Anda di halaman 1dari 5

Undang-undang Advokat yang diperjuangkan dalam beberapa dekade terakhir, akhirnya

dilahirkan meski masih mengandung banyak kelemahan. Namun, UU Advokat yang jauh dari
sempurna ini adalah realitas hukum yang harus diterima.

Para advokat tidak boleh lagi merasa tidak sejajar dengan penegak hukum lainnya karena UU
Advokat menjamin keberadaan advokat sebagai officer of the court seperti tertulis pada Pasal 5
UU Advokat yang beban tanggung jawabnya sama yaitu menegakkan hukum dan keadilan.

Pasal 5 UU Advokat, jika dibaca bersamaan dengan Pasal 4 UU Advokat tentang Sumpah
Advokat, akan terlihat, profesi advokat yang dikenal sebagai officium nobelium adalah profesi
luhur, mulia, dan bermartabat. Sumpah itu antara lain berbunyi, “Bahwa saya dalam
melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan tidak akan memberikan atau
menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan
atau menguntungkan bagi perkara yang sedang atau akan saya tangani”.

Bila Sumpah Advokat ini dibaca dengan teliti, kita seharusnya tak melihat advokat berkolusi
dengan polisi, jaksa, hakim, atau sesama advokat. Seharusnya tak ada korupsi, kolusi dan
nepotisme yang merongrong wajah penegakan hukum kita sehingga organisasi seperti
Transparency International menggarisbawahi betapa maraknya judicial corruption (mafia
peradilan) di Indonesia.

UU Advokat mengatur ihwal pengawasan advokat yang semuanya diserahkan kepada organisasi
advokat dengan bersandar kepada Kode Etik Advokat. Di sini pelaksanaan pengawasan itu
dilakukan Dewan Kehormatan Advokat (Pasal 6-11) yang struktur dan keanggotaannya diatur
organisasi advokat (Pasal 27). Selain itu, UU Advokat mengatur pula ihwal pengawasan advokat
melalui Komisi Pengawas (Pasal 12-13) yang lingkup tugasnya kurang lebih sama dengan
Dewan Kehormatan Advokat. Diaturnya pengawasan advokat dalam UU Advokat adalah
langkah maju meski harus diakui pasal-pasal pengawasan itu menyisakan beberapa pertanyaan
yang tak sepenuhnya terjawab.

Perilaku tercela dari advokat bukan lagi cerita aneh di telinga kita. Bila ada pepatah yang
mengatakan, mayoritas hakim kelak akan masuk neraka, pepatah itu berlaku pula bagi para
advokat. Penghargaan terhadap sumpah serta kode etik advokat amat rendah untuk tidak
dikatakan tidak ada sama sekali.

Celakanya, fenomena ini tak hanya terjadi pada advokat pemula karena menyebar ke banyak
sekali advokat. Yang paling menyedihkan, karena ada advokat senior mengaku bahwa
melakukan perselingkuhan dengan polisi, jaksa, hakim, dan sesama advokat itu wajar sebagai
sebuah kenyataan. Bagi advokat pemula, pernyataan ini dianggap pembenaran.

Ibarat pepatah, guru kencing berdiri murid kencing berlari. Tak heran jika publik sudah
kehilangan kepercayaan kepada profesi advokat. Kalau kita melihat para advokat senior pada dua
dekade kemerdekaan yang amat dihormati masyarakat, kini sisa-sisa dari rasa hormat itu tinggal
kenangan. Advokat yang jujur sering malu mengaku diri advokat, sehingga tidak jarang kita
mendengar pengakuan bahwa unfortunately, I am also a lawyer. Tidak terbersit rasa bangga
dalam pengakuan itu.
Selama ini Dewan Kehormatan Advokat tak banyak berperan. Hanya ada sedikit kasus yang
sampai ke meja Dewan Kehormatan Advokat. Mengapa? Bukan karena tak ada pelanggaran
kode etik advokat, tetapi karena semangat saling melindungi sesama anggota profesi telah
membuat pengaduan ke Dewan Kehormatan Advokat seperti tabu.

Masyarakat pencari keadilan tak sudi mengadu ke Dewan Kehormatan Advokat karena curiga
akan adanya perselingkuhan profesi. Kecurigaan ini amat beralasan karena struktur Dewan
Kehormatan Advokat yang amat parokial.

Di tengah ketidakpercayaan terhadap integritas profesi advokat, seharusnya organisasi advokat


membuka diri dan mengundang mantan hakim dan akademisi hukum yang mempunyai reputasi
terpuji. Sayang, organisasi advokat tak memiliki cakrawala berpikir yang luas, dan tak pula sudi
belajar dari pengalaman negara lain.

UU Advokat ini tak mengharuskan Dewan Kehormatan Advokat dilengkapi mantan hakim
senior dan akademisi hukum yang dikenal mempunyai reputasi terpuji. Tetapi, UU Advokat ini
sudah mulai menyadari, sikap parokial organisasi advokat ini amat tidak sehat.

Dalam profesi akuntan publik, misalnya, kita sudah melihat dilibatkannya tokoh-tokoh
masyarakat dalam mengawasi profesi akuntan karena tanggung jawab akuntan tidak semata-mata
bersifat profesional tetapi juga sosial.
Pola pikir ini secara terbatas diikuti UU Advokat yang mempersilakan Dewan Kehormatan
Advokat membentuk majelis yang akan mengadili pelanggaran kode etik advokat yang
susunannya terdiri atas unsur Dewan Kehormatan Advokat, pakar hukum dan tokoh masyarakat
(Pasal 27). Ini adalah langkah maju dalam arti keluar dari sifat organisasi profesi advokat yang
amat parokial, namun pengaturan lebih lanjut amat tergantung Kode Etik Advokat.

Sementara ini Kode Etik Advokat yang berlaku berdasar kesepakatan tujuh organisasi profesi
pada 23 Mei 2002 (Pasal 33) masih belum membuka pintu bagi masuknya orang-orang luar
advokat ke Dewan Kehormatan Advokat serta majelis yang akan mengadili pelanggaran kode
etik advokat.

Pengawasan terhadap advokat adalah topik yang kian menarik karena saat ini hampir semua
profesi tengah diadili oleh masyarakat. Pailitnya Enron dan World. com, misalnya, mencuatkan
kembali pertanyaan tentang tanggung jawab profesional dan sosial dari profesi akuntan dan
advokat. Di AS, organisasi akuntan sedang melakukan kaji ulang atas ketentuan etika akuntan
karena takut akan dihukum masyarakat sebagai perampok dan pembohong profesional (super
white collar crime).

Dalam profesi advokat di AS, misalnya, kesadaran akan tanggung jawab profesional dan sosial
ini sudah lama disadari dan karena itu di hampir semua negara bagian, kita melihat pengawasan
profesi advokat yang melibatkan publik. Di banyak negara bagian pengawasan itu dilakukan
secara bersama-sama oleh sebuah Komisi Pengawas yang terdiri dari para advokat, publik
(konsumen) dan Mahkamah Agung Negara Bagian. Komisi Pengawas ini adalah suatu birokrasi
yang mempunyai divisi penyelidikan (investigasi) dan pemeriksaan (ajudikasi). Kerja Komisi
Pengawas ini amat efektif dan berhasil memaksa advokat untuk berusaha maksimal
memperhatikan kepentingan publik (konsumen) karena konsumen sama sekali tidak boleh
dirugikan.

Di Indonesia konsumen adalah korban yang hampir tanpa perlindungan. Konsumen jasa hukum
adalah korban yang tak berdaya. Adanya Komisi Pengawas yang akan dibentuk kelak seharusnya
membuka babakan baru dari tanggung jawab sosial para advokat, sehingga profesi advokat ini
tidak lagi terasing dari masyarakatnya. Dalam konteks ini UU Advokat berjasa meletakkan
dasar-dasar pengawasan yang melibatkan masyarakat. Pertanyaannya, apakah organisasi advokat
menyadari tanggung jawabnya untuk keluar dari parokialisme profesi yang asosial ini?

Pertanyaan itu penting karena UU Advokat terlalu menyerahkan kekuasaan yang besar kepada
organisasi advokat sehingga pengaturan mengenai advokat sepenuhnya menjadi wewenang dari
organisasi advokat. Prinsip self-governing organization telah diperjuangkan sejak lama, tetapi
tempat advokat bekerja banyak yang ada di ranah publik (public space), tidak semata-mata ranah
profesi (professional space).

Pertanyaan sekaligus kekhawatiran di atas sebagian dikarenakan kurangnya pengaturan tentang


kriteria organisasi advokat dalam UU Advokat sehingga bila kita bercermin pada peta organisasi
advokat yang ada kini, maka tak sepenuhnya salah jika ada rasa khawatir.

Organisasi advokat yang saling berkelahi dan tak mampu menyamakan persepsi adalah
kenyataan pahit yang selama ini kita telan. Dalam satu organisasi profesi saja kita melihat gaya
premanisme profesi begitu kuat sehingga otot lebih kuasa dari otak. Sayang tanda-tanda
perubahan belum kelihatan meski semua organisasi advokat sudah menerima UU Advokat.

Karena itu, tak sepenuhnya salah jika banyak yang khawatir bahwa akan ada “perang”
antarorganisasi advokat dalam merebut kepemimpinan advokat, dan perang ini sering tidak
dibarengi dengan sikap ksatria.

Kompas, 24 April 2003

UU Advokat, Ikadin Ajukan Legislatif Review [Metropolitan]

Jakara, Pelita

Meski menerima keberadaan Undang-Undang Advokat namun Ikadin tetap merasa tidak puas
terhadap sejumlah pasal yang ada di dalam undang-undang tersebut. Ikadin bahkan akan
mengajukan Legislatif Review terhadap UU Advokat, kata Ketua Umum Ikadin Otto Hasibuan,
SH, di Jakarta Rabu (30/4).
Otto kepada wartawan disela-sela acara pengumuman pengurus DPP Ikadin priode 2003-2007
mengakui undang-undang advokat masih banyak kekurangannya. "Tetapi terlepas ada
kekurangannya di dalam UU Advokat kita berpikir untuk tetap taat menjalankan UU itu." Hanya
saja, tegas Otto didampingi Teguh Samudera dan Todung Mulya Lubis, tak ada salahnya
terhadap kekurangan-kekurangan itu tetap dikritisi. "Jadi kita tetap coba menjalankan UU itu
dengan baik sambil dikritis agar UU itu semua dapat disempurnakan."

Dia menyebutkan diantara kekurangan dalam UU Advokat antara lain soal usia calon advokat,
jabatan rangkap, hingga pembentukan wadah tunggal. Sebab seperti usia calon advokat, katanya,
semula diusulkan batas usia maksium 45 tahun.

Akan tetapi dalam UU Advokat, ucap dia, justru kebalikannya seorang calon advokat minimum
berusia 25 tahun. Adanya ketentuan ini malah dinilainya kurang menguntungkan dan membatasi
hak-hak dari para calon advokat muda itu.

"Sebab tidak menutup kemungkinan di usia 21 tahun sudah ada dari mereka yang menjadi
sarjana hukum. Kemudian magang dua tahun dan mengikuti ujian advokat. Jadi kenapa harus
menunggu dua tahun lagi baru bisa ikut ujian advokat," ungkapnya.

Begitupun, katanya, soal jabatan rangkap. Karena disebutkan dalam UU Advokat jika seorang
advokat menjadi anggota legislatif maka dia harus cuti atau tidak melaksanakan tugas sebagai
advokat selama menjadi anggota legislatif.

"Tetapi dalam penjelasan UU Advokat disebutkan masih adanya hubungan keperdataan antara si
advokat dengan kantornya. Jadi seakan-akan orangnya tidak boleh, namun kantornya tetap jalan
dan ini saya pikir akan tetap terjadi konflik kepentingan," ujarnya.

Sementara menyangkut wadah tunggal advokat, disebutkan Otto bahwa UU Advokat mengatur
dua tahun setelah berlakunya UU harus sudah terbentuk. "Tapi disitu tidak dijelaskan apa
sanksinya jika setelah batas waktu dua tahun terlampaui."
Menyangkut peran Ikadin ke depan, Otto menegaskan sebagai organisasi advokat tertua Ikadin
tetap memegang prinsip selain sebagai organisasi profesi juga menjadi organisasi perjuangan di
dalam penegakkan hukum dan menegakkan keadilan.

Sementara Pengurus DPP Ikadin priode 2003-2007 sebagai Ketua Umum DPP Ikadin Otto
Hasibuan dengan Sekjen Teguh Samudera dan Bendahara Makmur D Syukrie. Selain itu dalam
pengurus DPP Ikadin kali ini terdapat tujuh wakil ketua umum , sepuluh kepala bidang serta
dibantu sepuluh koordinator wilayah. Bertindak sebagai Ketua Dewan Penasehat Bob P
Nainggolan dan Ketua Dewan Kehormatan H Sudjono.(did)

Anda mungkin juga menyukai