Anda di halaman 1dari 20

PERKAWINAN BEDA AGAMA DAN HAK ASASI

MANUSIA DI INDONESIA
Abstraksi

Dalam perspektif HAM, membentuk keluarga melalui pernikahan merupakan hak prerogatif
pasangan calon suami dan istri yang sudah dewasa. Kewajiban negara adalah melindungi,
mencatatkan dan menerbitkan akte perkawinannya. Namun sayangnya, realitas ini tidak cukup
disadari oleh negara, bahkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun
KHI tidak memberi tempat bagi perkawinan beda agama. Sebagai sebuah instrumen hukum,
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 maupun KHI di samping merupakan sandaran atau ukuran
tingkah laku atau kesamaan sikap (standard of conduct), juga berfungsi sebagai suatu
perekayasaan untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih sempurna (as a tool of social
engineering) dan sebagai alat untuk mengecek benar tidaknya suatu tingkah laku (as a tool of
justification). Fungsi tersebut ditegakkan dalam rangka memelihara hukum menuju kepada
kepastian hukum dalam masyarakat. Jika asumsi ini diaplikasikan pada Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan, maka pembaruan terhadap beberapa pasal dalam undang-
undang ini khususnya pada pasal 2 ayat (1) yang sering dijadikan rujukan bagi persoalan
perkawinan beda agama, menjadi sebuah keharusan. Asumsinya, negara mempunyai kewajiban
untuk melayani hajat keberagamaan warganya secara adil tanpa diskriminasi. Implikasi dari
kewajiban negara tersebut harus diartikan secara luas terhadap segala sesuatu yang berkaitan
dengan hak dan kewajiban warga negara di mata hukum. Atas dasar itu, negara harus memenuhi
hak-hak sipil warga negaranya tanpa melihat agama dan kepercayaan yang dianut.

Keyword: Hak Asasi Manusia, Perkawinan Beda Agama, Kebebasan Beragama.

Pendahuluan

Diskursus tentang HAM[1] terus berlanjut seiring dengan perkembangannya, tidak terkecuali di
Indonesia. Salah satu instrumen hukum HAM di Indonesia adalah lahirnya Undang-Undang No.
39 Tahun 1999 tentang HAM yang berisi 11 bab 106 pasal.[2] Maka dengan lahirnya undang-
undang tersebut, HAM adalah hak-hak yang diakui secara konstitusional sehingga pelanggaran
terhadap HAM merupakan pelanggaran atas konstitusi.[3] Untuk mendukung terwujudnya
kesadaran kolektif atas eksistensi HAM maka pemerintah menyadari bahwa kebijakannya harus
mengedepankan isu-isu HAM. Meskipun pada dasarnya HAM bukanlah berada pada wilayah
politik, namun dalam praktek bernegara, terlaksananya HAM secara baik dan bertanggung jawab
sangat tergantung kepada political will dan political action dari penyelenggara negara.

Salah satu kebijakan negara Indonesia dalam persoalan klasik yang tetap menjadi isu aktual
dalam wacana hukum Islam (khususnya di Indonesia) adalah wacana perkawinan beda agama.[4]
Dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1 dijelaskan bahwa “Perkawinan adalah
sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Untuk memenuhi tuntutan bunyi pasal tersebut, maka bagi umat Islam di Indonesia melahirkan
Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) yang diantara materi-materinya adalah
masalah kawin beda agama yaitu pasal 40 huruf (c) dan pasal 44.[5] Hanya saja materi yang
termuat dalam pasal tersebut adalah berupa pelarangan tegas terhadap persoalan kawin beda
agama.

Larangan tersebut tentu saja perlu dikritisi lebih lanjut karena beberapa hal yaitu, pertama
sebagai satu negara yang sudah memiliki instrumen hukum berupa Undang-Undang No. 39
Tahun 1999 tentang HAM, idealnya negara menjamin kebebasan warganya untuk memilih
pasangannya dalam membentuk sebuah keluarga. Hak untuk memilih pasangan hidup
merupakan kebebasan yang harus diakui keberadaannya oleh negara. Berdasarkan pasal 10 ayat
(1) dalam undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk membentuk
suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan atas kehendak yang
bebas Kenyataannya, negara justru membatasi perkawinan tersebut. Kedua, Indonesia bukan
negara teokrasi dan bukan pula negara sekuler sehingga di dalam pembentukan hukum nasional,
pemerintah harus bisa menjamin kepastian hukum kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa
melihat agama dan kepercayaan yang dianut, termasuk dalam persoalan perkawinan beda agama.
Ketiga, perkawinan antar agama secara objektif sosiologis adalah wajar karena penduduk
Indonesia memeluk bermacam-macam agama dan UUD 1945 menjamin kemerdekaan beragama
bagi setiap penduduknya sehingga tentu saja terbuka kemungkinan terjadinya dua orang berbeda
agama saling jatuh cinta dan pada akhirnya membentuk sebuah keluarga. Keempat, akibat tidak
diaturnya ketentuan mengenai perkawinan beda agama dalam Undang-Undang No 1 Tahun
1974, maka hal tersebut membuka ruang terjadinya penyeludupan hukum. Untuk memenuhi
persyaratan formal secara perdata, suami-istri berbeda agama “rela” melangsungkan pernikahan
di luar negeri tanpa memperhatikan hukum agama, atau salah satu pihak pura-pura pindah
agama.

Oleh karena itu, kajian mengenai perkawinan beda agama dalam perspektif HAM menjadi
signifikan berdasarkan kegelisahan diatas. Tulisan sederhana berikut ini mencoba menganalisa
satu persoalan pokok yakni bagaimanakah pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia bila
dianalisis dalam perspektif HAM khususnya lewat instrumen Undang-Undang No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)?

Pengaturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia

Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, di Indonesia pernah ada suatu
peraturan hukum antar golongan yang mengatur masalah perkawinan campuran. Peraturan yang
dimaksud adalah peraturan yang dahulu dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda
yang bernama Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR) atau Peraturan tentang Perkawinan
Campuran sebagaimana dimuat dalam Staatsblad 1898 No. 158.[6]

Pada pasal 1 GHR dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Perkawinan Campuran adalah
“Perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berlainan”. Ada
3 pendapat mengenai apakah GHR berlaku pula untuk perkawinan antar agama dan antar tempat
yakni, pertama, kelompok yang berpendirian “luas” yang menganggap bahwa perkawinan
campuran antar agama dan antar tempat termasuk di dalam GHR; kedua, kelompok yang
berpendirian “sempit” yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar agama dan antar
tempat tidak termasuk di dalam GHR; dan ketiga, kelompok yang berpendirian “setengah luas
setengah sempit” yang menganggap bahwa hanya perkawinan antar agama saja yang termasuk
dalam GHR, sedangkan perkawinan antar tempat tidak termasuk di dalam GHR.[7]

Soudargo Gautama berpendapat bahwa istilah perkawinan campuran pada pasal 1 GHR berarti
perbedaan perlakuan hukum atau hukum yang berlainan dan dapat disebabkan karena perbedaan
kewarganegaraan, kependudukan dalam berbagai regio, golongan rakyat, tempat kediaman, dan
agama sehingga dari situ pendirian yang luaslah yang banyak di dukung oleh para sarjana
hukum. Namun menurut O.S. Eoh, semenjak dikeluarkannya Instruksi Presidium Kabinet No.
31/U/IN/12/1966, tidak ada lagi penggolongan penduduk kecuali dibedakan antara WNI dan
WNA sehingga di Indonesia tidak mungkin lagi ada perkawinan campuran antar tempat dan
antar golongan.

Setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka pengaturan perkawinan beda
agama menjadi cenderung terhalangi. Hal ini berdasarkan alasan yakni pertama, dengan
mengingat kembali pada sejarah undang-undang perkawinan 1973, terutama perdebatan yang
berkaitan dengan pasal 11 ayat (2) bahwa “perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara
asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan tidak merupakan penghalang
perkawinan” dan kemudian mendapat perubahan, maka perkawinan beda agama tidak
dimungkinkan (dilarang) di Indonesia.[8]

Kedua, ada beberapa pasal yang dapat dijadikan dasar dilarangnya perkawinan beda agama
dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 haruf (f). Dalam
pasal 2 ayat (1) dinyatakan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Kemudian dalam penjelasannya dinyatakan
“Dengan perumusan pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud
dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan
perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang
tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini”.

Bila pasal ini diperhatikan secara cermat, maka dapat difahami bahwa undang-undang
menyerahkan kepada masing-masing agama untuk menentukan cara-cara dan syarat-syarat
pelaksanaan perkawinan tersebut, disamping cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditepkan oleh
negara. Jadi apakah suatu perkawinan dilarang atau tidak, atau apakah para calon mempelai telah
memenuhi syarat-syarat atau belum, maka disamping tergantung kepada ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, hal tersebut juga ditentukan oleh
hukum agamanya masing-masing. Dalam perspektif agama-agama di Indonesia, maka
perkawinan beda agama tidak dibenarkan karena tidak sesuai dengan hukum agama-agama yang
diakui di Indonesia. Argumentasi ini diperkuat oleh pasal 8 huruf (f) bahwa “perkawinan
dilarang antara dua orang yang ; mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan
lain yang berlaku, dilarang kawin”.[9]

Ketiga, merujuk kepada pasal 66 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang
menyatakan bahwa “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijks
Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Chisten Indonesiers
S. 1933 No 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemegnde Huwelijken S.
1989 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah
diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.

Dari ketentuan pasal 66 itu, jelas bahwa ketentuan-ketentuan GHR (STB. 1898/158) 
sebagaimana yang diungkapkan diawal juga tidak dapat diberlakukan lagi karena di samping
ketentuannya telah mendapat pengaturan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, GHR juga
mengandung asas yang bertentangan dengan asas keseimbangan hukum antara suami istri
sebagaimana yang dianut oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Selain itu, rumusan mengenai
perkawinan campuran dalam GHR berbeda dengan rumusan dalam pasal 57 Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran
dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.

Rumusan di atas membatasi diri hanya pada perkawinan antara warga negara Indonesia dengan
warga negara asing. Adapun perkawinan antara sesama warga negara Indonesia yang tunduk
kepada hukum yang berlainan, termasuk perkawinan antar agama, tidak termasuk dalam lingkup
batasan perkawinan campuran menurut undang-undang ini.

Perspektif Hak Asasi Manusia tentang Pengaturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia.

Hal yang signifikan di dalam memahami persoalan perkawinan beda agama bukanlah soal
perbedaan agama itu sendiri, tetapi soal tanggung jawab negara dalam melindungi dan menjamin
hak-hak warganya. Adapun yang dipersoalkan adalah soal relasi vertikal dalam hubungan antara
negara dan warga negara (citizen), bukan soal relasi horisontal yang menyangkut hubungan di
antara warga negara yang beragam agama, kepercayaan dan beragam penafsirannya.[10]

Hal ini penting untuk diperhatikan karena persoalan perkawinan beda agama dalam konteks
Negara Indonesia adalah persoalan hukum, sementara tafsiran agama-agama tentang pernikahan
beda agama adalah persoalan teologis dan tafsir-tafsir keagamaan. Oleh karena Indonesia bukan
negara agama, maka yang menjadi acuan adalah hukum nasional. Meskipun hukum nasional,
seperti Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mendasarkan diri pada apa yang
dikatakan dengan hukum agama, namun cendrung lebih terikat pada dasar filosofi bangsa yang
Bhineka Tunggal Ika. Artinya, prinsip mengakui keragaman bangsa dan kemajemukan
masyarakat haruslah menjadi dasar dari pembentukan dan pembuatan suatu hukum maupun
undang-undang yang bersifat nasional.

Dalam konteks nation state, tidak boleh ada satu produk hukum pun yang sektarian yang hanya
menguntungkan kelompok agama tertentu dan mengabaikan suara komunitas agama lainnya.[11]
Setiap warga negara dijamin hak-haknya yang sama dan sederajat, apa pun latar belakang agama,
keyakinan, dan kepercayaannya. Setiap pertimbangan dan alasan untuk membuat perundang-
undangan haruslah memperhitungkan kesamaan dan kesederajatan warga negara dalam
pemenuhan hak-hak mereka, tanpa membedakan antara satu kelompok warga negara dengan
yang lainnya atas dasar perbedaan agama dan kepercayaan. Dalam perspektif HAM, setiap
pembuatan undang-undang harus mempertimbangkan terlebih dahulu kewajiban negara untuk
mempromosikan (to promote), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) hak-hak
mendasar warga negara.[12]

Jika melihat persoalan perkawinan di Indonesia, maka hukum perkawinan di Indonesia diatur
melalui Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. UU ini terdiri dari 14 bab dan 67
pasal, dan untuk implementasinya dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
tentang peraturan pelaksanannya dan dinyatakan berlaku efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975.
Berkaitan dengan perkawinan beda agama, maka pasal yang sering dijadikan rujukan bagi
persoalan ini adalah pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa “ Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu” dan ditegaskan lagi
lewat Penjelasan pasal tersebut bahwa “ Tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945”.

Jika dianalisa secara kritis, tampak bahwa persoalan hak asasi manusia muncul dalam kasus
perkawinan beda agama berkaitan dengan pasal 2 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 dan pasal 2 ayat
(2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pencatatan Perkawinan sebagai peraturan
pelaksana UU Perkawinan. Problem HAM yang muncul adalah:

Pertama, soal sahnya perkawinan. Dalam pasal 2 ayat (1) diatas terlihat bahwa sahnya
perkawinan tergantung apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya. Ketentuan ini hanya dapat dilaksanakan manakala kedua mempelai memiliki
agama yang sama. Kalau keduanya memiliki agama yang berbeda, maka boleh jadi, ada empat
cara yang lazim ditempuh pasangan beda agama yang akan menikah yakni, pertama, meminta
penetapan pengadilan terlebih dahulu. Atas dasar penetapan itulah pasangan melangsungkan
pernikahan di Kantor Catatan Sipil. Tetapi cara ini tak bisa lagi dilaksanakan sejak terbitnya
Keppres No. 12 Tahun 1983. Kedua, perkawinan dilangsungkan menurut hukum masing-masing
agama. Perkawinan terlebih dahulu dilaksanakan menurut hukum agama seorang mempelai
(biasanya suami), baru disusul pernikahan menurut hukum agama mempelai berikutnya.
Permasalahannya perkawinan mana yang dianggap sah? Apakah perkawinan menurut hukum
yang kedua (terakhir)? Jika ya, apakah perkawinan pertama dianggap tidak sah? Ketiga, kedua
pasangan menentukan pilihan hukum. Salah satu pandangan menyatakan tunduk pada hukum
pasangannya. Dengan cara ini, salah seorang pasangan ‘berpindah agama’ sebagai bentuk
penundukan hukum. Disini terlihat adanya penyeludupan hukum dimana salah satu pihak secara
pura-pura beralih agama. Keempat, yang sering dipakai belakangan, adalah melangsungkan
perkawinan di luar negeri.[13] Beberapa artis tercatat memilih cara ini sebagai upaya menyiasati
susahnya kawin beda agama di Indonesia. Masalahnya, apakah kawin beda agama di luar negeri
sah menurut hukum Indonesia? Jika ingin dipertajam lagi, mengapa warga negara Indonesia
tidak mendapatkan perlindungan hukum di dalam negerinya sendiri, tetapi justru ingin
mendapatkan perlindungan hukum dari negara lain? Bukankah hal tersebut sungguh ironis?

Kedua, soal pencatatan perkawinan. Dalam pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa “Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Peran pemerintah
hanya sebatas melakukan pencatatan nikah dan hal tersebut berarti pemerintah hanya mengatur
aspek administratif perkawinan. Namun, dalam prakteknya, kedua ayat dalam pasal 2 tersebut
berlaku secara kumulatif sehingga kedua-duanya harus diterapkan bagi persayaratan sahnya
suatu perkawinan. Hal ini boleh jadi merupakan konsekwensi dari sistematika produk
perundang-undangan dimana komponen-komponen yang menjadi bagiannya tidak dapat dipisah-
pisahkan satu sama lain.[14]

Akibatnya, meskipun suatu perkawinan sudah dipandang sah berdasarkan aturan agama tertentu,
tetapi kalau belum dicatatkan pada kantor pemerintah yang berwenang (baik Kantor Urusan
Agama/KUA untuk yang beragama Islam ataupun Kantor Catatan Sipil/KCS untuk yang diluar
Islam), maka perkawinan tersebut belum diakui sah oleh negara. Dalam berbagai kasus, sahnya
suatu perkawinan secara yuridis memang harus dibuktikan melalui buku nikah yang diperoleh
dari KUA dan KCS. Hal ini tentu saja menimbulkan implikasi hukum dan sosial yang beragam
bagi pasangan yang berbeda agama seperti misalnya anak-anak yang lahir tidak akan dianggap
sebagai keturunan yang sah dan suami-istri pun mengalami kesulitan memperoleh hak-hak
keperdataan yang timbul dari perkawinan tersebut. Padahal dalam pasal 3 ayat (2) Undang-
Undang No. 39 Tahun 1999 dijelaskan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan
yang sama di depan hukum”.

Problem lain yang muncul dari sahnya sebuah perkawinan harus dicatatkan adalah bahwa
pencatatan tersebut hanya berlaku bagi agama-agama yang diakui oleh negara sebagaimana yang
tertuang dalam UU No 1/PNPS/1965 dimana agama-agama yang diakui di Indonesia hanya ada
lima yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha dan Kong Hu Chu. Di luar itu hak sipilnya
tidak diakui negara sehingga orang yang di luar enam agama tersebut jika menikah dan ingin
diakui negara maka dia harus membohongi negara dan diri sendiri.[15]

Definisi agama yang dibuat oleh pemerintah ternyata sangat diskriminatif. Defenisi agama versi
pemerintah menyebutkan bahwa agama adalah sistem kepercayaan yang disusun berdasarkan
kitab suci, memuat ajaran yang jelas, mempunyai nabi dan kitab suci. Definisi ini berimplikasi
negatif karena menimbulkan diskriminasi terhadap agama-agama bumi yang tidak memenuhi
syarat sebagai agama sesuai definisi pemerintah. Selain itu, diskriminasi tersebut merembet pada
diskriminasi terhadap hak sipil. Mereka terancam tidak memiliki KTP karena komputer
pemerintah hanya bisa menuliskan satu dari 5 agama atau mereka harus memilih pencantuman
sebagai salah satu pemeluk agama yang 5 untuk dapat dibuatkan KTPnya. Hal ini tentu
berimplikasi pada masalah pencatatan perkawinan yang seringkali ditolak oleh Kantor Catatan
Sipil karena bukan pemeluk salah satu agama yang diakui oleh pemerintah. Perkawinan yang
tidak mendapatkan pengakuan negara akan mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan Kartu
Keluarga (KK), akta kelahiran anak, KTP, surat nikah dan hak pendidikan. Ini artinya keluarga
tersebut kehilangan hak sipilnya sebagai warga negara. Diskriminasi jelas merupakan tindakan
yang melanggar HAM. Dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 dijelaskan
bahwa “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung
ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik,
kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang
berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau
penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun
kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan spek kehidupan lainnya”.
Pertanyaannya, atas dasar apa negara seakan mempunyai otoritas untuk menentukan diakui atau
tidaknya sebuah agama padahal agama telah lahir dan eksis terlebih dahulu dibandingkan dengan
kelahiran sebuah negara?

Problem-problem di atas tentu tidak harus terjadi jika saja pemerintah lebih memahami bahwa
hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh setiap manusia yang hidup yang bukan
merupakan pemberian siapapun juga termasuk negara, sedangkan hak sipil adalah hak warga
negara yang menimbulkan kewajiban bagi negara untuk melindungi, mengakui dan
memproteksinya.

Hak beragama, berkeyakinan, dan berkeluarga termasuk dalam rumpun hak sipil.  Beragama dan
beraliran kepercayaan adalah hak sipil dalam arti bahwa hak itu sudah ada, tumbuh dan
berkembang dalam lembaga sosial dan keagamaan sebelum lahirnya organisasi negara. Dasar
kebebasan agama dan beragama adalah kodrat atau martabat manusia itu sendiri. Kodrat atau
martabat adalah kenyataan bahwa manusia sebagai pribadi dikaruniai akal budi dan kehendak.
Akal budi dan kehendak bebas tersebut merupakan inti kodrat (martabat) manusia. Berkaitan
dengan adanya kedua hal tersebut dalam diri manusia, maka dikatakan manusia mempunyai
tanggung jawab pribadi dalam bidang apa saja, termasuk dalam tindakan percaya dan beragama
itu sendiri. Tanggung jawab pribadi yang mengandaikan akal budi dan kehendak bebas itu
bukanlah sesuatu yang diberikan oleh siapa-siapa dan oleh karena itu tidak dapat diambil oleh
siapapun.

Berbicara tentang pilihan terhadap agama, berarti berbicara tentang sesuatu yang paling asasi
pada diri manusia.[16] Dikatakan demikian karena proses manusia dalam beragama merupakan
pengejawantahan kesadaran ilahiyah yang terpatri dalam diri manusia. Kesadaran ini kemudian
memperoleh afirmasi simbolik melalui agama formal yang disebarkan melalui utusan Tuhan
yang jumlahnya tak terbilang. Dari kajian sejarah agama-agama diperoleh suatu gambaran,
banyaknya utusan Tuhan berpengaruh juga terhadap banyaknya agama yang dipeluk oleh
manusia. Maka kalau kemudian muncul kebijakan yang hanya mengakui keberadaan agama
dengan jumlah yang amat terbatas, maka hal ini merupakan pengingkaran terhadap kemerdekaan
eksistensial manusia untuk melakukan ziarah spiritual yang bisa jadi melintasi agama-agama
yang diakui secara resmi oleh pemerintah.[17]

Oleh karena itu, setiap orang mempunyai kewajiban dan hak untuk mencari kebenaran terutama
dalam bidang agama, sesuai dengan tuntutan suara hatinya. Orang harus dapat menjalankan
kewajiban dan menggunakan haknya dalam suasana bebas tanpa ketakutan dan tekanan dari
pihak manapun dan dalam bentuk apa pun. Dalam suasana itulah, manusia dapat bertindak secara
bertanggung jawab. Oleh karena itu, kebebasan adalah hak asasi manusia dan termasuk dalam
martabat manusia. Merusak kebebasan seseorang berarti menghina citra martabat orang itu
sebagai manusia.

Adapun hak sipil itu umumnya berkaitan dengan prinsip kebebasan, yang terganggu karena
hadirnya organisasi negara. Negara melalui pemerintah cenderung mengatur, membatasi dan
terkadang melarang kebebasan sipil. Kebebasan sipil yang berkait dengan nilai-nilai agama dan
diatur oleh kaidah agama, seringkali berimpit dengan hak penguasa dalam mengatur kehidupan
kemasyarakatan. Hak untuk memilih pasangan hidup misalnya, haruslah merupakan kebebasan
yang harus diakui keberadaannya oleh pemerintah. Namun kenyataannya, negara tidak
membiarkan begitu saja kebebasan memilih pasangan yang bersamaan jenis atau berbeda agama.
[18]

Negara seharusnya tidak dibenarkan memaksa seseorang agar mengawini orang yang sama
agamanya, karena perkawinan berbeda agama itu pun merupakan bagian dari kebebasan memilih
calon suami atau istri. Lebih jauh lagi, perkawinan beda agama adalah merupakan implikasi dari
realitas kemajemukan agama, etnis, suku, ras yang ada di Indonesia sehingga jika terjadi
pelarangan perkawinan beda agama, maka hal tersebut sama saja dengan mengingkari realitas
kemajemukan tadi. Kaidah dalam hak-hak asasi manusia sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya, tidak mungkin dapat ditegakkan pelaksanaannya tanpa adanya hukum positif yang
mengatur hak tersebut. Walaupun kaidah hak asasi manusia membenarkan perkawinan antar
agama, tetapi jika pemerintah menolak melakukan pencatatan, maka kaidah hak asasi manusia
itu akan kehilangan makna. Oleh karena itu, meskipun pemerintah atau negara tidak melarang
perkawinan campuran antar agama, namun pemerintah secara tidak langsung menolak hak asasi
tersebut melalui lembaga pencatatan nikah. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesan bahwa
pemerintah memaksakan seseorang untuk memilih agama, yang semata-mata hanya untuk
kepentingan unifikasi hukum dan administrasi pemerintahan.

Oleh karena itu, bila di Indonesia terjadi penolakan perkawinan beda agama, baik dari segi
pelaksanaannya maupun pencatatannya, maka dalam perspektif HAM, hal tersebut menurut
penulis jelas bertentangan dan melanggar prinsip-prinsip yang dikandung oleh HAM terutama
hak beragama dan berkeluarga yang merupakan hak sipil seseorang.

Alasannya adalah bahwa Undang-Undang No. 39 tahun 1999 yang merupakan instrumen hukum
yang mengatur HAM secara khusus di Indonesia, dengan tegas menjelaskan pada pasal 22 ayat
(1) bahwa “ Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaanya itu”. Pasal 10 ayat (1) lebih menegaskan lagi bahwa
“Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah”. Pelarangan kawin beda agama juga melanggar prinsip kebebasan dasar
seseorang dalam beragama dan merupakan tindakan diskriminatif. Pasal 1 ayat (3) Undang-
Undang No. 39 Tahun 1999 secara jelas menyatakan bahwa “Diskriminasi adalah setiap
pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung di dasarkan pada
pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial,
status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan,
penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi
manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang
politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan sepek kehidupan lainnya”.

Oleh karena itu, tindakan diskriminasi terhadap kebebasan seseorang dalam beragama mesti
dihentikan karena beragama merupakan salah satu hak asasi manusia dan merupakan kebebasan
dasar manusia yang diatur dan dijamin perlindungannya dalam Undang-Undang No. 39 Tahun
1999. Hal ini tampak pada pasal 3 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas
perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi”. Dalam
Pasal 8 juga ditegaskan bahwa negara (dalam hal ini pemerintah) memiliki tanggungjawab
menjamin prinsip kebebasan tersebut yang menjadi hak asasi manusia, “Perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara,
terutama Pemerintah“. Oleh karena itu, jika terjadi pelanggaran, pembatasan, bahkan penolakan
terhadap kebebasan beragama dan kebebasan untuk berkeluarga (menikah) di Indonesia, maka
hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap HAM dan konstitusi itu sendiri.

Dari segi pencatatan perkawinan, setiap warga negara yang memeluk agama apa pun yang secara
universal diakui oleh umat manusia, maka berhak mendapat pelayanan administrasi dari negara.
Tidak bisa dibenarkan Kantor Catatan Sipil menolak pencatatan perkawinan hanya karena suatu
agama tidak tercatat pada lembaran negara atau karena masing-masing pasangan yang ingin
menikah berbeda agamanya. Asumsi dasar dari pencatatan perkawinan adalah bahwa pernikahan,
disamping sebagai bagian aktifitas ritual dalam semua agama, juga harus ditempatkan sebagai
perikatan yang berdimensi yuridis dan sosiologis sehingga dalam pelaksanaannya harus
memperhatikan aspek legalitas yang bersifat yuridis-formal. Di samping perkawinan adalah
sebagai sebuah peristiwa hukum, perkawinan juga merupakan bagian dari proses sosial yang
memerlukan adanya pengakuan secara sosial. Keharusan pencatatan dalam perkawinan bisa
ditempatkan sebagai tindakan preventif dari kemungkinan lahirnya pelanggaran hukum berupa
kekerasan dalam perkawinan baik dalam bentuk kekerasan fisik, psikis maupun penelantaran
rumah tangga dengan payung yuridis yang kuat dan otentik yang dibuktikan dengan adanya akte
perkawinan.

Pencatatan perkawinan juga merupakan bagian hak asasi warga negara yang perlu dilindungi
karena berdasarkan pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 dijelaskan bahwa
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil
serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”.

Masa Depan Pengaturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia

“A constitution is not the act of a government but of a people constituting a government, without
a constitution is power without right, and a constitution is the property of the nation and not of
those who exercise the goverment”,[19] demikian penegasan Thomas Paine, seorang tokoh
radikal abad ke-18 yang karya-karyanya banyak mengilhami munculnya revolusi Prancis dan
Amerika. Pandangan ini menunjukkan bahwa kedudukan konstitusi merupakan elemen esensial
dalam sebuah negara. Tidak saja karena konstitusi memberikan kejelasan tentang mekanisme
ketatanegaraan, tetapi juga memberikan penegasan atas kedudukan dan relasi yang amat kuat
antara penguasa dan rakyat.

Dalam konteks jaminan atas HAM, konstitusi memberikan arti penting tersendiri bagi
terciptanya sebuah paradigma negara hukum sebagai buah dari proses dialektika demokrasi yang
telah berjalan secara amat panjang dalam lintasan sejarah peradaban manusia. Jaminan atas
HAM meneguhkan pendirian bahwa negara bertanggung jawab atas tegaknya supremasi hukum.
Oleh karena itu, jaminan konstitusi atas HAM penting artinya bagi arah pelaksanaan
ketatanegaraan sebuah negara, sebagaimana yang diungkapkan oleh Sri Soemantri sebagai
berikut:

Adanya jaminan terhadap hak-hak dasar setiap warga negara mengandung arti bahwa setiap
penguasa dalam negara tidak dapat dan tidak boleh bertindak sewenang-wenang kepada warga
negaranya. Bahkan adanya hak-hak dasar itu juga mempunyai arti adanya keseimbangan dalam
negara, yaitu keseimbangan antara kekuasaan dalam negara dan hak-hak dasar warga negara.[20]

Dari pernyataan diatas terlihat bahwa konstitusi merupakan napas kehidupan ketatanegaraan
sebuah bangsa, tidak terkecuali bagi bangsa Indonesia. Konstitusi sebagai perwujudan konsensus
dan penjelmaan dari kemauan rakyat memberikan jaminan atas keberlangsungan hidup berikut
HAM secara nyata. Oleh karena itu, jaminan konstitusi atas HAM adalah bukti dari hakikat,
kedudukan dan fungsi konstitusi itu sendiri bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sebagaimana yang telah dijelaskan di awal, dalam perspektif HAM, membentuk keluarga
melalui pernikahan merupakan hak prerogatif pasangan calon suami dan istri yang sudah
dewasa. Kewajiban negara adalah melindungi, mencatatkan dan menerbitkan akte
perkawinannya. Namun sayangnya sebagaimana analisa penulis di atas, realitas ini tidak cukup
disadari oleh negara, bahkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun
Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak memberi tempat bagi perkawinan beda agama. Akibatnya,
banyak warga negara yang kebetulan “mampu” secara ekonomi menyiasati pembatasan undang-
undang tersebut dengan mencatatkan perkawinannya di luar negeri untuk akhirnya dilaporkan ke
Kantor Catatan Sipil di Indonesia. Sungguh ironis, bahwa warga negara Indonesia tidak
mendapatkan perlindungan hukum di dalam negerinya sendiri, tetapi justru mendapatkan
perlindungan hukum dari negara lain. Untuk yang tidak mungkin ke luar negeri, ada yang
terpaksa “mengalah” dengan jalan pindah agama sejenak agar peristiwa pernikahannya dicatat
oleh Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama.

Pertanyaannya kemudian, solusi apa yang bisa ditawarkan sehingga hak seseorang untuk
melakukan pernikahan beda agama di Indonesia tetap terjamin dan tidak akan tejadi lagi
tindakan yang diskriminatif seperti di atas? Salah satu yang perlu dilakukan adalah merevisi
Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan khususnya pasal 2 ayat 1. Pembaruan
tersebut menurut penulis secara teoritis dilatari dengan alasan, pertama, bahwa perkawinan,
membentuk keluarga dan mendapatkan keturunan adalah merupakan hak seseorang yang
termasuk dalam hak asasi manusia[21]; kedua, sebagai sebuah negara, Indonesia dibangun
bukan oleh satu komunitas agama saja, melainkan di dasarkan pada asas nasionalitas; ketiga,
dalam konteks negara demokrasi[22], maka beberapa prasyarat yang dibutuhkan antara lain
jaminan membangun civil society yang bebas, otonomi dan kualitas political society, adanya rule
of law sebagai jaminan hukum bagi kebebasan warga negara dan kehidupan organisasi yang
independent, birokrasi yang mendukung pemerintahan baru yang demokratis, dan masyarakat
ekonomi yang institutionalized[23]; keempat, Indonesia merupakan negara yang sangat plural.
Pluralitas tersebut bukan hanya dari sudut etnis, ras, budaya, dan bahasa melainkan juga agama
sehingga setiap kebijakan yang dilakukan oleh negara haruslah mengakomodir semua warga
negaranya tanpa membedakan latar belakangnya. Tujuan dari pengakomodiran kebijaksanaan
tersebut tidak lain agar semua warga negara mendapat sebuah kepastian hukum;[24] kelima,
negara mempunyai kewajiban untuk melayani hajat keberagamaan warganya secara adil tanpa
diskriminasi. Implikasi dari kewajiban negara tersebut harus diartikan secara luas terhadap segala
sesuatu yang berkaitan dengan hak dan kewajiban warga negara di mata hukum. Atas dasar itu,
negara harus memenuhi hak-hak sipil warga negaranya tanpa melihat agama dan kepercayaan
yang dianut[25]; dan keenam, perkawinan antar agama secara objektif sosiologis adalah wajar
karena penduduk Indonesia memeluk bermacam-macam agama dan instrumen hukum yang ada
di Indonesia menjamin kemerdekaan beragama bagi setiap penduduknya sehingga tentu saja
terbuka kemungkinan terjadinya dua orang berbeda agama saling jatuh cinta dan pada akhirnya
membentuk sebuah keluarga.

Adapun secara praktis, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 telah berusia lebih dari 32 tahun,
sebuah usia yang menuntut peninjauan ulang atasnya karena undang-undang merupakan satu
“sistem yang terbuka” yang tidak hanya melihat kebelakang kepada perundang-undangan yang
ada, tetapi juga memandang kedepan dengan memikirkan konsekuensi-konsekuensi suatu
keputusan hukum bagi masyarakat yang diaturnya.[26]

Kesimpulan

Penolakan terhadap perkawinan beda agama, baik dari segi pelaksanaannya maupun
pencatatannya jelas bertentangan dan melanggar prinsip-prinsip yang dikandung oleh HAM
terutama hak beragama dan berkeluarga yang merupakan hak sipil seseorang.

Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, maka hal tersebut juga merupakan bagian dari hak
warga negara yang mesti dilindungi dan dipenuhi haknya. Asumsi dasar dari pencatatan
perkawinan adalah bahwa pernikahan, disamping sebagai bagian aktifitas ritual dalam semua
agama, juga harus ditempatkan sebagai perikatan yang berdimensi yuridis dan sosiologis
sehingga dalam pelaksanaannya harus memperhatikan aspek legalitas yang bersifat yuridis-
formal. Maka, materi-materi di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI perlu
diperbaharui untuk tujuan penyempurnaan, sehingga mampu memberikan solusi terhadap
persoalan yang muncul di masyarakat, baik dalam aturan formil maupun materil.

DAFTAR PUSTAKA

Alder, John, General Principles of Constitusional and Administrative Law, New York: Palgrave
Macmillan, 2002.

Asmin, Status Perkawinan antar Agama Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974,
Jakarta: Dian Rakyat, 1986.

Baso, Ahmad dan Nurcholish, Ahmad (ed.), Pernikahan Beda Agama: Kesaksian, Argumen
Keagamaan, dan Analisis Kebijakan, Jakarta: KOMNAS HAM bekerja sama dengan ICRP,
2005.

Dewan Pertahanan Keamanan Nasional, Pokok-Pokok Pikiran Bangsa Indonesia tentang HAM,
Jakarta: Dewan Pertahanan Keamanan Nasional, 1997.

Effendy, Bahtiar, “Islam dan Demokrasi: Mencari Sebuah Sintesa yang Memungkinkan”, dalam
M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher (ed.), Agama dan Dialog Antar Peradaban, Jakarta:
Paramadina, 1996.

Eoh, O.S, Perkawinan Antaragama dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996.
FXS. Purwaharsanto pr, Perkawinan Campuran Antar Agama menurut UU RI No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan: Sebuah Telaah Kritis Aktualita Media Cetak, Yogyakarta: tnp, 1992.

Hamidi, Jazim dan Abadi, M. Husnu, Intervensi Negara terhadap Agama; Studi Konvergensi
atas Politik Aliran Keagamaan dan Reposisi Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta: UII
Press, 2001.

Hartini, Perkawinan Berbeda Agama di Luar Negeri (Makalah pada Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada, tidak diterbitkan).

Hidayat, Komaruddin dan AF, Ahmad Gaus (ed.), Passing Over Melintasi Batas Agama, Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 1999.

Howard, Rhoda E., HAM: Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya, terj. Nugraha Katjasungkana,
Jakarta: Grafiti, 2000.

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Lay, Cornelis, Kajian Komparatif tentang HAM dan Hak-Hak Warga Negara, Makalah
Pengantar diskusi dalam Seminar Dies Natalis Fisipol UGM ke-44 tentang “Amandemen UUD
1945”, Yogyakarta, 18 September 1999, tidak diterbitkan.

Mubarok, Jaih, “Akar-Akar RUU Perkawinan Tahun 1973 di Indonesia”, Khazanah, Vol. 1, No.
3 (Januari-Juni 2003).

el-Muhtaj, Majda, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD 1945 sampai
dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Jakarta: Kencana, 2005.

Nickel, James. W., Hak Asasi Manusia: Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia, terj. Titis Eddy Arini, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Nusantara, Abdul Hakim Garuda, “Konsep Dasar Hak Asasi Manusia”, dalam Menelusuri
Makna Hak Asasi Manusia, Seri Buku VOX, 41/2, Maumere: STFK Ledalero, 1997.

Raharjo, Satjipto Ilmu Hukum, Bandung: Angkasa, 1979.

Raharjo, M. Dawam, “Dasasila Kebebasan Beragama,” http://islamlib.com/id/index.php?


page=article&id=925, akses 7 Juni 2006.

Rasyidi, M, Kasus RUU Perkawinan dalam Hubungan Islam dan Kristen, Jakarta: Bulan
Bintang, 1974.

Ridwan, Nur Khalik, Detik-Detik Pembongkaran Agama: Mempopulerkan Agama Kebajikan,


Menggagas Pluralisme Pembebasan, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2003.
Sirry, Mun’im A., Membendung Militansi Agama: Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern,
Jakarta: Erlangga, 2003.

Soehadha, Moh, “Kebijakan Pemerintah tentang “Agama Resmi” serta Implikasinya terhadap
Peminggiran Sistem Religi Lokal dan Konflik antar Agama”, Esensia, Vol. 5, No. 1 (Januari
2004).

Soemantri, Sri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alumni, 1992.

Tamara, M. Nasir dan Taher, Elza Peldi (ed.), Agama dan Dialog Antar Peradaban, Jakarta:
Paramadina, 1996.

Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Demokrasi, Hak
Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media, 2000.

[1] Secara defenitif, “hak” merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman
berprilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia
dalam menjaga harkat dan martabatnya. Hak mempunyai unsur-unsur sebagai berikut yaitu,
pertama, pemilik hak; kedua, ruang lingkup penerapan hak; dan ketiga, pihak yang bersedia
dalam penerapan hak. HAM yang dimaksudkan dalam dokumen internasional adalah hak-hak
fundamental yang dimiliki dan tidak dapat dikurangi ataupun diambil (inalienable), oleh
seseorang atau kelompok yang disebabkan “hanya” karena ditakdirkan sebagai manusia. Oleh
karena itu, HAM ditujukan sebagai nilai-nilai “universal”, bukan sekedar sebagai nilai-nilai
internasional. Soetandyo Wignyosoebroto menyatakan bahwa yang dimaksud dengan HAM
adalah Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang melekat secara kodrati pada setiap makhluk
yang bersosok secara biologik sebagai manusia yang memberikan jaminan moral dan legal
kepada setiap manusia itu untuk menikmati kebebasan dari setiap bentuk penghambaan,
penindasan, perampasan, penganiayaan atau perlakuan apapun lainnya yang menyebabkan
manusia itu tidak dapat hidup secara layak sebagai manusia yang dimuliakan Allah. Dari
pengertian HAM diatas, maka beberapa unsur yang ada dalam HAM antara lain, pertama, hak
tersebut bersifat kodrati; kedua, hak tersebut melekat pada hakikat keberadaan manusia; ketiga,
hak tersebut bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat; keempat, hak tersebut merupakan
anugerah Tuhan; kelima, hak tersebut bersifat luhur dan suci; keenam, hak tersebut wajib
dihormati dan dilindungi oleh siapa pun, termasuk dan terutama dari tindakan penguasa; ketujuh,
berfungsi sebagai jaminan moral dan legal; kedelapan, ditujukan untuk menikmati kebebasan.
James. W. Nickel, Hak Asasi Manusia: Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia, terj. Titis Eddy Arini (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 20-21. Jazim
Hamidi dan M. Husnu Abadi, Intervensi Negara terhadap Agama; Studi Konvergensi atas
Politik Aliran Keagamaan dan Reposisi Peradilan Agama di Indonesia (Yogyakarta: UII Press,
2001), hlm. 16. Abdul Hakim Garuda Nusantara, “Konsep Dasar Hak Asasi Manusia”, dalam
Menelusuri Makna Hak Asasi Manusia, Seri Buku VOX, 41/2 (Maumere: STFK Ledalero, 1997),
hlm. 28. Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Demokrasi,
Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: Prenada Media, 2000), hlm. 199-200.
Theo Huijbers, Filsafat Hukum (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 96. Rhoda E. Howard, HAM:
Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya, terj. Nugraha Katjasungkana (Jakarta: Grafiti, 2000),
hlm. 19.

[2] Adapun dasar pemikiran pembentukan undang-undang ini adalah sebagai berikut yakni
pertama, Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta alam semesta dengan segala isinya; kedua,
manusia pada dasarnya dianugerahi, jiwa, bentuk, struktur kemampuan, kemauan, serta berbagai
kemudahan oleh Penciptanya demi menjamin kelanjutan hidupnya; ketiga, untuk melindungi,
mempertahankan, dan meningkatkan martabat manusia, diperlukan pengakuan dan perlindungan
Hak Asasi Manusia karena tanpa hal tersebut manusia akan kehilangan sifat dan martabatnya
sehingga dapat mendorong manusia menjadi srigala bagi manusia lainnya; keempat, manusia
adalah makhluk sosial, maka hak asasi manusia yang satu dibatasi oleh hak asasi manusia yang
lain, sehingga kebebasan atau hak asasi manusia bukanlah tanpa batas; kelima, Hak Asasi
Manusia tidak boleh dilenyapkan oleh siapapun dan dalam keadaan apapun; keenam, setiap Hak
Asasi Manusia mengandung kewajiban untuk menghormati Hak Asasi Manusia sehingga di
dalam Hak Asasi Manusia terdapat kewajiban mendasar; ketujuh, Hak Asasi Manusia harus
benar-benar dihormati, dilindungi, dan ditegakkan. Untuk itu pemerintah, aparatur negara, dan
pejabat publik lainnya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab menjamin terselenggaranya
penghormatan, perlindungan, dan penegakan Hak Asasi Manusia. Dewan Pertahanan Keamanan
Nasional, Pokok-Pokok Pikiran Bangsa Indonesia tentang HAM (Jakarta: Dewan Pertahanan
Keamanan Nasional, 1997), hlm. 9-10.

[3] Majda el-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD 1945 sampai
dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002 (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. xii.

[4] Amin Suma mengungkapkan bahwa diktum hukum yang terdapat dalam Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 adakalanya jauh lebih ringkas, filosofis, tepat dan akurat dibandingkan dengan
diktum hukum yang diformulasikan dalam Kompilasi Hukum Islam. Salah satu contohnya
adalah berkaitan dengan defenisi perkawinan. Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 1,
defenisi perkawinan lebih mencakup tujuan dan dasar sekaligus yakni “Perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Undang-Undang Perkawinan di Indonesia (Surabaya: Arkola, t.t.), hlm. 5. Adapun
istilah dan tujuan perkawinan dalam KHI dibuat terpisah menjadi dua pasal yakni “Perkawinan
menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu, aqad yang sangat kuat atau mitsaqan
ghalidzhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah” (pasal 2),
sedangkan tujuannya adalah “untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah” (pasal 3). Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997/1998), hlm. 14. Kejanggalan lain adalah
dalam tambahan kalimat “untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah”. Redaksi ini lebih mencerminkan bahasa dakwah daripada bahasa hukum yang
berbentuk undang-undang. Muhammad Amin Suma, “Studi Evaluatif terhadap Materi dan Dasar
Hukum Pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam”, dalam Unisia, No. 48, Vol. II (2003), hlm.
118. Adapun Perkawinan Beda Agama adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan
seorang wanita, yang karena berbeda agama, menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang
berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum
agamanya masing-masing dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Lihat O.S, Eoh, Perkawinan Antaragama dalam Teori
dan Praktek (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 35-36.

[5]Secara lengkap bunyi pasal tersebut adalah pasal 40 huruf (c): “Dilarang melangsungkan
perkawinan antar seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu; huruf c)
seorang wanita yang tidak beragama Islam. Dan pasal 44: “Seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”. Kompilasi, hlm.
26-27.

[6] Regeling Of de Gemengde Huwelijken (GHR) adalah suatu peraturan perkawinan yang dibuat
oleh pemerintah Hindia Belanda tentang perkawinan campuran yang termuat dalam Lembaran
Negara Hindia Belanda Stb. 1898 No. 158. Pada pasal 1 GHR disebutkan perkawinan campuran
adalah perkawinan antar orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan.
Kemudian dalam penjelasannya dikemukakan contoh perkawinan antara seorang WNI dengan
seorang bangsa Belanda atau Eropa lainnya sekalipun telah menjadi WNI serta memeluk agama
Islam. Begitu pula perkawinan antara seorang Indonesia dengan seorang Tionghoa atau bangsa
Timur lainnya yang tidak memeluk agama Islam sekalipun telah menjadi WNI. Sementara itu,
pasal 7 ayat (2) disebutkan bahwa “Perbedaan agama, bangsa, atau asal sama sekali bukanlah
menjadi halangan untuk perkawinan” FXS. Purwaharsanto pr, Perkawinan Campuran Antar
Agama menurut UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: Sebuah Telaah Kritis Aktualita
Media Cetak (Yogyakarta: tnp, 1992), hlm. 10-13.

[7] Ibid., hlm. 66.

[8] M. Rasjidi dengan nada mengecam menyatakan bahwa kata “agama” dalam pasal ini sengaja
diselipkan sedemikian rupa, sehingga orang yang tidak teliti dalam membacanya akan
mengatakan bahwa pasal ini tidak bertentangan dengan hukum Islam. Selain itu, Rasjidi juga
menganggap bahwa RUU ini merupakan kristenisasi terselubung karena menganggap hal yang
dilarang Islam seolah menjadi hal yang sudah biasa diterima oleh orang termasuk perkawinan
antar agama. Menyamakan perbedaan agama dengan perbedaan suku dan daerah asal sehingga
dianggap tidak menghalangi sahnya suatu perkawinan adalah merupakan hal yang bertentangan
dengan ajaran Islam sehingga RUU ini hanya menguntungkan satu pihak saja yaitu misionaris.
M. Rasjidi, Kasus RUU Perkawinan dalam Hubungan Islam dan Kristen (Jakarta: Bulan
Bintang, 1974), hlm. 10-12.

[9] Selain Islam, agama Katholik memandang bahwa perkawinan sebagai sakramen sehingga
jika terjadi perkawinan beda agama dan tidak dilakukan menurut hukum agama Katholik, maka
perkawinan tersebut dianggap tidak sah. Sedangkan agama Protestan lebih memberikan
kelonggaran pada pasangan yang ingin melakukan perkawinan beda agama. Walaupun pada
prinsipnya agama Protestan menghendaki agar penganutnya kawin dengan orang yang seagama,
tetapi jika terjadi perkawinan beda agama maka gereja Protestan memberikan kebebasan kepada
penganutnya untuk memilih apakah hanya menikah di Kantor Catatan Sipil atau diberkati di
gereja atau mengikuti agama dari calon suami/istrinya. Sedangkan agama Hindu tidak mengenal
perkawinan beda agama dan pedande/pendeta akan menolak perkawinan tersebut. Sedangkan
agama Budha tidak melarang umatnya untuk melakukan perkawinan dengan penganut agama
lain asal dilakukan menurut tata cara agama Budha. O.S Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam
Teori dan Praktek (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm.118-125.

[10] Ahmad Baso dan Ahmad Nurcholish (ed.), Pernikahan Beda Agama: Kesaksian, Argumen
Keagamaan, dan Analisis Kebijakan (Jakarta: KOMNAS HAM bekerja sama dengan ICRP,
2005), hlm. 7.

[11] Cornelis Lay dalam salah satu tulisannya menjelaskan bahwa aspek penting yang harus ada
dalam setiap konstitusi modern-demokratis adalah pengakuan dan pemberlakuan prinsip
citizenship. Prinsip ini mengandaikan dan sekaligus menerima premis tentang kesetaraan warga
negara tanpa kecuali dalam segala hal. Prinsip ini mengabaikan politik pengecualian atas dasar
kriteria apapun termasuk agama, etnisitas, gender, dan selainnya. Cornelis Lay, Kajian
Komparatif tentang HAM dan Hak-Hak Warga Negara, Makalah Pengantar diskusi dalam
Seminar Dies Natalis Fisipol UGM ke-44 tentang “Amandemen UUD 1945”, Yogyakarta, 18
September 1999, tidak diterbitkan.

[12] Ahmad Baso dan Ahmad Nurcholish (ed.), Pernikahan, hlm. 8.

[13] Perkawinan beda agama mempunyai dua aspek jika dilihat dari kacamata hukum yakni,
pertama, perkawinan tersebut dilakukan oleh orang yang tunduk pada agama dan keyakinan
yang berbeda; kedua, perkawinan tersebut dilangsungkan di luar wilayah Indonesia, sehingga
berlaku hukum Indonesia maupun hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Hartini,
Perkawinan Berbeda Agama di Luar Negeri (Makalah pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada, tidak diterbitkan), hlm. 11.

[14] Paling tidak terdapat dua pendapat dalam menafsirkan hubungan ayat (1) dan (2) Undang-
Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yakni pertama, aliran legisme (tekstualis) yang
berpendapat bahwa perkawinan yang dilakukan tanpa dicatat oleh pegawai pencatat perkawinan
adalah sah, karena dalam pasal 2 ayat (1) dikatakan bahwa perkawinan yang dilakukan menurut
hukum agamanya masing-masing adalah sah dan hukum agama tidak menjadikan pencatatan
perkawinan sebagai syarat sah perkawinan; kedua, aliran strukturalisme yang beranggapan
bahwa perkawinan yang dilakukan tanpa dicatat oleh pegawai pencatat perkawinan tidaklah sah
karena dalam ayat (2) terdapat ketentuan bahwa setiap perkawinan dicatat oleh pegawai pencatat
perkawinan. Oleh karena itu, dalam perspektif penafsiran strukturalisme, antara ayat (1) dan ayat
(2) merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Jaih Mubarok, “Akar-Akar RUU
Perkawinan Tahun 1973 di Indonesia”, Khazanah, Vol. 1, No. 3 (Januari-Juni 2003), hlm. 531.

[15] Kalau secara jelas diakui bahwa Indonesia adalah negara beribu suku, ras, golongan, maka
dengan sendirinya pula Pancasila sebagai titik pertemuan antar kelompok, antaragama, antarras,
dan suku, mestilah dipandang sebagai payung bagi semua anak bangsa di dalamnya sehingga
tidak betul bila Pancasila sebagai dasar negara hanya milik umat beragama yang hanya diakui
pemerintah. Nur Khalik Ridwan, Detik-Detik Pembongkaran Agama: Mempopulerkan Agama
Kebajikan, Menggagas Pluralisme Pembebasan (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2003), hlm. 259-262.

[16] Dengan panjang lebar Dawam Raharjo menjelaskan tentang kebebasan beragama.
Kebebasan beragama, dengan dalil tidak ada paksaan dalam agama, adalah prinsip yang sangat
penting dalam sekularisme dan harus dipahami makna dan konsekuensinya, baik oleh negara
maupun masyarakat. Oleh sebab itu, prinsip ini perlu diwujudkan ke dalam suatu undang-undang
(UU) yang memayungi kebebasan dalam keberagamaan. Maksud UU ini adalah, pertama agar
bisa membatasi otoritas negara sehingga tidak menimbulkan campur tangan negara dalam hal
akidah (dasar-dasar kepercayaan), ibadah, maupun syariat agama (code) pada umumnya. Kedua,
di lain pihak, ia memberi kesadaran kepada setiap warganegara akan hak-hak asasinya dalam
berpendapat, berkeyakinan, dan beragama. Undang-undang semacam itu harus mendefinisikan
kebebasan beragama secara lebih detail yaitu, pertama, kebebasan beragama berarti kebebasan
untuk memilih agama atau menentukan agama yang dipeluk, serta kebebasan untuk
melaksanakan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing; kedua, kebebasan
beragama berarti pula kebebasan untuk tidak beragama. Walaupun UUD menyatakan bahwa
negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, kebebasan beragama juga berarti bebas untuk
tidak percaya kepada Tuhan atau untuk berkeyakinan ateis; ketiga, kebebasan beragama berarti
juga kebebasan untuk berpindah agama, yang setara dengan berpindah pilihan dari satu agama
tertentu ke agama lain. Berpindah agama tidak berarti murtad, melainkan menemukan kesadaran
baru dalam beragama. Berpindah agama juga tidak bisa disebut kafir, karena istilah kafir bukan
berarti mempunyai agama lain, melainkan menentang perintah Tuhan; keempat, kebebasan
beragama berarti pula bebas untuk menyebarkan agama (berdakwah), asal dilakukan tidak
melalui kekerasan maupun paksaan secara langsung ataupun tidak langsung. Kegiatan untuk
mencari pengikut, dengan pembagian bahan makanan, beasiswa kepada anak-anak dari keluarga
miskin, atau pelayanan kesehatan gratis dengan syarat harus masuk ke dalam agama tertentu,
adalah usaha yang tidak etis, karena bersifat merendahkan martabat manusia, dengan cara
“membeli” keyakinan seseorang. Namun program bantuan semacam itu boleh dilakukan oleh
suatu organisasi keagamaan, asal tidak disertai syarat masuk agama tertentu. Penyebaran agama
dengan cara menawarkan iman dan keselamatan secara langsung dari orang ke orang atau
dengan cara kunjungan dari rumah ke rumah dengan tujuan proliterasi adalah tindakan yang
tidak sopan dan sangat mengganggu, karena itu harus dilarang. Kegiatan penyebaran agama,
sebagai pewartaan, tidak dilarang, tetapi upaya kristenisasi atau islamisasi sebagai proliterasi
tidak diperkenankan. Jika tata cara penyebaran agama bisa diatur, tidak akan ada lagi tuduhan
kristenisasi, islamisasi, atau pemurtadan; kelima, atas dasar kebebasan beragama dan pluralisme,
negara harus bersikap adil terhadap semua agama. Suatu peraturan pemerintah yang bersifat
membendung penyebaran agama atau membatasi kegiatan beribadah agama tertentu, dianggap
bertentangan dengan UU. Konsekuensinya, pencantuman agama dalam kartu identitas, misalnya
di Kartu Tanpa Penduduk (KTP), tidak diperlukan, karena bisa membuka peluang favoritisme
dan diskriminasi yang menguntungkan agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk atau
mereka yang berpengaruh di pemerintahan; keenam, dalam perkembangan hidup beragama,
setiap warga berhak membentuk aliran keagamaan tertentu, bahkan mendirikan agama baru, asal
tidak mengganggu ketenteraman umum dan melakukan praktik-praktik yang melanggar hukum
dan tata susila, atau menipu dengan kedok agama. Kebebasan itu berlaku pula bagi mereka yang
ingin mendirikan perkumpulan untuk maksud kesehatan atau kecerdasan emosional dan spiritual
berdasarkan ajaran beberapa agama, sesuai dengan pilihan anggota atau peserta, selama tidak
mengharuskan keimanan kepada suatu akidah agama sebagai syarat; dan ketujuh, negara maupun
suatu otoritas keagamaan, jika ada, tidak boleh membuat keputusan hukum (legal decition) yang
menyatakan suatu aliran keagamaan sebagai sesat dan menyesatkan, kecuali jika aliran itu telah
melakukan praktik-praktik yang melanggar hukum dan tata susila. M. Dawam Raharjo, “Dasasila
Kebebasan Beragama,” http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=925, akses 7 Juni
2006.

[17] Kebijakan negara yang tidak mengakui sistem kepercayaan lokal sebagai agama resmi,
berimplikasi terhadap adanya “pembenaran” untuk mematikan eksistensi agama-agama lokal.
Kebijakan ini kemudian berdampak kepada maraknya kegiatan misi atau dakwah agama resmi
terhadap para pemeluk kepercayaan lokal. Aktivitas misi atau dakwah pada akhirnya
menimbulkan persaingan di antara para pelaku dakwah dari berbagai agama resmi, sehingga
menimbulkan bibit-bibit konflik dalam tiga aras konflik yakni, pertama, konflik antara
pengemban misi atau dakwah agama resmi. Hal ini terjadi karena masing-masing agama resmi
saling berlomba menginginkan masuknya masyarakat suku ke dalam agama mereka; kedua,
konflik antara penganut agama lokal dengan penganut agama resmi. Hal tersebut terjadi sebagai
akibat adanya respon masyarakat penganut kepercayaan lokal yang masih ingin mempertahankan
kepercayaan asli mereka dari aktivitas penyebarluasan atau misi (dakwah) agama resmi; dan
ketiga, konflik antara negara dengan masyarakat penganut sistem kepercayaan lokal. Hal ini
muncul akibat 2 konflik di atas yang ujung-ujungnya berakibat pada tuntutan masyarakat lokal
terhadap pemerintah, yakni tuntutan yang menghendaki negara mengakui eksistensi kepercayaan
lokal tersebut. Moh Soehadha, “Kebijakan Pemerintah tentang “Agama Resmi” serta
Implikasinya terhadap Peminggiran Sistem Religi Lokal dan Konflik antar Agama”, Esensia,
Vol. 5, No. 1 (Januari 2004), hlm. 106-107.

[18] Suwoto Mulyosudarmo, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif HAM”, dalam


Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over Melintasi Batas Agama (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 146-147.

[19] John Alder, General Principles of Constitusional and Administrative Law (New York:
Palgrave Macmillan, 2002), hlm. 39.

[20] Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia (Bandung: Alumni, 1992),
hlm. 74.

[21] Hak berkeluarga termasuk dalam hak sipil dan hal tersebut telah terakomodir dalam ICCPR
sehingga tanggung jawab perlindungan dan pemenuhan atas semua hak dan kebebasan yang
diatur dalam kovenan tadi adalah merupakan kewajiban negara. Hal ini ditegaskan pada pasal 2
ayat (1) dari covenan tersebut yang menyatakan bahwa negara-negara pihak diwajibkan untuk
menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam kovenan ini, yang diperuntukkan bagi
semua individu yang berada di dalam wilayah dan tunduk pada yurisdiksinya tanpa ada
diskriminasi apa pun. Kalau hak dan kebebasan yang terdapat dalam kovenan ini belum dijamin
dalam yurisdiksi suatu negara, maka negara tersebut diharuskan untuk mengambil tindakan
legislative atau tindakan lainnya yang perlu guna mengefektifkan perlindungan hak-hak itu.
Tanggung jawab negara dalam ICCPR bersifat mutlak dan harus segera dijalankan (immediately)
karena hak-hak sipil dan politik adalah bersifat justiciable. Dalam konteks Undang-Undang No.
39 Tahun 1999 pun telah ditegaskan pada pasal 10 ayat (1) bahwa “Setiap orang berhak
membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Bahkan
dalam Pasal 8 juga ditegaskan bahwa negara (dalam hal ini pemerintah) memiliki tanggungjawab
menjamin prinsip kebebasan tersebut yang menjadi hak asasi manusia, “Perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara,
terutama Pemerintah“.

[22] Juan Linz sebagaimana dikutip oleh Bahtiar Effendy menjelaskan bahwa dalam
merumuskan sebuah konsep tentang demokrasi, beberapa syarat agar sebuah sistem politik baru
bisa dikatakan demokratis bila ia, pertama, memberi kebebasan bagi masyarakatnya untuk
merumuskan preferensi-preferensi politik mereka melalui jalur-jalur perserikatan, informasi, dan
komunikasi; kedua, memberikan kesempatan bagi warganya untuk bersaing secara teratur,
melalui cara-cara damai; ketiga, tidak melarang siapa pun untuk memperebutkan jabatan-jabatan
politik yang ada; dan keempat, memberi perlindungan terhadap kebebasan masyarakat (civil
liberties). Dari konsepsi tersebut, terlihat bahwa konsep demokrasi adalah konsep yang menuntut
(demanding). Bahtiar Effendy, “Islam dan Demokrasi: Mencari Sebuah Sintesa yang
Memungkinkan”, dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher (ed.), Agama dan Dialog Antar
Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 89.

[23] Mun’im A. Sirry, “Reformasi dan Imajinasi Indonesia Baru”, dalam Mun’im A. Sirry,
Membendung Militansi Agama: Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern (Jakarta: Erlangga,
2003), hlm. 167. Adanya rule of law sebagai jaminan hukum bagi kebebasan warga negara
sesuai dengan bunyi angka 3 Penjelasan Umum Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
yang menyatkan bahwa “Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945, maka Undang-undang ini di satu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang
terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan di lain pihak
harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini.
Undang-undang Perkawinan ini telah menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-
ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan” (cetak tebal dari
penulis). Asmin, Status Perkawinan antar Agama Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan
No. 1/1974 (Jakarta: Dian Rakyat, 1986), hlm. 76.

[24] Asmin mengungkapkan bahwa sangat bijaksana bila Negara Republik Indonesia, dengan
falsafah Pancasila-nya, dapat memberikan perlindungan kepada pihak-pihak yang berkehendak
untuk melangsungkan pernikahan dengan calon pasangannya yang mempunyai agama yang
berbeda dengan agama yang dianutnya, karena mereka pun adalah sebagian dari warga negara
yang berhak mendapat perlindungan dan kepastian hukum. Kiranya langkah kearah itu tidak
akan mengurangi sikap negara dalam menghormati dan melindungi agama-agama di Indonesia.
Pengakuan dan pemberian perlindungan hukum kepada perkawinan antar agama merupakan
suatu keharusan, bila undang-undang perkawinan nasional berkehendak untuk dapat menampung
segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Masalah kepatuhan seseorang terhadap
agamanya adalah masalah pribadi para pemeluk agama. Oleh karena itu, negara wajib menjamin
kebebasan beragama dan di pihak lain berkewajiban memberikan perlindungan hukum pada
rakyatnya. Ibid., hlm. 76.

[25] Jika negara sampai melakukan tindakan diskriminatif dalam pemenuhan hak-hak warga
negaranya terutama atas dasar agama, maka hal tersebut jelas melanggar HAM. Hal ini
sebagaimana ditegaskan pada pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 yang
menyatakan bahwa “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang
langsung ataupun tak langsung di dasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku,
ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa,
keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan,
pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik
individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan sepek
kehidupan lainnya”. Pasal 3 ayat (3) juga menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas
perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi”. Beragama
merupakan salah satu hak asasi manusia dan merupakan kebebasan dasar manusia yang diatur
dan dijamin perlindungannya dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999. Diskriminasi yang
dilakukan oleh negara tersebut jelas amat berbahaya dan mengancam nilai-nilai demokrasi dan
kebebasan karena beberapa hal. Pertama, kebijakan diskriminatif yang dilakukan oleh negara
bersifat resmi melalui sejumlah regulasi. Diskriminasi demikian tentu tidak sekadar “prasangka”
yang muncul secara sporadis, tetapi bersifat sistematis-struktural yang mewarnai kebijakan-
kebijakan resmi pemerintah atas warga negaranya; kedua, karena bersifat sistematis-struktural,
maka kebijakan itu mempunyai daya paksa dan menjadi semacam blue print dari wajah negara
sendiri; dan ketiga, kebijakan diskriminatif merupakan kejahatan yang disponsori oleh negara
(state sponsored evil) dan tentu tidak bisa dibiarkan terus berlanjut.

[26] Berkaitan dengan undang-undang sebagai sistem yang terbuka adalah merupakan pendapat
Paul Scholten yang menjelaskan bahwa tujuan akhir dari sebuah hukum adalah “keadilan” yang
diartikannya sebagai memberikan perlakuan yang sama terhadap hal-hal yang sama.
Konsekuensi dari undang-undang sebagai satu siatem yang terbuka adalah sebagaimana
ungkapan Wayne R. LaFave yang dikutip oleh Satjipto Raharjo yang menyatakan bahwa “no
legislation has succeeded in formulating a code which clearly encompassed all conduct” (tidak
ada badan perundang-undangan yang telah berhasil merumuskan sebuah susunan undang-undang
yang jelas-jelas mencakup semua pri-kelakuan). Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum (Bandung:
Angkasa, 1979), hlm. 113-117. Alasan ini juga berpijak pada logika yang dinyatakan oleh
Mahkamah Agung (MA) bahwa terdapat kekosongan hukum pada pengaturan perkawinan beda
agama. Kekosongan ini tentu tidak dapat dibiarkan berlarur-larut tanpa terpecahkan secara
hukum karena membiarkan masalah tersebut berlarut-larut pasti akan menimbulkan dampak-
dampak negatif di segi kehidupan bermasyarakat maupun beragama berupa penyelundupan-
penyelundupan nilai-nilai sosial, agama, maupun hukum positif.

Suka Memuat...

Anda mungkin juga menyukai