(Citra Allah) Sentralitas tema imago Dei ada dalam Kej 1:26; 5:1-3; 9:6. Kej 1:26: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita” • Manusia memiliki keserupaan moral dengan Allah, karena mereka tidak berdosa dan kudus, memiliki hikmat, hati yang mengasihi dan kehendak untuk melakukan yang benar (bd. Ef 4:24). Mereka hidup dalam persekutuan pribadi dengan Allah yang meliputi ketaatan moral (Kej 2:16-17) dan hubungan yang intim. Kej 5:1-3 “.... Pada waktu manusia itu diciptakan oleh Allah, dibuat-Nyalah dia menurut rupa Allah;... Ia memberkati mereka dan memberikan nama "Manusia" kepada mereka, pada waktu mereka diciptakan...., ia (Adam) memperanakkan seorang laki-laki menurut rupa dan gambarnya, ...” Kej 9:6 “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia , sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri”. • Dengan menekankan bahwa manusia telah diciptakan menurut gambar-Nya (Kej 1:26), maka nyawa mereka itu kudus di hadapan-Nya. Tema ini dipandang sebagai kunci untuk pemahaman alkitabiah tentang sifat manusia dan untuk semua pandangan antropologi alkitabiah dalam Perjanjian Lama dan Baru. Imago Dei merupakan definisi manusia misteri manusia tidak dapat dipahami secara terpisah dari misteri Allah. "Imago Dei" dalam Kitab Suci Perjanjian Lama • Di dalam kejadian 1:26 “Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita”. • Kata “menjadikan” dalam ayat tersebut berasal dari kata ’עׂשהasah yang berarti “menjadikan” atau “membuat” dengan memakai bahan. • Kata tersebut berbicara mengenai tubuh manusia yang diciptakan oleh Allah dengan menggunakan bahan yaitu debu tanah, “ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah” (Kej. 2:7a) • Kata בראbara’ yang berarti “menciptakan” dengan tidak memakai bahan, kata tersebut mengacu kepada jiwa manusia yang diciptakan Allah tanpa memakai bahan melainkan Allah langsung menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup (Kej. 2:7b). • Kata berikut ialah yatsar yang berarti “membentuk”, bukan bertumbuh dan bertambah-tambah (Kej. 2:7). • Jadi dari ketiga kata tersebut dapat disimpulkan bahwa teori evolusi yang mengatakan “suatu jenis berkembang dan berubah sampai menjadi jenis baru yang lebih tinggi tingkatannya” merupakan kekeliruan karena Allah sendiri yang telah menciptakan manusia secara langsung baik dengan menggunakan bahan maupun tanpa menggunakan bahan. Makna Gambar dan Rupa dalam Kejadian 1:26-28 • Kata tselem juga berarti sia-sia, kosong, gambar, patung, kesan, bayang-bayang, persamaan. • Pengertian dasar dari kata tselem adalah melindungi, membayangi, menaungi. • Dalam budaya Timur Tengah, tselem digunakan untuk menyatakan suatu bentuk pemberhalaan terhadap suatu bentuk gambar atau patung. Suatu figur yang represntatif untuk diberhalakan. • Penggunaan tselem dalam PL menjelaskan tentang: • gambar dalam konsep penciptaan (Kej. 1:26, 27; 9:6), • gambar dalam konsep yang dilahirkan manusia (Kej. 5:3), • penekanan tentang siapa yang membunuh manusia, darahnya akan tertumpah sebab Allah membuat manusia menurut gambar-Nya (Kej. 9:5), • patung-patung tuangan yang menjadi berhala (Bil. 33:52), • gambar binatang yang diberhala (I Sam. 6:5, 11), • patung-patung sembahan (II Raja 11:18; II Taw. 23:17; Yeh. 7:20; 16:17; Amos 5:26), • gambar orang (Yeh. 23:14), • hidup manusia yang hampa (Mzr. 39:7). • Penggunaan demut dalam PL menjelaskan tentang: • rupa dalam konsep ciptaan (Kej. 1:26; 5:1), • rupa dalam konsep keturunan yang dihasilkan manusia (Kej. 5:3), • bagan (II Raja 16:10), • gambar yang mirip dengan asli, kiasan (II Taw. 4:3), • penyerupaan yang menyatakan kiasan (Mzr. 58:5), • seperti yang menyatakan penggambaran (Yes. 13:4), • serupa yang menyatakan perbandingan yang tidak sama (Yes. 40:18), • menyerupai yang menyatakan kemiripan, atau nampaknya/seperti (Yeh. 1:5, 10, 13, 16, 22, 26; 8:2; 10:1, 10, 23:15; Dan. 10:18), • berbentuk seperti (Yeh. 10:21). • Manusia pada dasarnya adalah makhluk ciptaan Allah yang paling istimewa: • Allah menciptakan manusia secara langsung, Allah membentuk manusia itu dengan memakai tangan Allah sendiri, “ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup” (Kej. 2:7). • Tidak sama dengan penciptaan makhluk lainnya Allah berfirman tanpa Allah membentuk langsung. • Allah juga memberikan kuasa kepada manusia atas mahkluk ciptaan yang lain (Kej. 1:26,28) bukti bahwa manusia itu berbeda dari makhluk ciptaan yang lainnya. • Hal yang paling membedakan manusia dengan makhluk ciptaan yang lain manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. • Di dalam bahasa Ibrani tidak ada kata sambung di antara kedua ungkapan tersebut; teks Ibrani hanya berbunyi “marilah Kita menjadikan manusia menurut gambar rupa Kita.” • Septuaginta maupun Vulgata memasukkan kata “dan” sehingga beri kesan bahwa “gambar” dan “rupa” mengacu kepada dua hal yang berbeda. • Pada kenyataannya kedua kata tersebut tidak memiliki perbedaan yang begitu jauh melainkan kedua kata tersebut memiliki makna yang hampir sama, keduanya saling melengkapi satu sama lainnya. • Terbukti kata tersebut dipakai bergantian di dalam penggambaran penciptaan manusia: • Dalam Kej. 1:27 memakai kata gambar “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakanNya,” • Dalam Kej. 5:1 di gunakan kata rupa, “dibuatNyalah dia menurut rupa Allah.” • Di dalam Kej. 1:26 dan Kej. 5:3 mengandung kedua kata tersebut tetapi dengan urutan yang berbeda, ada yang kata gambar yang terlebih dahulu dan ada pula kata rupa yang terlebih dahulu. • Kata Ibrani untuk gambar ialah צלםtselem yang diturunkan dari akar kata yang bermakna “mengukir” atau “memotong.” • Kata ini bisa dipakai untuk mendeskripsikan ukiran berbentuk binatang atau manusia. Maka ketika diaplikasikan pada penciptaan manusia dalam Kejadian 1, kata tselem ini mengindikasikan bahwa manusia menggambarkan Allah manusia merupakan suatu representasi Allah. • Kata Ibrani untuk rupa ialah דמותdamuth yang berarti “menyerupai”. • Jadi, orang bisa berkata bahwa kata damuwth di Kejadian 1 mengidentifikasikan bahwa gambar tersebut juga merupakan keserupaan, “gambar yang menyerupai Kita.” • Kedua kata itu memberi tahu kita bahwa bahwa manusia mempresentasikan Allah dan menyerupai Dia dalam hal-hal tertentu. “Allah menciptakan manusia menurut citra-Nya, menurut citra Allah diciptakan-Nya dia: laki-laki dan perempuan diciptakan- Nya mereka.” (Kej. 1: 27) Manusia diciptakan menurut citra Allah, manusia menduduki tempat khusus dalam ciptaan, laki-laki dan perempuan, diciptakan satu dalam jiwa-badan, dan Allah menjadikannya sahabat-Nya. Manusia yang diciptakan dalam imago Dei sebagian mencerminkan pemikiran Timur Kuno, yang menurutnya raja adalah gambar Allah di Bumi. Penafsiran Alkitab berbeda, dalam arti memperluas konsep gambar Allah kepada semua orang. Alkitab berbeda jauh dari pemikiran Timur dalam hal melihat manusia diarahkan terutama bukan untuk menyembah dewa- dewa, tetapi terhadap budidaya Bumi – menjaga dan memelihara alam semesta (lih. Kej 2:15). Dengan mengaitkan langsung peribadahan dengan kultivasi (kultus), Alkitab memahami bahwa aktivitas manusia pada enam hari dalam seminggu ditahbiskan pada hari Sabat, hari berkat dan pengudusan. Maka: • Pertama, manusia seutuhnya yang diciptakan dalam gambar Allah. • Perspektif ini tidak termasuk interpretasi yang membuat imago Dei berada dalam satu atau aspek lain dari sifat manusia (misalnya, dalam kebenarannya atau dalam kecerdasannya), atau dalam salah satu kualitas atau fungsinya (misalnya, sifat seksualnya atau dominasinya di bumi). • Menghindari monisme dan dualisme, Alkitab menyajikan visi tentang manusia di mana dimensi spiritual dilihat bersama dengan dimensi fisik, sosial dan historis manusia. • Kedua, kisah penciptaan dalam Kejadian menyoroti bagaimana manusia tidak diciptakan sebagai individu yang terisolasi: «Tuhan menciptakan manusia menurut gambarnya; dalam gambar Allah ia menciptakannya; laki-laki dan perempuan ia menciptakan mereka“ (Kej 1, 27). • Tuhan menempatkan manusia pertama dalam hubungan satu sama lain, masing-masing dengan pasangan dari lawan jenis. Alkitab menyatakan bahwa manusia ada dalam hubungan dengan orang lain, dengan Tuhan, dengan dunia dan dengan dirinya sendiri. • Menurut konsep ini, manusia bukanlah individu yang terisolasi, tetapi seseorang: suatu makhluk yang pada dasarnya relasional karakter relasional yang fundamental dari imago Dei itu sendiri merupakan struktur ontologisnya dan merupakan dasar untuk pelaksanaan kebebasan dan tanggung jawab. Kejadian 2:4-25 Pusat perhatian dari kisah penciptaan ini adalah manusia.
1. Penciptaan manusia (7)
Penciptaan manusia berasal dari tanah. Adamo – Adamah: manusia (M) melukiskan kelemahan, kerawanan dan keterbatasan manusia pada umumnya. Hal ini meneguhkan ketergantungan manusia pada Allah dan perlunya persekutuan dg Allah. Inilah arti peniupan Roh Allah dalam diri manusia. 2. Penempatan manusia dalam “Taman” (8.15) Penempatan ini mau menunjukan persekutuan yg intim antara Allah dan manusia sebab “taman” adalah simbol keintiman yg tenang dan bersifat membangun, antara ciptaan dan pencipta. Penempatan manusia dalam “taman” tidak hanya menggambarkan situasi bahagia manusia tanpa beban dosa – yg berbeda dg keadaan setelah kejatuhan dalam dosa – tetapi juga melukiskan Allah terus menerus mencurahkan perhatianNya dan berkatNya kepada manusia (intimitas dg Allah). Dengan demikian menjadi jelaslah, bahwa alasan rencana penciptaan Allah adalah cinta Allah, dan bahwa penciptaan merupakan mata rantai pertama dari rahmat sejarah keselamatan (ekonomia keselamatan – oikos: rumah; nomos: mengatur, mengelola). 3. Berkat dan tugas untuk mengusahakan dan memelihara “taman” (15) Penciptaan manusia dari tanah liat menggambarkan hubungan manusia yg erat dengan alam semesta. Manusia tidak ditugaskan untuk menguasai atau memanipulasi, tetapi mengusahakan dan memelihara menjaga memelihara kehidupan. Tugas memelihara menegaskan pentingnya keharmonisan antara manusia dan alam semesta. Manusia dipanggil untuk menjaga dan memelihara kehidupan dalam alam semesta. 4. Hidup dibawah hukum Allah (17)
Keakraban hubungan Allah dan manusia mengikutsertakan adanya peraturan
atau hukum yg paling mendasar yg harus diikuti oleh manusia. Manusia diminta untuk hidup di bawah hukum Allah dalam menentukan apa yg baik dan yg jahat. Kebebasan manusia dihargai tetapi pelaksanaan kekebasan itu harus mengenal batas yg ditetapkan oleh Allah. Pelanggaran atas hukum atau peraturan Allah berakibat putusnya hubungan Allah dan manusia, yaitu kematian. Apa yang baik dan yg jahat hanya Allah yang mengetahui dan yg menetapkan. Ketika manusia ingin tahu yg baik dan yg jahat, berarti manusia mengingkari dirinya sebagai ciptaan dan ingin menyamai dengan penciptanya. 5. Penciptaan wanita (18-25) Penciptaan wanita harus dimengerti dalam terang ay. 18, yakni kebutuhan manusia untuk berkumpul dengan sesama manusia. Pembedaan seksual yg diungkapkan harus dimengerti secara luas dalam arti kebutuhan sosial manusia. Seksualitas manusiawi mengatasi arti sempit kelamin, menjadi suatu tanda efektif akan panggilan manusia untuk mencintai sesamanya, dan pada akhirnya mencintai Allah yg bisa menyempurnakannya. Pria dan wanita diciptakan sepadan, mempunyai martabat yg sama. Pembedaan seksual tidak berarti pembedaan martabat. Kesepadanan ini tidak dengan ciptaan yg lain, hanya dg sesama manusia. Untuk itu, manusia diberi kuasa untuk “menamai”, artinya manusia memiliki otoritas dan hak kemilikan yg diberikan Allah kepada manusia atas ciptaan lain. Menurut Perjanjian Baru: Gambar yang dibuat hadir dalam Perjanjian Lama harus diselesaikan dalam imago Christi . Dua elemen khas muncul dalam pengembangan Perjanjian Baru dari tema ini: Karakter kristologis dan Trinitarian imago Dei , dan Peran mediasi sakramental dalam pembentukan imago Christi . Karena gambar Allah yang sempurna adalah Kristus sendiri ( 2Kor 4 : 4; Kol 1:15; Ibr 1 : 3), manusia harus menjadi serupa dengannya ( Rm. 8:29) untuk menjadi anak Bapa melalui kuasa Roh Kudus ( Rm. 8:23). Untuk "menjadi" gambar Allah, manusia harus secara aktif berpartisipasi dalam transformasi sesuai dengan model gambar Allah ( Kol. 3:10), yang memanifestasikan identitasnya melalui gerakan historis dari inkarnasiNya ke kemuliaan. Menurut model yang pertama kali digambarkan oleh Putera, gambar Allah dalam setiap manusia dibentuk oleh jalan historisnya sendiri yang dimulai dari penciptaan, melewati pertobatan dari dosa, menuju keselamatan dan pemenuhannya. Sama seperti Kristus memanifestasikan keilahinya atas dosa dan kematian melalui sengsara dan Kebangkitan-Nya, demikian juga setiap orang mencapai keilahiannya melalui Kristus dalam Roh Kudus - bukan hanya kedaulatan atas bumi dan binatang (seperti Perjanjian Lama mengatakan) - tetapi terutama pada dosa dan kematian. Menurut Perjanjian Baru, transformasi menjadi gambar Kristus dilakukan melalui sakramen, pertama sebagai efek dari pesan Kristus ( 2 Kor 3:18 – 4:6) dan baptisan ( 1 Kor 12:13). Persekutuan dengan Kristus berasal dari iman kepada-Nya dan dari baptisan, yang melaluinya seseorang mati bagi manusia lama melalui Kristus ( Gal 3: 26-28) dan mengenakan dirinya sendiri pada manusia baru ( Gal 3 : 27; Rom 13,14). Tobat, Ekaristi, dan sakramen-sakramen lain mengkonfirmasi dan menguatkan kita dalam transformasi radikal ini, yang terjadi sesuai dengan model Sengsara, Kematian, dan Kebangkitan Kristus. Diciptakan dalam gambar Allah dan disempurnakan dalam gambar Kristus berkat kuasa Roh Kudus dalam sakramen- sakramen, kita dipeluk dalam pelukan penuh kasih oleh Bapa. • Visi alkitabiah tentang gambar Allah terus menduduki tempat yang menonjol dalam antropologi Kristiani Bapa-bapa Gereja dan dalam teologi berikutnya, sampai permulaan era modern. Sebagai peragaan sentralitas tema ini, kita melihat bagaimana orang Kristen pertama mencoba menafsirkan larangan alkitabiah tentang representasi artistik Allah (lih. Kel 20,2-3; Ul 27.15) dalam terang Inkarnasi. • Faktanya, misteri Inkarnasi telah menunjukkan kemungkinan mewakili manusia yang diciptakan Tuhan dalam realitas manusiawi dan historisnya. Argumen bahwa dalam perselisihan ikonoklastik dari abad VII – VIII digunakan untuk mempertahankan representasi artistik dari Sabda Inkarnasi dan peristiwa keselamatan didasarkan pada pemahaman mendalam tentang persatuan hipostatik, yang menolak untuk memisahkan yang ilahi dari "gambar“ manusia. Teologi Patristik dan Abad Pertengahan • Sebagian besar perwakilan tradisi tidak sepenuhnya mematuhi visi alkitabiah yang mengidentifikasi gambar dengan totalitas manusia. • Irenaeus antara gambar dan rupa, yang menurutnya "gambar" (meteksis ) menunjukkan partisipasi ontologis dan "rupa" (mimesis ) transformasi moral ( Adv. Haer.V, 6, 1; V, 8, 1; V, 16, 2). • Tertullianus, Tuhan menciptakan manusia menurut gambarnya dan mentransfusikan nafas vitalnya sebagai rupa-Nya. Sementara gambar tidak pernah dapat dihancurkan, kesamaan dapat hilang melalui dosa ( Bapt. 5, 6. 7). • St Agustinus tidak menjadikan pembedaan ini sebagai miliknya, tetapi menyajikan versi imago Dei yang lebih personalistis, psikologis, dan eksistensial . Gambar Allah dalam manusia memiliki struktur triniter, yang mencerminkan struktur tiga bagian dari jiwa manusia (roh, kesadaran diri dan cinta) atau tiga aspek jiwa (ingatan, kecerdasan, dan kemauan). Gambar Allah dalam manusia mengarahkannya kepada Allah dalam doa, pengetahuan, dan cinta (Pengakuan I, 1, 1). • Thomas Aquinas: imago Dei memiliki sifat sejarah melewati tiga tahap: imago creationis ( naturae ), imago recreationis ( gratiae ) dan imago similitudinis ( gloriae ) Imago Dei adalah dasar partisipasi dalam kehidupan ilahi. Gambar Allah diwujudkan terutama dalam tindakan kontemplasi dalam kecerdasan. • Bonaventura: Citra direalisasikan terutama melalui kehendak dalam tindakan religius manusia ( Sent. II d. 16 a. 2 q. 3). • Meister Eckhart: Tetap dalam visi mistis yang sama seperti Bonaventura, tetapi dengan keberanian yang lebih besar, cenderung untuk mengultualisasikan imago Dei , menempatkannya di puncak jiwa dan melepaskannya dari tubuh ( Quint. I, 5, 5-7; V, 6. 9 s). "Imago Dei" dalam Konsili Vatikan II • Menarik dengan tema gambar Allah, dalam Gaudium et spes Konsili menegaskan martabat manusia seperti yang diajarkan dalam Kejadian 1,26 dan dalam Mazmur 8,6 (GS, n. 12). Dalam visi konsili, imago Dei terdiri atas orientasi mendasar manusia terhadap Tuhan, fondasi martabat manusia dan hak-hak pribadi manusia yang tidak dapat dicabut. Karena setiap manusia adalah gambar Allah, tidak ada yang dapat dipaksa untuk tunduk pada sistem atau tujuan apa pun di dunia ini. Kedaulatan manusia dalam kosmos, kapasitasnya untuk keberadaan sosial, dan pengetahuan tentang Tuhan dan cinta untuk Tuhan adalah semua elemen yang menemukan akarnya dalam kenyataan bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah. • GS, 12 “Adapun kitab suci mengajarkan bahwa manusia diciptakan “menurut gambar Allah”; ia mampu mengenal dan mengasihi Penciptanya; oleh Allah manusia ditetapkan sebagai tuan atas semua makhluk di dunia ini, untuk menguasainya dan menggunkannya sambil meluhurkan Allah. “Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau menjadikannya berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya” (Mzm 8:5-7). Tetapi Allah tidak menciptakan manusia seoarng diri: sebab sejak awal mula “Ia menciptakan mereka pria dan wanita” (Kej 1;27). Rukun hidup mereka merupakan bentuk pertama persekutuan antar pribadi. Sebab dari kodratnya yang terdalam manusia bersifat sosial; dan tanpa berhubungan dengan sesama ia tidak dapat hidup atau mengembangkan bakat-pembawaannnya. Maka, seperti kita baca pula dalam Kitab suci, Allah melihat “segala sesuatu yang telah dibuat-Nya, dan itu semua amat baiklah adanya” (Kej 1:31). • Dasar pengajaran konsili ada penentuan kristologis dari gambar: • Kristuslah yang merupakan gambar Allah yang tidak kelihatan ( Kol 1:15) (GS, 10). • Sang Anak adalah manusia sempurna yang memulihkan kemiripan dengan putra dan putri Adam, terluka oleh dosa orang tua pertama (GS, 22). • Terungkap oleh Allah yang menciptakan manusia menurut gambarnya, Anaklah yang memberikan jawaban kepada manusia atas pertanyaan tentang makna hidup dan mati (GS, n. 41). • Konsili juga menyoroti struktur gambar Tritunggal: • Sesuai dengan Kristus ( Rm 8:29) dan melalui karunia Roh Kudus ( Rm 8,23), seorang pria baru diciptakan, mampu memenuhi perintah baru (GS, 22). • Orang-orang kuduslah yang sepenuhnya ditransformasikan menjadi gambar Kristus (lih. Kor 3:18); di dalamnya, Tuhan memanifestasikan kehadiran dan rahmat-Nya sebagai tanda kerajaan-Nya (GS, 24). • Mulai dari doktrin gambar Allah, Konsili mengajarkan bahwa aktivitas manusia mencerminkan kreativitas ilahi yang mewakili modelnya (GS, 34) dan bahwa hal itu harus berorientasi pada keadilan dan persekutuan untuk mempromosikan pembentukan suatu satu-satunya keluarga di mana setiap orang dapat menjadi saudara dan saudari (GS, 24). • Teologi Imago Dei yang muncul dari Vatikan II juga tercermin dalam teologi kontemporer, di mana perkembangan telah terjadi di berbagai bidang. Para teolog: teologi imago Dei menerangi hubungan antara antropologi dan kristologi. • Tanpa menyangkal rahmat unik yang diberikan kepada umat manusia melalui Inkarnasi mengakui nilai intrinsik dari penciptaan manusia dalam gambar Allah. • Kemungkinan yang Kristus buka bagi manusia tidak berarti penindasan realitas manusia sebagai makhluk, tetapi transformasi dan realisasinya sesuai dengan gambar sempurna Anak. • pemahaman baru tentang hubungan antara Kristologi dan antropologi, ada juga pemahaman yang lebih besar tentang karakter dinamis dari imago Dei. Tanpa menyangkal karunia yang diwakili oleh ciptaan asli manusia dalam gambar Allah dalam terang sejarah manusia dan evolusi budaya manusia, imago Dei dapat dianggap, dalam arti nyata, masih dalam proses. Teologi imago Dei juga membangun hubungan lebih lanjut antara antropologi dan teologi moral dengan menunjukkan bagaimana manusia, dalam keberadaannya, memiliki partisipasi dalam hukum ilahi. Hukum kodrat ini mengarahkan manusia untuk mencari kebaikan dalam tindakan mereka. Imago Dei memiliki dimensi teleologis dan eskatologis yang mendefinisikan manusia sebagai homo viator. berorientasi pada parousia dan pemenuhan rencana ilahi bagi alam semesta sebagaimana diwujudkan dalam sejarah rahmat dalam kehidupan setiap manusia dan dalam sejarah seluruh umat manusia. • GS 22 “Sesungguhnya hanya dalam misteri Sabda yang menjelmalah misteri manusia benar- benar menjadi jelas. Sebab Adam, manusia pertama, menggambarkan Dia yang akan datang, yakni Kristus Tuhan. Kristus, Adam yang Baru, dalam perwahyuan misteri Bapa serta cinta kasih-Nya sendiri, sepenuhnya menampilkan manusia bagi manusia, dan membeberkan kepadanya penggilannya yang amat luhur. Maka tidak mengherankan pula, bahwa dalam Dia kebenaran-kebenaran yang diuraikan diatas mendapatkan sumbernya dan mencapai puncaknya. Dialah “gambar Allah yang tidak kelihatan” (Kol 1:15). Dia pulalah manusia sempurna, yang menggembalikan kepada anak-anak Adam citra ilahi, yang telah ternodai sejak dosa pertama. Dan karena dalam Dia kodrat manusia disambut, bukannya dienyahkan, maka dalam diri kita pun kodrat itu diangkat mencapai martabat yang amat luhur. Sebab Dia, Putera Allah, dalam penjelmaan-Nya dengan cara tertentu telah menyatukan diri dengan setiap orang. Ia telah bekerja memakai tangan manusiawi, Ia berpikir memakai akalbudi manusiawi, Ia bertindak atas kehendak manusiawi, Ia mengasihi dengan hati manusiawi. Ia telah lahir dari Perawan Maria, sungguh menjadi salah seorang diantara kita, dalam segalanya sama seperti kita, kecuali dalam hal dosa”. Implikasi Teologis Tentang Gambar Allah • Gambar Allah Menyatakan Kepribadian • Gambar menyatakan keserupaan bentuk, yang menunjukkan bahwa bentuk luar manusia mengambil bagian dari penggambaran Allah. Rupa menitikberatkan kepada kesamaan daripada tiruan, sesuatu yang mirip dalam hal-hal yang tidak diketahui melalui pancaindera. Dalam hal ini, manusia menjadi saksi kekuasaan Allah atas ciptaan dan bertindak sebagai wakil penguasa. Dengan demikian, kekuasaan manusia mencerminkan kekuasaan Allah sendiri atas ciptaan, yang melibatkan kreativitas dan tanggung jawab manusia. • Gambar Allah menunjuk kepada keberadaan manusia yang berkepribadian dan bertanggung jawab di hadapan Allah, yang pantas mencerminkan Penciptanya dalam pekerjaan yang ia lakukan, serta mengenal dan mengasihi Dia dalam segala perbuatan mereka. Tubuh manusia dianggap sebagai sarana yang tepat untuk kehidupan rohani. Allah menciptakan manusia dan mengenalnya (Mzr. 139:13-16), memeliharanya (Ayub 10:12), dan menuntunnya menuju akhir hidupnya. • Gambar Allah sebagai Tanggung Jawab • Orang sering beranggapan bahwa gambar kemiripan manusia dengan Penciptanya yang dinyatakan dalam gambar Allah, terletak pada karakteristik manusia yang membedakannya dari binatang, seperti rasio, kekekalan dan konsepnya, dan perasaan moral. Keunikan manusia sebagai gambar dan rupa Allah terletak pada kesadaran diri dan kemampuannya untuk menentukan diri. • Gambar Allah bukanlah Allah. Semulia-mulia manusia, ia tetap bukan Allah hanya gambar-Nya saja, yang ternyata hanya berasal dari debu tanah (Kej. 2:7) dan kembali kepada debu (Kej. 3:7). Jika ia memanipulasi untuk dirinya berbagai bentuk ketaatan dan dedikasi orang lain yang seharusnya untuk Tuhan, maka ia mencuri kemuliaan Allah. • Gambar Allah bersifat fungsional, yang mana manusia ditempatkan di bumi untuk menunjukkan kedaulatan Allah atas dunia ciptaan dengan cara menaklukkan dan berkuasa atas bumi (Kej. 28). • Manusia memiliki relasi yang istimewa dengan Allah, penguasa bumi sebenarnya, berkenaan dengan kewajibannya mewakili Yang Mahakuasa untuk menguasai alam. • Menguasai alam memiliki pemahaman hidup harmoni dengan alam sebelum Kejatuhan dan belum ada unsur keserakahan manusia untuk menguras alam (Kej. 1-2). • Menguasai alam juga berarti mempelajari hukum-hukumnya, menyelidikinya, mengeksplorasinya. Ini bukanlah pekerjaan yang ringan, sehingga diperlukan keseriuasan dan kekuatan manusia. Manusia menjalankan kekuasaannya tetapi terbatas pada yang didapat dari Penciptanya dan semua usaha harus mendatangkan kesejahteraan bagi semua orang bukan hanya segelintir orang saja.