Anda di halaman 1dari 13

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN KODE ETIK YANG

DILAKUKAN OLEH ADVOKAT

Siti Maemunah
Program Studi Magister Hukum, Universitas 17 Agustus 1945 Semarang
itiga450@gmail.com

ABSTRAK
Penenelitian bertujuan untuk mengeyahui dan menganalisa 1) Bagaimana penegakan hukum
terhadap pelanggaran kode etik yangx dilakukan oleh advokat dalam mewujudkan keadilan di
Peradi Kota Semarang ? 2) Bagaimana kendala-kendala yang dihadapi dalam penegakan hukum
terhadap pelanggaran kode etik profesi di Peradi Kota Semarang ? Metode penelitian menggunakan
menggunakan pendekatan yuridis sosioogis yang digunakan, spesifikasi penelitian yaitu deskriptif
analitis, sumber data menggunakan data primer dan data sekunder, metode pengumpulan data
dengan wawancara danstudi kepustakaan, dan metode analisa data menggunakan metode analisa
kualitatif. Hasil penelitian diperoleh bahwa belum terdapat Advokat yang mendapatkan sanksi
administrasi dalam bentuk pemberhentian dengan tidak hormat terkait pelanggaran Undang-
Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat dari PERADI namun demikian telah terdapat
Advokat yang mendapatkan teguran dari organisasi profesi terkait adanya dugaan pelanggaran
Kode Etik khususnya terkait pelanggaran terhadap kode etik profesi Advokat. Sebagaimana
mekanisme dalam pelanggaran terhadap kode etik maka nama dari Advokat yang melanggar
tersebut akan dicatatkan dalam buku register pelanggaran oleh organisasi profesi. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat, peranan PERADI dalam menindak
pelanggaran terhadap penarikan kode etik tidak diatur, namun demikian di dalam Peraturan
PERADI Nomor 1 Tahun 2006 juncto Peraturan PERADI Nomor 23 Tahun 2009 menjelaskan bahwa
pelanggaran terhadap kode etik (yang salah satunya memuat mengenai pelanggaran kode etik)
dapat menyebabkan diberhentikannya Advokat dengan tidak hormat. Peranan PERADI memiliki
payung hukum dalam melakukan pengawasan dan pembinaan berdasarkan kode etik.

Kata Kunci : Advokat; Kode Etik; Penegakan Hukum

A. PENDAHULUAN
Penegak hukum di Indonesia ada 3 yaitu Hakim, Jaksa, dan Polisi. Namun sejak
terbitnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, maka Advokat kini
sudah digolongkan sebagai Profesi di bidang Hukum. Advokat merupakan salah satu
dari sekian banyak profesi yang sangat diminati banyak orang karena menjadi
penyeimbang dalam proses penegakan hukum dalam mewujudkan keadilan.
Advokat merupakan salah satu profesi yang mulia dan terhormat (Officium
Nobile). Sesuai Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat, Advokat juga merupakan salah satu penegak hukum di Indonesia selain
Hakim, Jaksa, Polisi. Kedudukan advokat sebagai penegak hukum ini sering disebut
dengan istilah officer of the court. Sebagai Officer of the court, advokat harus tunduk
dan patuh terhadap aturan yang ada di pengadilan, selain itu, advokat harus memiliki
suatu sikap yang sesuai dengan kemuliaan dan kewibawaan pengadilan, sehingga
tidak mencoreng nilai kemuliaan dan kewibawaan tersebut. Dalam melaksanakan

This is an open access article under the CC BY-SA license


(https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/)
Volume 2 | No. 02 | Agustus 2021 e-ISSN 2721-6098

tugasnya advokat perlu memenuhi batasan-batasan yang ditentukan dalam Undang-


undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Profesi advokat di Indonesia sesungguhnya sudah memiliki kode etik bersama
yang disebut dengan Kode Etik Advokat Indonesia. Berlakunya kode etik ini
ditetapkan pada tanggal 23 Mei 2002 oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN),
Asosiasi Advokat Indonesia (AAI). Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI),
Himpunan Advokat & Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI),
Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar
Modal (HKHPM).
Berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat,
kode etik ini dinyatakan mutatis mutandis berlaku sampai dengan adanya ketentuan
baru yang dibuat oleh organisasi advokat. Sebelum itu, masing-masing organisasi
advokat memiliki kode etik sendiri. Namun apabila dilihat dari penerapan dan
penegakannya selama ini, sering terlihat kode etik advokat lebih banyak menjadi
komplemen yang tidak diperhatikan oleh kebanyakan advokat. Pelanggaran atas kode
etik kerap sekali dilakukan oleh para advokat ketika menjalankan profesinya dan
bahkan mereka tidak segan-segan melakukan perbuatan tersebut secara terbuka.
Sementara di sisi lain, organisasi profesi advokat yang ada terkesan kurang tanggap
terhadap makin banyaknya pelanggaran kode etik yang terjadi. Belum terlihat upaya
serius dari organisasi profesi advokat guna menindak pelanggaran kode etik yang
dilakukan oleh para advokat. Hanya sedikit kasus pelanggaran kode etik yang
mendapat penyelesaian secara tuntas. Organisasi profesi advokat ini ternyata kurang
berhasil dalam menjalankan perannya menegakkan kode etik.
Penegakan kode etik advokat ini memang tidak dapat dilimpahkan
sepenuhnya kepada organisasi profesi advokat hasilnya belum optimal, hal ini
mengingat kondisi dan kebijakan pengaturan mengenai profesi advokat yang berlaku
selama ini juga tidak memungkinkan bagi organisasi profesi advokat untuk bergerak
secara leluasa dalam menjalankan perannya tersebut. Sulitnya penegakan kode etik
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang satu sama lain saling terkait, satu diantara
faktor tersebut terletak pada materi kode etik advokat tersebut. Advokat dalam
menjalankan profesinya untuk menegakkan keadilan rawan terhadap masalah-
masalah terutama terhadap implementasi undang-undang Advokat itu sendiri, tidak
jarang Advokat tersebut tersandung ke dalam masalah hukum yang merupakan tindak
kriminal dalam menjalankan profesi sebagai seorang advokat, Seperti contoh kasus
Bambang Widjojanto yang sebagai kuasa hukum atau pengacara dari salah satu
pasangan kandidat kepala daerah di Kota Waringin Barat Kalimantan Tengah yang
menyuruh kliennya memberikan keterangan palsu dimana hal tersebut merupakan
tindak pidana. Sebagaimana diatur dalam Pasal 242 ayat (1) KUHP yang menyebutkan
bahwa :
“Barangsiapa dalam keadaan dimana undang-undang menentukan supaya
memberikan keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum
kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberikan keterangan
palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan secara pribadi atau oleh
kuasanya yang khusus ditujuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara
paling lama tujuh tahun”.
Kenyataannya sampai sekarang kasus ini belum dilimpahkan ke pengadilan
untuk disidang karena belum mendapat kepastian hukum. Menimbang bahwa dalam
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat jo putusan MK No.
26/PUU-XI/2013 tentang Advokat, disebutkan bahwa :

Siti Maemunah 179


Volume 2 | No. 02 | Agustus 2021 e-ISSN 2721-6098

“Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam
menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan
pembelaan klien di dalam dan di luar sidang pengadilan”
Dalam Pasal tersebut Advokat dalam menjalankan Profesinya selain dijamin
Oleh Undang-Undang secara normatif juga memiliki hak imunitas atau kekebalan
dalam menjalankan profesinya dengan berpegang pada kode etik profesi. Namun yang
menjadi sorotan disini ialah itikad baik yang dimaksud dalam Pasal tersebut seperti
apa, karena itikad baik yang dimaksud dalam Pasal tersebut mempunyai arti yang
sangat luas atau umum dimana hak kekebalan advokat bergantung dari itikad baik
dari advokat tersebut. Hal ini menimbulkan norma kabur yang timbul di masyarakat
dan jelas ini sangat betentangan dengan asas kepastian hukum dimana tidak boleh ada
hukum yang saling bertentangan dan juga hukum harus dibuat dengan rumusan yang
bisa dimengerti oleh masyarakat umum. Sebagai suatu negara hukum yang
berlandaskan pancasila dan UUDNRI Tahun 1945 perlu adanya suatu norma kepastian
hukum yang mengatur tentang advokat dalam menjalankan profesinya. Asas kepastian
hukum memberi hak kepada yang berkepentingan untuk mengarahkan masyarakat
untuk bersikap positif pada hukum negara yang telah ditentukan. 1
Pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
oleh advokat, akan diberi tindakan seperti yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yaitu berupa :
1. Teguran lisan;
2. Teguran tertulis;
3. Pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 sampai dengan 12
bulan;
4. Pemberhentian tetap dari profesinya.
Selain sanksi yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2003 tentang Advokat, ada juga sanksi dalam Kode Etik Advokat Indonesia
yang dapat diberikan apabila advokat melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik
Advokat Indonesia, sanksi tersebut terdapat dalam Pasal 16 Kode Etik Advokat
Indonesia Komite Kerja Advokat Indonesia yang disahkan 23 Mei 2002 di Jakarta,
yang berbunyi :
1. Peringatan biasa;
2. Peringatan keras;
3. Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu;
4. Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi.
Pengawasan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat dan Kode Etik Advokat Indonesia dilakukan oleh Dewan Kehormatan Kode
Etik Profesi Advokat baik pusat maupun daerah hal ini terdapat dalam Pasal 26 dan
Pasal 27 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dalam
perkembangannya meskipun telah dibentuk Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat dan Kode Etik Advokat Indonesia masih saja ditemukan
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh advokat. Contoh kasus dalam
penelitian ini pada studi kasus Putusan Nomor 86/Pid.B/2017/PN.Kdl yang terjadi di
wilayah hukum Kepolisian Resor Kendal Kepolisian Daerah Jawa Tengah.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, Penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang “Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Kode Etik Yang
Dilakukan Oleh Advokat”

1
Supriadi, 2008, Dalam Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, hlm 84 – 87.

Siti Maemunah 180


Volume 2 | No. 02 | Agustus 2021 e-ISSN 2721-6098

B. METODE PENELITIAN
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan
dengan metode yuridis sosiologis. Yuridis sosiologis merupakan suatu studi yang
meninjau hukum sebagai fakta sosial yang bisa tersimak di alam pengalaman sebagai
pola perilaku dalam mewujudkan pranata sosial atau institusi sosial, kajian hukum
yang mengkonsepkan dan menteorikan hukum sebagai fakta sosial yang positif dan
empiris.2 Yuridis sosiologis ini merupakan cara yang digunakan dan bertujuan untuk
memecahkan suatu masalah yang berada di penelitian dengan cara meneliti data-data
primer sebagai data utama Pendekatan yuridis empiris (yuridis sosiologis) tersebut
dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis secara kualitatif tentang
Penegakan hukum terhadap pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Advokat
dalam mewujudkan keadilan.
Data primer adalah data yang diperoleh dari lapangan secara langsung melalui
wawancara atau interview, sedangkan penelitian kepustakaan hanya sebagai data
pendukung.3 Data primer atau data utama diperoleh dari hasil wawancara dengan
para informan yang pernah memproses pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh
Advokat.
Data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan dan kepustakaan, kemudian
dianalisis dengan metode analisis kualitatif untuk menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan, yaitu dengan menganalisis kualitas dari data yang diperoleh, sehingga
didapat gambaran yang jelas dan relevan mengenai Penegakan hukum terhadap
pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Advokat dalam mewujudkan keadilan.

C. PEMBAHASAN
1. Penegakan hukum terhadap pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh
advokat di Peradi Kota Semarang
Penegakan hukum dalam bahasa belanda disebut dengan rechtstoepassing atau
rechtshandhaving dan dalam bahasa inggris law enforcement, meliputi pengertian
yang bersifat makro dan mikro. Bersifat makro mencakup seluruh aspek kehidupan
masyarakat, berbangsa dan bernegara, sedangkan dalam pengertian mikro terbatas
dalam proses pemeriksaan di pengadilan termasuk proses penyelidikan, penyidikan,
penuntutan hingga pelaksanaan putusan pidana yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.4
Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan
perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana,
apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan,
keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai
actual di dalam masyarakat beradab. Sebagai proses kegiatan yang meliputi berbagai
pihak termasuk masyarakat dalam rangka pencapaian tujuan adalah keharusan untuk
melihat penegakan hukum pidana sebagai suatu sistem peradilan pidana.
Penegakan hukum sebagai suatu proses yang pada hakikatnya merupakan
penerapan yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh
kaidah hukum akan tetapi mempunyai unsur-unsur penilaian pribadi (Wayne La-

2
Soetandyo Wignjosoebroto, 2007, Hukum, Paradigma, Metode Penelitian dan Dinamika
Masalah, Elsam & Huma, Jakarta, hlm 183.
3
Ronny Hanitijo Soemitro, 1990. Metode Peneitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalamania
Indonesia, hlm 10
4
Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, Syarif Fadillah, 2008, Strategi Pencegahan Dan Penegakan
Hukum Tindak Pidana Korupsi, Bandung: Refika Editama, hlm. 87

Siti Maemunah 181


Volume 2 | No. 02 | Agustus 2021 e-ISSN 2721-6098

Favre). Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada
kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah
yang mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk
menciptakan, melahirkan dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.5
Penegakan hukum sendiri harus diartikan dalam kerangka tiga konsep, yaitu
sebagai berikut :
a) Konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept)
yang menuntut agar semua nilai yang ada di belakang norma hukum
tersebut ditegakkan tanpa terkecuali.
b) Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full enforcement concept)
yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara
dan sebagainya demi perlindungan kepentingan individual.
c) Konsep penegakan hukum actual (actual enforcement concept) yang
muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena
keterbatasan-keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana prasarana,
kualitas sumber daya manusianya, kualitas perundang undangannya dan
kurangnya partisipasi masyarakat.6
Advokat merupakan salah satu profesi yang mulia dan terhormat (Officium
Nobile). Sesuai Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat, Advokat juga merupakan salah satu penegak hukum di Indonesia selain
Hakim, Jaksa, Polisi. Kedudukan advokat sebagai penegak hukum ini sering disebut
dengan istilah officer of the court. Sebagai Officer of the court, advokat harus tunduk
dan patuh terhadap aturan yang ada di pengadilan, selain itu, advokat harus memiliki
suatu sikap yang sesuai dengan kemuliaan dan kewibawaan pengadilan, sehingga
tidak mencoreng nilai kemuliaan dan kewibawaan tersebut. Dalam melaksanakan
tugasnya advokat perlu memenuhi batasan-batasan yang ditentukan dalam Undang-
undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana yang berlatar belakang
pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat
yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat. Pengangkatan advokat dilakukan oleh
Organisasi Advokat. Salinan surat keputusan pengangkatan advokat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Menteri. Untuk
dapat diangkat menjadi advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1) Warga negara Republik Indonesia;
2) Bertempat tinggal di Indonesia;
3) Tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;
4) Berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) Tahun;
5) Berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);
6) Lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;
7) Magang sekurang-kurangnya 2 (dua) Tahun terus menerus pada
kantor Advokat;
8) Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) Tahun atau lebih;

5 Soerjono Soekanto, 2012, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, PT.

Rajagrafindo Persada, hlm. 5


6 Mardjono Reksodipuro, 1997, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana Kumpulan Karangan

Buku Kedua, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas
Indonesia, Jakarta: UI Press, hlm 52

Siti Maemunah 182


Volume 2 | No. 02 | Agustus 2021 e-ISSN 2721-6098

9) Berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai


integritas yang tinggi.
Kemandirian dan kebebasan yang dimiliki oleh profesi advokat, tentu harus
diikuti oleh adanya tanggungjawab masing-masing advokat dan Organisasi Profesi
yang menaunginya. Ketentuan Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat
telah memberikan rambu-rambu agar profesi advokat dijalankan sesuai dengan
tujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hal yang paling mudah dilihat adalah
dari sumpah atau janji advokat yang dilakukan sebelum menjalankan profesinya.
Sumpah tersebut pada hakikatnya adalah janji seorang yang akan menjalani profesi
sebagai advokat, kepada Tuhan, diri sendiri, dan masyarakat. Seandainya setiap
advokat tidak hanya mengucapkannya untuk formalitas, tetapi meresapi, meneguhi,
dan menjalankannya, tentu kondisi penegakan hukum akan senantiasa meningkat
lebih baik. Kekuasaan kehakiman akan benar-benar dapat menegakkan hukum dan
keadilan.
Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam
menegakkan hukum, perlu dijamin dan dilindungi oleh undang-undang demi
terselenggaranya upaya penegakkan supermasi hukum sehingga perlu adanya
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang advokat. Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat merupakan jaminan kepastian hukum bagi
kalangan profesi advokat dalam menjalankan profesinya. Selain Undang-Undang
advokat juga memiliki Kode Etik yang membebankan kewajiban dan sekaligus
memberikan perlindungan hukum kepada setiap anggotanya dalam menjalankan
profesinya. Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam
menjalankan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, Undang-undang, dan
Kode Etik, memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian
advokat yang berpegang teguh kepada Kemandirian, Kejujuran, Kerahasiaan dan
Keterbukaan.
Kode etik profesi agar dapat berfungsi dengan baik dan efektif, maka harus ada
badan atau alat yang bertugas membina dan mengawasinya. Dalam organisasi
advokat biasanya ditugaskan kepada satu badan atau dewan kehormatan profesi
untuk melaksanakannya. Badan itu selain menjaga agar aturan kode etik itu dipatuhi
oleh seluruh anggota, juga mempunyai kewenangan untuk melakukan penertiban
atau tindakan yang bersifat administratif terhadap anggotanya yang nyata-nyata
melanggar kode etik profesi. Tindakan administratif yang diambil oleh dewan
kehormatan dapat berupa hukuman yang paling ringan, misalnya berupa teguran
atau peringatan, tetapi mungkin saja mengingat dan menimbang seriusnya
pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggotanya, maka dewan kehormatan
dapat saja memberi hukuman berat berupa pemecatan dari keanggotaan organisasi.
Menurut Eka Windhiarto meskipun tidak secara implisit dalam Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat diatur mengenai peran Advokat namun
kerjasama antara PERADI dan orgnasisasi profesi karena telah secara tegas diatur di
dalam Peraturan PERADI Nomor 1 Tahun 2006 juncto Peraturan PERADI Nomor 23
Tahun 2009 yang mengukuhkah keberadaan organisasi Advokat sebagai mitra
kerjasama bagi PERADI dalam menegakkan kode etik.7 Dalam praktik Advokat dapat
menjalin komunikasi dengan PERADI sekaligus bertindak sebagai pelapor jika ada
indikasi pelanggaran kode etik dan namun tidak terbatas jika secara sidang etik juga

7
Wawancara dengan Eka Windhiarto, SH, Sekretaris Peradi Jawa Tengah, 28 September 2021

Siti Maemunah 183


Volume 2 | No. 02 | Agustus 2021 e-ISSN 2721-6098

telah terbukti Advokat melakukan pelanggaran terhadap ketentuan kode etik dan
juga Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
Sanksi-sanksi atas pelanggaran kode etik profesi ini dapat dikenakan hukuman
berupa:
1) Teguran;
2) Peringatan;
3) Peringatan keras;
4) Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu;
5) Pemberhentian selamanya;
6) Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi.
Sedangkan menurut Undang-undang No. 18 Tahun 2003 Pasal 7 ayat (1)
hukuman atau sanksi yang dijatuhkan kepada advokat dapat berupa:
1) Teguran lisan;
2) Teguran tertulis;
3) Pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 sampai 12 bulan;
4) Pemberhentian tetap dari profesinya.
Dengan pertimbangan atas berat dan ringannya sifat pelanggaran kode etik
dapat dikenakan sanksi-sanksi dengan hukuman:
1) Berupa teguran atau berupa peringatan biasa jika sifat pelanggarannya
tidak berat;
2) Berupa peringatan keras jika sifat pelanggarannya berat atau karena
mengulangi berbuat melanggar kode etik dan atau tidak mengindahkan
sanksi teguran/peringatan yang diberikan;
3) Berupa pemberhentian sementara untuk waktu tertentu jika sifat
pelanggarannya berat, tidak mengindahkan dan tidak menghormati
ketentuan kode etik profesi atau bilamana setelah mendapatkan sanksi
berupa peringatan keras masih mengulangi melalukan pelanggaran kode
etik profesi;
4) Pemecatan dari keanggotaan profesi jika melakukan pelanggaran kode etik
dengan maksud dan tujuan untuk merusak citra dan martabat kehormatan
profesi advokat yang wajib dijunjung tinggi sebagai profesi yang mulia dan
terhormat.
Advokat dapat berhenti atau diberhentikan dari profesinya oleh Organisasi
Advokat. Advokat berhenti atau dapat diberhentikan dari profesinya secara tetap
karena alasan:
1) Permohonan sendiri.
2) Dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 4 (empat) Tahun
atau lebih; atau
3) Berdasarkan keputusan Organisasi Advokat.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Suprihono, SH, selaku Ketua
Dewan Kehormatan PERADI Kota semarang, diperoleh keterangan bahwa peranan
Kantor Cabang PERADI dalam rangka pengawasan kode etik adalah dengan
melakukan kerjasama dengan PERADI kantor wilayah setempat, PERADI Pusat,
Pengurus Advokat dan seluruh Anggota Advokat. Menurut Broto Hastono, meskipun
di dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat tidak secara
eksplisit menerangkan hubungan kerjasama dengan PERADI namun jika ditelusuri di
dalam Pasal 69 Peraturan PERADI Nomor 1 Tahun 2006 juncto Peraturan PERADI
Nomor 23 Tahun 2009 menyebutkan untuk menjaga martabat dan kehormatan

Siti Maemunah 184


Volume 2 | No. 02 | Agustus 2021 e-ISSN 2721-6098

profesi Advokat dan/atau Advokat Sementara wajib dibentuk organisasi profesi


Advokat dan/atau Advokat Sementara.8 Organisasi profesi Advokat dan/atau Advokat
Sementara sebagaimana dimaksud tersebut di atas wajib menyusun 1 (satu) Kode
Etik Profesi Advokat yang berlaku secara nasional untuk ditaati semua anggota
Advokat dan Advokat sementara. Penyusunan Kode Etik Profesi Advokat dilakukan
oleh organisasi profesi Advokat secara bersama-sama dan disahkan oleh Ketua
PERADI sebagai pedoman bersama untuk pengembangan profesi Advokat.
Etika kepribadian Advokat sebagai pejabat penasihat hukum maka advokat:
a) Berjiwa Pancasila;
b) Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c) Menjunjung tinggi hukum dan sumpah jabatan;
d) Bersedia memberi nasihat dan bantuan hukum tanpa membedakan agama,
suku, keturunan, kedudukan sosial, dan keyakinan politik;
e) Tidak semata-mata mencari imbalan material, tetapi terutama untuk turut
menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran dengan cara yang jujur dan
bertanggung jawab;
f) Bekerja dengan bebas dan mandiri serta tidak dipengaruhi oleh siapapun
dan wajib menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam Negara Hukum
Indonesia;
g) Memegang teguh rasa solidaritas sesama advokat dan wajib membela
secara cuma-cuma teman sejawat yang diajukan sebagai tersangka dalam
perkara pidana;
h) Tidak dibenarkan melakukan pekerjaan yang dapat merugikan kebebasan,
derajat, dan martabat advokat, senantiasa menjunjung tinggi profesi
advokat sebagai profesi terhormat;
i) Bersikap benar dan sopan terhadap pejabat penegak hukum, sesama
advokat, dan masyarakat, serta mempertahankan hak dan martabat
advokat di forum manapun juga
Advokat sebagai pejabat penasihat hukum dalam melakukan tugas jabatannya:
a) Tidak memasang iklan untuk menarik perhatian, dan tidak memasang
papan nama dengan ukuran dan bentuk istimewa;
b) Tidak menawarkan jasa kepada klien secara langsung atau tidak langsung
melalui perantara, melainkan harus menunggu permintaan;
c) Tidak mengadakan kantor cabang di tempat yang merugikan kedudukan
advokat, misalnya di rumah atau di kantor seorang bukan advokat;
d) Menerima perkara sedapat mungkin berhubungan langsung dengan klien
dan menerima semua keterangan dari klien sendiri;
e) Tidak mengizinkan pencantuman namanya di papan nama, iklan, atau cara
lain oleh orang bukan advokat tetapi memperkenalkan diri sebagai wakil
advokat;
f) Tidak mengizinkan karyawan yang tidak berkualifikasi untuk mengurus
sendiri perkara, memberi nasihat kepada klien secara lisan atau tertulis;
g) Tidak mempublikasikan diri melalui media massa untuk menarik perhatian
masyarakat mengenai perkara yang sedang ditanganinya, kecuali untuk
menegakkan prinsip hukum yang wajib diperjuangkan oleh semua
advokat;

8
Wawancara dengan Broto Hastono, SH, Ketua Peradi Cabang Semarang, 28 September 2021

Siti Maemunah 185


Volume 2 | No. 02 | Agustus 2021 e-ISSN 2721-6098

h) Tidak mengizinkan pencantuman nama advokat yang diangkat untuk suatu


jabatan negara pada kantor yang memperkerjakannya dahulu;
i) Tidak mengizinkan advokat mantan hakim/panitera menangani perkara di
pengadilan yang bersangkutan selama tiga tahun sejak dia berhenti dari
pengadilan tersebut.
Etika Advokat dalam Menjalankan Profesinya terhadap Klien. Dalam Undang-
Undang No. 18 Tahun 2003 menyatakan bahwa seorang advokat memberi jasa hukum
berupa konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili,
mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan
hukum klien. Jasa hukum itu tentunya diberikan secara profesional, dalam arti
kerangka hukum harus sesuai kode etik dan standar profesi. Dalam sebuah tulisan tiga
tahun yang lalu untuk Acara Peringatan Ulang Tahun Asosiasi Advokat Indonesia ke-15,
dikatakan bahwa dalam membicarakan kode etik dan standar profesi advokat harus
dikaji melalui pendekatan kewajiban advokat kepada Masyarakat, Pengadilan, Sejawat
Profesi dan kepada Klien. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam membagi jasa hukum
yang diberikan seorang advokat itu ke dalam beberapa kategori:
a) Berupa nasihat lisan ataupun tulisan terhadap permasalahan hukum yang
dipunyai klien, termasuk disini membantu merumuskan berbagai jenis
dokumen hukum. Dalam kategori ini, advokat secara teliti antara lain
memberi penafsiran terhadap dokumen-dokumen hukum yang
bersangkutan dalam kaitannya dengan peraturan perundang-undangan
Indonesia (ataupun mungkin internasional).
b) Jasa hukum membantu dalam melakukan negosiasi (proses tawar
menawar dalam perundingan) atau mediasi (menyelesaikan suatu
perselisihan). Advokat harus memahami keinginan klien maupun pihak
lawan, dan tugas utamanya memperoleh penyelesaian secara memuaskan
para pihak. Kadang kala advokat harus pula diminta menilai bukti-bukti
yang diajukan pihak-pihak, tapi tujuan utama jasa hukum disini adalah
memperoleh penyelesaian di luar pengadilan.
c) Dalam kategori ini jasa hukum adalah membantu klien di Pengadilan, baik
di bidang hukum perdata, hukum pidana, hukum tata usaha (administrasi)
negara, ataupun (mungkin) di Mahkamah Konstitusi. Dalam kasus-kasus
(hukum) pidana, maka bantuan jasa hukum didahului pula oleh bantuan
ketika klien diperiksa di Kepolisian dan Kejaksaan.
Etika Hubungan Sesama Rekan Advokat sebagai Penasihat Hukum Dalam
ketentuan Bab IV KEAI mengatur asas-asas tentang hubungan antar teman sejawat
advokat. Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam kegiatan menjalankan profesi
sebagai suatu usaha, maka persaingan adalah normal. Namun persaingan ini harus
dilandasi oleh “ ... sikap saling menghormati, saling menghargai dan saling
mempercayai” (KEAI, Pasal 5 alinea 1). Dalam persaingan melindungi dan
mempertahankan kepentingan klien, sering antara para advokat, atau advokat dan
jaksa/penuntut umum, terjadi “pertentangan”. Alinea 4 dari Pasal 5 KEAI merujuk
kepada penarikan atau perebutan klien. Dalam bahasa ABA ini dinamakan
“encroaching” atau “trespassing”, secara paksa masuk dalam hak orang lain (teman
sejawat advokat). Secara gamblang dikatakan adanya “obligation to refrain from
deliberately stealing each other’s clients”. Bagaimana dalam praktek nanti Dewan
Kehormatan KEAI akan mendefinisikan “stealing of clients” ini? Bagaimana akan
ditafsirkan “menarik atau merebut klien” itu? Kita harus menyadari bahwa adalah hak
klien untuk menentukan siapa yang akan memberinya layanan hukum; siapa yang akan

Siti Maemunah 186


Volume 2 | No. 02 | Agustus 2021 e-ISSN 2721-6098

mewakilinya; atau siapa advokatnya. Masalah lain dalam hubungan antar advokat ini
adalah, tentang penggantian advokat. Advokat lama berkewajiban untuk menjelaskan
pada klien segala sesuatu yang perlu diketahuinya tentang perkara bersangkutan. .
Pengaturan dalam Pasal 4 alinea 2 KEAI tentang Pemberian Keterangan oleh
advokat yang dapat menyesatkan kliennya. Advokat baru sebaiknya menghubungi
advokat lama dan mendiskusikan masalah perkara bersangkutan dan
perkembangannya terakhir. Seorang advokat adalah berkomunikasi atau menegosiasi
masalah perkara, langsung dengan seseorang yang telah mempunyai advokat, tanpa
kehadiran advokat orang ini. Asas ini tercantum dalam Canon 9 ABA. Dalam asas ini
tidak berlaku untuk mewawancarai saksi-saksi dari pihak lawan dalam berperkara
(alinea 5 dan 6, Pasal 7 KEAI). Suatu etika hubungan sesama rekan Advokat sebagai
sesama pejabat penasihat hukum:
a. Mempunyai hubungan yang harmonis antara sesama rekan advokat
berdasarkan sikap saling menghargai dan mempercayai;
b. Tidak menggunakan kata-kata tidak sopan atau yang menyakitkan hati jika
membicarakan teman sejawat atau jika berhadapan satu sama lain di
dalam sidang pengadilan;
c. Mengemukakan kepada Dewan Kehormatan Cabang setempat sesuai
dengan hukum acara yang berlaku keberatan terhadap tindakan teman
sejawat yang dianggap bertentangan dengan Kode Etik Advokat;
d. Dilarang menarik klien dari teman sejawat;
e. Dengan sepengetahuan teman sejawat yang telah menjadi advokat tetap
kliennya, dapat memberi nasihat kepada klien itu dalam perkara tertentu
atau menjalankan perkara untuk klien yang bersangkutan;
f. Yang baru dapat menerima perkara dari advokat lama setelah dia memberi
keterangan bahwa klien yang semua kewajiban terhadap advokat yang
lama;
g. Yang baru boleh melakukan tindakan yang sifatnya tidak dapat ditunda,
misalnya naik banding atau kasasi karena tenggang waktunya segera
berakhir;
h. Yang lama selekas mungkin memberikan kepada advokat yang baru semua
surat dan keterangan penting untuk mengurus perkara itu.
Dewan Kehormatan merupakan organ yang berwenang mengawasi dan
menegakkan kode etik profesi advokat. Dewan Kehormatan dibentuk baik pada
tingkat pusat maupun cabang pada umumnya di setiap Provinsi yang tidak menutup
kemungkinan juga pada beberapa kabupaten/kota. Dewan Kehormatan pada saat
menjalankan tugasnya bersifat pasif. Ia menjalankan fungsi penegakan kode etiknya
dengan cara menunggu adanya aduan dari pihak yang merasa dirugikan atas tindakan
anggotanya. Dewan kehormatan organisasi advokat memeriksa dan mengadili
pelanggaran kode etik profesi advokat berdasarkan tata cara dewan Kehormatan
organisasi advokat. Dewan kehormatan adalah lembaga atau badan yang dibentuk
oleh organisasi profesi advokat, yang berfungsi dan berwenang mengawasi
pelaksanaan kode etik advokat sebagaimana semestinya dan berhak memeriksa
pengaduan terhadap orang yang melanggar kode etik advokat. Dalam Pasal 27 ayat
(4) Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2003 bahkan mensyaratkan bahwa komposisi
dewan kehormatan terdiri atas pakar atau tenaga ahli di bidang hukum dan tokoh
masyarakat. Komposisi dewan kehormatan terdiri atas bukan hanya advokat, karena
apabila semua anggota dewan kehormatan adalah advokat sendiri, ada kekhawatiran

Siti Maemunah 187


Volume 2 | No. 02 | Agustus 2021 e-ISSN 2721-6098

bahwa putusannya tidak diambil secara objektif. Karena secara naluri, setiap
organisasi profesi akan cenderung membela anggotanya.9
Berdasarkan data tersebut di atas, menunjukkan belum terdapat Advokat yang
mendapatkan sanksi administrasi dalam bentuk pemberhentian dengan tidak hormat
terkait pelanggaran Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokatdari
PERADI, namun demikian tidak menutup kemungkinan hal tersebut dapat terjadi di
masa mendatang dikarenakan bertambahnya jumlah Advokat
2. Kendala-kendala yang dihadapi dalam penegakan hukum terhadap
pelanggaran kode etik profesi di Peradi Kota Semarang
Kendala-kendala yang dihadapi dalam penegakan hukum terhadap
pelanggaran kode etik profesi di Peradi Kota Semarang, antara lain :
1. Belum terbiasanya proses kode etik di kalangan advokat.
2. Adanya birokrasi dalam penyelesaian pelanggaran kode etik profesi
advokat yang dapat mempengaruhi proses penegakkan hukum profesi
advokat sehingga penyelesiaan permasalahan tersebut menjadi sulit untuk
diselesaikan.
3. Para pihak tidak mentaati putusan dewan kehormatan kode etik.
4. Kendala-kendala yang dihadapi dalam penegakan hukum terhadap
pelanggaran kode etik profesi di Peradi Kota Semarang berupa : anggaran
yang dimiliki dewan kehormatan dirasakan kurang, berkaitan dengan
profesionalitas atau keahlian, sarana dan prasarana yang dimiliki oleh
dewan kehormatan, masih lemahnya hukum dalam kehidupan sehari-hari,
modus operandi baru, dan rendahnya partisipasi masyarakat.
D. Penutup
1. Kesimpulan
a. Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis di Semarang, belum ada
advokat yang mendapatkan sanksi administratif berupa pemberhentian tidak
hormat terkait pelanggaran Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat PERADI namun ada advokat yang mendapatkan teguran dari
organisasi profesi terkait dengan dugaan pelanggaran kode terutama
pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh organisasi profesi selaku Advokat
PERADI. Sebagai mekanisme pelanggaran kode etik maka nama Advokat yang
melanggar akan dicantumkan dalam daftar pelanggaran oleh organisasi
profesi
b. Kendala-kendala yang dihadapi dalam penegakan hukum terhadap
pelanggaran kode etik profesi di Peradi Kota Semarang berupa : anggaran
yang dimiliki dewan kehormatan dirasakan kurang, berkaitan dengan
profesionalitas atau keahlian, sarana dan prasarana yang dimiliki oleh dewan
kehormatan, masih lemahnya hukum dalam kehidupan sehari-hari, modus
operandi baru, dan rendahnya partisipasi masyarakat. Upaya untuk
mengatasinya dengan cara penambahan anggaran dewan kehormatan,
peningkatan sarana prasarana dan partisipasi masyarakat.
2. Saran
a. Koordinasi hubungan dan komunikasi antara sesama lembaga penegak
hukum yang dalam hal ini adalah PERADI selaku organisasi advokat dan
Mahkamah Agung harus dipelihara dengan baik agar pelaksanaan putusan
incraht Majelis Dewan Kehormatan PERADI mengenai kasus pelanggaran

9
Nasrul Syakur Chaniago, 2011, Manajemen Organisasi, Bandung: Cita Pustaka Media Perintis,
hlm. 18-19.

Siti Maemunah 188


Volume 2 | No. 02 | Agustus 2021 e-ISSN 2721-6098

kode etik profesi advokat dapat terus dilaksanakan secara efektiv dan cepat.
Dewan Kehormatan Daerah PERADI sendiri sebisanya juga dapat diberikan
kewenangan untuk melaporkan putusan incraht secara langsung kepada
Mahkamah Agung apabila terdapat hambatan–hambatan dalam koordinasi
antara Dewan Pimpinan Nasional PERADI dengan Mahkamah Agung juga
untuk mengefektivitaskan waktu pelaksanaan putusan.
b. Perbaikan moral dari setiap advokat harus selalu dilakukan baik dari
organisasi advokat sendiri maupun dari diri advokat sendiri dimana hal ini
sangat diperlukan agar setiap advokat dapat menjalankan profesinya dengan
benar dan sesuai dengan peraturan serta sesuai dengan hati nurani tanpa
melakukan pelanggaran baik pelanggaran hukum maupun pelanggaran kode
etik profesi advokat.

DAFTAR PUSTAKA

Alvin S Johnson, 2004, Sosiologi Hukum, Jakarta: Rineka Cipta.

Bambang Waluyo, 1992, Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika.

Barda Nawawi Arief, 2002, Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, Syarif Fadillah, 2008, Strategi Pencegahan Dan Penegakan Hukum
Tindak Pidana Korupsi, Bandung: Refika Editama.

Hadi Herdiansyah, 2004, Kode Etik Advokat Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Indonesia ( PSHK ).

Ishaq, 2010, Pendidikan Keadvokatan, Jakarta: Sinar Grafika.

Mardjono Reksodipuro, 1997, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana Kumpulan Karangan Buku
Kedua, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi
Universitas Indonesia.

Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris,
Yogyakarta Pustaka Pelajar.

Munir Fuady, 2005, Dalam Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa,
Advokat,Notaris,Kurator dan Pengurus), Bandung: Citra Aditya Bakti.

Nasrul Syakur Chaniago, 2011, Manajemen Organisasi, Bandung: Cita Pustaka Media Perintis.

Rahmat Rosyadi dan Sri Hartini, 2003, Advokat Dalam Perspektif Islam Dan Hukum Positif, Jakarta:
Ghalia Indonesia

Ramly Hutabarat. 1985, Persamaan Di Hadapan Hukum (Equality Before the Law) di Indonesia. Jakarta:
Ghalia Indonesia.

Ratna Willis Dahar, 1996, Teori-Teori Belajar, Jakarta: Erlangga.

Ronny Hanitijo Soemitro, 1990. Metode Peneitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalamania Indonesia.

Satjipto Raharjo. 1986, Ilmu Hukum, Bandung: Penerbit Alumni.

Siti Maemunah 189


Volume 2 | No. 02 | Agustus 2021 e-ISSN 2721-6098

Soerjono Soekanto, 1982. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Pres.

Soerjono Soekanto, 2012, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada.

Sthepen P. Robbins,1994, Teori Organisasi Struktur, Desain, dan Aplikasi, Jakarta: Arcan.

Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty.

Suhrawardi K. Lubis, 1994, Etika Profesi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.

Supriadi, 2008, Dalam Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.

Suriasumantri, Jujun S. 2009, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

V. Harlen Sinaga, 2011, Dasar-Dasar Profesi Advokat, Jakarta: Erlangga

Yulies Tina Masriani. 2004, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat;

Kode Etik Advokat Indonesia Komite Kerja Advokat Indonesia yang disahkan 23 Mei 2002 di Jakarta

Siti Maemunah 190

Anda mungkin juga menyukai