Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH BANTUAN HUKUM

Tentang

PELUANG DAN TANTANGAN ADVOKAT SYARIAH DALAM


PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA, APSI (ASOSIASI PENGACARA
SYARIAH INDONESIA) DAN OTONOMI DAERAH

Oleh :

ADE SAPUTRA 1713040044

Dosen Pengampu:

SETRIANIS, S.HI, M.H

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA (A)


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
IMAM BONJOL PADANG
1442 H/2020 M
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan YME, atas segala


kebesaran dan kelimpahan nikmat yang diberikan-Nya, sehingga penyusun dapat
menyelesaikan makalah tentang Peluang dan Tantangan Advokat Syariah dalam
Penegakkan Hukum Di Indonesia, APSI (Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia)
d an Oonomi Daerah.
Dalam penulisan makalah ini, berbagai hambatan telah kami alami. Oleh
karena itu terselesaikannya makalah ini tentu saja bukan karena kemampuan
penyusun semata-mata. Namun, karena adanya bantuan dan dukungan dari pihak-
pihak yang terkait.
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun menyadari pengalaman dan
pengetahuan masih sangat terbatas. Oleh karena itu, penyusun sangat
mengharapkan adanya kritik dan saran dari berbagai pihak agar makalah ini lebih
baik dan bisa lebih bermanfaat.

Padang, 11 Desember 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... i


DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................3
2.1 Peluang dan Tantangan advokat Syari’ah .............................................3
2.2 Penegakan Hukum di Indonesia ............................................................9
2.3 APSI (Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia) ....................................11
BAB III PENUTUP .........................................................................................14
3.1 Kesimpulan..........................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Dewasa ini, kebutuhan akan jasa pengacara atau Advokat semakin
meningkat. Kasus-kasus hukum yang dahulunya tidak pernah penindakan kini
satupersatuterungkap secara transparan dihadapan publik. Bahkan menyita
perhatian publik yang luar biasa. Keinginan masyarakat akan penegakkan
hukum yang adil dan memenuhi rasa keadilan yang tidak hanya dari sisi
legalitas hukum formal tetapi juga substansi persoalan rasa keadilan
hukumnya. Kasus pelanggaran hak asasi manusia, kasus korupsi, kasus
kejahatan dan kriminal, bahkan kejahatan terorisme menghiasi pemberintaan
di media massa. Hal tersebut membutuhkan jasa konsultan hukum, pengacara
dan advokat yang bisa membela dan melindungi hak-hak kemanusian
seseorang yang tersangkut masalah hukum semakin signifikan.
Kasus korupsi mantan presiden Soeharto telah mengangkat keduduka
dan peranan Advokat dalam ranah pengadilan dan penegakkan hukum di
Indonesia, dengan Advokat atau pengacara mewakili klien nya dalam
menyelesaikan perkara. Sejak saat itulah peran Advokat menjadi sangat
signifikan dalam penegakkan hukum di Indonesia. Berdasarkan pasal 1 ayat
(3) Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), yang mana dalam negara
hukum, negara menjamin persamaan dihadapan hukum serta mengakui dan
melindungi hak asasi manusia, sehingga semua orang memiliki hak untuk
diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law). Sehingga
segala kegiatan kenegaraan maupun kemasyarakatan hukum sebagai
penganyom kepentingan masyarakat. Untuk mendukung terwujudnya nilai-
nilai keadilan dalam masyarakat dibutuhkan lembaga-lembaga yang bertugas
melaksanakan dan menjaga terlaksananya tertib sosial, dan di antaranya
adalah empat komponen penjaga dan penegak hukum di Republik Indonesia,
antara lain adalah; hakim, polisi, jaksa dan advokat.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diata maka dapat dirumuskan rumusan
masalahnya ialah:
1. Apa peluang dan tantangan yang dihadapi oleh advokat syariah dalam
upaya penegakkan hukum di Indonesia?
2. Apa itu APSI?
3. Bagaimana APSI Dalam Otonomi Daerah?

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Peluang dan Tantangan Advokat Syariah


Dunia hukum Indonesia dihebohkan dengan masuknya sarjana syari’ah
menjadi salah satu syarat jadi advokat, dimana dipersepsikan sarjana syari’ah
bukan sarjana hukum, yang kemampuan dan kompetensi masih diragukan
sebagai ahli hukum. Namun seiring dengan dinamika demokratisasi yang ada
di Indonesia peluang tersebut sekaligus sebagai tantangan bagi sarjana
syari’ah untuk membuktikan kompetensinya dalam bidang hukum nasional
maupun hukum Islam yang menjadi kompetensi atau core bisnisnya.
Sarjana syariah mendapatkan legalitas formal pasca disahkannya
Undnag-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dalam pasal 2 ayat
(1) dinyatakan bahwa “Yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana
yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti
pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh organisasi
advokat”. Dalam penjelasan pasal tersebut diperjelas maksud latar belakang
pendidikan tinggi hukum yaitu lulusan fakultas hukum, fakultas syari’ah,
perguruan tinggi hukum militer dan perguruan tinggi ilmu kepolisian. Secara
de jure sarjana syariah memenag memiliki peluang yang sangat luas untuk
menggeluti dunia kerja dibidang Advokat. Akan tetapi secara de facto hal
tersebut masih menjadi minim, dengan kata lain peluangyang diberikan oleh
undang-undang masih belum dimanfaatkan secara maksimal untuk dijadikan
sebagai ladang pencarian kehidupan.

1. Peluang Advokat Syariah


Perjuangan memasukkan klausul kebolehan sarjana syariah
memasuki profesi yang berjulukan officium nobile suatu perjuangan yang
memiliki sejarah panjang yang penuh hambatan. Sebelum lahirnya
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, sarjana syariah
masih diperlakukan secara diskriminatif dengan lulusan fakultas hukum.
Padahal secara de jure, lulusan fakultas syariah sudah dapat diangkat

3
menjadi hakim di lingkungan Pengadilan Agama sebagaimana diatur
dalam undang-undang tentang Pengadilan Agama, bahkan dapat diangkat
sebagai hakim Agung yang dapat mengadili perkara-perkara kasasi dari
Pengadilan di luar pengadilan agama. Setelah disahkannya Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2003, sarjana syariah diberikan kesempatan
yang sama dengan lulusan fakultas hukum. Pudarnya diskriminasi tersebut
dapat menjadi peluang emas yang harus dimanfaatkan secara maksimal.

2. Tantangan Advokat Syariah


Sarjana syariah yang mempunyai keinginan memasuki profesi
Advokat akan mengalami beberapa tantangan yang harus dihadapi. Berikut
ini akan diuraikan tantangan bagi sarjana Syari’ah yang berasal dari
internal lulusan syariah dan faktor eksternal yang selalu dihadapkan
kepadanya, yaitu:
a. Faktor Internal
Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri
advokat itu sendiri yang tidak mempunyai keinginan untuk memasuki
profesi advokat. Adapun yang menjadi faktor internal yang
menimbulkan kekhawatiran terhadap profesi advokat ini adalah
sebagai berikut.
Pertama, tantangan terbesar yang dihadapi oleh sarjana syariah
adalah kewajiban melaksanakan sumpah sebagaimana yang diamatkan
dalam undang-undang advokat. Sumpah profesi advokat merupakan
suatu hal yang harus dilakukan sebelum menjalankan profesi tersebut.
Ketiadaan melangsungkan sumpah yang dilaksanakan oleh internal
organisasi advokat dan pengadilan tinggi akan berakibat fatal pada saat
berlawanan dengan advokat lawan di persidangan. Pihak lawan akan
memintakan kepada hakim agar memperlihatkan Berita Acara Sumpah
(BAS). Bila tidak sanggup memperlihatkannya kepada pengacara pihak
lawan, hakim dapat mengeluarkan atau memintanya untuk tidak bisa
beracara di muka persidangan. Dengan kata lain, BAS mutlak harus
dilakukan oleh seorang pengacara sebelum melaksanakan aktifitas ke-

4
advokat-an. Pasal 4 Ayat (1) Undang-undang advokat menyatakan
bahwa sebelum menjalankan profesinya, advokat wajib bersumpah
menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang
terbuka pengadilan tinggi di wilayah domisili hukumnya. Lulusan
sarjana syariah merasa “takut” melaksanakan sumpah dikarenakan lafal
dari sumpah tersebut. Tidak menjalankan segala apa yang telah
disumpahkan berarti telah melakukan pengingkaran terhadap isi
sumpah yang telah diucapkan.
Menurut Liliana, dalam melaksanakan profesi yang luhur
(officium nobile), motivasi utamanya bukan untuk memperoleh nafkah
dari pekerjaan yang dilakukannya, di samping itu juga terdapat dua
prinsip penting, yaitu:
a) Mendahului orang yang dibantu, dan
b) Mengabdi pada tuntutan luhur profesi

Contohnya, seorang advokat tidak boleh mengelabui hakim


dengan menyatakan orang yang dibelanya tidak bersalah demi untuk
memenangkan perkara dan mendapatkan bayaran yang tinggi dari
kliennya. Untuk itu, perlu mengaplikasikan nilai moralitas yang tinggi
dalam menjalankan profesi advokat, yaitu:
1) Berani berbuat dengan bertekad untuk bertindak sesuai dengan
tuntutan profesi.
2) Sadar akan kewajibannya, dan
3) Memiliki idealisme yang tinggi.

Kedua, masih adanya anggapan sebagian masyarakat bahwa dunia


advokat penuh dengan retorika palsu, membela yang salah dan
membenarkan yang seharusnya dianggap bertentangan dengan hati
nurani. Misalnya dalam kasus-kasus korupsi, pencabulan,
pemerkosaan, dan pencurian dan tindakan kriminal lainnya. Secara
kasat mata tindakan tersebut merupakan suatu perbuatan yang sangat
tercela di tengah-tengah masyarakat. Seorang advokat yang memiliki

5
background pendidikannya syariah mendampingi dan membela kasus-
kasus tersebut, akan menjadi cemoohan masyarakat. Tidak layak
perbuatan yang demikian itu diberikan pendampingan dan pembelaan
di persidangan, karena yang melakukan perbuatan tersebut harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya, dan berbagai anggapan-
anggapan sinis lainnya yang menjurus kepada melemahkan sarjana
syariah.
Ketiga, tidak mampu berkomunikasi dengan baik termasuk salah
satu hambatan yang dihadapi oleh alumni fakultas syariah. Hambatan
ini merupakan suatu kewajaran, karena dalam profesi advokat dituntut
untuk mahir berkomunikasi secara baik dan sistematis dalam
memberikan advokasi hukum kepada para klien yang membutuhkan
jasa advokat.

b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar pribadi
advokat yang bersangkutan. Ada beberapa faktor eksternal yang
menyebabkan lulusan syariah tidak bergabung di profesi advokat, yaitu:
Pertama, dikarenakan kurikulum yang diajarkan di fakultas
syariah masih sangat jauh dari kurikulum yang diajarkan di fakultas
hukum. Hampir semua ilmu yang seharusnya dimiliki oleh seorang
advokat diajarkan oleh fakultas hukum. Menurut Riki Yuniagara,
faktor kurikulum bukanlah merupakan suatu persoalan yang harus
dibesar-besarkan. Biasanya sebelum seorang menjadi advokat,
diwajibkan mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA)
yang diselenggarakan oleh organisasi advokat. Dalam proses
pembelajaran ini semua keilmuan yang berkaitan dengan advokat akan
diajarkan secara terus menerus. Terutama sekali mengenai hukum acara
pidana dan hukum acara perdata, hukum acara tata usaha negara, etika
profesi, dan berbagai ilmu yang mendukung lainya. Setelah dinyatakan
lulus PKPA, seseorang diwajibkan mengikuti Ujian Profesi Advokat
(UPA) yang diadakan oleh organisasi advokat untuk menentukan layak

6
atau tidaknya seseorang dinyatakan lulus sebagai pengacara. Kemudian
setelah dinyatakan lulus, diwajibkan untuk magang selama dua tahun di
kantor advokat sebagaimana yang diharuskan dalam Pasal 3 huruf (g)
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang
menyatakan “Magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus
menerus pada kantor advokat”. Meskipun hal ini bukan sebuah
tantangan berat, akan tetapi harus diupayakan supaya kurikulum yang
diajarkan tidak hanya berpatokan pada hukum-hukum yang bernuansa
syariat semata.
Sarjana syariah dan sarjana hukum menduduki strata yang sama,
masing-masing sebagai lulusan S1 Fakultas Syariah dan S1 Fakultas
Hukum. Materi kuliah hukum (umum) yang diberikan pada fakultas
hukum diberikan juga di fakultas syariah, dan materi kuliah hukum
Islam (Islamologi) juga diberikan di fakultas hukum. Pendalaman
materi hukum mendapat prioritas utama di fakultas hukum, dan
pendalaman materi hukum Islam mendapat prioritas utama di fakultas
syariah. Selebihnya terdapat variasi pendalaman materi mata kuliah
hukum tertentu pada kedua fakultas tersebut. Oleh karena itu, apakah
tidak sebaiknya gelar kesarjanaan pada kedua fakultas tersebut
disamakan saja, sama-sama menggunakan label sarjana hukum saja.
Faktanya :
1. Sulitnya meratakan pengertian dan menghilangkan imej yang
menganggap bahwa sarjana syariah tidak mengetahui hukum
(umum).
2. Pegawai/ karyawan dan jabatan tertentu hanya boleh diduduki dan
dilamar oleh mereka yang berijazah sarjana hukum dan menolak
mereka yang berijazah sarjana syariah (Drs, S.Ag, ataupun SHI).
3. Kenyataan tidak mudah mengusulkan kepada penentu kebijakan
(policy) untuk mengubah agar persyaratan diterimanya sarjana
syariah disamakan dengan sarjana lain yang sejenis.

7
Kedua, kurangnya koordinasi antara fakultas syariah dengan
kantor-kantor advokat yang menyediakan tempat pemagangan untuk
mahasiswa-mahasiswa fakultas syariah. Akibatnya, banyak alumni
fakultas syariah setelah lulus tidak mengetahui pengalaman praktis
profesi advokat dan akan kesulitan mencari tempat pemagangan.
Padahal dalam undnag-undang ditentukan bahwa sebelum diangkat
menjadi advokat disyaratkan harus sudah pernah magang selama dua
tahun di kantor advokat. Proses pemagangan merupakan suatu
keniscayaan yang harus diterapkan di fakultas syariah agar
mendapatkan pengalaman praktis serta membangun jaringan antara
Kantor Kepengacaraan dan memperat silaturahmi serta memberikan
peluang bagi alumni syariah untuk berkarir di profesi advokat.
Ketiga, dari segi financial, pendapatan advokat tidak sama dengan
pendapatan Pegawai Negeri Sipil yang sudah tentu jumlahnya. Advokat
suatu pekerjaan swasta yang pendapatannya tergantung pada jasa
hukum (lawadvice) yang diberikan kepada masyarakat yang
membutuhkannya. Income tiap bulannya ditentukan oleh banyaknya
klien yang datang dan meminta nasihat hukum dan meminta jasa
pendampingan sejak dari kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.
Keempat, mindset masyarakat yang menganggap satu-satunya
profesi yang dapat menjamin masa depan hanya menjadi pegawai
negeri sipil. PNS telah dijadikan sebagai profesi primadona bagi setiap
kalangan lulusan dari berbagai perguruan tinggi. Selain PNS bukanlah
profesi yang dapat membahagiakan hidupnya. Secara financial, PNS
telah memiliki kepastian income di awal bulannya dalam jumlah
tertentu. Kehidupan masa tua lebih menjanjikan melalui dana pensiunan
yang disediakan oleh pemerintah. Melalui dana tersebut dapat
membuka bisnis baru untuk memenuhi kehidupannya. SK kepegawaian
dapat digunakan sebagai jaminan untuk meminjamkan modal di Bank,
dan lain sebagainya. Sementara profesi advokat tidak demikian halnya.
Banyak atau sedikitnya pemasukan sangat ditentukan oleh penanganan

8
kasus-kasus yang diselesaikannya. Semakin banyak perkara yang
ditanganinya, pendapatan setiap bulannya semakin meningkat, begitu
juga sebaliknya, pendapatannya akan berkurang bila masyarakat tidak
memintanya sebagai pemberi jasa/ advice hukum.
Kelima, sosialisasi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat masih sangat kurang di tingkat fakultas syariah.
Mahasiswa-mahasiswa tidak mengetahui bahwa secara yuridis formal
mempunyai kesempatan yang sama dengan lulusan fakultas hukum
dalam menggeluti advokat. Akibatnya, tidaklah mustahil setelah
menamatkan pendidikannya tidak terbesit dalam fikirannya untuk
masuk ke dalam profesi advokat.
Tantangan selanjutnya adalah adanya kesangsian profesionalisme
dari sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum selain
sarjana hukum (lulusan fakultas syariah, Perguruan tinggi militer, dan
perguruan tinggi kepolisian) apabila diangkat menjadi advokat.
Tantangan yang terakhir adalah sejauh mana kemampuan advokat
lulusan fakultas syariah mmapu menjawab keraguan sementara pihak,
dengan cara menunjukkan eksistensi dirinya sebagai seorang advokat
yang professional, pengabdi hukum yang tidak selalu mengedepankan
kepentingan dirinya, tetapi lebih berorientasi pada pengabdian dan
perlindungan masyarakat. Dengan demikian, masyarakat akan menilai
advokat yang lebih bisa dipercaya dan benar-benar menjunjung citra
keadilan hukum di persada nusantara (Zainuddin, 2016).

2.2 Penegakkan Hukum


Penegakan hukum adalah (law enforcement) adalah suatu usaha atau
upaya mengimplementasikan hukum menurut kaidah-kaidah atau norma-
norma hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum.
Soerjono Soekanto memaparkan makna penegakan hukum adalah kaidah-
kaidah yang mantap dan mengejewantahkan sikap tindak sebagai rangkaian
penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan dan memelihara serta
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Hutagalung, 2011, p. 115).

9
Lawrence M. Friedman berpendapat bahwa penegakan hukum memiliki
faktor yang terdiri dari komponen substansi, struktur dan kultural. Jika salah
satu faktor terdapat ketidakberesan maka akan berdampak pada penegakan
hukum itu sendiri. Penegakan hukum ini tidak lain bertujuan untuk
menciptakan keadilan dengan menggunakan lembaga yang ditunjuk untuk
melaksanakan keadilan adalah pengadilan. Namun pasca revolusi hukum,
pengadilan kini hanya sebagai aturan dan prosedur.
Penegakan hukum dapat kita lihat berdasarkan ciri-ciri yang
dikemukakan oleh Soerjono Soekanto sebagai berikut:
1) Hukum dan aturannya sendiri
Dalam proses penegakan hukum diperlukan peraturan perundang-
undangan yang sesuai dengan peraturan lainnya seperti peraturan tidak
tertulis atau biasa kita sebut dengan adat.
2) Mental aparat penegak hukum
Yang dimaksud dengan penegak hukum adalah seperti polisi, pengacara,
jaksa, hakim, petugas lembaga kemasyarakatan dan sebagainya. Dalam
sistem penegakan hukum ini dibutuhkan aparat yang memiliki mental
yang baik.
3) Fasilitas pelaksanaan hukum
Penegakan hukum juga dipengaruhi oleh fasilitas yang memadai seperti
kantor pengadilan, aparat penegak hukum dan sebagainya.
4) Kesadaran, kepatuhan hukum dan perilaku masyarakat
Penegakan hukum juga mesti dipengaruhi oleh masyarakat melalui
kesadaran, kepatuhan hukum dan perilaku sehari-hari masyarakat
tersebut.
Pada masa reformasi pemerintah telah berupaya untuk memperbaiki
penegakan hukum melalui TAP MPR No. VI/MPR/2001 Tentang Etika
Kehidupan Berbangsa, namun pada saat itu peraturan ini belum begitu
diindahkan masyarakat. Hingga pada akhirnya kembali dikeluarkan TAP
MPR No. VII/MPR/2001 Tentang Arah Kebijakan dan Rekomendasi
Pemberantasan KKN yang menetapkan bahwa pegawai negeri sipil dan

10
pejabat pemerintah dapat dikenakan tindakan administratif jika terlibat kasus
hukum tanpa harus menunggu vonis pengadilan terlebih dahulu.

2.3 APSI (Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia)


Asosiasi Pengacara Syari’ah Indonesia (APSI) dideklarasikan
beridirinya pada tanggal 8 Pebruari 2003H/6 Dzulhijjah 1423H di aula
Kampus 1 IAIN Walisongo Semarang (sekarang menjadi UIN). Sejak
berdirinya pada tanggal 8 Pebruari 2003M/ 6 Dzulhijjah 1423H sampai
sekarang (2020) ini telah mengalami perkembangan dan kemajuan dalam
berbagai bidang, di samping juga menemui berbagai hambatan.
Berkat perjuangan dan upaya yang sungguh-sungguh melalui berbagai
kegiatan konsultasi, audiensi, lobi-lobi, dan rapat-rapat kordinasi dengan dan
ke berbagai pihak, akhirnya berhasil dengan diakuinya Sarjana Syari’ah
mempunyai peluang yang sama dengan Sarjana Hukum dalam hal meniti
profesi sebagai Advokat, sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang
Nomor : 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang telah disahkan oleh Sidang
Paripurna DPR RI pada tangga 6 Maret 2003. Bahwa Sarjana Syari’ah masuk
secara eksplisit dalam Pasal 2 ayat (1) dan penjelsannya, yang berbunyi :
“Yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana yang berlatar
belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan
khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh organisasi advokat”.
Penjelasannya : “yang dimaksud dengan “berlatar belakang pendidikan
tinggi hukum” adalah lulusan fakultas hukum, syariah, perguruan tinggi
hukum militer, perguruan tinggi ilmu kepolisian”.
Asosiasi Pengacara Syari’ah Indonesia (APSI) sebagai wadah
pembinaan pengacara dan advokat syari’ah, juga secara eksplisit diakui oleh
undang-undang tersebut, sebagaimana tercantum dalam Pasal 32 ayat (3)
yang berbunyi sebagai berikut :
“Untuk sementara tugas dan wewenang organisasi advokat sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang ini, dijalankan bersama oleh Ikatan
Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan
Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan pengacara

11
Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan
Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal
(HKHPM), dan Asosiasi Pengacara Syari’ah Indonesia (APSI)”.

Gagasan cemerlang agar secepatnya dibentuk wadah pembinaan profesi


pengacara Syari’ah ini datang dari Prof. DR. H.A. Qodri A. Azizy, MA,
(Rektor IAIN Walisongo), yang disampaikan kepada pengurus LPKBHI
Fakultas Syari’ah dalam suatu temu audiensi di ruang kerja Rektor (sekarang
ruang sekretariat Pascasarjana). Audiensi dimaksud adalah untuk melaporkan
upaya-upaya yang sudah dilakukan dan sekaligus menyusun langkah-langkah
selanjutnya untuk memperjuangkan agar sarjana syari’ah dapat diakui sama
dalam RUU Advokat, yang ketika itu sarjana syari’ah tidak diakui sama
sekali. Sebagai salah satu strategi, maka perlu segera dibentuk wadah profesi
pengacara syari’ah dan segera disosialisasikan ke Jakarta dan pihak-pihak
terkait. Ide Pak Qodri ini kemudian ditindaklajuti oleh Tim LPKBHI Fakultas
Syari’ah. Forum deklarasi pada tanggal 8 Pebruari 2003 bertempat di Aula 1
Kampus IAIN Walisongo Jl. Walisongo Km. 02, dihadiri oleh kurang lebih
100 orang, terdiri dari para Dekan Fakultas Syari’ah se Indonesia, dosen-
dosen Syari’ah, para Pengacara Syari’ah Indonesia, serta para pegiat Syari’ah.
Sebagai ketua panitia Penyelenggara forum adalah Dekan Fakultas Syari’ah
(Prof. DR. H. Muhibbin, MAg), yang didukung oleh Rektor IAIN Walisongo
(Prof. DR. H. Abdul Jamil, MA), dan dihadiri oleh Dirjen Bagais Departemen
Agana RI, yang tidak lain adalah beliau almarhum wa maghfurlah Prof. DR.
H.A. Qodri A. Azizy, yang meskipun ketika itu beliau berada di Mesir untuk
suatu tugas, karena semangatnya yang besar terhadap acara ini, maka beliau
pulang cepat dan langsung menuju ke acara. Setelah acara seremonial selesai,
kemudian dilanjutkan sidang pleno dengan langsung masuk pada agenda
pembahasan draf AD/ART, yang dipimpin oleh Ketua Alumni Fakultas
Syari’ah (DR. H. Nur Ahmad, MA) dan Sekretaris Sidang adalah Penulis.
Tentu tidak mungkin membahas pasal per pasal draf AD/ART dalam waktu
yang terbatas, tetapi hanya bagian-bagian yang penting saja, yaitu tentang :
Nama organisasi, dasar, azas, tujuan, kedudukan, dan susunan pengurus

12
pusat. Sedangkan hal-hal lain berkaitan dengan kelengkapan dan
kesempurnaan organisasi akan dirumuskan oleh Tim yang akan dibentuk.
Nama organisasi yang dirancang semula dalam AD/ART adalah Himpunan
Advokat Syari’ah Indonesia disingkat HASI. Ada juga yang mengusulkan
AASI (Asosiasi Advokat Syari’ah Indonesia), dan HPSI (Himpunan
Pengacara Syari’ah Indonesia), tetapi yang disepakati oleh forum secara
aklamasi adalah APSI. Adapun kesepakatan Forum deklarasi yang penting
lainnya adalah sebagai berikut :
1. Nama organisasi : Asosiasi Pengacara Syari’ah Indonesia disingkat APSI
2. Kedudukan APSI : di Semarang sampai jangka waktu yang tidak
ditentukan.
3. Sifat : sebagai organisasi mandiri dan tidak menjadi anggota suatu
organisasi kekuatan sosial politik manapun.
4. Bentuk : Organisasi APSI, berbentuk Asosiasi dan berwawasan nasional
religius.
5. Azas : APSI berasaskan Pancasila dan prinsip-prinsip ajaran Islam.
6. Logo : sesuai yang rancang oleh Tim (perancang Rekan Eman Sulaeman)
7. Anggota APSI : Advokat lulusan Fakultas Syari’ah atau advokat dari
lulusan pendidikan tinggi hukum lain yang memiliki komitmen syari’ah.
8. Ketua Umum DPP APSI : Drs. Taufik CH, MHum,
9. Sekretaris Jenderal : Drs. Nur Khoirin YD, M.Ag (DPPAPSI)

13
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sarjana syariah mendapatkan legalitas formal pasca disahkannya
Undnag-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dalam pasal 2 ayat
(1) dinyatakan bahwa “Yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana
yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti
pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh organisasi
advokat”. Secara de jure sarjana syariah memenag memiliki peluang yang
sangat luas untuk menggeluti dunia kerja dibidang Advokat. Akan tetapi
secara de facto hal tersebut masih menjadi minim, dengan kata lain
peluangyang diberikan oleh undang-undang masih belum dimanfaatkan
secara maksimal untuk dijadikan sebagai ladang pencarian kehidupan.
Beberapa tantangan yang dihadapi sebagai lulusan syariah adalah:
1. Sulitnya meratakan pengertian dan menghilangkan imej yang
menganggap bahwa sarjana syariah tidak mengetahui hukum (umum).
2. Pegawai/ karyawan dan jabatan tertentu hanya boleh diduduki dan
dilamar oleh mereka yang berijazah sarjana hukum dan menolak
mereka yang berijazah sarjana syariah (Drs, S.Ag, ataupun SHI).
3. Kenyataan tidak mudah mengusulkan kepada penentu kebijakan
(policy) untuk mengubah agar persyaratan diterimanya sarjana syariah
disamakan dengan sarjana lain yang sejenis.
Asosiasi Pengacara Syari’ah Indonesia (APSI) sebagai wadah
pembinaan pengacara dan advokat syari’ah, juga secara eksplisit diakui oleh
undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Yang mana melalui
pasal 2 ayat (1) sarjana syariah masuk secara eksplisit sebagai salah satu
syarat menjadi Advokat di Indonesia.

14
DAFTAR PUSTAKA
DPPAPSI. (n.d.). sejarah Apsi. Retrieved Desember 09, 2020, from APSI:
https://www.apsi.co.id/sejarah/

Hutagalung, S. M. (2011). Penegakan Hukum di Indonesia: Apakah Indonesia


Negara Hukum. Sociae Polites.

Muhammad Julijanto, Peran Kuasa Hukum Atau Pengacara Dalam


Memberlakukan Hukum Acara Di Peradilan Agama Sebelum dan Setelah
Berlakuknya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, Sekripsi Program
Studi Peradilan Agama Jurusan Syari’ah Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri Surakarta, 1997.

Nur Kkoirin YD, Fungsi dan Peran Organisasi Advokat di Indonesia, Poin-Poin
disampaikan dalam Worshop Advokat bagi Mahasiswa Syari’ah
diselenggarakan oleh Jurusan Syari’ah STAIN Surakarta, tanggal 24 s/d 25
Maret 2009, di Surakarta.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat

Zainuddin, M. 2016. peluang dan tantangan sarjana syariah dalam menggeluti


profesi advokat pasca undang-undang nomor 18 tahun 2003: studi kasus
banda Aceh dan Aceh Besar. Petita Vol, 1 No. 1, 73-83.

15

Anda mungkin juga menyukai