Anda di halaman 1dari 2

PENGADILAN AGAMA DI INDONESIA

Sejarah Peradilan Agama di Indonesia telah ada sejak jaman kerajaan- kerajaan
Islam, kemudian pada jaman penjajahan Belanda dan Jepang sesudah kemerdekaan
sampai akhirnya keluar UU No. 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama yang lebih
mempertegas lagi kedudukan Pengadilan Agama di Indonesia. Proses interaksi
peradilan agama ini telah berlangsung dalam jangka waktu yang panjang sejak
masyarakat Islam memiliki kekuatan politik pada masa kesultanan Islam hingga
sekarang, maka ketika disebutkan peradilan agama maka yang dimaksudkan adalah
peradilan Islam di Indonesia.
Peradilan agama adalah peradilan bagi orang – orang yang beragama islam,
seperti yang tertera dalam pasal 1 angka 1 UU No. 50 Tahun 2009 tentang perubahan
kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama. Peradilan agama
melaksanaakn kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang beragama islam mengenai
perkara tertentu seperti perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,
shadaqah, dan ekonomi syari’ah. Oleh karena warga masyarakat sebagian besar
memeluk Agama Islam, dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk menegakkan ajaran
islam, maka dibentuklah peradilan agama yang sampai sekarang masih memegang
peranan penting dalam sistem peradilan di Indonesia.
Kalau peradilan agama masa sebelum panjajahan telah berjalan secara mandiri,
penuh dengan wewenang yang luas, seperti peradilan umum sekarang,12 dan semasa
penjajahan kewenangan mengadilinya dikurangi dan dibatasi, maka setelah Indonesia
merdeka sampai sekarang, terdapat kecenderungan adanya usaha-usaha untuk
memperbaiki dan mengembangkannya. Menurut Undang – Undang No. 14 Tahun
1970 tentang ketentuan – ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, dalam pasal 10 ayat
(1) dinyatakan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan :
peradilan umum, peradilan agama, peradilan Militer, dan peradilan tata usaha negara”
Dengan demikian peradilan agama mempunyai kedudukan yang sama dan sejajar
dengan peradilan lainnya. Ini menghilangkan anggapan yang mulai ada sejak jaman
penjajahan, bahwa peradilan agama dianggap rendah dan kedudukannya dibawah
peradilan umum. Oleh karena itu peradilan agama hanya mempunyai hubungan
vertikal dengan Mahkamah Agung dalam proses peradilannya dan tidak mempunyai
hubungan horizontal dengan peradilan lainnya.
Politik hukum Negara Indonesia yang didasari Pancasila menghendaki agar
berkembang kehidupan beragama dan hukum agama dalam kehidupan bangsa dan
negara Indonesia. Teori “Lingkaran Konsentris’ menunjukkan betapa eratnya
hubungan antara agama, hukum dan negara. Negara berdasar atas hukum yang
berfalsafah Pancasila melindungi agama dan penganut agama, bahkan berusaha
memasukkan ajaran dan hukum agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Muhammad Hatta menyatakan bahwa dalam pengaturan negara hukum Republik
Indonesia, Syariah Islam berdasarkan al-Qur’an dan Hadits dapat dijadikan peraturan
perundang undangan Indonesia.
Pancasila sebagai falsafah negara, dasar negara dan hukum dasar mendudukkan
agama dan hukum agama pada kedudukan fundamental. Dalam hukum nasional
hukum agama sebagai wujud pengamalan sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah
unsur hukum dan bahan hukum, bahkan merupakan jiwa dan ruh hukum nasional.
Dalam pembinaan hukum nasional, termasuklah di dalamnya membina hukum
nasional yang dalam hal ini adalah hukum Islam. Undang-Undang Peradilan Agama
merupakan perwujudan dan pengembangan hukum Islam sekaligus menunjang
pembinaan hukum nasional.
Hasil dari lembaga peradilan tersebut adalah sebuah putusan yang memiliki
kekuatan hukum, namun dalam masyarakat, putusan pengadilan agama tidak
semuanya dilaksanakan oleh para pihak yang berperkara, misalnya tentang kewajiban
seorang suami untuk memberi nafkah kepada anak dalam perkara perceraian tidak
dilaksanakan oleh suami. Ada faktor-faktor penyebab tidak dilaksanakannya putusan
Pengadilan Agama dari perkara perceraian yang telah memiliki kekuatan hukum tetap
antara lain 1) pihak isteri sudah cukup puas dengan putusan cerai dari Pengadilan
Agama tersebut, sedangkan nafkah anak menjadi beban mantan istri 2) pihak isteri
tidak memahami hak- haknya setelah terjadi perceraian 3). pihak isteri tidak ingin
menggugat ke Pengadilan Agama apabila suami tidak memberi nafkah karena
prosedurnya dianggap lama.
Maka dari itu, Kesadaran hukum masyarakat yang disalurkan melalui peradilan
Agama mempunyai arti besar dalam pembentukan politik hukum pemerintah. Dengan
demikian semakin ummat berkomitmen kepada Islam, semakin sadar perlunya hukum
islam bagi dirinya, semakin tegak dan tegarlah peradilan agama dimasa mendatang.

DAFTAR PUSTAKA

Muhyidin, 2020, Jurnal Gema keadilan, Perkembangan Peradilan Agama di


Indonesia, (Volume 7 Edisi 1).
Muhammad Sarif, 2013, Jurnal Humanity, Penerapan putusan pengadilan agama
dalam perkara perceraian di kota Malang (studi di wilayah pengadilan agama kota
Malang), (Volume 9, Nomor 1)..
A.Havizh Martius, 2016, Jurnal Hukum Diktum, Peradilan agama dalam sistem
hukum Indonesia, (Volume 14, Nomor 1).

Anda mungkin juga menyukai