Anda di halaman 1dari 15

KONSISTENSI ADVOKAT DALAM MENJEMBATANI KEPENTINGAN

MASYARAKAT DAN SIKAP MENGEDEPANKAN KEADILAN DAN


PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA
Oleh:
Kasirudin
1902130042
Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah IAIN Palangka Raya
E-mail: Kasiru66@gmail.com

Abstrak
Dalam rangka untuk mewujudkan prinsip negara hukum, fungsi dan peran advokat sebagai profesi
yang mulia, bebas, mandiri dan bertanggungjawab merupakan suatu peran yang sangat dibutuhkan
oleh seluruh lapisan masyarakat. Dimana profesi advokat ini sangat dibutuhkan dalam banyaknya
kesempatan, bukan hanya sebagai profesi yang mulia, peran pelaku profesi advokat diharuskan
untuk selalu mempertahankan, menjaga konsistensinya dari keseluruhan peran mulia sebagai
seorang advokat yang memiliki peran besar dalam masyarakat khususnya dalam penegakan hukum
yang harusnya selalu mengutamakan kepentingan masyarakat dan menegedepankan keadilan
terhadap perlindungan hak asasi manusia yang syarat dengan nilai-nilai idealisme dan bebas dalam
melaksanakan profesinya, dengan begitu profesi advokat ini dapat dikatakan jauh dalam kategori
mati suri atau kondisi dimana ketika penyandang profesi advokat ini tidak mempertahankan
keluhuran mulia profesi yang disandangnya, yang dapat mengakibatkan penegakan hukum itu
menjadi tumpul.
Kata Kunci : Advokat, Hukum, Keadilan, Perlindungan Hak Asasi Manusia
Abstract
In order to realize the principle of the rule of law, the function and role of an advocate as a noble,
free, independent and responsible profession is a role that is needed by all levels of society. Where
the advocate profession is needed on many occasions, not only as a noble profession, the role of
the advocate profession is required to always maintain, maintain consistency from the overall
noble role as an advocate who has a big role in society, especially in law enforcement who should
always put the interests of the advocate first. society and prioritizing justice for the protection of
human rights which are conditional on idealistic values and freedom in carrying out their
profession, thus the advocate profession can be said to be far in the category of suspended
animation or a condition where when the person with the advocate profession does not maintain
the noble nobility of the profession he bears, which can result in blunt law enforcement.

Keywords: Advocate, Law, Justice, Protection of Human Rights


A. PENDAHULUAN

Pada dasarnya advokat merupakan orang yang berprofesi dalam pemberian jasa
hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang telah memenuhi persyaratan yakni
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat. Advokat
memberikan Jasa Hukum yaitu jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan
konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi,
membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien. Klien
menurut UU Advokat adalah orang, badan hukum, atau lembaga lain yang menerima jasa
hukum dari Advokat.
Telah diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat
secara komprehensif berbagai ketentuan penting yang melingkupi profesi Advokat, dengan
tetap mempertahankan prinsip kebebasan dan kemandirian Advokat, seperti dalam
pengangkatan, pengawasan, dan penindakan serta ketentuan bagi pengembangan
organisasi Advokat yang kuat di masa mendatang. Di samping itu diatur pula berbagai
prinsip dalam penyelenggaraan tugas profesi Advokat khususnya dalam peranannya dalam
menegakkan keadilan serta terwujudnya prinsip-prinsip negara hukum pada umumnya.
Advokat adalah penyeimbang kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan kehakiman yang
bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar, memerlukan profesi Advokat yang
bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur,
adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan
hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia. Advokat sebagai profesi yang bebas,
mandiri, dan bertanggung jawab dalam menegakkan hukum, perlu dijamin dan dilindungi
oleh undang-undang demi terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum.
Ditetapkan pada Tanggal 6 Maret 2003 merupakan tonggak sejarah yang sangat
berarti bagi para advokat Indonesia, karena pada tanggal tersebut Rancangan Undang-
Undang (RUU) tentang advokat telah disetujui oleh rapat paripurna DPR meskipun dengan
melalui pembicaraan yang Panjang dan alot. RUU yang kemudian menjadi UU Nomor 18
Tahun 2003 tentang advokat itu pada akhirnya diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 april
2003.
Lahirnya undang-undang ini tentu saja disambut gembira oleh para advokat
Indonesia, karena inilah hasil perjuangan Panjang dan melelahkan selama bertahun tahun
untuk sekedar memperkokoh peran dan fungsi advokat dalam sistem peradilan Indonesia,
bahkan dalam keseluruhan konteks untuk menegakkan konsep negara hukum sebagaimana
yang diamanatkan oleh UUD 1945.1

Pada dasarnya UUD 1945 telah sangat jelas menegaskan bahwasannya negara
Indonesia itu adalah negara hukum dan bukan berlandaskan kekuasaan semata. Dalam
prinsip negara hukum ini menuntut diantaranya yakni adanya suatu jaminan hukum
kesederajatan terhadap setiap orang dalam pandangan hukum itu sendiri, dan UUD 1945
juga telah menentukan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan, pengakuan, jaminan
dan kepastian dalam hukum yang adil dan juga perlakuan yang sama rata dalam dalam
mata hukum maupun dihadapan pemerintahan tanpa pengecualian.
Keadilan dalam prinsipnya mengandung persamaaan (equality) dan perbedaan
(difference) pada sisi lainnya, sebagaimana prinsip persamaan ini termaktub didalam
kalimat “setiap warga negara bersamaan haknya di hadapan hukum”. Berbeda halnya
terkait prinsip perbedaan ini dimana memiliki maksud untuk memberikan kewajiban atas
negara untuk memberikan perlindungan hukum dan perlakuan yang khusus kepada warga
masyarakat yang secara ekonomi dan sosial yang berada dalam posisi kurang beruntung
atau lemah. Advokat dalam hal ini sebagai profesi yang mulia (officium nobile), terkhusus
dalam penegakan keadilan dan kebenaran yang berdasar pada nilai-nilai idealisme dan
bebas dalm pelaksanaan profesi (free profession).
Pada era globalisasi pada saat ini dimana menjadikan profesi advokat semakin
dikatakan dapat menjanjikan terkait dengan semakin banyaknya sengketa bisnis yang
terjadi pada perusahaan baik pada perusahaan nasional maupun multi nasional. Pelaku
profesi advokat akan lebih sering menangani pada ruang lingkum manusia (HAM),
ketidakberpihaknya hukum pada masyarakat (keadilan) dan lain sebagainya.2 Walauapun
pada hakikatnya posisi profesi advokat itu cukup berbeda secara signifikan dengan profesi
penegak hukum lainnya yakni dalam hal kemandirian dan independesinya lebih mumpuni.

1
Adnan Buyung Nasution, UU Advokat Tonggak Sejarah Perjuangan Profesi Advokat, Makalah
disampaikan dalam Musyawarah Nasional Ikatan Advokat Indonesia, Semarang tanggal 3-5 april 2003, hlm 1
2
Muladi (editor), 2005, Hak Asasi Manusia, Hakikat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum
dan Masyarakat, Jakarta, PT Refika Aditama, hlm 22.
Atas dasar prinsip profesi advokat yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab dapat
menjadikan profesi advokat memainkan peran yang signifikan terkait dalm hal penegakan
keadilan, hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi. Profesi advokat memiliki peran
terdepan dalam menegakan keadilan dalam kehidupan, berpandangan atas hak asasi
manusia dan demokrasi yang pada umumnya di negara Indonesia itu merupakan suatu
persoalan yang mendasar terkhususnya di kalangan masyarakat yang kurang mampu atau
lemah.

B. METODE PENELITIAN
Dalam penulisan ini menggunakan metode normatif yakni melalui literatur kajian
pustaka (library research) terhadap buku-buku, journal yang berhubungan dengan tema
penelitian yang di lakukan. Adapun pendekatan yang digunakan dalam pembahasan
penelitian ini adalah pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan konseptual
dan kemudian dianalisis dengan cara kualitatif.

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


1. Konsistensi Pelaku Profesi Advokat Dalam Kepentingan Masyarakat dan Sikap
Mengedepankan Keadilan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia
Pada dasarnya profesi advokat ini sarat dengan idealisme, profesi ini telah dikenal
secara universal pada sekitar 2000 tahun lalu yang mana ia dijuluki dengan “officium
nobile” yang artinya suatu profesi yang mulia dan terhormat.3 Profesi advokat itu
mulia, dikarenakan dalam profesi ini mengabdikan dirinya kepada kepentingan
masyarakat dan bukan hanya kepada dirinya sendiri, serta memiliki kewajiban untuk
selalu menegakkan hak-hak asasi manusia. Tetapi, pada kenyataannya sering sekali
orang-orang yang sebagai pelaku dalam profesi advokat ini kurang menjunjung tinggi
idealisme profesi itu sendiri, hal itu dapat terjadi karena adanya faktor yang ada pada
di dirinya yang begitu kuat, namun terkadang pula terjadi karena kurangnya
penghayatan pelaku profesi advokat yang bersangkutan kepada esensi profesinya
sendiri sebagai seorang advokat.
Dalam praktiknya advokat memiliki peran dan fungsi dalam hal penegakan hukum
(Law enforcement) ini lebih dekat dengan masyarakat dimana dalam hal ini masyarakat

3
Frans Hendra Winarta, 200, Bantuan Hukum, Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Jakarta,
PT Elex Media Computindo Kelompok Gramedia, hlm 1
yang sangat membutuhkan dan sangat mendambakan suatu keadilan (justice). Karena,
disaat masyarakat dihadapkan kepada perkara hukum mereka cenderung mendatangi
seorang advokat, setidak-tidaknya untuk melakukan konsultasi terkait bagaimana
proses hukum yang akan dilakukan selanjutnya. Hubungan antara advokat dengan
masyarakat yang khususnya untuk mencari keadilan itu di tuntut adanya suatu
hubungan yang profesional yang membedakan dengan profesi lainnya yang cenderung
dekat dengan kekuasaan lainnya terutama kekuasaan eksekutif.
Perbedaan tersebut timbul karena profesi advokat itu merupakat profesi yang
terhormat karena didalamnya terdapat suatu prinsip profesionalisme, diman fungsi dan
peran advokat ialah sebagai berikut:
(1) Sebagai pengawal konstitusi dan hak asasi manusia;
(2) Memperjuangkan hak-hak asasi manusia;
(3) Melaksanakan dengan baik kode etik sebagai advokat;
(4) Memegang teguh sumpah advokat dalam rangka menegakkan idealisme (nilai
keadilan dan kebenaran) dan moralitas;
(5) Menjungjung tinggi serta mengutamakan idealisme (nilai keadilan dan
kebenaran) dan moralitas;
(6) Menjungjung tinggi citra profesi advokat sebagai profesi terhormat (officium
nobile);
(7) Melindungi dan memelihara kemandirian, kebebasan, derajat dan martabat
advokat;
(8) Menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan advokat terhadap masyarakat;
(9) Menangani perkara-perkara sesuai Kode Etik Advokat;
(10) Membela klien dengan cara yang jujur dan bertanggung jawab;
(11) Mencegah penyalahgunaan keahlian dan pengetahuan yang merugikan
masyarakat;
(12) Memelihara keperibadian advokat;
(13) Menjaga hubungan baik klien maupun dengan teman sejawat antara sesama
advokat yang didasarkan pada kejujuran, kerahasiaan dan keterbukaan serta
saling menghargai dan mempercayai;
(14) Memlihara persatuan dan kesatuan advokat sesuai dengan wadah tunggal
organisasi;
(15) Memberi pelayanan hukum (legal service);
(16) Memberikan nasihat hukum (legal advice);
(17) Memberikan konsultasi hukum ( legal consultation);
(18) Memberikan pendapat hukum (legal opinion);
(19) Menyusun kontrak-kontrak (legal drafting);
(20) Memberikan informasi hukum (legal information);
(21) Membela kepentingan klien (litigation);
(22) Mewakili klien di muka pengadilan (legal representation);
(23) Memberikan bantuna hukum dengan cuma-Cuma kepada rakyat yang
lemah dan tidak mampu (legal aid).4
Poin terpenting dari hal di atas adalah membahas tentang “pemberian atas bantuan
hukum dengan Cuma-cuma kepada rakyat yang membutuhkan dan dalam kategori
lemah dan tidak mampu (legal aid)”. Dalam hal pemberian atas bantuan hukum dengan
cuma-cuma kepada rakyat yang membutuhkan dan dalam kategori lemah dan tidak
mampu ini dapat tercapai jika didalam diri pribadi seorang advokat itu masih melekat
idealisme yang diterapkan dalam bentuk keberpihakannya kepada rakyat yang
terpinggirkan. Dimana dalam keberpihakan itu dapat terjadi dikarenakan dengan
adanya posisi advokat yang berada di tengah-tengah kalangan masyarakat.
Advokat dalam melaksanakan tugas-tugas profesinya dengan tujuan tegaknya
keadilan harus dengan berdasarkan hukum untuk mencapai kepentingan masyarakat
yakni pencari keadilan (yustisiabel), termasuk dalam usaha menyadarkan masyarakat
atas hak-hak fundamental mereka di hadapan hukum. Advokat juga selaku bagian
dalam unsur sistem peradilan yang menjadikannya sebagai salah satu pilar dalam
penegakkan supremasi hukum (supremacy of law) dan Hak Asasi Manusia (HAM).

2. Kewajiban Moral Advokat


(1) Kewajiban Moral

4
Ropaun Rambe, 2003, Teknik Praktek Advokat, Jakarta, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, hlm 16.
Advokat ini memiliki posisi yang sangat strategis didalam keikut sertaan
dalam menyukseskan penegakan hukum didalam lingkungan masyarakat.
Dalam hal ini tentu saja yang dimaksud dengan penegakan hukum di sini adalah
penegakan hukum yang berpegang teguh pada keadilan dengan selalu
memperhatikan prinsip-prinsip keadilan dan penegakan hukum yang
berperspektif hak asasi manusia. Advokat itu sendiri memiliki kewajiban moral
(moral duty) untuk memastikan bahwasannya prinsip-prinsip peradilan yang
baik itu harus terpenuhi dalam sistem hukum yang berlaku, misalnya dalam hal
ini advokat harus ikut memastikan bahwa sistem administrasi yudisial
(administration of judicial) telah memenuhi prinsip peradilan yang cepat,
sederhana dan murah sebagaimana yang telah ditetapkan secara tegas didalam
undang-undang. Hal ini berarti advokat menjalankan perannya yakni sebagai
pengawal konstitusi. Selain hal itu, advokat juga dalam menjalankan fungsinya
berkewajiban untuk mengupayakan peradilan yang mestinya adil dan benar
(fair trial). Hak atas fair trial (peradilan yang adil dan tidak memihak)
merupakan suatu norma dalam hukum hak asasi manusia (HAM) internasional
yang telah dirancang untuk memenuhi perlindungan atas individu dari
pembatasan yang tidak sah dan kesewenang-wenangan atau perampasan atas
hak-hak dasar dan kebebasan-kebebasan lainnya.5
Advokat merupakan salah satu pihak (stakeholder) baik dalam sistem
peradilan terutama dalam penegakan hukum. Advokat memiliki posisi sebagai
lini terdepan dalam hal pemberian perlindungan hukum dan HAM kepada
kelompok masyarakat marginal dengan suatu predikat yang disandangnya
yakni sebagai profesi yang mulia dan terhormat.

(2) Kesederajatan Bagi Setiap Orang di Hadapan Hukum


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah
menegaskan bahwa negara Indonesia ini adalah negara hukum. Dimana prinsip
negara hukum itu menuntut antara lain adanya jaminan kesederajatan bagi

5
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1997, Fair Trial: Prinsip-Prinsip yang Jujur dan Tidak
Memihak, Jakarta,Yayasan LBHI, hlm. 40
setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Dengan hal itu setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama rata di hadapan hukum. Aristoteles
menyebutnya kesamaan numerik yang melahirkan prinsip “semua orang sama
di depan hukum”. Dengan demikian pula , keadilan seyogyanya harus berlaku
untuk semua orang (acquitas agit in personam).6
Hak atas fari trial (peradilan yang adil dan tidak memihak) juga telah diakui
sebagai asas universal diaman sebagai sebuah norma dalam hukum hak asasi
manusia internasional yang telah dirancang untuk melindungi setiap individu
dari pembatasan yang dapat dikatakan tidak sah dan sewenang-wenang atau
perampasan hak-hak dasar dan kebebasan-kebebasan lainnya.7
(3) Memberikan Bantuan Hukum Cuma-Cuma
Ketentuan tentang advokat ini diwajibkan untuk selalu memberikan bantuan
hukum secara cuma-cuma (pro deo) yang masih harus terus ditingkatkan,
dikarenakan masih sedikitnya pengaksesan yang dilakukan oleh masyarakat
miskin dan tidak mampu secara ekonomi. Padahal mereka merupakan
kelompok masyarakat marginal yang paling sering menjadi korban
ketidakadilan (unjustice). Konsdisi ini sangat ironis dengan melihat predikat
Indonesia sebagai negara hukum yang salah satu unsurnya menegaskan adanya
perlakuan yang adil dan tidak diskriminatif terhadap masyarakatnya. Undng-
undang sebenarnya juga telah mengatur secara tegas tentang hak warga negara
terutama yang tidak mampu untuk bisa mendapatkan bantuan hukum baik di
dalam UU No. 18/2003 tentang Advokat maupun di dalam UU No. 39/1999
tentang Hak Asasi Manusia.
Misalnya dalam perkara pidana, yang mana telah diatur tentang bantuan
hukum di dalam Bab VII dari Pasal 69 sampai dengan 74 KUHAP.8 Bahkan
sebelumnya juga telah diatur di dalam Pasal 35, 36 dan 37 UU No. 14/1970

6
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, 2006, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia
Lintas Ruang dan Generasi, Surabaya, Penerbit CV Kita, hlm. 202.
7
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum., Op. Cit., hlm. 39
8
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
yang disahkan pada tanggal 31 Desember 1981.
tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah dirubah
dengan UU No. 35/1999 tentang Perubahan Atas UU No. 14/1970 tentang
ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan yang juga telah dirubah
dengan UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mulai dari Pasal 37
sampai dengan 40. Kemudian UU tersebut diganti dengan UU No. 48/ 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman yang dari Pasal 56 sampai dengan 57 yang
mengatur tentang bantuan hukum bagi warga negara yang tidak mampu. Jika
kita sungguh-sungguh dalam mencermati ketentuan-ketentuan tersebut yang
masih konsisten berpegang teguh pada prinsip kesamaan derajat di hadapan
hukum dan tidak mengenal diskriminasi.
Menurut Yusriyadi, artinya bantuan hukum itu merupakan hak yang
ditawarkan untuk dinikmati oleh siapa saja yang membutuhkan. Namun
demikian, persoalan tersebut menjadi berbeda ketika kita melihatnya dari kajian
sosiologi hukum, misalnya dapat disimak dari pasal-pasal tersebut bahwa
bantuan hukum sebagai hak, artinya bantuan hukum merupakan sesuatu yang
dapat dituntut/dinikmati. Pemenuhan hak tersebut merupakan suatu kewajiban.9
Selanjutnya Yusriyadi menyatakan, dari sini timbul masalah, yaitu bagi
yang memiliki kemampuan dalam ekonominya, hak bantuan hukum tersebut
dengan mudah dimanfaatkan setelah memenuhi kewajiban membayar
honorarium. Tetapi bagaimana dengan mereka yang dalam kategori miskin dan
tidak mampu dalam membayar honorarium penasihat hukum? Jika begitu,
bantuan hukum tetap sebagai hak yang tidak dapat dimanfaatkan. Ketika hal itu
berlangsung terus-menerus, bantuan hukum dalam hukum positif tidak banyak
kemanfaatannya.10 Relevan dengan hal itu Satjipto Rahardjo menyatakan
“hukum yang diciptakan dan tidak pernah dijalankan pada hakikatnya telah
berhenti menjadi hukum”.11
Dalam praktik yang sesungguhnya, hak untuk mendapatkan bantuan hukum
apalagi dengan cuma-cuma, ini masih merupakan retorika para elit politik dan

9
Yusriyadi, 2010, Tebaran Pemikiran Kritis Hukum dan Masyarakat, Surya Pena Gemilang Publishing,
hlm. 152.
10
Ibid. hlm. 153
11
Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum dan Perubahan Sosial, Yogyakarta, Genta Publishing, hlm. 69.
belum menukik ke tatanan praktis (membumi) ke masyarakat yang tidak
mampu. Hal ini semakin memprihatinkan ketika adanya para pengacara
berlomba-lomba untuk memberikan bantuan hukum kepada masyarakat kelas
menengah ke atas. Padahal, UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 telah merevitalisasi visi
pembangunan nasional yang dapat ditempuh melalui delapan misi
pembangunan nasional yang salah satunya adalah bagaimana cara mewujudkan
masyarakat yang demokratis dan berlandaskan hukum. Untuk mewujudkan
masyarakat demokratis yang berlandaskan pada hukum adalah dengan
memantapkan kelembagaan demokrasi yang lebih kokoh; memperkuat peran
masyarakat sipil; memperkuat kualitas desentralisasi dan otonomi daerah;
menjamin pengembangan media dan kebebasan media dalam
mengomunikasikan kepentingan masyarakat; dan melakukan pembenahan
struktur hukum dan meningkatkan budaya hukum dan menegakkan hukum
secara adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif, dan memihak pada rakyat kecil.

3. Revitalisasi Peran Profesi Advokat


Revitalisasi peran, tugas dan fungsi advokat dalam penegakan hukum dan
perlindungan hak asasi manusia, khususnya masyarakat yang terpinggirkan sangat
urgen saat ini. dikarenakan, semakin banyaknya masyarakat yang mengalami
ketidakadilan akibat dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Namun, upaya
revitalisasi ini akan berhasil dan berdampak positif jika diawali dengan reformasi
hukum. Oleh karena itu, harus dapat dipahami terlebih dahulu mengenai apa itu
reformasi hukum. Reformasi hukum adalah perubahan dan pembaharuan total terhadap
seluruh sistem hukum (legal system) dan penegakan hukum (law enforcement),
terutama terhadap lembaga penegak hukum utama seperti hakim, jaksa, polisi dan
advokat.12
Hal ini harus dilakukan mengingat selama ini merekalah yang sebenarnya sumber
dan turut menjadi bagian dari terjadinya kekacauan hukum tersebut. Kekacauan hukum

12
Frans Hendra Winarta, Menggugat Peran Kalangan Advokat dalam Reformasi Hukum, dalam situs
www.komisihukum.go.id, 28 Juni 2006
itu terjadi akibat adanya mafia peradilan. Menurut Daniel S. Lev, mafia peradilan
adalah “after all a working system that benefits all its participants. In some ways, in
fact, for advovates, who otherwise are excluded from the collegial relationship of
judges and prosecutors, it works rather better and more efficiently than the formal
system”.13 Secara garis besar artinya setelah semua sistem kerja yang menguntungkan
bagi semua aparatur penegak hukum. Dalam beberapa kasus, pada kenyataannya, para
advokat yang dinyatakan tidak termasuk dalam hubungan kolegial dengan hakim dan
jaksa, justru ia bekerja lebih baik dan lebih efisien daripada sistem formal.
Selain karena semakin sulitnya kelompok yang tidak mampu secara ekonomi untuk
mendapatkan keadilan, juga karena adanya peran advokat yang dimana seharusnya
dapat memberikan jasa hukum dan mewakili kliennya perlahan diganti dengan peran
“mendekati” aparat penegak hukum lainnya agar perkara yang ditanganinya dapat
dimenangkan dengan cara apapun.14 Advokat yang seharusnya selalu berperan secara
konsisten dalam menjembatani kepentingan masyarakat dalam sistem peradilan ini
justru turut terlibat dan menjadi bagian dari mafia peradilan (judicial corruption).
Eksesnya masyarakat luas itu lebih mengenal para advokat yang melakukan praktik-
praktik curang tersebut, ketimbang para advokat yang tetap konsisten dalam
mempertahankan dan mengedepankan nilai-nilai keadilan dan kebenaran.
Mengingat tanggung jawab, peran dan fungsi profesi advokat, maka revitalisasi
juga dilakukan terhadap peningkatan kualitas anggotanya, organisasi advokat harus
selalau memperhatikan setiap kompetensi intelektual para anggotanya agar dapat lebih
baik lagi mutu dalam pelayanannya kepada masyarakat. Dimana proses ini dikenal
sebagai Continuing Legal Education (CLE).
Ditingkatkannya pengawasan yang ketat, sistem rekrutmen yang tidak koruptif,
program training, dan program CLE yang dilakukan secara konsisten oleh organisasi
advokat diharapkan adapat tercipta advokat-advokat yang tidak hanya memiliki ilmu
pengetahuan yang luas akan tetapi juga memiliki moralitas yang baik pula. Sehingga
mereka tahu persis akan tugas, fungsi dan perannya sebagai seorang advokat yang

13
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), 2001, Advokat Indonesia Mencari Legitimasi: Studi tentang
Tanggung Jawab Hukum di Indonesia, Jakarta, PSHK, hlm. 11
14
Satjipto Rahardjo, “Advokat dari Ksatria Hukum ke Pengusaha Hukum”, Kompas, 22 November 1995, hal. 4
profesional, yang memiliki komitmen untuk selalu membela keadilan dan kebenaran
serta tidak hanya semata-mata memikirkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Oleh
karena itu, hal tersebut merupakan suatu keharusan bagi setiap advokat untuk
mendukung dan turut berperan dalam menyukseskan reformasi hukum saat ini.
4. Advokat Yang Bernurani
Penilaian umum masyarakat kepada kinerja aparatur penegak hukum ini adalah
dengan mengabaikan nurani dalam berhukum. Penilaian tersebut tidak hanya ditujukan
kepada hakim, jaksa dan polisi tetapi juga kepada advokat. Meskipun putusan akhir ada
di tangan hakim, tetapi jaksa, polisi dan advokat turut berperan terjadinya putusan
pengadilan yang tidak bernurani tersebut.
Lemahnya nurani dalam penegakan hukum sebenarnya bukan hanya menimpa
hakim, jaksa dan polisi, tetapi juga advokat atau lawyer. Dalam konteks itu, Satjipto
Rahardjo menyatakan:
“Menurut Spence, ketidakmampuan para lawyers itu bukan terletak pada
profesionalismenya, akan tetapi terletak pada rasa perasaan kemanusiaan yang tidak
dimiliki para lawyers. Sejak mahasiswa melangkahkan kaki masuk law schools, sejak
itu pula mereka sudah dipangkas dan ditumpulkan rasa perasaan kemanusiaannya.
Akibatnya, public AS diperlakukan tanpa rasa kasih (care), hanya sebagai obyek yang
membayar. Spence menyatakan dengan geram, bahwa jika anda membutuhkan bantuan
jangan datang ke kantor lawyer, tetapi ke juru rawat. Kurikulum pendidikan juru rawat
itu penuh dengan sikap mengasihi orang (care)”.15
Kritik terhadap para lawyer ini juga telah dilontarkan para ahli hukum terdahulu,
antara lain N. Gary Holten dan Lawson L. Lamar menulis kritik yang diarahkan kepada
asosiasi pengacara sebagai berikut:
“The bar has been refered to as kind of semisecret society more interested in
enrichting itself than in serving its clients or the public. The proffesion has been
chastised for caring more about mutual protection against outside attackts than about
cleaning itself of its unetgical members. The most common criticsm of the proffesion is
that it has turned away from the role of assisting people in resolving disputes to one of
creating and exacerbating disputes so that lawyers services are required on an ever

15
Satjipto Rahardjo, “Berhukum dengan Nurani”, Kompas, 8 Juni 2009.
increasing scale”. (Asosiasi pengacara telah disebut sebagai sejenis masyarakat semi
rahasia yang lebih tertarik untuk memperkaya diri mereka sendiri dibanding melayani
kliennya dan publik. Profesi ini telah dihukum karena lebih peduli untuk saling
menjaga terhadap ancaman dari luar dibandingkan membersihkan diri mereka sendiri
dari anggota yang tidak menegakkan etika. Kritik paling umum terhadap profesi ini
adalah bahwa organisasi ini telah menyimpang dari peranannya dalam membantu
masyarakat memecahkan perselisihan dan justru makin memperburuk suatu sengketa
sehingga layanan para lawyer ini kian dibutuhkan dalam skala yang meningkat.16
Berhubung dengan posisi advokat yang sangat menentukan perlindungan hak-hak
konstitusi dan HAM khususnya warga negara miskin yang sangat mendambakan
keadilan, maka dari itu butuhkan adanya keberanian dalam menggunakan hati
nuraninya dalam penegakan hukum. Hanya dengan keberanian yang seperti itu yang
dapat mendukung penghayatan atas profesi yang mulia dan terhormat (officium nobile),
advokat dapat mengangkat harkat dan martabat warga masyarakat yang tidak mampu
atau miskin untuk mendapatkan keadilan hukum.

16
Topo Santoso, 2009, Polisi, Jaksa, Advokat, Hakim dan Problem Penegakan Hukum di Indonesia, artikel
dalam Bunga Rampai: Potret Penegakan Hukum di Indonesia, 2009, Jakarta, Komisi Yudisial Republik Indonesia,
hlm. 372.
D. KESIMPULAN

Eksistensi profesi advokat memiliki posisi yang sangat strategis dalam penegakan
hukum di Indonesia, khususnya dalam hal mengenai penegakan hukum yang terkait di
dalamnya warga masyarakat yang tidak mampu membayar honorarium advokat.
Mengingat profesi advokat merupakan profesi yang mulia dan terhormat (officium nobile)
yang mana sejatinya berperan sebagai pengawal hak-hak konstitusi dan Hak Asasi Manusia
(HAM) yang termarginalkan. Untuk itu dalam mendukung keberpihakan advokat terhadap
masyarakat yang tidak memiliki kemampuan itu harus didukung oleh dana khusus yang
seyogyanya dialokasikan oleh negara itu sendiri.
Dimana Advokat juga seharusnya selalu berperan secara konsisten dalam
menjembatani kepentingan masyarakat dalam sistem peradilan ini dan harus memeiliki
sikap untuk selalu mengedepankan keadilan dan menjunjung tinggi perannya sebagai
pelindung atas Hak Asasi Manusia dengan memegang teguh nilai luhur hati nurani dengan
berlandaskan prinsip kesederajatan dalam mata hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Muladi (Editor) 2005, Hak Asasi Manusia, Hakikat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif
Hukum dan Masyarakat, Jakarta, PT Refika Aditama.
Winarta, Frans Hendra, 200, Bantuan Hukum, Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan,
Jakarta, PT Elex Media Computindo Kelompok Gramedia.
Rambe, Ropaun 2003, Teknik Praktek Advokat, Jakarta, PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Nasution, Adnan Buyung, UU Advokat Tonggak Sejarah Perjuangan Profesi Advokat, Makalah
disampaikan dalam Musyawarah Nasional Ikatan Advokat Indonesia, Semarang tanggal
3-5 april 2003.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1997, Fair Trial: Prinsip-Prinsip yang Jujur dan
Tidak Memihak, Jakarta,Yayasan LBHI.
Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, Bernard L. Tanya 2006, Teori Hukum, Strategi Tertib
Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Surabaya, Penerbit CV Kita.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum., Op. Cit.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) yang disahkan pada tanggal 31 Desember 1981.
Yusriyadi, 2010, Tebaran Pemikiran Kritis Hukum dan Masyarakat, Surya Pena Gemilang
Publishing.
Rahardjo, Satjipto 2009, Hukum dan Perubahan Sosial, Yogyakarta, Genta Publishing.

Winarta, Frans Hendra Menggugat Peran Kalangan Advokat dalam Reformasi Hukum, dalam situs
www.komisihukum.go.id, 28 Juni 2006.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), 2001, Advokat Indonesia Mencari
Legitimasi: Studi tentang Tanggung Jawab Hukum di Indonesia, Jakarta, PSHK.
Rahardjo, Satjipto “Advokat dari Ksatria Hukum ke Pengusaha Hukum”, Kompas, 22 November
1995.
Santoso, Topo 2009, Polisi, Jaksa, Advokat, Hakim dan Problem Penegakan Hukum di Indonesia,
artikel dalam Bunga Rampai: Potret Penegakan Hukum di Indonesia, 2009, Jakarta,
Komisi Yudisial Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai