Anda di halaman 1dari 10

Undang Undang Tentang Advokat, Profesi Advokat, Dan Pedidikan

Tinggi Hukum Di Indonesia

Oleh : Drs. H. Abd. Salam, SH.MH.


(Wakil Ketua Pengadilan Agama Sidoarjo)
Pendahuluan
Dengan disyahkannya undang undang nomor 18 tahun 2003 pada 5 April 2003, profesi
advokat telah memiliki undang undang khusus yang mengatur profesinya. Hal positif yang
dapat ditarik dari pengaturan undang undang ini adalah diberikannya kepercayaan kepada
profesi advokat untuk mengatur dirinya sendiri secara otonom.
Kewenangan-kewenangan vital seperti pendidikan profesi, pengangkatan, sertifikasi,
pengawasan dan penindakan terhadap advokat yang dahulu dipegang oleh Mahkamah Agung
dan Menteri Kehakiman, telah diserahkan kepada masyarakat advokat sendiri sebagai bentuk
pengakuan atas kemandirian profesi advokat.
Secara eksplisit undang-undang tentang advokat (UU advokat) juga menyadari
pentingnya keberadaan pengawasan eksternal terhadap provesi advokat. Stigma negatif dari
masyarakat terhadap profesi advokat yang selama ini dinilai cenderung tertutup, tidak
transparan dan memiliki semangat corps yang berlebihan berusaha untuk diperbaiki dengan
dilibatkannya pihak eksternal yang berasal dari kalangan akademisi hukum dan tokoh
masyarakat dalam pelaksanaan fungsi pengawasan dan fungsi mengadili terhadap advokat
yang diduga melakukan pelanggaran kode etik dan aturan internal profesi lainnya.
Terlepas dari hal-hal positif yang dimiliki suatu undang-undang, dalam sejarahnya UU
Advokat ini juga menuai sejumlah kritik dari berbagai kalangan hukum terutama advokat
terhadap pembentuk undang-undang. Tetapi dalam riwayat kelahirannya justru kalangan
advokatlah yang paling aktif mendesak agar undang-undang tersebut segera di tuntaskan.
Profesi Advokat
Profesi advokat selama ini oleh kalangan umum diartikan secara terbatas, yaitu mereka
yang memberikan bantuan hukum untuk beracara di pengadilan. Menurut UU No. 18 Tahun
2003, jasa hukum yang dapat diberikan oleh advokat mencakup pengertian yang lebih luas
meliputi antara lain; konsultasi hukum, bentuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili,
mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan klein.
Permasalahan kualitas calon advokat memang tidak cukup diatasi hanya dengan
menetapkan program “magang” serta pendidikan khusus profesi sebagaimana diatur oleh UU
Advokat. Tetapi perlu dilakukan upaya-upaya yang lebih konprenhensif untuk dapat
mengatasinya. Komunikasi dan kerjasama antara insan profesi advokat dengan lembaga
perguruan tinggi hukum perlu dilakukan hingga diharapkan akan tercipta suatu sinergi antara

1
dunia praktek yang membutuhkan calon advokat yang handal dan berkualitas dengan dunia
akademis hukum yang mempersiapkan satjana-sarjana yang kelak akan menjadi advokat.
Tulisan ini bermaksud menyoroti tiga hal penting yang berkaitan, yaitu Undang Undang
Advokat sebagai acuan normatif, profesi advokad dan kondisi umum pendidikan tinggi
hukum kita sebagai penyedia sumberdaya manusia calon advokat.
Ketentuan Nomatif Profesi Advokat
Dalam catatan sejarah peradilan di Indonesia bahwa sejak tahun 1960an sudah muncul
persoalan tentang kedudukan pengacara. Ketika Ketua Mahkamah Agung dijabat Prof.
Wiryono Projodikoro, SH. Mendapat pertanyaan tentang dasar hukum pengangkatan
pengacara, beliau menjawab, bahwa “pengangkatan pengacara belum ada dasar hukumnya,
namun karena pada waktu itu banyak calon pengacara meminta kepada Menteri Kehakiman
untuk dibuatkan SK, maka dibuatkanlah SK dimaksud”.
Kejadian tersebut cukup menunjukkan bahwa pada waktu pengacara diangkat
berdasarkan SK Menteri Kehakiman hanya karena permintaan dari yang besangkutan.
Ketentuan normatif yang paling dapat dijadikan rujukan keabsahan pengangkatan pengacara
adalah pada Rechtelijke Organisatie en het beleid der justitie in indonesie (R.O Stbl 1847
No.23 jo. Stbl 1848 No. 57), akan tetapi inipun kurang tepat. Oleh karena dalam R.O tersebut
menyebutkan bahwa pengacara diangkat oleh Gubernur Jenderal, bukan Menteri kehakiman.
SK Menteri Kehakiman pada waktu itu, dapat dinilai hanya sekedar melayani permintaan bagi
para pecinta hukum yang mau menjadi pengacara, juga berguna untuk sekedar penertiban oleh
Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman. Disamping itu bahwa hukum acara yang berlaku
bagi Bumiputra di Pengadilan Negeri (Landrat) adalah HIR atau RBG. Kedua kitab undang
undang tersebut tidak memuat ketentuan-ketentuan mengenai Pengacara.
Dalam HIR maupun RBG hanya menyebutkan bahwa Penggugat dan Pemohon dapat
diwakili dengan surat kuasa khusus (123 HIR/147 RBG). Hal tersebut berbeda dengan Rv
(Reglement op de Burgerlijke Rechtvordering) yang berlaku bagi golongan Eropa duhulu,
dimana para pihak diharuskan memakai pengacara (verplicte vertegenwoordinging).
Antisipasi UU terhadap Permasalahan Internal Organisasi Advokat
Sebagaimana diketahui bersama bahwa sebelum lahirnya UU Advokat, profesi advokat
tersebar dalam banyak organisasi, antara lain Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) yang
berdiri tahun 1985, Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia
(IPHI) yang berdiri tahun 1987, Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN). Selain itu ada
yang disebut Ikatan Konsultan Hukum Indonesia (AKHI) yang berdiri tahun 1988 yang
memberikan bantuan hukum non litigasi dan organisasi advokat lain-lainnya.
Beragamnya organisasi advokat tersebut membawa beragamnya kode etik advokat. Oleh
karena itu secara otonomis profesi advokat diharapkan secara independen memiliki bar
association dalam satu atap agar terwujud unified legal fram work dalam memberikan

2
pelayanan kedalam untuk internal anggota maupun keluar untuk masyarakat pencari keadilan
yang ingin menggunakan jasa advokasi.
Berbagai permasalahan internal organisasi advokat telah diantisipasi langkah-langkah
pembinaannya oleh UU ini, akan tetapi sejauh pengamatan penulis terhadap UU ini masih
menyisakan berbagai permasalahan antara lain adalah.
Pertama : Singkatnya pengaturan mengenai organisasi advokat. UU advokat menjadikan
organisasi advokat sebagai tulang punggung pelaksana dari berbagai kewenangan
yang diberikan kepada profesi advokat. Namun tidak diimbangi dengan
pengaturan yang jelas mengenai kondisi dan prasayarat yang harus dipenuhi
terlebih dahulu oleh arganisasi advokat untuk dapat melaksanakan
kewenangannya. Dari itu upaya pembaharuan dan konsolidasi organisasi bahkan
personal masyarakat advokat menjadi suatu keniscayaan.
Kedua : Ketidak jelasan pengaturan mengenani sertifikat Advokat. Dalam UU tentang Profesi
Advokat disebutkan untuk menjadi Advokat, seseorang harus memenuhi
persayaratan yang telah ditentukan, diantaranya yaitu lulus ujian advokat yang
diadakan oleh organisasi advokat, telah mengikuti magang dan telah mengikuti
pendidikan khusus profesi yang dilaksanakan oleh organisasi advokat, tetapi tidak
dijelaskan lebih lanjut proses mana yang harus dijalani terlebih dulu oleh para
calon advokat. Kemudian juga tidak diatur secara jelas bagaimana ketentuan
magang tersebut akan dilaksanakan. penentuan syarat magang ini tidak didahului
dengan identifikasi terhadap jumlah angkatan kerja serta kesiapan kantor-kantor
hukum yang ada untuk menerima magang. Masalah dalam pendistribusian
kesempatan akan muncul terutama bagi para sarjana hukum yang berdomisili di
kota-kota kecil, sebab kantor-kantor hukum umumnya terkonsentrasi di kota-kota
besar sehingga menyulitkan untuk dapat melakukan distribusi kesempatan secara
merata. Hal ini penting untuk diperhatikan mengingat UU advokat mewajibkan
calon advokat untuk menjalani proses magang selama 2 (dua) tahun terus menerus
di kantor advokat.
Ketiga: Tidak jelasnya pengaturan masa peralihan dari keberlakuan UU Advokat ini, terutama
yang berhubungan dengan pemutihan terhadap mereka yang sebelum UU Advokat
berlaku belum menjadi Advokat. Walaupun yang terakhir ini dirasa akan mudah
segera diatasi secara internal organisasi.
Keempat : Beragamnya induk organisai advokat, kini melahirkan sejumlah permasalahan pada
sektor kepengurusan dan konsolidasi organisasi kalau tidak boleh dibilang sebagai
terjadi perpecahan; Hal tersebut menakibatkan kontra produksi denga maksud
diterbikannya Undang Undang Advokat;
Konsolidasi organisasi dan personal advokat

3
Dengan diundangkannya UU advokat tersebut, secara nasional peranan advokat semakin
penting sebagai pilar law enforcement atau satu komponen catur wangsa penegak hukum,
tidak saja dalam membantu klien, akan tetapi diharapkan lebih dari itu, yaitu dalam penataan
sistem hukum, budaya hukum, pendidikan hukum dan bahkan sosialisasi suatu aturan hukum.
Untuk mewujudkan cita-cita itu secara internal, pembaharuan dan konsolidasi mesyarakat
advokat merupakan suatu kepentingan yang mendesak. Bukan saja karena tuntutan normatif
undang-undang, tetapi karena kedudukan yang penting dan strategis peranan advokat dalam
sistem hukum kita. Pembaharuan dan konsolidasi tidak hanya menyangkut organisasi, secara
personalpun perlu diperhatikan, seperti peningkatan pengetahuan, ketrampilan, dan
kepercayaan.
Suatu pekerjaan yang dikategorikan sebagai profesi termasuk advokat, wajib memiliki
standart kualifikasi tertentu, yaitu ketentuan baku minimal yang harus ditempuh oleh
penyandang profesi dalam menjalani pekerjaannya. Standar kwalifikasi profesi ini harus
disusun secara sistematis dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Biasanya standar
kwalifikasi telah diajarkan pada saat penyandang profesi tersebut masih dalam proses
prendidikan. atau pelatihan. Dalam hal tertentu, standar kualifikasi profesi juga ditetapkan
oleh internal organisasi profesi tersebut, dimana organisasi profesi tersebut menetapkan
prosedur baku dan minimal yang harus ditempuh oleh anggotanya dan apabila tidak
diindahkan, maka dapat dikategorikan melakukan pelanggaran. Oleh karena itu sebagai
penyandang profesi, advokat memerlukan standar intelektualitas di bidang hukum melalui
proses pendidikan formal (sarjana hukum atau sejenisnya).
Wujud standar kwalifikasi, tentunya tidak hanya berupa ketentuan formalitis saja tetapi
juga bersifat psikis (mental). Standart yang berwujud psikis biasanya disebut dengan “etika
profesi” sebagai prinsip yang harus ditegakkan. Kepentingan tersebut akan lebih terasa
signifikan setelah disadari bahwa manusia yang bekerja dalam dunia hukum termasuk
advokat, adalah pekerja profesi luhur (officium nobile), yang sangat berbeda dengan profesi
lain pada umumnya. Perbedaan profesi pada umumnya dengan profesi luhur terletak pada
unsur “pengabdian”. Profesi luhur pada hakikatnya merupakan suatu pelayanan pada manusia
atau masyarakat. Motifasi utamanya bukan memperoleh nafkah dari pekerjaannya. Setidak-
tidaknya ada dua prinsip penting dalam menjalankan profesi yang luhur (officium nobile)
yaitu : pertama, mendahulukan kepentingan orang yang dibantu (klien), dan yang kedua,
mengabdi pada tuntutan profesi. Oleh karena itu dalam menjalankan pekerjaannya seorang
advokat dipagari dengan rambu-rambu yang disebut dengan etika profesi, seperti seorang
advokat tidak boleh mengelabihi hakim dengan menyatakan orang yang dibelanya tidak
bersalah demi untuk memenangkan perkara dan mendapatkan bayaran dari kliennya. Untuk
melaksanakan profesi luhur secara baik, dituntut moralitas tinggi dari pelakunya. Tiga ciri

4
moralitas tinggi pertama, berani berbuat dengan bertekat untuk bertindak sesuai dengan
tuntutan profesi, kedua, sadar akan kewajibannya, ketiga, memiliki idealisme tinggi.
Dilihat dari sisi sosiologis, profesi advokad tergolong jenis pekerjaan yang bersifat
“beroep”, pekerjaan profesional yang bekerja berdasarkan keahlian dibidang hukum yang
diikat oleh aturan tingkah laku (code of conduct) dan etika profesi. Sebagai pekerjaan
keahlian, para advokat bersifat pasif, artinya advokat dalam menjalankan pekerjaannya hanya
bersifat menunggu orang datang yang membutuhkan bantuan keahliannya. Etika profesi
advokat menentukan bahwa advokat dilarang mencari mereka yang membutuhkan jasanya,
jasa advokasi hanya akan diberikan apabila ada yang meminta.
Advokat sebagai Penyedia Jasa Hukum.
Ditinjau dari doktrin maupun tradisi, advokat adalah unsur penegak hukum mewakili
atau memberi bantuan hukum kepada kliennya yang berperkara di Pengadilan, status ini
bukanlah ciptaan undang-undang. Dengan diundangkannya undang-undang tersebut, maka
advokat adalah penegak hukum yang bekerja bersama-sama penegak hukum lainnya (polisi,
jaksa, hakim) secara simultan bertanggung jawab untuk mewujudkan penyelenggaraan
peradilan yang efektif, efision, saling menunjang dalam menemukan hukum yang tepat dan
benar untuk memberikan putusan yang memuaskan baik bagi pencari keadilan maupun
menurut pandangan hukum masyarakat pada umumnya, sehingga cita mewujudkan “sistem
paradilan terpadu” (integrated judicial sistem) segera dapat diwujudkan. Terpadu dalam
sistem peradilan harus diartikan keterpaduan hubungan antar para penegak hukum sehingga
dalam menjalankan tugasnya mampu menjalankan sistem paradilan yang baik.
Advokat sebagai pemberi jasa hukum, ada suatu hal yang harus dipegang teguh dan
harus diingat dalam menjalankan profesi, bahwa etika yang mendasari hubungan advokat
dengan klien, adalah hubungan atas dasar kepercayaan (trust). Karena itu putusnya suatu
hubungan antara advokat-klien hanya dapat dilakukan atas dasar goyahnya prinsip hubungan
kepercayaan, misalnya adanya ketidak jujuran klien dalam suatu perkara atau masalah hukum
yang sedang dibantu, misalnya menyembunyikan suatu fakta yang semestinya diketahui
advokat. Adalah melanggar etik seorang yang meninggalkan atau menterlantarkan klien
karena alasan-alasan pembayaran honorarium tidak sesuai dengan kesepakatan, apalagi
karena adanya “saling pengertian” atau “main mata” dengan pihak lawan tanpa diketahui
klien.
Kaitannya dengan Pendidikan Tinggi Hukum Kita
Pendidikan hukum bertujuan untuk memberi pengetahuan hukum bagi peserta didiknya.
Pendidikan jenis ini antara lain mengajarkan apa yang dimaksud dengan hukum, apa saja
cabang ilmu hukum, siapa yang menjadi subyek dari tiap-tiap cabang ilmu hukum tersebut,
apa saja prinsip-prinsip yang dikandung dan seterusnya. Pengetahuan hukum yang diberikan

5
lebih bersifat teoritis yang tidak begitu saja diterapkan sehingga disebut sebagai pendidikan
akademis.
Seiring dengan perkembangan zaman dimana hukum digunakan sebagai alat untuk
menjalankan profesi, maka dibutuhkan pendidikan hukum yang tidak sekedar bermuatan teori
tetapi juga pendidikan hukum yang dapat membantu orang yang menjalankan profesi hukum.
Disinilah muncul pendidikan hukum yang bersifat ke-profesi-an atau vocational. Jenis
pendidikan ini membantu para pesertanya untuk memiliki keahlian dalam menerapkan
hukum.
Bagi profesi hukum, penerapan hukum pada esensinya adalah menuangkan atau
menerjemahkan tindakan dan kejadian riil sehari-hari ke dalam format hukum. Proses ini
memerlukan keahlian dimana orang awam, bahkan orang yang memiliki pengetahuan hukum
sekalipun, tidak dapat melakukannya. Sebagai contoh menuangkan keinginan atau keputusan
dalam suatu perjanjian membutuhkan keahlian perancangan kontrak (contrac darfting),
menerjemahkan tuntutan, pembelaan atau putusan dalam bentuk baku dalam praktek peradilan
juga membutuhkan keahlian membuat gugatan, jawaban atas gugatan dan seterusnya.
Demikian juga dalam menjalankan proses beracara dalam forum peradilan, di forum arbitrase
bahkan di depan Mahkamah Internasional (International Court of Justice) juga membutuhkan
keahlian untuk beracara.
Banyak pihak kerap mempertanyakan mengapa seorang sarjana hukum yang sudah
mempelajari dan bahkan mendalami hukum perjanjian tidak pandai dalam membuat
perjanjian atau kontrak ? Jawabnya, bukan karena si mahasiswa tersebut bodoh atau malas,
tetapi lebih karena hukum perjanjian mengajarkan perjanjian secara akademis, tanpa
menyinggung soal perancangan perjanjian itu sendiri. Tidak heran banyak orang kecewa
setelah membaca buku tentang Hukum Perjanjian, tetapi tetap saja tidak mahir mperjanjian.
Agar seorang mahir membuat perjanjian maka ia harus mempelajari pengetahuan tentang
perancangan atau pembuatan kontak (contract drafting).
Pendidikan untuk merancang kontrak bukanlah pendidikan hukum akademis melainkan
pendidikan hukum profesi. Dimana lebih banyak mengajarkan hal-hal seperti bagaimana
menerjemahkan keinginan klien ke dalam bahasa dan kalimat hukum, bagaimana membuat
kalimat hukum yang melindungi kepentingan klien, apa saja tahapan yang harus dilalui dalam
pembuatan perjanjian. Namun sebelum bisa menerima pendidikan ini, pekerja profesi hukum
harus memiliki pengetahuan hukum akademis secara totalitas. Tidak heran apabila pendidikan
hukum profesi mengharuskan pesertanya untuk memiliki pendidikan hukum akademis
terlebih dahulu.
Pandangan masyarakat umum terdapat anggapan bahwa mereka yang memiliki
pengetahuan hukum dengan serta merta memiliki kemahiran menjadi “tukang” hukum.
Bahkan di Indonesia banyak yang menilai bahwa fakultas hukum adalah lembaga yang

6
menyelenggarakan pendidikan hukum (legal education) untuk menghasilkan mereka yang
paham tentang hukum dan mereka yang mahir dalam mengaplikasikan hukum. Padahal sistem
pendidikan hukum kita lebih bersifat akademis, sementara untuk kebutuhan yang bersifat
praktis-aplikatif dibutuhkan pendidikan hukum yang bersifat profesi (focational legal
education) yang lazim disebut “pendidikan hukum profesi”. Faktor inilah yang mendorong
lahirnya ketentuan yang mewajibkan calon advokat menjalani “magang” sebelum menjadi
advokat secara penuh disamping factor ketidak percayaan dari kalangan advokat akan mutu
atau kwalitas dari sarjana-sarjana lulusan pendidikan tinggi hukum kita sekarang ini.
Pendidikan hukum profesi sebenarnya telah lama dikenal dalam sistem pendidikan
hukum di Indonesia, Kejaksaan Agung menyelenggarakan pendidikan hukum profesi untuk
mereka yang hendak menjadi penuntut umum. Mahkamah Agung menyelenggarakan
pendidikan hukum profesi untuk mereka yang hendak menjadi hakim.
Pendidikan Hukum di Berbagai Negara
Secara garis besar pendidikan hukum di barbagai negara terdapat dua sistem, yaitu
“sistem Amerika” (sistem AS) dan “sistem umum”. Sistem pendidikan hukum yang dianut di
Amerika Serikat (sistem AS), pendidikan hukum profesi diselenggarakan oleh law school
yang bernaung di sebuah Universitas. Organisasi profesi, American Bar Assosiation (ABA)
memiliki andil dalam pendidikan hukum yang diselenggarakan oleh Universitas, yaitu dengan
memberi “pengakuan” (approval) atas penyelenggaraan law school. Approval diberikan oleh
ABA dengan melakukan penilaian secara reguler, semacam “akreditasi” pada lembaga
pendidikan di Indonesia. Sebagai pendidikan profesi, maka pendidikan ini hanya
diperuntukkan bagi mereka yang benar-benar ingin menjalani profesi hukum. Di AS dapat
dikatakan tidak ada calon mahasiswa yang masuk law school yang enggan menjalani profesi
hukum. Pendidikan profesi ini mensyaratkan pesertanya untuk terlebih dahulu memiliki ijazah
S-1 dalam bidang apapun dan karenanya dianggap sebagai pendidikan pacasarjana (graduate
studies).
Pendidikan hukum sistem AS menekankan pada pengajaran keahlian (skill) sebagai
lawyer. Pendidikannya berlangsung selama 3 (tiga) tahun dan apabila lulus mendapatkan
gelar Juridis Doctor (JD). Meskipun pendidikan ini merupakan pendidikan profesi, namun
pada tahun-tahun pertama diajarkan pengetahuan yang bersifat akademis, seperti hukum
pidana, hukum perdata dan hukum acara. Pada tahun-tahun berikutnya pendidikan lebih
ditekankan pada pengetahuan teknis profesi. Setelah menjalani pendidikan profesi hukum
inilah, seseorang dapat mengambil ujian profesi (bar exam) dan apabila lulus dapat menjalani
profesi hukum.
Dalam “sistem umum” pendidikan hukum terdiri dari dua tahapan. Pertama adalah
pendidikan hukum akademis yang diselenggarakan oleh universitas dan kedua adalah
pendidikan hukum profesi.

7
Dalam pendidikan hukum akademis, pengetahuan hukum disamakan dengan
pengetahuan pada umumnya, seperti politik, sejarah, ekonomi, oleh karena itu kerap
pendidikan hukum akademis disebut sebagai “General Education”. Pendidikan hukum jenis
ini diselenggarakan oleh universitas dan dapat diikuti langsung oleh mereka yang baru lulus
dari SMU. Lama pendidikan berfariasi, antara 3 (tiga) tahun hingga 5 (lima) tahun untuk
mendapatkan gelar Bachelor of Law (LLB) atau Bachelor of Arts (BA).
Di Australia, misalnya mereka yang sudah memiliki ijazah S-1 di bidang non hukum
dapat menyelesaikan pendidikan hukum selama 3 (tiga) tahun, bagi mereka yang baru lulus
dari SMU harus menyelesaikan pendidikan selama 4 (empat) tahun, sementara bagi mereka
yang menginginkan double degree maka mereka membutuhkan waktu 5 (lima) tahun.
Berbeda dengan sistem AS, dalam sistem umum para mahasiswa setelah lulus tidak
semua memasuki profesi hukum. Hanya saja dalam sitem umum, pendidikan hukum akademis
merupakan prasyarat bagi mereka yang hendak memasuki pendidikan hukum profesi.
Pendidikan hukum profesi di Inggris, Singapura, Kanada dan Autralia disebut sebagai
Legal Practice Course (LPC). Di LPC para peserta dapat memilih pendidikan untuk menjadi
Solicitor atau menjadi Barrister. LPC diselenggarakan oleh lembaga swasta tertentu ataupun
universitas. Lama pendidikan antara 15 (lima belas) hingga 42 (empat puluh dua) minggu.
Pendidikan hukum profesi di Jerman dan Jepang dilakukan secara sentrelis oleh negara
untuk ketiga profesi hukum; Di Jerman para mahasiswa hukum yang ingin masuk ke dalam
profesi huium harus lulus First State Examination. Mereka yang lulus baru dapat mengikuti
program pendidikan hukum profesi yang disebut Referendarzeit (pelatihan) yang
diselenggarakan oleh Departemen Kehakiman dengan lama pendidikan 2 (dua) tahun. Diakhir
pendidikan mereka wajib mengikuti Second State Examination sebelum memasuki profesi
hukum yang dipilihnya. Mekanisme yang sama juga dianut di Jepang. Hanya saja pendidikan
hukum profesi diselenggarakan secara sentralistis oleh Legal Research and Training Institut
yang berada di bawah naungan Mahkamah Agung dengan lama pendidikan 3 (tiga) tahun.
Dari kacamata sistem AS, pendidikan hukum profesi dalam sistem umum seperti LPC,
Research Training Institute dan pendidikan yang diselenggarakan oleh Departemen
Kehakiman Jerman merupakan pendidikan yang setara dengan program JD. Dalam konteks
demikian JD tidak dapat dipersamakan dengan LL.B.
Selanjutnya baik dalam sistem AS maupun sistem umum dikenal pendidikan hukum
akademis pascasarjana. Strata-2 yang menghasilkan master af laws yang menghasilkan
peserta didik dalam spesialisasi tertentu. Strata-3 lebih diperuntukkan bagi mereka yang ingin
melakukan riset mendalam tentang suatu topik. Program pascasarjana karena merupakan
pendidikan hukum akademis sama sekali tidak mempersiapkan para pesertanya untuk
mamasuki profesi hukum. Meskipun demikian banyak juga dari mereka yang sudah memiliki

8
profesi hukum mengikuti program pascasarjana, terutama Strata-2, untuk lebih memperdalam
spesialisasi yang digeluti.
Baik dalam sistem AS maupun sistem umum, persyaratan magang atau dalam bahasa
Inggris disebut sebagai “actikling” atau “clerkship” merupakan sesuatu yang wajib diikuti
sebelum seseorang yang memiliki profesi hukum dapat bekerja secara mandiri. Di Kanada,
misalnya, lama magang ditentukan selama 10 (sepuluh) bulan.
Para advokat menilai lulusan pendidikan tinggi hukum belum siap pakai. Ini dibuktikan
dengan masih banyaknya kesulitan yang ditemui ketika praktek, karena apa yang dipelajari
sebelumnya ternyata tidak dapat mengakomodir permasalahan-permasalahan yang
berkembang didunia praktek. Ini terjadi karena bangku perguruan tinggi hukum kita jarang
membekali pengetahuan dan perkembangan penerapan ilmu-ilmu hukum di lapangan.
Memang ada juga lulusan perguruan tinggi hukum kita yang memiliki kwalitas yang baik,
tetapi jumlahnya amat terbatas. Kwalitas sarjana hukum yang baik sering muncul dari
perguruan tinggi hukum yang memiliki kwalitas yang baik pula, dan biasanya berasal dari
perguruan tinggi yang berada di kota besar dengan akses informasi dan teknologi yang cukup
baik.
Untuk itu program-program “magang” dipercaya oleh pembentuk UU dapat menjadi
salah satu solusi untuk mematangkan para lulusan perguruan tinggi hukum agar mereka siap
kerja ketika suatu saat terjun ke dunia praktek. Namun tentu saja program magang ini perlu
dipikirkan secara matang. Agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan sehingga bukan
malah berbalik menjadi salah satu alat bagi para advokat-advokat senior untuk menciptakan
barrier to entry bagi calon-calon advokat.
Penutup
Permasalahan kwalitas calon advokat memang tidak cukup diatasi hanya dengan
menetapkan program magang serta pendidikan khusus profesi sebagaimana diatur dalam UU
advokat. Perlu dilakukan upaya-upaya yang lebih konprenhensip untuk dapat
menyelesaikannnya. Komunikasi dan kerja sama antara profesi advokat dengan seluruh
perguruan tinggi hukum perlu dilakukan sehingga diharapkan agar tercipta suatu sinergi
antara dunia praktek yang mebutuhkan calon advokat yang handal dan berkwalitas dengan
dunia akademik hukum yang mempersiapkan sarjana-sarjana yang kelak akan menjadi
advokat.
Kalangan perguruan tinggi hukum juga harus bersedia untuk membuka diri terhadap
kritik dan berusaha untuk selalu mengembangkan metode maupun materi pengajaran-
pengajaran yang diberikan kepada mahasiswa sesuai dengan perkembangan situasi yang
berada didalam dunia praktek (masyarakat). Hukum bukanlah sesuatu yang statis, hukum
merupakan sesuatu yang dinamis dan selalu berkembang seiring dengan perkembangan
masyarakat.

9
Bila dilihat lebih jauh, persoalan kwalitas provesi advokat tidak hanya berhenti sebatas
mempersiapkan lulusan-lulusan perguruan tinggi hukum yang nantinya akan menjadi advokat
handal dan berkwalitas melainkan juga perlu dipikirkan bagaimana untuk tetap dapat
mempertahanan dan mengembangkan kwalitas advokat-advokat yang telah berpraktek.
Profesi advokat, melalui organisasinya perlu segera melakukan pembenahan diri serta mulai
menyusun program-program yang dapat mengembangkan kwalitas provisional anggotanya.
Kegiatan seperti Continuing Legal Uducation (CLE) perlu untuk dilaksanakan dalam rangka
memberikan updating perkembangan pengetahuan hukum kepada para advokat yang mana
tujuannya adalah tidak lain guna tetap menjaga kwalitas profesi advokat dalam memberikan
jasa hukum pada masyarakat.

10

Anda mungkin juga menyukai