Corruption
Pdt. Gabriel Goh
Kejadian 3: 7–8
Ilustrasi:
YiYi adalah seorang bayi China yang
dibuang di semak. Dia ditemukan dan
dibawa ke panti asuhan di Jining, China.
Orang-orang di panti berpikir tidak akan
ada yang mau mengadopsi dia karena
YiYi selain buta juga mengalami cacat
tubuh yang kompleks. Mereka berpikir
bahwa YiYi akan tetap di sana sampai
mati.
Ketika kisah YiYi diangkat dan
dituliskan oleh seorang perawat, ada
suami istri berkebangsaan Amerika yang
tergerak hatinya untuk terbang jauh
lintas benua, khusus untuk menemui
YiYi dan mengajukan permohonan
untuk mengadopsi anak ini. Pertama
kali menggendong YiYi, sang ayah
mengatakan sambil meneteskan air
mata haru, “Anak ini luar biasa karena
aku adalah papanya.” Mereka mengganti
nama YiYi yang berarti menyesal telah
hidup, menjadi Isabelle.
Kisah adopsi ini telah menyentuh
jutaan orang di berbagai dunia.
Apakah kita menyadari bahwa kita
pun sama seperti YiYi di hadapan Tuhan?
Sejak kejatuhan manusia dalam dosa,
gambar dan rupa Allah sudah rusak
dalam diri manusia. Tuhan berhak
menimpakan murka dan penghakiman-
Nya atas kita. Tetapi Tuhan justru datang
untuk mencari dan menyelamatkan kita.
Allah Bapa mengatakan bahwa kita yang
telah rusak oleh karena dosa ini sungguh
berharga, karena Tuhan adalah Bapa
kita.
Doa
Terima kasih Bapa, karena Engkau
telah mengutus Putra-Mu Yesus datang ke
dunia untuk mencari kami. Dalam segala
ketidaklayakan dan dosa kami yang begitu
hina dan memalukan, Engkau melihat kami
berharga dan Engkau memberikan kepada
kami pakaian kebenaran. Kami berharga
karena Engkau adalah Bapa kami.
Biarlah kami tidak lagi bersembunyi
dari ketakutan, melainkan bisa menikmati
persekutuan yang indah dengan-Mu ya
Bapa.
Biarlah Natal ini menjadi indah dan
berharga bagi setiap anak-anakMu, Amin •
/ Disarikan oleh Elizabeth Wahyuni
Humprey
LIPUTAN KHUSUS
Pelayanan
dari Balik Kaca
B
G
WA
BIN
JA
M
BI
G
EM
UN
M
GG
n a
t
AN
i a
Pr
t e
o t
r l
RT
h a
C
BE
Perjalanan
4 Pemuda GKY BSD
di Tengah Pandemi
Bagi banyak orang tua, melepas anak
menempuh pendidikan di tempat
yang jauh bukanlah hal yang mudah.
Namun, cukup banyak orang tua
yang memutuskan mengirim anak-
anaknya belajar di tempat lain,
bahkan hingga ke negara dan benua
yang lain.
Kemandirian, kualitas pendidikan
yang baik, kesempatan untuk belajar
dan bekerja di dunia internasional
merupakan beberapa alasan umum
yang dikemukakan beberapa jemaat
GKY BSD yang anaknya sedang
belajar di luar negeri.
Ketika pandemi Covid-19 melanda
dunia sejak awal 2020, dapat kita
bayangkan bagaimana galaunya
perasaan para orang tua ini akan
kesehatan dan keselamatan
anak-anaknya.
Kenneth Samuel Chuhairy, Maleakhi
Agung Wijaya, Daniel Citra, dan Jessica
Delphina adalah beberapa di antara
sejumlah pemuda GKY BSD yang sedang
berada di tiga benua yang berbeda.
Kenneth sedang menempuh pendidikannya
di New York, Amerika Serikat; Maleakhi di
Cambridge, Inggris; Daniel di Hannover,
Jerman; dan Jessica di Melbourne, Australia.
Mereka semua mengalami pola hidup
yang sangat berubah akibat pandemi dan
mencoba untuk terus bertahan selama
sepuluh bulan ini, tentu saja dengan cara
mereka yang berbeda-beda.
“Kaget!” Itu persamaan mereka dalam
mendeskripsikan hidup mereka di sekitar
bulan Maret ketika virus Corona mulai
merebak ke negara tempat mereka sedang
menuntut ilmu. Lockdown (kuncitara) total
harus mereka hadapi pada awal pandemi.
Akibatnya, semua kegiatan harus dilakukan
di dalam apartemen, dan mereka hanya
dapat ke luar hanya untuk melakukan hal-
hal yang sangat penting, seperti berbelanja
kebutuhan pokok. Itu pun hanya dapat
dilakukan pada waktu-waktu yang sudah
ditentukan oleh pemerintah kota setempat.
Kenneth dan Jessica
bahkan sangat pusing
karena mereka sempat
harus berpindah
tempat tinggal selama Je ss i c a
kurun waktu sepuluh bulan
ini. Apakah repot? Tentu saja. Jessica dan
adiknya harus menjalani proses pindah
apartemen yang lebih panjang karena
adanya jam malam di Melbourne.
Sama seperti rekan-rekan mereka
di Indonesia, semua kuliah tatap muka
berganti menjadi daring (online). Apakah hal
ini lebih mudah untuk mereka mengingat
sistem teknologi pendidikan daring di
negara maju yang lebih siap dibandingkan
di Indonesia? Ternyata tidak juga. Di
Jerman, misalnya, pergantian sistem karena
pandemi dimulai pada saat akhir semester
perkuliahan. Akibatnya, banyak mata kuliah
dan ujian-ujian akhir yang dibatalkan.
Bahkan hasil semester pun tidak dihitung
oleh pihak universitas sehingga waktu
menjadi terbuang sia-
sia.
“Saya cukup stres dan
kepala menjadi pusing,”
itu yang dikemukakan
Daniel tentang
pengalaman merugikan
D an iel yang dia harus jalani.
Sementara, ketiga pemuda
lainnya menjalani perkuliahan yang tidak
terlalu dirugikan dengan adanya pandemi.
“Beberapa kelas tatap muka masih bisa
berjalan, tapi aku harus
dites (positif atau negatif
Covid-19) tiap minggu,
dan peserta didik juga
terbatas,” kata Kenneth
sambil tertawa kecil.
Ke n ne t h
Yah ... keempat pemuda ini menuturkan
pengalaman mereka kepada Nafiri dengan
santai dan penuh tawa, walaupun sering
diselingi dengan desahan napas panjang.
Terlihat bahwa mereka berusaha keras
untuk dapat mengatasi pergumulan
masing-masing secara dewasa walaupun
kadang tidak mudah.
Di tengah pergumulan ini, mereka juga
masih taat beribadah, bahkan sesekali
juga tetap mengikuti streaming online
ibadah GKY-BSD, tempat dimana mereka
dibina pertumbuhan imannya kala remaja–
pemuda.
Bagaimana dengan masyarakat sekitar?
Apakah mereka disiplin dalam menaati
protokol kesehatan dari pemerintah?
Mereka berempat mengamati bahwa
pada awal pandemi, masyarakat setempat
cukup disiplin dalam menjalani dan
menaati total lockdown. Namun Daniel dan
Maleakhi mengatakan bahwa akhir-akhir
ini pusat kota kembali
ramai. Akibatnya,
di Jerman jumlah
kasus baru kembali
meroket sehingga
akhirnya pemerintah
pusat membatalkan
perayaan Natal dan Ma l e a k hi
Tahun Baru.
Jessica merasa lebih ‘beruntung’ karena
sudah beberapa bulan tidak ada lagi kasus
baru di Melbourne sehingga kegiatan
masyarakat sudah mulai kembali normal.
Yang mengesankan dari penuturan
keempat pemuda ini adalah rasa khawatir
mereka terhadap orang tua mereka
di Indonesia. Ada keseragaman ketika
menjawab pertanyaan, “Mama-papa lebih
khawatir gak sama kalian dengan adanya
pandemi?” Mereka semua menjawab,
“Tidak ada pandemi juga Mama dan Papa
khawatir, tapi tidak berlebihan kok.”
Dan yang mengesankan adalah
kekhawatiran mereka pada orang tuanya.
“Kami yang justru lebih khawatir dengan
keadaan mereka di sana,” ujar mereka
serempak.
Kenneth dan Maleakhi merasa yakin
bahwa orang tua mereka cukup disiplin
dalam menjalankan protokol kesehatan,
namun mereka tetap waswas melihat tetap
tingginya tingkat penularan di Tanah Air.
Daniel berharap agar masyarakat Indonesia
menjalankan protokol kesehatan dengan
lebih ketat agar penularan tidak makin
melonjak.
Sementara Jessica berkali-kali
mengatakan, “Saya takut Mama dan Papa
kesepian.” Papa dan mamanya memang
harus tinggal berdua saja karena Jessica
dan adiknya sedang belajar di Australia.
Ah, betapa baiknya pemuda-pemudi GKY
BSD ini. Sebagai penulis yang melakukan
wawancara jarak jauh dengan mereka, saya
sungguh terharu melihat kebaikan Tuhan
terhadap hidup mereka dan bagaimana
mereka juga terus setia bersandar pada
kasih dan perlindungan Tuhan •
Bambang Sugiarto
Penghiburan
dari Tuhan
di Tengah
Pandemi
Dunia terkejut ketika pandemi Covid-19
merebak pada awal tahun 2020. Virus Corona,
penyebab penyakit ini, menginfeksi saluran
pernapasan sehingga penularan mudah terjadi.
Pada sebagian pasien, reaksi sistem imun bisa
berlebihan (over-inflammation) dan merusak
organ tubuh lain dengan akibat fatal. Karena
sifatnya yang baru, pada awalnya dunia medis
belum mengetahui strategi penanganan yang
tepat. Vaksin, obat antiviral yang cocok, dan
metode terapi lain seperti convalescent plasma
jelas belum tersedia. Tidak mengherankan jika
terjadi kepanikan.
Melihat fenomena pandemi tersebut, reaksi
kebanyakan pemerintah adalah lockdown
(kuncitara) dengan tujuan menghambat
penyebaran Covid-19 di masyarakat dan
menghindari situasi kewalahan dari pihak
pelayanan kesehatan dan rumah sakit.
Saya tinggal di Amerika. Kebijakan penanganan
pandemi berada di tangan pemerintah negara
bagian masing-masing. South Dakota tidak
pernah memberlakukan lockdown penuh. Florida
melakukan lockdown di awal, membuka kembali
kegiatan bisnis saat angka kasus membaik, dan
tak pernah melakukan lockdown kembali meski
terjadi peningkatan. California memberlakukan
‘buka-tutup’ berkali-kali tergantung naik-turunnya
angka Covid-19.
Namun, manusia dan masyarakat tidak pernah
didesain untuk lockdown dan pembatasan-
pembatasan lain, apalagi yang berkepanjangan.
Saat lockdown, kegiatan bisnis terganggu bahkan
tutup total terutama bisnis menengah ke bawah.
Kegiatan belajar-mengajar di sekolah terhenti
dan beralih ke rumah. Mental health juga menjadi
masalah besar terutama bagi warga negara
Barat.
Bagaimana orang Kristen menghadapi krisis
pandemi dan efek-efek negatifnya tersebut?
Dalam tulisan ini, saya ingin membagikan
pergumulan dan pengalaman seorang teman
gereja saya dalam perjalanan imannya bersama
dengan Tuhan dalam kurun sembilan bulan masa
pandemi. Beliau bernama Kathy, seorang ibu
yang berusia tujuh puluhan tahun.
Sebagai orang yang hidup di Amerika,
Kathy merasa bahwa selama ini ia menikmati
kelimpahan. Makanan dan kebutuhan hidup lain
berlimpah. Perekonomian kuat. Ia dan mungkin
kebanyakan warga lain merasa bahwa mereka
dapat mengontrol hidup mereka dengan baik.
Everything is under control. Kemudian pandemi
datang menghantam. Ternyata tidak semua
bisa dikontrol. Mulailah muncul perasaan
marah, depresi, dan ketakutan. Pernahkah kita
merasakan hal yang sama? Kehilangan kendali
dan merasa tidak berdaya?
Di tengah ketakutan dan depresinya, Kathy
memutuskan untuk lebih intensif membaca dan
menginternalisasi firman Tuhan. Ia membaca
Alkitab secara rutin dan memakai Our Daily
Bread sebagai bahan renungan harian. Ia
mendengarkan khotbah-khotbah pendeta kami
secara online.
Salah satu bagian Alkitab yang menyentuh
Kathy adalah Lukas 22: 39–47 tentang Tuhan
Yesus Berdoa di Taman Getsemani. Doa yang
tercantum di ayat 42 menyentuh hatinya,