja;
b. Jasa penyedia tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga
kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja tersebut;
c. Jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.
12. Jasa perhotelan, meliputi:
a. Jasa penyewaan kamar, termasuk tambahannya di hotel, rumah
penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan
kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap;
b. Jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel,
rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.
13. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum, meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh
instansi pemerintah, antara lain pemberian Izin Mendirikan Bangunan,
pemberian Izin Usaha Perdagangan, pemberian Izin Nomor Pokok Wajib
Pajak, dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk.
14. Jasa penyediaan tempat parkir adalah jasa penyediaan tempat parkir yang
dilakukan oleh pemilik tempat parkir dan/atau pengusaha kepada pengguna
tempat parkir dengan dipungut bayaran.
15. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam adalah jasa telepon
umum dengan menggunakan uang logam atau koin, yang diselenggarakan
oleh pemerintah maupun swasta.
16. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos.
17. Jasa boga atau catering

Perhitungan PPN

Untuk menghitung PPN harus diketahui dari mana Dasar Pengenaan Pajak
PPN (DPP PPN). Dasar Pengenaan Pajak terdiri atas harga jual, nilai penggantian,
nilai ekspor, nilai impor, dan nilai lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak.
1. Untuk usaha dagang DPP = Harga Jual
2. Untuk usaha jasa DPP = Nilai Penggantian
3. Untuk impor DPP = Nilai Impor
4. Untuk ekspor DPP = Nilai Ekpor
5. Untuk barang kena pajak tertentu DPP = Nilai lain

Dasar-Dasar Perpajakan - 287


Harga Jual merupakan nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena
Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-
Undang No. 42 Tahun 2009 dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur
Pajak. Harga jual diperoleh dengan menjumlahkan harga pembelian bahan baku,
bahan pembantu, alat-alat pelengkap lainnya ditambah dengan biaya-biaya seperti
penyusutan barang modal, bunga pinjaman dari bank, gaji dan upah tenaga kerja,
manajemen serta laba usaha yang diharapkan.
Penggantian merupakan nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena
Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud,
tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-
Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai
berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Nilai Impor merupakan nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan
bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai kepebeanan dan cukai untuk
impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-Undang PPN.
Penentuan nilai impor BKP didasarkan pada Undang-Undang Pabean
menggunakan Dasar Pengenaan Bea Masuk, yaitu cost (harga faktur), insurance
(biaya asuransi antar-daerah pabean), dan freight (biaya angkut atau pengapalan
antar-daerah pabean) atau disingkat CIF.

Rumus menghitung nilai impor sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah:

Nilai impor = CIF + Bea Masuk + Pungutan Lain yang Sah

Nilai Ekspor merupakan nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir. Nilai ekspor tercantum dalam
dokumen tertentu yang dapat dijadikan sebagai Faktur Pajak untuk ekspor, yaitu
Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), tidak ada penghitungan PPN karena tarif
PPN untuk barang ekspor adalah 0% (nol persen).
Nilai Lain merupakan nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar
Pengenaan Pajak.
Nilai Lain sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan No.
75/PMK.03/2010 Pasal 1 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak
ditetapkan sebagai berikut:
1. Untuk pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor;
2. Untuk pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor;

288 - Dasar-Dasar Perpajakan


3. Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan
harga jual rata-rata;
4. Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film;
5. Untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran;
6. Untuk Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat
pembubaran perusahaan, adalah harga pasar wajar;
7. Untuk penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya
dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang adalah harga pokok
penjualan atau harga perolehan;
8. Untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui pedagang perantara adalah
harga yang disepakati antara pedagang perantara dengan pembeli;
9. Untuk penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang adalah harga
lelang;
10. Untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari
jumlah ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih; atau
11. Untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10%
(sepuluh persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.

Penentuan Besarnya PPN

Tarif PPN menurut Pasal 7 UU No. 42 Tahun 2009 adalah:


1. Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen)
2. Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
a. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
c. Ekspor Jasa Kena Pajak.
3. Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling
rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang
perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah, dengan tetap
memakai prinsip tarif tunggal.

Cara Menghitung PPN/Mekanisme PPN

Contoh:
PT. ABC adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) dengan usaha dagang berupa alat
tulis
Transaksi penjualan dan pembelian dilakukan PT. ABC secara Tunai
PPN dihitung tiap bulan dan dilaporkan ke Kantor Pajak juga tiap bulan.
1. Pada saat PT. ABC membeli alat tulis, PT. ABC membayar PPN sebesar
10% x Harga Beli, PPN dari pembelian disebut Pajak Masukan.
2. Pada saat PT. ABC menjual alat tulis, PT. ABC menerima PPN sebesar 10%
x Harga Jual, PPN dari penjualan disebut Pajak Keluaran.
3. Pada akhir bulan PT. ABC melaporkan PPN ke Kantor Pajak:
a. Apabila Pajak Keluaran lebih besar dari Pajak Masukan (PPN K > PPN
M), maka terjadi PPN Kurang Bayar.

Dasar-Dasar Perpajakan - 289


b. Apabila Pajak Masukan lebih besar dari Pajak Keluaran (PPN M > PPN
K), maka terjadi PPN Lebih Bayar.
Keterangan:
1. Apabila terjadi kurang bayar, PT. ABC harus menyetor kekurangan bayar
PPN ke Kas Negara melalui bank.
2. Apabila terjadi lebih bayar, PT. ABC dapat meminta kembali (restitusi) atas
kelebihan bayar PPN atau diperhitungkan dengan PPN bulan berikutnya
(dikompensasikan).

Contoh 1
Pengusaha Kena Pajak (PKP) Agus menjuaal Barang Kena Pajak dengan harga
jual sebesar Rp.30.000.000,00.
PPN yang terutang: 10% x Rp.30.000.000,00 = Rp.3.000.000,00
PPN sebesar Rp.3.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut
oleh PKP Agus.

Contoh 2
Pengusaha Kena Pajak Dadang melakukan penyerahan JKP dengan memperoleh
penggantian sebesar Rp.15.000.000,00
PPN yang terutang: 10% x Rp.15.000.000,00 = Rp.1.500.000,00
PPN sebesar Rp.1.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut
oleh PKP Dadang.

Contoh 3
Pengusaha Kena Pajak Toni membeli barang kena pajak sebagai bahan baku
proses produksi sebesar Rp.25.000.000,00
PPN yang terutang: 10% x Rp.25.000.000,00 = Rp.2.500.000,00
PPN sebesar Rp.2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Masukan yang dibayar
oleh PKP Toni.

Ketentuan Pengkreditan Pajak Masukan


Pajak Masukan dapat dikreditkan terhadap Pajak Keluaran, jika memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
1. PKP penjual menerbitkan Faktur Pajak Penjual.
2. Faktur Pajak yang diterima oleh pembeli tentu saja tidak dapat digunakan
sehingga dasar pengkreditan Pajak Masukan sehingga merugikan pembeli.
3. Faktur Pajak diisi dengan lengkap dan tidak cacat.
4. Pajak Masukan dengan Faktur Pajak dapat dikreditkan terhadap Pajak
Keluaran pada Masa pajak yang sama. Apabila dalam masa suatu Masa
Pajak belum ada Pajak Keluaran, maka Pajak Masukan tetap dapat
dikreditkan.
5. Pajak Masukan dengan Faktur Pajak yang belum dikreditkan pada Masa
Pajak yang sama dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya selambat-
lambatnya 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan
sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan
pemeriksaan.

290 - Dasar-Dasar Perpajakan


6. Setelah batas akhir pengkreditan Pajak Masukan terlampaui, maka Faktur
Pajak tidak dapat lagi dikreditkan dan kesempatan mengkreditkan dapat
dilakukan lagi jika PKP melakukan pembetulan SPT Masa PPN.

PPN dan PPnBM atas Penyerahan kepada Pemungut Pajak

Dalam keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.03/2003 yang


dimaksud dengan Pemungut PPN adalah Bendaharawan Pemerintah serta kantor
Perbendaharaan dan kas negara (KPPN). Bendaharawan pemerintah adalah
bendaharawan atau pejabat yang melakukan pembayaran yang dananya berasal
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang terdiri atas Bendaharawan
Pemerintah Pusat dan Bendaharawan Pemerintah Daerah, baik Propinsi,
Kabupaten, atau Kota.
Maksud dari Pengertian di atas adalah sebagai berikut:
1. Apabila Pengusaha Kena Pajak menjual barang kena pajak kepada instansi
pemerintah, maka instansi pemerintah sebagai pembeli tetap membayar
PPN.
2. Instansi pemerintah membayar PPN tidak diberikan kepada Penjual,
melainkan uang PPN disetorkan langsung ke Kas Negara melalui Bank.
3. Surat Setoran PPN oleh instansi Pemerintah diberikan kepada penjual,
bahwa PPN atas pembelian barang tersebut telah disetor ke Kas Negara.
4. Karena Penjual hanya menerima Surat Setoran PPN, tidak menerima uang
PPN, maka cara menghitung PPN ada perbedaan dengan menghitung PPN
secara umum.
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah tidak
dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah dalam hal:
1. Merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
2. Pembayaran untuk pembebasan tanah;
3. Pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, mendapat
fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut dan/atau dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
4. Pembayaran atas penyerahan Bahan Bakar Minyak dan Bukan Bahan Bakar
Minyak oleh PT.(PERSERO) PERTAMINA;
5. Pembayaran atas rekening telepon;
6. Pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan
penerbangan;
7. Pembayaran lainnya untuk penyerahan barang atau jasa yang menurut
ketentuan Perundang-undangan yang berlaku tidak dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai.

Menghitung PPN atau PPnBM yang dipungut oleh Pemungut dihitung dengan
cara berikut ini:
Dalam hal penyerahan BKP hanya terutang PPN, maka jumlah PPN yang
dipungut adalah 10/110 bagian dari jumlah pembayaran.

Dasar-Dasar Perpajakan - 291


PPN = 10/110 x Jumlah Pembayaran

Contoh:
Jumlah Pembayaran Rp. 5.500.000,00
PPN: 10/110 x Rp.5.500.000,00 Rp. 500.000,00
Jumlah yang dibebankan kepada PKP Rekanan:
Rp.5.500.000,00 – Rp.500.000,00 Rp 5.000.000,00
PPN juga dapat dihitung dengan cara berikut ini:

DPP = 100/110 x Jumlah Pembayaran


PPN = 10% x DPP

Dari contoh di atas maka:


DPP = 100/110 x Rp.5.500.000,00
= Rp.5.000.000,00
PPN = 10% x Rp.5.000.000,00
= Rp.500.000,00
Jadi, jumlah yang dibayarkan kepada rekanan PKP Rekanan:
Rp.5.500.000,00 – Rp.500.000,00 = Rp.5.000.000,00

PPN Pemakaian Sendiri/Pemberian Cuma-Cuma

1. Barang Kena Pajak yang diambil untuk dipakai sendiri atau diberikan dengan
cuma-cuma misalnya disumbangkan atau untuk contoh, tetap dikenakan
PPN.
2. Dasar Pengenaan Pajak pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma
adalah:
a. DPP = harga jual dikurangi laba bruto; atau
b. DPP = harga pokok penjalan; atau
c. DPP = harga beli
Untuk usaha dagang yang harga pokoknya = harga beli
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak Agus memakai sendiri Barang Kena Pajak yang
seharusnya dijual sebesar Rp.12.000.000,00. PKP Agus mengambil laba kotor
sebesar Rp2.000.000,00 dari harga beli.
Pemakaian sendiri terutang PPN:
DPP = Rp.12.000.000,00 – Rp.2.000.000,00 = Rp.10.000.000,00
PPN = 10% x Rp10.000.000,00 = Rp1.000.000,00

PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri

PPN untuk kegiatan membangun sendiri diatur dalam Peraturan Menteri


Keuangan Republik Indonesia Nomor 163/PMK.03/2012:
1. Maksud kegiatan membangun sendiri adalah kegiatan membangun sendiri
bangunan yang diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat usaha dengan
luas bangunan 200 m2 (dua ratus meter persegi) atau lebih dan bersifat
permanen.

292 - Dasar-Dasar Perpajakan


2. Bangunan adalah bangunan permanen dengan konstruksi utamanya terdiri
atas tembok dan/atau kayu tahan lama dan/atau bahan lain yang mempunyai
kekuatan sampai 20 (dua puluh) tahun atau lebih.
3. Tanah kaveling adalah sebidang tanah di dalam kawasan real estate yang
telah dipersiapkan sesuai dengan persyaratan pembukuan dalam
penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah, dan rencana tata ruang
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian untuk mendirikan
bangunan.
4. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap
merupakan kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahap
tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun.
5. Kegiatan mendirikan bangunan yang dilakukan melalui kontraktor atau
pemborong bukan merupakan kegiatan membangun sendiri sepanjang dapat
dibuktikan bahwa atas kegiatan membangun tersebut telah dipungut PPN.

Saat dan Tempat Pajak Terutang


1. Saat terutang PPN atas kegiatan membangun sendiri terjadi pada saat
dimulainya kegiatan membangun sendiri secara fisik seperti penggalian
pondasi, pemasangan tiang pancang, atau kegiatan fisik lainnya.
2. Tempat PPN terutang atas kegiatan membangun sendiri adalah di tempat
bangunan tersebut didirikan.

PPN Membangun Sendiri


Atas kegiatan membangun sendiri dikenakan PPN dengan tarif 10% (sepuluh
persen) dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak.
Dasar Pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri (DPP) sebesar =
20% dari biaya-biaya yang dikeluarkan tiap bulan, tidak termasuk harga perolehan
tanah.
PPN atas kegiatan membangun sendiri adalah:

PPN = 10% x 20% x Jumlah biaya pembangunan yang dikeluarkan setiap


bulannya

Keterangan:
1. Yang dimaksud membangun sendiri adalah membangun tidak diborongkan
kepada kontraktor.
2. Jika diborongkan kepada kontraktor, dikenakan PPN 10% dari harga kontrak,
yang memungut PPN adalah kontraktor.
3. Jika membeli rumah/bangunan di perumahan/real estate dikenakan PPN 10%
x harga jual rumah, yang memungut PPN adalah pengusaha real estate.

Penyetoran dan Pelaporan


1. PPN yang terutang sebesar 10% x 20% dari seluruh biaya yang dikeluarkan
dan atau dibayarkan, harus disetorkan seluruhnya dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak (SPP) atas nama orang pribadi atau badan yang
melaksanakan kegiatan membangun sendiri ke Kantor Pos atau Bank

Dasar-Dasar Perpajakan - 293


Persepsi paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan terjadinya
pengeluaran biaya tersebut. Dalam hal kegiatan membangun sendiri
dilakukan oleh PKP, PPN yang tercantum dalam SPP tersebut tidak dapat
dikreditkan dengan Pajak Keluaran, karena pembayaran PPN tersebut
merupakan pembayaran PPN untuk kegiatan tidak dalam kegiatan usaha
atau pekerjaan PKP yang bersangkutan.
2. Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri
wajib melaporkan pada KPP di tempat bangunan tersebut berada dengan
mempergunakan SSP lembar ketiga bukti setoran PPN paling lambat akhir
bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.
Contoh:
Pada tanggal 10 Januari 2012, tuan Andi memulai pelaksana pendirian
sebuah bangunan untuk usaha di atas tanah seluas 400 m 2 yang terletak di
Jl. Sukun 15, Semarang dengan luas bangunan 300 m2. Pelaksanaan
bangunan tersebut dilakukan dan diawasi sendiri. Catatan yang berkaitan
dengan biaya untuk pembelian bahan bangunan dan lain-lain dalam rangka
pembangunan gedung tersebut sebagai berikut:
Bulan Januari 2012 Rp.100.000.000,00
Bulan Februari 2012 Rp.200.000.000,00
Bulan Maret 2012 Rp.100.000.000,00
Bangunan selesai akhir bulan Maret 2012 dan digunakan sebagai tempat
usaha.

Perhitungan PPN:
DPP = 20% x Jumlah biaya yang dikeluarkan
PPN = 10% x 20% x Jumlah biaya yang dikeluarkan
= 2% x Jumlah biaya yang dikeluarkan
Bulan Besarnya PPN Disetor Paling Lambat
Januari 2% x Rp100.000.000,00 = Rp 2.000.000,00 15 Februari 2012
Februari 2% x Rp200.000.000,00 = Rp 4.000.000,00 15 Maret 2012
Maret 2% x Rp100.000.000,00 = Rp 2.000.000,00 15 April 2012
Total Pajak Masukan = Rp 8.000.000,00

Faktur Pajak

Faktur Pajak merupakan bukti pungutan PPN yang dibuat oleh PKP karena
melakukan penyerahan BKP/JKP oleh Direktorat Bea dan Cukai karena impor
BKP.
Faktur Pajak mempunyai fungsi sebagai berikut:
1. Sebagai bukti pungut PPN yang dibuat oleh PKP atau Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai baik karena penyerahan BKP maupun impor BKP.
2. Sebagai bukti pembayaran PPN yang telah dilakukan oleh pembeli BKP atau
penerima JKP kepada PKP atau Direktorat Bea dan Cukai.
3. Sebagai sarana pengawasan administrasi terhadap kewajiban perpajakan.

294 - Dasar-Dasar Perpajakan


Saat pembuatan atau penerbitan faktur pajak
Faktur pajak dibuat pada saat:
1. Saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
2. Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi
sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa
Kena Pajak;
3. Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap
pekerjaan; atau
4. Saat Pengusaha Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan kepada
Bendahara Pemerintah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.

Tata Cara Pengisian Keterangan pada Faktur Pajak

Petunjuk Pengisian
1. Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak
Diisi dengan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang formatnya
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini.
2. Pengusaha Kena Pajak
Diisi dengan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pengusaha Kena
Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak,
sesuai dengan keterangan dalam Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak,
kecuali alamat diisi dengan alamat tempat domisili/tempat kegiatan usaha
terakhir Pengusaha Kena Pajak.
3. Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak
Diisi sesuai nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang
Kena Pajak dan/atau penerima Jasa Kena Pajak.
4. Pengisian tentang Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak diserahkan:
a. Nomor Urut
Diisi dengan nomor urut dari Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
yang diserahkan.
b. Nama Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak
Diisi dengan nama Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang
diserahkan.
 Dalam hal diterima Uang Muka atau Termin atau cicilan, kolom
Nama Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak diisi dengan
keterangan, misalnya Uang Muka atau Termin, atau Angsuran,
atas pembelian BKP dan/atau perolehan JKP.
 Dalam hal diperlukan, Pengusaha Kena Pajak dapat
menambahkan keterangan jumlah unit dan harga per unit dari BKP
yang diserahkan.
c. Harga Jual/Penggantian/Uang Muka/Termin
1) diisi dengan Harga Jual atau Penggantian atas Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak yang diserahkan sebelum dikurangi Uang
Muka atau Termin.

Dasar-Dasar Perpajakan - 295


2) dalam hal diterima Uang Muka atau Termin, maka yang menjadi
dasar perhitungan Pajak Pertambahan Nilai adalah jumlah Uang
Muka atau Termin yang bersangkutan.
3) dalam hal pembayaran Harga Jual/Penggantian/Uang
Muka/Termin dilakukan dengan menggunakan mata uang asing,
maka hanya baris “Dasar Pengenaan Pajak” dan baris “PPN =
10% x Dasar Pengenaan Pajak” yang harus dikonversikan ke
dalam mata uang rupiah menggunakan kurs yang berlaku menurut
Surat Keputusan Menteri Keuangan pada saat pembuatan Faktur
Pajak.
4) dalam hal keterangan Nama Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak
yang diserahkan tidak dapat ditampung dalam satu Faktur Pajak,
maka Pengusaha Kena Pajak dapat:
 Membuat lebih dari 1 (satu) formulir Faktur Pajak yang
masing-masing formulir harus menggunakan Kode, Nomor
Seri, dan tanggal Faktur Pajak yang sama, serta
ditandatangani dan diberi keterangan nomor halaman pada
setiap lembarnya, dan khusus untuk pengisian jumlah,
Potongan Harga, Uang Muka yang telah diterima, Dasar
Pengenaan Pajak, dan Pajak Pertambahan Nilai cukup diisi
pada formulir terakhir Faktur Pajak; atau
 Membuat 1 (satu) formulir Faktur Pajak yang menunjuk
nomor dan tanggal Faktur- faktur Penjualan yang merupakan
lampiran yang tidak terpisahkan dari Faktur Pajak tersebut,
dalam hal Faktur Penjualan dibuat berbeda dengan Faktur
Pajak.
5. Jumlah Harga Jual/Penggantian/Uang Muka/Termin
Diisi dengan penjumlahan dari angka-angka dalam kolom Harga
Jual/Penggantian/Uang Muka/Termin.
6. Potongan Harga
Diisi dengan total nilai potongan harga Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
Kena Pajak yang diserahkan, dalam hal terdapat potongan harga yang
diberikan.
7. Uang Muka yang telah diterima
Diisi dengan nilai Uang Muka yang telah diterima dari penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.
8. Dasar Pengenaan Pajak
Diisi dengan jumlah Harga Jual/Penggantian/Uang Muka/Termin dikurangi
dengan Potongan Harga dan Uang Muka yang telah diterima.
9. PPN = 10% x Dasar Pengenaan Pajak
Diisi dengan jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebesar 10% dari
Dasar Pengenaan Pajak.
10. Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Hanya diisi apabila terjadi penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong
Mewah, yaitu sebesar tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikalikan

296 - Dasar-Dasar Perpajakan


dengan Dasar Pengenaan Pajak yang menjadi dasar penghitungan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah.
11. ………………….. Tanggal ………………..
Diisi dengan tempat dan tanggal Faktur Pajak dibuat.
12. Nama dan Tanda tangan
Diisi dengan nama dan tandatangan pejabat yang telah ditunjuk oleh
Pengusaha Kena Pajak untuk menandatangani Faktur Pajak, yang telah
diberitahukan secara tertulis kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat
Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan atau tempat Pemusatan Pajak
Pertambahan Nilai dilakukan, paling lama pada akhir bulan berikutnya sejak
pejabat yang ditunjuk tersebut menandatangani Faktur Pajak.
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak adalah Orang Pribadi yang tidak memiliki
struktur organisasi, pemilik kegiatan usaha dapat menandatangani sendiri
atau memberikan kuasa kepada pihak lain untuk menandatangani Faktur
Pajak. Pemberitahuan secara tertulis kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat
Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan atau tempat Pemusatan Pajak
Pertambahan Nilai dilakukan paling lama pada akhir bulan berikutnya sejak
pihak yang diberi kuasa tersebut mulai menandatangani Faktur Pajak.
Apabila Penandatanganan Faktur Pajak dikuasakan kepada pihak lain, maka
di bawah kolom nama pada Faktur Pajak diberikan keterangan tambahan
“Kuasa Pemilik Kegiatan Usaha”
Pejabat atau Kuasa yang ditunjuk untuk menandatangani Faktur tidak harus
sama dengan pejabat atau Kuasa yang berwenang untuk menandatangani
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.
Cap tanda tangan tidak diperkenankan dibubuhkan pada Faktur Pajak.
13. Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena
Pajak menggunakan mata uang asing maka:
a. Pengusaha Kena Pajak harus menambah kolom Valuta Asing
sebagaimana contoh pada Lampiran IB.
b. Keterangan kurs diisi sesuai dengan Kurs Menteri Keuangan yang
berlaku pada saat pembuatan Faktur Pajak.
c. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan dengan
menggunakan mata uang asing dan rupiah, Lampiran IB harus
digunakan juga untuk transaksi yang menggunakan mata uang rupiah.

Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak

A. Format Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak:


1. Format Kode Faktur Pajak terdiri dari 6 (enam) digit, yaitu:
a. 2 (dua) digit pertama adalah Kode Transaksi,
b. 1 (satu) digit berikutnya adalah Kode Status,
c. 3 (tiga) digit berikutnya adalah Kode Cabang,
2. Format Nomor Seri Faktur Pajak terdiri dari 10 (sepuluh) digit, dengan
rincian sebagai berikut:
a. 2 (dua) digit pertama adalah Tahun Penerbitan.
b. 8 (delapan) digit berikutnya adalah Nomor Urut.

Dasar-Dasar Perpajakan - 297


Sehingga format Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak secara
keseluruhan menjadi sebagai berikut:

Penulisan Kode dan Nomor Seri pada Faktur Pajak harus lengkap
sesuai dengan banyaknya digit.

Tata Cara Penggantian Faktur Pajak yang Cacat, Rusak, Salah dalam
Pengisian, atau Salah dalam Penulisan
1. Atas permintaan Pengusaha Kena Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau
penerima Jasa Kena Pajak atau atas kemauan sendiri, Pengusaha Kena
Pajak penjual atau pemberi Jasa Kena Pajak membuat Faktur Pajak
Pengganti terhadap Faktur Pajak yang rusak, cacat, salah dalam pengisian,
atau salah dalam penulisan.
2. Pembetulan Faktur Pajak yang rusak, cacat, salah dalam pengisian, atau
salah dalam penulisan tidak diperkenankan dengan cara menghapus, atau
mencoret, atau dengan cara lain, selain dengan cara membuat Faktur Pajak
Pengganti sebagaimana dimaksud dalam butir 1.
3. Penerbitan dan peruntukan Faktur Pajak Pengganti dilaksanakan seperti
penerbitan dan peruntukan Faktur Pajak yang biasa sesuai dengan Kode dan
Nomor Seri Faktur Pajak yang telah ditetapkan pada Lampiran III Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.
4. Faktur Pajak Pengganti sebagaimana dimaksud pada butir 1, diisi
berdasarkan keterangan yang seharusnya dan dilampiri dengan Faktur Pajak
yang rusak, cacat, salah dalam penulisan atau salah dalam pengisian
tersebut.
5. Pada Faktur Pajak Pengganti sebagaimana dimaksud pada butir 1,
dibubuhkan cap yang mencantumkan Kode dan Nomor Seri serta tanggal
Faktur Pajak yang diganti tersebut. Pengusaha Kena Pajak dapat membuat
cap tersebut seperti contoh berikut.
Kode dan Nomor Seri serta tanggal Faktur Pajak yang diganti dapat diisi
dengan cara manual.
Faktur Pajak yang diganti:
Kode dan Nomor Seri : …………………………
Tanggal : …………………………
6. Penerbitan Faktur Pajak Pengganti mengakibatkan adanya kewajiban untuk
membetulkan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai pada
Masa Pajak terjadinya kesalahan pembuatan Faktur Pajak tersebut.
7. Faktur Pajak Pengganti dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai pada:

298 - Dasar-Dasar Perpajakan


a. Masa Pajak yang sama dengan Masa Pajak dilaporkannya Faktur Pajak
yang diganti, dengan mencantumkan nilai setelah penggantian; dan
b. Masa Pajak diterbitkannya Faktur Pajak Pengganti tersebut dengan
mencantumkan nilai 0 (nol) pada kolom DPP, PPN dan PPnBM, untuk
menjaga urutan Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha Kena
Pajak.
8. Pelaporan Faktur Pajak Pengganti pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada butir 7 huruf a
dan b, harus mencantumkan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang diganti
pada kolom yang telah ditentukan.

Tata Cara Penggantian Faktur Pajak yang Hilang

1. Pengusaha Kena Pajak Penjual atau Pemberi Jasa Kena Pajak


a. Pengusaha Kena Pajak Penjual atau pemberi Jasa Kena Pajak dapat
mengajukan permohonan tertulis untuk meminta copy dari Faktur Pajak
yang hilang kepada Pengusaha Kena Pajak pembeli atau penerima
Jasa Kena Pajak dengan tembusan kepada Kantor Pelayanan Pajak di
tempat Pengusaha Kena Pajak penjual atau pemberi Jasa Kena Pajak
dikukuhkan dan kepada Kantor Pelayanan Pajak ditempat Pengusaha
Kena Pajak pembeli atau penerima Jasa Kena Pajak dikukuhkan.
b. Berdasarkan permohonan dari Pengusaha Kena Pajak penjual atau
pemberi Jasa Kena Pajak, Pengusaha Kena Pajak pembeli atau
penerima Jasa Kena Pajak membuat copy dari arsip Faktur Pajak yang
disimpan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli atau penerima Jasa
Kena Pajak, untuk dilegalisir oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat
Pengusaha Kena Pajak pembeli atau penerima Jasa Kena Pajak
dikukuhkan. Copy dibuat dalam rangka 2 (dua), yaitu:
 Lembar ke-1 : diserahkan ke Pengusaha Kena Pajak penjual
atau pemberi Jasa Kena Pajak melalui
Pengusaha Kena Pajak pembeli atau penerima
Jasa Kena Pajak.
 Lembar ke-2 : arsip Kantor Pelayanan Pajak yang
bersangkutan.
c. Legalisir diberikan oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha
Kena Pajak pembeli atau penerima Jasa Kena Pajak dikukuhkan
setelah meneliti asli arsip Faktur Pajak dan Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai dari Pengusaha Kena Pajak pembeli atau
penerima Jasa Kena Pajak tersebut.
d. Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak penjual atau
pemberi Jasa Kena Pajak dikukuhkan wajib melakukan penelitian atas
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dari Pengusaha
Kena Pajak penjual atau pemberi Jasa Kena Pajak untuk meyakinkan
bahwa Faktur Pajak yang dilaporkan hilang tersebut sudah dilaporkan
sebagai Pajak Keluaran.

Dasar-Dasar Perpajakan - 299


2. Pengusaha Kena Pajak Pembeli atau Penerima Jasa Kena Pajak
a. Pengusaha Kena Pajak pembeli atau penerima Jasa Kena Pajak dapat
mengajukan permohonan tertulis untuk meminta copy dari Faktur Pajak
yang hilang kepada Pengusaha Kena Pajak penjual atau pemberi Jasa
Kena Pajak dengan tembusan kepada Kantor Pelayanan Pajak di
tempat Pengusaha Kena Pajak pembeli atau penerima Jasa Kena Pajak
dikukuhkan dan kepada Kantor Pelayanan Pajak di tempat Pengusaha
Kena Pajak penjual atau pemberi Jasa Kena Pajak dikukuhkan.
b. Berdasarkan permohonan dari Pengusaha Kena Pajak pembeli atau
penerima Jasa Kena Pajak, Pengusaha Kena Pajak penjual atau
pemberi Jasa Kena Pajak membuat copy dari arsip Faktur Pajak yang
disimpan oleh Pengusaha Kena Pajak penjual atau pemberi Jasa Kena
Pajak, untuk dilegalisir oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha
Kena Pajak penjual atau pemberi Jasa Kena Pajak dikukuhkan. Copy
dibuat dalam rangkap 2 (dua), yaitu:
 Lembar ke-1 : diserahkan ke Pengusaha Kena Pajak pembeli
atau penerima Jasa Kena Pajak melalui
Pengusaha Kena Pajak penjual atau pemberi
Jasa Kena Pajak.
 Lembar ke-2 : arsip Kantor Pelayanan Pajak yang
bersangkutan.
c. Legalisir diberikan oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha
Kena Pajak penjual atau pemberi Jasa Kena Pajak dikukuhkan setelah
meneliti asli arsip Faktur Pajak dan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai dari Pengusaha Kena Pajak penjual atau pemberi
Jasa Kena Pajak tersebut.
d. Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak pembeli atau
penerima Jasa Kena Pajak dikukuhkan wajib melakukan penelitian atas
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dari Pengusaha
Kena Pajak pembeli atau penerima Jasa Kena Pajak untuk meyakinkan
bahwa Faktur Pajak yang dilaporkan hilang tersebut sudah dilaporkan
sebagai Pajak Masukan.

Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak

1. Dalam hal terjadi pembatalan transaksi penyerahan Barang Kena Pajak


dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya telah
diterbitkan, maka Faktur Pajak tersebut harus dibatalkan.
2. Pembatalan transaksi harus didukung oleh bukti atau dokumen yang
membuktikan bahwa telah terjadi pembatalan transaksi. Bukti dapat berupa
pembatalan kontrak atau dokumen lain yang menunjukkan telah terjadi
pembatalan transaksi.
3. Pengusaha Kena Pajak Penjual yang melakukan pembatalan Faktur Pajak
harus memiliki bukti dari Pengusaha Kena Pajak Pembeli yang menyatakan
bahwa transaksi dibatalkan.
4. Faktur Pajak yang dibatalkan harus tetap diadministrasi (disimpan) oleh
Pengusaha Kena Pajak Penjual yang menerbitkan Faktur Pajak tersebut.

300 - Dasar-Dasar Perpajakan


5. Pengusaha Kena Pajak Penjual yang membatalkan Faktur Pajak harus
mengirimkan surat pemberitahuan dan copy dari Faktur Pajak yang
dibatalkan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak
Penjual dikukuhkan dan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena
Pajak Pembeli dikukuhkan.
6. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak Penjual belum melaporkan Faktur Pajak
yang dibatalkan di dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
Nilai, maka Pengusaha Kena Pajak Penjual harus tetap melaporkan Faktur
Pajak tersebut dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
dengan mencantumkan nilai 0 (nol) pada kolom DPP, PPN, atau PPN dan
PPnBM.
7. Dalam hal ini Pengusaha Kena Pajak Penjual telah melaporkan Faktur Pajak
tersebut dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagai
Faktur Pajak Keluaran, maka Pengusaha Kena Pajak Penjual harus
melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
Masa Pajak yang bersangkutan, dengan cara tetap melaporkan Faktur Pajak
yang dibatalkan tersebut dan mencantumkan nilai 0 (nol) pada kolom DPP,
PPN, atau PPN dan PPnBM.
8. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak Pembeli telah melaporan Faktur Pajak
yang dibatalkan tersebut dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai sebagai Faktur Pajak Masukan, maka Pengusaha Kena
Pajak Pembeli harus melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak yang bersangkutan, dengan cara tetap
melaporkan Faktur Pajak yang dibatalkan tersebut dan mencantumkan nilai 0
(nol) pada kolom DPP, PPN, atau PPN dan PPnBM.

Nota Retur

Dalam dunia perdagangan, sering terjadi barang yang sudah dijual


dikembalikan oleh pembelinya. Jika atas penjualan barang tersebut sebelumnya
sudah dipungut PPN oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) Penjual, maka sudah
semestinya Pajak Keluaran yang sudah dipungut penjual dan Pajak Masukan yang
sudah dikreditkan oleh PKP Pembeli atau PPN yang sudah dibiayakan oleh
pembeli dilakukan koreksi. Inilah esensi dari ketentuan Pasal 5A Undang-undang
PPN 1984 yang peraturan pelaksanaannya adalah Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 65.PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pengurangan Pajak Pertambahan Nilai
Atau Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas
Barang Kena Pajak Yang Dikembalikan Dan Pajak Pertambahan Nilai Atas Jasa
Kena Pajak Yang Dibatalkan.
Prinsip dasar dari pengembalian atau retur Barang Kena Pajak ini adalah
seperti ditegaskan dalam Pasal 5A Ayat (1) UU PPN 1984, yaitu bahwa PPN atau
PPN dan PPnBM atas penyerahan Barang Kena Pajak yang dikembalikan dapat
dikurangkan dari PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dalam Masa Pajak
terjadinya pengembalian Barang Kena Pajak tersebut. Adapun ketentuan
pelaksanaannya adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 65/PMK.03/2010
yang menjadi rujukan paragraf-paragraf di bawah ini:

Dasar-Dasar Perpajakan - 301


Perlakuan PPN/PPnBM Atas Barang yang Dikembalikan
Bagi PKP Penjual, apabila Barang Kena Pajak yang diserahkan ternyata
dikembalikan (retur) oleh Pembeli, PPN atau PPN dan PPnBM dari Barang Kena
Pajak yang dikembalikan tersebut dapat mengurangi Pajak Keluaran dan PPnBM
yang terutang.
Bagi pembeli, PPN atau PPN dan PPnBM dari Barang Kena Pajak yang
dikembalikan tersebut mengurangi:
1. Pajak Masukan dari PKP Pembeli, dalam hal Pajak Masukan atas Barang
Kena Pajak yang dikembalikan telah dikreditkan;
2. Biaya atau harta bagi PKP Pembeli, dalam hal pajak atas Barang Kena Pajak
yang dikembalikan tersebut tidak dikreditkan dan telah dibebankan sebagai
biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta
tersebut; atau
3. Biaya atau harta bagi PKP Pembeli yang bukan PKP dalam hal PPN atau
PPN dan PPnBM atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut telah
dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam
harga perolehan harta tersebut.
Pengembalian Barang Kena Pajak dianggap tidak terjadi dalam hal Barang
Kena Pajak yang dikembalikan diganti dengan Barang Kena Pajak yang sama,
baik dalam jumlah fisik, jenis maupun harganya.
Dalam hal terjadi Pengembalian Barang Kena Pajak, Pembeli harus membuat
dan menyampaikan nota retur kepada PKP Penjual pada saat Barang Kena Pajak
dikembalikan.
Nota retur tersebut paling sedikit harus mencantumkan:
1. Nomor urut nota retur;
2. Nomor, kode seri, dan tanggal Faktur Pajak dari Barang Kena Pajak yang
dikembalikan;
3. Nama, alamat, dan NPWP Pembeli;
4. Nama, alamat, NPWP Pengusaha Kena Pajak Penjual;
5. Jenis barang, jumlah harga jual Barang Kena Pajak yang dikembalikan;
6. PPN atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan, atau PPN dan PPnBM atas
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dikembalikan;
7. Tanggal pembuatan nota retur; dan
8. Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani nota retur.
Bentuk dan ukuran nota retur dibuat sesuai dengan kebutuhan administrasi
Pembeli. Contoh bentuk dan ukuran nota retur adalah sebagaimana tercantum
dalam Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan Nomor 65/PMK.03/2010.
Nota retur dibuat paling sedikit dalam rangkap 2 (dua) yaitu:
1. Lembar ke-1: untuk Pengusaha Kena Pajak Penjual;
2. Lembar ke-2: untuk arsip Pembeli;
Dalam hal Pembeli bukan Pengusaha Kena Pajak, nota retur dibuat paling
sedikit dalam rangkap 3 (tiga), dan lembar ke-3 harus disampaikan ke Kantor
Pelayanan Pajak tempat Pembeli terdaftar.

302 - Dasar-Dasar Perpajakan


Pengembalian BKP Dianggap Tidak Terjadi
Pengembalian Barang Kena Pajak dianggap tidak terjadi dalam hal:
1. Nota retur tidak selengkapnya mencantumkan keterangan yang sudah
ditentukan;
2. Nota retur tidak dibuat pada saat Barang Kena Pajak tersebut dikembalikan;
3. Nota retur tidak disampaikan ke KPP tempat pembeli terdaftar dalam hal
pembeli bukan PKP.

Masa Pajak Dilakukannya Pengurangan


Pengurangan Pajak Keluaran atau Pajak Keluaran dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah oleh PKP Penjual dilakukan dalam Masa Pajak saat terjadinya
Pengembalian Barang Kena Pajak. Sementara itu, pengurangan Pajak Masukan,
pengurangan harta, atau pengurangan biaya, oleh Pembeli dilakukan dalam Masa
Pajak saat terjadinya pengembalian Barang Kena Pajak.
Dengan demikian, pengembalian Barang Kena Pajak tidak mengakibatkan
PKP Penjual atau PKP Pembeli melakukan koreksi atau pembetulan pada SPT
Masa dimana PPN atas BKP yang dikembalikan sudah dilaporkan.

Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)

Kegiatan-kegiatan berikut selain dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


juga dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yang Tergolong Mewah dilakukan
oleh pengusaha yang menghasilkan BKP yang Tergolong Mewah di dalam
Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
2. Impor BKP yang tergolong Mewah.
Pengenaan PPnBM tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa:
1. Perlu adanya keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang
berpenghasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi.
2. Perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas BKP yang Tergolong Mewah.
3. Perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional.
4. Perlu untuk mengamankan penerimaan negara.
Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yaitu:
1. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok.
2. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu.
3. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan
tinggi; atau apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral
masyarakat serta mengganggu ketertiban masyarakat, contoh: minuman
beralkohol.
PPnBM pada prinsipnya hanya dipungut atau dikenakan satu kali saja, yaitu
pada waktu:
1. Penyerahan oleh pabrikan atau produsen BKP yang Tergolong Mewah; atau
2. Impor BKP yang tergolong Mewah.

Dasar-Dasar Perpajakan - 303


Penyerahan pada tingkat berikutnya tidak lagi dikenakan PPnBM. PPnBM
telah dibayar atas perolehan BKP yang Tergolong Mewah yang diekspor dapat
diminta kembali.

Tarif PPnBM
1. Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah ditetapkan paling rendah 10%
(sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen).
2. Ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif
0% (nol persen).
Pengenaan PPnBM terhadap BKP yang Tergolong Mewah dibedakan lagi
menjadi BKP yang Tergolong Mewah Kendaraan Bermotor dan menjadi BKP yang
Tergolong Mewah selain Kendaraan Bermotor. Kelompok BKP yang Tergolong
Mewah yang dikenakan PPnBM selain Kendaraan Bermotor berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 620/PMK.03/2004 dan khusus Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.03/2008 mengubah Kelompok/Lampiran IV;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.011/2008 mengubah
Kelompok/Lampiran I; dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.03/2009
mengubah Kelompok/Lampiran II yang ditetapkan sebagai berikut:
1. Kelompok BKP yang Tergolong Mewah selain Kendaraan Bermotor
dikenakan PPnBM dengan tarif sebesar 10% (sepuluh persen) adalah:
a. Kelompok alat rumah tangga, pesawat pendingin, pesawat pemanas,
dan pesawat penerima siaran televisi.
1) Lemari pendingin
 Kombinasi lemari pendingin-pembeku, dari tipe rumah tangga
dengan kapasitas di atas 180 liter sampai dengan 230 liter
 Lemari pendingin, tipe rumah tangga dengan kapasitas di atas
180 liter sampai dengan 230 liter:
o Tipe Kompresi
o Lain-lain
2) Pemanas air instant atau pemanas air dengan tempat
penyimpanan, bukan listrik, untuk keperluan rumah tangga
 Dengan gas
 Lain-lain
3) Mesin cuci dari jenis yang dipakai untuk rumah tangga, termasuk
mesin yang dapat digunakan untuk mencuci dan mengeringkan
pakaian, kain, atau sejenisnya
 Mesin otomatis penuh
Mempunyai kapasitas linen kering lebih dari 10 kg
 Mesin lainnya, dilengkapi pengering centrifugal
Mempunyai kapasitas linen kering lebih dari 10 kg
 Lain-lain
Mempunyai kapasitas linen kering lebih dari 10 kg
4) Pemanas air instant atau pemanas air dengan tempat
penyimpanan, listrik; peralatan elektro termal lainnya dari jenis
yang digunakan untuk keperluan rumah tangga.

304 - Dasar-Dasar Perpajakan


 Pemanas air instant atau pemanas air dengan tempat
penyimpanan, listrik:
Pemanas air instant listrik atau pemanas air dengan tempat
penyimpanan
 Aparatus pemanas ruangan listrik dengan aparatus pemanas
tanah listrik
o Radiator pemanas tempat penyimpanan
o Lain-lain
5) Aparatus penerima untuk televisi, digabung atau tidak dengan
penerima siaran radio atau aparatus perekam atau pereproduksi
suara, atau video; monitor video:
 Monitor video berwarna di atas 17 inch sampai dengan 43 inch.
o Monitor tabung sinar katoda;
 Untuk keperluan komputer
 Untuk keperluan selain komputer
o Monitor selain tabung sinar katoda:
 Monitor tipe FPD untuk data video dan komputer, untuk
overhead projector (ITA1/B-200)
 Monitor untuk data video dan komputer, untuk overhead
projector (ITA1/B-200) untuk komputer
 Lain-lain
b. Kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga. Peralatan memancing
dengan nilai impor atau harga jual Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah)
atau lebih per buah:
1) Joran
2) Penggulung tali pancing
c. Kelompok mesin pengatur suhu, adalah:
Mesin pengatur suhu udara, terdiri dari kipas yang digerakkan dengan
motor dan elemen untuk mengubah suhu dan kelembaban udara,
termasuk mesin tersebut yang tidak dapat mengatur kelembaban udara
secara terpisah, dari tipe jendela atau dinding, dengan kapasitas
pendingin di atas I PK sampai dengan 2 PK.
d. Kelompok alat perekam atau reproduksi gambar, pesawat penerima
siaran radio
1) Aparatus Perekam atau reproduksi video, digabung dengan video
tuner maupun tidak dengan harga jual atau nilai impor di atas
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per unit:
 Tipe pita magnetic selain yang digunakan khusus dalam
sinematografi, televisi, penyiaran
 Lain-lain
o Laser disc player
o Lain-lain
2) Aparatus penerima radio telefon, radio telegrafi atau radio
penyiaran, dikombinasikan maupun tidak dalam rumah yang sama
dengan aparatus perekam atau reproduksi suara atau penunjuk

Dasar-Dasar Perpajakan - 305


waktu, dengan atau harga jual atau nilai impor di atas
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per unit:
 Penerima siaran radio dapat dioperasikan tanpa sumber
tenaga dari luar:
o Aparatus dikombinasikan dengan aparatus perekam atau
reproduksi suara
 Portabel
 Selain portabel
o Lain-lain
 Portabel
 Selain portabel
 Penerima siaran radio tidak dapat dioperasikan tanpa sumber
tenaga dari luar, dari jenis yang digunakan dalam kendaraan
bermotor, termasuk aparatus yang dapat juga menerima radio-
telefon:
o Dikombinasikan dengan aparatus perekam atau reproduksi
suara
o Tidak dikombinasikan dengan aparatus perekam atau
pereproduksi suara
 Penerima siaran radio lainnya:
o Dikombinasikan dengan aparatus perekam atau reproduksi
suara.
 Portabel
 Selain portabel
o Tidak dikombinasikan dengan aparatus perekam atau
reproduksi suara tetapi dikombinasikan dengan penunjuk
waktu
 Portabel
 Selain portabel
o Lain-lain
 Portabel
 Selain portabel
e. Kelompok alat fotografi, alat sinematografi, dan perlengkapannya
1) Kamera Video gambar yang tidak bergerak dan kamera perekam
video lainnya, selain yang dipergunakan untuk usaha penyiaran
radio atau televisi.
 Kamera video gambar tidak bergerak digital
 Kamera video gambar tidak bergerak lainnya
 Kamera perekam video lainnya
2) Kamera fotografi (selain kamera sinematografi), dan kamera digital
dengan harga jual atau nilai pabean ditambah bea masuk di atas
Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah) per unit.
 Kamera instant
 Kamera lainnya
o SLR, untuk gulungan film dengan lebar ≤ 35 mm
o Bukan SLR, untuk gulungan film dengan lebar < 35 mm:

306 - Dasar-Dasar Perpajakan


 Untuk merekam dokumen ke dalam microfilm,
microfiche, atau microform lainnya
 Lain-lain
o Bukan SLR, untuk gulungan film dengan lebar 35 mm
 Untuk merekam dokumen ke dalam microfilm,
microfiche, atau microform lainnya
 Lain-lain
o Lain-lain
 Plotter atau imagesetter
 Lain-lain
- Untuk merekam dokumen ke dalam microfilm,
microfiche, atau microform lainnya
- Lain-lain.

2. Kelompok BKP yang Tergolong Mewah selain Kendaraan Bermotor yang


dikenakan PPnBM dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) yaitu:
a. Kelompok alat rumah tangga, pesawat pendingin, pesawat pemanas,
selain yang disebut pada Kelompok I adalah:
1) Tungku, kompor, tungku terbuka, alat masak (termasuk tungku
dengan ketel tambahan untuk pemanasan sentral), panggangan
besar, anglo, gelang gas, piring pemanas, dan peralatan rumah
tangga tanpa listrik semacamnya, dari besi atau baja, jenis non
portabel.
 Peralatan masak dan piring pemanas:
o Dengan bahan bakar gas atau gabungan gas dengan
bahan bakar lainnya.
 Peralatan lainnya:
o Dengan bahan bakar gas atau gabungan gas dengan
bahan bakar lainnya.
2) Lemari pendingin
 Kombinasi lemari pendingin-pembeku, dilengkapi dengan pintu
luar terpisah, dari tipe rumah tangga dengan kapasitas
melebihi 230 liter.
 Lemari pendingin tipe rumah tangga dengan kapasitas melebihi
230 liter:
o Tipe kompresi
o Tipe absorpsi, elektris
o Lain-lain
b. Kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen,
kondominium, town house, dan sejenisnya, adalah:
1) Rumah dan town house dari jenis non strata title, dengan luas
2
bangunan 350 m atau lebih.
2) Apartemen, kondominium, town house, dan jenis strata title, dan
2
sejenisnya, dengan luas bangunan 150 m atau lebih.
c. Kelompok pesawat penerima siaran televisi dan antena serta reflector
antena, selain yang disebut dalam Kelompok I

Dasar-Dasar Perpajakan - 307


1) Aparatus penerima untuk televisi, digabung atau tidak dengan
penerima siaran radio atau aparatus perekam atau reproduksi
suara atau video; monitor video.
 Aparatus penerima untuk televisi berukuran di atas 43 inch
o Set top box yang mempunyai fungsi komunikasi (ITA1/B-
203)
o PCA untuk digunakan dengan mesin ADP (ITA1/B-199)
o Lain-lain
 Monitor video berwarna di atas 43 inch
o Monitor tipe FPD untuk data video dan komputer, untuk
overhead projector (ITA1/B-200)
o Lain-lain
2) Proyektor video:
 Mempunyai kapasitas untuk memproyeksikan pada layar
berukuran 300 inci atau lebih
 Proyektor data video dan komputer tipe FPD (ITA1/B-200)
 Lain-lain
3) Antena dengan reflektor antena dari segala jenis; selain yang
digunakan untuk keperluan penyiaran radio atau televisi, usaha
jasa telekomunikasi, dan yang digunakan untuk alat radar, alat
radio pembantu navigasi dan alat radio kendali jarak jauh
4) Antena dan reflektor antena dari segala jenis untuk penerima
siaran radio atau televisi dengan nilai impor atau harga jual
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) atau lebih per unit
d. Kelompok mesin pengatur suhu udara, mesin pencuci piring, mesin
pengering, pesawat elektromagnetik, dan instrument musik selain yang
disebut dalam Kelompok I.
1) Mesin pengatur suhu udara terdiri dari kipas yang digerakkan
dengan motor dan elemen untuk mengubah suhu dan kelembaban
udara, termasuk mesin tersebut yang tidak dapat mengatur
kelembaban udara secara terpisah.
 Dari tipe jendela atau dinding, dengan kapasitas pendingin di
atas 2 PK sampai dengan 3 PK
 Dari jenis yang digunakan untuk orang, di dalam kendaraan
bermotor
2) Mesin pencuci piring, dari tipe rumah tangga:
 Dioperasikan secara elektrik
 Tidak dioperasikan secara elektrik
3) Mesin Pengering dengan kapasitas linen kering tidak lebih dari 10
kg dari jenis yang dipakai untuk rumah tangga
4) Microwave oven
5) Piano termasuk piano otomatis, harpsichord dan instrument
keyboard bersenar lainnya
 Piano tegak
 Grand piano
 Lain-lain

308 - Dasar-Dasar Perpajakan


6) Instrumen musik, dengan suara yang dihasilkan, atau harus
diperkuat secara elektrik (misalnya: organ, guitar, akordeon)
e. Kelompok wangi-wangian.
Parfum dan cairan pewangi yang siap untuk dijual eceran dengan nilai
impor atau harga jual Rp2.000,00 (dua ribu rupiah) atau lebih per ml.

3. Kelompok BKP yang Tergolong Mewah selain kendaraan bermotor yang


dikenakan PPnBM dengan tarif sebesar 30% (tiga puluh persen) adalah:
a. Kelompok kapal atau kendaraan air lainnya, sampan dan kano, kecuali
untuk keperluan negara dan angkutan umum.
Kendaraan air lainnya untuk pelesir atau olah raga; sampan dan kano
1) Dapat digembungkan
2) Lain-lain:
 Perahu layar, dengan atau tanpa motor pembantu
 Sampan, kano, dan kendaraan air lainnya yang tidak bermotor
b. Kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga selain yang disebut
dalam Kelompok I.
1) Perlengkapan Golf
 Bola golf
 Peralatan lainnya selain tongkat golf
2) Perlengkapan menyelam:
 Pakaian selam
 Kacamata pelindung untuk selam
3) Perlengkapan ski air, papan selancar, papan layar, papan selancar
layar dan olah raga air lainnya.
 Selancar layar
 Lain-lain.
4. Kelompok BKP yang Tergolong Mewah selain Kendaraan Bermotor
dikenakan PPnBM dengan tarif 40% (empat puluh persen) adalah:
a. Kelompok minuman yang mengandung alkohol
1) Bir terbuat dari malt
 Bir hitam dan porter
 Lain-lain termasuk ale
2) Minuman fermentasi dari buah anggur segar, termasuk minuman
fermentasi yang diperkuat; grape must; dengan kadar alkohol tidak
melebihi 26% proof
 Minuman fermentasi pancar
 Minuman fermentasi lainnya, grape must yang fermentasinya
dicegah atau dihentikan dengan penambahan alkohol:
o Minuman fermentasi:
 Dalam kemasan 2 liter atau kurang
 Dalam kemasan di atas 2 liter
o Grape must:
 Dalam kemasan 2 liter atau kurang
 Dalam kemasan di atas 2 liter
o Grape must lainnya

Dasar-Dasar Perpajakan - 309


3) Vermount dan minuman fermentasi lainnya dari buah anggur segar
yang diberi rasa dengan zat nabati atau zat aroma.
 Dalam kemasan 2 liter atau kurang
 Dalam kemasan di atas 2 liter
4) Minuman fermentasi lainnya (misalnya fermentasi sari buat apel,
sari buah pir, larutan madu dalam air); campuran minuman
fermentasi dan campuran minuman fermentasi dengan minuman
yang tidak mengandung alkohol:
 Fermentasi sari buah apel dan fermentasi sari buah pir
 Sake (minuman fermentasi dari beras)
 Shandy dengan kadar alkohol melebihi 0,5% tetapi tidak
melebihi 1% dari volumenya
 Shandy dengan kadar alkohol melebihi 1% tetapi tidak melebihi
3% dari volumenya
 Lain-lain, termasuk fermentasi larutan madu dalam air
b. Kelompok barang-barang terbuat dari kulit atau kulit tiruan.
1) Saddlery dan harness untuk segala binatang (termasuk tali
kekang, kekang, penutup lutut, penutup mulut, tutup sadel, tas
sadel, jaket anjing dan sejenisnya), dengan nilai impor atau harga
jual Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau lebih per buah.
2) Peti, kopor, tas perempuan, tas eksekutif, tas kantor, tas sekolah,
dompet kacamata, tas teropong, tas kamera, tas peralatan musik,
kopor senjata, sarung pistol, dan kemasan semacam itu; tas untuk
bepergian, tas makanan dan minuman bersekat, kotak rias, ransel,
tas tangan, tas belanja, dompet, pundi, tempat peta, tempat rokok,
kantong tembakau, tas perkakas, tas olah raga, tas botol, kotak
perhiasan, kotak bedak, kotak pisau, dan kemasan semacam itu,
dengan nilai impor atau harga jual Rp500.000,00 (lima ratus ribu
rupiah) atau lebih per buah.
 Peti, kopor, tas perempuan, tas eksekutif, tas kantor, tas
sekolah, dan kemasan semacam itu:
o Dengan permukaan luar dari kulit samak, dari kulit
komposisi atau dari kulit paten:
 Tas sekolah
 Lain-lain.
 Tas tangan dengan tali bahu maupun tidak, termasuk yang
tanpa gagang
Dengan permukaan luar dari kulit samak, dari kulit komposisi
atau dari kulit paten.
 Barang dari jenis yang biasanya dibawa dalam saku atau
dalam tas tangan
Dengan permukaan luar dari kulit samak, dari kulit komposisi
atau dari kulit paten.
 Lain-lain
o Dengan permukaan luar dari kulit samak, dari kulit
komposisi atau dari kulit paten

310 - Dasar-Dasar Perpajakan


 Tas olahraga
 Tas bowling
 Lain-lain.
3) Pakaian dan aksesoris pakaian, dari kulit samak atau kulit
komposisi dengan nilai impor atau harga jual Rp. 600.000,00
(enam ratus ribu rupiah) atau lebih per stel atau Rp. 300.000,00
(tiga ratus ribu rupiah) atau lebih per potong atau per buah
 Pakaian
 Sarung tangan, mitten, dan mitt:
o Sarung tangan pelindung kerja
o Lain-lain
 Ikat pinggang dan tali sandang
 Aksesoris pakaian lainnya
4) Pakaian, aksesoris pakaian, dan barang lainnya selain dari kulit
berbulu dengan nilai impor atau harga jual Rp. 600.000,00 (enam
ratus ribu rupiah) atau lebih per stel atau Rp. 300.000,00 (tiga
ratus ribu rupiah) atau lebih per potong atau per buah
 Aksesoris pakaian
 Pakaian
 Lain-lain
o Tas olahraga
o Lain-lain
c. Kelompok permadani yang terbuat dari sutera atau wol
1) Karpet dan penutup lantai tekstil lainnya, rajutan sudah jadi:
 Dari wool
 Dari sutera
2) Karpet dan lantai tekstil lainnya, tenunan, tidak berumbai-umbai
atau dibentuk flock seperti beludru, sudah jadi, termasuk “Kalem”,
“Schumacks”, “Karamanie” dan babut tenunan tangan yang
semacam itu, selain yang dipergunakan untuk keperluan ibadah.
 “Kalem”, “Schumacks”, “Karamanie” dan babut tenunan tangan
yang semacam itu.
 Lainnya, dengan konstruksi bulu:
o Dari wool
o Dari sutera
 Lainnya, bukan dengan konstruksi bulu:
o Dari wool
o Dari sutera
3) Karpet dan penutup lantai tekstil lainnya, rajutan sudah jadi
 Dari wool
 Dari sutera
4) Karpet dan penutup lantai tekstil lainnya, sudah jadi, dari wool atau
sutera, selain dari jenis yang dipergunakan untuk alas
sembahyang

Dasar-Dasar Perpajakan - 311


d. Kelompok barang kaca dari kristal timbale dari jenis yang digunakan
untuk meja, dapur, rias, kantor, dekorasi dalam ruangan atau keperluan
semacam itu:
1) Gelas minum:
 Tidak diasah, dipoles, diburamkan atau dikerjakan secara lain
 Lain-lain.
2) Barang kaca dari jenis yang digunakan untuk di meja (selain gelas
minum) atau untuk keperluan dapur
 Tidak diasah, dipoles, diburamkan atau dikerjakan secara lain
 Lain-lain.
3) Barang kaca lainnya
 Tidak diasah, dipoles, diburamkan atau dikerjakan secara lain
 Lain-lain.
e. Kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari
logam mulia atau logam yang dilapisi logam mulia atau campuran
daripadanya
1) Arloji tangan, arloji saku, dan arloji lainnya, termasuk penghitung
detik, dengan badan arloji dari logam mulia atau dari logam
keranjang.
 Arloji tangan dioperasikan secara elektrik, dilengkapi fasilitas
penghitung detik maupun tidak:
o Hanya dengan display mekanis
o Hanya dengan display opto-elektronika
o Lain-lain
 Arloji tangan lainnya, dilengkapi dengan fasilitas penghitung
detik maupun tidak:
o Dengan putaran otomatis
o Lain-lain
 Arloji lainnya
o Dioperasikan secara elektrik
o Lain-lain
2) Jam, yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari logam mulia atau
dari logam yang dilapisi logam mulia
 Jam dengan penggerak jam:
o Dioperasikan secara elektrik
o Lain-lain
 Jam panel instrument dan jam tipe semacam untuk kendaraan
darat, kendaraan udara, kendaraan luar angkasa atau
kendaraan air:
o Untuk kendaraan darat
o Untuk kendaraan udara
o Untuk kendaraan air
o Lain-lain
 Jam lainnya:
o Jam beker
 Dioperasikan secara elektrik

312 - Dasar-Dasar Perpajakan


 Lain-lain
o Jam dinding
 Dioperasikan secara elektrik
 Lain-lain
o Lain-lain
 Dioperasikan secara elektrik
- Kronometer kapal dan kronometer semacam itu
- Jam umum untuk bangunan; jam untuk sistem jam
listrik terpusat
- Lain-lain
 Lain-lain
- Kronometer kapal dan kronometer semacam itu
- Jam umum untuk bangunan; jam untuk sistem jam
listrik terpusat
- Lain-lain.
3) Barang lainnya yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari emas
atau platina atau dari logam yang dilapisi emas atau platina atau
campuran daripadanya, selain barang perhiasan dan bagiannya:
 Barang hasil tempaan pandai emas dan bagiannya, dari emas
atau platina atau dari logam yang dikeranjang dengan emas
atau platina
o Dari emas atau platina, disepuh atau dikerajang dengan
logam mulia maupun tidak
o Dari emas atau platina kerajang atas dasar logam tidak
mulia
 Barang lain dari emas atau platina atau dari logam yang
dikerajang dengan emas atau platina, selain katalis dalam
bentuk kasa kawat atau kasa dari platina untuk keperluan
laboratorium
f. Kelompok kapal atau kendaraan laut lainnya, sampan dan kano, selain
yang disebut dalam Lampiran III, kecuali untuk keperluan negara atau
angkatan umum.
Perahu motor untuk pelesir atau olahraga:
1) Perahu motor, selain perahu motor tempel
2) Perahu motor tempel
g. Kelompok balon udara dan balon udara yang dapat dikemudikan,
pesawat udara lainnya tanpa penggerak
1) Pesawat terbang layang dan pesawat layang gantung
2) Lain-lain
h. Kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk
keperluan negara
1) Peluru pengokot atau perkakas semacam itu atau captive-bolt
humane killer dan bagiannya
2) Peluru senapan dan bagiannya
 Peluru
 Lain-lain
3) Peluru lain dan bagiannya

Dasar-Dasar Perpajakan - 313


 Digunakan untuk revolver dan pistol dari pos 93.02
 Lain-lain
4) Lain-lain
i. Kelompok jenis alas kaki
1) Alas kaki tahan air dengan sol luar dan bagian atas dari karet atau
dari plastik, bagian atasnya tidak dipasang pada sol dan tidak
dirakit dengan cara dijahit, dikeling, dipaku, disekrup, ditusuk atau
proses semacam itu, dengan nilai impor atau harga jual Rp.
1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau lebih per pasang.
 Alas kaki dilengkapi logam pelindung jari
 Alas kaki lainnya
o Menutupi lutut
o Menutupi mata kaki tetapi tidak menutupi lutut
o Lain-lain
2) Alas kaki lainnya dengan sol luar dan bagian atas dari karet atau
plastik, dengan nilai impor atau harga jual Rp. 1.000.000,00 (satu
juta rupiah) atau lebih per pasang.
 Alas kaki olahraga:
o Bot ski, alas kaki ski untuk lintas alam dan bot papan luncur
salju
o Lain-lain
 Alas kaki dengan tali pengikat atau tali kulit di atasnya dirakit
pada sol dengan alat penusuk
 Alas kaki lainnya, dilengkapi logam pelindung jari
 Alas kaki lainnya:
o Menutupi mata kaki
o Lain-lain
3) Alas kaki dengan sol luar dari karet, plastik, kulit samak atau kulit
komposisi dan bagian atas sepatu dari kulit samak, dengan nilai
impor atau harga jual Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau lebih
per pasang.
 Alas kaki olahraga
o Bot ski, alas kaki ski untuk lintas alam dan bot papan luncur
salju
o Lain-lain
 Alas kaki olahraga lainnya dilengkapi paku, batang, dan
sejenisnya (contoh sepatu sepak bola, sepatu lari dan
sepatu golf)
 Lain-lain
 Alas kaki dengan sol luar kulit samak, dan bagian atasnya
terdiri pengikat dari kulit samak yang menyilang punggung kaki
dan sekeliling jempol
 Alas kaki dibuat dengan dasar atau alas dari kayu, tidak
mempunyai sol dalam atau logam pelindung jari
 Alas kaki lainnya, dilengkapi logam pelindung jari
 Alas kaki lainnya dengan sol luar dari kulit samak

314 - Dasar-Dasar Perpajakan


o Menutupi mata kaki:
 Bot untuk pengendara
 Lain-lain
o Lain-lain
 Sepatu boling
 Lain-lain
 Alas kaki lainnya
o Menutupi mata kaki:
 Bot untuk pengendara
 Lain-lain
o Lain-lain
 Sepatu boling
 Lain-lain
4) Alas kaki dengan sol luar dari karet, plastik, atau kulit samak atau
kulit komposisi dan bagian atasnya dari bahan tekstil, dengan nilai
impor atau harga jual Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau lebih
per pasang.
 Alas kaki dengan sol luar dari karet atau plastik
o Alas kaki olahraga; sepatu tenis, sepatu bola basket,
sepatu senam, sepatu latihan dan sejenisnya
o Lain-lain
 Alas kaki dengan sol luar dari kulit samak atau kulit komposisi
o Sepatu lari dan sepatu golf
o Lain-lain
5) Alas kaki lainnya, dengan nilai impor atau harga jual
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau lebih per pasang.
 Dengan bagian atasnya dari kulit samak atau kulit komposisi
 Dengan bagian atasnya dari bahan tekstil
 Lain-lain
j. Kelompok barang-barang perabot rumah tangga dan kantor
1) Tempat duduk, dapat diubah menjadi tempat tidur maupun tidak,
dengan nilai impor atau harga jual Rp2.000.000,00 (dua juta
rupiah) atau lebih per unit atau satuan:
 Tempat duduk dari jenis yang digunakan untuk kendaraan
bermotor
 Tempat duduk berputar yang dapat diatur tingginya
 Tempat duduk selain dari tempat duduk taman atau
perlengkapan perkemahan, dapat diubah menjadi tempat tidur
 Tempat duduk dari tanaman beruas, osier, bambu, atau bahan
semacam itu:
o Dari rotan
o Lain-lain
 Tempat duduk lainnya, dengan rangka dari kayu
o Diberi lapisan penutup, dirakit
o Lain-lain, dirakit
 Tempat duduk lainnya, dengan rangka dari logam

Dasar-Dasar Perpajakan - 315


o Diberi lapisan penutup
o Lain-lain
 Tempat duduk lainnya
o Baby walkers
o Lain-lain
2) Perabot lainnya, dengan nilai impor atau harga jual Rp.
2.000.000,00 (dua juta rupiah) atau lebih per unit atau satuan:
 Perabotan dari logam dari jenis yang digunakan di kantor
 Perabotan logam lainnya
 Perabotan kayu dari jenis yang digunakan di kantor, dirakit
 Perabotan kayu dari jenis yang digunakan di dapur, dirakit
 Perabotan kayu dari jenis yang biasa digunakan di kamar tidur
o Perangkat kamar tidur, dirakit
o Lain-lain, dirakit
 Perabotan kayu lainnya
o Perangkat ruang makan dan ruang keluarga, dirakit
o Lain-lain, dirakit
 Perabotan dari plastik
o Perabotan dari jenis yang digunakan di kantor
o Lain-lain
 Perabotan dari bahan lainnya, termasuk tanaman beruas,
osier, bambu, atau bahan semacam itu:
o Perangkat kamar tidur, ruang makan atau ruang keluarga
dari rotan
o Perangkat kamar tidur, ruang makan atau ruang keluarga
dari bahan lain
o Dari jenis yang digunakan di taman, kebun atau ruang
depan
 Dari batu monumen atau batu bangunan yang
dikerjakan
 Dari semen, dari beton, atau batu tiruan
 Dari asbes-semen, dari serat semen selulosa atau
sejenisnya
 Dari keramik
 Lain-lain
3) Alat kasur; barang keperluan tidur dan perabotan semacam itu
(misalnya kasur selimut tebal, eiderdown, bantalan kursi, poufe,
dan bantal) dilengkapi dengan pegas atau diisi atau dilengkapi
bagian dalamnya dengan berbagai bahan atau dengan karet atau
plastik seluler, disarungi maupun tidak, kecuali yang terbuat dari
kapuk:
 Alas kasur dengan nilai impor atau harga jual Rp.1.000.000,00
2
(satu juta rupiah) atau lebih per m per unit:
 Kasur dengan nilai impor atau harga jual Rp.2.000.000,00 (dua
2
juta rupiah) atau lebih per m per unit:
o Dari karet atau plastik seluler, disarungi maupun tidak

316 - Dasar-Dasar Perpajakan


o Dari bahan lainnya
o Kasur pegas
o Lain-lain, tipe hyperthermia/hypothermia
o Lain-lain
 Kantong tidur dengan nilai impor atau harga jual Rp.
1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau lebih per unit atau satuan
 Lain-lain, dengan nilai impor atau harga jual Rp.200.000,00
(dua ratus ribu rupiah) atau lebih per unit atau satuan
o Selimut tebal, penutup tempat tidur atau pelindung kasur
o Bantal panjang, bantal, bantalan kursi, poufe
o Lain-lain
4) Lampu dan alat kelengkapan penerangan lainnya, dengan nilai
impor atau harga jual Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu
rupiah) atau lebih per unit atau satuan:
 Lampu dan alat kelengkapan penerangan listrik lainnya, dan
bagian daripadanya, selain digunakan untuk bedah dan
penerangan khusus operasi medis, untuk penerangan umum
pada ruang terbuka atau jalan, untuk penunjuk arah jalan.
 Lampu dan alat kelengkapan penerangan non-elektris, dan
bagian daripadanya, selain untuk lampu pekerja tambang,
untuk lampu tukang gali batu, untuk lampu gas di bawah
tekanan (lampu pompa) dan lampu badai minyak tanah.
o Lampu minyak:
 Dari plastik, batu, keramik atau kaca
 Lain-lain
o Lain-lain
k. Kelompok barang-barang yang terbuat dari porselin, tanah lempung
cina dan keramik.
1) Bak cuci, wastafel, alas baskom, bak mandi, bidet, bejana kloset,
tangki pembilasan, tempat kencing, dan perlengkapan sanitasi
semacam itu dari keramik dengan nilai impor atau harga jual
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau lebih per unit atau satuan:
 Dari porselin atau tanah lempung cina
 Lain-lain
2) Patung atau barang keramik ornamental lainnya selain yang
merupakan karya seni, dengan nilai impor atau harga jual Rp.
1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau lebih per unit atau satuan
 Dari porselin atau tanah lempung cina
 Lain-lain
l. Kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari
batu, selain batu jalan dan batu tepi jalan
1) Ubin, kubus, dan barang semacam itu, empat persegi panjang
maupun tidak (termasuk bujur sangkar), area permukaan
terluasnya berbentuk bujur sangkar.

Dasar-Dasar Perpajakan - 317


2) Batu monumen atau batu bangunan lainnya dan barang terbuat
dari padanya, dipotong atau digergaji secara sederhana, dengan
permukaan datar atau tetap:
 Marmer, travertine, dan alabaster
 Batu calcareous lainnya
 Granit
o Lembaran tebal dipoles
o Lain-lain
 Batu lainnya
3) Lain-lain
 Marmer, travertine, dan alabaster
 Batu calcareous lainnya
 Granit
 Batu lainnya
5. Kelompok BKP yang Tergolong Mewah selain kendaraan Bermotor
dikenakan PPnBM dengan tarif 50% (lima puluh persen) adalah:
a. Kelompok permadani tertentu yang terbuat dari bulu hewan halus
1) Karpet dan penutup lantai tekstil lainnya, rajutan, sudah jadi, yang
terbuat dari bulu hewan halus
2) Karpet dan penutup lantai tekstil lainnya yang terbuat dari bulu
hewan halus, tenunan, tidak berumbai-umbai, atau tidak dibentuk
flock seperti beludru, sudah jadi, termasuk “Kelem”, “Schumacks”,
“Keramanie” dan tenunan tangan yang semacam itu, selain alas
sembahyang
 “Kelem”, “Schumacks”, “Keramanie” dan babut tenunan tangan
semacam itu
 Lainnya, dengan konstruksi bulu
 Lainnya, bukan dengan konstruksi bulu
3) Karpet dan penutup lantai tekstil lainnya yang terbuat dari bulu
hewan halus, berumbai, sudah jadi
4) Karpet dan penutup lantai tekstil lainnya yang terbuat dari bulu
hewan halus, berumbai, sudah jadi, selain alas sembahyang
b. Kelompok pesawat udara selain yang disebut dalam Lampiran IV,
kecuali untuk keperluan negara atau angkutan udara niaga
1) Helikopter
 Dengan berat tanpa muatan tidak melebihi 2.000 kg
 Dengan berat tanpa muatan melebihi 2.000 kg
2) Pesawat udara dan kendaraan udara lainnya:
 Dengan berat tanpa muatan tidak melebihi 2.000 kg:
o Pesawat udara
o Lain-lain
 Dengan berat tanpa muatan melebihi 2.000 kg tetapi tidak
melebihi 15.000 kg:
o Pesawat udara
o Lain-lain
 Dengan berat tanpa muatan melebihi 15.000 kg

318 - Dasar-Dasar Perpajakan


o Pesawat udara
o Lain-lain
c. Kelompok peralatan dan perlengkapan olah raga selain yang disebut
dalam kelompok I dan III
Tongkat golf:
1) Tongkat golf, lengkap
2) Tongkat golf, tidak lengkap
d. Kelompok senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan
Negara.
1) Senjata artileri
2) Revolver dan pistol
3) Senjata api lainnya dan peralatan semacam itu yang dioperasikan
dengan penembakan bahan peledak.

6. Kelompok BKP yang Tergolong Mewah selain Kendaraan Bermotor yang


dikenakan PPnBM dengan tarif 75% (tujuh puluh lima persen) adalah:
a. Kelompok minuman yang mengandung alkohol selain yang disebut
dalam kelompok IV
1) Minuman fermentasi dari buah anggur segar, termasuk minuman
fermentasi yang diperkuat; grape must; dengan kadar alkohol
melebihi 26% proof,
 Minuman fermentasi pancar
 Minuman fermentasi lainnya; grape must yang fermentasi
dicegah atau dihentikan dengan penambahan alkohol
o Minuman fermentasi
 Dalam kemasan 2 liter atau kurang
 Dalam kemasan di atas 2 liter
o Grape must
 Dalam kemasan 2 liter atau kurang
 Dalam kemasan di atas 2 liter
 Grape must lainnya
2) Etil alkohol yang tidak didenaturasi dengan kadar alkohol
berdasarkan isi kurang dari 80% menurut volumenya; alkohol, sopi
manis, dan minuman beralkohol lainnya.
 Alkohol diperoleh dari penyulingan minuman fermentasi anggur
atau grape mare:
o brendi dengan kadar alkohol tidak melebihi 46% menurut
volumenya
o brendi dengan kadar alkohol melebihi 46% menurut
volumenya
o lain-lain, dengan kadar alkohol tidak melebihi 46% menurut
volumenya
o lain-lain, dengan kadar alkohol melebihi 46% menurut
volumenya
 Whiski

Dasar-Dasar Perpajakan - 319


o dengan kadar alkohol tidak melebihi 46% menurut
volumenya
o dengan kadar alkohol melebihi 46% menurut volumenya
 Rum dan Tafia
o dengan kadar alkohol tidak melebihi 46% menurut
volumenya
o dengan kadar alkohol melebihi 46% menurut volumenya
 Gin dan Geneva
o dengan kadar alkohol tidak melebihi 46% menurut
volumenya
o dengan kadar alkohol melebihi 46% menurut volumenya
 Vodka
o dengan kadar alkohol tidak melebihi 46% menurut
volumenya
o dengan kadar alkohol melebihi 46% menurut volumenya
 Sopi manis dan Cordial
o dengan kadar alkohol tidak melebihi 57% menurut
volumenya
o dengan kadar alkohol melebihi 57% menurut volumenya
 Lain-lain
o Samsu mengandung obat dengan kadar alkohol tidak
melebihi 40% menurut volumenya
o Samsu mengandung obat dengan kadar alkohol melebihi
40% menurut volumenya
o Samsu lainnya, dengan kadar alkohol tidak melebihi 40%
menurut volumenya
o Samsu lainnya, dengan kadar alkohol melebihi 40%
menurut volumenya
o Arak dan alkohol nanas dengan kadar alkohol tidak
melebihi 40% menurut volumenya
o Arak dan alkohol nanas dengan kadar alkohol melebihi 40%
menurut volumenya
o Bitter dan minuman semacamnya dengan kadar alkohol
tidak melebihi 57% menurut volumenya
o Bitter dan minuman semacamnya dengan kadar alkohol
melebihi 57% menurut volumenya
o Lain-lain
b. Kelompok barang-barang yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari
batu mulia dan/atau mutiara atau campuran dari padanya.
1) Barang dar Mutiara alam atau budi daya, batu mulia, atau batu
semi mulia alam
2) Dari batu mulia atau batu semi mulia alam
c. Kelompok kapal pesiar mewah, kecuali untuk keperluan negara atau
angkutan umum.

320 - Dasar-Dasar Perpajakan


1) Kapal pesiar, kapal ekskursi dan kendaraan air semacam itu
terutama dirancang untuk pengangkutan orang; kapal feri dari
semua jenis
 Dengan tonase kotor tidak melebihi 26 ton
 Dengan tonase kotor melebihi 26 ton tetapi tidak melebihi 500
ton
 Dengan tonase kotor melebihi 500 ton tetapi tidak melebihi
4000 ton
 Dengan tonase kotor melebihi 4000 ton tetapi tidak melebihi
5000 ton
 Dengan tonase kotor melebihi 5000 ton
2) Yacht dan kendaraan air lainnya selain yang disebut dalam
kelompok III dan kelompok IV, untuk pelesir atau olah raga.

PPN dan PPnBM untuk Kendaraan Bermotor

Kelompok BKP yang Tergolong Mewah yang dikenakan PPnBM untuk


Kendaraan Bermotor sesuai PP No. 12 Tahun 2006 ditetapkan sebagai berikut:
1. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa
kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
dengan tarif sebesar 10% (sepuluh persen), adalah:
a. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh) orang sampai
dengan 15 (lima belas) orang termasuk pengemudi, dengan motor
bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan semua
kepasitas isi silinder; dan
b. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh)
orang termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan
motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel) dengan
sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2), dengan kapasitas isi silinder
sampai dengan 1500 cc.
2. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa
kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen), adalah:
a. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh)
orang termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan
motor bakar cetus api atau dengan nyala kompresi (diesel/semi diesel)
dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2), dengan kapasitas isi
silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan 2500 cc; dan
b. Kendaraan bermotor dengan kabin ganda (Double cabin), dalam bentuk
kendaraan bak terbuka atau bak tertutup, dengan penumpang lebih dari
3 (tiga) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau
nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan sistem 1 (satu) gandar
penggerak (4x2) atau dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4),
dengan semua kapasitas isi silinder, dengan massa total tidak lebih dari
5 (lima) ton.
3. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa
kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

Dasar-Dasar Perpajakan - 321


dengan tarif sebesar 30% (tiga puluh persen), adalah kendaraan bermotor
untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi,
berupa:
a. Kendaraan bermotor sedan atau station wagon dengan motor bakar
cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan kepasitas isi
silinder sampai dengan 1500 cc; dan
b. Kendaraan bermotor selain sedan atau station wagon dengan motor
bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), dengan sistem
2 (dua) gandar penggerak (4x4) dengan semua kapasitas isi silinder
sampai dengan 1500 cc.
4. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa
kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
dengan tarif sebesar 40% (empat puluh persen), adalah kendaraan bermotor
untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi,
berupa:
a. Kendaraan bermotor selain sedan atau station wagon, dengan motor
bakar cetus api, dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2) dengan
kapasitas isi silinder lebih dari 2500 cc sampai dengan 3000 cc;
b. Kendaraan bermotor dengan motor bakar cetus api, berupa sedan atau
station wagon dan selain sedan atau station wagon, dengan sistem 2
(dua) gandar penggerak (4x4) dengan kapasitas;
c. Kendaraan bermotor dengan motor bakar nyala kompresi (diesel/semi
diesel), berupa sedan atau station wagon dan selain sedan atau station
wagon, dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4) dengan
kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan 2500 cc.
5. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa
kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
dengan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) adalah semua jenis kendaraan
khusus yang dibuat untuk golf.
6. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa
kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
dengan tarif sebesar 60% (enam puluh persen), adalah:
a. Kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas isi silinder lebih dari
250 cc sampai dengan 500 cc; dan
b. Kendaraan khusus yang dibuat untuk perjalanan di atas salju, di pantai,
di gunung, dan kendaraan semacam itu.
7. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang berupa
kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
dengan tarif sebesar 75% (tujuh puluh lima persen), adalah:
a. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh)
orang termasuk pengemudi, dengan motor bahan bakar cetus api,
berupa sedan atau station wagon dan selain sedan atau station wagon,
dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2) atau dengan sistem 2
(dua) gandar penggerak (4x4) dengan kapasitas isi silinder lebih dari
3000 cc;
b. Kendaraan bermotor pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang
termasuk pengemudi, dengan motor bahan bakar nyala kompresi

322 - Dasar-Dasar Perpajakan


(diesel/semi diesel) berupa sedan atau station wagon dan selain sedan
atau station wagon, dengan sistem 1 (satu) gandar penggerak (4x2)
atau dengan sistem 2 (dua) gandar penggerak (4x4), dengan kapasitas
isi silinder lebih dari 2500 cc;
c. Kendaraan bermotor beroda 2 (dua) dengan kapasitas isi silinder lebih
dari 500 cc;
d. Trailer, semi trailer dari tipe caravan, untuk perumahan atau kemah.

Pengecualian Pengenaan PPnBM untuk Kendaraan Bermotor


Kendaraan bermotor yang tidak dikenakan PPnBM adalah semua jenis
kendaraan bermotor yang diimpor dalam keadaan terurai (completely knocked
down – CKD) dan impor atau penyerahan lain berikut ini:
1. Atas impor atau penyerahan kendaraan bermotor di dalam daerah Pabean
yang digunakan sebagai angkutan untuk 10 (sepuluh) orang atau lebih
termasuk pengemudi untuk kendaraan dinas TNI atau POLRI.
2. Atas impor dan/atau penyerahan semua jenis kendaraan bermotor di dalam
daerah Pabean yang digunakan untuk tujuan Protokoler Kenegaraan.
3. Atas impor atau penyerahan semua jenis kendaraan bermotor di dalam
daerah Pabean yang digunakan untuk kendaraan ambulans, kendaraan
tahanan, kendaraan jenazah, kendaraan pemadam kebakaran, kendaraan
angkutan umum, dan kendaraan angkutan.
4. Atas impor atau penyerahan kendaraan bermotor di dalam daerah Pabean
yang digunakan untuk kendaraan angkutan barang.

Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN)

Dalam sistem self assessment, SPT Masa PPN berfungsi sebagai sarana
bagi PKP untuk mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah PPN atau PPN
dan PPnBM yang terutang dan melaporkan tentang:
1. Pengkreditan Pajak Masukan (PM) terhadap Pajak Keluaran (PK); dan
2. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau
melalui pihak lain dalam suatu Masa Pajak.
Pengusaha yang berstatus sebagai pemungut PPN juga diwajibkan
melaporkan PPN yang telah dipungut dengan menggunakan formulir SPT Masa
PPN untuk Pemungut PPN.

Tata Cara Penyetoran PPN atau PPnBM, Pelaporan dan Penyampaian SPT
Masa PPN 1111

1. Batas Waktu Penyetoran PPN atau PPN dan PPnBM


a. PPN atau PPnBM yang terutang dalam satu Masa Pajak, harus disetor
paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan
sebelum SPT Masa PPN 1111 disampaikan.
b. Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran bertepatan dengan hari libur
termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran dapat
dilakukan pada hari kerja berikutnya.

Dasar-Dasar Perpajakan - 323


2. Batas Waktu Pelaporan SPT Masa PPN 1111
a. SPT Masa PPN 1111 harus disampaikan paling lama akhir bulan
berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.
b. Dalam hal batas akhir pelaporan bertepatan dengan hari libur termasuk
hari Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan SPT Masa PPN 1111
dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
3. Tempat Pelaporan SPT Masa PPN 1111
a. KPP;
b. KP2KP; atau
c. Tempat lain yang ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
4. Cara Pelaporan dan Penyampaian SPT Masa PPN 1111
a. SPT Masa PPN 1111 dapat disampaikan oleh PKP dengan cara:
1) Manual, yaitu:
i. Disampaikan langsung ke KPP, KP2KP, atau tempat lain yang
ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak, atas
penyampaian SPT Masa PPN 1111 tersebut PKP akan
menerima tanda bukti penerimaan; atau
ii. Disampaikan melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau
perusahaan jasa kurir, dengan bukti pengiriman surat. Bukti
pengiriman surat tersebut dianggap sebagai tanda bukti dan
tanggal penerimaan SPT, sepanjang SPT tersebut lengkap,
atau
2) Elektronik (e-Filling), yaitu melalui online yang real time melalui
satu atau beberapa perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP)
yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, yang tata cara
penyampaiannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor 47/PJ/2008 tentang Tata Cara
Penyampaian Surat Pemberitahuan dan Penyampaian
Pemberitahuan Perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan
Secara Elektronik (e-Filling) melalui Perusahaan Penyedia Jasa
Aplikasi (ASP) dan perubahan/penggantinya.
b. Pelaporan dan penyampaian SPT Masa PPN 1111 secara manual
dapat dilakukan untuk SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk formulir
kertas (hard copy) atau dalam bentuk media elektronik.
c. Dalam hal SPT Masa PPN 1111 disampaikan dalam bentuk media
elektronik, Induk SPT Masa PPN 1111 harus tetap disampaikan dalam
bentuk formulir kertas (hard copy), ditandatangani dan disampaikan
secara manual.
d. Dalam hal SPT Masa PPN 1111 disampaikan secara e-Filling, Induk
SPT Masa PPN 1111 tidak perlu disampaikan secara manual dalam
bentuk formulir kertas (hard copy).

324 - Dasar-Dasar Perpajakan


LAMPIRAN

FAKTUR PAJAK STANDAR


NOTA RETUR
SPT MASA PPN dan PPnBM

Dasar-Dasar Perpajakan - 325


Lembar ke-1 :Untuk Pembeli BKP/Penerima JKP
sebagai bukti Pajak Masukan

FAKTUR PAJAK STANDAR

Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak :


Pengusaha Kena Pajak
Nama :
Alamat :
NPWP :
Tanggal Pengukuhan PKP :

Pembeli Barang Kena Pajak/Penerima Jasa Kena Pajak


Nama :
Alamat :
NPWP : NPPKP :

No. Harga Jual/Penggantian/Uang


Urut Nama Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak Muka/Termin
(Rp)

Harga Jual/Penggantian/Uang Muka/Termin *)


Dikurangi Potongan Harga
Dikurangi Uang Muka yang telah diterima
Dasar Pengenaan Pajak
PPN = 10% x Dasar Pengenaan Pajak

Pajak Penjualan Atas Barang Mewah

Tarif DPP PPn BM


…….. % Rp. ……………… Rp. ……………… ……………, tanggal ………………..
…….. % Rp. ……………… Rp. ………………
…….. % Rp. ……………… Rp. ………………
…….. % Rp. ……………… Rp. ………………
Jumlah Rp. ……………… …………………………………………………
Nama
Jabatan

*) Coret yang tidak perlu

326 - Dasar-Dasar Perpajakan


Lembar ke-2 :Untuk Penjual BKP/Pemberi JKP
sebagai bukti Pajak Keluaran

FAKTUR PAJAK STANDAR

Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak :


Pengusaha Kena Pajak
Nama :
Alamat :
NPWP :
Tanggal Pengukuhan PKP :

Pembeli Barang Kena Pajak/Penerima Jasa Kena Pajak


Nama :
Alamat :
NPWP : NPPKP :

No. Harga Jual/Penggantian/Uang


Urut Nama Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak Muka/Termin
(Rp)

Harga Jual/Penggantian/Uang Muka/Termin *)


Dikurangi Potongan Harga
Dikurangi Uang Muka yang telah diterima
Dasar Pengenaan Pajak
PPN = 10% x Dasar Pengenaan Pajak

Pajak Penjualan Atas Barang Mewah

Tarif DPP PPn BM


…….. % Rp. ……………… Rp. ……………… ……………, tanggal ………………..
…….. % Rp. ……………… Rp. ………………
…….. % Rp. ……………… Rp. ………………
…….. % Rp. ……………… Rp. ………………
Jumlah Rp. ……………… …………………………………………………
Nama
Jabatan

*) Coret yang tidak perlu

Dasar-Dasar Perpajakan - 327


NOTA RETUR
Nomor: 000

Atas Faktur : 000.000.00.00000000 Tanggal:


Pajak Nomor
Pembeli Barang Kena Pajak
Nama :
Alamat :
NPWP :

Kepada Penjual
Nama :
Alamat :
NPWP :

Harga
Satuan
No. Macam dan Jenis menurut Harga Jual
Kuantum
Urut BKP Faktur BKP (Rp)
Pajak
(Rp)

Jumlah Harga Jual BKP yang dikembalikan


PPN yang diminta kembali
PPnBM yang diminta kembali

Lembar ke-3: untuk KPP tempat Pembeli terdaftar (dalam hal Pembeli bukan PKP)

328 - Dasar-Dasar Perpajakan


AREA ST APLES AREA ST APLES AREA ST APLES AREA ST APLES AREA ST APLES AREA ST APLES AREA ST APLES AREA ST APLES AREA ST APLES

Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai FORMULIR 1111


(SPT MASA PPN)
J um la h Le m ba r S P T :
KEMENTRIAN KEUANGAN RI (Te rm a s uk La m pira n)

DIREKTORAT J ENDERAL P AJ AK Bacalah terlebih dahulu Buku Petunjuk Pengisian SPT Masa PPN. Beri tanda X dalam yang sesuai D iis i o le h P e t u g a s

NAMA PKP: NPWP :


ALAMAT : MASA : s.d - (m m -m m -yyyy) Thn Buku : s.d

TELEPON : HP : KLU : Pembetulan Ke : .. (……....……) Wajib PPn BM

I. PENYERAHAN BARANG DAN JASA DPP PPN


A. Terutang PPN :
1. Ekspor A. Rp. -
Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (7) UU Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 16 Tahun 2009, apabila SPT Masa yang Saudara sampaikan tidak

2. Penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri 1 Rp. - Rp. -

3. Penyerahan yang PPN-nya dipungut oleh Pemungut PPN 2 Rp. - Rp. -


4. Penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut 3 Rp. - Rp. -

5. Penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN 4 Rp. - Rp. -


Jumlah (I.A.1+I.A.2+I.A.3+I.A.4+I.A.5) Rp. - Rp. -

B. Tidak Terutang PPN Rp.


C. Jumlah Seluruh Penyerahan (I.A + I.B) Rp. -

II. PENGHITUNGAN PPN KURANG BAYAR/LEBIH BAYAR


A. Pajak Keluaran yang harus dipungut sendiri (Jumlah PPN pada I.A.2) 1 Rp. -
B. PPN Disetor Dimuka Dalam Masa Pajak Yang Sama Rp. -
C. Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan 5 Rp. -
D. PPN yang kurang atau (lebih) bayar (II.A - II.B - II.C) Rp. -
ditandatangani atau tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen yang ditetapkan, maka SPT Saudara dianggap tidak disampaikan.

E. PPN yang kurang atau (lebih) bayar pada SPT yang dibetulkan Rp. -
F. PPN yang kurang atau (lebih) bayar karena pembetulan (II.D - II.E) Rp. -
G. PPN yang kurang dibayar dilunasi tanggal - - (dd-mm-yyyy) NTPP:
H. PPN lebih bayar pada :
1.1 Butir II.D (Diisi dalam hal SPT Bukan Pembetulan) 1.2 Butir II.D atau Butir II.F (Diisi dalam hal SPT Pembetulan)

Oleh : 2.1 PKP Pasal 9 ayat (4b) PPN atau 2.2 Selain PKP Pasal 9 ayat (4b) PPN

diminta untuk : 3.1 Dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya atau Dikompensasikan ke Masa Pajak -
(mm-yyyy)
3.2 Dikembalikan (Restitusi)

Khusus Restitusi untuk PKP :


atau Pasal 17C KUP dilakukan dengan Prosedur biasa atau Pengembalian Pendahuluan

atau Pasal 17D KUP dilakukan dengan Prosedur biasa atau Pengembalian Pendahuluan

atau Pasal 9 ayat (4C) PPN dilakukan dengan Pengembalian Pendahuluan

III. PPN TERUTANG ATAS KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI


A. Jumlah Dasar Pengenaan Pajak : -
Rp ………………………..

B. PPN Terutang : -
Rp ………………………..

C. Dilunasi Tanggal : - - (dd-mm-yyyy) NTPP :

IV. PEMBAYARAN KEMBALI PAJAK MASUKAN BAGI PKP GAGAL BERPRODUKSI


A. PPN yang wajib dibayar kembali : Rp ………………………..
-
B. Dilunasi Tanggal : - - (dd-mm-yyyy) NTPP :

V. PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH


A. PPn BM yang harus dipungut sendiri 1 Rp

B. PPn BM Disetor Dimuka Dalam Masa Pajak Yang Sama Rp

C. PPn BM yang kurang atau (lebih) bayar (V.A – V.B) Rp -

D. PPn BM yang kurang atau (lebih) bayar pada SPT yang dibetulkan Rp

E. PPn BM yang kurang atau (lebih) bayar karena pembetulan (V.C – V.D) Rp -

F. PPn BM kurang dibayar dilunasi tanggal - - (dd-mm-yyyy) NTPP :


Perhatian

VI. KELENGKAPAN SPT


Formulir 1111 AB Formulir 1111 A2 Formulir 1111 B2 SSP PPN..........lembar Surat Kuasa Khusus
Formulir 1111 A1 Formulir 1111 B1 Formulir 1111 B3 SSP PpnBM......lembar , lembar

, - - (dd-mm-yyyy)
PERNYATAAN: Pengurus/Kuasa
DENGAN M ENYADARI SEPENUHNYA AKAN SEGALA Tanda tangan :
AKIBATNYA, SAYA M ENYATAKAN BAHWA APA YANG PKP
TELAH SAYA BERITAHUKAN DI ATAS BESERTA Nama Jelas :
LAM PIRAN-LAM PIRANNYA ADALAH BENAR, Kuasa Jabatan :
LENGKAP, JELAS DAN TIDAK BERSYARAT. Cap Perusahaan :

F.1.2.32.04

Dasar-Dasar Perpajakan - 329


REKAPITULASI PENYERAHAN DAN PEROLEHAN FORMULIR 1111 AB
(Bila tidak ada transaksi tidak perlu dilampirkan

NAMA PKP : 0 MASA : 0 s.d 0 - 0 (mm-mm-yyyy)

NPWP : 0 Pembetulan Ke : ( )

URAIAN DPP (Rupiah) PPN (Rupiah) PpnBM (Rupiah)


I. Rekapitulasi Penyerahan
A. Ekspor BKP Berwujud/BKP Tidak Berwujud/JKP A.1 -
B. Penyerahan Dalam Negeri
1. Penyerahan Dalam Negeri dengan Faktur Pajak yang Tidak Digunggung A.2 - - -

2. Penyerahan Dalam Negeri dengan Faktur Pajak yang Digunggung

330 - Dasar-Dasar Perpajakan


C. Rincian Penyerahan Dalam Negeri
Penyerahan yang PPN atau PPN dan PPn BM-nya harus dipungut sendiri ( Jumlah I.B.1 1
1.
dengan Faktur Pajak Kode 01,04,06 dan 09 ditambah I.B.2 )
Penyerahan yang PPN atau PPN dan PPn BM-nya dipungut oleh Pemungut PPN ( 2
2.
Jumlah I.B.1 dengan Faktur Pajak Kode 02 dan 03 )
( 3
3. Penyerahan yang PPN atau PPN dan PPn BM-nya tidak dipungut
Jumlah II dengan Faktur Pajak Kode 07 )
Penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN atau PPN dan PPn BM ( 4
4.
Jumlah II dengan Faktur Pajak Kode 08 )
II. Rekapitulasi Perolehan
Impor BKP, Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean dan Pemanfaatan JKP dari B.1
A. Luar Daerah Pabean Yang PM-nya Dapat Dikreditkan
B. Perolehan BKP/JKP dari Dalam Negeri Yang PM-nya Dapat Dikreditkan B.2
Impor atau Perolehan Yang PM-nya Tidak Dapat dikreditkan dan/atau Impor atau Perolehan Yang
C. Mendapat Fasilitas B.3

D. Jumlah Perolehan ( II.A + II.B + II.C) - - -

III. Penghitungan PM Yang Dapat dikreditkan


A. Pajak Masukan atas Perolehan yang Dapat Dikreditkan (II.A + II.B)
B. Pajak Masukan Lainnya
1. Kompensasi kelebihan PPN Masa Pajak sebelumnya
2. Kompensasi kelebihan PPN karena pembetulan SPT PPN Masa Pajak - (mm-yyyy)
3. Hasil Penghitungan Kembali Pajak Masukan yang telah dikreditkan sebagai penambah (pengurang) Pajak Masukan
4. Jumlah (III.B.1 + III.B.2 + III.B.3) -

AREA STAPLES AREA STAPLES AREA STAPLES AREA STAPLES AREA STAPLES AREA STAPLES AREA STAPLES
C. Jumlah Pajak Masukan yang Dapat Diperhitungkan( III.A + III.B.4) 5 -

D.1.2.32.07
DAFTAR EKSPOR BKP BERWUJUD, BKP TIDAK BERWUJUD, DAN ATAU JKP FORMULIR 1111 A1
(Bila tidak ada transaksi tidak perlu dilampirkan

NAMA PKP : 0 MASA : 0 s.d 0 - 0 (mm-mm-yyyy)

NPWP : 0 Pembetulan Ke : ( )

Nama Pembeli BKP /Penerima Manfaat BKP Tidak Dokumen Tertentu


No. DPP Keterangan
Berwujud/Penerima JKP Nomor Tanggal (dd-mm-yyy)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.

AREA STAPLES AREA STAPLES AREA STAPLES AREA STAPLES AREA STAPLES AREA STAPLES AREA STAPLES
24.
25.
JUMLAH A.1 -

Dasar-Dasar Perpajakan - 331


D.1.2.32.08
DAFTAR PAJAK KELUARAN ATAS PENYERAHAN DALAM NEGERI DENGAN FAKTUR PAJAK FORMULIR 1111 A2
(Bila tidak ada transaksi tidak perlu dilampirkan

NAMA PKP : 0 MASA : 0 s.d 0 - 0 (mm-mm-yyyy)

NPWP : 0 Pembetulan Ke : ( )

Faktur Pajak/Dokumen Tertentu/


Nama Pembeli BKP /Penerima Manfaat Nota Retur/Nota Pembatalan DPP PPN PpnBM Kode dan No. Seri Faktur Pajak
No. BKP Tidak Berwujud/Penerima JKP
NPWP/Nomor Paspor Yang Diganti/ Diretur
Tanggal (dd- (Rupiah) (Rupiah) (Rupiah)
Kode dan Nomor Seri m m -yyy)

1.
2.
3.
4.

332 - Dasar-Dasar Perpajakan


5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.

AREA STAPLES AREA STAPLES AREA STAPLES AREA STAPLES AREA STAPLES AREA STAPLES AREA STAPLES
24.
25.
JUMLAH A.2 -
- -
D.1.2.32.09
DAFTAR PAJAK MASUKAN YANG DAPAT ATAS IMPOR BKP DAN PEMANFAATAN BKP TIDAK BERWUJUD/JKP DARI LUAR DAERAH PABEAN FORMULIR 1111 B1
(Bila tidak ada transaksi tidak perlu dilampirkan

NAMA PKP : 0 MASA : 0 s.d 0 - 0 (mm-mm-yyyy)

NPWP : 0 Pembetulan Ke : ( )

Nama Penjual BKP/BKP Tidak Dokumen Tertentu DPP PPN PpnBM


No. Berwujud/Pemberi JKP
Keterangan
Tanggal (dd- (Rupiah) (Rupiah) (Rupiah)
Nomor m m -yyy)

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.

AREA STAPLES AREA STAPLES AREA STAPLES AREA STAPLES AREA STAPLES AREA STAPLES AREA STAPLES
24.
25.
JUMLAH B.1 - - -

D.1.2.32.10

Dasar-Dasar Perpajakan - 333


DAFTAR PAJAK MASUKAN YANG DAPAT DIKREDITKAN ATAS PEROLEHAN BKP/JKP DALAM NEGERI FORMULIR 1111 B2
(Bila tidak ada transaksi tidak perlu dilampirkan

NAMA PKP : 0 MASA : 0 s.d 0 - 0 (mm-mm-yyyy)

NPWP : 0 Pembetulan Ke : ( )

Faktur Pajak/Dokumen Tertentu/


Nama Penjual BKP/BKP Tidak Nota Retur/Nota Pembatalan DPP PPN PpnBM Kode dan No. Seri Faktur Pajak
No. Berwujud/Pemberi JKP
NPWP Yang Diganti/ Diretur
Kode dan Nomor Seri Tanggal (Rupiah) (Rupiah) (Rupiah)
(dd-m m -yyy)

1.
2.
3.
4.

334 - Dasar-Dasar Perpajakan


5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.

AREA STAPLES AREA STAPLES AREA STAPLES AREA STAPLES AREA STAPLES AREA STAPLES AREA STAPLES
24.
25.
JUMLAH B.2 - - -

D.1.2.32.11
Dasar-Dasar Perpajakan - 335
Daftar Pustaka

Direktorat Jenderal Pajak. 2009. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor


31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan,
Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak
Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan
Kegiatan Orang Pribadi.
______. 2009. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 32/PJ/2009 tentang
Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21
dan/atau Pasal 26 dan Bukti Pemotongan/Pemungutan Pajak
Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26.
______. 2009. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 38/PJ/2009 tentang
Bentuk Formulir Surat Setoran Pajak.
______. 2009. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 43/PJ/2009 tentang
Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Final (Pasal 4 ayat 2);
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 15, Pasal 21, Pasal
22, Pasal 23 dan/atau Pasal 26 serta Bukti Pemotongan/Pemungutannya.
______. 2009. Peraturan Direktur JenderalPajakNomor 22/PJ/2009 tentang
Pelaksanaan Pemberian Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung
Pemerintah atas Penghasilan Pekerja pada Pemberi Kerja yang
Berusaha pada Kategori Usaha Tertentu.
______. 2009. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2009 tentang
Perubahan atas Peraturan Dirjen Pajak No. 31/PJ/2009 tentang Pedoman
Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak
Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan
dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
______. 2012. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER/31/PJ/2012 tentang
Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan
Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26
Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
______. 2014. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2004 tentang
Tata Cara Pencabutan Pengusaha Kena Pajak Secara Jabatan Atas
Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai Tahun 2014.
Fitriandi, Primandita, dkk. 2010. Kompilasi Undang-Undang Perpajakan
Terlengkap. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Halim, Abdul. Bawono, Icuk Rangga. Dara, Amin. 2014. Perpajakan Konsep,
Aplikasi, Contoh, Dan Studi Kasus. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Ikatan Akuntan Indonesia. 2004. Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta: Penerbit
Salemba Empat.

336 - Dasar-Dasar Perpajakan


Kementrian Hukumdan HAM. 2009. Peraturan Pamerintah Nomor 15 Tahun 2009
tentang Pajak Penghasilan dan Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh
Koperasi Kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi.
______. 2009. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pajak
Penghasilan dan Bunga Obligasi.
______. 2009. Peraturan PemerintahNomor 17 Tahun 2009 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak
Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa Efek.
______. 2009. Peraturan PemerintahNomor 18 Tahun 2009 tentang Bantuan atau
Sumbangan Termasuk Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya
Wajib yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan.
______. 2009. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pajak
Penghasilan atas Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak
Orang Pribadi Dalam Negeri.
______. 2013. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh
Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Usaha Tertentu.
Kementerian Keuangan. 2009. PeraturanMenteri Keuangan Nomor
96/PMK.03/2009 tentang Jenis-Jenis Harta yang Termasuk dalam
Kelompok Harta Berwujud Bukan Bangunan untuk Keperluan
Penyusutan.
______. 2009. Peraturan Menteri Keuangan Nomor43/PMK.03/2009 tentang
Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah atas Penghasilan
Pekerja pada Kategori Usaha Tertentu.
______. 2010. Peraturan Menteri Keuangan Nomor154/PMK.03/2010 tentang
Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan
Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan Bidang Impor atau
Kegiatan Usaha di Bidang Lain.
______. 2010. Peraturan Menteri Keuangan Nomor15/PMK.03/2010 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2008
tentang Penetapan Organisasi-Organisasi Internasional dan Pejabat-
Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional yang Tidak Termasuk Subjek
Pajak Penghasilan Neto.
______. 2012. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 224/PMK.011/2012 tentang
Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan
Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha
di Bidang Lain.
______. 2012. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.011/2012 tentang
Penyusutan Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak.
______. 2012. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 219/PMK.011/2012 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2009

Dasar-Dasar Perpajakan - 337


tentang Pembentukan atau Penumpukan Dana Cadangan yang Boleh
Dikurangkan sebagai biaya.
KementerianKeuangan. 2013. Peraturan Menteri KeuanganNomor
107/PMK.01/2013 tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran, dan
Pelaporan PPh dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak
yang Memiliki Peredaran Usaha Tertentu.
Kementrian Sekretariat Negara. 2008. Undang-UndangNomor 28 Tahun 2007
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
______. 2009. Undang-UndangNomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Kesit, Bambang. 2010. Teknik RekonsiliasiFiskal Untuk Menghitung PPh Badan.
Modul. Prodi Akuntansi-feuii.
Mardiasmo. 2011. Perpajakan. Edisi Revisi. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Purwono, Herry. 2010. Dasar-Dasar Perpajakan dan Akuntansi Pajak. Jakarta.
Penerbit Erlangga,.
Resmi, Siti. 2014. Perpajakan Teori dan Kasus, Edisi Kesembilan.
Jakarta.Salemba Empat.
Tjahyono, Achmad, dan Husein, Muhammad F. 2005. Perpajakan. Yogyakarta:
UPP AMP YKPN.
Utomo, Dwiarso, St. Setiawanta, Yulita dan Yulianto, Agung. 2011. Perpajakan
Aplikasi dan Terapan. Yogyakarta. Penerbit ANDI.
www. pajak.go.id
www.ortax.co.id

338 - Dasar-Dasar Perpajakan


Indeks

A S
Ajaran formil, 341 Stelsel pajak, 6
Surat Paksa, 15, 34, 35, 38, 39
B Surat Setoran Pajak, 15, 26, 27, 28,
254, 265, 266, 294, 337
Bea materai, 2, 12
Surat Tagihan Pajak, 15, 29, 30, 33,
34, 35
C
Cost Insurance and Freight (CIF), 197 T
Tax Treaty, 247
D
Daluwarsa, 35 W
Deductible Expenses, 100, 106
Warisan, 96, 97, 99, 271

E
Z
Ekspor, 281, 282, 284, 285, 289, 290,
Zakat, 124, 338, 343
305, 341

F
Fiskus, 341
Fungsi budgetair, 2

I
Indeks, 340

N
Nota retur, 303, 304

P
Penanggung pajak, 5
Penyidik, 16, 37, 38

R
Retribusi, 2
Royalti, 98, 204, 205, 246, 247, 271,
342

Dasar-Dasar Perpajakan - 339


Glossarium

 Ahli pajak adalah seseorang yang memiliki pengetahuan ataupun


kemampuan luas dalam bidang perpajakan.
 Ajaran formil adalah suatu ajaran yang menyatakan bahwa utang pajak
timbul dikarenakan adanya ketetapan pajak dari pemerintah atau fiskus.
 Ajaran materiil adalah suatu ajaran yang menyatakan bahwa utang pajak
timbul karena Undang Undang dan karena ada sebab-sebab yang
mengakibatkan seseorang atau suatu pihak dikenakan pajak, yaitu karena
perbuatan, keadaan dan peristiwa yang dapat menimbulkan utang pajak.
 Badan usaha adalah kesatuan yuridis (hukum), teknis, dan ekonomis yang
bertujuan mencari laba atau keuntungan
 Bentuk usaha tetap bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi
yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih
dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia
 Bunga obligasi adalah imbalan yang diterima dan/atau diperoleh pemegang
obligasi dalam bentuk bunga dan/atau diskonto.
 Bagian tahun pajak Bagian dari jangka waktu 1(satu) Tahun Pajak bisa 1
(satu) bulan Kalender atau beberapa bulan Kalender.
 Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang kena cukai.
 Dasar hukum adalah norma hukum yang menjadi landasan bagi setiap
tindakan hukum oleh subyek hukum baik orang perorangan ataupun yang
berbentuk badan hukum. Berikut ini akan diuraikan beberapa hal mengenai
dasar hukum.
 Domisili adalah adalah tempat seseorang yang harus dianggap selalu hadir
dalam hubungannya dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban.
 Ekspor adalah adalah proses transportasi barang atau komoditas dari suatu
negara ke negara lain
 Faktur pajak bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak
(PKP) karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau penyerahan Jasa
Kena Pajak (JKP) atau oleh Ditjen Bea dan Cukai karena import BKP.
 Fiskus adalah Pejabat Pajak yang memiliki wewenang, kewajiban, dan
larangan dalam rangka pelaksanaan peraturan perundang-undangan
perpajakan
 Hutang pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi
administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan yang tercantum dalam
surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
 Harta kekayaan adalah kekayaan yang dimiliki oleh perusahaan dalam
berbagai bentuk baik wujud dan tak berwujud dan terdiri atas beberapa jenis
(akun-akun) tertentu.
 Hak milik adalah hak yang turun temurun karena hak milik dapat diwariskan
oleh pemegang hak kepada ahli warisnya.

340 - Dasar-Dasar Perpajakan


 Jasa kena pajak adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu
perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang/ fasilitas/
kemudahan/ hak tersedia untuk dipakai, termasuk menghasilkan barang
berdasarkan pesanan dengan bahan dan petunjuk pemesan, yang dikenakan
pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
 Jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan
konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa
konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi.
 Kantor Pelayanan Pajak unit kerja dari Direktorat Jenderal Pajak yang
melaksanakan pelayanan di bidang perpajakan kepada masyarakat baik yang
telah terdaftar sebagai Wajib Pajak maupun belum, di dalam lingkup wilayah
kerja Direktorat Jenderal Pajak
 Koreksi Fiskal adalah penyesuaian yang harus dilakukan oleh wajib pajak
sebelum menghitung Pajak Penghasilan (PPh) bagi wajib pajak badan dan
wajib pajak orang pribadi (yang menggunakan pembukuan dalam menghitung
penghasilan kena pajak).
 Modal Ventura adalah suatu investasi dalam bentuk pembiayaan berupa
penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan swasta sebagai pasangan
usaha (investee company) untuk jangka waktu tertentu
 Obyek pajak adalah segala sesuatu yang karena undang-undang dapat
dikenakan pajak. Kata dapat dikenakan pajak mengandung makna bahwa
objek pajak boleh atau tidak boleh kena pajak.
 Pajak Penghasilan adalah Pajak yang dikenakan atas penghasilan berupa
gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan
dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan
kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi .
 Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas setiap
pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen
ke konsumen
 Peredaran bruto adalah Semua penghasilan bruto yang diterima atau
diperoleh dari kegiatan usaha sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan baik yang berasal dari Indonesia
maupun luar Indonesia.
 Restitusi pajak adalah Pengembalian kelebihan pembayaran pajak terjadi
apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar
daripada jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak
yang tidak seharusnya terutang, dengan catatan WP tidak punya hutang
pajak lain.
 Royalti adalah jumlah yang dibayarkan untuk penggunaan properti, seperti
hak paten, hak cipta, atau sumber alam; misalnya, pencipta mendapat
bayaran royalti ketika ciptaannya diproduksi dan dijual; penulis dapat
memperoleh royalti ketika buku hasil karya tulisannya dijual; pemilik tanah
menyewakan tanahnya ke perusahaan minyak atau perusahaan
penambangan akan memperoleh royalti atas dasar jumlah minyak yang
dihasilkan dan tanah tersebut.
 Self Assessment System adalah pemungutan pajak yang memberi
wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk

Dasar-Dasar Perpajakan - 341


menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya
pajak yang harus dibayar.
 Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat yang oleh wajib pajak digunakan
untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak yang terutang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpjakan.
 Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan (subjek pajak) yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undanganperpajakan ditentukan untuk
melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong
pajak tertentu. Wajib pajak bisa berupa wajib pajak orang pribadi atau wajib
pajak badan.
 Zakat adalah adalah jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang
yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak
menerimanya (fakir miskin dan sebagainya) menurut ketentuan yang telah
ditetapkan oleh syariat Islam

342 - Dasar-Dasar Perpajakan


Profil Penulis

J
uli Ratnawati lahir di Solo tahun 1974, adalah staf
pengajar di Universitas Dian Nuswantoro Semarang
dengan kompetensi mata kuliah perpajakan.
Menyelesaikan pendidikan strata satu di Universitas islam
Indonesia Yogyakarta. Lulus program strata dua Magister
Sains Akuntansi di Universitas Diponegoro Semarang.
Mengajar dari tahun 2000 sampai sekarang. Penulis telah
beberapa kali mendapat hibah penelitian dari dalam negeri
Dikti maupun dari luar negeri dengan topik penelitian di
bidang perpajakan. Penulis juga telah memperoleh sertifikat HKI berupa Hak Cipta
dalam kaitannya dengan penemuan software penghitungan pajak bagi UKM.

R
etno Indah Hernawati lahir di Pati tahun 1970,
adalah staf pengajar di Universitas Dian Nuswantoro
Semarang dengan kompetensi mata kuliah
akuntansi. Menyelesaikan pendidikan strata satu di
Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Lulus program strata
dua Magister Sains Akuntansi di Universitas Diponegoro
Semarang. Sekarang sedang menempuh program strata
tiga di Universitas Diponegoro Semarang. Mengajar dari
tahun 1995 sampai sekarang. Penulis mendapat hibah penelitian dari dalam
negeri Dikti dengan topik penelitian di bidang perpajakan.

Dasar-Dasar Perpajakan - 343

Anda mungkin juga menyukai