Anda di halaman 1dari 15

KEWENANGAN PRAPERADILAN DALAM

MEMUTUS PENETAPAN TERSANGKA

Oleh:
Patty Regina
Rafli Fadilah Achmad
Valeryan Natasha

Universitas Indonesia
Depok
April 2015

1
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS

Kami yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Patty Regina Nama : Rafli Fadilah


NPM : 1106056075 NPM : 1206246313
Program Studi : Ilmu Hukum Program Studi: Ilmu Hukum

Nama : Valeryan Natasha


NPM : 1206251471
Program Studi: Ilmu Hukum
Menyatakan bahwa artikel imiah yang berjudul :

KEWENANGAN PRAPERADILAN DALAM


MEMUTUS PENETAPAN TERSANGKA
Benar-benar merupakan hasil karya pribadi dan seluruh sumber yang dikutip
maupun dirujuk telah kami nyatakan dengan benar. Demikian pernyataan ini kami
buat dengan sebenarnya, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Apabila di
kemudian hari terbukti terdapat pelanggaran di dalamnya, kami siap untuk
didiskualifikasi dari kompetisi ini sebagai bentuk tanggung jawab kami.

Depok, 12 Mei 2015

(Patty Regina) (Rafli Fadilah Achmad) (Valeryan Natasha)

2
DAFTAR ISI
Lembar Orisinalitas..................................................................................................2
Daftar Isi .................................................................................................................3

I. PENDAHULUAN
I.1Pendahuluan.............................................................................................4

II. PEMBAHASAN
II.1Pembahasan............................................................................................5
II.2 Pandangan Pro Penetapan Tersangka Sebagai Objek
Praperadilan......................................................................................5
II.2.A Perlindungan Hak Atas Jaminan, Perlindungan dan
.Kepastian Hukum................................................................5
II.2.B Progresivitas Hukum...........................................................7
II.2.C Ketiadaan Mekanisme Check and Balances Terhadap
Tindakan Penetapan Tersangka............................................9
II.3 Pandangan Kontra Penetapan Tersangka sebagai Objek
Praperadilan....................................................................................10
II.3.A Kewenangan Praperadilan Bersifat Limitatif dan Tidak
Dapat Dengan Bebas Dirubah atau
Ditafsirkan........................................................................10
II.3.B Penetapan Tersangka Tidak Menimbulkan Kerugian...11
II.3.C Penetapan Tersangka sebagai Satu Kesatuan Proses dengan
Penyidikan..........................................................................12
II.4 Mekanisme Penetapan Tersangka Sebagai Objek Praperadilan..13

III. PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

3
I. PENDAHULUAN
Maraknya kontroversi atas putusan Hakim Sarpin Rizaldi yang
membatalkan status tersangka Komjenpol Budi Gunawan menjadi awal dari
perhatian media atas kewenangan Praperadilan memutus penetapan tersangka.
Peristiwa ini menjadi pusat perhatian karena di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) sendiri tidak disebutkan bahwa penetapan
tersangka adalah salah satu objek gugatan praperadilan.1
Berdasarkan Pasal 1 ayat (10) KUHAP, disebutkan bahwa praperadilan
adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: (a) sah atau tidaknya suatu
penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau
pihak lain atas kuasa tersangka; (b) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; (c)
permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau
pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Secara limitatif, wewenang praperadilan dijabarkan dalam Pasal 77
KUHAP, yang mensimbolir praperadilan sebagai suatu lembaga yang berfungsi
untuk menguji apakah tindakan/upaya paksa yang dilakukan oleh
penyidik/penuntut umum sudah sesuai dengan undang-undang dan tindakan
tersebut telah dilengkapi administrasi penyidikan secara sah atau tidak. 2 Selain itu,
penjelasan lain di dalam KUHAP terkait praperadilan disebutkan di dalam Pasal
95 sampai dengan Pasal 97 yang menjabarkan mengenai tuntutan ganti kerugian
dan rehabilitasi.
Pertanyaan besar terkait isu ini adalah, dapatkah penetapan tersangka
menjadi objek praperadilan yang limitatif jika penetapan status tersebut dilakukan
secara tidak sah oleh penyidik dan menimbulkan kerugian bagi pihak terkait? Jika
tidak, upaya apa yang dapat dilakukan terhadap proses penetapan tersangka yang
tidak sah secara hukum? Tulisan ini akan membahas mengenai kewenangan
praperadilan dalam penetapan status tersangka dari kedua sudut pandang, baik pro
maupun kontra. Selain itu, penulis juga akan mencoba memberikan saran dan
solusi terkait permasalahan ini.

4
II. PEMBAHASAN
Lembaga praperadilan lahir dari inspirasi yang bersumber pada hak
habeas corpus, yang memberikan jaminan fundamental terhadap HAM khususnya
hak kemerdekaan.3 Penerapan konsep ini pertama kali direalisasikan di Inggris
melalui Habeas Corpus Act 1679 yang memberikan perlindungan dari
penangkapan sewenang-wenang dan menjamin peradilan yang cepat.4 Hal serupa
tertuang sebagai prinsip yang melandasi pengaturan mengenai praperadilan di
dalam KUHAP.
Pada status quo, manifestasi perlindungan terhadap hak tersebut di dalam
KUHAP terbatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan dan ganti rugi atau rehabilitasi. Dalam Penjelasan KUHAP Pasal 95,
disebutkan bahwa ganti rugi atas “kerugian karena dikenakan tindakan lain” yang
dapat diperkarakan dalam praperadilan ialah kerugian yang ditimbulkan oleh
pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum.
Lembaga praperadilan bertujuan untuk melindungi pelanggaran hak yang
terjadi atau akan terjadi kepada tersangka. Karena pada dasarnya, proses
penyidikan melalui upaya paksa seperti yang dijabarkan di atas sudah merupakah
bentuk pelanggaran hak yang dijustifikasi oleh aturan hukum. Namun, apabila
penyidikan dilakukan secara tidak sah menurut hukum atau bahkan melawan
hukum, maka tersangka harus memiliki mekanisme upaya hukum untuk membela
haknya.
II.2 Pandangan Pro Penetapan Tersangka sebagai Objek Praperadilan
II.2.APerlindungan Hak Atas Jaminan, Perlindungan dan Kepastian Hukum
Pada hakikatnya, keberadaan pranata praperadilan adalah sebagai bentuk
pengawasan dan mekanisme keberatan terhadap proses penegakan hukum yang
terkait erat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia. 5 Kewenangan
praperadilan memutus penetapan tersangka merupakan upaya untuk mengisi
kekosongan hukum perihal mekanisme apabila penetapan tersangka oleh penyidik
dilakukan secara tidak sah menurut hukum, misalnya apabila penetapan tersangka
tidak berdasarkan dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur didalam Pasal 184
KUHAP.6 Kekosongan hukum sejatinya dapat menimbulkan suatu ketidakpastian
hukum (rechtsonzekerheid).7 Hal ini tidaklah sesuai dengan konsep Negara hukum

5
yang dianut Indonesia sebagaimana termaktub didalam Pasal 1 ayat (3) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Sebagai Negara hukum
dalam tataran ideal yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan
kenegaraan adalah hukum, bukan politik maupun ekonomi.8 Dimana, salah satu
ciri Negara hukum menurut Julius Stahl adalah perlindungan hak asasi manusia.9
Dalam segi yuridis salah satu perlindungan hak ini diejawantahkan didalam Pasal
28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945)
yang menyebutkan bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum.” Kepastian hukum ini jelas tidak akan tercapai ketika
permasalahan yang ada mengenai mekanisme penetapan tersangka yang tidak sah
sesuai hukum masih belum ada penyelesaiannya. Padahal jika dikaitkan dengan
teori mengenai tujuan hukum yang dikemukakan Gustav Radbuch, salah satu
tujuan hukum adalah untuk menciptakan kepastian hukum, dan jika hukum positif
isinya tidak adil dan gagal untuk melindungi kepentingan rakyat, maka undang-
undang seperti ini adalah cacat secara hukum dan tidak memiliki sifat hukum,
sebab hukum itu pada perinsipnya untuk menegakkan keadilan. 10 Adapun isi
KUHAP terkait dengan praperadilan jika dikaitkan dengan penetapan tersangka
sifatnya multitafsir terhadap berbagai interpretasi. 11 Ketentuan yang bersifat
multitafsir mengakibatkan ketidakpastian hukum melanggar asas lex certa dan lex
stricta, serta bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan dapat
menimbulkan kesewenang-wenangan yang secara nyata bertentangan dengan
prinsip due process of law sebagaimana digariskan dalam Pasal 1 ayat (3) serta
Pasal 28I ayat (5) UUD 1945.12
Hak yang selanjutnya perlu dibahas adalah mengenai perlindungan hukum.
Prof. Satjipto Rahardjo mendefinisikan perlindungan hukum sebagai kegiatan
memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain
dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat
menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. 13 Dari sudut pandang
definisi perlindungan hukum ini, maka jelas bahwa jika ada peristiwa penetapan
tersangka yang dilakukan dengan tidak sah secara hukum dan menimbulkan
kerugian bagi tersangka terkait, akan menimbulkan keharusan perlindungan

6
hukum bagi tersangka tersebut. Sarana perlindungan hukum sendiri ada 2 (dua)
jenisnya, yaitu preventif dan represif.14 Pada perlindungan hukum preventif,
subyek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau
pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif.
Sedangkan, pada perlindungan hukum yang represif tujuannya adalah untuk
menyelesaikan sengketa lewat penanganan perlindungan hukum oleh lembaga
peradilan. Perlindungan hukum dalam konteks penetapan tersangka dapat
mengambil sarana represif, yang bentuknya dapat melalui kebolehan untuk
menggugatkan perkaranya ke suatu lembaga, dalam hal ini adalah praperadilan.
Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum lewat praperadilan ini timbul
karena tersangka terkait haruslah memiliki cara untuk melakukan upaya hukum
yang sifatnya koreksional terhadap penetapan status tersangkanya.
Kekhawatiran terkait perlindungan hukum terhadap tersangka ini juga
disuarakan oleh Anwar Usman, Hakim Anggota dalam perkara terkait di
Makhamah Konstitusi, bahwa setiap tindakan penyidik yang tidak memegang
teguh prinsip kehati-hatian dan diduga telah melanggar hak asasi manusia dapat
dimintakan perlindungan kepada pranata praperadilan. Terkait limitasi dalam
Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 77 huruf a KUHAP, Hakim Anwar mengatakan
bahwa penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang di
dalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang
termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang.15
II.2.B Progresivitas Hukum
Formulasi kewenangan praperadilan di dalam KUHAP didasarkan pada
pertimbangan bahwa upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik secara tidak sah
menurut hukum dapat menimbulkan kerugian atas hak seorang tersangka. Upaya
paksa dalam konteks ini termasuk penangkapan, penahanan, penggeledahan,
penyitaan dan pemeriksaan.16 Dengan kata lain, penetapan tersangka per se tidak
dapat dikategorikan sebagai upaya paksa.
Namun, seiring dengan perkembangan kehidupan di masyarakat, penetapan
tersangka nampaknya berpotensi besar menimbulkan kerugian bagi tersangka
yang telah ditetapkan statusnya sehingga belum menjadi isu krusial.17 Hal ini
disebabkan oleh semakin berpengaruhnya eksistensi media di masyarakat

7
(televisi, media cetak, media sosial online, dan sebagainya) yang cenderung
memberikan kesan buruk terhadap penetapan status tersangka seseorang, sehingga
mencemari nama baik tersangka terkait. Selain itu, keberadaan pasal terkait
penetapan tersangka dalam beberapa undang-undang yang mengatur mengenai
lembaga negara seperti KPK dan Polri, menyebabkan kerugian yang berakibat
hukum pada tersangka.18 Dalam Pasal 33 ayat (2) UU KPK, disebutkan bahwa
“Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak
pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya.” Hal serupa tertuang
dalam Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2003, “Anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dijadikan tersangka/terdakwa dapat
diberhentikan sementara dari jabatan dinas Kepolisian Negara Republik
Indonesia, sejak dilakukan proses penyidikan sampai adanya putusan pengadilan
yang mempunyai kekuatan hukum tetap.”
Pasal-pasal tersebut mengindikasian kemungkinan, jika bukan keharusan,
bagi Pimpinan KPK dan Anggota Polri untuk mengundurkan diri secara
sementara dari jabatannya. Pengunduran diri merupakan suatu akibat yang nyata
bagi tersangka terkait, yang jelas sifatnya merugikan karena menyebabkan
seseorang kehilangan posisi atau jabatannya. Pertanyaannya sekarang, dapatkah
penetapan tersangka menjadi salah satu objek praperadilan, melihat esensinya
yang dalam situasi tertentu dapat menimbulkan kerugian bagi tersangka?
Perubahan kondisi di masyarakat seharusnya dapat diakomodasi oleh hukum
terutama apabila terjadi kemungkinan pelanggaran hak dan merugikan
masyarakat. Hal ini sesuai dengan konsep hukum progresif yang dinyatakan Prof.
Satjipto Rahardjo dalam teori hukum progresif, yaitu hukum untuk manusia bukan
manusia untuk hukum.19 Berdasarkan pandangan ini maka seharusnya objek
praperadilan perlu diperluas dan tidak hanya terpaku pada konsep awal yang
hanya terbatas pada upaya paksa, sehingga penetapan tersangka yang pada
hakikatnya bukanlah upaya paksa dapat dijadikan objek praperadilan.
Hal serupa dikonfirmasi lewat concurring opinion Patrialis Akbar, Hakim
Anggota yang mengadili perkara terkait di Makhamah Konstitusi, yang
menyebutkan bahwa ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka maka mulai
saat itu pula, sebagian Hak Asasi Manusia sebagai hak dasar yang ia miliki pasti

8
terkurangi, apalagi diikuti dengan pencegahan untuk ke luar negeri, kehilangan
hak-hak untuk menjadi pejabat publik, ditundanya hak untuk naik pangkat bagi
PNS dan TNI/POLRI, dan mulai saat itu pula lah langkah-langkahnya terbatas,
untuk bertemu tetangga dan keluarga saja pasti sudah tidak lagi nyaman, apalagi
ke tempat-tempat publik atau lingkungan sosial dan hal tersebut akan terjadi
dalam waktu yang cukup lama, bahkan anak, istri dan keluarga besarnya juga
menanggung beban secara psikologis.20
II.2.C Ketiadaan Mekanisme Check and Balances Terhadap Tindakan
Penetapan Tersangka
Segala tindakan penyidik harus dapat diuji berdasarkan doktrin equality of
arms. Doktrin ini muncul akibat keadaan yang tidak seimbang antara
tersangka/terdakwa dengan Negara (penyidik/penuntut umum). Oleh sebab itu,
doktrin ini mendasari posisi yang harus setara antara tersangka dengan penyidik,
yang hanya dapat didapatkan, antara lain, melalui pengujian keabsahan tindakan
penyidik terhadap tersangka.

Hal ini kemudian lebih jauh dikonfirmasi oleh Hakim Anwar Usman
dalam putusan Makhamah terkait. Beliau mengakui bahwa KUHAP tidak
memiliki check and balances atas tindakan penetapan tersangka oleh penyidik,
karena KUHAP tidak mengenal mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan
alat bukti dan tidak menerapkan prinsip pengecualian (exclusionary) atas alat
bukti yang diperoleh secara tidak sah.21 Padahal, apabila penetapan tersangka
didasari pada alat bukti yang diperoleh secara tidak sah, maka keabsahan tindakan
penetapan tersangka tersebut dapat dipertanyakan. Hakim Anwar mencontohkan
putusan New York v. Straus-Kahn,22 dalam menjelaskan kemungkinan
pembatalan kasus di Magistrates Court akibat adanya keraguan terhadap
kredibilitas saksi korban.

Ada 3 (tiga) prinsip yang mendasari perlunya mekanisme pengujian atas


keabsahan perolehan alat bukti, yaitu protection by state, disciplining the police
dan legitimacy of verdict.23 Prinsip hak atas protection by state lahir karena
terkadang upaya dari penyidik dalam menemukan alat bukti dilakukan dengan
melanggar hak asasi calon tersangka atau tersangka.24 Prinsip disciplining the

9
police muncul dalam bentuk pengecualian alat bukti yang diperoleh secara tidak
sah, untuk menghalangi penyidik ataupun penuntut umum untuk mengulangi
kesalahan mereka.25 Sedangkan, prinsip legitimacy of verdict berfokus pada
legitimasi putusan di mata masyarakat jika putusan dihasilkan lewat
pengikutsertaan alat bukti yang tidak sah.26

Selain itu, mekanisme pengujian terhadap penetapan tersangka juga dapat


meminimalisir kemungkinan dilakukannya praktek malicious prosecution.
Malicious prosecution dalam tradisi hukum common law didefinisikan sebagai
perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara sengaja oleh penyidik. Selain
membahas mengenai proses yang melawan hukum, unsur lainnya dalam malicious
prosecution adalah: (1) secara sengaja dan dengan melawan hukum melakukan
tindakan hukum yang dilakukan (2) tanpa tujuan yang pantas dan (3)
mengesampingkan kepentingan korban dari malicious prosecution.27 Konsep
tersebut merupakan respon atas adanya kemungkinan penyelewenangan
kewenangan yang dilakukan oleh penyidik selaku penegak hukum. Dalam hal ini,
salah satu bentuk penyelewengan yang dilakukan oleh penyidik adalah berbentuk
penetapan tersangka yang tidak didasari pada alas hak yang sah. Di Indonesia
istilah ini lebih dikenal dengan nama “kriminalisasi,” meskipun pada akhirnya
nomenklatur tersebut tidak sesuai dengan kaidah dan asas hukum yang berlaku,
sehingga lebih tepat apabila digunakan istilah malicious prosecution. Dikarenakan
penetapan status tersangka merupakan bagian dari proses penyidikan, maka di
dalamnya terdapat kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang
termasuk perampasan hak asasi seseorang.28

II.3 Pandangan Kontra Penetapan Tersangka sebagai Objek Praperadilan


II.3.A Kewenangan Praperadilan Bersifat Limitatif dan Tidak Dapat Dengan
Bebas Dirubah atau Ditafsirkan
Dalam penegakkan hukum pidana materiil di Indonesia (berdasarkan
KUHP dan undang-undang terkait), digunakan hukum pidana formil (berdasarkan
KUHAP). Ketentuan hukum pidana formil dimaksudkan untuk secara ketat
mengawal proses penegakan hukum pidana materiil, sehingga ruang
penafsirannya sedapat mungkin dibatasi.29 Oleh sebab itu, ketentuan pasal-pasal di

10
dalam KUHAP bersifat limitatif. Pengaturan limitatif ini dibuat semata-mata
untuk menjamin proses penegakan hukum yang sejalan dengan hukum acara.
Pasal 77 KUHAP secara tegas dan limitatif telah mengatur tindakan
hukum apa saja yang dapat diuji pada praperadilan sebagaimana yang telah
dijabarkan dalam pendahuluan. Dalam ketentuan Pasal 77, tidak diatur mengenai
penetapan tersangka. Tidak ada kata atau frasa dalam Pasal 77 yang dapat
ditafsirkan sebagai penetapan tersangka ataupun termasuk penetapan tersangka.
Maka jelas bahwa Pasal 77 telah mengatur apa yang dapat diuji di praperadilan,
dan hal tersebut tidak termasuk penetapan tersangka.
Masuknya penetapan tersangka sebagai salah satu objek praperadilan
adalah suatu hal yang tidak terdapat di KUHAP, baik dalam bentuk penafsiran
ataupun penambahan. Terbukanya penafsiran yang luas justru bertolakbelakang
dengan filosofi hukum acara pidana yang limitatif dan menimbulkan
ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28 D UUD NRI 1945.
Ketidakpastian hukum tersebut muncul dikarenakan pasal-pasal dalam KUHAP
yang seharusnya sudah jelas dan ketat penafsiran dan pengawasan
pelaksanaannya, sekarang dapat ditafsirkan dan ditambah dengan makna yang
sebelumnya tidak ada di dalam KUHAP. Menurut Eddy O.S. Hiariej, saksi ahli
pemohon dalam perkara terkait di Makhamah, aturan hukum acara pidana yang
bersifat multitafsir jelas bertentangan dengan kepastian hukum yang adil.
Selain itu, penafsiran ini juga tidak sesuai dengan asas noscitur a sociis.30
Asas noscitur a sociis mendasarkan bahwa suatu kata atau istilah harus diartikan
dalam rangkaiannya, dalam arti bahwa istilah itu harus dimaknai dalam kaitan
associated with-nya.31 Sedangkan, dalam hal ini, penetapan tersangka tidak
termasuk rangkaian (associated with) pengertian upaya paksa, maka tidak dapat
diartikan sebagai objek praperadilan.
II.3.B Penetapan Tersangka Tidak Menimbulkan Kerugian
Penetapan tersangka sesungguhnya ditujukan hanya sekedar untuk
memudahkan proses penyidikan. Hal ini dilakukan karena proses penyidikan
meliputi upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
pemeriksaan. Namun sejatinya, penetapan tersangka sendiri tidak secara langsung
menimbulkan kerugian karena hanya berupa penetapan status administratif.

11
Hal ini semakin diperkuat oleh adanya asas praduga tidak bersalah
(pressumption of innocence), dimana seorang tersangka atau terdakwa dinyatakan
tidak bersalah hingga pengadilan menyatakannya bersalah.32 Asas ini dipertegas
dalam Penjelasan Umum KUHAP butir (3)(c) yang menyebutkan bahwa “Setiap
orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka
sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum
tetap.”
M. Yahya Harahap berpendapat bahwa dengan adanya asas ini, tersangka
akan ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki harkat dan martabat,
dinilai sebagai subjek dan bukan objek. Artinya, yang diperiksa dalam penyidikan
bukanlah manusianya sebagai tersangka, tetapi perbuatan tindak pidana yang
dituduhkan kepadanyalah yang menjadi objek pemeriksaan. 33 Hal ini
mengindikasikan bahwa penetapan seorang tersangka tidak akan menimbulkan
kerugian atas manusia yang ditetapkan status tersangkanya karena keberadaan
asas praduga tak bersalah, karena yang dikenakan upaya paksa dalam proses
penyidikan adalah atas perbuatan tindak pidana yang dituduhkan, bukan manusia
tersangkanya. Di luar daripada itu, manusia yang ditetapkan statusnya sebagai
tersangka tetap dipastikan dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap menyatakan sebaliknya.
Pengejewantahan asas ini nampak jelas dalam implementasi pemberian
hak-hak tersangka (dan terdakwa). Hak-hak tersangka diatur di dalam Pasal 50
sampai dengan Pasal 68 KUHAP. Pemberian hak-hak ini meliputi hak untuk
segera diproses perkaranya, hak dalam pembelaan, hak dalam memberikan
keterangan secara bebas, hak untuk mendapat bantuan hukum, hak untuk
mendapat kunjungan dokter/perawatan medis, hak untuk berhubungan dengan
keluarga, hak untuk surat menyurat, hak untuk mendapat kunjungan kerohanian,
hak untuk tidak dibebani beban pembuktian, dan sub-hak lainnya. 34 Berdasarkan
hak-hak ini nampak jelas bahwa penetapan tersangka tidak menimbulkan kerugian
bagi tersangka yang ditetapkan statusnya.
Pembatasan hak-hak tersangka seperti hak atas kebebasan dan hak-hak
terkait yang merupakan turunan dari hak tersebut pun bukan merupakan suatu

12
pelanggaran hak. Berdasarkan Pasal 28 J Ayat (2) UUD NRI 1945, “Dalam
menjalani hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan dengan undang-undang ,” yang artinya pembatasan hak yang
didasari oleh undang-undang adalah dibenarkan dan bukan merupakan suatu
pelanggaran.
II.3.C Penetapan Tersangka sebagai Satu Kesatuan Proses dengan
Penyidikan
Proses hukum formil bergantung pada sumber hukumnya, yaitu KUHAP.
Di dalam KUHAP, hanya ada definisi “tersangka,” serta tidak ada penjelasan
langsung dan eksplisit terkait penetapan tersangka itu sendiri. Di sisi lain, bahkan
terminologi “tersangka”-pun bergantung pada keberadaan “bukti permulaan,”
yang juga tidak ditentukan batasan yang jelas di dalam KUHAP.35
Praperadilan terhadap penetapan tersangka sebetulnya tidak memiliki
dasar formil. Tidak hanya karena bukan merupakan salah satu objek praperadilan
dalam Pasal 77 KUHAP, tetapi juga karena definisi “penetapan tersangka” dan
“bukti permulaan” bahkan tidak ada perumusannya di dalam KUHAP.
Hal ini berbeda dengan objek praperadilan yang tertera dalam Pasal 77
KUHAP, yang sudah secara terang dan jelas dirumuskan di dalam KUHAP arti
dan cakupan tindakannya.36 Oleh sebab itu, penetapan tersangka sangat tidak
mungkin menjadi objek praperadilan, karena praperadilan sebagai salah satu
perwujudan nyata hukum acara di Indonesia tidak dapat memutus hal yang bahkan
belum jelas ketentuan formilnya.
II.4 Mekanisme Penetapan Tersangka Sebagai Objek Praperadilan
Penetapan tersangka dapat dijadikan sebagai objek praperadilan melalui
mekanisme revisi terhadap KUHAP dalam pasal-pasal terkait wewenang
praperadilan.
Penulis menawarkan bahwa penetapan tersangka yang dapat dijadikan
sebagai objek praperadilan hanyalah penetapan tersangka yang:
1. Dilakukan dengan tidak sah secara hukum atau melawan hukum; dan
2. Menimbulkan kerugian bagi tersangka terkait.

13
Kedua ketentuan ini haruslah berlaku secara kumulatif. Apabila telah
memenuhi kedua unsur ini, maka penetapan tersangka tersebut dapat diperkarakan
melalui proses yang sama seperti objek praperadilan lainnya.

III. PENUTUP
Saat ini pada status quo, penetapan status tersangka belum menjadi
wewenang praperadilan di dalam hukum positif di Indonesia. Dengan adanya
berbagai kasus yang marak belakangan ini, penyertaan penetapan status tersangka
sebagai objek praperadilan mulai dipertanyakan kemungkinannya.
Pihak yang mendukung penetapan status tersangka sebagai objek
praperadilan menyatakan bahwa hal ini dapat dilakukan atas dasar prinsip hukum
progresif dan untuk mengisi kekosongan hukum, serta untuk menjamin hak
perlindungan hukum tersangka sebagaimana yang dijanjikan di dalam Pasal 28D
ayat (1) UUD NRI 1945.
Pihak yang tidak mendukung penetapan status tersangka sebagai objek
praperadilan mendasari penolakannya atas dasar keberadaan asas praduga tak
bersalah yang memastikan bahwa penetapan tersangka tidak akan merugikan
tersangka terkait dan ketidakpastian hukum yang ditimbulkan akibat interpretasi
multitafsir atas hukum acara yang bersifat limitatif.

14
1
Indonesia, Undang-Undang tentang KUHAP, Nomor 8 Tahun 1981, Ps. 1 Ayat 10 j.o. Ps. 77
2
Mohammad Hatta, Sistem Peradilan Pidana, Yogyakarta: Galangpress, 2008, hal. 62
3
O.C. Kaligis, Antologi Tulisan Ilmu Hukum Volume 3, Jakarta: Alumni, 2007, hal. 112
4
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 2003, hal. 173
5
Putusan Makhamah Agung Nomor 21/PUU-XII/2014 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 28 April
2015. hal. 11
6
Ibid.
7
Sudargo Gautama , Himpunan jurisprudensi Indonesia yang penting untuk praktek sehari-hari (landmark
decision), Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1992, hal. 91
8
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia,
http://jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf, hal. 1
9
Zulfa Simatur, et al., UUD Negara Republik Indonesia 1945; Lembaga-Lembaga Negara beserta
Pimpinannya; Peraturan Perundang-undangan; Kabinet Kerja (Jokowi-JK), Jakarta: Visimedia, 2014, hal. 44
10
Putusan Makhamah Agung Nomor 21/PUU-XII/2014, op.cit, hal. 5
11
Ibid, Hal. 13
12
Ibid, Hal. 14
13
Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Medan: Karolus Kopong, hal. 175.
14
Ibid.
15
Putusan Makhamah Agung Nomor 21/PUU-XII/2014, op.cit, hal. 13
16
Adnan Buyung Nasution, Arus Pemikiran Konstutisionalisme: Advokat, Jakarta: Kata, 2007, hal. 36
17
Ihasanuddin, “MK Putuskan Penetapan Tersangka Termasuk Obyek Praperadilan”,
http://nasional.kompas.com/read/2015/04/28/14064101/MK.Putuskan.Penetapan.Tersangka.Termasuk.Obyek.Pr
aperadilan, diakses pada 28 April 2015
18
Putusan Makhamah Agung Nomor 21/PUU-XII/2014 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 28
April 2015. hal. 72
19
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010, hal. 67
20
Putusan Makhamah Agung Nomor 21/PUU-XII/2014, op.cit, hal. 19
21
Ibid, hal. 10
22
New York v. Strauss-Kahn
23
Paul Roberts & Adrian Zuckerman, Criminal Evidence, Oxford: Oxford University Press, 2010, hal. 179
24
Ibid, hal 182
25
Ibid, hal. 185
26
Ibid, hal. 204
27
e-Study Guide for Civil Liability in Criminal Justice, textbook by Darrell L
28
Putusan Makhamah Agung Nomor 21/PUU-XII/2014, op.cit, hal. 13
29
Ibid, hal. 28
30
Ibid, hal. 25
31
Christopher Enright, Legal Technique, Riverwood: The Federation Press, 2002, hal. 151
32
Chrisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Dalam Tantangan Zaman, Jakarta: EGC, 2007, hal. 59
33
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan, hal. 34
34
Todung Mulya Lubis, Jalan Panjang Hak Asasi Manusia: Catatan Todung Mulya Lubis, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2005. hal. 36
35
Eva Achjani Zulfa (saksi ahli pemohon)
36
Putusan Makhamah Agung Nomor 21/PUU-XII/2014, op.cit, hal. 31

Anda mungkin juga menyukai