Anda di halaman 1dari 17

PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN :

Peradilan Agama adalah salah satu diantara tiga Peradilan Khusus di


Indonesia. Dikatakan Peradilan Khusus karena Peradilan Agama mengadili
perkara-perkara perdata tertentu dan mengenai golongan rakyat
tertentu. Dalam struktur 0rganisasi Peradilan Agama, ada Pengadilan Agama
dan Pengadilan Tinggi Agama yang secara langsung bersentuhan dengan
penyelesaian perkara di tingkat pertama dan banding sebagai manifestasi dari
fungsi kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan
agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.

Peradilan agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam


dalam perkara tertentu, seperti perkawinan, waris, wakaf, zakat, infaq,
shadaqah, ekonomi syari’ah, dan perkara-perkara lain yang ditetapkan oleh
undang-undang.. Peradilan agama melaksanakan kekuasaan kehakiman yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan hukum Islam

Pokok dasar hukum peradilan agama adalah Undang-Undang No. 50


Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Undang-undang ini mengatur tentang kedudukan,
susunan, kewenangan, dan tata cara beracara peradilan agama. Selain itu, ada
juga Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menambahkan
beberapa ketentuan baru, seperti pembentukan Mahkamah Syar’iyah Aceh dan
Pengadilan Tinggi Agama.

Fungsi peradilan agama antara lain adalah Fungsi mengadili (judicial


power), Fungsi pembinaan Fungsi pengawasan, Fungsi nasehat, Fungsi
administrative dan fungsi lainnya melakukan koordinasi dalam pelaksanaan
tugas hisab dan rukyat dengan instansi lain yang terkait, seperti DEPAG, MUI,
Ormas Islam dan lain-lain, serta pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan
riset/penelitian dan sebagainya serta memberi akses yang seluas-luasnya bagi
masyarakat dalam era keterbukaan dan Transparansi Informasi Peradilan,
sepanjang diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor
KMA/144/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.

Tujuan peradilan agama di Indonesia adalah untuk menyelenggarakan


peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan hukum Islam .
Tujuan ini sesuai dengan Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 yang
menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Tujuan ini juga sejalan dengan sejarah dan perkembangan peradilan
agama di Indonesia yang selalu berusaha untuk menjaga eksistensinya sebagai
lembaga yang melayani kebutuhan hukum masyarakat Islam. Secara lebih rinci
tujuan hukum acara peradilan agama dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan


berdasarkan hukum Islam.
2. Melindungi hak-hak dan kepentingan orang-orang atau badan pribadi yang
beragama Islam dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan hukum
Islam .
3. Menyelesaikan sengketa-sengketa yang timbul di antara orang-orang atau
badan pribadi yang beragama Islam secara adil, cepat, dan efektif.
4. Mewujudkan kepastian hukum dan ketertiban hukum dalam masyarakat
Islam.

II. Asas dan Sumber Hukum Peradilan Agama

Konsep dasar dalam hukum acara peradilan agama adalah konsep yang
berkaitan dengan sumber hukum, asas, dan proses beracara di peradilan
agama . Asas dan sumber hukum peradilan agama adalah dua hal yang penting
untuk dipahami dalam mempelajari hukum acara peradilan agama. Asas adalah
prinsip-prinsip dasar yang menjadi landasan dan pedoman dalam
penyelenggaraan peradilan agama. Asas-asas hukum acara peradilan agama
antara lain adalah:

1. Asas bebas merdeka, yaitu asas yang menjamin bahwa peradilan agama
melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak terpengaruh
oleh kekuasaan lain.
2. Asas sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, yaitu asas yang menegaskan
bahwa peradilan agama merupakan bagian dari sistem peradilan nasional
yang menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
3. Asas ketuhanan, yaitu asas yang mengakui bahwa peradilan agama
berdasarkan pada nilai-nilai agama Islam dan hukum Islam sebagai sumber
hukumnya.
4. Asas fleksibilitas, yaitu asas yang memberikan kelonggaran dan kemudahan
dalam proses beracara di peradilan agama, sesuai dengan karakteristik
perkara-perkara yang berkaitan dengan hukum Islam.
5. Asas non ekstra yudisial, yaitu asas yang melarang adanya intervensi atau
campur tangan dari pihak-pihak di luar peradilan agama dalam penyelesaian
perkara-perkara di peradilan agama.
6. Asas legalitas, yaitu asas yang mengharuskan bahwa setiap tindakan dan
putusan peradilan agama harus berdasarkan pada ketentuan hukum yang
berlaku.
7. Asas personalitas keislaman, yaitu asas yang menetapkan bahwa peradilan
agama hanya berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-
perkara antara orang-orang yang beragama Islam atau telah menundukkan
diri kepada hukum Islam.
8. Asas ishlah (upaya perdamaian), yaitu asas yang mewajibkan bahwa sebelum
memutus perkara-perkara tertentu, seperti perkawinan dan waris, hakim
harus berusaha mendamaikan para pihak dengan cara-cara yang sesuai
dengan hukum Islam.
Sumber hukum adalah tempat atau asal mula dari mana hukum berasal atau
ditetapkan. Sumber-sumber hukum acara peradilan agama antara lain adalah:

1. Undang-Undang Dasar 1945.


2. Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang
merupakan sumber hukum utama yang mengatur tentang kedudukan,
susunan, kewenangan, dan tata cara beracara peradilan agama.
3. Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang merupakan
sumber hukum tambahan yang menambahkan beberapa ketentuan baru,
seperti pembentukan Mahkamah Syar’iyah Aceh dan Pengadilan Tinggi
Agama.
4. Hukum Islam, yang merupakan sumber hukum materiil yang menjadi dasar
bagi peradilan agama dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara yang berkaitan dengan hukum Islam.
5. Peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan peradilan agama, seperti
Peraturan Mahkamah Agung, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri
Agama, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Agama, dan lain-lain

III. Sejarah Perkembangan Dan Metode Peradilan Agama Di Indonesia

Peradilan agama di Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan


mengalami pasang surut. Sejak masa kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara
hingga masa kemerdekaan Indonesia, peradilan agama selalu berusaha untuk
menjaga eksistensinya sebagai lembaga yang melayani kebutuhan hukum
masyarakat Islam. Peradilan agama juga mengalami perkembangan dan
penyesuaian dengan kondisi sosial, politik, dan hukum di Indonesia. Indonesia
telah lama menerapkan hukum Islam, bahkan lebih lama dari hukum-hukum
warisan Belanda, seperti hukum perdata dan pidana.
A. Peradilan Agama pada masa Kerajaan Islam.

Peradilan pada waktu itu dilakukan dengan sangat sederhana, dimana seorang
kepala masjid biasa melakukan tindakan mengadili di Serambi-serambi masjid.
Peradilan tidak dilakukan secara formal seperti sekarang ini. Setiap orang yang
datang dan minta diadili, sekaligus dilakukan pemeriksaan dengan bukti-bukti
tertentu dan meyakinkan hakim, maka keputusan langsung diberikan tanpa
harus ditulis secara formal seperti sekarang. Pengadilan
Surambi diselenggarakan di serambi masjid dan pemimpinnya
dialihkan pada penghulu. Dalam menjalankan tugasnya, penghulu berpatokan
dengan kitab-kitab standar yang berisi ajaran hukum Islam. Sementara itu,
anggota majelis Pengadilan Surambi diisi oleh beberapa ulama dari pesantren.
Berikut beberapa kerajaan Islam yang telah menerapkan peradilan agama :

1. Kerajaan Samudera Pasai

Sultan Malik Al Saleh, pemimpin pertama Kerajaan Samudera Pasai, tercatat


telah mengangkat kadi (hakim) untuk melaksanakan ajaran hukum Islam.
Sementara raja ketiga Samudera Pasai, Sultan Malik Az Zahir, merupakan
pemimpin yang sangat taat pada agama dan berpegang pada ajaran Islam
mazhab Syafi’i. Ibnu Bathutah, seorang penjelajah Muslim yang pernah singgah
di Kerajaan Samudera Pasai, memastikan bahwa teori ketatanegaraan (hukum
tata negara) Al-Mawardi telah dilaksanakan. Dari catatan sejarah tersebut,
dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan peradilan agama telah berjalan dengan
baik. Salah satu buktinya dapat dilihat dari taatnya pemimpin pada agama
Islam, sehingga aspek hukum kerajaan pun pasti tunduk pada ketentuan
hukum Islam.
2. Kerajaan Malaka

Terdapat dua teks hukum (peraturan perundang-undangan) yang berlaku pada


masa Kerajaan Malaka. Salah satunya adalah Undang-Undang Melaka. Dalam
Undang-Undang Melaka, terdapat salah satu ketentuan mengenai pidana
pembunuhan yang disusun atas dasar hukum Islam dari Al Quran dan hukum
adat. Peradilan agama di Kerajaan Malaka dikenal sebagai lembaga kadi, yaitu
lembaga yang bertanggung jawab atas penerapan hukum Islam (lembaga
kehakiman). Namun, sifatnya tidak terlalu mengikat.

3. Kerajaan Aceh

Berbeda dengan Kerajaan Malaka yang tidak terlalu menggantungkan hukum


Islam, Kerajaan Aceh sangat kuat menerapkan hukum Islam hingga proses
peradilannya. Kerajaan Aceh memiliki dua lembaga hukum (peradilan agama)
yang berlaku, antara lain:

• Peradilan yang murni mengurusi masalah keagamaan, yaitu perilaku


masyarakat yang jelas bertentangan dengan hukum Islam. Contohnya
berjudi, minum alkohol, meninggalkan salat, dan sebagainya.
• Peradilan yang lebih mengurusi masalah kemasyarakatan. Contohnya
perkawinan, perceraian, dan warisan.

4. Kerajaan Mataram Islam Ketika Sultan Agung berkuasa (1613-1645)

Di Mataram Islam, Pengadilan Surambi, yang menjalankan peradilan


berdasarkan hukum Islam (tempat peradilan agama), didirikan. Pengadilan
Surambi diselenggarakan di serambi masjid dan pemimpinnya dialihkan pada
penghulu. Dalam menjalankan tugasnya, penghulu berpatokan dengan kitab-
kitab standar yang berisi ajaran hukum Islam. Sementara itu, anggota majelis
Pengadilan Surambi diisi oleh beberapa ulama dari pesantren. Pengadilan
Surambi berperan untuk mengadili perkara perkawinan, perceraian, waris,
zakat, wakaf, dan harta gono-gini. Pengadilan ini juga sempat mengatasi
perkara pidana, walau akhirnya dipindahkan lagi ke Pengadilan Pradata (salah
satu pengadilan di Kerajaan Mataram Islam). Keputusan yang ditetapkan dari
Pengadilan Surambi juga berfungsi sebagai nasihat bagi Sultan Agung untuk
mengambil kebijakan. Namun, sejak Sultan Agung digantikan oleh Amangkurat
I, kewenangan Pengadilan Surambi dibatasi dan pimpinan pengadilan diambil
alih lagi oleh raja. Meski dengan kewenangan terbatas, Pengadilan Surambi
masih menunjukkan keberadaannya hingga masa penjajahan Belanda. Baca
juga: Amangkurat I, Raja Kesultanan Mataram yang Zalim Kerajaan Banten
Pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), pengaruh
agama Hindu tidak lagi terasa di Banten. Hal tersebut dikarenakan terdapat
satu pengadilan yang dipimpin oleh kadi (hakim Islam) sebagai hakim tunggal.
Lembaga kadi (tempat dilaksanakannya peradilan agama atau lembaga
kehakiman) berperan penting untuk memutus perkara hukum Islam yang ketat.
Contohnya dalam kasus pengguna ganja. Namun, lembaga kadi masih
membatasi hukum Islam yang dirasa terlalu berat, seperti hukum cambuk,
hukum potong tangan, atau hukuman mati, dan menggantinya dengan denda.

5. Kerajaan Cirebon

Pelaksanaan peradilan di Kerajaan Cirebon dilakukan oleh tujuh orang menteri


yang mewakili tiga sultan. Salah satu sumber hukum untuk memutus suatu
perkara adalah Papakem Cirebon, yang berisi hukum Islam.

6. Kerajaan Gowa-Tallo

Hukum Islam menjadi komponen penting dalam perancangan undang-undang


dan perumpamaan hukum di Kerajaan Gowa-Tallo. Pelaksanaan hukum Islam
berada di tangan kadi (hakim), yang bertanggung jawab pada perkara mengenai
kemasyarakatan.
7. Kerajaan Ternate

Pihak Kerajaan Ternate membuat beberapa kebijakan yang berpatokan pada


hukum Islam, di antaranya. Pembatasan poligami Larangan kumpul bersama
sebelum menikah dan pergundikan Memangkas biaya perkawinan Mewajibkan
perempuan untuk memakai pakaian yang pantas sesuai hukum Islam Dari situ,
dapat dikatakan bahwa apabila ada yang melanggar, maka akan diadili dengan
hukum Islam pula.

B. Peradilan Agama Masa Penjajahan Belanda

Kerajaan-kerajaan Islam yang memberlakukan hukum Islam dengan sistem


peradilannya, satu demi satu jatuh-runtuh ke tangan kolonialis-imperalis
Belanda, yang dengan membawa sistem peradilannya, berusaha mendesak
peradilan yang sudah berjalan dan mapan tersebut. Sampai akhir ahad ke 19,
kalangan ahli hukum Belanda berpendapat bahwa hukum yang berlaku bagi
orang Indonesia adalah mendasarkan hukum Islam. Pendapat demikian adalah
tidak aksklusif. Banyak para ahli hukum berpendapat tentang banyaknya
percampuran antara Ajaran Islam dengan adat yang berbeda-beda, yang
keduanya tidak banyak bertentangan.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka Prof. Mr. Lodewijk Willicm Christian


Van Den Berg mengusulkan kepada pemerintah Belanda agar tidak
menghapuskan berlakunya hukum Islam beserta peradilannya. Penduduk yang
beragama Islam agar diberlakukan hukum Islam dan mendapat perlindungan
secara baik. Semua itu mencegah agar tidak terjadi aksi-aksi anti Belanda.
Untuk itu pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan yang pertama tentang
peradilan agama di Jawa, yaitu pada tanggal 7 Desember 1835 No.6 (stb 1835
no. 58). Peraturan ini pada prisipnya menyatakan bahwa kalau diantara orang
jawa timbul perkara tentang perkawinan, warisan dan sebagainya, yang harus
diputuskan menurut hukum Islam, maka kiai, penghulu atau ulama harus
memutuskan menurut hukum islam. Inilah yang kemudian disebut teori
Receptio In Complexu. Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut, berarti
pemerintahan penjajah untuk pertama kalinya secara formal mengakui
berlakunya hukum Islam dan peradilan islam. Mulai saat itu, jika di dalam
masyarakat timbul masalah-masalah yang menyangkut peradilan agama,
Belanda mulai ikut mengatur dan mengawasi secara aktif.

Pada tahun 1882, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Staatsblad


(Stbl) No 152 yang merupakan pengakuan resmi terhadap eksistensi peradilan
agama dan hukum Islam di Indonesia. Secara kelembagaan juga dibentuk
lembaga peradilan agama dengan nama Priesterraad. Dalam implementasinya,
keberadaan Priesterraad ini memiliki istilah yang berbeda-beda di setiap
wilayah. Untuk wilayah Jawa dan Madura, digunakan istilah Pengadilan Agama
untuk tingkat pertama dan Mahkamah Tinggi Islam untuk tingkat
banding. Sementara untuk wilayah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur
dengan nama Kerapatan Qodhi untuk pengadilan tingkat pertama dan
Kerapatan Qodhi Besar untuk tingkat banding.

Keberadaan lembaga peradilan agama mendapat perhatian umat Islam,


seiring dengan makin berkembang dan meluasnya ajaran Islam ke berbagai
wilayah pelosok nusantara. Dan lembaga peradilan agama ini menjadi alat
kelengkapan bagi masyarakat untuk melaksanakan hukum Islam.Mengenai
wewenang, lembaga peradilan agama di masa penjajahan memiliki
kewenangannya yang hampir sama dengan saat ini. Yang membedakan
hanyalah lembaga peradilan agama di luar Jawa dan Madura semasa
penjajahan Belanda mempunyai wewenang yang lebih luas. Namun, sekarang
hal itu disesuaikan dengan wewenang yang ada di Jawa dan Madura, karena
Jawa dan Madura dijadikan sebagai contoh untuk Pengadilan Agama lainnya

C. Peradilan Agama Masa Penjajahan Jepang

Sebegitu jauh, pendudukan jepang di Indonesia tidak membawa banyak


pengaruh terhadap lembaga-lembaga islam, termasuk didalamya peradilan
agama. Sedikit membawa kemajuan Islam di satu atau beberapa daerah saja,
yang ternyata hanya sebagai dalih saja, demi kepentingan Jepang. Para
pemimpin Islam pada waktu itu melihat adanya kesempatan untuk memulihkan
hak-hak Islam, termasuk didalamya peradilan agama, yang selama penjajahan
Belanda dibatasi perkembangannya.

Pada masa pendudukan Jepang, keberadaan lembaga peradilan agama tidak


mengalami perubahan, kecuali namanya diubah ke dalam bahasa Jepang, yaitu
Sooryo Hooin. Sementara dari sisi aturan perundangan, undang-undang yang
mengatur peradilan agama pada masa Pemerintahan Jepang sama dengan
perundang-undangan di masa Pemerintahan Belanda. Dalam periode ini, posisi
pengadilan agama hampir terancam karena pengadilan agama akan diserahkan
ke pengadilan biasa. Namun penyelesaian itu didahului dengan proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945.

D. Peradilan Agama Masa Kemerdekaan

1. Pada masa orde lama,

Peradilan agama mengalami dinamika yang berbeda dengan peradilan


lainnya, dimana peradilan agama membutuhkan proses yang panjang untuk
memperkuat eksistensinya di negara Indonesia

Pada tahun 1946, munculnya Undang-undang No. 22 Tahun 1946 tentang


pencatatan nikah, rujuk, dan talak yang berlaku untuk seluruh Indonesia
dengan Undang-undang No. 32 Tahun 1954. Setelah itu berlaku Peraturan
Pemerintah No. 45 Tahun 1957 dalam pasal 4 ayat 1 yang menetapkan
wewenang pengadilan agama.

Pada tahun 1957, pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 19 Tahun


1957 tentang peradilan agama yang merupakan undang-undang pertama yang
mengatur secara khusus tentang peradilan agama di Indonesia. Undang-
undang ini menetapkan bahwa peradilan agama adalah bagian dari kekuasaan
kehakiman yang merdeka dan mempunyai wewenang untuk mengadili perkara-
perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah di antara
orang-orang Islam.

Pada tahun 1960, pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 14 Tahun


1960 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang
menegaskan bahwa peradilan agama adalah salah satu dari empat lingkungan
peradilan di Indonesia, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan
militer, dan peradilan tata usaha negara

2. Pada Masa Orde Baru

Pada tahun 1970, pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 14 Tahun


1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang
menegaskan bahwa peradilan agama adalah salah satu dari empat lingkungan
peradilan di Indonesia, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan
militer, dan peradilan tata usaha negara. Pada tahun 1989, pemerintah
mengeluarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama yang
merupakan undang-undang pertama yang mengatur secara khusus tentang
peradilan agama di Indonesia. Undang-undang ini menetapkan bahwa
peradilan agama adalah bagian dari kekuasaan kehakiman yang merdeka dan
mempunyai wewenang untuk mengadili perkara-perkara perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah di antara orang-orang Islam

3. Pada Masa setelah Orde Baru

Pada tahun 2000, pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 35 Tahun


2000 tentang perubahan atas Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang
ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang menegaskan bahwa
peradilan agama adalah salah satu dari empat lingkungan peradilan di
Indonesia, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan
peradilan tata usaha negara.

Pada tahun 2004, pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 3 Tahun


2004 tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang
peradilan agama yang merupakan undang-undang pertama yang mengatur
secara khusus tentang peradilan agama di Indonesia. Undang-undang ini
menetapkan bahwa peradilan agama adalah bagian dari kekuasaan kehakiman
yang merdeka dan mempunyai wewenang untuk mengadili perkara-perkara
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan
ekonomi syariah di antara orang-orang yang beragama Islam.

Pada tahun 2006, pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 3 Tahun


2006 tentang perubahan atas Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang
peradilan agama yang merupakan undang-undang kedua yang mengatur secara
khusus tentang peradilan agama di Indonesia. Undang-undang ini
menambahkan wewenang peradilan agama untuk mengadili perkara-perkara
terkait dengan hukum acara pidana khusus di antara orang-orang yang
beragama Islam.

Pada tahun 2011, pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 50 Tahun


2011 tentang perubahan kedua atas Undang-undang No. 3 Tahun 2004 tentang
peradilan agama yang merupakan undang-undang ketiga yang mengatur secara
khusus tentang peradilan agama di Indonesia. Undang-undang ini
menambahkan wewenang peradilan agama untuk mengadili perkara-perkara
terkait dengan hukum acara perdata khusus di antara orang-orang yang
beragama Islam
IV. Hubungan peradilan agama dan penerapan konsep hukum Islam di
Indonesia:

Peradilan agama adalah salah satu lingkungan peradilan di Indonesia yang


berwenang untuk mengadili perkara-perkara yang berkaitan dengan hukum
Islam, seperti perkawinan, kewarisan, wakaf, zakat, dan ekonomi syariah.
Peradilan agama memiliki sejarah dan perkembangan yang panjang sejak masa
penjajahan Belanda hingga masa reformasi. Peradilan agama mengalami
dinamika yang dipengaruhi oleh faktor politik, sosial, budaya, dan agama.
Peradilan agama juga menjadi salah satu sumber hukum pembentukan hukum
nasional di Indonesia, selain hukum adat, hukum Barat, dan hukum
lainnya. Beberapa peraturan perundang-undangan Indonesia mengandung
nilai-nilai hukum Islam, seperti undang-undang tentang perkawinan, wakaf,
perbankan syariah, pengelolaan zakat, dan kompilasi hukum Islam

Peradilan agama juga berperan dalam menegakkan keadilan dan


kesejahteraan bagi masyarakat Muslim di Indonesia. Peradilan agama berusaha
untuk menerapkan konsep-konsep hukum Islam yang sesuai dengan konteks
dan kebutuhan zaman, seperti maqasid syariah, maslahah mursalah, istihsan,
istislah, dan lain-lain

A. Penerapan hukum Islam melalui infrastruktur sosial

Infrastruktur sosial adalah sistem yang menyediakan layanan dan fasilitas bagi
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar dan meningkatkan kualitas
hidup mereka. Infrastruktur sosial meliputi bidang-bidang seperti pendidikan,
kesehatan, perumahan, transportasi, komunikasi, keamanan, dan keadilan.
Penerapan hukum Islam melalui infrastruktur sosial adalah upaya untuk
mengintegrasikan nilai-nilai dan norma-norma hukum Islam dalam
penyelenggaraan dan pengembangan infrastruktur sosial di
Indonesia. Penerapan ini bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan umat,
menjaga keharmonisan sosial, dan menegakkan keadilan bagi semua warga
negara. Beberapa contoh penerapan hukum Islam melalui infrastruktur sosial
di Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Di bidang pendidikan, penerapan hukum Islam dapat dilihat dari adanya


kurikulum pendidikan agama Islam yang mengajarkan tentang aqidah,
ibadah, akhlak, muamalah, dan syariah. Selain itu, juga terdapat
lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti madrasah, pesantren, sekolah
Islam terpadu, perguruan tinggi agama Islam negeri dan swasta, serta
lembaga penelitian dan pengembangan hukum Islam.
2. Di bidang kesehatan, penerapan hukum Islam dapat dilihat dari adanya
layanan kesehatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, seperti
rumah sakit syariah, klinik syariah, asuransi kesehatan syariah, donor
darah syariah, dan lain-lain. Selain itu, juga terdapat peraturan-
peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan
kesehatan menurut hukum Islam, seperti etika kedokteran, bioetika,
reproduksi manusia, donor organ, eutanasia, dan lain-lain
3. Di bidang perumahan, penerapan hukum Islam dapat dilihat dari adanya
perumahan syariah yang menawarkan konsep hunian yang berlandaskan
syariah, seperti tanpa bunga (riba), tanpa denda (gharar), tanpa sita
(maisir), tanpa asuransi konvensional (takaful), dan lain-lain. Selain itu,
juga terdapat peraturan-peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang
berkaitan dengan perumahan menurut hukum Islam, seperti hak milik
tanah, sewa-menyewa rumah, jual-beli rumah, wakaf tanah, dan lain-lain.
4. Di bidang transportasi, penerapan hukum Islam dapat dilihat dari adanya
transportasi syariah yang menawarkan layanan transportasi yang
berlandaskan syariah, seperti taksi syariah, bus syariah, kereta api
syariah, pesawat terbang syariah, dan lain-lain. Selain itu, juga terdapat
peraturan-peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang berkaitan
dengan transportasi menurut hukum Islam, seperti etika berkendara,
tanggung jawab pengemudi dan penumpang, asuransi kendaraan
syariah, dan lain-lain.
5. Di bidang komunikasi, penerapan hukum Islam dapat dilihat dari adanya
komunikasi syariah yang menawarkan layanan komunikasi yang
berlandaskan syariah, seperti telepon seluler syariah, internet syariah,
televisi syariah, radio syariah, dan lain-lain. Selain itu, juga terdapat
peraturan-peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang berkaitan
dengan komunikasi menurut hukum Islam, seperti etika berkomunikasi,
sistem informasi syariah, media massa syariah, dan lain-lain.
6. Di bidang keamanan, penerapan hukum Islam dapat dilihat dari adanya
keamanan syariah yang menawarkan layanan keamanan yang
berlandaskan syariah, seperti polisi syariah, tentara syariah, pengadilan
syariah, hukuman syariah, dan lain-lain. Selain itu, juga terdapat
peraturan-peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang berkaitan
dengan keamanan menurut hukum Islam, seperti hukum pidana Islam,
hukum perdata Islam, hukum internasional Islam, dan lain-lain.
7. Di bidang keadilan, penerapan hukum Islam dapat dilihat dari adanya
keadilan syariah yang menawarkan layanan keadilan yang berlandaskan
syariah, seperti pengadilan agama, badan arbitrase syariah, lembaga
bantuan hukum syariah, dan lain-lain. Selain itu, juga terdapat
peraturan-peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang berkaitan
dengan keadilan menurut hukum Islam, seperti prinsip-prinsip keadilan,
hak asasi manusia, perlindungan konsumen, hak-hak minoritas, dan
lain-lain.

B. Penerapan hukum Islam melalui suprastruktur sosial

Suprastruktur sosial adalah sistem yang mencerminkan nilai-nilai, ideologi,


dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat. Suprastruktur sosial meliputi
bidang-bidang seperti agama, politik, hukum, seni, budaya, dan moral.
Penerapan hukum Islam melalui suprastruktur sosial adalah upaya untuk
mengimplementasikan nilai-nilai dan norma-norma hukum Islam dalam
penyelenggaraan dan pengembangan suprastruktur sosial di
Indonesia. Penerapan ini bertujuan untuk mewujudkan cita-cita Islam sebagai
rahmatan lil 'alamin, menjaga identitas dan keberagaman bangsa, dan
menegakkan kedaulatan dan kesejahteraan rakyat.

Beberapa contoh penerapan hukum Islam melalui suprastruktur sosial di


Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Di bidang agama, penerapan hukum Islam dapat dilihat dari adanya


kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi, pengakuan terhadap
agama-agama lain selain Islam, perlindungan terhadap hak-hak
minoritas agama, serta peran aktif organisasi-organisasi keagamaan
dalam mengembangkan dakwah, pendidikan, sosial, dan kemanusiaan.
2. Di bidang politik, penerapan hukum Islam dapat dilihat dari adanya
sistem demokrasi yang sesuai dengan prinsip-prinsip syura, partisipasi
aktif umat Islam dalam pemilu dan pemerintahan, penghormatan
terhadap hak asasi manusia dan hukum internasional, serta perjuangan
untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan sosial.
3. Di bidang hukum, penerapan hukum Islam dapat dilihat dari adanya
harmonisasi antara hukum nasional dan hukum Islam, pengembangan
peradilan agama sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman,
perlindungan terhadap hak-hak perempuan dan anak-anak, serta
penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, terorisme, narkoba,
dan lain-lain.
4. Di bidang seni, penerapan hukum Islam dapat dilihat dari adanya
kreativitas dan inovasi dalam menghasilkan karya seni yang bermutu dan
bernilai Islami, seperti sastra, musik, film, teater, lukisan, kaligrafi,
arsitektur, dan lain-lain. Selain itu, juga terdapat kritik dan apresiasi
terhadap karya seni yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, seperti
pornografi, kekerasan, penistaan agama, dan lain-lain.
5. Di bidang budaya, penerapan hukum Islam dapat dilihat dari adanya
pelestarian dan pengembangan budaya lokal yang sesuai dengan ajaran
Islam, seperti adat istiadat, bahasa daerah, pakaian tradisional, kesenian
rakyat, dan lain-lain. Selain itu, juga terdapat dialog dan kerjasama
antara budaya Islam dengan budaya lainnya, seperti budaya nasional,
budaya asing, budaya global, dan lain-lain.
6. Di bidang moral, penerapan hukum Islam dapat dilihat dari adanya
pembinaan dan peningkatan akhlak mulia bagi umat Islam, seperti iman,
taqwa, ilmu, amal shaleh, sabar, syukur, ikhlas, adil, toleran, dan lain-
lain. Selain itu, juga terdapat pencegahan dan penanggulangan terhadap
perilaku-perilaku yang merusak moralitas umat Islam, seperti
kemunafikan, kesyirikan, kezaliman, maksiat, fitnah, ghibah, namimah,
dan lain-lain.

V. KESIMPULAN

Peradilan Agama yang merupakan lambang kekuasaan hukum Islam


eksistensinya berbarengan dengan berlakunya hukum Islam, karena keduanya
tidak dapat dipisahkan. Keadaan demikian itu sudah berlangsung jauh sebelum
Indonesia dijajah Oleh Belanda. Dimasa penjajahan Belanda, eksistensi
Peradilan agama tersebut terus berlangsung, walaupun terdapat usaha-usaha
untuk mengebirinya dan dibuat mandul dan begitu pula pada masa Penjajahan
Jepang. Kenyataan ini membuktikan bahwa peradilan agama mutlak
diperlakukan oleh Umat Islam di Indonesia, yang merupakan mayoritas
penduduk. Setelah Indonesia merdeka, terutama sejak masa pemerintah orde
baru, kenyataan menunjukkan adanya kecenderungan yang lebih baik dalam
menempatkan peradilan agama didalam konstalasi peradilan di Indonesia
walaupun belum memuaskan. Semua itu sejalan dengan kesadaran dan
pengetahuan umat terhadap hukum-hukum Islam . Kesadaran hukum
masyarakat yang disalurkan melalui peradilan Agama mempunyai arti besar
dalam pembentukan politik hukum pemerintah. Dengan demikian semakin
ummat berkomitmen kepada Islam, semakin sadar perlunya hukum islam bagi
dirinya, semakin tegak dan tegarlah peradilan agama dimasa mendatang.

Anda mungkin juga menyukai