Anda di halaman 1dari 70

1

BAB I
KETENTUAAN UMUM TENTANG PENDIDIKAN AGAMA

1. ARTI PENDIDIKAN

Pendidikan adalah pengalaman belajar yang memiliki program dalam pendidikan formal,
nonformal ataupun informal di sekolah yang berlangsung seumur hidup yang bertujuan
mengoptimalisasi pertimbangan kemampuan individu, agar di kemudian hari dapat memainkan
peranan secara tepat. Sekolah adalah institusi sosial yang didirikan oleh masyarakat untuk
melaksanakan tugas-tugas pendidikan kepada generasi muda. Dalam konteks ini pendidikan
dimaknai sebagai proses untuk memanusiakan manusia untuk menuju kepada kemanusiaannya
yang berupa pendewasaan diri. Melalui pendidikan disemaikan pola pikir, nilai-nilai, dan norma-
norma masyarakat dan selanjutnya ditransformasikan dari generasi ke generasi untuk menjamin
keberlangsungan hidup sebuah masyarakat.

Dalam konteks sekolah sebagai lembaga yang melaksanakan transformasi nilai-nilai budaya
masyarakat, terdapat tiga pandangan untuk menyoal hubungan antara sekolah dengan
masyarakat, yakni perenialisme, esensialisme dan progresivisme. Pandangan perenialisme,
sekolah bertugas untuk mentransformasikan seluruh nilai-nilai yang ada dalam masyarakat
kepada setiap peserta didik, agar peserta didik tidak kehilangan jati diri dan konteks
sosialnya. Esensialisme melihat tugas sekolah adalah menyeleksi nilai-nilai sosial yang pantas
dan berguna untuk ditransformasikan pada peserta didik sebagai persiapan bagi perannya di masa
depan. Peran sekolah yang lebih maju ada pada progresivisme yang menempatkan sekolah
sebagai agen perubahan (agent of change) yang tugasnya adalah mengenalkan nilai-nilai baru
kepada peserta didik yang akan mengantarkan peran mereka di masa depan.

Pendidikan mempunyai makna yang lebih luas dari pembelajaran, tetapi pembelajaran
merupakan sarana yang ampuh dalam menyelenggarakan pendidikan. Jadi pembelajaran
merupakan bagian dari pendidikan. Pendidikan sebagai usaha sadar yang dilakukan oleh
keluarga, masyarakat dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pembelajaran, dan atau
2

latihan yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah. Proses pembelajaran merupakan proses
yang mendasar dalam aktivitas pendidikan di lembaga pendidikan. Dari proses pembelajaran
tersebut peserta didik memperoleh hasil belajar yang merupakan hasil dari suatu interaksi tindak
belajar yaitu mengalami proses untuk meningkatkan kemampuan mentalnya dan tindak mengajar
yaitu membelajarkan peserta didik.

Pengetian pendidikan Menurut UU No. 20 Tahun 2003: Pengertian pendidikan


berdasarkan UU No.20 Tahun 2003 adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar pesertadidik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI): Pendidikan yakni satu sistem evaluasi
untuk tiap-tiap individu untuk meraih pengetahuan serta pemahaman yang lebih tinggi tentang
objek spesifik serta khusus. Pengetahuan yang didapat secara resmi itu menyebabkan pada tiap-
tiap individu yakni mempunyai pola fikir, tingkah laku serta akhlak yang sesuai dengan
pendidikan yang diperolehnya.

Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai upaya untuk memajukan budi pekerti,


pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup dan menghidupkan anak
yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Lebih lanjut beliau ( Kerja Ki Hajar Dewantara
1962:14) menjelaskan bahwa “Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan
bertumbuhnya budi pekerti ( kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak; dalam
pengertian Taman Siswa tidak boleh dipisah-pisahkan bagian-bagian itu, agar supaya kita dapat
memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik
selaras dengan dunianya “.

Dalam bahasa Arab pendidikan disebut tarbiyah yang diambil dari Rabba  yang bermakna


memelihara, mengurus, merawat, mendidik. Dalam literatur-literatur berbahasa Arab
kata Tarbiyah  mempunyai bermacam-macam definisi yang intinya sama mengacu pada
proses pengembangan potensi yang dianugerahkan pada manusia. Definisi-definisi itu antara lain
sebagai berikut:
3

1. Tarbiyah  adalah proses pengembangan dan bimbingan jasad, akal dan jiwa yang
dilakukan secara berkelanjutan sehingga mutarabbi (anak didik) bisa dewasa dan mandiri
untuk hidup di tengah masyarakat. (Ath-Thabari 67)
2. Tarbiyah  adalah kegiatan yang disertai dengan penuh kasih sayang, kelembutan hati,
perhatian bijak dan menyenangkan; tidak membosankan.( Al-Maraghi, Juz V; 34)
3. Tarbiyah  adalah proses yang dilakukan dengan pengaturan yang bijak dan dilaksanakan
secara bertahap dari yang mudah kepada yang sulit.
4. Tarbiyah  adalah mendidik anak melalui penyampaian ilmu, menggunakan metode yang
mudah diterima sehingga ia dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari (Fathul
Bari Jilid I; 162 )
5. Tarbiyah  adalah kegiatan yang mencakup pengembangan, pemeliharaan, penjagaan,
pengurusan, penyampaian ilmu, pemberian petunjuk, bimbingan, penyempurnaan dan
perasaan memiliki terhadap anak didik. (Al-Maraghi jilid III: 79).

Dalam definisi–definisi di atas tersirat unsur-unsur pembelajaran yaitu ta‟lim dan tadris


(Instruction) tahdib dan ta‟dib  (penanaman akhlak mulia) dan Tadrib (Training–pelatihan).
Beberapa konsep pendidikan Islam di antaranya ialah tarbiyah, ta’lim, ta’dib. Menurut kamus
bahasa arab lafadz At-Tarbiyah berasal dari tiga kata yaitu yang pertama raba-yarbu yang berarti
bertambah dan bertumbuh, kedua rabiya-yarba kata ini mengikuti wazan khafiyayakhfa yang
berarti menjadi besar, ketiga rabba-yarubbu merupakan kata yang mengikuti wazan madda-
yamuddu yang artinya memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga, dan memelihara.
Kata tarbiyah merupakan mashdar dari rabba-yurabbiy-tarbiyatan dengan mengikuti wazan
fa’ala-yaf’ilu-taf’ilan. Kata ini ditemukan dalam Al-Qur’an surah al-Isra’ ayat 24;

‫ص ِغي ۬ ًرا‬
َ ‫َاح ٱل ُّذ ِّل ِمنَ ٱلر َّۡح َم ِة َوقُل رَّبِّ ۡٱر َحمۡ هُ َما َك َما َربَّيَانِى‬
َ ‫ض لَهُ َما َجن‬ ۡ ‫و‬ 
ۡ ِ‫ٱخف‬ َ
Artinya: Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah
mendidik aku waktu kecil

Dari ketiga asal kata tersebut dapat disimpulkan bahwa tarbiyah memiliki empat unsur
yaitu: menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang baligh, mengembangkan seluruh potensi
4

dan kesiapan yang bermacam-macam, mengarahkan seluruh fitrah dan potensi anak menuju
kepada kebaikan dan kesempurnaan yang layak baginya, proses ini dilaksanakan secara bertahap.

Ta’lim merupakan sebuah proses pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian,


tanggung jawab, dan penanaman amanah, sehingga terjadi penyucian atau pembersihan diri
manusia dari segala kotoran yang menjadikan diri manusia itu berada dalam suatu kondisi yang
bisa memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari segala yang bermanfaat dan
yang tidak diketahuinya.

Dalam UU RI No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi di dalam Pertimbangan


huruf “a” menjelaskan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengamanatkan kepada Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
dan akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa serta memajukan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa
untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Uuntuk UU ni ada Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2019 tentang Pendidikan Tinggi di dalam BAB
I KETENTUAN UMUM Pasal 1 menjelaskan bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar mahasiswa secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Selanjutnya di dalam Pasal 1 angka 1, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara.
Di dalam Pasal 5 menentukan tentang tujuan Pendidikan Tinggi adalah:
a. berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa;
5

b. dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk
memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa;
c. dihasilkannya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui Penelitian yang memperhatikan dan
menerapkan nilai Humaniora agar bermanfaat bagi kemajuan bangsa, serta kemajuan
peradaban dan kesejahteraan umat manusia; dan
d. terwujudnya Pengabdian kepada Masyarakat berbasis penalaran dan karya Penelitian yang
bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Di dalam Pasal 35 (1) menjelaskan mengenai Kurikulum pendidikan tinggi; merupakan
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan ajar serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
Pendidikan Tinggi. (2) Kurikulum Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikembangkan oleh setiap Perguruan Tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan
Tinggi untuk setiap Program Studi yang mencakup pengembangan kecerdasan intelektual,
akhlak mulia, dan keterampilan. (3) Kurikulum Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib memuat mata kuliah:
a. agama;
b. Pancasila;
c. kewarganegaraan; dan
d. bahasa Indonesia.
Di dalam Penjelasan Pasal 35 Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “mata kuliah agama”
adalah pendidikan untuk membentuk Mahasiswa menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.
Pendidikan agama memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan mata pelajaran
lainnya. Karakteristik Pendidikan Agama Islam adalah:
1. Menjaga akidah peserta didik agar tetap kokoh dalam situasi dan kondisi apa pun;
2. Menjaga dan memelihara ajaran dan nilai-nilai yang tertuang dan terkandung dalam Alquran
dan Hadis serta otentisitas keduanya sebagai sumber utama ajaran Islam;
3. Menonjolkan kesatuan iman, ilmu dan amal dalam kehidupan keseharian;
4. Berusaha membentuk dan mengembangkan kesalehan individu dan sekaligus kesalehan
sosial;
6

5. Menjadi landasan moral dan etika dalam pengembangan ipteks dan budaya serta aspek-
aspek kehidupan lainnya;
6. Substansinya mengandung entitas-entitas yang bersifat rasional dan supra rasional;
7. Berusaha menggali, mengembangkan dan mengambil ibrah dari sejarah dan kebudayaan
(peradaban) Islam; dan
8. Mengandung pemahaman dan penafsiran yang beragam, sehingga memerlukan sikap
terbuka dan toleran atau semangat ukhuwah Islamiyah.

Pendidikan agama yang berorientasi pada peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa perlu dijadikan core pengembangan pendidikan di sekolah,
terutama dalam mengantisipasi krisis moral atau akhlak, termasuk di dalamnya meningkatkan
mutu pendidikan.

 FUNGSI PENDIDIKAN
Pada prinsipnya, terdapat empat fungsi utama pendidikan:
 Sosialisasi
 Integrasi sosial
 Penempatan sosial
 Inovasi sosial

 Sosialisasi
Ketika seseorang diharapkan untuk dapat hidup mandiri di tengah-tengah masyarakat nantinya,
maka nilai dan norma yang berlaku di masyarakat harus diturunkan pada peserta didik. Di sini
peserta didik dituntut untuk mempelajari nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Proses
mempelajari nilai dan norma yang berlaku ini disebut sebagai sosialisasi. Insitusi sosial seperti
keluarga dan lembaga pendidikan memiliki fungsi untuk menjalankan fungsi ini.

 Integrasi sosial
Agar masyarakat dapat bekerja sebagaimana mestinya, tanpa muncul konflik yang merugikan
kehidupan sosial, maka individu harus mengikuti nilai-nilai yang telah diyakini bersama. Proses
7

mengikuti atau ikut meyakini nilai-nilai yang telah diikuti oleh individu atau kelompok lain
dalam masyarakat disebut sebagai proses integrasi sosial.

 Penempatan sosial
Anak didik yang menjalani proses pendidikan diidentifikasi oleh pendidik mengenai kepribadian,
karakter, keterampilan dan keahliannya. Proses identifikasi ini menentukan penempatan di posisi
sosial mana anak didik kelak berlabuh. Sebagai contoh, individu yang dididik ilmu kedokteran,
maka penempatan yang sesuai adalah di Institusi kesehatan atau dimanapun individu tersebut
bisa berkontribusi pada kesehatan masyarakat. Penempatan sosial yang sesuai dengan
pendidikannya mendorong berfungsinya pendidikan sebagai penempatan sosial individu atau
kelompok.

 Inovasi sosial
Fungsi pendidikan sebagai inovasi sosial terkait erat dengan segala macam penemuan-penemuan
baru di berbagai bidang yang mempengaruhi kehidupan sosial. Adanya penemuan-penemuan
baru yang mengubah dunia baik dalam skala kecil atau pun besar apabila individu yang terlibat
dalam penemuan tidak mengalami proses pendidikan terlebih dahulu. Sebagai contoh, seorang
intelektual harus membaca banyak buku sebelum menciptakan konsep ideologis yang dianut
suatu negara. Pencetus Pancasila, misalnya, tidak mungkin merumuskan pancasila tanpa tempaan
intelektual yang mendahuluinya.

Fungsi pendidikan Islam, dijelaskan dalam Al-Qur'an surat Al Baqarah ayat 151:

ْ ُ‫ب َو ۡٱل ِحڪۡ َمةَ َويُ َعلِّ ُم ُكم َّما لَمۡ تَ ُكون‬
)١٥١( َ‫وا ت َۡعلَ ُمون‬ ْ ُ‫َك َمٓا أَ ۡر َس ۡلنَا فِيڪُمۡ َرسُو ۬الً ِّمنڪُمۡ يَ ۡتل‬
َ ‫وا َعلَ ۡي ُكمۡ َءايَ ٰـتِنَا َويُ َز ِّكيڪُمۡ َويُ َعلِّ ُمڪُ ُم ۡٱل ِكتَ ٰـ‬

“Sebagaimana kami telah mengutus kepada kamu sekalian seorang Rasul di antara kau yang
membacakan ayat-ayat Kami kepadamu, menyucikan mu, mengajarkan al-Kitab, dan al-hikmah,
dan mengajarkan kepadamu yang belum kamu ketahui".

Dari ayat di atas ada lima 5 fungsi pendidikan yang dibawa Nabi Muhammad, yang
dijelaskan dalam tafsir al-Manar karangan Muhammad Abduh:
8

a. Membacakan ayat-ayat kami, (ayat-ayat Allah) ialah membacakan ayat-ayat dengan tidak
tertulis dalam al-Quran (al-Kauniyah), ayat-ayat tersebut tidak lain adalah alam semesta.
Dan isinya termasuk diri manusia sendiri sebagai mikro kosmos.
b. Dengan kemampuan membaca ayat-ayat Allah wawasan seseorang semakin luas dan
mendalam, sehingga sampai pada kesadaran diri terhadap wujud zat Yang Maha Pencipta
(yaitu Allah).
c. Menyucikan diri merupakan efek langsung dari pembacaan ayat-ayat Allah setelah
mengkaji gejala-gejalanya serta menangkap hukum-hukumnya. Yang dimaksud dengan
penyucian diri menjauhkan diri dari syirik (menyekutukan Allah) dan memelihara akhlaq
al-karimah.  Dengan sikap dan perilaku demikian fitrah kemanusiaan manusia akan
terpelihara.
d. Yang dimaksud mengajarkan al-kitab ialah al-Quran al-karim yang secara eksplisit berisi
tuntunan hidup. Bagaimana manusia berhubungan dengan Tuhan, dengan sesama
manusia dan dengan alam sekitarnya.
e. Hikmah, menurut Abduh adalah hadits, akan tetapi kata al-hikmah diartikan lebih luas
yaitu kebijaksanaan, maka yang dimaksud ialah kebijaksanaan hidup berdasarkan nilai-
nilai yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Walaupun manusia sudah memiliki
kesadaran akan perlunya nilai-nilai hidup, namun tanpa pedoman yang mutlak dari Allah,
nilai-nilai tersebut akan nisbi. Oleh karena itu, menurut Islam nilai-nilai kemanusiaan
harus disadarkan pada nilai-nilai Ilahi (al-Quran dan sunnah Rasulullah).
f. Mengajarkan ilmu pengetahuan, banyak ilmu pengetahuan yang belum terungkap, itulah
sebabnya Nabi Muhammad mengajarkan pada umatnya ilmu pengetahuan yang belum
diketahui oleh umat sebelumnya, karena tugas utamanya adalah membangun akhlak al-
Karimah.

Manusia diciptakan dengan bentuk paling sempurna. Ia tidak hanya berujud fisik maupun
psikisnya saja akan tetapi dilengkapi dengan unsur ruh yang berasal dari diriNya. Tiupan ruhNya
ini menjadikan manusia mampu memanifestasikan sifat-sifatNya di bumi. Adanya ruh ini
menyebabkan manusia dapat tampil beda dan keberadaannya menjadi sangat mungkin paling
berkualitas dibanding makhluk lain termasuk dengan malaikat. Keunggulan ini menyebabkan
manusia mampu memikul beban dan tanggung jawab (taklif) serta mendapatkan predikat
9

khalifatullah fil ardhi. Maksudnya adalah manusia mampu menjadi mandataris untuk
menerjemahkan, menjabarkan dan mewujudkan fungsi Allah sebagai rabbul-a’lamin dan
rabbunnas di dunia ini.
Allah telah menciptakan manusia dan menjadikannya sebagai "khalifah" di muka bumi (QS
Al-Baqarah [2]: 30;
ۖ
ُ ِ‫ض َخلِيفَ ۬‌ةً قَالُ ٓو ْا أَت َۡج َع ُل فِيہَا َمن ي ُۡف ِس ُد فِيہَا َويَ ۡسف‬
‫ك‬ ‫أۡل‬ ۬ ۡ َ ُّ‫َوإِ ۡذ قَا َل َرب‬
ِ ‫ك لِل َملَ ٰـ ٓ ِٕٕٮِـ َك ِة إِنِّى َجا ِع ٌل فِى ٱ َ ۡر‬
)٣٠( َ‫ال إِنِّ ٓى أَ ۡعلَ ُم َما اَل ت َۡعلَ ُمون‬ ‌َۖ َ‫ك َونُقَ ِّدسُ ل‬
َ َ‫ك ق‬ َ ‫ٱل ِّد َمٓا َء َون َۡح ُن نُ َسبِّ ُح بِ َحمۡ ِد‬
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak
menjadikan [khalifah] di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".

Al-An'am: 165);
۬ ُ َۡ ۡ َ ۙ ُ
‫ت إِ ًذا َو َمٓا أَن َ۟ا‬ َ ‫يت أَ ۡن أَ ۡعبُ َد ٱلَّ ِذينَ ت َۡد ُعونَ ِمن ُدو ِن ٱهَّلل ۚ‌ِ قُل ٓاَّل أَتَّبِ ُع أَ ۡه َوٓا َءڪمۡ‌ قد‬
‫ضلل‬ ُ ‫قُ ۡل إِنِّى نُ ِہ‬
َ‫ِمنَ ۡٱل ُم ۡهتَ ِدين‬
Artinya: Katakanlah: "Sesungguhnya aku dilarang menyembah tuhan-tuhan yang kamu sembah
selain Allah". Katakanlah: "Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku
jika berbuat demikian dan tidaklah [pula] aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk". 

Khalifah menurut arti dasarnya adalah "pengganti, kuasa, atau wakil". Dengan pengangkatan
manusia menjadi khalifah mengandung pengertian bahwa pada hakikatnya kehidupan manusia di
alam dunia (bumi) ini mendapat tugas khusus dari Allah untuk menjadi "pengganti, wakil atau
kuasa-Nya" dalam mewujudkan segala kehendak dan kekuasaan-Nya di muka bumi, serta segala
fungsi dan kedudukan. Status manusia sebagai khalifah mengandung peran sebagai
pengemban/pelaksana fungsi penciptaan dan rububiyah-Nya terhadap alam semesta, agar proses
penciptaan dan pertumbuhan serta perkembangan alam semesta (dengan segala isinya) ini tetap
berlangsung secara berkesinambungan dan tercapai tujuan penciptaannya. Agar manusia mampu
menjadi khalifah, maka Allah telah menciptakan manusia dan menyiapkannya serta memberinya
10

kelengkapan dan sarana yang diperlukan dengan sebaik-baiknya. Allah telah menciptakan
manusia dengan struktur dasar penciptaan yang sebaik-baiknya (QS Al-Tin: 4).

 ‫لَقَ ۡد خَ لَ ۡقنَا ٱإۡل ِ ن َسـٰنَ فِ ٓى أَ ۡح َس ِن ت َۡق ِو ۬ ٍيم‬ 


Artinya: sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.

Kaitannya sebagai khalifah di bumi manusia dituntut dapat mengemban amanat secara baik
dan penuh tanggung jawab serta menempatkan dirinya secara konsekuen dan proporsional dalam
hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia dan lingkungan alam. Sejalan dengan fungsinya
itu maka kepada manusia dianugerahkan oleh penciptaNya berbagai potensi yang dapat
dikembangkan melalui bimbingan dan tuntunan yang terarah dan berkesinambungan. Hal ini
mengindikasikan bahwa manusia adalah mahluk yang berpotensi untuk dididik, dapat
dikembangkan potensinya sekaligus mampu mengembangkan dirinya.

Berdasarkan pada penjelasan al-Qur’an bahwa di dalam diri manusia terdapat potensi yang
baik dan yang jelek. Potensi tersebut antara lain untuk potensi untuk bertumbuh dan berkembang
secara fisik (QS. 23: 12-14)

‫ ُث َّم َخ َل ۡق َنا‬ )١٣( ‫ِين‬ ۬ ۡ ۡ ۬ ‫إۡل‬


ٍ ۬ ‫ار َّمك‬ ٍ ۬ ‫ ُث َّم َج َعل َن ٰـ ُه ُنط َف ًة فِى َق َر‬ )١٢( ‫ين‬ ٍ ۬ ِ‫َو َل َق ۡد َخ َل ۡق َنا ٱ ِن َس ٰـ َن مِن ُس َل ٰـ َل ٍة مِّن ط‬
ۡ ‫ُض َغ ۬ ًة َف َخ َل ۡق َنا ۡٱلم‬
‫ُض َغ َة عِ َظ ٰـ ۬ ًما َف َك َس ۡو َنا ۡٱل ِع َظ ٰـ َم َل ۡح ۬ ًما ُث َّم أَن َش ۡأ َن ٰـ ُه َخ ۡل ًقا‬ ۡ ‫ٱل ُّن ۡط َف َة َع َل َق ۬ ًة َف َخ َل ۡق َنا ۡٱل َع َل َق َة م‬
َ ‫ك ٱهَّلل ُ أَ ۡح َسنُ ۡٱل َخ ٰـلِق‬
)١٤( ‫ِين‬ َ ‫اخ َۚ‌ر َف َت َب‬
َ ‫ار‬ َ ‫َء‬
Artinya: Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati [berasal] dari
tanah. (12) Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani [yang disimpan] dalam tempat yang
kokoh [rahim]. (13) Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah
itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang
[berbentuk] lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. (14)

Dan juga potensi untuk tumbuh dan berkembang secara mental spiritual, meliputi
kemampuan untuk berbicara (QS.55: 4);

)٤( َ‫عَلَّ َمهُ ۡٱلبَيَان‬


11

Artinya: Mengajarnya pandai berbicara.

Menguasai ilmu pengetahuan melalui proses tertentu dengan mengajarkan manusia dengan
kalam (baca tulis) dan segala apa yang tidak diketahuinya (QS. 96: 4-5);

ٍ َ‫ق ٱإۡل ِ ن َسـٰنَ ِم ۡن َعل‬


)٢( ‫ق‬ َ َ‫ك ٱلَّ ِذى خَ ل‬
َ َ‫ َخل‬ )١( ‫ق‬ ۡ ِ‫ ۡٱق َر ۡأ ب‬ 
َ ِّ‫ٱس ِم َرب‬
Artinya: Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (5) Ketahuilah!
Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas

Kemampuan untuk mengenal Tuhan atas dasar perjanjian awal di dalam ruh dalam bentuk
kesaksian (QS. 7: 172);

‌ٰۛ َ‫وا بَل‬


‫ى‬ ُ ‫ُور ِهمۡ ُذرِّ يَّتَہُمۡ َوأَ ۡشہَ َدهُمۡ َعلَ ٰ ٓى أَنفُ ِس ِہمۡ أَلَ ۡس‬
ْ ُ‫ت بِ َربِّ ُك ۖمۡ‌ قَال‬ ِ ‫ك ِم ۢن بَنِ ٓى َءا َد َم ِمن ظُه‬ َ ُّ‫إِ ۡذ أَخَ َذ َرب‬
)١٧٢( َ‫ڪنَّا ع َۡن هَ ٰـ َذا َغ ٰـفِلِين‬ ْ ُ‫َش ِه ۡدنَ ۛٓا‌ أَن تَقُول‬
ُ ‫وا يَ ۡو َم ۡٱلقِيَ ٰـ َم ِة إِنَّا‬
Artinya: Dan [ingatlah], ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka [seraya berfirman]: "Bukankah
Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul [Engkau Tuhan kami], kami menjadi saksi".
[Kami lakukan yang demikian itu] agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya
kami [bani Adam] adalah orang-orang yang lengah terhadap ini [keesaan Tuhan]", (172)

Selain potensi yang baik atau positif manusia juga dibekali potensi lain yang berpeluang
untuk mendorong manusia ke arah tindakan, sikap, serta perilaku negatif dan merugikan. Potensi
tersebut antara lain ditampilkan dalam bentuk kecenderungan manusia untuk berlaku dzolim dan
mengingkari nikmat (QS. 14: 34);

َ ‫وا نِ ۡع َمتَ ٱهَّلل ِ اَل تُ ۡحصُوهَ ۗٓا‌ إِ َّن ٱإۡل ِ ن َسـٰنَ لَظَلُو ۬ ٌم‬
‫ڪفَّا ۬ ٌر‬ ْ ‫ڪ ِّل َما َسأ َ ۡلتُ ُمو ۚ‌هُ َوإِن تَ ُع ُّد‬
ُ ‫َو َءاتَ ٰٮ ُكم ِّمن‬

Artinya: Dan Dia telah memberikan kepadamu [keperluanmu] dari segala apa yang kamu
mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung ni’mat Allah, tidaklah dapat kamu
menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari [ni’mat
Allah].
12

Tidak berterima kasih dan mudah putus asa (QS. 11: 9);

)٩( ‫ڪفُو ۬ ٌر‬ ۬ ‫ۥ لَئَـُـ‬ ُ‫َولَٕٮِـ ۡن أَ َذ ۡقنَا ٱإۡل ن َسـٰنَ ِمنَّا َر ۡحم ۬ةً ثُ َّم نَزَ ۡعنَ ٰـهَا ِم ۡنهُ إنَّه‬
َ ٌ‫ُٔوس‬ ِ َ ِ ِٕ
Artinya: Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat [ni’mat] dari Kami, kemudian
rahmat itu Kami cabut daripadanya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih

Sombong apabila telah berkecukupan dan (QS. 3: 181)


ْ ُ‫لَّقَ ۡد َس ِم َع ٱهَّلل ُ قَ ۡو َل ٱلَّ ِذينَ قَالُ ٓو ْا إِ َّن ٱهَّلل َ فَقِي ۬ ٌر َون َۡح ُن أَ ۡغنِيَٓا ُۘ‌ء َسن َۡكتُبُ َما قَال‬
‫وا َوقَ ۡتلَهُ ُم ٱأۡل َ ۢنبِيَٓا َء بِغ َۡي ِر‬
)١٨١( ‫يق‬ ِ ‫اب ٱل َح ِر‬
ۡ َ ‫وا َع َذ‬ ْ ُ‫ق َونَقُو ُل ُذوق‬ ٍّ ۬ ‫َح‬

Artinya: Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan orang-orang yang mengatakan:


"Sesungguhnya Allah miskin dan kami kaya". Kami akan mencatat perkataan mereka itu dan
perbuatan mereka membunuh nabi-nabi tanpa alasan yang benar, dan Kami akan mengatakan
[kepada mereka]: "Rasakanlah olehmu azab yang membakar." 

Cenderung lalai terhadap tugas dan tanggungjawabnya (QS. 21: 12);

)١٢( َ‫ُّوا بَ ۡأ َسنَٓا إِ َذا هُم ِّم ۡنہَا يَ ۡر ُكضُون‬


ْ ‫فَلَ َّمٓا أَ َحس‬
Artinya: Maka tatkala mereka merasakan azab Kami, tiba-tiba mereka melarikan diri dari
negerinya.

Kecenderungan potensi negatif ini pada saatnya pasti akan membawa kerugian dan
menghambat tugas kekhalifahannya. Karenanya sebagai makhluk alternatif manusia diharuskan
selalu berupaya mengatasi segala hambatan dan meminimalisasi sekecil mungkin potensi-potensi
negatif yang ada pada dirinya serta tidak larut dalam bawaan dorongan negatif yang pasti akan
menghancurkannya. Sejalan dengan potensi yang dimiliki manusia maka proses dan peran
pendidikan menjadi amat krusial, terutama apabila dititik beratkan pada upaya untuk
mengembangkan potensi positifnya. Potensi positif yang dimiliki manusia itu melalui proses
pendidikan diharapkan dapat menciptakan motivasi dan daya kreasi yang dapat menghasilkan
sejumlah aktivitas berupa pemikiran (ilmu pengetahuan), merekayasa temuan-temuan baru dalam
berbagai bidang. Dengan demikian manusia dapat menjadikan dirinya sebagai mahluk yang
13

berbudaya dan berperadaban. Untuk mencapai maksud tersebut proses pendidikan harus selalu
diarahkan pada usaha pengembangan potensi individu, sehingga manusia tersebut sampai dapat
memahami dan mengetahui jati diri dan tanggungjawabnya sebagai mahluk hidup. Bagian
terpenting dalam diri manusia adalah akal. Karena dengan akal inilah menjadikan manusia
berbeda dengan mahluk yang lain. Kreatifitas manusia tidak akan pernah lahir apabila tidak
memiliki akal. Adanya akal menyebabkan manusia mengalami perubahan dan kemajuan di
dalam hidupnya. Makhluk selain manusia cara hidupnya selalu tetap, statis, dan tidak mengalami
perubahan atau kemajuan. Sekedar contoh, cara hidupnya burung di mana seribu tahun yang lalu
hingga burung saat ini selalu mencari makan di pagi hari dan pulang setelah senja tiba, mereka
tidak pernah berfikir membuat lumbung atau bercocok tanam dengan model pertanian modern.
Hal ini disebabkan mereka tidak dilengkapi dengan akal. Oleh karenanya ketajaman akal harus
selalu diasah melalui pendidikan.

Mengenai akal M.Quraish Shihab telah menjelaskan sebagai berikut:


(a) Daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu. (QS.29: 43),
(b) Dorongan moral. (QS.6: 51), dan
(c) Daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta hikmah. (QS.67: 10).
Daya menggabungkan kedua di atas, sehingga ia mengandung daya memahami, daya
menganalisis, dan menyimpulkan serta dorongan moral yang disertai dengan kematangan
berfikir.

Pendidikan tidak boleh lepas dari pencerahan akal secara komprehensif. Artinya
pendidikan tidak cukup hanya dimaksudkan untuk pencerahan otak semata akan tetapi harus
diarahkan pada penegakkan keadilan, demokratisasi dan berpihak pada kepentingan publik
bahkan meningkatkan pertumbuhan nilai-nilai spiritualitas dan religiusitas. Allah telah
memberikan bimbingan dan pengarahan kepada manusia agar ia mampu melaksanakan fungsi
dan tugas hidupnya sebagai khalifah tersebut dengan sebaik-baiknya; Proses penciptaan dan
pembimbingan manusia agar mampu melaksanakan tugas kekhalifahan di bumi ini, disebut
sebagai proses dan fungsi rububiyah Allah terhadap manusia dan inilah hakikat yang sebenarnya
dan sekaligus merupakan sumber dari pendidikan menurut ajaran Islam.
14

Di dalam khazanah pemikiran Islam terdapat konsep Tauhid Rububiyah, yang bertolak
dari pandangan dasar bahwa hanya Allah yang mendidik, mengatur, memelihara alam seisinya.
Alam ini diserahkan oleh Allah kepada manusia (sebagai khalifah) untuk diolah, sehingga
manusia dituntut untuk mampu menggali dan menemukan ayat-ayat-Nya (tanda-tanda
keagungan dan kebesaran-Nya) di alam semesta ini yang serba seimbang, teratur dan terpelihara
dengan baik. Jika konsep tauhid ini dijadikan landasan dalam aktivitas pendidikan, maka akan
berimplikasi pada proses pendidikan yang lebih banyak memberi kesempatan kepada peserta
didik untuk mengadakan penelitian, eksperimen di laboratorium, problem solving terhadap
masalah-masalah sosial dan sebagainya. Dengan demikian, proses pendidikan akan
menghasilkan nilai-nilai positif yang berupa sikap rasional empirik, objektif-empirik, objektif-
matematis.

 TUJUAN PENDIDIKAN

Tujuan Pendidikan Nasional dalam UUD 1945 (versi Amandemen) 1) Pasal 31, ayat (3)
menyebutkan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” 2) Pasal 31, ayat 5
menyebutkan, “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang
tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan
umat manusia.”
Berdasarkan MPRS No. 2 Tahun 1960 bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk
pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan yang dikehendaki oleh pembukaan UUD
1945 dan isi UUD 945.
Berdasarkan UU No. 2 Tahun 1985 yang berbunyi bahwa tujuan pendidikan yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsadan mengembangkan manusia yang seutuhnya yaitu yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan
mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan bangsa.
Berdasarkan UU. No.20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 3,
bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
15

manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.

Tujuan Pendidikan Menurut UNESCO “dalam upaya meningkatkan kualitas suatu bangsa,


tidak ada cara lain kecuali melalui peningkatan mutu pendidikan. Berangkat dari pemikiran itu,
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui lembaga UNESCO (United Nations, Educational,
Scientific and Cultural Organization) mencanangkan empat pilar pendidikan baik untuk masa
sekarang maupun masa depan, yakni: (1) learning to Know, (2) learning to do (3) learning to be,
dan (4) learning to live together. Dimana keempat pilar pendidikan tersebut menggabungkan
tujuan-tujuan IQ, EQ dan SQ”.

Tujuan Pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu pada kehidupan
pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi
dan sebagai profesi di antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat. Pendidikan Islam adalah
adalah pembentukan kepribadian muslim, atau perubahan sikap dan tingkah laku sesuai dengan
petunjuk ajaran Islam. Pendidikan Islam pada dasarnya merupakan pendidikan yang bertujuan
untuk membentuk pribadi Muslim seutuhnya (kaffah), mengembangkan seluruh potensi manusia
baik yang berbentuk jasmani maupun rohani. Pendidikan Islam merupakan kegiatan yang
dilaksanakan dengan terencana dan sistematis untuk mengembangkan potensi anak didik
berdasarkan pada kaidah-kaidah agama Islam. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang
bertujuan untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan pribadi manusia secara menyeluruh
melalui latihan-latihan kejiwaan, akal pikiran, kecerdasan, perasaan serta panca indera yang
dimilikinya.
Tujuan akhir pendidikan adalah pembentukan tingkah laku Islami (akhlak mulia) dan
kepasrahan (keimanan) kepada Allah berdasarkan pada petunjuk ajaran Islam (Al-Qur’an dan
Hadits). Kehadiran Pendidikan Agama Islam yang dipijakkan kepada aqidah dan keyakinan
tauhid di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang telah tertanam aqidah dan keyakinan
Paganisme, Majusianisme, Nashranianisme dan Yahudianisme ini menarik untuk ditelaah, tidak
saja karena Pendidikan Agama Islam telah mampu mengeluarkan masyarakat dari
keterpurukannya selama beratus-ratus tahun, tetapi yang lebih penting untuk digali, adalah
16

bagaimana eksistensi pendidikan agama Islam yang tauhidian itu sendiri, baik secara
institusional, materi, metodologis, kurikulum maupun epistemologisnya.

Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana dikutip oleh Majid ‘Irsan Al-kaylani tujuan
pendidikan Islam ada empat yaitu tercapainya pendidikan tauhid dengan cara mempelajari ayat
Allah dalam wayu-Nya dan ayat-ayat fisik (afaq) dan psikis (anfus), mengetahui ilmu Allah
melalui pemahaman terhadap kebenaran makhluk-Nya, mengetahui kekuatan (qudrah) Allah
melalui pemahaman jenis, kuantitas, dan kreativitas makhluk-Nya, mengetahui apa yang
diperbuat Allah (sunnah Allah) tentang realitas (alam) dan jenis-jenis perilakunya yang
bersumber pada Al-Quran dan Sunah Rasul saw. Kedudukan Al-Quran sebagai sumber pokok
pendidikan Islam dapat dipahami dari ayat Al-Qur’an itu sendiri.

Sumber yang kedua, yaitu As-Sunnah. Amalan yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW dalam
proses perubahan hidup sehari-hari, menjadi sumber utama pula dalam pendidikan Islam karena
Allah telah menjadikan Muhammad sebagai teladan bagi umatnya. Ada beberapa nilai
fundamental dalam sumber pokok ajaran Islam yang harus dijadikan dasar bagi pendidikan
Islam, yaitu:
(1) Aqidah;
(2) Akhlak;
(3) Penghargaan kepada akal;
(4) Kemanusiaan;
(5) Keseimbangan;
(6) Rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil’alamin).

Pendidikan Islam dalam perencanaan, perumusan, dan pelaksanaannya pada


pembentukan pribadi yang berakidah Islam, berakhlak mulia, berpikiran bebas, untuk
mengarahkan dan mengembangkan potensi manusia secara terpadu tanpa ada pemisahan. Seperti
aspek jasmani dan rohani, akal dan hati, individu dan sosial, duniawiah dan ukhrawiah, dan
seterusnya. Karena pendidikan Islam mengarah pada pembentukan insan paripurna (insan kamil),
yakni yang dapat menjadi rahmatan lil’alamin, mampu memerankan fungsinya sebagi Abdullah
dan kholifatullah.
17

Hakikat tujuan pendidikan Islam adalah untuk menjadikan manusia sebagai ‘abdi Allah
atau hamba Allah. Pendidikan seharusnya bertujuan menciptakan pertumbuhan yang seimbang
dari kepribadian total manusia yakni dengan berbagai latihan spiritual, intelektual, rasional,
perasaan bahkan kepekaan tubuh manusia. Oleh karena itu, pendidikan semacam ini memerlukan
suatu usaha dan pemikiran yang keras dan serius dalam upaya mewujudkan citacitanya.
Karenanya, pendidikan seharusnya menyediakan jalan bagi pertumbuhan potensi manusia dalam
segala aspek; spiritual, intelektual, imajinatif, fisikal, ilmiah, linguistik, dan lain-lain) baik secara
individual, masyarakat dan manusia pada umumnya. Tujuan pendidikan adalah tujuan hidup manusia
agar menjadi hamba yang mengenal Allah, senantiasa beribadah kepada-Nya, sehingga menjadi manusia
yang paling bertaqwa.

Secara umum tujuan pendidikan agama Islam adalah sebagai usaha untuk mengarahkan
dan membimbing manusia, dalam hal ini peserta didik agar mereka mampu menjadi
manusia atau mengembalikan manusia kepada fitrahnya yaitu kepada Rubbubiyah Allah
sehingga mewujudkan manusia yang:
a.       Berjiwa Tauhid
Tujuan pendidikan Islam yang pertama ini harus ditanamkan pada peserta didik,sesuai dengan
firman Allah:

)١٣( ‫ك لَظُ ۡل ٌم َع ِظي ۬ ٌم‬


َ ‫ى اَل تُ ۡش ِر ۡك بِٱهَّلل ۖ‌ِ إِ َّن ٱل ِّش ۡر‬ ۡ ‫َوإِ ۡذ قَا َل لُ ۡق َم ٰـ ُن‬
َّ َ‫ يَ ٰـبُن‬ ‫ٱِلبنِ ِهۦ َوهُ َو يَ ِعظُهُ ۥ‬
Artinya: "Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya diwaktu ia memberikan pelajaran
kepadanya,Hai Anakku janganlah kamu mempersekutukan ALLAH, sesungguhnya
mempersekutukan Allah itu adalah benar-benar kezhaliman yang besar. (QS.Luqman :13)

Manusia yang mengenyam pedidikan seperti ini sangat yakin bahwa ilmu yang ia miliki adalah
bersumber dari Allah, dengan demikian ia tetap rendah hati dan semakin yakin akan bebesaran
Allah.

b.      Taqwa Kepada Allah SWT


18

Mewujudkan manusia yang bertaqwa kepada Allah merupakan tujuan pendidikan Islam, sebab
walaupun ia genius dan gelar akademiknya sangat banyak, tapi kalau tidak bertaqwa kepada
Allah maka ia dianggap belum/tidak berhasil. Hanya dengan ketaqwaan kepada Allah saja akan
terpenuhi keseimbangan dan kesempurnaan dalam hidup ini. Allah berfirman:

‫ـر َوأُنثَ ٰى َو َج َع ۡلن َٰــ ُكمۡ ُشـعُو ۬بًا َوقَبَٓا ِٕٕٮِـ َل لِتَ َعــا َرفُ ٓو ْۚ‌ا إِ َّن أَ ۡـ‬
ِ ‫ڪ َر َم ُكمۡ ِعنـ َد ٱهَّلل‬ ٍ ۬ ‫يَ ٰـٓأَيُّہَا ٱلنَّاسُ إِنَّا َخلَ ۡقن َٰــ ُكم ِّمن َذ َك‬
)١٣( ‫أَ ۡتقَ ٰٮ ُك ۚمۡ‌ إِ َّن ٱهَّلل َ َعلِي ٌم َخبِي ۬ ٌر‬

Artinya; "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang
paling Taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal" (QS.Al-Hujurat: 13)

c.       Rajin Beribadah dan Beramal Saleh


Dalam beribadah dan beramal saleh, apapun aktivitas dalam hidup ini haruslah didasarkan untuk
beribadah kepada Allah, karena itulah tujuan Allah menciptakan manusia di muka bumi ini.
Firman Allah:

َ ِ ‫ت ۡٱل ِج َّن َوٱإۡل‬


ِ ‫نس إِاَّل لِيَ ۡعبُ ُد‬
)٥٦( ‫ون‬ ُ ‫َو َما خَ لَ ۡق‬

Artinya: "Dan aku tidak menciptakan Jin dan manusia melainkan supaya beribadah
kepadaKU” (QS.Adz-Dzariyaat: 56)

Termasuk dalam pengertian beribadah tersebut adalah beramal shalih (berbuat baik) kepada
sesama manusia dan semua mahkluk yang ada di alam ini,karena dengan demikian akan
terwujud keharmonisan dan kesempurnaan hidup.

d.      Ulil Albab
Ulil albab yaitu orang-orang yang dapat memikirkan dan meneliti keagungan Allah melalui ayat-
ayat qauliyah yang terdapat di dalam kitab suci Al-Qur'an dan ayat-ayat kauniyah (tanda-tanda
kekuasaan Allah) yang terdapat di alam semesta, mereka ilmuan dan intelektual, tetapi mereka
juga rajin berzikir dan beribadah kepada Allah SWT. Firman Allah:
19

َ‫ٱلَّ ِذين‬ )١٩٠ ( ‫ب‬ ِ ‫ت أِّل ُوْ لِى ٱأۡل َ ۡلبَ ٰـــ‬


ٍ ۬ ‫ــار أَل َيَ ٰـ ـ‬
ِ َ‫ف ٱلَّ ۡيــ ِل َوٱلنَّہ‬ ۡ ‫ض َو‬
ِ ‫ٱختِلَ ٰـــ‬ ‫ق ٱل َّس َم ٰـ ـ َوٲ ِ أۡل‬
ِ ‫ت َوٱ َ ۡر‬
ۡ
ِ ‫إِ َّن فِى خَلـ‬
َ‫ض َربَّنَــا َمــا َخلَ ۡقت‬ ‫ق ٱل َّس َم ٰـ َوٲ ِ أۡل‬ ۡ ۬ ۡ
ِ ‫ت َوٱ َ ۡر‬ ِ ‫يَذ ُكرُونَ ٱهَّلل َ قِيَ ٰـ ۬ ًما َوقُعُو ًدا َو َعلَ ٰى ُجنُوبِ ِهمۡ َويَتَفَڪَّرُونَ فِى خَل‬
)١٩١( ‫ار‬ ِ َّ‫اب ٱلن‬
َ ‫ك فَقِنَا َع َذ‬َ َ‫هَ ٰـ َذا بَ ٰـ ِط ۬الً س ُۡب َح ٰـن‬

Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS.Ali
Imran:190-191)

e.      Berakhlakul Karimah
Di samping kecerdasan juga berahklak mulia, karena ilmu yang didapat adalah dari Allah Yang
Maha Memiliki Ilmu, seseorang tidak boleh sombong karena gelar keilmuannya karena imu yang
diperoleh bisa sewaktu-waktu dapat diambil oleh Allah. Allah mengajarkan manusia untuk
bersifat rendah hati dan berakhlak mulia. Allah berfirman:

 )١٨( ‫ور‬ ٍ ۬ ‫ض َم َر ًح ۖا‌ إِ َّن ٱهَّلل َ اَل يُ ِحبُّ ُك َّل ُم ۡخت‬


ٍ ۬ ‫َال فَ ُخ‬ ‫أۡل‬
ِ ‫ش فِى ٱ َ ۡر‬ ِ َّ‫ك لِلن‬
ِ ۡ‫اس َواَل تَم‬ َ ُ‫َواَل ت‬
َ ‫صع ۡـِّر خَ َّد‬

Artinya: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (QS.Luqman:18)
20

BAB II
AGAMA ISLAM

1. AGAMA ISLAM

Agama Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Definisi Islam adalah:

‫ك َوأَ ْهلِ ِه‬


ِ ْ‫ ِهللِ بِالتَّوْ ِح ْي ِد َو ْا ِإل ْنقِيَا ُد لَهُ باِلطَّا َع ِة َو ْالبَ َرا َءةُ ِمنَ ال ِّشر‬ ‫ْا ِإل ْستِ ْسالَ ُم‬
Artinya: Berserah diri kepada Allah dengan cara mentauhidkanNya, tunduk patuh kepadaNya
dengan melaksanakan ketaatan (atas segala perintah dan laranganNya), serta membebaskan diri
dari perbuatan syirik dan orang-orang yang berbuat syirik.

Arti Islam

Arti kata islam tidak keluar dari makna inqiyad (tunduk) dan istislam (pasrah). Di antara


penggunaan makna bahasa ini, Allah sebutkan dalam al-Quran ketika menceritakan
penyembelihan Ismail yang dilakukan Nabi Ibrahim;

َ ‫قَ ْد‬ . ‫ َونَا َد ْينَاهُ أَ ْن يَا إِب َْرا ِهي ُم‬ . ‫ين‬
‫ص َّد ْقتَ الرُّ ْؤيَا‬ ِ ِ‫فَلَ َّما أَ ْسلَ َما َوتَلَّهُ لِ ْل َجب‬
Artinya: Ketika keduanya telah pasrah dan dia meletakkan pelipisnya. Kami panggil dia, ‘Hai
Ibrahim, sungguh engkau telah membenarkan mimpi wahyu itu…(QS. as-Shaffat: 103)

Imam Muhamad bin Sulaiman at-Tamimi mengatakan,


‫ والبراءة من الشرك وأَهله‬، ‫اإلسالم هو االستسالم هلل بالتوحيد واالنقياد له بالطاعة‬
21

Islam adalah pasrah kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan mentaati-Nya,
dan berlepas diri dari semua kesyirikan dan pelakunya.
Allah juga memberi nama pengikut Islam dengan kaum muslimin. Allah berfirman;

‫ج ِملَّةَ أَبِي ُك ْم إِ ْب َرا ِهي َم هُ َو َس َّما ُك ُم ْال ُم ْسلِ ِمينَ ِم ْن قَ ْب ُل َوفِي هَ َذا‬ ِ ‫َو َما َج َع َل َعلَ ْي ُك ْم فِي الد‬
ٍ ‫ِّين ِم ْن َح َر‬
ِ َّ‫لِيَ ُكونَ ال َّرسُو ُل َش ِهيدًا َعلَ ْي ُك ْم َوتَ ُكونُوا ُشهَدَا َء َعلَى الن‬
‫اس‬
Artinya: Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
Ikutilah agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah)telah menamai kamu sekalian dengan kaum
muslimin dari dahulu, dan (begitu pula) dalam al-Quran ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas
dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia.. (QS. al-Hajj: 78)

Di Balik Nama Islam

Semua aliran dan semua agama punya nama. Dan jika kita perhatikan, hampir semua
nama agama dan aliran itu kembali kepada sosok tertentu atau kelompok tertentu. Seperti
nasrani, diambil dari nama bangsa Nashara, Yahudi diambil dari nama kabilah Yahudza, Budha
diambil dari kata Budhis, dst. Berbeda dengan Islam. Nama ini tidak dikembalikan pada nama
sosok atau tokoh tertentu atau suku tertentu. Karena nama ini menunjukkan isi ajarannya. Karena
itulah, dalam sejarah agama, tidak dikenal istilah pencetus Islam, atau pendiri Islam. Di samping
ajarannya lebih menyeluruh, bisa diikuti semua kelompok masyarakat.

Pembagian Islam

Pertama, Islam dalam arti umum


Yang dimaksud Islam dalam arti umum adalah semua ajaran para nabi, yang intinya
mentauhidkan Allah dan mengikuti aturan syariat yang berlaku ketika itu.
Imam Ibnu Utsaimin menjelaskan,

‫ هو التعبد هلل بما شرع منذ أن أرسل هللا الرسل إلى أن تقوم الساعة‬:‫اإلسالم بالمعنى العام‬
Artinya: Islam dalam arti umum adalah menyembah Allah sesuai dengan syariat yang Dia
turunkan, sejak Allah mengutus para rasul, hingga kiamat. (Syarh Ushul at-Tsalatsah, hlm. 20)
22

Berdasarkan pengertian ini, berarti agama seluruh Nabi dan Rasul beserta pengikutnya adalah
Islam. Di antara dalil mengenai Islam dalam makna umum, dalam al-Quran, Allah menyebut
Ibrahim dan anak keturunannya, orang-orang Islam.

َ‫ي إِ َّن هَّللا َ اصْ طَفَى لَ ُك ُم ال ِّدينَ فَاَل تَ ُموتُ َّن إِاَّل َوأَ ْنتُ ْم ُم ْسلِ ُمون‬
َّ ِ‫َو َوصَّى بِهَا إِ ْب َرا ِهي ُم بَنِي ِه َويَ ْعقُوبُ يَا بَن‬
Artinya: “Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub.
(Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu,
maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.” (QS. al-Baqarah: 132).

Allah juga mengingkari klaim sebagian orang bahwa Ibrahim penganut Yahudi dan Nasrani;

‫صا َرى قُلْ أَأَ ْنتُ ْم أَ ْعلَ ُم‬


َ َ‫وب َواأْل َ ْسبَاطَ َكانُوا هُودًا أَوْ ن‬
َ ُ‫ق َويَ ْعق‬ َ ‫ْحا‬َ ‫يل َوإِس‬ َ ‫اع‬ ِ ‫أَ ْم تَقُولُونَ إِ َّن إِب َْرا ِهي َم َوإِ ْس َم‬
ْ َ‫أَ ِم هَّللا ُ َو َم ْن أ‬
ِ ‫ظلَ ُم ِم َّم ْن َكتَ َم َشهَا َدةً ِع ْن َدهُ ِمنَ هَّللا‬
Artinya: Kalian (hai orang-orang Yahudi dan Nasrani) mengatakan bahwa Ibrahim, Isma’il,
Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, adalah penganut agama Yahudi atau Nasrani?” Katakanlah:
“Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah, dan siapakah yang lebih zalim dari pada orang
yang menyembunyikan syahadah dari Allah yang ada padanya?” (QS. al-Baqarah: 140).

Kedua, Islam dalam arti khusus

Islam dalam arti khusus adalah ajaran yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Syariat beliau menghapus syariat sebelumnya yang bertentangan dengannya.
Imam Ibnu Utsaimin menyebutkan,

‫واإلسالم بالمعنى الخاص بعد بعثة النبي صلى هللا عليه وسلم يختص بما بعث به محمد صلى‬
‫هللا عليه وسلم ألن ما بعث به النبي صلى هللا عليه وسلم نسخ جميع األديان السابقة فصار من‬
‫أتبعه مسلما ً ومن خالفه ليس بمسلم‬
Artinya: Islam dengan makna khusus adalah Islam setelah diutusnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Khusus dengan ajaran yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Karena Syariat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghapus semua agama sebelumnya.
Sehingga pengikutnya adalah orang Islam, sementara yang menyimpang dari ajaran beliau,
bukan orang islam. (Syarh Ushul at-Tsalatsah, hlm. 20)
23

Pengikut para nabi terdahulu, mereka muslim ketika syariat nabi mereka masih berlaku.
Ketika Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, syariat mereka tidak berlaku,
sehingga mereka bisa disebut muslim jika mengikuti syariat Muhammad.
Dengan agama inilah Allah menutup agama-agama sebelumnya. Allah telah
menyempurnakan agama ini bagi hamba-hambaNya dan menyempurnakan nikmat atas mereka.
Allah hanya meridhoi Islam sebagai agama yang harus mereka peluk. Oleh sebab itu tidak ada
suatu agama pun yang diterima selain Islam. Allah ta’ala berfirman:

‫ان ُم َح َّم ٌـد أَبَا أَ َح ٍد ِّمنـ ِّر َجالِ ُك ْـم َولَ ِكن َّرسُو َـل هَّللا ِ َو َخاتَ َم النَّبِي َـ‬
‫ِّين َو َكانَ هَّللا ُ بِ ُك ِّل َش ْي ٍء َعلِيماًـ‬ ‫َّما َك َـ‬
Artinya: Muhammad itu bukanlah seorang ayah dari salah seorang lelaki di antara kalian, akan
tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para Nabi. (QS. Al Ahzab: 40)

Allah ta’ala juga berfirman:

ً ‫يت لَ ُك ُم ا ِإل ْسالَ َم ِدينا‬ ‫ت لَ ُك ْم ِدينَ ُك ْـم َوأَ ْت َم ْم ُـ‬


ِ ‫ت َعلَ ْي ُك ْم نِ ْع َمتِيـ َو َر‬
‫ض ُـ‬ ‫ْاليَوْ َم أَ ْك َم ْل ُـ‬
Artinya: Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan Aku telah
cukupkan nikmat-Ku atas kalian dan Aku pun telah ridha Islam menjadi agama bagi
kalian.” (QS. Al Maa’idah: 3)

Allah ta’ala juga berfirman:

‫ِّين ِعن َد هّللا ِ ا ِإل ْسالَ ُم‬


‫إِ َّن الد َـ‬
Artinya: Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19).

Allah ta’ala berfirman:

‫َو َمن يَ ْبت َِغ َغ ْي َـر ا ِإل ْسالَ ِم ِدينا ً فَلَن يُ ْقبَ َل ِم ْنهُـ َوهُ َو فِي اآل ِخ َر ِة ِمنَ ْال َخا ِس ِر َـ‬
‫ين‬
Artinya: Dan barang siapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan pernah diterima
darinya dan di akhirat nanti dia akan termasuk orang-orang yang merugi.”  (QS. Ali ‘Imran: 85)
24

Allah ta’ala mewajibkan kepada seluruh umat manusia untuk beragama demi Allah dengan
memeluk agama ini. Allah berfirman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

‫ض ال إِلَـهَ إِال َّ هُ َـو‬ ِ ْ‫ت َواألَر‬ ‫ك ال َّس َما َوا ِـ‬ ُ ‫قُلْ يَا أَيُّهَاـ النَّاسُ إِنِّيـ َرسُو ُل هّللا ِ إِلَ ْي ُك ْم َج ِميعا ً ال َّ ِذي لَهُـ ُم ْل‬
‫واـ بِاهّلل ِ َو َرسُولِ ِـه النَّبِ ِّي األ ُ ِّم ِّـ‬
‫ي ال َّ ِذي ي ُْؤ ِم ُـن بِاهّلل ِ َو َكلِ َماتِ ِه َواتَّبِعُوهُـ لَ َعل َّ ُك ْـم تَ ْهتَ ُد َـ‬
‫ون‬ ْ ُ‫يت فَآ ِمن‬
‫يُحْ يِـي َويُ ِم ُـ‬

Artinya:“Katakanlah: Wahai umat manusia, sesungguhnya aku ini adalah utusan Allah bagi
kalian semua, Dialah Dzat yang memiliki kekuasaan langit dan bumi, tidak ada sesembahan
yang haq selain Dia, Dia lah yang menghidupkan dan mematikan. Maka berimanlah kalian
kepada Allah dan Rasul-Nya seorang Nabi yang ummi (buta huruf) yang telah beriman kepada
Allah serta kalimat-kalimat-Nya, dan ikutilah dia supaya kalian mendapatkan hidayah .” (QS.
Al A’raaf: 158)
Di dalam Shahih Muslim terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan dari jalur Abu
Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda yang
artinya, “Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangannya. Tidaklah ada seorang manusia
dari umat ini yang mendengar kenabianku, baik yang beragama Yahudi maupun Nasrani lantas
dia meninggal dalam keadaan tidak mau beriman dengan ajaran yang aku bawa melainkan dia
pasti termasuk salah seorang penghuni neraka.”

Hakikat beriman kepada Nabi adalah dengan cara membenarkan apa yang beliau bawa
dengan disertai sikap menerima dan patuh, bukan sekedar pembenaran saja. Oleh sebab itulah
maka Abu Thalib tidak bisa dianggap sebagai orang yang beriman terhadap Rasul  shallallahu
‘alaihi wa sallam walaupun dia membenarkan ajaran yang beliau bawa, bahkan dia berani
bersaksi bahwasanya Islam adalah agama yang terbaik.
Agama Islam ini telah merangkum semua bentuk kemaslahatan yang diajarkan oleh agama-
agama sebelumnya dan ajarannya yang bisa diterapkan di setiap masa, di setiap tempat dan di
masyarakat manapun.
Allah ta’ala berfir man kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam;
25

ِ ‫صدِّقا ً لِّ َما بَي َـْن يَ َد ْي ِه ِمنَ ْال ِكتَا‬


‫ب َو ُمهَ ْي ِمناًـ‬ ِّ ‫َاب بِ ْال َح‬
َ ‫ق ُم‬ َ ‫ك ْال ِكت‬
‫َوأَن َز ْلنَا إِلَ ْي َـ‬
Artinya: Dan Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab dengan benar sebagai pembenar
kitab-kitab yang terdahulu serta batu ujian atasnya.” (QS. Al Maa’idah: 48)

Agama Islam adalah agama yang benar. Sebuah agama yang telah mendapatkan
jaminan pertolongan dan kemenangan dari Allah ta’ala  bagi siapa saja yang berpegang teguh
dengannya dengan sebenar-benarnya. Allah ta’ala berfirman;

‫ون‬ ْ ‫ق لِي‬
‫ُظ ِه َرهُـ َعلَى الدِّي ِـن ُكلِّ ِه َولَوْ َك ِرهَـ ْال ُم ْش ِر ُك َـ‬ ِّ ‫هُ َو ال َّ ِذي أَرْ َس َـل َرسُولَهُ بِ ْالهُدَى َو ِدي ِـن ْال َح‬
Artinya: Dia lah Zat yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa Petunjuk dan Agama
yang benar untuk dimenangkan di atas seluruh agama-agama yang ada, meskipun orang-orang
musyrik tidak menyukainya. (QS. Ash Shaff: 9)

Allah ta’ala berfirman;

‫ين ِمن‬ ‫ض َك َما ا ْست َْخلَفَ ال َّ ِذ َـ‬ِ ْ‫ت لَيَ ْست َْخلِفَنَّهُم فِي اأْل َر‬ ِ ‫صالِ َحا‬ َّ ‫ين آ َمنُوا ِمن ُك ْـم َو َع ِملُواـ ال‬‫َو َع َد هَّللا ُ ال َّ ِذ َـ‬
‫ضىـ لَهُ ْم َولَيُبَ ِّدلَنَّهُمـ ِّمن بَ ْع ِـد َخوْ فِ ِه ْـم أَ ْمنا ً يَ ْعبُ ُدونَنِي اَل يُ ْش ِر ُك َـ‬
‫ون‬ َ َ‫قَ ْبلِ ِه ْم َولَيُ َم ِّكن َّـَن لَهُ ْم ِدينَهُ ُـم ال َّ ِذي ارْ ت‬
‫ون‬ َ ِ‫ك فَأُوْ لَئ‬
‫ك هُ ُم ْالفَا ِسقُ َـ‬ َ ِ‫بِي َشيْئا ً َو َمن َكفَ َـر بَ ْع َد َذل‬

Artinya: Allah benar-benar telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman serta beramal
salih di antara kalian untuk menjadikan mereka berkuasa di atas muka bumi sebagaimana
orang-orang sebelum mereka telah dijadikan berkuasa di atasnya. Dan Allah pasti akan
meneguhkan bagi mereka agama mereka, sebuah agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka
peluk. Dan Allah pasti akan menggantikan rasa takut yang sebelumnya menghinggapi mereka
dengan rasa tenteram, mereka menyembah-Ku dan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu
apapun. Dan barangsiapa yang ingkar sesudah itu, maka mereka itulah orang-orang yang
fasik. (QS. An Nuur: 55)
26

Agama Islam adalah ajaran yang mencakup akidah/keyakinan dan syariat/hukum. Islam
adalah ajaran yang sempurna, baik ditinjau dari sisi aqidah maupun syariat-syariat yang
diajarkannya:
1. Islam memerintahkan untuk menTauhidkan Allah ta’ala dan melarang kesyirikan.
2. Islam memerintahkan untuk berbuat jujur dan melarang dusta.
3. Islam memerintahkan untuk berbuat adil dan melarang aniaya.
4. Islam memerintahkan untuk menunaikan amanat dan melarang berkhianat.
5. Islam memerintahkan untuk menepati janji dan melarang pelanggaran janji.
6. Islam memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tua dan melarang perbuatan
durhaka kepada mereka.
7. Islam memerintahkan untuk menjalin silaturahim (hubungan kekerabatan yang
terputus) dengan sanak famili dan Islam melarang perbuatan memutuskan silaturahim.
8. Islam memerintahkan untuk berhubungan baik dengan tetangga dan melarang bersikap
buruk kepada mereka.

Islam memerintahkan semua akhlak yang mulia dan melarang akhlak yang rendah dan hina.
Islam memerintahkan segala macam amal salih dan melarang segala amal yang jelek. Allah
ta’ala berfirman;

‫إِ َّن هّللا َ يَأْ ُم ُر بِ ْال َع ْد ِل َوا ِإلحْ َسا ِن َوإِيتَاء ِذي ْالقُرْ بَىـ َويَ ْنهَىـ َع ِن ْالفَحْ َشاء َو ْال ُمن َك ِـر َو ْالبَ ْغ ِـي يَ ِعظُ ُك ْم‬
‫لَ َعل َّ ُك ْم تَ َذ َّكر َـ‬
‫ُون‬
Artinya: “Sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat adil, ihsan dan memberikan nafkah
kepada sanak kerabat. Dan Allah melarang semua bentuk perbuatan keji dan mungkar, serta
tindakan melanggar batas. Allah mengingatkan kalian agar kalian mau mengambil
pelajaran.” (QS. An Nahl: 90)

2. ISLAM ADALAH AGAMA TAUHID

Definisi Islam adalah:


‫ ِهللِ بِالت َّْو ِح ْي ِد َو ْا ِإل ْنقِيَا ُد لَهُ باِلطَّا َع ِة َوا ْلبَ َرا َءةُ ِمنَ الش ِّْر ِك َوأَ ْهلِه‬ ‫سالَ ُم‬ ْ ‫ْا ِإل‬
ْ ِ ‫ست‬
27

Artinya: (Berserah diri kepada Allah dengan cara mentauhidkanNya, tunduk patuh
kepadaNya dengan melaksanakan ketaatan (atas segala perintah dan laranganNya), serta
membebaskan diri dari perbuatan syirik dan orang-orang yang berbuat syirik).

Jika kembali kepada al Qur`an, sesungguhnya Allah telah memberitahukan bahwa


‘aqidah seluruh rasul adalah tauhid, dan dakwah mereka dimulai dengan tauhidullah,
dan tauhid merupakan perkara terpenting dan terbesar yang mereka bawa.
Maka, hubungan ‘aqidah tauhid terhadap seluruh syari’at para nabi termasuk Nabi
Muhammad adalah bagaikan pondasi sebuah bangunan (dan bagaikan ruh bagi badan),
karena jasad tidak akan berdiri dan hidup, kecuali dengan adanya ruh.

TAUHID

Tauhid secara bahasa Arab merupakan bentuk masdar dari fi’il wahhada-


yuwahhidu (dengan huruf ha di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “Makna ini tidak tepat kecuali diikuti dengan
penafian. Yaitu menafikan segala sesuatu selain sesuatu yang kita jadikan satu saja, kemudian
baru menetapkannya” (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39).
Secara istilah syar’i, makna Tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya
sesembahan yang benar dengan segala kekhususannya (Syarh Tsalatsatil Ushul, 39). Dari
makna ini sesungguhnya dapat dipahami bahwa banyak hal yang dijadikan sesembahan oleh
manusia, bisa jadi berupa Malaikat, para Nabi, orang-orang shalih atau bahkan makhluk Allah
yang lain, namun seorang yang bertauhid hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya
sesembahan saja.

3. KEDUDUKAN TAUHID DALAM ISLAM

Tauhid merupakan pangkal syukur bagi seorang muslim, Allah Ta’ala berfirman:

ُ‫ِّين ْالخَالِص‬
ُ ‫أَاَل هَّلِل ِ الد‬   َ‫فَا ْعبُ ِد هَّللا َ ُم ْخلِصًا لَهُ ال ِّدين‬ 
… Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya. Ingatlah, hanya
kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)… [az Zumar/39 :2-3]
28

Allah Ta’ala juga berfirman:

ِ ِ‫َو َما أُ ِمرُوا إِاَّل لِيَ ْعبُ ُدوا هَّللا َ ُم ْخل‬


َ‫صينَ لَهُ ال ِّدين‬
Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah hanya kepada Allah dengan
memurnikan ketaatan kepadaNya…[al Bayyinah/98 :5].

Seluruh para nabi dan rasul telah mendakwahkan tauhid kepada ummatnya di setiap kurun


(generasi)nya. Sebagaimana firman Allah:

َ‫َولَقَ ْد بَ َع ْثنَا فِي ُكلِّ أُ َّم ٍة َر ُسواًل أَ ِن ا ْعبُ ُدوا هَّللا َ َواجْ تَنِبُوا الطَّا ُغوت‬
Artinya: Dan sungguh, Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul,
(untuk menyerukan) agar beribadah hanya kepada Allah saja (yaitu mentauhidkanNya)
dan menjauhi thaghut…  [an Nahl/16:36].

Dan firmanNya:

‫وحي إِلَ ْي ِه أَنَّهُ اَل إِ ٰلَهَ إِاَّل أَنَا فَا ْعبُ ُدو ِن‬
ِ ُ‫ُول إِاَّل ن‬ َ ِ‫َو َما أَرْ َس ْلنَا ِم ْن قَ ْبل‬
ٍ ‫ك ِم ْن َرس‬
Artinya: Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun sebelum engkau
(Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya : “Bahwasanya tidak ada ilah (yang
berhak untuk diibadahi dengan benar) selain Aku, maka beribadahlah kamu sekalian
kepadaKu”. [al Anbiyaa’/21 :25].

Juga firman-Nya:

َ‫أَفَاَل تَتَّقُون‬  ُۖ‫فَأَرْ َس ْلنَا فِي ِه ْم َر ُسواًل ِم ْنهُ ْم أَ ِن ا ْعبُ ُدوا هَّللا َ َما لَ ُك ْم ِم ْن إِ ٰلَ ٍه َغ ْي ُره‬
Artinya: Lalu Kami utus kepada mereka, seorang rasul dari kalangan mereka sendiri (yang
berkata): “Beribadahlah kamu sekalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada ilah yang haq bagimu
selainNya. Maka, mengapa kamu tidak bertaqwa (kepadaNya)?” [al Mukminun/23: 32].

Semua Rasul memulai dakwah mereka kepada kaumnya dengan tauhid Uluhiyyah, agar
kaum mereka beribadah dengan benar hanya kepada Allah saja. Ilmu tauhid adalah semulia-
mulia ilmu. Ilmu yang paling agung dan mulia adalah ilmu tauhid dan ushuluddin. Karena,
29

atas tauhid itulah Allah menciptakan jin dan manusia, menurunkan kitab-kitab, mengutus para
rasul, serta menciptakan surga dan neraka. Barangsiapa mempelajari ilmu tersebut dan
mengamalkannya, maka dialah orang yang bertakwa lagi berbahagia. Sebaliknya, barangsiapa
mengabaikannya dan tidak mau mempelajarinya, maka dialah orang yang sengsara dan celaka.
Allah menyuruh hambaNya untuk menuntut ilmu syar’i, yang pertama harus dipelajari adalah
ilmu tauhid, mengenal Allah, mengkaji bagaimana mentauhidkan Allah, beribadah kepadaNya
dengan benar.
Allah Ta’ala berfirman:

 ‫َو َم ْث َوا ُك ْم‬ ِ ‫فَا ْعلَ ْم أَنَّهُ اَل إِ ٰلَهَ إِاَّل هَّللا ُ َوا ْستَ ْغفِرْ لِ َذ ْنبِكَ َولِ ْل ُم ْؤ ِمنِينَ َو ْال ُم ْؤ ِمنَا‬
‫ َوهَّللا ُ يَ ْعلَ ُم ُمتَقَلَّبَ ُك ْم‬  ۗ‫ت‬

Artinya: Maka ketahuilah, bahwa tiada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) selain Allah,
dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan
perempuan. Dan Allah mengetahui tempat usaha dan tempat tinggal-mu. [Muhammad/47 :19].

Orang yang mati dalam keadaan bertauhid kepada Allah, maka ia akan masuk surga. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َ‫يَ ْعلَ ُم أَنَّهُ الَ إِلَهَ إِالَّ هللاُ َدخَ َل ْال َجنَّة‬ ‫ َوهُ َو‬  َ‫ َمات‬ ‫ َم ْن‬.
Artinya: Barangsiapa yang meninggal dunia dan ia mengetahui bahwa tidak ada ilah yang berhak
diibadahi dengan benar selain Allah, maka ia masuk Surga.

Kedudukan Tauhid adalah sebagai pondasi bagi bangunan amal seorang muslim.


Perhatian seorang yang arif tentu senantiasa tertuju pada pembenahan pondasi. Keikhlasan
dan tauhid, juga diibaratkan seperti sebatang pohon yang tumbuh dalam hati, amal perbuatan
adalah cabang-cabangnya, kedamaian adalah buahnya yang dirasakan dalam kehidupan dunia
ini, serta kenikmatan yang kekal di akhirat kelak. Sebagaimana buah-buahan surga, tidak akan
terputus dan terlarang. Demikian pula halnya “buah” keikhlasan dan tauhid di dunia ini, tidak
akan terputus dan terlarang. Kesyirikan, dusta dan riya’ bagaikan sebatang pohon yang tumbuh
dalam hati manusia, buahnya di dunia adalah ketakutan, kekhawatiran, kebingungan dan
30

kesempitan yang dirasakan dalam dada, serta kegelapan yang menimpa hati. Sedangkan di
akhirat kelak akan membuahkan zaqqum dan adzab yang kekal.

4. Tauhid Adalah Aqidah Bawaan Manusia

Allâh Azza wa Jalla telah menciptakan manusia memiliki fitrah beriman kepada-Nya dan
mentauhidkan-Nya. Manusia itu dilahirkan dalam keadaan mengimani keberadaan Allâh Azza
wa Jalla bahwa tidak ada yang berhak diibadahi selain Dia, dan tidak ada Rabb selain Dia.
Seandainya manusia dibiarkan pada fitrahnya yang asli, dia pasti tumbuh menjadi orang yang
mentauhidkanNya. [Lihat: Tafsîr al-Baghawi, 3/482; Tafsîr Ibni Katsîr, 3/688; dan Ma’ârijul
Qabûl, 1/91, 93]

‫ِّين ْالقَيِّ ُم‬ َ ِ‫ ٰ َذل‬ ۚ  ِ ‫ق هَّللا‬


ُ ‫ك الد‬ ْ ِ‫اَل تَ ْب ِدي َل ل‬ ۚ  ‫اس َعلَ ْيهَا‬
ِ ‫خَل‬ َ َّ‫ط َرتَ هَّللا ِ الَّتِي فَطَ َر الن‬ ْ ِ‫ف‬ ۚ  ‫فَأَقِ ْم َوجْ هَكَ لِلدِّي ِن َحنِيفًا‬
ٰ
ِ َّ‫ َولَ ِك َّن أَ ْكثَ َر الن‬ 
َ‫اس اَل يَ ْعلَ ُمون‬
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allâh; (tetaplah atas) fitrah
Allâh yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah
Allâh. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [Ar-Rûm/30:30]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


ْ ِ‫َما ِم ْن َموْ لُو ٍد إِاَّل يُولَ ُد َعلَى الف‬
‫ أَوْ يُ َمجِّ َسانِ ِه‬،‫ َويُنَص َِّرانِ ِه‬،‫ فَأَبَ َواهُ يُهَ ِّودَانِ ِه‬،‫ط َر ِة‬
Artinya: Semua bayi dilahirkan di atas fitrah, kemudian kedua orang tuanya menjadikannya
beragama Yahudi, Nashrani, atau Majusi. [HR. Al-Bukhâri, no. 1359 dan Muslim, no. 2658]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda meriwayatkan dari Rabbnya, bahwa Allâh
Azza wa Jalla berfirman:

‫ين فَاجْ تَالَ ْتهُ ْم ع َْن ِدينِ ِه ْم‬ ِ َ‫ َوإِنَّهُ ْم أَتَ ْتهُ ُم ال َّشي‬،‫ت ِعبَا ِدي ُحنَفَا َء ُكلَّهُ ْم‬
ُ ‫اط‬ ُ ‫َوإِنِّي َخلَ ْق‬
31

Artinya: Sesungguhnya Aku (Allâh) telah menciptakan hamba-hambaKu semuanya hanif (lurus;
muslim), dan sesungguhnya setan-setan mendatangi mereka lalu menyesatkan mereka dari
agama mereka. [HR. Muslim, no. 2865]

Nabi Adam Alaihissallam, bapak semua manusia dan semua anaknya yang hidup di
zamannya adalah orang-orang yang bertauhid. Keturunan Nabi Adam setelahnya terus berada di
atas tauhid sampai datang kaum Nabi Nûh Alaihissallam, setan menampakkan syirik sebagai
sesuatu yang bagus kepada mereka dan mengajak mereka menuju syirik, sehingga mereka
terjerumus ke dalam syirik.
Allah Azza wa Jalla berfirman:

ِّ ‫َاب بِ ْال َح‬


َ‫ق لِيَحْ ُك َم بَ ْين‬ َ ‫ث هَّللا ُ النَّبِيِّينَ ُمبَ ِّش ِرينَ َو ُم ْن ِذ ِرينَ َوأَ ْن َز َل َم َعهُ ُم ْال ِكت‬ ِ ‫َكانَ النَّاسُ أُ َّمةً َو‬
َ ‫اح َدةً فَبَ َع‬
‫اختَلَفُوا فِي ِه‬
ْ ‫اس فِي َما‬
ِ َّ‫الن‬ 
Artinya: Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allâh mengutus
para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi kabar peringatan, dan Allâh menurunkan
bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara
yang mereka perselisihkan. [Al-Baqarah/2: 213]

Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbâs Radhiyallahu anhu, beliau berkata:

َ‫ث هَّللا ُ النَّبِيِّينَ ُمبَ ِّش ِرين‬ ْ َ‫ ف‬.ِّ‫ ُكلُّهُ ْم َعلَى َش ِري َع ٍة ِمنَ ْال َحق‬،‫ُون‬
َ ‫ فَبَ َع‬،‫اختَلَفُوا‬ ٍ ‫وح َوآ َد َم َع َش َرةُ قُر‬
ٍ ُ‫َكانَ بَ ْينَ ن‬
َ‫َو ُم ْن ِذ ِرين‬
Artinya: Antara Nabi Nuh dengan Nabi Adam ada sepuluh generasi, mereka semua berada di
atas syari’at yang haq, tetapi kemudian mereka berselisih, maka Allâh mengutus para nabi,
sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi kabar peringatan”. [Riwayat Thabari di dalam
tafsirnya, 4/275 dan al-Hâkim dalam al-Mustadrak, 2/546. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/569]

Penyebab perselisihan manusia pertama kali di muka bumi adalah kemusyrikan yang
dilakukan oleh kaum Nabi Nûh Alaihissallam, disebabkan oleh sikap ghuluw (melewati batas)
dalam mengagungkan orang-orang shalih. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang kaum
Nabi Nûh Alaihissallam:

‫ق َونَ ْسرًا‬ َ ‫َوقَالُوا اَل تَ َذر َُّن آلِهَتَ ُك ْم َواَل تَ َذر َُّن َو ًّدا َواَل ُس َواعًا َواَل يَ ُغ‬
َ ‫وث َويَعُو‬
32

Artinya: Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) ilah-ilah
(tuhan-tuhan) kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan
jangan pula Suwaa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr”. [Nûh/71:23]

Tuhan-tuhan yang disembah oleh kaum Nabi Nuh di atas, asalnya adalah orang-orang
shalih yang telah mati. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu:

‫ب بَ ْع ُد أَ َّما َو ٌّد‬
ِ ‫وح فِي ْال َع َر‬
ٍ ُ‫َت فِي قَوْ ِم ن‬ ُ َ‫ت اأْل َوْ ث‬
ْ ‫ان الَّتِي َكان‬ َ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َما‬
ْ ‫صا َر‬ ٍ ‫ع َْن اب ِْن َعبَّا‬
ِ ‫س َر‬
ٍ ‫َت لِ ُم َرا ٍد ثُ َّم لِبَنِي ُغطَي‬
‫ْف‬ ْ ‫وث فَ َكان‬ُ ‫َت لِهُ َذي ٍْل َوأَ َّما يَ ُغ‬
ْ ‫ع َكان‬ ٌ ‫ب بِدَوْ َم ِة ْال َج ْن َد ِل َوأَ َّما س َُوا‬
ٍ ‫َت لِ َك ْل‬
ْ ‫َكان‬
ٍ ‫ع أَ ْس َما ُء ِر َج‬
‫ال‬ ِ ‫َت لِ ِح ْميَ َر آِل ِل ِذي ْالكَاَل‬
ْ ‫َت لِهَ ْمدَانَ َوأَ َّما نَ ْس ٌر فَ َكان‬
ْ ‫ق فَ َكان‬ ُ ‫ف ِع ْن َد َسبَإ ٍ َوأَ َّما يَعُو‬ ِ ْ‫بِ ْال َجو‬
‫صبُوا إِلَى َم َجالِ ِس ِه ْم الَّتِي َكانُوا‬ ِ ‫ان إِلَى قَوْ ِم ِه ْم أَ ْن ا ْن‬
ُ َ‫وح فَلَ َّما هَلَ ُكوا أَوْ َحى ال َّش ْيط‬ ٍ ُ‫ ِم ْن قَوْ ِم ن‬  َ‫صالِ ِحين‬
َ
ْ ‫ك أُولَئِكَ َوتَنَ َّس َخ ْال ِع ْل ُم ُعبِد‬
‫َت‬ َ َ‫صابًا َو َس ُّموهَا بِأ َ ْس َمائِ ِه ْم فَفَ َعلُوا فَلَ ْم تُ ْعبَ ْد َحتَّى إِ َذا هَل‬
َ ‫يَجْ لِسُونَ أَ ْن‬

Artinya: Dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Patung-patung yang dahulu ada pada kaum Nabi Nûh
setelah itu berada pada bangsa Arab. Adapun Wadd berada pada suku Kalb di Daumatul Jandal.
Suwâ’ berada pada suku Hudzail. Yaghûts berada pada suku Murâd, lalu pada suku Bani
Ghuthaif di al-Jauf dekat Saba’.  Ya’uq berada pada suku Hamdan. Dan Nasr berada pada suku
Himyar pada keluarga Dzil Kila’. Itu semua nama-nama orang-orang shalih dari kaum (sebelum-
pen) Nuh. Ketika mereka mati, syaithan membisikkan kepada kaum mereka: “Buatlah patung
yang ditegakkan pada majlis-majlis mereka, yang mereka dahulu biasa duduk. Dan namakanlah
dengan nama-nama mereka!. Lalu mereka melakukan. Patung-patung itu tidak disembah.
Sehingga ketika mereka (generasi pembuat patung) mati, ilmu (agama) telah hilang, patung-
patung itu tidak disembah”. [HR. Al-Bukhâri, No. 4920]

Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh berkata, “Ini memberikan faidah berhati-hati
dari ghuluw dan sarana-sarana kemusyrikan, walaupun niatnya baik. Karena sesungguhnya
syaithan memasukkan mereka (orang-orang di zaman Nabi Nuh–pen) dari pintu ghuluw
(melampaui batas) terhadap orang-orang shalih dan berlebihan di dalam mencintai mereka.
Sebagaimana telah terjadi semisal itu di dalam umat ini. Syaithan menampakkan kepada mereka
berbagai bid’ah dan ghuluw dengan bentuk mengagungkan orang-orang sholih dan mencintai
33

mereka. Sehingga akhirnya syaithan menjerumuskan mereka di dalam perkara yang lebih besar
dari itu, yaitu menyembah orang-orang shalih itu dari selain Allâh Azza wa Jalla”. [Fathul Majîd,
hlm: 197, penerbit: Dar Ibni Hazm]

5. Cerdas Dengan Tauhid

Pencipta alam semesta, pemberi rizki dan pengatur segala urusan hanyalah Allâh saja,
kemudian ia enggan beribadah kepada-Nya, bukankah ini merupakan kebodohan? Terlebih lagi
jika seseorang kemudian menyejajarkan Allâh Pencipta alam semesta ini, dengan makhluk
ciptaan-Nya dalam hal kekuasaann dan dalam hal mendapatkan hak peribadatan. Misalnya
menyejajarkan dengan Malaikat, Nabi, Wali, orang-orang shalih dan bahkan dengan makhluk
terendah seperti dukun, kayu, batu atau kuburan, masyarakat yang memuja berhala, menjadikan
makhluk sebagai tuhan, memohon keselamatan kepada benda mati, ngalap berkah pada
petilasan, mencari kesaktian di tempat-tempat keramat, dan lain sebagainya. Padahal mereka
mengerti bahkan berikrar bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah Pencipta alam semesta satu-
satu-Nya, Pemberi rezeki bagi seru sekalian makhluk, Pengatur segala urusan, Yang
menghidupkan, mematikan dan Penguasa bumi-langit beserta segenap isinya.

Allâh Azza wa Jalla berfirman menceritakan ikrar mereka akan sisi tauhid ini, yang disebut
tauhid Rubûbiyah, di antaranya:

َ‫ۖ فَأَنَّ ٰى ي ُْؤفَ ُكون‬ ُ ‫َولَئِ ْن َسأ َ ْلتَهُ ْم َم ْن خَ لَقَهُ ْم لَيَقُولُ َّن هَّللا‬
Artinya: Dan sungguh, jika engkau (Muhammad) bertanya kepada mereka, “Siapakah yang
menciptakan mereka?”, niscaya mereka menjawab, “Allâh”. Maka bagaimanakah mereka dapat
dipalingkan dari menyembah Allâh? [Az-Zukhruf/43:87]

َ ْ‫ت َواأْل َر‬


ُ ‫ض لَيَقُولُ َّن هَّللا‬ َ َ‫ولَئِ ْن َسأ َ ْلتَهُ ْم َم ْن خَ ل‬ 
ِ ‫ق ال َّس َما َوا‬ َ
Artinya: Dan sesungguhnya jika engkau (Muhammad) tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang
menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab: “Allâh”. [Luqmân/31:25]
34

ِ ِّ‫ي ِمنَ ْال َمي‬


‫ت‬ َّ ‫صا َر َو َم ْن ي ُْخ ِر ُج ْال َح‬ َ ‫ك ال َّس ْم َع َواأْل َ ْب‬ُ ِ‫ض أَ َّم ْن يَ ْمل‬
ِ ْ‫قُلْ َم ْن يَرْ ُزقُ ُك ْم ِمنَ ال َّس َما ِء َواأْل َر‬
َ‫ۚ فَقُلْ أَفَاَل تَتَّقُون‬ ُ ‫ۚ فَ َسيَقُولُونَ هَّللا‬ ‫َوي ُْخ ِر ُج ْال َميِّتَ ِمنَ ْال َح ِّي َو َم ْن يُ َدبِّ ُر اأْل َ ْم َر‬
Artinya: Katakanlah (hai Muhammad kepada mereka), “Siapakah yang memberi rezeki
kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan
penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan
yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan
menjawab, “Allâh” Maka katakanlah, “Mengapa kamu tidak bertaqwa kepada-
Nya?”  [Yûnus/10:31]

ُّ‫﴾ قُلْ َم ْن َرب‬٨٥﴿ َ‫ۚ قُلْ أَفَاَل تَ َذ َّكرُون‬ ِ ‫﴾ َسيَقُولُونَ هَّلِل‬٨٤﴿ َ‫قُلْ لِ َم ِن اأْل َرْ ضُ َو َم ْن فِيهَا إِ ْن ُك ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬
‫﴾ قُلْ َم ْن بِيَ ِد ِه‬٨٧﴿ َ‫ۚ قُلْ أَفَاَل تَتَّقُون‬ ِ ‫﴾ َسيَقُولُونَ هَّلِل‬٨٦﴿ ‫ش ْال َع ِظ ِيم‬
ِ ْ‫ت ال َّسب ِْع َو َربُّ ْال َعر‬
ِ ‫ال َّس َما َوا‬
‫ۚ قُلْ فَأَنَّ ٰى‬ ِ ‫﴾ َسيَقُولُونَ هَّلِل‬٨٨﴿ َ‫وت ُكلِّ َش ْي ٍء َوهُ َو ي ُِجي ُر َواَل ي َُجا ُر َعلَ ْي ِه إِ ْن ُك ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬
ُ ‫َملَ ُك‬
َ ‫تُس‬
َ‫ْحرُون‬
Artinya: Katakanlah (hai Muhammad kepada mereka), “Kepunyaan siapakah bumi ini dan semua
yang ada padanya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allâh.”
Katakanlah, “Maka apakah kamu tidak ingat?” Katakanlah, “Siapakah yang Rabb yang memiliki
langit yang tujuh dan yang memiliki ‘Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab, “Kepunyaan
Allâh” Katakanlah, “Apakah kamu tidak bertaqwa?” Katakanlah, “Siapakah yang di tangan-Nya
ada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi
dari adzab-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allâh”
Katakanlah, “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu tertipu?” [Al-Muʹminûn/23:84-
89]

Demikian beberapa ayat yang menceritakan ikrar mereka akan kekuasaan Allâh Azza wa
Jalla, bahwa Allâh pencipta, pemberi rezeki dan pengatur segala sesuatu. Sekalipun demikian
tetap saja mereka disebut kaum musyrikin. Mereka adalah orang-orang bodoh, sedangkan zaman
mereka disebut zaman jahiliyah, zaman kebodohan. Banyak ayat yang menceritakan sikap dan
perilaku mereka ini, di antaranya firman Allâh Azza wa Jalla:
35

‫ۗ أَ َولَوْ َكانَ آبَا ُؤهُ ْم اَل يَ ْعقِلُونَ َش ْيئًا‬ ‫َوإِ َذا قِي َل لَهُ ُم اتَّبِعُوا َما أَ ْنزَ َل هَّللا ُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِ ُع َما أَ ْلفَ ْينَا َعلَ ْي ِه آبَا َءنَا‬
َ‫َواَل يَ ْهتَ ُدون‬
Artinya: Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allâh”,
Mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami.” Apakah (mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek
moyang mereka tidak memahami apapun dan tidak mendapat petunjuk?” [Al-Baqarah/2:170]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan tentang firman Allâh ini sebagai berikut;
Apabila dikatakan kepada orang-orang kafir dari kaum Musyrikin itu agar mengikuti ajaran yang
Allâh Azza wa Jalla turunkan kepada Rasul-Nya dan agar meninggalkan kebiasaan sesat dan
kebiasaan bodoh mereka, maka mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa
yang kami dapatkan dari nenek moyang kami.” Yaitu kebiasaan menyembah patung-patung dan
berhala-berhala. Karena itu Allâh Azza wa Jalla kemudian mengingkari pernyataan mereka
dengan mempertanyakan, “Apakah (mereka akan mengikuti juga) meskipun nenek moyang yang
mereka ikuti tidak faham dan tidak mendapat petunjuk?”.

Ayat ini jelas menunjukkan kebiasaan taklid buta kaum Musyrikin dan menunjukkan betapa
tidak cerdasnya mereka. Oleh karena itulah selanjutnya Allâh Azza wa Jalla berfirman:

َ‫ي فَهُ ْم اَل يَ ْعقِلُون‬ ُ ‫َو َمثَ ُل الَّ ِذينَ َكفَرُوا َك َمثَ ِل الَّ ِذي يَ ْن ِع‬
ُ  ۚ ‫ق بِ َما اَل يَ ْس َم ُع إِاَّل ُدعَا ًء َونِدَا ًء‬
ٌ ‫ص ٌّم بُ ْك ٌم ُع ْم‬
Artinya: Dan perumpamaan (orang yang memanggil) orang-orang kafir adalah seperti
penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja.
Mereka tuli, bisu dan buta, oleh sebab itu mereka tidak mengerti. [Al-Baqarah/2:171]

Artinya, perumpamaan orang kafir dengan kebiasaan menyimpang, sesat dan bodohnya, laksana
binatang ternak yang tidak memahami apa kata orang. Bahkan jika penggembalanya
memanggilnya menuju arah yang terbaik, binatang-binatang itu tidak akan memahami
panggilannya kecuali hanya suara saja.
36

Di sisi lain, bisa diperhatikan pula argumen-argumen yang menunjukkan kelambanan


cara berpikir mereka dalam memahami persoalan keyakinan. Yaitu ketika mereka melakukan
peribadatan kepada berhala atau orang-orang shalih yang telah meninggal dunia atau Malaikat,
mereka beranggapan bahwa itu merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa
Jalla yang kemudian mereka sebut sebagai wasîlah. Padahal sejatinya mereka telah memberikan
hak doa atau peribadatan kepada selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Allâh Azza wa Jalla
berfirman menceritakan anggapan bodoh mereka.

‫ۚ َوالَّ ِذينَ اتَّخَ ُذوا ِم ْن ُدونِ ِه أَوْ لِيَا َء َما نَ ْعبُ ُدهُ ْم إِاَّل لِيُقَ ِّربُونَا إِلَى هَّللا ِ ُز ْلفَ ٰى‬  ُ‫ِّين ْالخَ الِص‬
ُ ‫أَاَل هَّلِل ِ الد‬
Artinya: Ingatlah, hanya kepunyaan Allâh-lah agama yang bersih dari syirik. Dan orang-orang
yang menjadikan selain Allâh sebagai pelindung yang dipuja-pujanya (berkata), “Kami tidak
menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allâh dengan sedekat-
dekatnya.”  [Az-Zumar/39:3]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah membawakan riwayat Qatâdah rahimahullah yang


menjelaskan tentang firman Allâh Azza wa Jalla (yang artinya), “Ingatlah, hanya kepunyaan
Allâh-lah agama yang bersih dari syirik”. Maksudnya adalah kesaksian bahwa tiada sesembahan
yang berhak disembah kecuali Allâh Azza wa Jalla. Kemudian Allâh Azza wa Jalla menceritakan
tanggapan para penyembah berhala, mereka mengatakan (yang artinya), “Kami tidak
menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allâh dengan sedekat-
dekatnya”.
Maksudnya, itulah penyebab mereka menyembah patung-patung yang mereka anggap sebagai
perwujudan para malaikat. Yaitu supaya para malaikat itu memberi syafa’at kepada mereka di
sisi Allâh dan supaya para malaikat itu menjadi wasîlah untuk mendekatkan diri kepada Allâh
Azza wa Jalla dengan sedekat-dekatnya sehingga mereka selalu ditolong, rezekinya lancar dan
kebutuhan dunianya terpenuhi.

Inilah syubhat (kerancuan pemahaman) yang selalu menjadi sandaran kaum musyrikin
semenjak zaman dahulu hingga sekarang. Para Rasul Allâh ‘alaihimush shalâtu was salâm telah
datang untuk membantah serta melarang syubhat mereka, dan mengajak mereka untuk hanya
beribadah kepada Allâh saja. Sesungguhnya tindakan kaum musyrikin (menjadikan berhala
37

sebagai wasilah untuk menyembah Allâh) hanyalah rekayasa mereka sendiri, tidak pernah
diizinkan Allâh Azza wa Jalla dan tidak pernah diridhaiNya.
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

ِ ‫ويَ ْعبُ ُدونَ ِم ْن ُدو ِن هَّللا ِ َما اَل يَضُرُّ هُ ْم َواَل يَ ْنفَ ُعهُ ْم َويَقُولُونَ ٰهَؤُاَل ِء ُشفَ َعا ُؤنَا ِع ْن َد هَّللا‬ 
َ
Artinya: Dan mereka menyembah selain Allâh apa yang tidak dapat mendatangkan
kemudharatan kepada mereka dan tidak pula kemanfaatan, dan mereka berkata, “Mereka itu
adalah para pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allâh”. [Yûnus/10:18]
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah menjelaskan, bahwa kaum
musyrikin, dengan membuat wasîlah yang bathil ini mengharapkan syafa’at dari patung-
patungnya (di sisi Allâh). Yaitu dengan melakukan peribadatan terhadap patung-patung itu. Ini
merupakan kebodohan dan kedunguan mereka. Berusaha mendekatkan diri kepada Allâh Azza
wa Jalla , tetapi dengan cara yang justeru membuat mereka semakin jauh dari-Nya.

Orang yang cerdas ketika memahami bahwa Allâh Azza wa Jalla adalah Pencipta segenap
makhluk, Pemberi rezeki dan Pengatur segala sesuatu, maka ia akan dengan penuh tanggung
jawab memberikan seluruh peribadatan hanya kepada-Nya saja serta mejalankan seluruh
kewajibannya. Orang yang demikian ini, mengindikasikan kecerdasan dan kemajuan berpikirnya.
Kisah tentang seseorang yang cerdas dengan sikap bertauhidnya dan keimanannya kepada Allâh
Subhanahu wa Ta’ala. Ayat yang mengisahkan hal ini antara lain dibawakan oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah sebagai pembanding dari kebodohan orang musyrikin yang menjadikan selain
Allâh sebagai sesembahan.[  Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ُ ِ‫﴾ أَأَتَّ ِخ ُذ ِم ْن ُدونِ ِه آلِهَةً إِ ْن ي ُِر ْد ِن الرَّحْ ٰ َم ُن ب‬٢٢﴿ َ‫َو َما لِ َي اَل أَ ْعبُ ُد الَّ ِذي فَطَ َرنِي َوإِلَ ْي ِه تُرْ َجعُون‬
‫ض ٍّر اَل‬
ُ ‫﴾ إِنِّي آ َم ْن‬٢٤﴿ ‫ضاَل ٍل ُمبِي ٍن‬
‫ت بِ َربِّ ُك ْم‬ َ ‫﴾ إِنِّي إِ ًذا لَفِي‬٢٣﴿ ‫ون‬ ِ ‫تُ ْغ ِن َعنِّي َشفَا َعتُهُ ْم َش ْيئًا َواَل يُ ْنقِ ُذ‬
ِ ‫فَا ْس َمع‬
‫ُون‬
Artinya: Mengapa aku tidak menyembah Allâh yang telah menciptakanku dan yang hanya
kepadaNya-lah kamu semua akan dikembalikan?. Apakah aku akan menyembah sesembahan-
sesembahan selain-Nya, yang jika Allâh ar-Rahmân menghendaki kemudharatan terhadapku,
niscaya syafa’at mereka tidak memberi manfaat sedikitpun bagi diriku dan tidak pula mereka
dapat menyelamatkanku?. Sesungguhnya kalau begitu, aku pasti dalam kesesatan yang nyata.
38

Sesungguhnya aku benar-benar beriman kepada Rabbmu, maka dengarkanlah (pengakuan


keimanan)ku. [Yâsîn/36:22-25]
Itulah cara berfikir orang yang cerdas. Seorang yang menyadari sepenuhnya bahwa yang
berhak disembah hanya Allâh Pencipta alam semesta. Sedangkan penyembahan serta doa kepada
apapun atau siapapun selain Allâh adalah kebodohan dan kesesatan. Dan ini pula sikap serta
kecerdasan setiap Mu’min di segala zaman. Para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
terdiri dari kalangan atas seperti Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu hingga kalangan
budak seperti Bilâl Radhiyallahu anhu membuktikan itu semua. Maka kalau orang ingin
meninggalkan keterbelakangan dan kebodohan, harus meninggalkan kemusyrikan, sebab
kemusyrikan adalah kebodohan

6. Tauhid Dan Keadilan

Pertama.  Allah memberitahukan bahwa tujuan dari penciptaan dan perintah adalah, agar
makhluk mengetahui Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya, agar mereka beribadah hanya kepada
Allah saja, tidak dipersekutukan dengan makhlukNya, dan agar menusia berlaku adil. Keadilan
adalah dasar tegaknya langit dan bumi, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫َاب َو ْال ِمي َزانَ لِيَقُو َم النَّاسُ بِ ْالقِ ْس ِط‬


َ ‫ت َوأَ ْنز َْلنَا َم َعهُ ُم ْال ِكت‬
ِ ‫لَقَ ْد أَرْ َس ْلنَا ُر ُسلَنَا بِ ْالبَيِّنَا‬
Artinya: Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti
yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al Kitab dan neraca (keadilan) supaya
manusia dapat melaksanakan keadilan… [al Hadid/57:25].

Dalam ayat ini Allah memberitahukan bahwa tujuan diutusnya para Rasul dan diturunkan
Kitab-kitab-Nya adalah agar manusia menegakkan keadilan. Keadilan yang paling besar
adalah tauhid (mentauhidkan Allah), dan tauhid merupakan pokok, asal, dan tonggak keadilan.
Sedangkan syirik adalah kezhaliman. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ِ ‫ك لَظُ ْل ٌم ع‬
‫َظي ٌم‬ َ ْ‫إِ َّن ال ِّشر‬
Artinya: Sesungguhnya perbuatan syirik adalah kezhaliman yang paling besar. [Luqman/31:13].
39

Karena itulah, syirik (menyekutukan Allah) adalah kezhaliman yang paling zhalim,


dan tauhid adalah keadilan yang paling adil.

Kedua.  ‘Aqidah tauhid membebaskan hati dan jiwa dari penghambaan terhadap makhluk


dengan beribadah hanya kepada Allah Ta’ala saja, serta tidak mengikuti melainkan hanya
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

‘Aqidah tauhid, menuntut seorang muslim untuk meninggalkan segala bentuk


penghambaan kepada selain Allah, karena segala sesuatu selain Allah adalah makhluk, yang
tidak memiliki kekuasaan sedikit pun untuk menciptakan, mengabulkan permintaan dan berbagai
sifat Ilahiyyah lainnya. Sebaliknya, orang yang berbuat kemusyrikan, berarti dirinya telah
berbuat zhalim -lawan dari adil-lagi ingkar. Bagaimana mungkin dia menyembah kepada sesuatu
-yang tiada memiliki kekuasaan- padahal Allah yang menciptakan dirinya dan dia bersyukur
kepada sesuatu itu, padahal Allah-lah yang memberinya rizki. Allah Azza wa Jalla berfirman:

ْ ‫ق َو َما أُ ِري ُد أَ ْن ي‬
‫إِ َّن هَّللا َ هُ َو‬  ‫ُط ِع ُمو ِن‬ ٍ ‫ َما أُ ِري ُد ِم ْنهُ ْم ِم ْن ِر ْز‬  ‫ون‬ َ ‫ت ْال ِج َّن َواإْل ِ ْن‬
ِ ‫س إِاَّل لِيَ ْعبُ ُد‬ ُ ‫َو َما خَ لَ ْق‬
ُ ِ‫ق ُذو ْالقُ َّو ِة ْال َمت‬
‫ين‬ ُ ‫ال َّر َّزا‬
Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
kepadaKu. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak meng-hendaki
supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah, Dia-lah yang Maha Pemberi
rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh. [adz Dzariyat/51:56-58]

Ketiga.  Perintah untuk berlaku adil.


ٰ ‫لِلتَّ ْق َو‬
 ‫ى‬ ُ‫ا ْع ِدلُوا هُ َو أَ ْق َرب‬
Artinya:…Berlaku adillah, karena (adil itu) lebih dekat kepada takwa…. [al Maa-idah/5:8].

Islam, sebagai agama tauhid, memerintahkan penganutnya untuk berakhlak mulia,


bermoral baik dan melarang bermoral buruk. Islam juga memerintahkan setiap perbuatan adil
dan baik, serta melarang perbuatan yang buruk. Allah Ta’ala berfirman:
40

ِ ‫إِ َّن هَّللا َ يَأْ ُم ُر بِ ْال َع ْد ِل َواإْل ِ حْ َس‬


‫يَ ِعظُ ُك ْم‬  ۚ‫ان َوإِيتَا ِء ِذي ْالقُرْ بَ ٰى َويَ ْنهَ ٰى َع ِن ْالفَحْ َشا ِء َو ْال ُم ْن َك ِر َو ْالبَ ْغ ِي‬
َ‫لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكرُون‬
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. [an Nahl/16:90].

Bahkan Allah menyebut KitabNya (al Qur`an) sebagai kalimat yang adil. Allah Ta’ala
berfirman:
‫ص ْدقًا َو َع ْداًل‬
ِ ‫ك‬ ْ ‫َوتَ َّم‬
ُ ‫ت َكلِ َم‬
َ ِّ‫ت َرب‬
Artinya: Dan telah sempurna kalimat Rabb-mu (al Qur`an), (sebagai kalimat) yang benar dan
adil …  (al An’am/6 ayat 115)- maksudnya, benar dalam berita, serta adil dalam memerintah dan
melarang.

Keempat. Tauhid dan bersikap adil terhadap sesama muslim dan orang kafir.

TAUHID MEMISAHKAN ANTARA ORANG MUSLIM DENGAN ORANG KAFIR

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan, bahwa orang yang mengucapkan


dan meyakini kalimat tauhid (ُ‫هَ إِالَّ هللا‬iiiَ‫)الَ إِل‬, maka dia adalah seorang muslim yang berhak
mendapatkan perlindungan dari penguasa kaum Muslimin dan mendapatkan janji surga. Seorang
muslim berhak atas hak wala’ (loyalitas) dari kaum Muslimin lainnya karena tauhid dan
ketaatannya kepada Allah dan RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebaliknya, orang yang mengingkari kalimat tauhid dengan berbuat syirik dengan
kesyirikan yang membuatnya keluar dari Islam- maka orang tersebut harus diperangi dan berhak
atas hak bara’ (kebencian) dari seluruh kaum Muslimin. Allah Ta’ala berfirman:

َ‫قَاتِلُوا الَّ ِذينَ اَل ي ُْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل ِ َواَل بِ ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر َواَل ي َُحرِّ ُمونَ َما َح َّر َم هَّللا ُ َو َرسُولُهُ َواَل يَ ِدينُونَ ِدين‬
َ‫صا ِغرُون‬ َ ‫َاب َحتَّ ٰى يُ ْعطُوا ْال ِج ْزيَةَ ع َْن يَ ٍد َوهُ ْم‬َ ‫ق ِمنَ الَّ ِذينَ أُوتُوا ْال ِكت‬ ِّ ‫ْال َح‬
41

Artinya: Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari Kemudian dan
mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan
mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang
telah diberikan al Kitab hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang mereka
dalam keadaan tunduk. [at Taubah/9:29].

Sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

َ َّ‫ت أَ ْن أُقَاتِ َل الن‬


‫ َويُقِ ْي ُموا‬،ِ‫ َوأَ َّن ُم َح َّمدًا َرسُوْ ُل هللا‬،ُ‫اس َحتَّى يَ ْشهَ ُدوْ ا أَ ْن الَ إِلَهَ إِالَّ هللا‬ ُ ْ‫أُ ِمر‬
،‫ق ْا ِإل ْسالَ ِم‬
ِّ ‫ص ُموْ ا ِمنِّي ِد َما َءهُ ْم َوأَ ْم َوالَهُ ْم إِالَّ بِ َح‬
َ ‫ َع‬، َ‫ فَإ ِ َذا فَ َعلُوْ ا َذلِك‬،َ‫ َوي ُْؤتُوا ال َّز َكاة‬ ،َ‫صالَة‬
َّ ‫ال‬
‫و ِح َسابُهُ ْم َعلَى هللاِ تَ َعالَى‬.
َ
Artinya: Aku diperintahkan untuk memerangi manusia, sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada
ilah (sesembahan) yang diibadahi dengan benar melainkan Allah, dan bahwasanya Muhammad
adalah utusan Allah, menegakkan shalat, dan membayar zakat. Jika mereka telah melakukan hal
tersebut, maka darah dan harta mereka aku lindungi kecuali dengan hak Islam, dan hisab mereka
ada pada Allah Ta’ala.

Perintah memerangi kaum kafir dan musyrik adalah karena kekufuran dan kemusyrikan
mereka terhadap Allah Dzat yang menciptakan mereka- serta karena ‘aqidah mereka yang
menyimpang dari ‘aqidah tauhid; bukan karena dendam pribadi, memperebutkan negara atau
wilayah kekuasaan. Demikianlah perintah Allah kepada RasulNya, juga ummat ini untuk
memerangi kaum musyrikin, agar manusia berbondong-bondong masuk agama Allah dan
mentauhidkanNya. Perintah memerangi, melawan dan membunuh orang kafir, maksudnya
adalah kafir harbi (yang memerangi kaum muslimin). Adapun terhadap orang kafir yang tidak
memerangi kaum Muslimin, maka diperintahkan untuk berbuat adil terhadap mereka dan tidak
boleh men-zhaliminya. Kalau mereka kafir dzimmi (mendapat perlindungan dari pemerintahan
Islam), atau mu’ahad (mengadakan perjanjian dengan pemerintahan Islam),
atau musta’man (mendapat perlindungan keamanan dari pemerintahan Islam), maka mereka
tidak boleh dibunuh. Allah Ta’ala berfirman:
42

‫ار ُك ْم أَ ْن تَبَرُّ وهُ ْم َوتُ ْق ِسطُوا‬ ِ ‫اَل يَ ْنهَا ُك ُم هَّللا ُ َع ِن الَّ ِذينَ لَ ْم يُقَاتِلُو ُك ْم فِي الد‬
ِ َ‫ِّين َولَ ْم ي ُْخ ِرجُو ُك ْم ِم ْن ِدي‬
َ‫إِ َّن هَّللا َ ي ُِحبُّ ْال ُم ْق ِس ِطين‬  ۚ‫إِلَ ْي ِه ْم‬
Artinya: Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. [al Mumtahanah/60:8].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam orang yang membunuh orang
kafir mu’ahad atau dzimmi dengan hukuman yang keras. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:

‫ َوإِ َّن ِري َْحهَا لَيُوْ َج ُد ِم ْن َم ِس ْي َر ِة أَرْ بَ ِع ْينَ عَا ًما‬،‫ َم ْن قَتَ َل ُم َعاهَدًا لَ ْم يَ َرحْ َرائِ َحةَ ْال َجنَّ ِة‬.
Artinya: Barangsiapa yang membunuh seorang kafir mu’ahad, maka ia tidak akan mencium
aroma surga. Padahal sesungguhnya aroma surga itu dapat tercium dari (jarak) perjalanan empat
puluh tahun.

Juga sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

‫ َوإِ َّن ِر ْي َحهَا لَيُوْ َج ُد ِم ْن َم ِسي َْر ِة أَرْ بَ ِع ْينَ عَا ًما‬،‫ َم ْن قَتَ َل قَتِ ْيالً ِم ْن أَ ْه ِل ال ِّذ َّم ِة لَ ْم يَ ِرحْ َرائِ َحةَ ْال َجنَّ ِة‬.
Artinya: Barangsiapa yang membunuh seorang dari ahli dzimmah, maka ia tidak akan mencium
aroma surga. Padahal sesungguhnya aroma surga itu dapat tercium dari (jarak) perjalanan empat
puluh tahun.

7. Pembagian Tauhid

Dari hasil pengkajian terhadap dalil-dalil tauhid yang dilakukan para ulama sejak dahulu
hingga sekarang, mereka menyimpulkan bahwa ada tauhid terbagi menjadi tiga:
Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Al Asma Was Shifat.

Tauhid Rububiyyah;
Adalah mentauhidkan Allah dalam kejadian-kejadian yang hanya bisa dilakukan oleh Allah,
serta menyatakan dengan tegas bahwa Allah Ta’ala adalah Rabb, Raja, dan Pencipta semua
makhluk, dan Allahlah yang mengatur dan mengubah keadaan mereka. (Al Jadid Syarh Kitab
Tauhid,  17). Meyakini rububiyah yaitu meyakini kekuasaan Allah dalam mencipta dan
43

mengatur alam semesta, misalnya meyakini bumi dan langit serta isinya diciptakan oleh Allah,
Allahlah yang memberikan rizqi, Allah yang mendatangkan badai dan hujan, Allah
menggerakan bintang-bintang, dll. Dinyatakan dalam Al Qur’an:

ِ ‫الظلُ َما‬
‫ت َوالنُّو َـر‬ َ ْ‫ت َواأْل َر‬
ُّ ‫ض َو َج َع َل‬ َ َ‫ْال َح ْم ُد هَّلِل ِ ال َّ ِذي َخل‬
‫ق ال َّس َما َوا ِـ‬
Artinya: “Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan Mengadakan
gelap dan terang” (QS. Al An’am: 1)
Dan perhatikanlah baik-baik, tauhid rububiyyah ini diyakini semua orang baik mukmin,
maupun kafir, sejak dahulu hingga sekarang. Bahkan mereka menyembah dan beribadah
kepada Allah.
Hal ini dikhabarkan dalam Al Qur’an:

ُ ‫َولَئِ ْن َسأ َ ْلتَهُ ْم َم ْـن خَ لَقَهُ ْـم لَيَقُولُنَّ هَّللا‬


Artinya: “Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah), ’Siapa
yang telah menciptakan mereka?’, niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Az Zukhruf:
87)

ُ ‫س َو ْالقَ َم َـر لَيَقُولُنَّ هَّللا‬ َ ْ‫ت َواأْل َر‬


‫ض َو َس َّخ َر ال َّش ْم َـ‬ ‫َولَئِ ْن َسأ َ ْلتَهُ ْم َم ْـن خَ لَ َـ‬
ِ ‫ق ال َّس َما َوا‬
Artinya: “Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir jahiliyah), ’Siapa
yang telah menciptakan langit dan bumi serta menjalankan matahari juga bulan?’, niscaya
mereka akan menjawab ‘Allah’ ”. (QS. Al Ankabut 61)
Adapun yang tidak mengimani rububiyah Allah adalah kaum komunis atheis. Syaikh
Muhammad bin Jamil Zainu berkata: “Orang-orang komunis tidak mengakui adanya Tuhan.
Dengan keyakinan mereka yang demikian, berarti mereka lebih kufur daripada orang-orang
kafir jahiliyah” (Lihat Minhaj Firqotin Najiyyah)

Tauhid Uluhiyyah;
Adalah mentauhidkan Allah dalam segala bentuk peribadahan baik yang zhahir maupun batin
(Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17). Dalilnya:
ُ ‫ك نَ ْستَ ِع‬
‫ين‬ ‫ك نَ ْعبُ ُد َوإِي َّا َـ‬
َ ‫إِي َّا‬
44

Artinya: “Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta
pertolongan” (Al Fatihah: 5)

Makna ibadah adalah semua hal yang dicintai oleh Allah baik berupa perkataan maupun
perbuatan. Apa maksud ‘yang dicintai Allah’? Yaitu segala sesuatu yang telah diperintahkan
oleh Allah dan Rasul-Nya, segala sesuatu yang dijanjikan balasan kebaikan bila melakukannya.
Seperti shalat, puasa, bershodaqoh, menyembelih. Termasuk ibadah juga berdoa, cinta,
bertawakkal, istighotsah dan isti’anah. Maka seorang yang bertauhid uluhiyah  hanya
menyerahkan semua ibadah ini kepada Allah semata, dan tidak kepada yang lain. Sedangkan
orang kafir jahiliyyah selain beribadah kepada Allah mereka juga memohon, berdoa,
beristighotsah kepada selain Allah. Dan inilah yang diperangi Rasulullah, ini juga inti dari
ajaran para Nabi dan Rasul seluruhnya, mendakwahkan tauhid uluhiyyah. Allah Ta’ala
berfirman:

‫َولَقَ ْد بَ َع ْثنَا فِي ُك ِّل أ ُ َّم ٍـة َر ُسواًل أَ ِن ا ْعبُ ُدواـ هَّللا َ َواجْ تَنِبُوا الطَّا ُغ َـ‬
‫وت‬
Artinya: “Sungguh telah kami utus Rasul untuk setiap uumat dengan tujuan untuk mengatakan:
‘Sembahlah Allah saja dan jauhilah thagut‘” (QS. An Nahl: 36)

Syaikh DR. Shalih Al Fauzan berkata: “Dari tiga bagian tauhid ini yang paling
ditekankan adalah tauhid uluhiyah. Karena ini adalah misi dakwah para rasul, dan alasan
diturunkannya kitab-kitab suci, dan alasan ditegakkannya jihad di jalan Allah. Semua itu
adalah agar hanya Allah saja yang disembah, dan agar penghambaan kepada selainNya
ditinggalkan” (Lihat Syarh Aqidah Ath Thahawiyah). Perhatikanlah, sungguh aneh jika ada
sekelompok ummat Islam yang sangat bersemangat menegakkan syariat, berjihad dan
memerangi orang kafir, namun mereka tidak memiliki perhatian serius terhadap tauhid
uluhiyyah. Padahal tujuan ditegakkan syariat, jihad adalah untuk ditegakkan tauhid uluhiyyah.
Mereka memerangi orang kafir karena orang kafir tersebut tidak bertauhid uluhiyyah,
sedangkan mereka sendiri tidak perhatian terhadap tauhid uluhiyyah??

 Tauhid Al Asma’ was Sifat;


Adalah mentauhidkan Allah Ta’ala  dalam penetapan nama dan sifat Allah, yaitu sesuai dengan
yang Ia tetapkan bagi diri-Nya dalam Al Qur’an dan Hadits Rasulullah  shallallahu’alaihi
45

wasallam. Cara bertauhid asma wa sifat Allah ialah dengan menetapkan nama dan sifat Allah
sesuai yang Allah tetapkan bagi diriNya dan menafikan nama dan sifat yang Allah nafikan dari
diriNya, dengan tanpa tahrif, tanpa ta’thil  dan tanpa takyif  (Lihat Syarh Tsalatsatil Ushul).
Allah Ta’ala berfirman yang artinya:

‫َوهَّلِل ِ اأْل َ ْس َما ُء ْال ُح ْسنَىـ فَا ْد ُعوهُـ بِهَا‬


Artinya: “Hanya milik Allah nama-nama yang husna, maka memohonlah kepada-Nya dengan
menyebut nama-nama-Nya” (QS. Al A’raf: 180)
Tahrif adalah memalingkan makna ayat atau hadits tentang nama atau sifat Allah dari
makna zhahir-nya menjadi makna lain yang batil. Sebagai misalnya kata ‘ istiwa’ yang artinya
‘bersemayam’ dipalingkan menjadi ‘menguasai’.

Ta’thil adalah mengingkari dan menolak sebagian sifat-sifat Allah. Sebagaimana sebagian


orang yang menolak bahwa Allah berada di atas langit dan mereka berkata Allah berada di
mana-mana.

Takyif adalah menggambarkan hakikat wujud Allah. Padahal Allah sama sekali tidak serupa
dengan makhluknya, sehingga tidak ada makhluk yang mampu menggambarkan hakikat
wujudnya. Misalnya sebagian orang berusaha menggambarkan bentuk tangan Allah,bentuk
wajah Allah, dan lain-lain.

Adapun penyimpangan lain dalam tauhid asma wa sifat Allah adalah tasybih dan tafwidh.

Tasybih adalah menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Padahal Allah


berfirman yang artinya:

ِ َ‫ْس َك ِم ْثلِ ِـه َش ْي ٌء َوهُ َو ال َّس ِمي ُـع ْالب‬


‫صي ُـر‬ َ ‫لَي‬
Arrinya: “Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar
Lagi Maha Melihat” (QS. Asy Syura: 11).

Kemudian tafwidh, yaitu tidak menolak nama atau sifat Allah namun enggan menetapkan
maknanya. Misalnya sebagian orang yang berkata ‘Allah Ta’ala memang ber-istiwa di atas
46

‘Arsy namun kita tidak tahu maknanya. Makna istiwa diserahkan kepada Allah’. Pemahaman
ini tidak benar karena Allah Ta’ala telah mengabarkan sifat-sifatNya dalam Qur’an dan Sunnah
agar hamba-hambaNya mengetahui. Dan Allah telah mengabarkannya dengan bahasa Arab
yang jelas dipahami. Maka jika berpemahaman tafwidh maka sama dengan menganggap
perbuatan Allah mengabarkan sifat-sifatNya dalam Al Qur’an adalah sia-sia karena tidak dapat
dipahami oleh hamba-Nya.

8. Pentingnya Belajar Tauhid


 Ada delapan alasan:
 
Pertama:
Karena Allah menciptakan kita untuk mentauhidkan-Nya.
Dalam ayat disebutkan,

َ ‫ت ْال ِج َّن َواإْل ِ ْن‬


ِ ‫س إِاَّل لِيَ ْعبُ ُد‬
‫ون‬ ُ ‫َو َما َخلَ ْق‬
Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56).
Kata para ulama, maksud beribadah kepada Allah adalah mentauhidkan Allah, berarti hanya
beribadah kepada Allah semata, tidak boleh Allah disekutukan.As-
Sudi rahimahullahmengatakan bahwa ibadah itu ada yang bermanfaat dan ada yang tidak
bermanfaat. Orang-orang musyrik mengenal Allah namun tidak bermanfaat karena mereka masih
menyekutukan Allah atau berbuat syirik. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:38)
 
Kedua:
Syarat masuk surga haruslah bertauhid.
Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam  bersabda,

َ ‫ َوأَ َّن ِع‬، ُ‫ َوأَ َّن ُم َح َّمدًا َع ْبـ ُدهُ َو َر ُسـولُه‬، ُ‫َم ْن َش ِه َد أَ ْن الَ إِلَهَ إِالَّ هَّللا ُ َوحْ َدهُ الَ َشـ ِريكَ لَـه‬
ِ ‫يسـى َع ْبـ ُد هَّللا‬
‫ أَدْخَ لَــهُ هَّللا ُ ْال َجنَّةَ َعلَى‬، ‫ق‬ ٌّ ‫ َو ْال َجنَّةُ َح‬، ُ‫ َورُو ٌح ِم ْنه‬، ‫ أَ ْلقَاهَا إِلَى َمرْ يَ َم‬، ُ‫َو َرسُولُهُ َو َكلِ َمتُه‬
ٌّ ‫ق َوالنَّا ُر َحــ‬
‫َما َكانَ ِمنَ ْال َع َم ِل‬
47

Artinya: Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah
semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-
Nya; begitu juga bersaksi bahwa ‘Isa adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, serta kalimat-Nya
(yaitu Allah menciptakan Isa dengan kalimat ‘kun’, -pen) yang disampaikan pada Maryam dan
ruh dari-Nya; juga bersaksi bahwa surga dan neraka benar adanya; maka Allah akan
memasukkan-Nya dalam surga apa pun amalnya.” (HR. Bukhari, no. 3435 dan Muslim, no. 28)

Dalam lafazh Muslim disebutkan,

‫ب ْال َجنَّ ِة الثَّ َمانِيَ ِة َشا َء‬


ِ ‫أَدْخَ لَهُ هَّللا ُ ِم ْن أَىِّ أَ ْب َوا‬
Artinya: Allah akan memasukkannya ke pintu surga mana saja dari delapan pintu yang ia suka.”

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,


ُ ‫ك بِاهَّلل ِ َش ْيئًا َدخَ َل ْال َجنَّةَ َو َم ْن َماتَ يُ ْش ِر‬
‫ك بِاهَّلل ِ َش ْيئًا َد َخ َل النَّا َر‬ ُ ‫َم ْن َماتَ الَ يُ ْش ِر‬
Artinya: Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak berbuat syirik pada Allah dengan sesuatu
apa pun, maka ia akan masuk surga. Barangsiapa yang mati dalam keadaan berbuat syirik pada
Allah, maka ia akan masuk neraka.” (HR. Muslim, No. 93)
 
Ketiga:
Tauhid adalah sebab dihapuskannya dosa (kesalahan).
Dalam hadits qudsi dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallambersabda, Allah Ta’ala berfirman:

َ ُ‫ك بِى َش ْيئًا ألَتَ ْيت‬


ً‫ك بِقُ َرابِهَا َم ْغفِ َرة‬ ِ ْ‫ب األَر‬
ُ ‫ض َخطَايَا ثُ َّم لَقِيتَنِى الَ تُ ْش ِر‬ ِ ‫يَا ا ْبنَ آ َد َم إِنَّكَ لَوْ أَتَ ْيتَنِى بِقُ َرا‬
Artinya: Wahai anak Adam, jika engkau mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi kemudian
engkau tidak berbuat syirik pada-Ku dengan sesuatu apa pun, maka Aku akan mendatangimu
dengan ampunan sepenuh bumi itu pula.” (HR. Tirmidzi, no. 3540. Tirmidzi mengatakan bahwa
hadits ini hasan gharib. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan)
 
Keempat:
Tauhid adalah sebab datangnya ketenangan.
Ketenangan ini bisa dengan tawakkal penuh kepada Allah dan itu adalah bentuk tauhid.
48

Allah Ta’alaberfirman,

ُ‫َو َم ْن يَتَ َو َّكلْ َعلَى هَّللا ِ فَه َُو َح ْسبُه‬


Artinya: Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3)
Orang yang bergantung kepada Allah akan mendapatkan ketenangan karena Allah akan tolong
dan beri kecukupan, beda halnya kalau ia bergantung kepada manusia yang fakir.
Dalam hadits disebutkan,

ِ ‫اس بِ َس ـ َخ ِط هَّللا‬
ِ َّ‫ض ـا َء الن‬ َ ‫اس َو َم ِن ْالتَ َم‬
َ ‫س ِر‬ ِ َّ‫اس َكفَــاهُ هَّللا ُ ُم ْؤنَ ـةَ الن‬
ِ َّ‫ض ـا َء هَّللا ِ بِ َس ـ َخ ِط الن‬
َ ‫س ِر‬َ ‫َم ِن ْالتَ َم‬
ِ َّ‫َو َكلَهُ هَّللا ُ إِلَى الن‬
‫اس‬
Artinya: Barangsiapa yang mencari ridha Allah saat manusia tidak suka, maka Allah akan
cukupkan dia dari beban manusia. Barangsiapa yang mencari ridha manusia namun Allah itu
murka, maka Allah akan biarkan dia bergantung kepada manusia.” (HR. Tirmidzi, no. 2414. Al-
Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan)
 
Kelima:
Amalan tidaklah diterima sampai seseorang bertauhid.
Allah Ta’alaberfirman,

‫صالِحًا َواَل يُ ْش ِر ْك بِ ِعبَا َد ِة َربِّ ِه أَ َحدًا‬


َ ‫فَ َم ْن َكانَ يَرْ جُو لِقَا َء َربِّ ِه فَ ْليَ ْع َملْ َع َماًل‬
Artinya: Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada
Rabbnya.” (QS. Al-Kahfi: 110).

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih”,


maksudnya adalah mencocoki syariat Allah (mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, pen.). Dan “janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada
Rabbnya”, maksudnya selalu mengharap wajah Allah semata dan tidak berbuat syirik pada-Nya.
Inilah dua rukun diterimanya ibadah, yaitu harus ikhlas karena Allah dan mengikuti
petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:201-202)
 
Keenam:
49

Tauhid sebab digandakannya kebaikan atau berlipatnya pahala.


Allah menyebutkan tentang sedekah;

ْ ‫يل هَّللا ِ َك َمثَ ِل َحبَّ ٍة أَ ْنبَت‬


ُ ‫َت َس ْب َع َسنَابِ َل فِي ُكـ ِّل ُسـ ْنبُلَ ٍة ِمائَـةُ َحبَّ ٍة َوهَّللا‬ ِ ِ‫َمثَ ُل الَّ ِذينَ يُ ْنفِقُونَ أَ ْم َوالَهُ ْم فِي َسب‬
ِ ‫ف لِ َم ْن يَ َشا ُء َوهَّللا ُ َو‬
‫اس ٌع َعلِي ٌم‬ ُ ‫اع‬ ِ ‫ض‬ َ ُ‫ي‬
Artinya: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya
di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap
bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah
Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 261)
Ibnu Katsir menerangkan mengenai ayat “Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia
kehendaki”, maksudnya adalah tergantung kepada keikhlasannya. (Tafsir Al-Qur’an
Al-‘Azhim, 2:261)
 
Ketujuh:
Tauhid sebab hidayah dan rasa aman.
Allah Ta’alaberfirman,

َ‫الَّ ِذينَ آَ َمنُوا َولَ ْم يَ ْلبِسُوا إِي َمانَهُ ْم بِظُ ْل ٍم أُولَئِكَ لَهُ ُم اأْل َ ْم ُن َوهُ ْم ُم ْهتَ ُدون‬
Artinya: Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka
dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 82).

Ketika turun ayat tersebut, para sahabat pun menanyakan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Mereka berkata,
ْ َ‫أَيُّنَا الَ ي‬
ُ‫ظلِ ُم نَ ْف َسه‬
Artinya: Siapa yang tidak menzalimi dirinya sendiri?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamlantas berkata;

ِ ‫ك لَظُ ْل ٌم ع‬
‫َظي ٌم‬ َ ْ‫ى الَ تُ ْش ِر ْك بِاهَّلل ِ إِ َّن ال ِّشر‬ َ َ‫ْس هُ َو َك َما تَظُنُّونَ إِنَّ َما هُ َو َك َما ق‬
ُ ‫ال لُ ْق َم‬
َّ َ‫ان ِال ْبنِ ِهيَا بُن‬ َ ‫لَي‬
50

Artinya: Itu bukan seperti yang kalian sangkakan. Yang dimaksud dengan zalim di situ adalah
seperti perkataan Lukman pada anaknya, “Wahai anakku, janganlah engkau berbuat syirik pada
Allah karena syirik adalah kezaliman yang amat besar.“ (HR. Bukhari, no. 4776 dan Muslim, no.
124).
Ibnu Katsir rahimahullahmenyatakan tentang surah Al-An’am ayat 82, “Mereka adalah orang
yang memurnikan ibadah hanya untuk Allah, tidak berbuat syirik pada-Nya. Mereka tidak
berbuat syirik sedikit pun. Balasannya, mereka mendapatkan rasa aman pada hari kiamat dan
mendapatkan petunjuk di dunia dan akhirat.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3:569)
 

Kedelapan:
Tauhid adalah sebab mendapatkan syafa’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuberkata, ada yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,

‫ لقــد‬: ‫الناس ب َشفاعتِك يو َم القيام ِة ؟ قال رسو ُل هللاِ صلَّى هللاُ عليــه وس ـلَّم‬
ِ ‫ َمن أس َع ُد‬، ِ‫رسول هللا‬
َ ‫يا‬
‫رصـك‬ ُ
ِ ‫رأيت من ِح‬ ِ ‫يرةَ – أن ال يَسأَلَني عن هــذا الحــدي‬
‫ ل ِمــا‬، ‫ث أحـ ٌد أو َل منــك‬ ُ ‫ظن‬
َ ‫َنت – يا أبا هُ َر‬
‫ أو‬، ‫خالص ـا من قلبِــه‬
ً ، ُ‫ َمن قــال ال إلـهَ إال هللا‬، ‫الناس ب َشفاعَتي يو َم القيامـ ِة‬
ِ ‫ أس َع ُد‬، ‫ث‬
ِ ‫على الحدي‬
.‫نفسه‬
ِ
Artinya: Katakanlah wahai Rasulullah, siapa yang berbahagia karena mendapat syafa’atmu pada
hari kiamat kelak?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Wahai Abu Hurairah, aku
merasa tidak ada yang bertanya kepadaku tentang hal ini selain engkau. Yang aku lihat, ini
karena semangatmu mempelajari hadits. Yang berbahagia dengan syafa’atku pada hari kiamat
nanti adalah yang mengucapkan laa ilaha illallah dengan ikhlas dalam hatinya.” (HR. Bukhari,
no. 99)
Dari ‘Ubâdah bin ash-Shâmit Radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ‫ َوأَ َّن ِع ْي َسى َع ْب ُد هللا‬، ُ‫ َوأَ َّن ُمـ َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرسُوْ لُه‬، ُ‫ك لَه‬ َ ‫إِاَّل هللاُ َوحْ َدهُ اَل َش ِر ْي‬ َ‫َم ْن َش ِه َد أَ ْن اَل إِ ٰلـه‬
َ‫ أَ ْد َخلَهُ هللاُ ْالـ َجنَّـة‬، ‫ق‬
ٌّ ‫ َوالنَّا َر َحـ‬، ‫ق‬ ٌّ ‫ـجـنَّـةَ َحـ‬َ ‫ َو ْال‬، ُ‫َو َرسُوْ لُهُ َو َكلِ َمتُهُ أَ ْلقَاهَا إِلَى َمرْ يَ َم َورُوْ ٌح ِم ْنه‬
‫ َعلَى َما َكانَ ِمنَ ْال َع َم ِل‬.
51

Artinya: Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain
Allâh saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-
Nya; dan bahwa ‘Isa adalah hamba Allâh dan Rasul-Nya dan kalimat-Nya yang disampaikan-
Nya kepada Maryam serta ruh dari-Nya; dan bahwa surga adalah benar adanya dan neraka
adalah benar adanya, maka Allâh pasti memasukkannya ke dalam surga bagaimanapun amal
yang telah diperbuatnya.

9. Perusak Ke-Islaman
Allah Azza wa Jalla telah memberikan karunia yang sangat berharga kepada umat ini. Diutusnya
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Rasulullâh dengan membawa agama
Islam merupakan nikmat agung. Allah Azza wa Jalla berfirman :

‫ث فِي ِه ْم َر ُسواًل ِّم ْن أَنفُ ِس ِه ْم يَ ْتلُو َعلَ ْي ِه ْم آيَاتِ ِه َويُ َز ِّكي ِه ْم َويُ َعلِّ ُمهُ ُم‬
َ ‫لَقَ ْد َم َّن هَّللا ُ َعلَى ْال ُم ْؤ ِمنِينَ إِ ْذ بَ َع‬
َ ‫َاب َو ْال ِح ْك َمةَ َوإِن َكانُوا ِمن قَ ْب ُل لَفِي‬
‫ضاَل ٍل ُّمبِي ٍن‬ َ ‫ْال ِكت‬
Artinya: Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orangorang yang beriman ketika Allah
mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan
kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka
al-kitab dan al-hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah
benarbenar dalam kesesatan yang nyata. [Ali Imrân/3:164]

Oleh karena itu, seorang muslim wajib mensyukuri, menjaga dan memohon kepada Allah
Azza wa Jalla agar kita dilindungi dari segala yang bisa merusak nikmat yang sangat berharga
ini. Selama kita masih diberi kesempatan hidup oleh Allah Azza wa Jalla, janganlah kita merasa
bahwa nikmat ini (Islam) akan tetap ada dan terpelihara pada diri kita. Nabi Ibrâhîm
Alaihissallam, meski beliau Alaihissallam telah menghancurkan berhala yang disembah oleh
kaumnya kala itu, beliau Alaihissallam tetap mengkhawatirkan diri beliau. Beliau Alaihissallam
berdo’a :

‫ي أَن نَّ ْعبُ َد اأْل َصْ نَا َم‬


َّ ِ‫َواجْ نُ ْبنِي َوبَن‬
Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari penyembahan terhadap berhala-berhala
[Ibrâhîm/14:35]
52

Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan agar berdo’a kepada Allah
Azza wa Jalla supaya diberi ketetapan hati di atas nikmat yang agung ini. Rasulullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam sering membaca doa :

َ‫ِّت قَ ْلبِي َعلَى ِدينِك‬ ِ ‫ب ْالقُلُو‬


ْ ‫ب ثَب‬ َ ِّ‫يَا ُمقَل‬
Artinya: Wahai Dzat yang membolak-balik hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu

Para Ulama’ sejak zaman dahulu telah memberikan porsi perhatian lebih terhadap
masalah-masalah yang bisa menyebabkan seseorang menjadi murtad (keluar dari agama Islam)
ini. Mereka telah menyusun kitab kitab untuk menjelaskan permasalahan ini. Mereka juga
membuat bab khusus dalam kitab-kitab fikih yang mereka sebut dengan “Bab Hukum Murtad”.
Dalam bab ini, mereka menjelaskan dan memberikan perincian tentang hal-hal yang bisa
membatalkan keislaman seseorang dan juga hukum orang yang melakukan pembatal-pembatal
ini.
Banyak hal yang bisa menyebabkan seseorang menjadi murtad. Di antaranya, ada yang
berbentuk perkataan, perbuatan, keyakinan dan keragu-raguan. Perkataan-perkataan yang
dilontarkan seseorang terkadang bisa menyebabkan dia menjadi kafir ketika itu juga. Begitu juga
dengan tindakan yang dilakukan seseorang atau keyakinan kuat dalam hati yang dipegangi
dengan erat-erat ataupun keraguan-raguan yang dipendam dalam hatinya terkadang bisa
menyeret seseorang ke lembah kekufuran.

MURTAD DENGAN SEBAB PERKATAAN

Syaikh Shâlih Fauzân hafizhahullâh mengatakan, “Seseorang bisa murtad dengan sebab
perkataan jika dia mengucapkan kalimat kufur atau syirik, bukan dalam keadaan terpaksa, baik
serius, gurau atau bercanda. Jika ada orang yang mengucapkan kufur, maka dia dihukumi
murtad, kecuali jika dia terpaksa mengucapkannya. Allah Azza wa Jalla berfirman :

‫َولَقَ ْد قَالُوا َكلِ َمةَ ْال ُك ْف ِر َو َكفَرُوا بَ ْع َد إِ ْساَل ِم ِه ْم‬


Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah
Islam. [at-Taubah/9:74]
53

Tentang orang-orang yang mencela Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
Sahabat Radhiyallahu ‘anhum dengan mengatakan, “Kami tidak pernah melihat orang-orang
yang sama dengan para ahli baca kita (maksudnya Rasulullâh dan para Sahabat), ”Mereka ini
ucapannya bohong, lebih memikirkan perut dan paling pengecut saat berjumpa musuh, Allah
Azza wa Jalla berfirman :

‫َولَئِن َسأ َ ْلتَهُ ْم لَيَقُولُ َّن إِنَّ َما ُكنَّا نَ ُخوضُ َون َْل َعبُ ۚ قُلْ أَبِاهَّلل ِ َوآيَاتِ ِه َو َرسُولِ ِه ُكنتُ ْم تَ ْستَه ِْزئُونَ اَل تَ ْعتَ ِذرُوا‬
‫قَ ْد َكفَرْ تُم بَ ْع َد إِي َمانِ ُك ْم‬
Artinya: Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah
mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.”
Katakanlah, “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu berolokolok?”
Kalian tidak usah minta maaf, karena kalian telah kafir sesudah beriman. [at-Taubah/9:65-66]

Ketika tahu Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa salalm menerima wahyu tentang ucapan mereka,
mereka bergegas menemui Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjelaskannya dan
meminta maaf. Namun Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bergeming.” Selanjutnya
Syaikh Shalih Fauzân hafidzahullâh menyimpulkan, “Ini menunjukkan bahwa orang yang
mengucapkan kalimat-kalimat kufur bukan karena terpaksa, bisa menjadi kafir, meskipun dia
menganggap sedang bermain, bergurau atau demi menghibur orang lain. Ini juga sebagai
bantahan terhadap golongan Murji’ah yang berpendapat bahwa seseorang tidak bisa kafir dengan
sebab perkataan semata kecuali kalau perkataan itu disertai keyakinan dalam hati.”

Syaikh Bin Bâz rahimahullah memberikan contoh perkataan yang bisa menyeret seseorang ke
dalam jurang kekufuran yaitu mencela Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, seperti mengatakan,
“Allah Azza wa Jalla zhalim; Allah Azza wa Jalla bakhîl; Allah Azza wa Jalla faqîr; Allah Azza
wa Jalla tidak mengetahui sebagian masalah, Allah Azza wa Jalla tidak mampu dalam sebagian
masalah. Beliau rahimahullah juga memasukkan perkataan, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla
tidak mewajibkan kita melakukan shalat.” dalam perkataan kufur. Beliau rahimahullah
mengatakan, “Orang yang mengucapkan perkataan ini telah kafir, keluar dari agama Islam,
berdasarkan ijmâ’. Kecuali jika dia memang tidak tahu dan bertempat tinggal di daerah terpencil,
jauh dari kaum Muslimin. Orang seperti ini harus diajari. Jika setelah diajari, dia masih seperti
54

itu, berarti dia kafir. Sedangkan jika orang yang mengucapkan itu, orang yang berdomisili di
tengah kaum Muslimin serta memahami ajaran-ajaran agama, maka ini merupakan sebuah
kemurtadan. Orang ini harus diminta supaya bertaubat. Jika dia bertaubat maka alhamdulillâh,
namun jika tidak maka dia kenai hukuman mati.”
Ucapan-ucapan kufur ini jika terpaksa diucapkan, misalnya diancam dibunuh atau akan disiksa
jika tidak mengucapkannya, maka ketika itu si pengucap tidak dihukumi kafir, dengan syarat
hatinya tetap teguh meyakini Islam. Sebagaimana kisah ‘Amâr bin Yâsir Radhiyallahu ‘anhu
yang terpaksa mengucapkan kalimat kufur setelah dipaksa oleh orang-orang kafir dengan
berbagai siksa. Allah Azza wa Jalla berfirman:
ْ ‫إِاَّل َم ْن أُ ْك ِرهَ َوقَ ْلبُهُ ُم‬
ِ ‫ط َمئِ ٌّن بِاإْل ِ ي َم‬
‫ان‬
Artinya: Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak
berdosa). [an-Naml/16:106]

MURTAD DENGAN SEBAB PERBUATAN


Syaikh Bin Bâz rahimahullah memberikan contoh perbuatan-perbuatan yang bisa menyebabkan
pelakunya terjerumus dalam kemurtadan yaitu :
1. Sengaja meninggalkan shalat meskipun dia tetap meyakini shalat itu wajib, menurut pendapat
yang terkuat dari dua pendapat dalam masalah ini. Ini merupakan sebuah tindakan
kemurtadan. Berdasarkan sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

َّ ‫ْال َع ْه ُد الَّ ِذي بَ ْينَنَا َو بَ ْينَهُ ْم ال‬


‫صالَ ةُ فَ َم ْن تَ َر َكهَا فَقَ ْد َكفَ َر‬
Batas antara kita dengan mereka adalah shalat, barangsiapa yang meninggalkan shalat berarti
dia telah kafir. [HR Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasâ’i, Ibnu Mâjah dengan sanad shahîh]
Juga Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

‫صالَ ِة‬ ُ ْ‫ك َو ْال ُك ْف ِر تَر‬


َّ ‫ك ال‬ ِ ْ‫بَ ْينَ ال َّر ُج ِل َوبَ ْينَ ال ِّشر‬
Artinya: Batas antara seseorang dengan kesyirikan serta kekufuran adalah meninggalkan
shalat. [HR Imam Muslim dalam shahîh beliau rahimahullah]
2. Melecehkan al-Qur’ân dengan cara diduduki, dilumuri benda najis atau diinjak. Orang yang
melakukan perbuatan ini telah murtad dari Islam.
3. Melakukan ibadah thawaf di kuburan (mengelilinginya-red) dengan tujuan mendekatkan diri
atau menyembah penghuni kuburan. Sedangkan thawaf dikuburan dengan tujuan beribadah
55

kepada Allah Azza wa Jalla, maka ini termasuk perbuatan bid’ah yang bisa menggerogoti
dien seseorang. Ini juga sebagai salah satu pintu kesyirikan. Hanya saja pelakunya tidak
sampai murtad.
4. Menyembelih untuk selain Allah Azza wa Jalla, misalnya menyembelih binatang dengan
tujuan beribadah kepada penghuni kubur; beribadah kepada jin dan lain sebagainya. Daging
binatang yang disembelih itu hukum haram untuk dikonsumsi sedangkan orang yang
melakukan ritual ini telah murtad, keluar dari Islam.
Syaikh Shâlih Fauzân hafizhahullâh menegaskan bahwa orang yang menyembelih untuk berhala,
patung atau sujud kepadanya, maka dia telah menjadi musyrik , meskipun dia masih shalat,puasa
dan haji. Karena keislaman telah batal dengan sebab perilaku syiriknya. Na’ûdzubillâh.

MURTAD DENGAN SEBAB KEYAKINAN


Keyakinan dalam kalbu seseorang bisa menyebabkan dia selamat atau sebaliknya bisa membawa
petaka yang tidak berkesudahan jika dia meninggal sebelum bertaubat. Meskipun keyakinan ini
tidak terucap atau belum mampu diwujudkan dalam dunia nyata. Di antara contoh keyakinan
berbahaya ini adalah:
1. Berkeyakinan bahwa Allah Azza wa Jalla itu fakir, zhalim memiliki sifat buruk lainnya.
Meskipun ini belum terucap, orang yang memendam keyakinan ini telah keluar dari Islam
menurut ijmâ’ kaum Muslimin.
2. Berkeyakinan bahwa tidak ada hari kebangkitan setelah kematian atau berkeyakinan bahwa itu
hanya ilusi yang tidak ada dalam alam nyata, tidak ada surga dan neraka.
3. Berkeyakinan bahwa Rasul terakhir, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak jujur serta
berkeyakinan bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan rasul terakhir.
Keyakinan ini menyebabkan kekufuran meskipun orang yang meyakini hal ini tidak
mengucapkannya.
4. Berkeyakinan bahwa berdoa atau beribadah kepada selain Allah Azza wa Jalla tidak apa-apa,
seperti berdoa atau beribadah kepada para nabi, matahari, bintang-bintang atau lain
sebagainya. Allah Azza wa Jalla berfirman :

‫اط ُل َوأَ َّن هَّللا َ هُ َو ْال َعلِ ُّي ْال َكبِي ُر‬ ُّ ‫ٰ َذلِكَ بِأ َ َّن هَّللا َ هُ َو ْال َح‬
ِ َ‫ق َوأَ َّن َما يَ ْد ُعونَ ِمن ُدونِ ِه هُ َو ْالب‬
56

(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah Karena Sesungguhnya Allah, dialah (Rabb) yang
Hak dan Sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, Itulah yang batil, [al-
Hajj/22:62]

Dan masih banyak dalil lain yang semakna. Jadi orang yang berkeyakinan bahwa seseorang
boleh beribadah kepada selain Allah Azza wa Jalla berarti dia telah kafir. Jika keyakinan ini
diucapkan dengan lisannya berarti dia kafir dengan dua sebab yaitu ucapan dan keyakinan. Jika
ada yang seperti itu lalu dia juga berdo’a kepada selain Allah Azza wa Jalla berarti dia kafir
dengan tiga sebab sekaligus, ucapan, keyakinan dan perbuatan.
Termasuk dalam point ini, apa yang dilakukan oleh para penyembah kuburan saat ini di berbagai
daerah. Mereka mendatangi kuburan orang-orang yang dianggap shalih atau dianggap wali lalu
mereka meminta tolong kepadanya. Orang yang melakukan seperti ini berarti dia telah kafir
dengan tiga sebab yaitu keyakinan, perkataan dan perbuatan.

MURTAD DENGAN SEBAB RAGU

Jika ada seseorang yang meragukan kebenaran risalah yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam atau meragukan keberadaan hari kebangkitan setelah kematian atau keberadaan
surga dan neraka, maka orang ini telah kafir. Meskipun dia masih shalat, puasa atau melakukan
berbagai amal kebaikan, selama hatinya masih menyimpan keragu-raguan maka dia tetap kafir.
Namun, yang perlu diingat, bahwa sebagai manusia hanya bisa menghukumi secara zhahir saja.
Artinya, jika kita melihat seseorang yang secara zhahir dia melakukan shalat, puasa, haji, zakat
dan lain sebagainya, maka kita menghukumi dia sebagai seorang Muslim dan kita perlakukan
sebagai seorang Muslim. Jika dia meninggal kita shalatkan dan dimakamkan sebagaimana
syari’at Islam. Sedangkan keyakinan yang tersembunyi dalam hatinya, yakinkah dia ataukah
ragu, beriman ataukah kafir, hanya Allah Azza wa Jalla yang tahu. Inilah empat hal yang bisa
menyebabkan seseorang menjadi murtad:

1. Mengucapkan kalimat kufur atau syirik, bukan karena terpaksa.


2. Meyakini suatu yang kufur atau syirik.
3. Melakukan perbuatan kufur atau syirik.
57

4. Ragu terhadap kebenaran dien yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

BAB III
SYAHADAT

1. Syahadat

Syahadat berasal dari kata bahasa Arab yaitu syahida (‫ )شــهد‬yang artinya "ia telah
menyaksikan". Kalimat itu dalam syariat Islam adalah sebuah pernyataan kepercayaan sekaligus
pengakuan akan keesaan Tuhan (Allah) dan Muhammad sebagai RasulNya. Syahadatain (dua
kalimat syahadat) adalah kesaksian bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi
dengan benar kecuali Allâh Azza wa Jalla, dan bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah hamba serta Rasul-Nya. Kedua kesaksian ini merupakan keyakinan mantap yang
diekspresikan dengan lisan. Dengan kemantapannya itu, seakan-akan orang yang
mengikrarkannya dapat menyaksikan keberadaan Allâh Azza wa Jalla .
Syahadah (kesaksian) merupakan satu rukun padahal yang dipersaksikan itu ada dua hal. Hal
itu, karena Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penyampai risalah dari Allâh Azza wa
Jalla . Jadi, kesaksian bahwasanya Muhammad  Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan
Rasul (utusan) Allâh Azza wa Jalla merupakan kesempurnaan kesaksian ُ‫إِ ٰلـهَ إِاَّل هللا‬  ‫اَل‬.
58

Kedudukan Dua Kalimat Syahadat Dalam Syari’at Islam

Syahadatain (dua kesaksian) merupakan prinsip dasar yang menjadikan penentu keabsahan dan
diterima atau tidaknya amalan para hamba. Suatu amalan akan sah dan diterima apabila
dilakukan dengan keikhlasan hanya karena Allâh Azza wa Jalla dan mutâba’ah (mengikuti)
Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ikhlas karena Allâh Azza wa Jalla merupakan
realisasi dari syahadat (persaksian) L ILÂHA ILLALLÂH, tidak ada ilah (sesembahan) yang
berhak diibadahi dengan benar kecuali Allâh Azza wa Jalla. Sedangkan mutâba’ah atau
mengikuti Sunnah dari Rasûlullâh Shallallahu merupakan realisasi dari syahadat (kesaksian)
bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya. Al-Hafizh
Ibnu Hajar rahimahullah (wafat th. 852 H) berkata, “Yang dimaksud dengan syahadat di sini
adalah membenarkan apa yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga
mencakup semua yang disebutkan tentang keyakinan (rukun iman yang enam dan yang
selainnya).”

PERTAMA: MAKNA SYAHADATAIN

[A]. Makna Syahadat “Laa ilaaha illallah” Yaitu beri’tikad dan berikrar bahwasanya tidak ada
yang berhak disembah dan menerima ibadah kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala, menta’ati hal
terse-but dan mengamalkannya. La ilaaha menafikan hak penyembahan dari selain Allah, siapa
pun orangnya. Illallah adalah penetapan hak Allah semata untuk disembah.
Jadi makna kalimat ini secara ijmal (global) adalah, “Tidak ada sesembahan yang hak selain
Allah”. Khabar “Laa” harus ditaqdirkan “bi haqqi” (yang hak), tidak boleh ditaqdirkan dengan
“maujud” (ada). Karena ini menyalahi kenyataan yang ada, sebab tuhan yang disembah selain
Allah banyak sekali. Hal itu akan berarti bahwa menyembah tuhan-tuhan tersebut adalah ibadah
pula untuk Allah. Ini Tentu kebatilan yang nyata.

[B]. Makna Syahadat “Anna Muhammadan Rasulullah” Yaitu mengakui secara lahir batin
bahwa beliau adalah hamba Allah dan RasulNya yang diutus kepada manusia secara
keseluruhan, serta mengamalkan konsekuensinya: menta’ati perintahnya, membenarkan
59

ucapannya, menjauhi larangannya, dan tidak menyembah Allah kecuali dengan apa yang
disyari’atkan.

KEDUA: RUKUN SYAHADATAIN

[A]. Rukun “Laa ilaaha illallah” Laa ilaaha illallah mempunyai dua rukun:
1) An-Nafyu atau peniadaan: “Laa ilaha” membatalkan syirik dengan segala bentuknya dan
mewajibkan kekafiran terhadap segala apa yang disembah selain Allah.
2) Al-Itsbat (penetapan): “illallah” menetapkan bahwa tidak ada yang berhak disembah
kecuali Allah dan mewajibkan pengamalan sesuai dengan konsekuensinya.
Makna dua rukun ini banyak disebut dalam ayat Al-Qur’an, seperti firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:

‫ٱستَمۡ َسكَ بِ ۡٱلع ُۡر َو ِة‬ ‌ِّۚ ‫ِّين قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّ ۡش ُد ِمنَ ۡٱلغ‬
ِ ‫َى فَ َمن يَ ۡكفُ ۡر بِٱلطَّ ٰـ ُغو‬
ۡ ‫ت َوي ُۡؤ ِم ۢن بِٱهَّلل ِ فَقَ ِد‬ ‌ِۖ ‫ٓا إِ ۡك َراهَ فِى ٱلد‬
‫صا َم لَهَ ۗا‌ َوٱهَّلل ُ َس ِمي ٌع َعلِي ٌم‬َ ِ‫ٱل ُو ۡثقَ ٰى اَل ٱنف‬ 
ۡ
“Artinya: Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beri-man kepada Allah,
makasesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat …” [Al-Baqarah: 256].

Firman Allah, “siapa yang ingkar kepada thaghut” itu adalah makna dari “Laa ilaha”
rukun yang pertama. Sedangkan firman Allah, “dan beriman kepada Allah” adalah makna dari
rukun kedua, “illallah”. Begitu pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi Ibrahim
alaihis salam:

‫ۥ َسيَہۡ ِدي ِن‬ ُ‫إِاَّل ٱلَّ ِذى فَطَ َرنِى فَإِنَّه‬ )٢٦( َ‫َوإِ ۡذ قَا َل إِ ۡب َرٲ ِهي ُم أِل َبِي ِه َوقَ ۡو ِم ِۤۦه إِنَّنِى بَ َرٓا ۬ ٌء ِّم َّما ت َۡعبُ ُدون‬
“Artinya: Sesungguhnya aku berlepas diri terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku
menyembah) Tuhan yang menjadikanku …”. [Az-Zukhruf: 26-27]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala , “Sesungguhnya aku berlepas diri” ini adalah makna nafyu
(peniadaan) dalam rukun pertama. Sedangkan perkataan, “Tetapi (aku menyembah) Tuhan yang
menjadikanku”, adalah makna itsbat (penetapan) pada rukun kedua.
60

[B]. Rukun Syahadat “Muhammad Rasulullah”.

Syahadat ini juga mempunyai dua rukun, yaitu kalimat “‘abduhu wa rasuluh ” hamba dan
utusanNya). Dua rukun ini menafikan ifrath (berlebih-lebihan) dan tafrith (meremehkan) pada
hak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau adalah hamba dan rasulNya. Beliau adalah
makhluk yang paling sempurna dalam dua sifat yang mulia ini, di sini artinya hamba yang
menyembah. Maksudnya, beliau adalah manusia yang diciptakan dari bahan yang sama dengan
bahan ciptaan manusia lainnya. Juga berlaku atasnya apa yang berlaku atas orang lain.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ْ ‫ى أَنَّ َمٓا إِلَ ٰـهُ ُكمۡ إِلَ ٰـ ۬هٌ َوٲ ِح ۬ ۖ ٌ‌د فَ َمن َكانَ يَ ۡرج‬
ً‫ُوا لِقَٓا َء َربِّ ِهۦ فَ ۡليَ ۡع َم ۡل َع َم ۬ال‬ َّ َ‫قُ ۡل إِنَّ َمٓا أَن َ۟ا بَ َش ۬ ٌر ِّم ۡثلُ ُكمۡ يُو َح ٰ ٓى إِل‬
‫ص ٰـلِ ۬ ًحا َواَل ي ُۡش ِر ۡك بِ ِعبَا َد ِة َربِّ ِۤۦه أَ َح ۢ َدا‬  َ
“Artinya : Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, …’.” [Al-
Kahfi : 110]

Beliau hanya memberikan hak ubudiyah kepada Allah dengan sebenar-benarnya, dan karenanya
Allah Subhanahu wa Ta’ala memujinya:

‫ ِم ۡن هَا ۬ ٍد‬ ‫ُضلِ ِل ٱهَّلل ُ فَ َما لَهُ ۥ‬


ۡ ‫ۥ‌ۖ َويُخَ ِّوفُونَكَ بِٱلَّ ِذينَ ِمن ُدونِ ِۚۦ‌ه َو َمن ي‬ ُ‫اف ع َۡب َده‬ َ ‫أَلَ ۡي‬
ٍ ‫س ٱهَّلل ُ بِ َك‬
“Artinya: Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hambaNya.” [Az-Zumar: 36]

‫ۥ ِع َو َج ۜا‬ ُ‫ب َولَمۡ يَ ۡج َعل لَّه‬


َ ‫ى أَنزَ َل َعلَ ٰى ع َۡب ِد ِه ۡٱل ِكتَ ٰـ‬
ٓ ‫ۡٱل َحمۡ ُد هَّلِل ِ ٱلَّ ِذ‬
“Artinya : Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab (Al-
Qur’an) …”[Al-Kahfi: 1]

۬
َ ‫ى أَ ۡس َر ٰى بِ َع ۡب ِد ِهۦ لَ ۡيالً ِّمنَ ۡٱل َم ۡس ِج ِد ۡٱل َح َر ِام إِلَى ۡٱل َم ۡس ِج ِد ٱأۡل َ ۡق‬
 ‫ۥ لِنُ ِريَهُۥ‬ ُ‫صا ٱلَّ ِذى بَ ٰـ َر ۡكنَا َح ۡولَه‬ ٓ ‫س ُۡب َحـٰنَ ٱلَّ ِذ‬
‫صي ُر‬ِ َ‫ۥ هُ َو ٱل َّس ِمي ُع ۡٱلب‬ ُ‫ِم ۡن َءايَ ٰـتِنَ ۚٓا‌ إِنَّه‬
“Artinya : Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam dari Al-
Masjidil Haram …” [Al-Isra’: 1].
61

Sedangkan Rasul artinya, orang yang diutus kepada seluruh manusia dengan misi dakwah
kepada Allah sebagai basyir (pemberi kabar gembira) dan nadzir (pemberi peringatan).
Persaksian untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dua sifat ini meniadakan ifrath
dan tafrith pada hak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena banyak orang yang
mengaku umatnya lalu melebihkan haknya atau mengkultuskannya hingga mengangkatnya di
atas martabat sebagai hamba hingga kepada martabat ibadah (penyembahan) untuknya selain
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka ber-istighatsah (minta pertolongan) kepada beliau, dari
selain Allah. Juga meminta kepada beliau apa yang tidak sanggup melakukannya selain Allah,
seperti memenuhi hajat dan menghilangkan kesulitan. Tetapi di pihak lain sebagian orang
mengingkari kerasulannya atau mengurangi haknya, sehingga ia bergantung kepada pendapat-
pendapat yang menyalahi ajarannya, serta memaksakan diri dalam mena’wilkan hadits-hadits
dan hukum-hukumnya.

KETIGA: SYARAT-SYARAT SYAHADATAIN

[A]. Syarat-syarat “Laa ilaha illallah” Bersaksi dengan laa ilaaha illallah harus dengan tujuh
syarat. Tanpa syarat-syarat itu syahadat tidak akan bermanfaat bagi yang mengucapkannya.
Secara global tujuh syarat itu adalah:
1. ‘Ilmu, yang menafikan jahl (kebodohan).
2. Yaqin (yakin), yang menafikan syak (keraguan).
3. Qabul (menerima), yang menafikan radd (penolakan).
4. Inqiyad (patuh), yang menafikan tark (meninggalkan).
5. Ikhlash, yang menafikan syirik.
6. Shidq (jujur), yang menafikan kadzib (dusta).
7. Mahabbah (kecintaan), yang menafikan baghdha’ (kebencian).

Adapun rinciannya adalah sebagai berikut:

Syarat Pertama: ‘Ilmu (Mengetahui).


Artinya memahami makna dan maksudnya. Mengetahui apa yang ditiadakan dan apa yang
ditetapkan, yang menafikan ketidaktahuannya dengan hal tersebut.
62

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ِّ ‫ك ٱلَّ ِذينَ يَ ۡد ُعونَ ِمن ُدونِ ِه ٱل َّشفَ ٰـ َعةَ إِاَّل َمن َش ِہ َد بِ ۡٱل َح‬
َ‫ق َوهُمۡ يَ ۡعلَ ُمون‬ ُ ِ‫َواَل يَمۡ ل‬
“Artinya :… Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafa`at ialah) orang yang mengakui yang
hak (tauhid) dan mereka meyakini (nya). [Az-Zukhruf : 86]

Maksudnya orang yang bersaksi dengan laa ilaaha illallah, dan memahami dengan hatinya apa
yang diikrarkan oleh lisannya. Seandainya ia mengucapkannya, tetapi tidak mengerti apa
maknanya, maka persaksian itu tidak sah dan tidak berguna.

Syarat Kedua: Yaqin (yakin)


Orang yang mengikrarkannya harus meyakini kandungan sya-hadat itu. Manakala ia
meragukannya maka sia-sia belaka persaksian itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ِ ِ‫وا بِأَمۡ َوٲلِ ِهمۡ َوأَنفُ ِس ِهمۡ فِى َسب‬


ِ‌ۚ ‫يل ٱهَّلل‬ ْ ‫ُوا َو َج ٰـهَ ُد‬ ْ ُ‫إِنَّ َما ۡٱل ُم ۡؤ ِمنُونَ ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
ْ ‫وا بِٱهَّلل ِ َو َرسُولِِۦه ثُ َّم لَمۡ يَ ۡرتَاب‬
َّ ‫أُوْ لَ ٰـ ٓ ِٕٕٮِـكَ هُ ُم ٱل‬
َ‫ص ٰـ ِدقُون‬
“Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman
kepada Allah dan RasulNya kemudian mereka tidak ragu-ragu …” [Al-Hujurat: 15]

Kalau ia ragu maka ia menjadi munafik. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Artinya : Siapa yang engkau temui di balik tembok (kebon) ini, yang menyaksikan bahwa tiada
ilah selain Allah dengan hati yang meyakininya, maka berilah kabar gembira dengan (balasan)
Surga.” [HR. Al-Bukhari]
Maka siapa yang hatinya tidak meyakininya, ia tidak berhak masuk Surga.

Syarat Ketiga: Qabul (menerima).


Menerima kandungan dan konsekuensi dari syahadat; menyem-bah Allah semata dan
meninggalkan ibadah kepada selainNya. Siapa yang mengucapkan, tetapi tidak menerima dan
menta’ati, maka ia termasuk orang-orang yang difirmankan Allah:

ِ ۭ ُ‫اع ۬ ٍر َّم ۡجن‬


‫ون‬ ِ ‫ َويَقُولُونَ أَ ِٕٕٮِـنَّا لَت‬ )٣٥( َ‫إِنَّہُمۡ َكانُ ٓو ْا إِ َذا قِي َل لَهُمۡ ٓاَل إِلَ ٰـهَ إِاَّل ٱهَّلل ُ يَ ۡست َۡكبِرُون‬
ِ ‫َار ُك ٓو ْا َءالِهَتِنَا لِ َش‬
63

“Artinya : Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: ‘Laa ilaaha illallah’
(Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. dan
mereka berkata: “Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami
karena seorang penyair gila?” [Ash-Shafat: 35-36]

Ini seperti halnya penyembah kuburan dewasa ini. Mereka mengikrarkan laa ilaaha illallah, tetapi
tidak mau meninggalkan penyembahan terhadap kuburan. Dengan demikian berarti mereka
belum me-nerima makna laa ilaaha illallah.

Syarat Keempat: Inqiyaad (Tunduk dan Patuh dengan kandungan Makna Syahadat).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

 ‫ور‬ ُ ۗ ۡ ۡ ۡ ‫ۥۤ إِلَى ٱهَّلل ِ َوهُ َو ُم ۡح ِس ۬ ٌن فَقَ ِد‬ ُ‫َو َمن ي ُۡسلِمۡ َو ۡجهَه‬
ۡ َ ‫ٱستَمۡ َس‬
ِ ‫ك بِٱلع ُۡر َو ِة ٱل ُوثقَىٰ‌ َوإِلَى ٱهَّلل ِ َع ٰـقِبَةُ ٱأۡل ُم‬
“Artinya: Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang
berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.”
[Luqman : 22)
Al-‘Urwatul-wutsqa adalah laa ilaaha illallah. Dan makna yuslim wajhahu adalah yanqadu
(patuh, pasrah).

Syarat Kelima: Shidq (jujur).

Yaitu mengucapkan kalimat ini dan hatinya juga membenarkan-nya. Manakala lisannya
mengucapkan, tetapi hatinya mendustakan, maka ia adalah munafik dan pendusta.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ْ ُ‫يُخَ ٰـ ِد ُعونَ ٱهَّلل َ َوٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬ )٨( َ‫اس َمن يَقُو ُل َءا َمنَّا بِٱهَّلل ِ َوبِ ۡٱليَ ۡو ِم ٱأۡل َ ِخ ِر َو َما هُم بِ ُم ۡؤ ِمنِين‬
‫وا‬ ِ َّ‫َو ِمنَ ٱلن‬
‫ض ۖا‌ َولَهُمۡ َع َذابٌ أَلِي ۢ ُم‬ ۬ ‫فِى قُلُوب ِهم َّم َر‬ )٩( َ‫َوما يَ ۡخ َد ُعونَ إٓاَّل أَنفُ َسهُمۡ َوما يَ ۡش ُعرُون‬
ً ۬ ‫ضٌ فَزَا َدهُ ُم ٱهَّلل ُ َم َر‬ ِ َ ِ َ
)١٠( َ‫وا يَ ۡك ِذبُون‬
ْ ُ‫بِ َما َكان‬
64

“Artinya: Di antara manusia ada yang mengatakan: ‘Kami beriman kepa-da Allah dan Hari
kemudian’, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak
menipu Allah dan orang-orang yang beriman, pada hal mereka hanya menipu dirinya sendiri
sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya;
dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” [Al-Baqarah: 8-10]’

Syarat Keenam: Ikhlas.


Yaitu membersihkan amal dari segala debu-debu syirik, dengan jalan tidak mengucapkannya
karena mengingkari isi dunia, riya’ atau sum’ah. Dalam hadits ‘Itban, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Sesungguhnya Allah mengharamkan atas Neraka orang yang mengucapkan laa ilaaha
illalah karena menginginkan ridha Allah.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Syarat Ketujuh: Mahabbah (Kecintaan).

Maksudnya mencintai kalimat ini serta isinya, juga mencintai orang-orang yang mengamalkan
konsekuensinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Artinya: Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain
Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang
beriman sangat cinta kepada Allah.” [Al-Baqarah: 165]

Maka ahli tauhid mencintai Allah dengan cinta yang tulus bersih. Sedangkan ahli syirik
mencintai Allah dan mencintai yang lainnya. Hal ini sangat bertentangan dengan isi kandungan
laa ilaaha illallah.
[B]. Syarat Syahadat “Anna Muhammadan Rasulullah”
1. Mengakui kerasulannya dan meyakininya di dalam hati.
2. Mengucapkan dan mengikrarkan dengan lisan.
3. Mengikutinya dengan mengamalkan ajaran kebenaran yang telah dibawanya serta
meninggalkan kebatilan yang telah dicegahnya.
65

4. Membenarkan segala apa yang dikabarkan dari hal-hal yang gha-ib, baik yang sudah
lewat maupun yang akan datang.
5. Mencintainya melebihi cintanya kepada dirinya sendiri, harta, anak, orangtua serta
seluruh umat manusia.
6. Mendahulukan sabdanya atas segala pendapat dan ucapan orang lain serta
mengamalkan sunnahnya.

KEEMPAT: KONSKUENSI SYAHADATAIN

[A]. Konsekuensi “Laa ilaha illallah”


Yaitu meninggalkan ibadah kepada selain Allah dari segala ma-cam yang dipertuhankan sebagai
keharusan dari peniadaan laa ilaaha illallah. Dan beribadah kepada Allah semata tanpa syirik
sedikit pun, sebagai keharusan dari penetapan illallah.
Banyak orang yang mengikrarkan tetapi melanggar konsekuensinya. Sehingga mereka
menetapkan ketuhanan yang sudah dinafikan, baik berupa para makhluk, kuburan, pepohonan,
bebatuan serta para thaghut lainnya. Mereka berkeyakinan bahwa tauhid adalah bid’ah. Mereka
menolak para da’i yang mengajak kepada tauhid dan mencela orang yang beribadah hanya
kepada Allah semata.

[B]. Konsekuensi Syahadat “Muhammad Rasulullah”


Yaitu mentaatinya, membenarkannya, meninggalkan apa yang dilarangnya, mencukupkan diri
dengan mengamalkan sunnahnya, dan meninggalkan yang lain dari hal-hal bid’ah dan muhdatsat
(baru), serta mendahulukan sabdanya di atas segala pendapat orang.

KELIMA: YANG MEMBATALKAN SYAHADATAIN

Yaitu hal-hal yang membatalkan Islam, karena dua kalimat syahadat itulah yang membuat
seseorang masuk dalam Islam. Mengucap-kan keduanya adalah pengakuan terhadap
kandungannya dan konsisten mengamalkan konsekuensinya berupa segala macam syi’ar-syi’ar
Islam. Jika ia menyalahi ketentuan ini, berarti ia telah membatalkan perjanjian yang telah
diikrarkannya ketika mengucapkan dua kalimat syahadat tersebut.
66

Yang membatalkan Islam itu banyak sekali. Para fuqaha’ dalam kitab-kitab fiqih telah menulis
bab khusus yang diberi judul “Bab Riddah (kemurtadan)”. Dan yang terpenting adalah sepuluh
hal, yaitu: Syirik dalam beribadah kepada Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫ى إِ ۡث ًما‬
ٓ ٰ ‫إِ َّن ٱهَّلل َ اَل يَ ۡغفِ ُر أَن ي ُۡش َركَ بِ ِهۦ َويَ ۡغفِ ُر َما ُدونَ َذٲلِكَ لِ َمن يَ َشٓا ُۚ‌ء َو َمن ي ُۡش ِر ۡك بِٱهَّلل ِ فَقَ ِد ۡٱفت ََر‬
‫َظي ًما‬
ِ ‫ع‬ 
“Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala
dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya.” [An-Nisa’: 48]

ۡ ‫ال ۡٱل َم ِسي ُح يَ ٰـبَنِ ٓى إِ ۡس َر ٓٲ ِءي َل‬


ْ ‫ٱعبُ ُد‬
‫وا ٱهَّلل َ َربِّى‬ َ َ‫لَقَ ۡد ڪَ فَ َر ٱلَّ ِذينَ قَالُ ٓو ْا إِ َّن ٱهَّلل َ هُ َو ۡٱل َم ِسي ُح ۡٱب ُن َم ۡريَ َۖ‌م َوق‬
َ ‫ َمن ي ُۡش ِر ۡك بِٱهَّلل ِ فَقَ ۡد َح َّر َم ٱهَّلل ُ َعلَ ۡي ِه ۡٱل َجنَّةَ َو َم ۡأ َو ٰٮهُ ٱلنَّا ُۖ‌ر َو َما لِلظَّ ٰـلِ ِمينَ ِم ۡن أَن‬ ‫َو َربَّڪ ُۖمۡ‌ إِنَّهُ ۥ‬
ٍ۬ ‫ص‬
‫ار‬
“Artinya: … Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti
Allah mengharamkan kepadanya Surga, dan tempatnya ialah Neraka, tidaklah ada bagi orang-
orang zalim itu seorang penolong pun.” [Al-Ma’idah: 72]

Termasuk di dalamnya yaitu menyembelih karena selain Allah, misalnya untuk kuburan
yang dikeramatkan atau untuk jin dan lain-lain. Orang yang menjadikan antara dia dan Allah
perantara-perantara. Ia berdo’a kepada mereka, meminta syafa’at kepada mereka dan
bertawakkal kepada mereka. Orang seperti ini kafir secara ijma’. Orang yang tidak mau
mengkafirkan orang-orang musyrik dan orang yang masih ragu terhadap kekufuran mereka atau
mem-benarkan madzhab mereka, dia itu kafir. Orang yang meyakini bahwa selain petunjuk Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih sempurna dari petunjuk beliau, atau hukum yang lain lebih
baik dari hukum beliau. Seperti orang-orang yang mengutamakan hukum para thaghut di atas
hukum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mengutamakan hukum atau perundang-
undangan manusia di atas hukum Islam, maka dia kafir.
Siapa yang membenci sesuatu dari ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam sekali pun ia juga mengamalkannya, maka ia kafir. Siapa yang menghina sesuatu dari
agama Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau pahala maupun siksanya, maka ia kafir.
Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
67

‫اَل‬ )٦٥( َ‫ڪنَّا نَ ُخوضُ َون َۡل َع ۚبُ‌ قُ ۡل أَبِٱهَّلل ِ َو َءايَ ٰـتِ ِهۦ َو َرسُولِِۦه ُكنتُمۡ ت َۡستَہۡ ِزءُون‬ ُ ‫َولَ ِٕٕٮِـن َسأ َ ۡلتَهُمۡ لَيَقُولُ َّن إِنَّ َما‬
َ‫وا ُم ۡج ِر ِمين‬ َ ۡ‫ف عَن طَٓا ِٕٕٮِـفَ ۬ ٍة ِّمن ُكمۡ نُ َع ِّذ ۡب طَٓا ِٕٕٮِـفَ ۢةَ بِأَنَّہُم‬
ْ ُ‫ڪان‬ ُ ‫ُوا قَ ۡد َكفَ ۡرتُم بَ ۡع َد إِي َم ٰـنِ ُك ۚمۡ‌ إِن نَّ ۡع‬
ْ ‫ت َۡعتَ ِذر‬ 

“Artinya : Katakanlah: ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan Rasul-Nya kamu selalu
berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta ma`af, karena kamu kafir sesudah beriman.” [At-Taubah:
65-66]

Sihir, di antaranya sharf dan ‘athf (barangkali yang dimaksud adalah amalan yang bisa
membuat suami benci kepada istrinya atau membuat wanita cinta kepadanya/pelet). Barangsiapa
melakukan atau meridhainya, maka ia kafir. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

 ‫ت َۡكفُ ۡۖ‌ر‬ ‫ان ِم ۡن أَ َح ٍد َحتَّ ٰى يَقُوٓاَل إِنَّ َما ن َۡح ُن فِ ۡتنَ ۬ةٌ فَاَل‬
ِ ‫َو َما يُ َعلِّ َم‬
“Artinya: … sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada se-orangpun sebelum
mengatakan: ‘Sesungguhnya kami hanya co-baan (bagimu), sebab itu janganlah kamu
kafir’.”[Al-Baqarah: 102]

Mendukung kaum musyrikin dan menolong mereka dalam memusuhi umat Islam. Dalilnya
adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

‌ٍ ۚ۬ ‫ضہُمۡ أَ ۡولِيَٓا ُء بَ ۡع‬


ۡ‫ض َو َمن يَت ََولَّهُم ِّمن ُكم‬ ُ ‫ى أَ ۡولِيَٓا َۘ‌ء بَ ۡع‬ َ َّ‫وا ۡٱليَہُو َد َوٱلن‬
‫ص ٰـ َر ٰٓـ‬ ْ ‫وا اَل تَتَّ ِخ ُذ‬
ْ ُ‫يَ ٰـٓأَيُّہَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
َ‫ ِم ۡنہُ ۗمۡ‌ إِ َّن ٱهَّلل َ اَل يَ ۡه ِدى ۡٱلقَ ۡو َم ٱلظَّ ٰـلِ ِمين‬ ‫فَإِنَّهُ ۥ‬ 
Artinya: Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” [Al-Ma’idah: 51]

Siapa yang meyakini bahwa sebagian manusia ada yang boleh keluar dari syari’at Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti halnya Nabi Hidhir boleh keluar dari syariat
Nabi Musa alaihis salam, maka ia kafir. Sebagaimana yang diyakini oleh ghulat sufiyah (sufi
yang berlebihan/ melampaui batas) bahwa mereka dapat mencapai suatu derajat atau tingkatan
yang tidak membutuhkan untuk mengikuti ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
68

Berpaling dari agama Allah, tidak mempelajarinya dan tidak pula mengamalkannya. Dalilnya
adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

  َ‫ض ع َۡنهَ ۚٓا‌ إِنَّا ِمنَ ۡٱل ُم ۡج ِر ِمينَ ُمنتَقِ ُمون‬ ِ ‫و َم ۡن أَ ۡظلَ ُم ِم َّمن ُذ ِّك َر بِٔـََٔـايَ ٰـ‬ 
َ ‫ت َربِِّۦه ثُ َّم أَ ۡع َر‬ َ
Artinya : Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-
ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan
pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” [As-Sajadah: 22]

Syaikh Muhammad At-Tamimy berkata: “Tidak ada bedanya dalam hal yang membatalkan
syahadat ini antara orang yang bercanda, yang serius (bersungguh-sungguh) maupun yang takut,
kecuali orang yang dipaksa. Dan semuanya adalah bahaya yang paling besar serta yang paling
sering terjadi. Maka setiap muslim wajib berhati-hati dan mengkhawatirkan dirinya serta mohon
perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari hal-hal yang bisa mendatangkan murka
Allah dan siksaNya yang pedih.”

DAFTAR BACAAN
HADITS
1. Al-Bukhâri
2. Muslim
3. An-Nasâ`i dalam Amalul Yaum wal Lailah
4. HR Ahmad (II/186), al Hakim (II/126-127), al Baihaqi dalam Sunan-nya
5. HR. Abu Dawud, al-Hakim, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah.
6. Abu ‘Awanah
7. Ibnu Mandah dalam Kitab al-Îmân
8. Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah
9. Al-Bazzar dalam Musnad-nya
10. Ath-Thabrani dalam Kitab ad-Du’a

BUKU
69

Abdul ‘Aziz bin ‘Abdurrahman bin ‘Ali ar-Rabii’ah, Shuwarun min Samaahatil Islaam, cet. Darul
Mathbu’aat al-Haditsah, Jeddah th. 1406H
at-Tab-shiir bi Qawaa-idit Takfiir
Ibrahim bin asy-Syaikh Shalih bin Ahmad al-Khurasyi, cet. I, at-Tanbiihatul Mukhtasharah
Syarhil Waajibaat al-Mutahattimaat al-Ma’rifah ‘alaa Kulli Muslim wa Muslimah, Daar ash-
Shuma’i th. 1417 H.
Muhammad bin Sa’d asy-Syuwai’ir, Majmuu’ Fataawaa wa Maqaalaat Mutanawwi’ah lisy
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin ‘Abdirrahman bin Baaz rahimahullah (I/130-132), cet. I/
Darul Qasim, th. 1420 H;
Mujmal Masaa-ilil Iimaan wal Kufr al-‘Ilmiy-yah fii Ushuulil ‘Aqiidah as-Salafiyyah
Shalih bin Abdul Aziz Utsman as-Sindi, cet. II, Daar Imam Muslim, th. 1432 H.
Tafsîr Ath-Thabari (XI/219), cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah.
Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halabi, at-Tabshiir bi Qawaa-idit Takfiir
Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab bin ‘Ali al-Yamani al-Washabi al-‘Abdali , al-Qaulul
Mufiid fii Adillatit Tauhiid, cet. VII/ Maktabah al-Irsyad Shan’a, th. 1422 H.
Syaikh Salim al-Hilaly dan Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid, cet. Maktabah al-Islamiyyah,
Shifat Shaumin Nabiy th. 1412H.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah,  Majmuu’ Fataawaa (XII/498)
Tafsir Al-‘Aziz Al-Hamid fii Syarh Kitab At-Tauhid. Cetakan kedua, Tahun 1429 H. Syaikh
Sulaiman bin ‘Abdillah bin Muhammad bin ‘Abdil Wahhab. Penerbit Ash-Shumai’i.
Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Penerbit Dar Ibnul
Jauzi.

KITAB TAFSIR
Tafsir Al-Baghawi
Tafsir Al-Khazin
Tafsir Al-Qurthubi
Tafsir Ibnu Katsir

INTERNET
70

https://almanhaj.or.id/
https://id.wikipedia.org/wiki/Syahadat
konsultasisyariah.com
muslim.or.id
rumaysho.com

Anda mungkin juga menyukai