Anda di halaman 1dari 14

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Masalah

Pernikahan adalah suatu lembaga persekutuan yang diciptakan dan ditetapkan oleh Allah
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan (heterosexual) yang didahului tindakan,
meninggalkan orang tua oleh karena cinta, dengan sepengetahuan masyarakat (bersatu) dan
mencapai kepenuhannya dalam satu daging (one flesh) dan dimahkotai (diberkati) dengan
penganugerahan anak yang disebut dengan istilah membentuk keluarga. Pernikahan sebagai suatu
persektuan hidup dilandasi oleh persetujuan atau perjanjian bebas oleh karena cinta dan
persetujuan kedua belah pihak harus dinyatakan secara jelas di hadapan saksi-saksi yang syah1
yaitu dihadapan jemaat dan keluarga
Pernikahan adalah suatu perjanjian untuk setia kepada yang lain di dalam hubungan
satu daging.2 karena pernikahan tidak hanya mempunyai dasar secara rohani, tetapi pernikahan
ada dan terjadi ditengah masyarakat dan mempunyai dimensi sosial, sehingga soal pernikahan
adalah punya hubungan dengan masyarakat dan negara3, juga karena seks di dalam kehidupan
manusia bukanlah hanya berhubungan dengan masalah tubuh, bukan juga hanya urusan pribadi,
tetapi tidak dapat disangkali bahwa seks pada manusia mempunyai aplikasi sosial. Hal ini
menuntut bahwa penyatuan dua pribadi dalam pernikahan harus dilaksanakan di depan umum,
dan itu akan menjadi perlindungan bagi pernikahan sebagai suatu lembaga persekutuan.4 Sejalan
dengan pandangan Alkitab tersebut maka Jhon Stott,5 mempertegas ungkapan Alkitab di atas
dengan mengatakan :“Pernikahan adalah suatu ikatan yang heteroseksual antarasatu orang laki-
laki dan satu orang perempuan, ditahbiskan dan dikukuhkan oleh Allah, didahului oleh bepergian
meninggalkan orang tua dengan sepengetahuan orang banyak mencapai kegenapan yang
sepenuhnya dalam persetubuhan menjadi satu pasangan yang permanen saling menopang, dan
memahkotai dengan penganugrahan anak-anak”.
Maka pernikahan sebagai persekutuan rohani dan yang mempunyai tujuan rohani, peranan
Allah sangat menetukan dalam kehidupan pernikahan Kristen. Allah tidak hanya berperan untuk

1
T. Gilarso, Sj (ed), Membangun Keluarga Kristen, Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 9.
2
Failchhild Roy W, Christrian In Families, Curriculum Press, 1964, hlm. 57.
3
Jhon L. Thomas, Sj, Beginning Your Marriage, United Nates Buchely Publications, 1982, hlm. 15.
4
Henry A. Bowman, A Christian Interpretation of Marriage, Philadelphia: The Westminster Press, 1952,
hlm. 28.
5
John Stott, Isu-isu Global Menentang Kepemimpinan Kristiani, Yayasan Bina Kasih OMF, Jakarta, 1996,
hal.374.

1
memberikan penolong atau pasangan yang sepadan, mempersatukan dan menetapkan pernikahan
tetapi Allah juga berperan dalam kelanjutan hidup pernikahan tersebut. Oleh sebab itu,
pernikahan Kristen harus dimulai dengan iman kepada Allah, kehadiran Allah untuk
menguduskan, meneguhkan janji, menyempurnakan kasih (cinta) dan memberkati pernikahan
mereka, sehingga pernikahan mereka menjadi pernikahan/keluarga yang diberkati oleh Tuhan
(bahagia).6 Ukuran sebuah kebahagiaan menurut konsep pernikahan orang Kristen selalu
dihubungkan dengan keturunan. Keturunan atau anak menjadi satu ukuran dari sebuah
keberhasilan dari pernikahan tersebut, sehingga sudut pandang pernikahan dipandang sebagai
perolehan keturunan seperti yang dijelaskan di dalam Kejadian 1:28. Hal yang serupa juga
dipahami oleh suku Batak Toba.

Pernikahan menurut masyarakat Batak Toba adalah diikat oleh sistem kekerabatan
”Dalihan Na Tolu” (DNT – Tungku Nan-Tiga), sesuai dengan ungkapan perumpamaan yang
mengatakan : ”Marrokkap songon bagot Marsibar songon ambalang (artinya : agar kedua
mempelai menjadi pasangan yang serasi, yang dapat memberikan kebahagiaan bagi keluarganya,
yaitu mempunyai anak laki-laki dan anak perempuan) sebagai penerus garis keturunan dan
pewaris harta pusaka orang tuanya. Maka bagi masyarakat Batak Toba, kebahagian dan
kekekalan suatu pernikahan atau keluarga tergantung dengan adanya anak laki-laki dan anak
perempuan dalam keluarga itu, apabila keluarga itu tidak mempunyai anak laki-laki dan
perempuan belum dapat dikatakan pernikahan itu bahagia dan sempurna. Karena itu kebahagian
dan kesempurnaan suatu pernikahan diukur dari adanya keturunan sebagai berkat bagi pernikahan
itu. Bahkan di dalam tradisi adat yang dilangsungkan oleh karena adanya pernikahan, maka kita
akan sering mendengar banyaknya umpasa atau pantun-pantun nasihat atau doa-doa yang
disampaikan kepada pasangan yang baru mendapatkan pemberkatan pernikahan seperti :
misalnya: “Bintang na riris ombun na sumorop, maranak periris marboru pe torop”. Keturunan
atau anak dalam suku Batak Toba adalah untuk meneruskan silsilah atau tarombo. “Tubu ma
hariara, ditongah huta, sai tubu ma anak dohot borumu na mora jala na martua (tumbuhlah
pohon beringin ditengah-tengah kampung, semoga lahir anak laki-laki dan perempuan yang kaya
dan berwibawa). Penekanan umpasa atau pantun di dalam tradisi batak sudah menjelaskan bahwa
pernikahan yang susungguhnya bagi orang batak adalah kebahagian dengan menghasilkan anak

6
Henry A. Bowmann, Op.cit, hlm. 21.

2
laki-laki dan perempuan. Maka tidak ada alasan bagi orang batak untuk tidak memiliki anak atau
keturuanan. Konsep keturunan atau anak (khususnya anak laki-laki) dihubungkan dengan
istilah sahala7. Maka jika sebuah pernikahan atak Toba memiliki banyak anak, maka semakin
banyak jugalah sahala di dalam kehidupan pernikahan itu, sehingga dapat diartikan bahwa
kekayaan akan berlimpah-limpah dalam rumah tangga mereka, serta wibawa atau harga diri
keluarga akan semakin tinggi. Oleh sebab itu prinsip anak dalam pernikahan Batak Toba tentang
anak dihubungkan dengan kekayaan secara materi (istilah batak : anakkhonki do hamoraon di
ahu) dan harga diri di masyarakat. Namun jika dalam pernikahan tersebut tidak menghasilkan
anak, maka isteri dipandang sebagai sesuatu yang merendahkan martabat sang suami, karena
orang yang tidak mendapat keturunan di sebut ”mate purpur”8, dan yang tidak mempunyai anak
laki-laki disebut yan ”mate panu”9. Dengan demikian, pernikahan yang tidak mendapat
keturunan anak laki-laki dan perempuan menurut budaya Batak Toba, maka isteri harus
dikembalikan secara adat kepada orangtuanya. Konsep memperoleh keturunan atau anak di
dalam pernikahan suku batak diibaratkan pohon dan akar. Jika sebuah pernikahan menghasilkan
anak atau keturunan (khusunya anak laki-laki), maka diibaratkan sebagai pohon yang memiliki
akar. Karena fungsi akar untuk pohon adalah kelangsungan hidup, namun jika sebuah keluarga
tidak memiliki keturunan atau anak (khususnya anak laki-laki) maka pohon itu tidak akan dapat
hidup, oleh karena akarnya tidak ada.10 Itu sebabnya J.C. Vergouwen mengatakan Pernikahan
yang tidak membuahkan keturunan dianggap sebagai kutuk yang diberikan Mula Jadi Nabolon
kepada keluarga dalam bentuk kepunahanan11, karena dengan memperoleh keturunan di dalam
sebuah pernikahanlah falsafah kesempurnaan hidup dapat terjadi. Oleh karena itu diusia
pernikahan yang sudah 5 tahun, orang batak akan mempertanyakan tentang keturunan atau anak
yang mereka peroleh di dalam pernikahannya. Jika pernikahan batak yang sudah mencapai usia 5
tahun belum juga memperoleh keturunan atau anak, maka sanak keluarga terlebih-lebih orang tua

7
Sahala menurut pandangan Harun Hadiwijono adalah kualitas, sifat atau kekuatan tondi atau roh yang
dapat menentukan nasib manusia (Harus Hadiwijono, Religi Suku Murba di Indonesia, BPK-Gunung Mulia, Jakarta,
cet ke-5, 2000, hal. 84 )
8 ?
Mate Purpur, adalah sepasang suami isteri yang tidak mempunyai keturunan yang putusnya harapan
untuk masa depan
9 ?
Mate Panu ialah sepasang suami isteri yang tidak mendapat ana laki-laki dari pernikaannya melainkan
hanya anak perempuan sehingga kesinambungan generasinya tidak ada
10
Nurelide, meretas budaya masyarakat Batak Toba Sumatera Utara, jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas
Surabaya Vol, 2 No. 1 tulisan Ruth Nauli Aninda, 2013, hal. 4
11
J.C. Vergouwen, The Social Organization And Customary Law Of The Toba Batak Of Northern Sumatra,
(Redaksi PA, Pengalih bhs.), Jakarta: Pustaka Azet

3
akan menyarankan atau menyuruh suami dan isteri tersebut untuk memeriksa kesehatanan rahim
dari perempuan. Jika kesalahan terjadi pada perempuan, pada umumnya pihak keluarga laki-laki
atau suami akan menekan perempuan atau tidak menghargai posisi perempuan atau isteri di
dalam pernikahan tersebut, apa lagi jika memang perempuan atau isteri tersebut dinyatakan tidak
akan bisa memperoleh keturunan di dalam pernikahannya (terjadi kemandulan), oleh karena itu
mandul atau kemandulan merupakan ancaman terhadap kelangsungan dari garis keturunan dari
pihak laki-laki atau suami. Selain menjadi ancaman bagi pihak keluarga laki-laki atau suami,
kondisi mandul atau kemandulan akan menjadi buah bibir ditengah-tengah keluarga dan
masyarkat. Oleh karena itulah sehingga M. A. Siahaan12, mengatakan bahwa kemandulan
merupakan virus musibah yang amat berat dihadapi dikalangan suku Batak karena akibatnya
selalu menuju kepada pertengkaran dan perceraian.
Dampak-dampak dari madul atau kemandulan tersebut akan beresiko kepada psikologi
pernikahan atau dapat dikatakan bahwa arus pernikahan dari pasangan suami-isteri akan
mengalami ketidak harmonisan atau disharmoni. Selain ketidakharmonisan terjadi dalam rumah
tangga yang mengalami mandul atau kemandulan, ada satu sikap yang sering terjadi di dalam
pernikahan batak toba yang mengalami kemandulan yaitu: yang tidak mempunyai anak tergoda
untuk mencari isteri kedua, demi memperoleh keturunan itu. Demikian pula. A. Lumbantobing 13,
menekankan hal yang sama, mengatakan: seorang suami yang tidak mempunyai keturunan
dari isterinya akan mengambil perempuan yang lain untuk dijadikan menjadi isteri yang kedua
yang diharap dapat memberi keturunan terutama anak laki-laki. 14 Pandangan ini dianggap layak
dan sering terjadi di dalam pernikahan orang batak yang mengalami kemandulan.
Melihat kondisi ini sudah sewajarnya Gereja bersama pelayannya sebagai rekan Allah
dalam dunia ini untuk hadir secara kreatif dalam pelayanannya untuk melayani mereka. Gereja
harus lebih jeli melihat bahwa persoalan tersebut tidak hanya merupakan persoalan budaya, social
namun harus juga dirangkaikan sebagai persoalan teologis. Dalam hal inilah Gereja harus hadir
untuk menerangkan bahwa pasangan yang tidak mempunyai anak/mandul pada hakekatnya
adalah sama harkat maupun martabat dibandingkan dengan pasangan atau suami-isteri yang
mempunyai sedikit atau banyak keturunan anak laki-laki dan perempuan, ditengah-tengah
masayarakat apalagi di hadapan Tuhan. Yaitu sama-sama yang mendapat pengampunan dan

12
M. A. Siahaan, 1969, hal 113
13 ?
A. Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1992, hal 25
14 ?
A. A. Sitompul, manusia dan Budaya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1991, hal 40

4
berkat serta harkat dan martabat adalah sama dengan pasangan-pasangan lainnya. Dan demikian
soal laki-laki dan perempuan tidak ada beda, (Rom 3 :23-24).
Penulis melihat dalam kaiatan Gerejawi, sering kali anggota Jemaat terpengaruh dan
tidak realitas untuk menterjemahkan apa yang dikatakan Allah: “Untuk bertambah banyak dan
memenuhi bumi” (Kej 1:28). Dimana tidak sedikit anggota jemaat yang akhirnya menempatkan
tujuan dari pada pernikahan ialah “ingin memperoleh keturunan”, bukan lagi keutuhan relasional
demi kemuliaan Allah. Anggapan Jemaat ini semakin berakar, ketika dipengaruhi oleh falsafah-
falsafah budaya yang berkembang dalam masyarakat. Akibatnya dalam Gereja-gereja juga
pernikahan itu sebagai “ikatan kudus” menjadi merosot nilainya. Hal yang lebih parah lagi tidak
sedikit Gereja dan pelayannya kurang sekali membantu anggota mereka yang telah menikah
dalam pergumulan hidup mereka. Sehingga kita dapat melihat sedikit rumah tangga Kristen yang
tidak lagi berbahagia dan harmonis, bahkan berada di ambang kehancuran akibat faktor ketidak
hadiran keturunan sebagai buah kasih cinta mereka. Dalam hal ini seandainya Gereja dan
pelayanannya menyadari bahwa mereka adalah “mitra Allah” dalam mewujud nyatakan
kehendakNya dalam dunia, sudah sepantasnya Gereja hadir untuk mendampingi, menguatkan di
dalam pelayanan Pastoral. Pelayanan Pastoral yang telah diwarikan Allah kepada Gereja (Joh 21)
karena tidak ada alasan bagi Gereja untuk tidak melakukannya. Gereja harus melihat secara jeli
dan positif bahwa persoalan tersebut adalah persoalan yang dapat menggangu keutuhan pribadi
dan keutuhan relasional pasangan tersebut. Untuk inilah Pastoral kepada pasangan ini harus
menjadi andalan kepioneran Gereja dan pelayanannya dalam menguatkan dan mendampingi
keluarga yang tidak mendapat ketunanan/mandul.
Untuk ini Gereja harus mau jujur dan mengintropeksi diri dalam pelayanannya,
apakah bentuk Gereja sudah menyentuh persoalan sebagaimana telah disebutkan itu? Oleh sebab
itu sudah seharusnya Gereja mengevaluasi pelayanannya. Persoalan yang disebutkan di atas
sangat membutuhkan penanganan yang serius, sebab apabila dibiarkan, hal ini dapat menjadi
momok yang pemicu persoalan dalam keutuhan pasangan suami-isteri. Untuk inilah Pastoral
menjadi bentuk pelayanan yang menguatkan, mendampingi, sekaligus memberi nilai pendidikan
iman pribadi, pasangan dalam budaya masyarakat. Melalui pelayanan Pastoral ini juga
diharapkan masyarakat yang lebih cenderung memegang nilai-nilai dan falsafah budaya
diharapkan dapat disadarkan dan diingatkan bahwa tujuan pernikahan dalam ikatan sebagai
suami-isteri bagi umat Kristen bukanlah semata-mata untuk memperoleh keturunan, namun

5
kesatuan yang saling mengasihi dan melayani demi kemuliaan nama Tuhan. Bahkan lebih jauh
dari pada itu dapat dikatakan bahwa ikatan pernikahan yang kudus itu menjadi salah satu bentuk
ibadah kepada Allah Gembala Yang Baik itu. Sehingga sangat dimungkinkan pasangan yang
tidak mempunyai keturunan tidak akan mengalami kemunduran, kerapuhan yang memberikan
tekanan kepada kedua pasangan baik secara mental, fisik, kejiwaab dan pergumulan-pergumulan
lainnya. Sebab baik pasangan tersebut maupun masyarakat diharapkan sudah mampu menerima
kehadiran mereka sebagai keluarga yang utuh sebagai anggota masyarakat dan anggota jemaat,
sekalipun mereka tidak mempunyai anak.
Dalam zaman modern ini semakin banyak orang yang merasakan ketidaktentraman
jiwanya, terutama dikota-kota dan di sentra-sentra ekonomi, karena dalam lingkungannya setiap
hari sering diganggu dengan ketiadaan norma-norma tempat dia bisa berdiri dan sering jiwanya
juga tidak kuat lagi. Untuk memperbaiki sebab dan akibat psikologis dari krisis yang hebat ada
tiga kemungkinan pertolongan yaitu:15 1) Pelayanan penggembalaan umum adalah suatu
pelayanan yang mencakup kehadiran, mendengar, kehangatan, dan dukungan praktis. 2)
Konseling krisis jangka pendek, informal dan formal, diperlukan oleh orang-orang yang dapat
menggerakkan sumber penanggulangan mereka lebih cepat dan mengatasi krisis mereka lebih
konstruktif dengan menerima suatu bantuan dalam hal menguji realitas dan dalam hal
perencanaan pendekatan yang efektif kepada situasi baru yang diciptakan oleh krisis itu. 3)
Konseling dan terapi jangka panjang, dibutuhkan oleh yang terluka berat secara kejiwaan dan
dilumpuhkan oleh kehilangan yang amat besar atau krisis yang terjadi berkali-kali sehinga
mereka tidak mampu lagi menggerakkan sumber penanggulangan mereka tanpa bantuan
penggembalaan. Upaya Konseling dapat dilakukan untuk membantu pasutri mengalami ketidak
hsrmonisan.

Melalui pastoral konseling diharapkan setiap situasi baru yang dihadapi seseorang dapat
memberikan kesempatan untuk membangun cara baru dalam membangun kemampuannya
mengatasi krisis yang dihadapinya. Seseorang itu harus mempergunakan “inner resources”
(kemampuan yang ada di dalam dirinya, yaitu nilai-nilai yang telah tersosialisasi dalam dirinya).
Kadang-kadang seseorang itu harus berusaha berulangkali karena caranya yang pertama tidak
berhasil tapi jika ia tekun ia akan mendapatkan cara-cara untuk mengatasi masalahnya.

15
H.Norman Wright, op.cit., hlm. 176-179

6
Berdasarkan sosialisasi yang sudah terjadi dan pengalaman yang sudah terjadi ada maka
seseorang itu akan lebih mudah menghadapi atau menyeselaikan masalah yang ia hadapi.

Secara umum Pelayanan Penggembalaan di GKPI yang tertuang dalam Garis


Kebijaksanaan Umum GKPI16 khususnya fasal 2.3.3 tentang Penggembalaan orang bermasalah
khusus. Untuk itulah penulis merasa tertarik dan terpanggil dengan melihat pergumulan-
pergumulan yang dialami oleh pasutri pada masa kini, maka penulis mencoba membuat suatu
karya ilmiahdengan judul : KONSELING PASTORAL TERHADAP PASUTRI MANDUL
DALAM MENINGKATKAN KEHARMONISAN DAN IMAN PASUTRI
DIPERHADAPKAN DENGAN FILOSOPI ANAKHON HI DO HAMORAON DI AU DI
GKPI KECAMATAN HELVETIA MEDAN

16
Garis Kebijaksanaan Umum GKPI Masa Bhakti 2005-2010, Pematangsiantar: Kolportase GKPI, 2005,
hlm..31-39

7
1.2 Identifikasi Masalah

Melihat dari latar belakang masalah yang telah di kemukakan maka berapa masalah
yang dihadapi keluarga mandul:
1. Ditemukannya pasutri yang mandul diantara anggota Jemaat.
2. Banyaknya pertengkaran yang terjadi di dalam keluarga yang mandul, baik antara
suami-istri maupun dari pihak keluarga yang lain.
3. Andanya poligami yang terjadi yang di sebabkan oleh kemandulan sebagai upaya
memperoleh keturunan.
4. Adanya perceraian yang diakibatkan oleh kemandulan.
5. Timbulnya kekecewaan dalam keluarga bahwa Allah tidak mengasihi dan tidak
menjawab doa-doa mereka.
6. Kurangnya perhatian gereja dalam pembinaan kerohanian terhadap keluarga yang
mandul.
7. Adanya anggapan yang menganggap pasutri yang mandul tidak berguna.
8. Kurangnya keharmonisan dan terganggunya iman diantara pasutri yang mandul.

1.3 Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah merupakan salah satu bagian dari sistematika pengerjaan karya
ilmiah yang bertujuan untuk membatasi ruang lingkup penulisan dengan jelas, sehingga
penuliasan karya ilmiah yang dilakukan peneliti lebih terarah. 17
Demikian ungkapan Mardalis
bahwa pembatasan masalah dimaksudkan agar peneliti dapat membatasi tuang lingkupnya. 18
Bagaimana konseling dapat mempertahankan keutuhan pernikahan dan menciptakan
keharmonisan dalam keluarga yang mandul. Dalam hal ini penulis membatasi terhadap 10
pasutri yang mandul (tidak mempunyai anak) dalam jangka waktu pernikahan mulai 10 tahun
yang berada di GKPI kecamatan Helvetia Medan.
1.4 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konseling pastoral pasutri mandul di GKPI di Kecamatan Helvetia
Medan.

17
Bnd. Mardalis, Metode Penelitia: Suatu pendekatan Proposal (Jakarta: Bumi aksara, 1989, 38
18
Mardalis, Metode Penelitia: Suatu pendekatan Proposal (Jakarta: Bumi aksara, 1989, 38

8
2. Apa yang menyebabkan anak dalam keluarga menjadi sangat penting dalam
kehidupang orang Batak Toba.
3. Bagaimana gambaran pasutri mandul dari sisi usia, lama menikah.
4. Bagaimana dampak pasutri mandul secara psikis, sosial, dan kegerejaan.
5. Bagaimana keadaan pasutri sebelum dan sesudah konseling.
6. Sejauh mana kounseling dapat meningkatkan keharmonisan daniman kerohanian
dalam pautri yang mandul.

1.5. Pengajuan Hipotesa

Hipotesa merupakan kesimpulan sementara. Kesimpulan tersebut ada kecendrungan untuk benar

tetapi belum pasti. Sehubungan dengan itu Winarno Surakhmad mengatakan 19 hipotesis adalah

suatu kesimpulan, tetapi kesimpulan ini belum final, masih harus dibuktikan kebenarannya.

Hipotesis adalah suatu jawaban yang dianggap besar kemungkinannya untuk menjadi jawaban

yang benar apabila dengan data yang terarah serta disimpulkan bahwa hipotesis itu benar sebagai

konklusi yang sangat sementara sifatnya. Selanjutnya Kartini Kartono20 juga mengemukakan

sebuah hipotesis yaitu jawaban sementara dari suatu penelitian yang harus diuji kebenarannya

dengan riset yang ilmiah.

Jika dalam sebuah pernikahan, yang menjadi faktor utamannya adalah memperoleh

keturunan, maka tidak mungkin rumah tangga itu dapat bahagia. Karena keturunan di dalam

sebuah pernikahan adalah kunci dari sebuah keberhasilan dalam pernikahan. Namun, tidak semua

pernikahan dapat menghasilkan keturunan, oleh karena beberapa faktor. Namun semua itu

tidaklah menjadi pemicu yang kompleks dalam menentukan pernikahan yang bahagia atau tidak.

Namun jika pernikahan itu tidakharmonis atau disharmoni maka lewat pastoral konseling,

mungkin cara terbaik di dalam menjawab dan mencari jalan keluar dari masalah tersebut.

19
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung, Tarsito, 1985, hlm. 168
20
Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Penelitian Sosial, Bandung: Tarsito, 1986, hlm.
70

9
1.5 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui faktor jadinya pertengkaran dan dan ketidak harmonisan dalam
keluarga yang mandul.
2. Untuk mengetahui sejauh mana konseling berperan dalam mempertahankan
keutuhan keluarga yang mengalami kemandulan
3. Untuk mengetahui Bagaimana konseling mengubah pola pikir dan menghilangkan
kekecewaan keluarga yang mandul kepada Tuhan
4. Untuk meningkatkan pembinaan dan konseling kepada keluarga yang mengalami
kemandulan
1.5.1. Manfaat Penelitian
1 Untuk menambah wawasan bagi penulis dalam memberikan konseling kepada pasutri
yang mengalami kemandulan
2 Untuk memberikan Sumbangsih konseling kepada setiap orang sehingga dapat
menjadi konselor bagi pasutri yang mandul
3 Untuk memberikan kontribusi dalam membantu gereja-gereja untuk meningkatkan
konseling kepada pasutri yang mandul
4 Untuk memberikan pemahaman kepada pasutri supaya tetap harmonis dan
memuliakan Tuhan sekalipun mengalami kemandulan

1.5 Metode Penelitian

1.6.1. Jenis Penelitian


Metode penelitian jelas ada sangkut pautnya dengan pengumpulan data-data dari lapangan
penelitian. Maka dalam penelitian ini dipakai dua jenis metode penelitian, yakni:
Pertama, Metode Deskriptif. Penelitian deskriptif mencakup pengumpulan data untuk
menguji hipotesis yang berkaitan dengan status subyek penelitian sekarang. 21 Penelitian ini
berusaha mendeskripsi, yaitu memberi gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan
akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.22
Deskripsi adalah bersifat menggambarkan apa adanya, tanpa mengambil kesimpulan-kesimpulan

21
Sumanto, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Andi Offset, 1990, hlm. 47
22
Mohammad Nasir, Metode Penelitian, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1998, hlm. 63

10
yang berlaku secara umum.23 Adapun sebagai ciri-ciri metode diskriptif yang merupakan titik
tolak penulis memilihnya sebagai metode dalam penelitian ini adalah:
1. Memusatkan diri pada pemecahan masalah-masalah yang ada pada masa sekarang, pada
masalah-masalah yang aktual.
2. Data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisa.
Kedua, Metode Kualitatif. Penelitian kualitatif adalah sejenis penelitian formatif yang
secara khusus memberikan tehnik untuk memperoleh jawaban atau informasi mendalam tentang
pendapat dan perasaan seseorang.24 Penelitian ini memungkinkan penulis mendapat hal-hal yang
tersirat (insight) mengenai sikap, kepercayaan, motivasi dan perilaku target populasi. Informasi
atau temuan-temuan yang diperoleh dan secara khusus yang berhubungan dengan dampak
penyakit dalam kondisi terminal terhadap ketidaktenangan dan ketidaksiapan penderita menerima
kematiannya akan dipakai sebagai acuan di dalam pendampingan pastoral bagi yang
mengalaminya.
Ada dua alasan utama penulis yang mendasari penggunaan metode penelitian kualitatif,
yakni: Pertama, alasan Konseptual. Penelitian kualitatif memmberikan informasi yang mendalam
sehingga dapat memberikan pemahaman yang lebih besar dibandingkan dengan tehnik
kuantitatif. Kedua, alasan Praktis. Menjadi pertimbangan penggunaan jenis penelitian ini, yaitu
biaya murah, waktu singkat, rancangan dapat dimodifikasi selama penelitian berlangsung.25

1.6.2. Tehnik Pengumpulan Data


1. Liberary Research (penelitian kepustakaan) yaitu mengumpulkan data informasi dari
berbagai literatur, jurnal-jurnal penelitian maupun artikel-artikel yang diharapkan
menopang pengembangan tesis ini.
2. Field Research (penelitian lapangan). Dalam penelitian di lapangan penulis akan
mengumpulkan data-data dengan pengamatan dan wawancara langsung terhadap pasien
dalam kondisi terminal. Wawancara yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
wawancara yang tidak berstruktur namun terfokus26 sekaligus mengukur tingkat
ketenangan dan kesiapan pasien dalam kondisi terminal. Melalui pengamatan dan
23
Lukman Ali, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, ,hlm. 228
24
Hadi Nurlaela Ella, Aplikasi Metode Kualitatif Dalam Penelitian Kesehatan, Depok: FKM UI, 2000, hlm.
25
25
Ibid., hlm. 2-3
26
Koentjaniaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1983, hlm. 139

11
wawancara, penulis akan memaparkan dengan jelas tentang keadaan pasien pada stadium
terminal.

1.6.3 Populasi dan Sampel serta Lokasi Penelitian


Populasi penelitian adalah jemaat di beberapa gereja GKPI yang berdomisili di
Kecamatan Medan Helvetia. Sampel yang diteliti adalah jemaat yang mengalami permasalahan
yang diakibatkan oleh kemandulan pasutri. Peneliti mengambil 10 pasutri yang mengalami
kemandulan di gereja GKPI yang berdomisili Kecamatan Medan Helvetia.

1.7 Sistematika Penulisan


Penulisan tesis ini akan dibagi menjadi lima bab. Dalam bab pertama penulis akan
memaparkan tentang pendahuluan penulisan yang mencakup: latar belakang masalah, identifikasi
masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, populasi dan sampel serta
lokasi penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penelitian.
Bab ke-dua memuat tentang kerangka teoritis yang di dalamnya mencakup: pengertian
pendampingan pastoral, dasar Alkitabiah, fungsi pendampingan pastoral, teori-teori pastoral,
proses pendampingan pastoral, sikap dasar pendampingan pastoral, langkah-langkah dalam
rangka pastoral, pengertian-pengertian yang mencakup judul tulisan ini.
Bab ke-tiga memuat tentang metodologi penelitian yang di dalamnya mencakup: prosedur
penelitian lapangan: lokasi penelitian dan waktu penelitian, populasi dan sampel, gambaran
umum klien/pasien dan alat ukur yang dipakai.
Bab ke-empat memuat tentang pembahasan hasil penelitian mengenai kemandulan,
keharmonisan dan iman spritual pasutri yang mandul sebelum dan sesudah konseling dan
relepansi filosopi Anakhon Hi Do Hamoraon DI Au diperhadapkan dengan pasutri yang mandul
dan refleksi.
Bab ke-lima memuat tentang kesimpulan dan saran berdasarkan hasil analisa dari data-
data yang dibahas dalam bab-bab sebelumnya.

12
DAFTAR FUSTAKA
Alkitab LAI
T. Gilarso, Sj (ed), Membangun Keluarga Kristen, Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 9.
Failchhild Roy W, Christrian In Families, Curriculum Press, 1964, hlm. 57.
Jhon L. Thomas, Sj, Beginning Your Marriage, United Nates Buchely Publications, 1982, hlm.
15.
Henry A. Bowman, A Christian Interpretation of Marriage, Philadelphia: The Westminster Press,
1952, hlm. 28.
John Stott, Isu-isu Global Menentang Kepemimpinan Kristiani, Yayasan Bina Kasih OMF,
Jakarta, 1996, hal.374.
A. A. Sitompul, manusia dan Budaya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1991, hal 40
A. Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak, BPK Gunung Mulia, Jakarta,
1992, hal 25
Mardalis, Metode Penelitia: Suatu pendekatan Proposal (Jakarta: Bumi aksara, 1989, 38
Sumanto, Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Andi Offset, 1990, hlm. 47
Mohammad Nasir, Metode Penelitian, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1998, hlm. 63
Lukman Ali, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, ,hlm. 228
Hadi Nurlaela Ella, Aplikasi Metode Kualitatif Dalam Penelitian Kesehatan, Depok: FKM UI,
2000, hlm. 25
Koentjaniaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1983, hlm. 139
William, A.Van Gemeren, New International Dictionary Of Old Testament Theology & Exegetis
(vol.2) p.490
C.Barth, Theologia Perjanjian Lama 4, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993, hlm. 192
Barclay M.Newman, Kamus Yunani Indonesia: Untuk Perjanjian Baru, Jakarta BPK-GM, 2002,
hal.136
Verlag W.Kohlhammer, Theological Dictionary Of New Testament, Stuttgart Germany: WB
Eermans Publishing Co, p.492
Gerarld Caplan alam Tjaard & Anne Hommes, Konseling Krisis, Seri Pastoral 317-Pusat Pastoral
Yogyakarta 2000 No 10; hal 9-10.
Garis Kebijaksanaan Umum GKPI Masa Bhakti 2005-2010, Pematangsiantar: Kolportase GKPI,
2005, hlm..31-39

13
14

Anda mungkin juga menyukai