Anda di halaman 1dari 22

Hakikat Manusia Menurut Islam

Muchsin Zain

BAB II
HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM
Oleh Muchsin Zain

Kompetensi Dasar:

Memahami konsepsi manusia menurut Islam, tujuan penciptaannya, fungsi dan


peran serta tanggung jawabnya sebagai khalifah dan hamba Allah, dan meyakini
kebenaran konsep manusia menurut Islam

Indikator:

1. Menjelaskan tentang konsep manusia menurut Islam


2. Mendeskripsikan potensi positif dan negatif manusia
3. Menjelaskan akibat yang ditimbulkan dari potensi negatif manusia
4. Mengidentifikasi persamaan dan perbedaan manusia dengan makhluk lain
5. Menjelaskan hubungan fungsi manusia sebagai khalifah dan hamba Allah
6. Menerapkan konsep manusia menurut Islam dalam kehidupan

A. KONSEPSI TENTANG MANUSIA


Sampai kapanpun pembahasan tentang manusia nampaknya akan terus
berlanjut dan tetap aktual serta menarik perhatian. Kendati sampai saat ini
kejelasan tentang jati diri manusia masih simpang siur, belum ada satu
pendapatpun yang disepakati, sehingga jati diri manusia yang sebenarnya tetap
menjadi perdebatan yang tidak pernah berhenti.

Inilah keunikan manusia. Semakin banyak pendapat tentang manusia


dengan berbagai versinya masing-masing, bukan semakin memperjelas, malah
semakin membingungkan. Sebab pendapat-pendapat tersebut hanya membahas
manusia secara partikular (khusus) dari sebagian unsur tertentu saja, sehingga
hakikat manusia yang sesungguhnya tidak tampak di dalam bahasan itu sendiri.
Kemudian disusul munculnya perbedaan pendapat tentang siapakah manusia
pertama, yang tentu hal ini menjadikan pembahasan tentang manusia menjadi
lebih menarik lagi.

1. Hakikat Manusia
Untuk mengetahui dan memahami secara jelas hakikat manusia
diperlukan pembahasan lebih lanjut tentang sosok manusia serta apa persamaan
dan perbedaan manusia dengan makhluk lain. Siapakah Manusia?

Barangkali apabila pertanyaan ini dipersempit akan menjadi: Siapakah


aku? Pertanyaan ini tampaknya sederhana sekali, akan tetapi jawabannya tidak
mudah dan tidak sesederhana pertanyaannya. Ini tidak lain karena sedikit sekali
orang yang dapat memahami tentang dirinya sendiri, dengan demikian
pemahamannya terhadap orang lain pun tidak akan pernah tepat karena bersifat
subyektif. Karenanya pertanyaan tentang siapa manusia telah muncul sejak lama.

25
Hakikat Manusia Menurut Islam
Muchsin Zain

Jawabannya bermacam-macam tetapi tidak memuaskan dari zaman ke zaman,


sehingga setiap saat pertanyaan tersebut selalu muncul dan jawabannya akan
selalu berbeda (Gazalba, 1978:20).

Berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli, baik dari kalangan
filsuf maupun ilmuwan, tentang manusia sangat beragam dan tidak ada
kesamaan, sebab sangat tergantung kepada bidang kajian ilmu masing-masing
beserta pandangan filsafat yang mendasarinya. Pembicaraan tentang manusia
menurut para ahli filsafat misalnya, tidak pernah menemukan kesimpulan yang
sama. Pada umumnya mereka terlibat dengan argumentasi-argumentasi tentang
keterkaitan antara tubuh, jiwa dan roh manusia, sedangkan esensi tentang
manusia itu sendiri tidak dapat ditemukan secara meyakinkan (Nurdin, et. al.,
1993:2).

Hal ini menunjukkan bahwa masih belum ada pemahaman yang


komprehensif tentang hakikat manusia dikarenakan subyektivitas dan
keterbatasan nalar yang mereka miliki, akibatnya manusia tidak bisa
menghasilkan kesimpulan yang memadai. Dengan kata lain, manusia tidak akan
mampu memahami dirinya sendiri secara pasti, karena subyektifitas yang dia
miliki. Itulah yang menyebabkan manusia cenderung hanya dipandang sebagai
makhluk yang terdiri dari berbagai unsur, tidak lagi sebagai sosok yang integratif,
akibat belum ditemukannya satu definisi yang dapat menggambarkan manusia
yang utuh (Nurdin, et. al, 1993:9).

Beberapa pendapat para pakar tentang manusia cenderung


membandingkan sosok manusia dengan hewan, yang memang dalam beberapa
hal tertentu memiliki kemiripan. Akan tetapi hal tersebut sangat tidak layak
untuk dijadikan perbandingan, karena secara asasi manusia sangat jauh berbeda
dengan hewan, terutama adanya unsur akal dan hati yang tidak dimiliki hewan,
sehingga dengan akal dan hatinya menempatkan manusia pada posisi paling
tinggi, mulia dan sempurna. Dengan demikian sangat jelas bahwa perbandingan
tersebut tidak akan menghasilkan suatu kesimpulan tentang manusia yang
sebenarnya.

Ketidakmampuan para ahli untuk memahami hakikat manusia yang


sebenarnya dikarenakan mereka tidak bisa lepas dari subyektivismenya masing-
masing. Mereka lebih mengedepankan argumentasi berdasarkan bidang
keahliannya. Sudah tentu kesimpulan yang dihasilkan tentang hakikat manusia
tidak akan bisa mencapai kepastian dan tidak akan memuaskan dari waktu ke
waktu.

Untuk menjawab kebuntuan dan kesimpangsiuran tentang hakikat


manusia, Islam menawarkan konsep manusia sebagai upaya untuk menjelaskan
jati diri manusia secara utuh dan komprehensif. Islam mengajarkan bahwa yang
dapat memberikan kejelasan secara pasti tentang hakikat manusia hanyalah
pemberitahuan yang berasal dari pencipta manusia itu sendiri, yaitu Allah SWT.
Sebab Sang Penciptalah yang lebih memahami ciptaannya, sedang manusia
walaupun sebagai makhluk yang dalam unsur penciptaannya terdapat ruh Ilahi,
namun manusia tidak diberi pengetahuan tentang ruh, kecuali sedikit (Q.S. al-
Isra’:85).

26
Hakikat Manusia Menurut Islam
Muchsin Zain

Itulah sebabnya jika manusia ingin mengetahui secara pasti mengenai


hakikat dirinya secara benar, maka ia harus kembali ke Penciptanya melalui
pemahaman dan penyelidikan terhadap firman-firman-Nya (al-Qur’an dan
hadis). Dengan kata lain harus merujuk kepada wahyu Ilahi agar mendapatkan
jawaban yang benar dan pasti (Nurdin, et. al., 1993:9).

Di dalam al-Qur’an telah dijelaskan gambaran konkret tentang manusia,


dan penyebutan nama manusia tersebut tidak hanya satu macam. Hal ini untuk
menunjukkan berbagai aspek kehidupan manusia itu sendiri (Depag RI, 1999:10-
11), yaitu antara lain:

a. Secara historis, penciptaan manusia disebut dengan Bani Adam.


‫يييياَ بينني ي آييديم ذخي يذذوُا نزينيتيذكي يمم نعمني ييد ذكي يلل يممسي ينجدد يوُذكليذ يوُا يوُامشي ييربذوُا يوُيل تذمسي ينرفذوُا إن ينيهذ يل ذنيي ي ب‬
‫ب‬
‫ن‬
‫المذممسنرف ي‬
‫ي‬
“Wahai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiapkali
(memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-
lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan” (Q.S. al-A’raf:31).

Penyebutan Bani Adam menunjukkan bahwa Adam adalah figur yang


menjadi asal-muasal manusia. Dari Adam inilah kemudian berkembang biak
manusia yang jumlahnya sangat banyak. Namun ternyata ada sebagian ulama
yang membantah dan menolak Adam sebagai manusia pertama. Dengan
demikian terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai keberadaan
Adam sebagai manusia pertama. Hal ini terutama disebabkan adanya perbedaan
interpretasi dalam menafsirkan makna kata “khalifah” yang terdapat di dalam al-
Qur’an surat al-Baqarah:30. Ayat ini berisi tentang dialog antara Allah dengan
para Malaikat pada saat Allah akan menciptakan Adam.

‫ن‬ ‫ن‬ ‫ن‬ ‫إنلن جاَنعل نفي املير ن ن‬


‫ض يخليِيفية قيياَلذوُا أي يمتيعيذل فيِيهياَ يميمن ييذمفنسيذد فيِيهياَ يوُييمسيف ذ‬
‫ك ال لديماَءي يوُيمنيذن‬ ‫م‬ ‫ي ل‬
‫ك يقاَيل إنلن أيمعليذم يماَ يل تييمعليذموُين‬ ‫ن‬ ‫ن‬
‫س لي ي‬‫نذيسبلذح بيممديك يوُنيذيقلد ذ‬
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi. Mereka (malaikat) berkata: Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu, orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan pertumpahan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dan memuji Engkau dan mensucikan Engkau.
Allah berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui” (Q.S. al-Baqarah:30).

Sebagian ulama berpendapat bahwa Adam bukanlah manusia pertama


yang diciptakan Allah. Alasan mereka, antara lain:

1) Kata “khalifah” dalam ayat tersebut artinya ialah pengganti. Tiap pengganti
pasti ada yang diganti. Kalau penggantinya manusia, yang diganti tentunya
manusia juga.
2) Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa malaikat bertanya (protes) kepada
Allah: “Mengapa Engkau akan menjadikan makhluk yang itu lagi di bumi

27
Hakikat Manusia Menurut Islam
Muchsin Zain

yang hanya akan membuat kerusakan dan pertumpahan darah?” Dari


manakah malaikat dapat mengatakan hal itu, kalau sebelumnya tidak ada
makhluk seperti Adam di bumi? Hal ini dikuatkan pula oleh firman Allah
dalam Q.S. Yunus:14 yang menyatakan:
‫ض نممن بييمعندنهمم‬
‫ف نف امليمر ن‬ ‫ن‬
‫ذثن يجيعمليناَذكمم يخيلئ ي‬
“Kemudian Kami jadikan kamu khalifah-khalifah (pengganti-
pengganti) di muka bumi sesudah mereka itu…. .”

Pengganti di sini adalah menggantikan manusia yang telah dibinasakan


oleh Allah sebelumnya. Maka kemungkinannya adalah apakah Adam juga bukan
pengganti dari manusia di bumi yang telah ada sebelumnya yang dibinasakan
oleh Allah karena melanggar perintah-perintah-Nya.

Pendapat ulama lain menegaskan bahwa Adam itulah manusia pertama


yang diciptakan oleh Allah sebagai khalifah di bumi. Sebelum Adam tidak ada
makhluk yang bernama manusia di bumi. Jadi Adam-lah sesungguhnya manusia
pertama di bumi, dengan alasan antara lain:

1) Kata “khalifah” yang diartikan pengganti, adalah menggantikan makhluk lain


yang telah ada sebelumnya, yaitu Jin. Hal ini sesuai dengan keterangan al-
Qur’an surat al-Hijr:27.
2) Pertanyaan malaikat atas keberatannya terhadap rencana penciptaan Adam
itu, karena mereka telah diberitahukan oleh Allah tentang sifat-sifat Adam
nanti. Karena itu Allah menjawab pertanyaan malaikat: “Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Dengan kata lain Tuhan
berfirman: “Ya, Aku sudah tahu bahwa khalifah itu akan begini dan begini,
tetapi tidak semuanya. Ada juga mereka yang mukmin, taat, dan bertaqwa
kepadaKu”. (Tim Dosen PAI, 1985:20).
Ayat-ayat lain di dalam al-Qur’an dengan tegas menjelaskan, bahwa
Adam-lah sebagai manusia pertama ciptaan Allah. Dalam Q.S. al-Sajdah:7-8,
Allah SWT berfirman:

‫النينذيِ أيمحس ين ذك ينل يش ييدء يخلييق يهذ وُبيييدأي يخمل ييق ا منلنمسيياَنن نم يمن نط د‬
‫ٍن ذثني يجيع ييل نيمس يليهذ نم يمن‬,‫ي ي‬ ‫ي‬ ‫ي‬ ‫م‬ ‫يي‬
‫ذسيلليدة نممن يماَدء يمنه د‬
‫ي‬
“Tuhan yang membaguskan tiap-tiap sesuatu yang Ia jadikan. Dan Ia
mulai membuat manusia dari tanah, kemudian Ia jadikan turunannya
itu daripada sari pati dan air yang hina.”

Juga firman Allah dalam Q.S. al-Hijr:28-29:

‫د‬ ‫ك لنملميلئنيكينة إنلني خيياَلنق بيشيرا نمين صمل د ن‬


‫ٍن فيينإيذا يسينوُيميتذهذ‬,‫صيياَل ميمن يحييدإ يممسيذنوُن‬
‫ي لي ة م ي ي‬ ‫ن‬
‫يوُإمذ قييياَيل يربي ي ي‬
‫ت فنيِنه نممن ذروُنحي فيييقعذوُا ليهذ يساَنجنديين‬
‫يوُنيييفمخ ذ‬
“Dan, (ingatlah) tatkala Tuhanmu berkata kepada malaikat:
Sesungguhnya Aku hendak membikin seorang manusia dari tanah

28
Hakikat Manusia Menurut Islam
Muchsin Zain

kering, dari lumpur hitam serupa. Maka apabila Aku sudah


sempurnakan dia, dan Aku tiup padanya ruh-Ku, hendaklah kamu
sujud kepadanya.”

Kemudian dalam Q.S. Ali Imran:58:


‫ك نمن امليياَ ن‬
‫ت يوُاللذمكنر املينكيِنم‬ ‫ن‬
‫ك نيميتيذلوُهذ يعليميِ ي ي ي‬
‫يذل ي‬
”…. Ia jadikan (Adam) dari tanah, kemudian Ia berkata “jadilah”, lalu
Adam pun jadi.”

Dari keterangan ayat-ayat di atas, jelaslah bahwa Adam adalah manusia


pertama yang diciptakan Allah, yang mula-mula diciptakan dari tanah, setelah
sempurna Allah meniupkan ruh ke dalamnya, maka jadilah manusia yang tidak
lain adalah Adam. Dalam beberapa hadis juga disebutkan bahwa Adam adalah
manusia pertama, yaitu antara lain:

‫احتج آدم وُموُسى فقاَل له موُسى ياَ آدم أنت أبوُناَ خيِبتناَ وُأخرجتناَ من النة‬
“Telah berbantahan Nabi Adam dengan Nabi Musa. Maka berkata
Musa: Hai Adam, Engkau “Bapak” kami, Engkau telah membuat
kerugian bagi kami, dan Engkau telah sebabkan kami keluar dari
surga (HR. al-Bukhari Muslim).

‫فوُجد ف السماَء الدنيِاَ آدم فقاَل له جبيل هذا أبوُك‬


“Maka ia dapati Nabi Adam di langit yang paling bawah, lalu Jibril
berkata: Ini bapakmu” (HR. al-Bukhari).

‫س أيلي تيييرموُين يميياَ قييمد بييليغيذكيمم‬ ‫ذيمع الناَس الينوُلني وُالنخنرين نف ن د ن د‬


‫ٍن فيييِييذقوُذل الناَ ذ‬,‫صعيِد يوُاحد‬ ‫ي ي‬ ‫يي‬ ‫مي ذ ذ‬
‫ض يعليميِذكمم نبآِيديم فيييِيأمذتوُين‬ ‫ن‬
‫أيلي تييمنظذذروُين يممن ييمشيفذع ليذكمم إنيل يربلذكمم فيييِييذقوُذل بييمع ذ‬
‫ض الناَنس لبييمع د‬
‫ت أيذبوُ المبييشنر‬
‫آيديم عليِه السلم فيييِييذقوُذلوُين ليهذ أينم ي‬
“Orang-orang mukmin akan berkumpul pada hari kiamat. Mereka
akan berkata: Alangkah baiknya kalau kita minta syafaat kepada
Tuhan kita, lalu mereka datang kepada Nabi Adam sambil berkata:
Engkaulah bapak sekalian manusia” (HR. al-Bukhari).

Dari keterangan hadis-hadis di atas jelas sekali, bahwa Adam yang


dinyatakan oleh Nabi Musa, Jibril dan orang-orang mukmin sebagai bapak
sekalian manusia. Dengan demikian nyata sekali bahwa Adam adalah manusia
pertama yang diciptakan oleh Allah di muka bumi. Dia disebut sebagai homo
sapiens, yaitu makhluk yang memiliki kemampuan akal sempurna dan memiliki
inteligensi yang paling tinggi sehingga mampu membentuk dan mengembangkan
peradaban yang bersifat dinamis dan berkembang seirama dengan
perkembangan kemajuan zaman.

29
Hakikat Manusia Menurut Islam
Muchsin Zain

b. Secara biologis, manusia disebut dengan basyar, yang mencerminkan sifat


fisik-kimiawi-biologisnya.
‫ب ذثن إنيذا أينميتذمم بييشلر تييمنتينشذروُين‬
‫وُنمن آيياَتننه أيمن يخلييقذكم نمن تذيرا د‬
‫م م ي‬ ‫ي م ي‬
“Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu
dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang
berkembang biak” (Q.S. al-Rum:20).

Kata basyar pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan
indah, kemudian lahir kata basyarah yang berarti kulit. Jadi, istilah basyar ini
untuk menunjuk bahwa kulit manusia tampak jelas dan berbeda dari kulit hewan
(Shihab, 1996:279).

c. Secara intelektual, manusia disebut insan, yakni makhluk terbaik yang diberi
akal sehingga mampu menyerap ilmu pengetahuan.
‫لييقمد يخليمقيناَ امنلنميساَين نف أيمحيسنن تييمقنوُدي‬
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya” (Q.S. al-Tin:4).

‫ٍن يعلنيمهذ املبييييِاَين‬,‫يخلييق امنلنميساَين‬


“Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara” (Q.S. al-
Rahman:3-4).

Kata insan digunakan al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan


seluruh totalitasnya; jiwa dan raga. Kalau diperhatikan lebih lanjut, di dalam
istilah insan terdapat makna rohaniah yang sejak awal penciptaannya telah
diberikan Allah berupa tiga kekuatan yang bersifat potensial dalam membentuk
struktur kerohanian manusia sehingga berfungsi sebagai modal dasar
kehidupannya di dunia. Tiga kekuatan tersebut adalah nafsu, akal dan rasa.

“Nafsu” merupakan tenaga potensial yang berupa dorongan-dorongan


untuk berbuat dan bertindak kreatif dan dinamis yang dapat berkembang kepada
dua arah, yaitu kebaikan dan kejahatan. “Akal” atau daya pikir diartikan sebagai
potensi intelegensi yang berfungsi sebagai filter, yang menyeleksi secara nalar
tentang baik dan buruk yang didorong oleh nafsu. Akal membawa manusia
kepada keingintahuan yang besar untuk memahami, meneliti dan menghayati
alam yang kemudian melahirkan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan dalam
rangka memenuhi hasrat dan kesejahteraan hidupnya, baik yang menyangkut
kebutuhan material maupun kebutuhan rohani berupa keyakinan akan
kekuasaan Allah. Sedang “rasa” merupakan potensi yang mengarah kepada nilai-
nilai etika, estetika dan agama. Ketiga potensi di atas yang membentuk struktur
kerohanian di dalam diri manusia yang kemudian akan membentuk manusia
sebagai insan (Nurdin, et. al, 1993:13–14).

d. Secara sosiologis, manusia disebut nas, yang menunjukkan kecenderungannya


untuk berkelompok dengan sesama jenisnya.
‫س إننناَ يخليمقيناَذكمم نممن ذييكدر يوُأذنمييثى يوُيجيعمليناَذكمم ذشذعوُةباَ يوُقيييباَئنيل نلتيييعاَيرفذوُا‬
‫يياَ أيييبيهاَ النناَ ذ‬

30
Hakikat Manusia Menurut Islam
Muchsin Zain

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari


seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal... ” (Q.S. al-Hujurat:13).

e. Secara posisional, manusia disebut ‘abd yang menunjukkan kedudukannya


sebagai hamba Allah yang harus tunduk dan patuh kepada-Nya.
‫ف نبنيذم‬
‫ض إنمن نييشيأم ينمنسي م‬ ‫يي أييميندينهمم يوُيميياَ يخمليفذهيمم نميين النسييماَنء يوُامليمر ن‬
‫أيفييلييمم ييييرموُا إنيلي يميياَ بيي م ي‬
‫ك يلييية لنذكلل يعمبدد ذمننيِ د‬ ‫ن‬ ‫ن‬ ‫ن‬
‫ب‬ ‫ض أيموُ نذمسقمط يعليميِنهمم كنيسةفاَ نمين النسيماَء إننن نف يذل ي‬ ‫امليمر ي‬
“Maka apakah mereka tidak melihat langit dan bumi yang ada di
hadapan dan di belakang mereka? Jika Kami menghendaki, niscaya
Kami benamkan mereka di bumi atau Kami jatuhkan kepada mereka
gumpalan dari langit. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda (kekuasaan Tuhan) bagi setiap hamba yang
kembali (kepada-Nya)” (Q.S. Saba’:9).

Terkait dengan posisinya, manusia juga disebut khalifah (wakil atau pengganti)
yang menunjukkan tugasnya sebagai pemegang mandat Tuhan guna
mewujudkan kemakmuran di muka bumi (Q.S. al-Baqarah:30, dan Hud:61).

Dari paparan di atas, menurut ajaran Islam, pada hakikatnya manusia


adalah:

a. Makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna dan dijadikan dalam bentuk yang
sangat baik (Q.S. al-Tin:4).
b. Diciptakan oleh Allah untuk mengabdi kepada-Nya.
‫س إننل لنيِييمعبذذدوُنن‬ ‫يوُيماَ يخليمق ذ ن ن‬
‫ت املنن يوُاملنم ي‬
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku” (Q.S. al-Dzariyat:56).

c. Makhluk yang dikaruniai ruh, sehingga Allah menjadikan manusia sebagai


makhluk yang memiliki kedudukan tinggi dan paling mulia (Q.S. al-Hijr:29).
d. Makhluk yang dianugerahi akal. Dengan akalnya, manusia mempunyai
kebebasan untuk menentukan kemauannya yang berkaitan dengan hukum
dan peraturan Tuhan. Sehingga ada manusia yang selalu tunduk dan patuh,
ada juga yang ingkar. Ada yang beriman, dan ada pula yang kafir.
‫إننناَ يهيديمييناَهذ النسبنيِيل إننماَ يشاَكنةرا يوُإننماَ يكذفوُةرا‬
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang
bersyukur dan ada pula yang kafir” (Q.S. al-Insan:3).

‫يوُقذنل امليبق نممن يربلذكمم فييممن يشاَءي فييمليِذيمؤنممن يوُيممن يشاَءي فييمليِيمكذفمر‬
“Katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Barangsiapa
yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang
ingin (kafir) biarlah ia kafir” (Q.S. al-Kahfi:29).

31
Hakikat Manusia Menurut Islam
Muchsin Zain

e. Manusia diciptakan Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi, yaitu sebagai
wakil Allah yang berkuasa di bumi berdasarkan ketentuan-ketentuan yang
telah ditetapkan oleh Allah dengan tugas memakmurkan bumi (Q.S. Al-
Baqarah: 30, Yunus: 14, Hud: 61).
f. Secara individual, manusia bertanggung jawab atas segala perbuatannya.
‫ي‬ ‫ذكبل امنردئ نباَ يكس ن‬
‫ب يره ل‬
‫م ي ي ي‬
“Setiap orang bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya”
(Q.S. al-Thur: 21).

Sebenarnya masih banyak keterangan lain di dalam al-Qur’an yang


menjelaskan tentang hakikat manusia. Penjelasan di atas hanyalah sebagian dari
uraian yang terdapat di dalam al-Qur’an yang merupakan sumber utama ajaran
Islam.

2. Potensi Manusia
Sebagai makhluk ciptaan Allah, manusia memiliki potensi yang dapat
membawa dirinya menuju ke arah positif atau negatif, tergantung upaya yang
dilakukan manusia dalam mewujudkannya. Sebab Allah telah memberi petunjuk
tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, dan ia juga diberi
kebebasan untuk memilih diantara keduanya.

Al Qur’an telah menjelaskan hal tersebut dalam sejumlah ayat. Dalam


Q.S. al-Syams: 7-10, Allah berfirman:

‫ٍن يوُقييمد يخيياَ ي‬,َ‫ٍن قييمد أيفميليييح يم يمن يزنكاَيه يا‬,َ‫ٍن فيأيملييميهيياَ فذذجوُيريهيياَ يوُتييمقيوُايه يا‬,َ‫س يوُيميياَ يس ينوُايها‬
‫ب يم يمن‬ ‫يوُنييمف ي د‬
َ‫يدنساَيها‬
“Dan jiwa serta penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya
merugilah orang yang mengotorinya”.

Kemudian di dalam Q.S. al-Kahfi: 29:


‫فييممن يشاَءي فييمليِذيمؤنممن يوُيممن يشاَءي فييمليِيمكذفمر‬
”Siapa yang hendak beriman, silahkan beriman. Siapa yang hendak
kafir silahkan juga kafir.”

Penjelasan al-Qur’an tentang potensi positif dan negatif yang ada pada
diri manusia tidak berarti menunjukkan adanya pertentangan satu dengan
lainnya, akan tetapi untuk menunjukkan beberapa kelemahan manusia yang
harus dihindari. Disamping itu untuk menunjukkan pula bahwa manusia
memiliki potensi untuk menempati tempat tertinggi sehingga ia terpuji, atau
berada di tempat yang rendah, sehingga ia tercela (Shihab, 1996:282).

Potensi positif dan negatif manusia yang diterangkan di dalam al-Qur’an,


antara lain, meliputi:

32
Hakikat Manusia Menurut Islam
Muchsin Zain

a. Potensi positif, di antaranya:


1) Manusia memiliki fitrah beragama tauhid, yakni bertuhan hanya
kepada Allah (Q.S. al-Rum:30).
2) Manusia diciptakan dalam bentuk dan keadaan yang sebaik-
baiknya (Q.S. al-Tin:5).
3) Manusia adalah makhluk Allah yang paling mulia (Q.S. al-Isra’:70)
4) Manusia adalah makhluk Allah yang terpintar (Q.S. al-Baqarah:31-
33, al-Naml:38-40)
5) Manusia adalah makhluk Allah yang terpercaya untuk memegang
amanat (Q.S. al-Ahzab:72)
b. Potensi negatif, antara lain:
1) Manusia adalah makhluk yang lemah (Q.S. al-Nisa’:28)
2) Manusia adalah makhluk yang suka keluh kesah (Q.S. al-
Ma’arij:19)
3) Manusia adalah makhluk dholim dan ingkar ( Q.S. Ibrahim:34)
4) Manusia adalah makhluk yang suka membantah (Q.S. al-Kahfi:54)
5) Manusia adalah makhluk suka melewati batas (Q.S. al-Alaq:6-7)
dan lain lain.
Potensi-potensi di atas ada dan berkembang dalam diri manusia, karena
di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang berbeda, yang masing-masing
mempunyai keinginan untuk dipenuhinya. Dua unsur tersebut adalah fisik dan
psikis, sehingga manusia disebut sebagai makhluk psiko-fisik.

Al-Qur’an menjelaskan dalam Q.S. al-Sajdah:8-9 dan Q.S. al-Shaad:71-72


bahwa manusia tersusun daari unsur materi dan immateri, jasmani dan rohani.
Jasmani (tubuh) berasal dari tanah dan ruh berasal dari substansi immateri dari
alam gaib (Suryana dkk., 1996:15). Kedua unsur tersebut merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena bila dipisahkan maka ia bukan lagi
manusia.

Lebih lanjut tentang potensi yang dimiliki manusia dapat diketahui dalam
kaitannya dengan sifat-sifat manusia yang mengarah kepada potensi positif atau
negatif melalui uraian tentang fitrah, nafsu, qalb dan akal, sebagai berikut.

a. Fitrah
Fitrah diartikan sebagai penciptaan atau kejadian. Ini berarti bahwa fitrah
manusia adalah kejadiannya sejak semula atau bawaan sejak lahir yang
merupakan penciptaan Allah. Seperti apa fitrah manusia itu, bisa dilihat di dalam
Q.S. al-Rum:30.

‫ن‬ ‫ن ن‬ ‫ن ن نن ن‬ ‫فيأيقنم وُجه ن‬


‫س يعليميِييهياَ يل تييمب دييل ليملينق اللنينه يذلي ي‬
‫ك‬ ‫ك لللدينن يحنيِةفاَ فطميرية الله النت فيطييير النناَ ي‬ ‫م ي مي ي‬
‫اللديذن الميقيِلذم يوُلينكنن أيمكثييير النناَنس يل يييمعليذموُين‬
“Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama (pilihan) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia atas fitrah itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahuinya.”

33
Hakikat Manusia Menurut Islam
Muchsin Zain

Ayat di atas menjelaskan bahwa manusia sejak awal kejadiannya


membawa potensi agama yang lurus (tauhid) dan tidak dapat menghindari dari
fitrah itu. Ini berarti bahwa fitrah keagamaan akan tetap melekat pada diri
manusia untuk selama-lamanya. Dengan kata lain manusia menurut fitrahnya
adalah makhluk beragama (mempercayai keesaan Tuhan). Apabila ini dipelihara
dan dikembangkan, maka seseorang akan dapat mewujudkkan potensinya ke
arah yang positif. Namun tidak sedikit di antara manusia yang ternyata
mengabaikannya, sehingga membuat dirinya cenderung untuk membawa
potensinya ke arah yang negatif.

b. Nafs (Nafsu atau Jiwa)


Nafs dapat diartikan sebagai syahwat (nafsu) dan juga dapat diartikan
sebagai jiwa. Secara umum dapat dikatakan bahwa nafs menunjuk kepada sisi
dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk, yang diciptakan Allah dalam
keadaan sempurna dan berfungsi menampung dan mendorong manusia berbuat
kebaikan dan keburukan (Shihab, 1996:286). Dalam hal ini, al-Qur’an melalui
surat al-Syams:7-10 menganjurkan untuk memberi perhatian yang besar pada
nafs. Melalui ayat ini Allah mengilhamkan kepada manusia melalui nafs, agar
dapat menangkap kebaikan dan keburukan, serta mendorong manusia untuk
menyucikan nafs.

Nafs yang mendorong manusia untuk melakukan kebaikan dinamakan


nafs al-mutmainnah, sedangkan yang mendorong untuk melakukan keburukan
dinamakan nafs al-lawwamah. Namun pendapat-pendapat lain pada umumnya,
seperti pendapat kaum sufi misalnya, mengatakan bahwa nafsu adalah sesuatu
yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk, yang mendorong manusia
untuk berbuat jahat (Q.S. Yusuf:53). Apabila nafsu itu diperturutkan maka akan
merusak segala-galanya (Q.S. al-Mukminun:71). Demikan juga Allah akan
mencabut iman dari diri seseorang. Dalam sebuah hadis Rasullullah SAW
bersabda:

‫من زناَ وُ شرب المر نزع ال منه اليإاَن كماَ خلع النساَن القميِص من رأسه‬
“Barangsiapa berzina atau minum-minuman keras, Allah mencabut
daripadanya akan iman, seperti melepaskan seseorang akan bajunya
dari kepalanya” (HR. al-Hakim).

Itulah sebabnya nafsu dianggap sebagai musuh yang paling besar, sehingga
dibutuhkan perjuangan ekstra untuk menghadapinya.

Pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat dari potensi


negatifnya, namun daya tarik keburukan lebih kuat dari daya tarik kebaikan.
Karenanya manusia dituntut untuk memelihara kesucian nafsu dan tidak
mengotorinya (Q.S. al-Syams:9-10). Dengan kata lain Islam tidak menganjurkan
untuk membunuh nafsu, melainkan mengendalikan dan mengolahnya serta
mengarahkannya kepada nilai-nilai yang mempertinggi derajat kemanusiaanya.

Bagaimanapun juga nafsu tetap dibutuhkan manusia, sebab kalau nafsu


tersebut dibunuh sehingga manusia tidak lagi memiliki nafsu (seperti nafsu

34
Hakikat Manusia Menurut Islam
Muchsin Zain

makan dan nafsu syahwat), maka akan menyebabkan manusia tidak bisa
bertahan hidup dan akhirnya akan musnah.

c. Qalb (hati)
Pada umumnya orang mengartikan qalb itu sebagai hati. Secara bahasa,
qalb bermakna membalik, karena sering kali berbolak-balik, terkadang senang,
terkadang susah, ada kalanya setuju, ada kalanya menolak. Dengan demikian
qalb berpotensi tidak konsisten, ada yang baik ada pula sebaliknya. Baik atau
buruknya sifat seseorang sangat ditentukan oleh qalbnya. Rasulullah SAW
bersabda:

‫ يوُإنيذا فييسييد م‬، ‫صلييح املييسذد ذكلبهذ‬


‫ت فييسييد املييسيذد‬ ‫ت ي‬
‫صلييح م‬ ‫أيلي يوُإننن نف املييسند ذم م‬
‫ضغية إنيذا ي‬
‫ن‬
«‫ب‬ ‫ أيلي يوُهيى الميقمل ذ‬. ‫ذكلبهذ‬
“Sesungguhnya diri manusia terdapat segumpal daging. Apabila
(segumpal daging itu) baik, maka baiklah seluruh dirinya. Dan
apabila buruk, maka buruklah seluruh dirinya. Ketahuilah, segumpal
daging itu adalah qalb (hati).”

Qalb atau hati yang baik akan memberi pengaruh kepada sifat-sifat
seseorang untuk melakukan tindakan yang terpuji, yang disebut al-qolbus salim
atau al-qalbu nurainy. Ini terjadi jika orang tersebut menghiasi hatinya dengan
kekuatan iman dan sifat terbaik yang selalu berada dalam ridha Allah. Kalau
demikian halnya ia akan dapat mewujudkan kebaikan dalam hidupnya, sehingga
ia akan merasakan hidup yang bahagia, tenang dan sejahtera. Sebaliknya apabila
qalb itu buruk, akan menghasilkan sifat-sifat yang tidak terpuji, yang dinamakan
al-qolbul mayyit atau al-qalbu dzulmany. Ia memperturutkan ajakan nafsu dan
bisikan syetan, sehingga hatinya busuk dan kotor, penuh dengan penyakit. Ia
tidak mampu menerima petunjuk kebenaran dari Allah, akibatnya ia dengan
mudahnya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Ilahi dan berbuat dosa.
Hal yang demikian ini akan mencelakakan dirinya, karena ia akan merasakan
kesengsaraannya dalam hidupnya baik di dunia ini maupun di akhirat nanti.

Dari uraian di atas nampak dengan jelas, bahwa qalb (hati) merupakan
bagian yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Karena itu hati harus
terus dirawat dan dipelihara serta dihindarkan dari pengaruh penyakit dan
kebusukan yang dapat menyengsarakan hidup. Harus ada usaha untuk menjaga
kebersihan dan kejernihan hati agar senantiasa berada di bawah ridha dan
naungan Ilahi. Untuk itu manusia harus selalu mendekatkan diri kepada Allah,
ingat kepada-Nya, selalu mengagungkan nama-Nya, sehingga akan selalu berada
dalam bimbingan dan hidayah-Nya. Dengan demikian akan melahirkan sikap,
perilaku dan tindakan yang baik, terpuji yang memberi manfaat tidak hanya pada
dirinya sendiri, juga kepada yang lain, sehingga dapat menjalani hidup ini penuh
dengan ketenangan dan kebahagiaan selamanya.

d. Aql (akal)
Menurut Quraish Shihab (1996:294), aql atau akal diartikan sebagai
pengikat, penghalang. Maksudnya ialah sesuatu yang mengikat atau menghalangi

35
Hakikat Manusia Menurut Islam
Muchsin Zain

seseorang agar tidak terjerumus ke dalam kesalahan atau dosa. Selanjutnya akal
dapat dipahami antara lain sebagai:

1) Daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu (Q.S. al-Ankabut:43).


Tentunya daya yang dimiliki manusia itu berbeda-beda, tergantung pada
seberapa luas pengetahuan yang dimiliki, sehingga dengan perbedaan
pengetahuan itu akan menyebabkan perbedaan pemahaman seseorang
terhadap sesuatu.
2) Dorongan moral.
Dorongan moral tidak lain adalah merupakan potensi manusia untuk tidak
melakukan perbuatan yang tidak dibenarkan atau dilarang oleh agama.
3) Daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta hikmah.
Dengan daya ini manusia memiliki kemampuan untuk memahami,
menganalisis dan menyimpulkan berdasarkan dorongan moral yang disertai
kematangan berpikir.
Seseorang harus mampu menggabungkan kemampuan berpikir dengan
dorongan moral, agar apa yang ia lakukan dapat menghasilkan sesuatu yang
positif. Sebab, apabila tidak mampu menggabungkan keduanya, maka akan
terjadi sesuatu yang tidak diinginkannya, terutama jika dorongan moral itu
diabaikan. Dengan demikian dengan mudahnya orang tersebut melakukan
perbuatan yang menyimpang, yang berakibat dosa dan merugikan dirinya
sendiri, karena ia akan menjadi penghuni neraka (Q.S. al-Mulk:10).

3. Persamaan dan Perbedaan Manusia dengan Makhluk Lain


Allah SWT (al-Khalik) menciptakan makhluk dalam berbagai bentuk dan
jenis demikian banyaknya, baik yang berada di darat, perut bumi, laut (air),
udara dan luar planet bumi. Setiap makhluk (yang diciptakan) melekat padanya
sifat “baru” (hadits). Artinya, bermula dari tidak ada, lalu ada, kemudian akan
tiada lagi (fana’). Hanya Allah sebagai Zat Yang Kekal, Yang Tiada Berpermulaan
dan tidak pula berakhir serta tidak serupa dengan suatu apapun.

Di antara makhluk ciptaan Allah itu ada yang nyata, seperti manusia,
hewan dan tumbuh-tumbuhan. Ada pula yang gaib, seperti malaikat, jin dan
setan yang merupakan makhluk rohaniah atau non fisik (di luar panca indra
manusia). Karenanya tidak ada seorang ilmuwan pun yang mampu
mendeskripsikannya dan hanya dari agama keterangan tentang makhluk gaib
dapat diperoleh. Walaupun semuanya makhluk ciptaan Allah dan bersifat fana’,
namun berbeda antara yang satu dengan yang lain, yang meliputi awal
penciptaannya, sifat-sifat dan tanggung jawab yang diembannya.

a. Persamaan dan Perbedaan Manusia dengan Hewan


Manusia dan hewan sama-sama mempunyai nafsu, namun manusia juga
dilengkapi dengan akal dan hati yang tidak dimiliki oleh hewan. Dengan akal dan
hatinya manusia mampu mencari rezeki, membedakan rezeki dan proses
pencariannya antara yang halal dan yang haram. Demikian juga manusia diberi
pengetahuan sehingga mampu membentuk kebudayaan, mengelola interaksi
sosial, mengembangkan kebudayaan, dan membentuk peradaban, yang semua ini
tidak dimiliki oleh hewan. Selain itu manusia mempunyai kemampuan bergerak
dalam berbagai ruangan yang tidak terbatas, sedang hewan hanya bergerak di
dalam jenis alam yang terbatas (Saifuddin, et. al., 1996:31–34).

36
Hakikat Manusia Menurut Islam
Muchsin Zain

Perbedaan lain manusia dengan hewan adalah bahwa manusia


mempunyai jiwa yang memungkinkan otak berpikir. Dengan kemampuan
berpikir, manusia dapat mempelajari bahasa yang didengar di lingkungannya
sehingga ia dapat menyalurkan pikiran, perasaan, pengalaman dan keinginannya
kepada orang lain. Dengan demikian terjadilah hubungan rohaniah dengan
warga masyarakat, bekerja sama dan hidup harmonis dengan warga sekitarnya.
Yang demikian ini tidak ada pada hewan (Gazalba, 1978:21). Itulah sebabnya di
dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang
paling mulia.

‫ضيمليناَذهمم يعلييى‬ ‫وُلييقمد يكنرميناَ بنن آيدم وُيحمليناَهم نف املبيلر وُالمبحنر وُرزقمينيياَهم نمين الطنيِلبياَ ن‬
‫ت يوُفي ن‬ ‫م ي ي ي ي ي ذ م ي ي ي م ي يي ذ م ي ي‬ ‫ي‬
‫ن‬ ‫ن‬ ‫ن‬
‫يكثدي منمن يخليمقيناَ تييمفضيِةل‬
“Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut
mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezeki dari yang
baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (Q.S.
al-Isra’:70).

b. Persamaan dan Perbedaan Manusia dengan Malaikat


Malaikat sebagai makhluk non fisik atau makhluk rohaniah memiliki
sifat-sifat yang berbeda dengan manusia. Manusia diciptakan dari tanah (thin),
sedangkan malaikat diciptakan dari cahaya (nur). Malaikat tidak berjenis laki-
laki atau perempuan sebagaimana manusia. Tidak istirahat karena lelah, tidak
tidur, tidak makan dan tidak berkembang biak karena perkawinan, melainkan
menurut kehendak Allah semata.

Manusia memiliki akal, hati dan nafsu, sedang malaikat hanya memiliki
akal dan tidak memiliki nafsu. Ini merupakan kebalikan dari hewan, makhluk
yang tidak berakal tetapi memiliki nafsu, sehingga kehidupan hewan selalu
menjurus kepada pemenuhan nafsu. Karena itu ketaatan malaikat kepada Allah
sangat luar biasa. Artinya, kehidupan malaikat hanya terarah untuk taat kepada
Allah.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa manusia berada pada posisi


antara hewan dan malaikat, sebagai akibat dari akal, hati dan nafsu yang
dimilikinya. Itulah sebabnya jika akal dan hati yang dikembangkan, manusia
akan mampu melampaui kemuliaaan yang dimiliki malaikat. Namun apabila
nafsu yang dikembangkan, keadaan manusia akan jauh lebih rendah daripada
hewan (Tatapangarsa, et. al., 1985:28-30). Disisi lain, dibandingkan dengan
manusia, malaikat mempunyai keistimewaan, yaitu dapat menjelma dalam rupa
manusia atau beragam bentuk lain, sehingga dapat dicapai oleh rasa dan
penglihatan manusia.

َ‫ت نممن ذدوُنننمم نحيجاَةباَ فيأيمريسمليناَ إنليميِييهاَ ذروُيحيناَ فييتييمثنيل ييلاَ بييشةرا يسنوُييا‬
‫فياَنتييذ م‬
“Maka Maryam mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka,
lalu Kami mengutus roh Kami (Jibril AS) kepadanya. Lantas ia

37
Hakikat Manusia Menurut Islam
Muchsin Zain

menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna


(Q.S. Maryam:17).
َ‫ف إننياَ أذمرنسيملينا‬ ‫ن‬
‫س نممنيذهيمم نخيِيفية قيياَلذوُا يل يتيي م‬ ‫ن نن ن‬
‫فييلينماَ يريأىَ أييمديييذهمم يل تيصذل إليميِه نيكيرذهيمم يوُأيموُيجي ي‬
‫إنيل قييموُنم ذلوُدط‬
“Tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim
memandang aneh perbuatan mereka dan merasa takut kepada
mereka. Malaikat itu berkata: Jangan kamu takut, sesungguhnya kami
adalah (malaikat-malaikat) yang diutus kepada kaum Luth” (Q.S.
Hud:70).

c. Persamaan dan Perbedaan Manusia dengan Jin


Manusia adalah makhluk Allah yang terdiri dari jalinan unsur jasmaniah
dan rohaniah, sedangkan jin hanya terdiri dari unsur rohaniah saja, karenanya
jin termasuk makhluk gaib. Sebagai makhluk gaib, jin diciptakan Allah dari api
yang menyala (Q.S. al-Rahman:15). Allah menciptakan manusia dan jin dengan
tujuan yang sama, yaitu agar berbakti kepada-Nya (Q.S. al-Dzariyat:56). Dengan
demikian jin juga mendapat perintah untuk menjalankan syariat agama dan
mengikuti rasul-rasul yang telah diutus Allah kepadanya (Q.S. al-An’am:130).

Di dalam al-Qur’an surat al-Jin:1-3 diterangkan bahwa ada di antara


golongan jin yang beriman kepada Nabi Muhammad saw. dan kitab suci al-
Qur’an serta mengimaninya, bahkan mereka mempunyai keyakinan tauhid yang
murni bahwa Allah itu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak beribu, berbapak,
beristri, dan beranak (Tatapangarsa, et. al., 1985:26).

Seperti halnya manusia, jin ada yang taat beribadah kepada Allah dan
berperangai baik, Muslim. Ada pula yang kafir, ingkar, dan durhaka kepada Allah
serta berperilaku buruk (Q.S. al-Jin:14-15). Jin yang kafir inilah yang dinamai
setan. Adapun Iblis, menurut kitab al-‘Ain juz 2 yang ditulis oleh Khalil Bin
Ahmad, adalah raja setan. Setelah mendapat kutukan dari Allah akibat penolakan
yang dilakukannya terhadap perintah Allah untuk bersujud kepada Adam, setan
bersumpah menjadi musuh manusia dan selalu berusaha untuk menjerumuskan
manusia ke dalam jurang kesesatan dan bersama-sama dengannya selalu
mengerjakan kejahatan (Q.S. Shad:82 dan al-Hijr:39). Namun semuanya tidak
akan terjadi manakala manusia selalu ingat dan dekat dengan Allah serta
menjalankan segala ketentuan-Nya.

B. KEDUDUKAN DAN TUJUAN PENCIPTAAN MANUSIA


Sebagai makhluk ciptaan Allah, manusia memiliki kelebihan dibanding
dengan makhluk lainnya. Kelebihannya terletak pada akal dan hati yang
membuat manusia mampu mencapai titik kulminasi peradaban pada zamannya.
Dengan demikian manusia adalah merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling
sempurna yang memiliki kedudukan tinggi dan mulia. Namun harus selalu
diingat, manusia tidak pernah lepas dari godaan nafsu yang apabila tidak mampu
mengendalikannya akan menyebabkan manusia jatuh ke posisi yang paling
rendah, bahkan lebih rendah dari hewan.

38
Hakikat Manusia Menurut Islam
Muchsin Zain

Untuk itu, Allah melengkapi manusia dengan memberinya bekal berupa


agama yang berfungsi sebagai petunjuk dan penuntun manusia dalam upaya
mencapai tujuan hidup yang bahagia-sejahtera di dunia dan akhirat. Dengan
bimbingan agama itulah kelak manusia dapat mempertahankan eksistensinya
sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling mulia dan mewujudkan dirinya
sebagai makhluk yang bermartabat.

1. Tujuan Penciptaan Manusia


Allah menciptakan segala sesuatu dengan tujuan tertentu. Dengan kata
lain, segala sesuatu yang diciptakan Allah bukanlah sia-sia dan tidak mempunyai
maksud. Itulah sebabnya manusia diperintahkan Allah untuk memikirkan
maksud dari penciptaan tersebut (Q.S. Ali Imran:191).

Demikian juga halnya dengan penciptaan manusia, Allah tentu


mempunyai tujuan tertentu yang harus dipikirkan dan dipahami dengan
seksama, agar manusia nantinya menyadari tentang tujuan ia diciptakan di dunia
ini, sehingga ia akan selalu berupaya melakukan apa saja yang dikehendaki Allah
dan tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan–Nya. Menurut al-Qur’an, pada
hakikatnya Allah menciptakan manusia itu dengan tujuan agar ia beribadah
kepada-Nya (Q.S. al-Dzariyat:56). Beribadah di sini berarti bahwa manusia harus
mengabdi, berbakti, dan menghambakan diri kepada Allah SWT.

Istilah “beribadah” tidak boleh diartikan secara sempit seperti lazimnya


pengertian yang dianut oleh masyarakat pada umumnya, yakni terbatas pada
aspek ritual seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Akan tetapi “beribadah” harus
diartikan secara luas, yaitu meliputi ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan atas
ketentuan dan kehendak yang telah ditetapkan oleh Allah dalam menjalankan
hidup di muka bumi ini, baik yang menyangkut hubungan vertikal (manusia
dengan Allah) maupun hubungan horisontal (manusia dengan manusia dan alam
sekitar), atau yang lebih dikenal dengan istilah habl min Allah wa habl min al-
nas yang diwujudkan dalam bentuk iman dan amal saleh.

Semua ini harus dilakukan manusia sebagai cerminan kebutuhan


manusia terhadap terwujudnya sebuah kehidupan dengan tatanan yang baik dan
adil. Apabila hal ini tidak diindahkan dan manusia banyak melakukan
pelanggaran atau penyimpangan, maka tidak bisa tidak akan terjadi kekacauan,
yang pada akhirnya akan menghancurkan tatanan kehidupan itu sendiri beserta
alam sekitarnya (Depag RI, 1999:24).

Jadi, pada hakikatnya penghambaan diri manusia kepada Allah adalah


untuk kepentingan manusia itu sendiri. Apakah ia mengabdi atau tidak kepada
Allah, bagi Allah sendiri tidak ada ruginya. Tuhan tidak memerlukan manusia,
karena Dia Maha Kuasa dan Maha Kaya. Sesungguhnya manusialah yang
memerlukan Tuhan (Gazalba, 1978:57). Karena itu, jika manusia selalu mentaati
ketentuan Allah, pastilah ia akan dapat mewujudkan kehidupan yang damai dan
sejahtera. Namun apabila ingkar, ia akan mendapatkan kesulitan dalam
hidupnya bahkan kerusakan dan kesengsaraan.

Kecenderungan manusia untuk beribadah kepada Allah sebagaimana


dijelaskan diatas adalah karena di dalam dirinya terdapat unsur ruh Ilahi yang
dihembuskan pada saat proses penciptaannya (Q.S. Shad:71-72). Karena itu tepat

39
Hakikat Manusia Menurut Islam
Muchsin Zain

sekali Allah menciptakan manusia hanya untuk beribadah dan mengabdi kepada-
Nya.

2. Fungsi dan Peranan yang Diberikan Allah Kepada Manusia


Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang memiliki kelebihan
dibanding makhluk lainnya. Karena kelebihannya itu manusia diberi oleh Allah
fungsi dan peranan yang berbeda dengan makhluk lainnya. Fungsi dan peranan
manusia tersebut adalah sebagai ‘khalifah fi al-ardhi’ atau penguasa di bumi.
Artinya, manusia menjadi penguasa untuk mengelola dan mengendalikan segala
apa yang ada di bumi (yang dalam al-Qur’an disebut dengan al-taskhir) untuk
kemakmuran dan ketenteraman hidupnya, dalam bentuk pemanfaatan (al-
intifa’), pengambilan contoh (al-i’tibar), dan pemeliharaan (al-ihtifadz). Namun
kekuasaan yang diberikan manusia itu bukanlah kekuasaan yang mutlak, artinya
kekuasaan itu nantinya harus dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT.

Hal ini menunjukkan kata ‘khalifah’ yang diartikan sebagai wakil atau
pengganti yang memegang kekuasaan. Dengan demikian kekuasaan yang
dipegang manusia hanya semata-mata memegang mandat Allah (mandataris).
Oleh karena itu, dalam menjalankan kekuasaannya, manusia harus selalu
mentaati ketentuan yang telah ditetapkan oleh yang memberi mandat. Apa yang
dikerjakan oleh manusia dalam menjalankan tugasnya dibatasi oleh aturan-
aturan yang telah ditetapkan oleh Allah, Sang Pemberi Mandat tersebut (Nurdin,
et. al., 1993:15). Aturan-aturan itu berupa hukum Tuhan yang dibuat sedemikian
rupa, agar manusia dalam menjalankan tugas kekhalifahannya selalu
mendapatkan ridla Allah, sehingga ia bisa merasakan kenikmatan dan
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat .

Karenanya sebagai penguasa di atas bumi, dalam menjalankan tugasnya


untuk membangun dan mengembangkan bumi ini, manusia harus selalu
mengerjakannya atas nama Allah (bism Allah), yakni disertai tanggung jawab
penuh kepada Allah dengan mengikuti ‘pesan’ dalam ‘mandat’ yang diberikan
kepadanya. Kelak di akhirat pada saat menghadap Allah, manusia akan dimintai
pertanggungjawaban atas seluruh kinerjanya dalam menjalankan mandat sebagai
khalifah-Nya di muka bumi (Madjid, 2000:157). Itulah sebabnya apabila manusia
melakukan pelanggaran atau menyimpang dari aturan-aturan tersebut, ia akan
mendapatkan sangsi, yaitu dalam hidupnya akan selalu dihadapkan kepada
berbagai kesulitan yang menyengsarakan dan tidak mengenakkan, serta di
akhirat nanti akan mendapat siksa yang amat pedih.

Mengawali setiap aktifitas dengan ucapan basmallah (dengan/demi Allah)


berarti apa yang dilakukan itu semata-mata atas nama Allah, sehingga akan
memberikan manfaat tidak hanya pada dirinya, tetapi juga pada yang lain. Sebab
apabila itu yang dilakukan, maka akan menimbulkan dampak positif, antara lain:

a. Aktifitas yang dilakukan itu tidak akan mengakibatkan kerugian pihak


manapun, karena selalu melahirkan sikap dan karya yang positif serta
senantiasa mendapat ridho Allah.
b. Mampu membentengi diri dan pekerjaannya dari godaan nafsu dan ambisi
pribadi. Karena ia sadar dan yakin bahwa sebagai makhluk yang lemah tidak
akan dapat memperoleh kesuksesan tanpa bantuan dan pertolongan Allah,
sehingga ia tidak mudah bersikap takabur.

40
Hakikat Manusia Menurut Islam
Muchsin Zain

c. Tertanam pada dirinya rasa percaya diri dan optimisme, karena apa yang ia
lakukan akan mendapatan kekuatan dari Allah, sehingga hasilnya akn baik,
optimal dan menyenangkan bagi dirinya dan orang lain (karena mendapat
curahan sifat rahman dan rahim Allah).
Jadi dengan mengucap basmallah setiap akan melakukan pekerjaan
(menulis, berpakaian, bepergian, dan lain lain), insya Allah manusia akan menuai
hasil yang baik dan indah, demikian juga kasih sayang Allah tercurah pada diri
kita dan sekaligus kita mampu mencurahkannya kepada pihak lain (Shihab,
1994:22).

Untuk menjalankan fungsi dan peranannya sebagai khalifah di bumi,


manusia terlebih dulu dituntut mengenali berbagai persoalan tentang bumi. Hal
ini agar dalam menjalankan tugasnya manusia tidak merasa asing, tetapi betul-
betul sudah dalam keadaan siap. Dengan demikian, segala yang dibebankan
kepadanya dalam upaya memakmurkan bumi dapat dilaksanakan dengan baik
dan lancar sesuai dengan aturan yang telah ditentukan oleh Allah, Zat yang
menjadikannya sebagai khalifah.

Terkait dengan hal ini, logika diciptakannya manusia dari tanah menjadi
semakin jelas, yaitu agar ada kesesuaian antara unsur ciptaan dengan tugasnya
yang juga di bumi. Manusia memiliki potensi dan kesanggupan yang signifikan
untuk menjalankan tugas kepemimpinannya di bumi, karena dia tercipta dari
unsur tanah. Begitu juga sebelum manusia menjalankan tugasnya, Allah telah
memberi bekal dengan mengajarkan nama-nama segala benda yang ada di bumi
dan tidak satu pun dari malaikat yang mengetahuinya (Q.S. al-Baqarah:31-33).

Ayat tersebut membuktikan bahwa manusialah yang memang


dipersiapkan oleh Allah sebagai khalifah di bumi ini untuk mengatur, mengolah,
dan memanfaatkannya secara kreatif dan inovatif guna memenuhi kepentingan
hidupnya. Jadi, pada hakikatnya manusia sebagai seorang pemimpin memiliki
kebebasan dalam menentukan langkah-langkah strategis yang harus ia kerjakan
dalam memenuhi hajat hidupnya sepanjang tetap mengikuti ketentuan yang
telah ditetapkan.

Untuk itu, Tuhan mengajarkan kepada manusia kebenaran-kebenaran


dalam segala ciptaan-Nya, dan melalui pemahaman serta penguasaan terhadap
hukum-hukum kebenaran yang terkandung dalam ciptaan-Nya, manusia dapat
menyusun konsep-konsep serta melakukan rekayasa membentuk wujud baru
dalam alam kebudayaan (Suryana, et. al., 1996:18). Dengan bekal ini, manusia
dituntut untuk memikirkan dan mencermati hukum alam ciptaan Allah (sunnah
Allah) dalam rangka mengelola dan memakmurkan alam secara kreatif dengan
mendasarkan diri kepada nilai-nilai Ilahiyah, sebab apabila hanya mengikuti
kemauannya sendiri dengan membiarkan nafsu menguasai dirinya dan tidak lagi
memperhatikan petunjuk kebenaran yang telah diberikan Allah kepadanya, tak
ayal justru kerusakan dan kehancuran yang akan terjadi dan kesengsaraan yang
akan dirasakan oleh manusia, juga alam raya pun akan ikut menanggung
akibatnya.

Karena itu, manusia harus selalu menyadari bahwa di samping fungsi dan
peranannya sebagai khalifah Allah di muka bumi dengan segala kebebasan yang
dimilikinya, ia juga sekaligus sebagai hamba Allah (‘abd Allah). Sebagai hamba
Allah, ia harus selalu taat, patuh, dan tunduk kepada perintah Allah, karena

41
Hakikat Manusia Menurut Islam
Muchsin Zain

kebebasan yang diberikan kepada manusia adalah kebebasan yang bertanggung


jawab. Artinya, kebebasan tersebut dibatasi oleh aturan-aturan yang telah
ditetapkan oleh Allah yang berupa hukum-hukum, terutama yang tercantum di
dalam kitab suci. Jika ini tidak dipedulikan, bahkan diingkari atau dikhianati,
manusia kelak akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah perihal
kewenangan yang telah diberikan tadi.

Demikian juga sebagai hamba Allah (‘abd Allah), manusia telah diberi
berbagai segi positif oleh Allah SWT yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Segi-
segi positif itu adalah:

a. Manusia mempunyai kecenderungan dekat dengan Tuhan. Ia sadar akan


kehadiran Tuhan jauh di dasar sanubarinya. Segala keraguan dan keingkaran
kepada Tuhan muncul ketika manusia menyimpang dari fitrah mereka sendiri
(Q.S. al-A’raf:172).
b. Manusia dikaruniai pembawaan yang mulia dan bermartabat. Manusia akan
menghargai dirinya sendiri hanya jika mereka mampu merasakan kemuliaan
dan martabat tersebut, serta mau melepaskan diri mereka dari kepicikan
segala jenis kerendahan hati, penghambaan, dan hawa nafsu.
c. Manusia mempunyai kesadaran moral, yang dapat membedakan antara yang
baik dengan yang jahat melalui inspirasi fitri yang ada padanya.
d. Jiwanya tidak akan pernah damai kecuali dengan mengingat Allah. Karena
keinginannya yang tidak terbatas, dia tidak pernah puas dengan apa yang
telah diperoleh. Di pihak lain, dia lebih berhasrat untuk ditinggikan ke arah
hubungan dengan Allah, Tuhan Yang Maha Abadi.
Dua fungsi dan peranan inilah (sebagai khalifah Allah dan ‘abd Allah)
yang menjadikan manusia dapat hidup lebih dinamis dan mencapai kemajuan
peradaban yang membuat hidupnya lebih bergairah dalam menggapai tujuan
yang dicita-citakan. Tetapi perlu diingat bahwa hal itu bisa diwujudkan
sepanjang manusia mampu menciptakan keseimbangan antara keduanya. Jika
tidak, justru akan menyebabkan manusia meluncur jatuh ke posisi dan tingkat
yang paling rendah (Q.S. al-Thin:4). Jadi, dengan menyeimbangkan fungsi dan
peranannya sebagai khalifah Allah dan ‘abd Allah itulah nantinya yang dapat
membawa manusia pada kedudukannya sebagai makhluk yang paling mulia.

3. Tanggung Jawab Manusia Sebagai Khalifah dan Hamba Allah


Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi menunjukkan
bahwa Allah memberikan kepercayaan kepada manusia menjadi wakil-Nya untuk
memegang kekuasaan dan sekaligus sebagai pemimpin di bumi. Pemimpin
tentunya harus memiliki kelebihan dibanding dengan yang dipimpin. Dipilihnya
manusia sebagai pemimpin tidak lain karena kelebihan yang ada pada dirinya
jika dibanding dengan makhluk lainnya. Ini dibuktikan dengan kesediaan
manusia untuk menerima amanat dari Allah, sementara makhluk lain
menolaknya (Q.S. al-Ahzab:72).

Kesediaan mengemban amanat dari Allah tersebut mengandung suatu


konsekuensi bahwa manusia harus lebih mengutamakan untuk menjalankan
kewajiban-kewajiban yang diberikan Allah daripada menuntut hak. Kewajiban
tersebut merupakan bentuk tanggung jawab manusia dalam menjalankan
misinya sebagai khalifah di muka bumi. Karenanya ia terlebih dahulu harus
mewujudkan tugasnya dalam mengolah dan memanfaatkan segala sesuatu yang

42
Hakikat Manusia Menurut Islam
Muchsin Zain

ada di bumi beserta alam sekitarnya menurut jalan Allah dalam konteks
kehidupan pribadi, masyarakat, dan bernegara semata-mata karena Allah (Q.S.
al-An’am:163). Setelah itu, barulah manusia akan mendapatkan haknya berupa
kenikmatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Jadi, hak yang
diperoleh manusia itu adalah sebagai konsekuensi yang datangnya kemudian
setelah ia menjalankan kewajibannya menurut jalan Allah, dan jika kewajiban itu
tidak dilaksanakan ia tidak akan mendapatkan haknya.

Tanggung jawab utama yang harus dikerjakan manusia sebagai khalifah


ialah mewujudkan kemakmuran di muka bumi dalam rangka mengaplikasikan
berbagai bekal yang telah diberikan oleh Allah kepadanya. Manusia telah diberi
tahu tentang nama dari segala benda yang ada di bumi, di samping itu diberi pula
potensi yang bersifat fisik (seperti melihat, mendengar, mencium, dan
merasakan) dan potensi yang bersifat non fisik yang berupa roh atau jiwa yang
mengandung daya pikir (akal) dan daya rasa (Suryana, 1996:16).

Dengan potensi yang dimilikinya itu manusia akan mampu memahami


fenomena alam melalui proses berpikir yang kemudian dituangkan dalam bentuk
penyusunan konsep dan teori yang melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi,
yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik material
maupun spiritual menuju kesejahteraan dan kebahagiaan hidupnya yang tidak
hanya di dunia saja tetapi juga di akhirat .

Manusia diberi kebebasan berpikir, berkreasi, dan berkarya untuk


menentukan tujuan hidupnya. Hal yang terpenting adalah apapun yang
dikerjakan oleh manusia harus menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi
hidupnya dan alam sekitarnya. Karena itu manusia harus mampu mengendalikan
dorongan nafsu yang mengarah kepada hal-hal negatif yang dapat membawa
manusia kepada perbuatan-perbuatan sesat, ceroboh, sombong, dan rakus yang
pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya malapetaka yang merugikan
dirinya dan merusak alam sekitarnya sebagai sumber penghidupannya.

Manusia sebagai khalifah berkewajiban memelihara bumi sebagai tempat


tinggal sekaligus sumber kehidupannya dan menjaga alam lingkungan yang telah
memberikan kenyamanan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan sebaik-
baiknya serta tidak melakukan perusakan di dalamnya dengan alasan apapun.
Seperti yang telah dilukiskan di dalam al-Qur’an bahwa ada kelompok tertentu
(kaum munafik) yang merusak ekosistem dengan dalih melakukan perbaikan
atau pembangunan, padahal sebetulnya itu merupakan kegiatan yang mengarah
kepada pengrusakan (Q.S. al-Baqarah:11-12). Kalau ini yang terjadi, upaya untuk
mewujudkan kesejahteraan hidup jelas akan terganggu, bahkan bencana yang
akan dialami oleh manusia.

Manusia dengan didorong oleh nafsunya dapat menjadikan dirinya


bersifat rakus dan tamak. Apapun ingin dikuasai hanya untuk memenuhi ambisi
pribadi, tanpa berfikir tindakan yang dilakukan itu mengganggu orang lain dan
merusak sendi-sendi kehidupan atau tidak. Baginya yang penting keinginannya
terpenuhi, sehingga tidak jarang ia mengekploitasi alam tanpa kendali dengan
alasan untuk kesejahteraan hidup. Namun kenyataannya hal itu justru membuat
kehidupan manusia dan kelestarian alam menjadi rusak dan kacau. Akhirnya
bencana dan malapetaka yang akan dirasakan akibat tindakannya tadi. Perbuatan

43
Hakikat Manusia Menurut Islam
Muchsin Zain

semacam inilah yang dicela dan tidak disukai oleh Allah SWT (Q.S. al-
Syu’ara’:183 dan al-Maidah:64).

Jadi, tanggung jawab manusia sebagai khalifah ialah menjalankan


kekuasaan yang telah diberikan Allah kepadanya. Yaitu mengelola bumi dengan
sebaik-baiknya, menciptakan kemakmuran di dalamnya dan memelihara
kelestarian alam serta mencegah dari berbagai kemungkinan yang mengancam
rusaknya kehidupan, dengan cara menempatkan dirinya dengan benar dalam
kedudukannya sebagai khalifah Allah yang mampu menyikapi alam sebagai
amanat Allah untuk digunakan secara bertanggung jawab, sehingga dapat
memberi manfaat secara berkesinambungan dan dapat dirasakan oleh seluruh
komponen kehidupan dalam suasana aman, tertib, damai, dan sejahtera
(Nurdin, et. al., 1993:270).

Untuk mewujudkan kondisi yang demikian itu, manusia harus menyadari


bahwa dirinya juga memiliki tanggung jawab sebagai hamba Allah. Sebagai
seorang hamba Allah ia harus taat, tunduk, dan patuh kepada perintah Allah,
bukan kepada selain-Nya. Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa dan dari Allah
berasal sumber kebenaran yang tidak terbantah. Melalui firman-Nya yang
tercantum di dalam kitab suci tanpa sedikitpun keraguan di dalamnya telah
memberikan garis-garis besar berbagai aturan dan ketetapan yang telah
digariskan Allah apabila mereka menginginkan kebahagiaan.

Dalam hubungannya dengan Allah, manusia menempati posisi sebagai


ciptaan dan Allah sebagai pencipta. Posisi ini memiliki konsekuensi adanya
keharusan manusia untuk taat dan patuh kepada Penciptanya. Keengganan
manusia menghambakan diri kepada Allah akan mengakibatkan ia menghamba
kepada dirinya, kepada hawa nafsu yang dapat menyesatkan hidupnya dan
mengganggu tugas-tugas kekhalifahannya.

Dua peran yang dipegang manusia di muka bumi sebagai khalifah dan
hamba Allah merupakan perpaduan tugas dan tanggung jawab yang melahirkan
dinamika hidup yang sarat dengan kreatifitas dan aktifitas yang selalu berpihak
pada nilai-nilai kebenaran. Hal tersebut juga merupakan kesatuan yang
menyempurnakan nilai kemanusiaannya sebagai makhluk Allah yang memiliki
kebebasan memilih dan berkreasi, sekaligus menghadapkannya kepada tuntutan
kodrat yang menempatkan posisinya kepada keterbatasan yang menuntut
ketaatan dan ketundukan kepada Allah. Karena itu hidup seorang muslim akan
dipenuhi dengan aktifitas dan kerja keras tiada henti, yang merupakan wujud
dari amal saleh yang dilandasi oleh keimanan yang kokoh (Suryana, et. al.,
1996:20–21).

Dari sini tampak dengan jelas bahwa tanggung jawab manusia sebagai
hamba Allah adalah dalam menjalankan aktivitasnya. Mereka harus selalu
berpedoman kepada ketetapan yang telah digariskan oleh Allah, taat dan patuh
kepada perintah-Nya, tidak mengikuti kemauannya sendiri dan dorongan nafsu
semata, agar segala yang dikerjakan benar-benar sesuai dengan kehendak Allah,
sehingga memberi manfaat tidak saja pada dirinya juga kepada lainnya. Inilah
pada hakikatnya letak kualitas manusia, yaitu beriman kepada Allah dan beramal
saleh. Jadi, kualitas kemanusiaan sangat tergantung kepada kualitas komunikasi
kepada Allah melalui ibadah, dan kualitas interaksi sosial kepada sesama melalui
muamalah.

44
Hakikat Manusia Menurut Islam
Muchsin Zain

Selanjutnya dari kedua tanggung jawab tersebut, manakah yang harus


didahulukan? Apakah terlebih dahulu melaksanakan tanggung jawabnya sebagai
khalifah Allah baru kemudian menjalankan tanggung jawabnya sebagai hamba
Allah atau sebaliknya?

Perlu diketahui bahwa kedua tanggung jawab itu adalah merupakan satu
kesatuan yang hanya bisa dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan. Dengan
demikian manusia dituntut untuk mampu menciptakan keseimbangan antara
keduanya. Maksudnya, dalam melaksanakan tanggung jawab sebagai khalifah
Allah yang ditandai dengan aktivitas berpikir, berkreasi, dan berkarya,
hendaknya dibarengi pula dengan menjalankan tanggung jawab sebagai hamba
Allah yang ditandai dengan niat karena Allah dan aktivitas beribadah (zikir),
demikian pula sebaliknya. Aktivitas berpikir, berkreasi, dan berkarya harus
bermuara kepada ibadah, sedang ibadah harus diaktualisasikan ke dalam
aktivitas berpikir, berkreasi, dan berkarya. Jadi, apabila manusia mampu
menyeimbangkan kedua tanggung jawab tersebut, maka mereka akan dapat
merasakan kebahagiaan baik material maupun spiritual, jasmani dan rohani
serta tidak saja di dunia, juga di akhirat nanti.

TUGAS DAN EVALUASI

1. Pendapat tentang siapa sebenarnya manusia itu sangat beragam dan berbeda
antara yang satu dengan yang lain. Faktor apa yang menyebabkan demikian?
2. Keberadaan nabi Adam sebagai manusia pertama masih menjadi perdebatan
di antara para ulama. Mengapa demikian? Jelaskan alasan yang mendasari
masing-masing pendapat tersebut!
3. Manusia memiliki potensi yang dapat berkembang ke arah yang positif atau
negatif. Bagaimana hal tersebut terjadi?
4. Apa manfaat yang diperoleh manusia dengan mengetahui bahwa di dalam
dirinya terdapat potensi yang positif dan negatif?
5. Diskusikan dampak yang akan terjadi apabila potensi yang negatif itu
menguasai diri manusia!
6. Setelah mengetahui perbedaan antara manusia dengan makhluk lain,
jelaskan mengapa Allah memilih manusia sebagai khalifah fil ardhi!
7. Kekuasaan yang diberikan Allah kepada manusia sebagai khalifah fil ardhi
tidak bersifat mutlak. Jelaskan maksud pernyataan tersebut!
8. Apa yang harus dilakukan oleh manusia agar dalam menjalankan fungsinya
sebagai khalifah fil ardhi dapat berjalan lancar dan sukses?
9. Manusia memiliki dwifungsi yaitu sebagai khalifah dan hamba Allah.
Jelaskan hubungan kedua fungsi tersebut!

45
Hakikat Manusia Menurut Islam
Muchsin Zain

DAFTAR PUSTAKA

al-Dzaky, Hamdani Bakran. 2001. Psikoterapi Konseling Islam. Yogyakarta: t.p.

Ashari, Endang Saifuddin. 1979. Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu
Fajar Pustaka Baru.

Boisard, Marcel A. 1980. Humanisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Daradjat, Zakiah. et. al. 1984. Dasar-dasar Agama Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.

------------------------------. 1999. Pendidikan Agama Islam pada Perguruan


Tinggi Umum. Jakarta: Departemen Agama RI.

Gazalba, Sidi. 1978. Ilmu Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama.
Jakarta: Bulan Bintang.

Madjid, Nurcholish. 2000. Islam Agama Peradaban. Jakarta: Paramadina.

Nurdin, Muslim. et. al. 1993. Moral dan Kognisi Islam. Bandung: C.V. Alfabeta.

Saifuddin, Muhammad. et. al. 1996. Islam untuk Disiplin Ilmu Sosiologi. Jakarta:
Departemen Agama RI.

Shihab, Quraish. 1996. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.

Shihab, Quraish. 1994. Lentera Hati. Bandung: Mizan.

Suryana, Toto. et. al. 1996. Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi.
Bandung: Tiga Mutiara.

Tim Dosen PAI IKIP Malang, 1985, Pendidikan Agama Islam I. Malang: LEPPA
IKIP Malang.

46

Anda mungkin juga menyukai