Anda di halaman 1dari 5

HAK MASYARAKAT TIDAK MAMPU DALAM MENCARI KEADILAN DI PENGADILAN

Oleh: Ridho Afrianedy, S.HI.,L.c


( Hakim PA Sungai Penuh)

Kondisi dunia peradilan yang semakin dituntut bisa melayani para pencari keadilan
untuk lebih transparan, akuntabel dan profesional semakin besar. Apalagi setelah gerbong
reformasi melaju dengan kencang maka lembaga peradilan juga harus melaju lebih kedepan
untuk menjawab semua permasalahan yang ada.
Ada sekian banyak persoalan yang dihadapi dunia peradilan masa kini agar bisa lebih
mendapat pandangan positif dari berbagai pihak. Selama ini kantor pengadilan menjadi momok
yang menakutkan bagi para pencari keadilan.
Cerita-cerita tentang pengadilan hampir mayoritas didominasi oleh pandangan-
pandangan negatif. Diantaranya kalau berurusan dengan perkara di pengadilan maka siapkan
uang sebanyak mungkin, misalkan kalau pihak ini menang karena telah menyogok hakimnya
dalam lain sebagainya.
Hal ini tentu membuat miris dunia peradilan sebagai salah satu pilar utama dalam
penegakkan hukum di Indonesia. Sehingga Mahkamah Agung sebagai salah satu lembaga
kekuasaan kehakiman berusaha semaksimalkan mungkin mereformasi sistem yang berjalan
demi mengutamakan pelayanan publik dalam bidang hukum.
Rendahnya kepercayaan publik terhadap integritas peradilan semakin tinggi, hal
ini menimbulkan rasa apatis dan tidak percaya terhadap dunia peradilan di Indonesia, sering
kita mendengar bahkan dalam obrolan santai bahwa hakim itu bisa disuap, pihak itu menang
karena dekat dengan hakim atau telah menyuap hakim, dan yang lebih parah kalau sudah
masuk ranah peradilan maka siapkanlah uang sebanyak mungkin untuk menyuap hakim, jaksa,
polisi dan lain-lain.
Sejak negara kita bernegara dan memilih membangun sebuah negara hukum,
tentu saja banyak harapan yang dititipkan pada negara hukum tersebut. Kita tidak bernegara
hukum semata-mata karena ingin mendirikan sebuah negara hukum atau karena negara hukum
sudah menjadi fashion di dunia. Kita bernegara hukum karena ada mimpi-mimpi yang ingin
dicapai.[1]
Oleh karena itu, kebutuhan atas pelayanan publik yang akuntabel dan dapat
melayani semua pihak pencari keadilan baik dapat maksimal dilaksanakan. Oleh karena itu,
masyarakat tidak mampu merupakan bagian dari pihak pencari keadilan jangan sampai dilayani
tidak sama dengan pihak pencari keadilan yang kaya. Jangan sampai ada muncul ungkapan
kalau ada uang maka semua urusan lancar, maka otomatis yang terlayani hanya orang kaya
sedangkan orang miskin tidak mendapatkan haknya padahal dimata hukum semua pihak sama.
Sebagaimana yang kita kenal, dalam sistem hukum perdata ada asas “tidak ada
biaya tidak ada perkara” maka dalam peradilan perdata dipungut biaya perkara, yang dikenal
dengan panjar biaya perkara. Nilai nominal panjar biaya perkara tergantung daripada radius
panggilan para pihak, karena sebagian besar biaya perkara terpakai untuk memanggil para
pihak, maka otomatis semakin jauh alamat para pihaknya maka biaya perkaranya juga besar,
dan semakin sering para pihak tidak hadir dalam persidangan maka biaya perkara juga
bertambah. Akan tetapi jika para pihak berperkara datang dan hadir dalam persidangan hingga
putusan dibacakan maka biaya perkara tidak besar bahkan sisa panjar biaya perkara bisa
diambil lagi ke kasir.
Selama ini proses pelayanan masyarakat tidak mampu sudah ada aturannya berupa
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum serta PERMA (Peraturan
Mahkamah Agung) Nomor 2 Tahun 2009 tentang Biaya Proses Penyelesaian Perkara dan
Pengelolaannya Pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada Dibawahnya.
Namun dalam pelaksanaannya, masih ada kendala yang dihadapi oleh Majelis Hakim
dalam menangani perkara prodeo (cuma-cuma) yang tidak dipungut biaya perkara ini. Dalam
persidangan perkara ini ada 2 yang di adili, masalah permintaan agar dibebaskan membayar
perkara diadili, serta gugatan perkaranya juga diadili.
Sebelum lahir PERMA (Peraturan Mahkamah Agung) Nomor 1 Tahun 2014,
permohonan berperkara dengan cuma-cuma dalam tingkat pertama terlebih dahulu diperiksa
oleh hakim dalam sidang insidental yang memeriksa ketidakmampuannya pihak yang
mengajukan gugatan itu kepada pengadilan. Hasil pemeriksaan tersebut dituangkan dalam
putusan serta sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 239 ayat (1) HIR dan Pasal 275 ayat (1)
RBG. Pihak lawan yang mengajukan permohonan berperkara dengan cuma-cuma dapat
menyangkal permohonan gugat cuma-cuma tersebut dengan menyatakan bahwa permohonan
gugat dengan cuma-cuma adalah tidak beralasan, yang sebenarnya pihak yang mengajukan
gugat itu adalah orang yang mampu dan sanggup untuk membayar ongkos perkara
sebagaimana yang ditetapkan oleh pengadilan. Ketentuan pihak lawan membantah
permohonan gugat dengan cuma-cuma ini tersebut dalam Pasal 239 ayat (2) HIR dan Pasal 275
ayat (20 RBG.[2]
Legalitas tentang status ketidakmampuan dalam membayar biaya perkara harus
mempunyai syarat yang telah diatur. Pihak yang tidak mampu harus melampirkan surat
keterangan tidak mampu dari kepala desa/kelurahan atau yang setingkat (banjar, nagari dan
gampong) (Pasal 60 B Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009) atau surat keterangan sosial
lainnya seperti: Kartu Keluarga Miskin (KKM), Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat
(Jaskesmas), Kartu Program Keluarga Harapan (PKH) atau Kartu Bantuan Langsung Tunai
(BLT).[3]
Hal ini tentu membuat proses persidangan menjadi tersendat dan lama, namun
dengan hadirnya PERMA (Peraturan Mahkamah Agung) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan membuat proses
persidangan menjadi lebih terfokus dalam menangani perkara gugatannya.
Berdasarkan PERMA(Peraturan Mahkamah Agung) Nomor 1 Tahun 2014 ini ada 3
layanan yang di fasilitasi oleh pengadilan yaitu Layanan Pembebasan Biaya Perkara, Sidang
Diluar Gedung Pengadilan, dan Posbakum Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan
Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Yang dimaksud dengan Layanan Pembebasan Biaya Perkara adalah negara
menanggung biaya proses berperkara di pengadilan sehingga setiap orang atau sekelompok
orang yang tidak mampu secara ekonomi dapat berperkara secara cuma-cuma.
Layanan Pembebasan Biaya Perkara ini berlaku pada pengadilan tingkat pertama,
tingkat banding, tingkat kasasi dan peninjauan kembali, sementara sidang di luar gedung
pengadilan dan posbakum pengadilan berlaku pada tingkat pertama.
Sedangkan yang dimaksud dengan Sidang di Luar Gedung Pengadilan adalah sidang
yang dilaksanakan sidang yang dilaksanakan secara tetap, berkala atau sewaktu-waktu oleh
pengadilan di suatu tempat yang ada didalam wilayah hukumnya tetapi diluar tempat
kedudukan gedung pengadilan dalam bentuk sidang keliling atau sidang di tempat sidang tetap.
Kemudian yang dimaksud dengan Posbakum Pengadilan adalah layanan yang dibentuk
oleh dan ada pada setiap pengadilan tingkat pertama untuk memberikan layanan hukum
berupa informasi, konsultasi, dan advis hukum serta pembuatan dokumen hukum yang
dibutuhkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Kekuasaan
Kehakiman, Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Ketentuan yang ada dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2014 ini membuat Majelis Hakim
tidak perlu lagi dalam memeriksa ketidakmampuan pihak Penggugat dalam menghadapi proses
persidangan, dikarenakan dalam PERMA ini penetapan ketidakmampuan dari pihak Penggugat
dialihkan kepada Ketua Pengadilan dengan menerima masukan dan pertimbangan dari Panitera
Pengadilan. Sehingga para pihak berperkara dan Majelis Hakim benar-benar fokus memeriksa
dan mengadili perkara gugatannya.
Oleh karena itu, lahirnya PERMA Nomor 1 Tahun 2014 ini mempunyai tujuan sebagai
berikut:
Meringankan beban biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat yang tidak mampu
secara ekonomi di Pengadilan.
Meningkatkan akses terhadap keadilan bagi masyarakat yang sulit atau tidak mampu
menjangkau gedung pengadilan akibat keterbatasan biaya, fisik atau geografis.
Memberikan kesempatan kepada masyarakat yang tidak mampu mengakses konsultasi
hukum untuk memperoleh informasi, konsultasi, advis dan pembuatan dokumen dalam
menjalani proses hukum di Pengadilan.
Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang hukum melalui
penghargaan, pemenuhan dan perlindungan terhadap hak dan kewajibannya.
Memberikan pelayanan prima kepada masyarakat pencari keadilan.
Dalam prakteknya, peraturan ini telah mulai berlaku sejak di tetapkan oleh Ketua
Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tanggal 9 Januari 2014, sehingga Peradilan Umum,
Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara mau tidak mau harus menjalankan
peraturan ini dengan maksimal.
Penulis yang berprofesi sebagai Hakim Pengadilan Agama Sungai Penuh telah
melaksanakan ketentuan layanan bagi masyarakat tidak mampu ini berdasarkan PERMA Nomor
1 Tahun 2014. Yang mana perkara yang diajukan untuk berperkara secara cuma-cuma tidak lagi
disidangkan ketidakmampuannya dalam membayar panjar biaya perkara sehingga Majelis
Hakim langsung menangani perkara gugatannya.
Sedangkan layanan sidang diluar gedung pengadilan telah penulis laksanakan sebanyak
2 kali di Kecamatan Kayu Aro dan Kecamatan Gunung Tujuh pada bulan Maret dan April tahun
2014 ini. Hal ini disebabkan jarak yang jauh dari Kota Sungai Penuh menuju 2 kecamatan ini
ditempuh selama 2 jam lebih perjalanan darat.
Sehingga penulis berkesimpulan PERMA Nomor 1 Tahun 2014 ini kedepannya sangat
membantu pihak berperkara yang berasal dari golongan tidak mampu. Dan ini merupakan
bagian dari reformasi birokrasi dalam dunia peradilan untuk mewujudkan peradilan yang agung
sebagaimana visi misi Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Kesimpulan
Mahkamah Agung merupakan salah satu lembaga negara yang menerapkan reformasi
birokrasi yang transparan, akuntabel dan profesional.
Mahkamah Agung dan Badan Peradilan dibawahnya Peradilan Umum, Peradilan
Agama dan peradilan Tata Usaha Negara mempunyai layanan bagi pencari keadilan yang tidak
mampu.
Masyarakat tidak mampu bisa mengajukan permohonan berperkara secara cuma-
cuma kepada Ketua Pengadilan tanpa melalui proses persidangan tentang
ketidakmampuannya.
Majelis Hakim langsung memeriksa pokok perkara gugatan perdata para pihak tanpa
memeriksa dan mengadili tentang ketidakmampuan pihak Penggugat dalam membayar panjar
biaya perkara.
Saran
Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya diharapkan bisa mensosialisasikan
PERMA ini ke masyarakat pencari keadilan agar bisa memanfaatkan layanan-layanan bagi
masyarakat tidak mampu sehingga tidak lagi ada isu-isu tentang adanya pungutan-pungutan liar
atau tidak resmi kalau berurusan dengan pengadilan.

[1] Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum dan Perilaku, Cetakan ke 1, Penerbit Buku Kompas, Jakarta,
hal viii.
[2] Abdul Manan, 2008, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
Cetakan ke 5, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 63-64
[3] Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2011, Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Peradilan Agama, Edisi Revisi 2010, hal 61.

Anda mungkin juga menyukai