Anda di halaman 1dari 3

Etika dalam menjalankan Profesi bergelar Officium Nobile (Advokat)

Anis Fadiana, S.H.


anisfdn@gmail.com

Advokat merupakan profesi pemberi bantuan hukum yang sudah tidak asing lagi di
masyarakat. Terbukti dengan telah adanya profesi Advokat sejak zaman kolonialisme yang
tergabung didalam organisasi advokat yang disebut Balie van Advocaten. Sejak disahkannya
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (selanjutnya disebut “UU
No.18/2003”), Eksistensi Advokat di Indonesia kini sudah mulai kuat, dikarenakan dalam
undang-undang tersebut menyatakan bahwa organisasi Advokat berhak mengangkat advokat
secara sendiri. Selain itu, undang-undang tersebut juga menjelaskan kedudukan advokat di
mata hukum sebagai penegak hukum yang sejajar dengan penegak hukum lainnya, yakni
hakim, jaksa dan polisi, sesuai dengan Pasal 5 UU No.18/2003 menegaskan “Advokat
berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan
peraturan perundang-undangan”.

Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 UU No.18/2003 pengertian “Advokat adalah orang yang


berprofesi memberikan jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan yang
memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini”. Advokat disebut
sebagai profesi yang sangat mulia sehingga profesi Advokat mendapatkan gelar Officium
Nobile, karena Advokat membela seluruh masyarakat tanpa membeda-bedakan latar belakang
ras, agama ataupun status sosial lain yang berada di dalam masyarakat. Merupakan kewajiban
Advokat dalam memberikan bantuan hukum kepada seluruh Klien dengan seadil-adilnya agar
terciptanya keadilan dalam penegakan hukum di Indonesia. Oleh karena itu, tuntutan profesi
Advokat harus menjaga integritas, wibawa dan kehormatan Advokat dalam menjunjung
integritas profesi tersebut merupakan suatu komitmen yang senantiasa menjadi pedoman bagi
seorang advokat dalam menjalankan profesinya.

Namun belakangan ini hampir seluruh institusi penegak hukum sedang terpuruk dan
menghadapi skeptisme yang tinggi dari masyarakat Indonesia. Berita mengenai
tertangkapnya hakim, advokat, jaksa, polisi atas dugaan suap, gratifikasi, korupsi dan tindak
pidana lainnya merupakan fenomena puncak gunung es yang mewarnai setiap tajuk berita
utama di dalam Lembaga peradilan Indonesia, termasuk profesi Advokat. Berdasarkan data

1
dan laporan dari ICW, tercatat bahwa sejak tahun 2005 ICW mencatat sedikitnya terdapat 22
Advokat yang telah terjerat kasus korupsi.1

Ironisnya, profesi Advokat juga dianggap sebagai bagian dari proses yang telah
mencederai nilai-nilai kehormatan penegak Hukum. Profesi penegak hukum yang disebut
sebagai profesi terhormat (officium nobile) pun saat ini mulai diragukan, sebaliknya justru
tendensi terhadap julukan advokat sebagai profesi terhormat dianggap hanya pemanis retorika
yang nampaknya kini telah bergeser menjadi stigma yang relevan kini di masyarakat, alih-
alih jika tidak segera mengembalikan marwah dari profesi terhormat demikian. Status
penegak hukum yang diamanatkan oleh undang-undang advokat semestinya menjadi
dorongan bagi setiap advokat untuk meneguhkan kehormatan profesi Advokat. Dengan gelar
profesi terhormat (Officium Nobile) yang telah disandang sejak lahirnya profesi ini di
Indonesia, ditambah dengan status sebagai penegak hukum menyebabkan profesi Advokat
sedemikian tinggi martabatnya.

Oleh karena itu, advokat sebagai salah satu unsur Penegak Hukum, tentunya peran
advokat sangat penting dalam rangka menegakkan supremasi hukum yang berintegritas dan
berkeadilan. Selain ditentukan oleh undang-undang Advokat, telah juga diatur sepenuhnya
dalam Kode Etik Advokat Indonesia sebagai pedoman dan norma yang berlaku dalam
menjalankan profesi. Di satu pihak UU No. 18/2003 dan Kode Etik Advokat memberikan
jaminan dan perlindungan kepada setiap Advokat dalam menjalankan tugas dan profesinya,
di pihak lain setiap profesi advokat juga membebankan kewajiban kepada setiap Advokat
untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada Klien,
Pengadilan, Negara atau Masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri.

Seperti hal nya dalam kasus yang baru terjadi pada Maret 2022, seorang Advokat
Surabaya bernama Hendro Kasiono menjadi tersangka dalam melakukan suap kepada Hakim
dan Panitera di Pengadilan Negeri Surabaya.2 Selanjutnya juga terjadi pada Advokat yang
memaki seorang ibu yang anaknya menjadi korban kekerasan seksual di Depok, dan
menyebabkan ibu tersebut ketakutan serta menangis.3 Namun sayangnya dari banyak kasus

1 Yuntho, Emerson. “Advokat dalam Jeratan Hukum”, Indonesia Corruption Watch, 22 Januari 2018,
https://antikorupsi.org/id/article/advokat-dalam-jeratan-hukum
2 Fajri Reza, “Usut Suap Hakim PN Surabaya, KPK Periksa Pengacara hingga Panitera”, iNews.id, 8
Maret 2022, https://www.inews.id/news/nasional/usut-suap-hakim-pn-surabaya-kpk-periksa-
pengacara-hingga-panitera.
3 Halim, M. Chaerul, “Advokat yang Memaki Ibu Korban Kekerasan Seksual Dinilai Langgar Kode
Etik”, Kompas.com, 25 Januari 2022,
https://megapolitan.kompas.com/read/2022/01/25/18444271/advokat-yang-memaki-ibu-korban-

2
pelanggaran tersebut hal itu tidak pernah hadir menjadi penegakan etik yang tegas. Hal ini
diperparah dengan belum ada suatu sidang kode etik yang telah menjadi preseden atau contoh
yang baik bagi masyarakat. Seharusnya, kode etik advokat dapat hadir sebagai pedoman serta
perwujudan komitmen moral setiap advokat dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan.
Sebaliknya, kode etik profesi telah kehilangan fungsi kritisnya sebagai alat perjuangan dalam
menjawab persoalan hukum yang terjadi di masyarakat dan cenderung dianggap sebagai
pembatas kebebasan profesionalisme.

Bahwa sudah seharusnya dilaksanakan rekonstruksi ulang dalam memberikan sanksi


yang dijatuhkan terhadap Advokat yang melakukan pelanggaran kode etik, selain itu
diperlukan penataan kembali pada Organisasi Advokat dan Dewan Kehormatan yang
melakukan pengawasan dan penegakan kode etik agar lebih bersungguh-sungguh dalam
menjalankan tugasnya sehingga terciptanya penegakan kode etik yang lebih kritis, objektif
dan profesional. Hal ini demi memperbaiki citra atau stigma yang negatif dari masyarakat,
dan mengembalikan kehormatan profesi Advokat dalam bingkai penegakan hukum bagi
seluruh masyarakat.

kekerasan-seksual-di-depok-dinilai-langgar?page=all

Anda mungkin juga menyukai