Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PERUBAHAN UU PT KARENA UU CIPTA KERJA


Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Hukum Dagang
Dosen Pengampu : Dr. Achmad Djauhari ,SH, MH

Oleh :
Nabila Aliya (20200210100167)
Andri Triyanto (20200210100009)
Iqleema Nurjanah (2020010100033)
Muhamad Juanito Satrio (20200210100102)
Muhammad Imam Dawami (20200210100182)
KELAS A
JURUSAN ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2021

i
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul Perubahan UU PT karena UU Cipta Kerja.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas dosen pada Mata Hukum Dagang. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang undang-undang PT apa
saja yang berubah karena disahkannya undang-undang cipta kerja bagi
para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Achmad Djauhari ,SH,


MH selaku dosen Mata Kuliah Hukum Dagang yang telah memberikan
tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai
dengan bidang studi yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya
nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Depok, 23 Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

JUDUL ………………………………………………………….. i
KATA PENGANTAR ………………………………………... ii
DAFTAR ISI …………………………………………………. iii
BAB I PENDAHULUAN
A…Latar Belakang Masalah ………….……………….. 1
B…Rumusan Masalah ...……………………………….. 2
C…Tujuan Penulisan ….……………………………….. 2
BAB II PEMBAHASAN
A…Pengertian Thaharah, Wudhu dan Tayamum ….
3
B…Landasan Hukum Thaharah, Wudhu dan Tayamum 5
C…Pembagian Thaharah, Wudhu dan Tayamum……
8
BAB III PENUTUP
A…Kesimpulan …………………………………………
11
B…Saran …………………………………………………
11
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………... 12

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bersuci merupakan hal yang sangat erat kaitannya dan tidak dapat dipisahkan
dengan ibadah. Shalat dan haji misalnya, tanpa bersuci orang yang hadats tidak
dapat menunaikan ibadah tersebut.

Banyak orang mungkin tidak tahu bahwa sesungguhnya bersuci memiliki tata
cara atau aturan yang harus dipenuhi. Kalau tidak dipenuhi, tidak akan sah
bersucinya dan secara otomatis ibadah yang dikerjakan juga tidak sah. Terkadang
ada problema ketika orang itu tidak menemukan air, maka Islam mempermudahkan
orang tersebut untuk melakukan tayamum sebagai ganti dari mandi, yang mana alat
bersucinya dengan mengunakan debu.

Tetapi bagaimana jika ada orang yang tidak menemukan kedua alat bersuci?
Lalu bagaimana orang tersebut bersuci? Tidak hanya orang yang tidak menemukan
kedua alat bersuci, yang dalam istilah fiqihnya disebut dengan faaqiduth thohuuroini.
Bagaimana tata cara bersuci yang benar bagi orang sakit, misal kakinya diperban
atau pasien rawat inap di rumah sakit yang biasanya tidak boleh terkena air?
Pertanyaan-pertanyaan di atas mungkin sering kita jumpai di kalangan
masyarakat, dan bukan tidak mungkin kita pun akan mengalaminya. Tanpa adanya
kajian khusus tentang hal-hal di atas bukan tidak mungkin kita sebagai mahasiswa
Universitas Muhammadiyah tidak dapat menyelesaikan kasus-kasus tersebut.

Berawal dari deskripsi di atas ditambah dengan tugas makalah ini, saya
mencoba menguraikan hal-hal di atas, walau pun tidak dapat dikatakan menyeluruh.
Minimal dengan adanya makalah ini, kita mengetahui gambaran status hukum
kasus-kasus tersebut, semoga tergerak untuk melaksanakan studi yang mendalam
tentang hukum peribadatan Islam ini atau menarik hal positif lain yang nanti akan
berguna di kehidupan kita nanti. Aamiin.

1
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan


beberapa masalah sebagai berikut:

1.      Apa pengertian dari thaharah, wudhu’ dan tayamum?


2.      Sebutkan landasan hukum mengenai thaharah, wudhu’ dan tayamum?
3.      Jelaskan pembagian mengenai thaharah, wudhu’ dan tayamum?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui pengertian dari thaharah, wudhu’ dan tayamum.
2.      Untuk mengetahui landasan hukum mengenai thaharah, wudhu’ dan tayamum.
3.      Untuk mengetahui pembagian mengenai thaharah, wudhu’ dan tayamum.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Thaharah, Wudhu dan Tayamum

1.      Pengertian Thaharah


Thaharah adalah merupakan salah satu syarat dalam melakukan suatu amal
ibadah, terutama dalam shalat, haji, dan sebagainya baik itu bersuci dari hadats
kecil maupun bersuci dari hadats besar, karena setiap amal ibadah yang kurang
salah satu syaratnya, maka amal ibadah itu kurang sempurna sahnya.
Thaharah menurut bahasa artinya “bersih”.[1] Dalam Hadits Pilihan Shahih
Bukahri, thaharah artinya bersih dan jauh dari kotoran-kotoran, baik yang kasat
mata maupun yang tidak kasat mata seperti aib dan dosa. Sedangkan pengertian
thaharah secara terminologi syara’ berarti mensucikan diri, pakaian dan tempat dari
hadats dan najis dengan menggunakan air yang dapat mensucikan serta dengan
aturan-aturan yang sesuai dengan ajaran agama Islam.[2]
Sedangkan menurut istilah, thaharah berarti membersihkan diri dari hadats dan
najis.[3] Yaitu mensucikan diri, pakaian dan tempat dari hadats dan najis dengan
menggunakan air yang dapat mensucikan serta dengan aturan-aturan yang sesuai
dengan ajaran agama Islam. Menurut istilah para ulama Ahli Tasawuf ialah
membersihkan diri dari segala perbuatan yang dilarang oleh Syara’ atau dari
perbuatan yang akan menimbulkan dosa dan dari budi pekerti yang buruk atau
perangai yang jahat. Sedangkan menurut istilah ulama Fikih ialah membersihkan diri
dari najis dan hadas.[4]
Begitulah pentingnya thaharah (bersuci) bahkan ada hadits yang menyebutkan
bahwasannya kebersihan adalah sebagian daripada iman. Namun banyak ulama
berbeda pendapat tentang makna bersuci merupakan separuh iman. Dua pendapat
yang paling masyhur adalah:
1. Bersuci diartikan dengan bersuci dari najis maknawi, yaitu dosa-dosa, baik dosa
batin maupun dosa lahir. Karena iman ada dua bentuk, yaitu meninggalkan dan
melakukan, maka tatkala sudah meninggalkan dosa-dosa berarti sudah memenuhi
separuh iman.

3
2.      Bersuci diartikan dengan bersuci dengan air. Bersuci dengan air ada dua
macam, yaitu bersuci dari hadats kecil dan hadats besar. Bila bersuci
diartikan dengan suci dari hadats kecil dan hadats besar maka yang
dimaksud dengan iman adalah shalat. Jadi bersuci itu separuh dari shalat.
Shalat dikatakan sebagai iman karena merupakan pokok amalan iman.[5]

2.      Pengertian Wudhu
         Wudhu menurut bahasa berarti “baik” dan “bersih”. Sedangkan menurut istilah,
wudhu adalah membasuh muka, kedua tangan sampai siku, mengusap sebagian
kepala, dan membasuh kaki yang sebelumnya didahului dengan niat serta dilakukan
dengan tertib.[6]
         Wudhu adalah membasuh bagian tertentu yang boleh ditetapkan dari anggota
badan dengan air sebagai persiapan bagi seorang Muslim untuk menghadap Allah
SWT (mendirikan shalat)[7] dan suatu syarat untuk sahnya shalat yang dikerjakan
sebelum seseorang mengerjakan shalat.[8]

3.      Pengertian Tayamum


         Menurut bahasa, tayamum berarti menuju ke debu. Sedangkan
menurut pengertian syari’at, tayamum adalah mengusapkan debu ke wajah dan
kedua tangan dengan niat untuk mendirikan shalat atau lainnya.[9] Menurut para
ulama Fikih, ada beberapa pengertian tentang tayamum, yaitu:
a)      Menurut Hanafiah, tayamum adalah mengusap wajah dan kedua tangan dengan
debu yang suci.
b)      Menurut Malikiyah, tayamum adalah mengusap wajah dan kedua tangan dengan
debu yang suci disertai niat.
c)      Menurut Syafi’iyah, tayamum adalah mendatangkan debu pada wajah dan kedua
tangan atau anggota dari keduanya sebagai ganti dari wudhu’ atau mandi dengan
syarat-syarat tertentu.
d)     Menurut Hanabilah, tayamum adalah mengusap wajah dan kedua tangan dengan
debu yang suci dengan cara yang ditentukan .
Menurut Hanafiyah, tayamum merupakan pengganti yang mutlak dari wudhu,
maksudnya tayamum dapat menghilangkan hadats selama tidak ada air ketika
seseorang akan menunaikan shalat. Dengan keterangan ini bisa kita ambil
kesimpulan bahwa dengan sekali tayamum, kita dapat melaksanakan shalat fardhu

4
lebih dari sekali, waktu bertayamum tidak harus menunggu masuknya waktu shalat,
serta hal-hal lain sebagaimana wudhu.
Pernyataan ini berbeda dengan jumhur, yakni kedudukan tayamum
menghilangkan hadats. Maka bila telah masuk waktu shalat orang yang hadats tidak
menemukan air atau karena sebab lain yang memperbolehkan seseorang
bertayamum ia dapat menunaikan shalat walau dalam keadaan hadats dengan
bertayamum karena darurat, sebagaimana kasus mustahadhoh (orang perempuan
yang istihadho).
Ulama telah sepakat bahwa tayamum menjadi pengganti dari thaharah kecil
(berhadats kecil), tetapi mereka berbeda pendapat mengenai tentang tayamum
sebagai pengganti thaharah besar (hadats besar).[10]
Jadi tayamum adalah suatu rukhshah/keringanan bagi orang yang tidak
diperkenankan menggunakan air karena sakit atau kesulitan untuk mendapatkan air.
[11]

2.2  Landasan Hukum Thaharah, Wudhu dan Tayamum

1.      Landasan Hukum Thaharah


Dalam pandangan Islam, masalah bersuci dan segala yang berkaitan
dengannya merupakan kegiatan yang sangat penting, karena diantara syarat
syahnya shalat ditetapkan agar orang yang mengerjakannya suci dari hadats, suci
badan, pakaian dan tempatnya dari najis. Thaharah hukumnya wajib berdasarkan
Alquran dan sunah. Allah Ta’ala berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan
salat, maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian sampai dengan siku, dan
sapulah kepala kalian, dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki.” (Al-
Maidah: 6).
Allah juga berfirman, “Dan, pakaianmu bersihkanlah.” (Al-Mudatstsir: 4).
Rasulullah bersabda: “Kunci shalat adalah bersuci.” Dan sabdanya, “Shalat
tanpa wudhu tidak diterima.” (HR Muslim). Rasulullah SAW bersabda, “Kesucian
adalah setengah iman.” (HR Muslim).

5
Dalil tentang thaharah 3, yaitu:
a)            Firman Allah dalam surat Al-Baqarah: 222
‫هللا ُيحِبُّ ال َّتوَّ ِابي َْن َو ُيحِبُّ ْال ُم َت َطه ِِّري َْن‬
َ َّ‫إِن‬
Artinya: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan
orang-orang yang menyucikan diri”.[12]
b)            Hadits Nabi SAW yang berbunyi:
)‫ ( رواه المسلم‬.‫صالَة ًِب َغي ِْر َطه ُْورً ا‬
َ ُ ‫الَ َي ْق َب ُل هللا‬
     Artinya: “Allah tidak menerima shalat seseorang yang tidak dalam keadaan
suci”. (HR. Muslim)
c)            Ijma’

Para ulama menjelaskan bahwa ayat-ayat dan hadits di atas memberi


penegasan bahwa thaharah (bersuci) wajib hukumnya, tidak saja karena orang
muslim akan mendirikan shalat melainkan juga wajib dalam semua keadaan,
terutama bersuci dari najis dan hadats besar.

2.      Landasan Hukum Wudhu


         Perintah wudhu diwajibkan kepada orang yang akan melaksanakan shalat
salah satu syarat sahnya shalat. Adapun disyari’atkannya wudhu ditegaskan
berdasarkan 3 macam alasan:[13]
a)            Firman Allah dalam surat Al-Maidah: 6 :
‫م‬gْ ‫ ُك‬g ‫ُوس‬
ِ ‫ ِب ُرء‬g‫حُوا‬g ‫امْس‬ ِ gِ‫ ِد َي ُك ْم إِلَى ْال َم َراف‬g‫و َه ُك ْم َوأَ ْي‬gg‫لُوا وُ ُج‬g ‫اغ ِس‬
َ ‫ق َو‬g ْ ‫ال ِة َف‬g ‫الص‬ َ ‫ا الَّذ‬gg‫ا أَ ُّي َه‬gg‫َي‬
َّ ‫وا إِ َذا قُ ْم ُت ْم إِلَى‬gg‫ِين آ َم ُن‬
…‫ْن‬ ِ ‫َوأَرْ ُجلَ ُك ْم إِلَى ْال َكعْ َبي‬
         Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”         
b)            Hadits Nabi SAW yang berbunyi:
ّ ‫ال يقبل هللا صالة أحدكم إذا أحدث ح ّتى يتو‬
g‫ضأ‬
         Artinya: ” Allah tidak menerima shalat salah seorang di antaramu bila ia
berhadats, sehingga ia berwudhu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
c)            Ijma’
Menurut ijma’ ulama berpendapat bahwa wudhu hukumnya wajib bagi Muslim
yang sudah dewasa dan berakal, telah masuk waktu shalat atau ketika akan
melaksanakan suatu perbuatan yang disyaria’tkan wudhu terlebih dahulu.[14]

6
3.      Landasan Tayamum
         Dalil disyariatkannya tayamum ada 3, yaitu:

a)            Firman Allah dalam surat An-Nisa’: 43:


g‫وا‬gg‫ا ًء َف َت َي َّم ُم‬gg‫ ُدوا َم‬g‫ا َء َفلَ ْم َت ِج‬g‫ضى أَ ْو َعلَى َس َف ٍر أَ ْو َجا َء أَ َح ٌد ِم ْن ُك ْم م َِن ْال َغائِطِ أَ ْو ال َمسْ ُت ُم ال ِّن َس‬ َ ْ‫…وإِنْ ُك ْن ُت ْم َمر‬
َ
َ ‫ َك‬ َ ‫م إِنَّ هَّللا‬gْ ‫ْسحُوا ِبوُ جُو ِه ُك ْم َوأَ ْيدِي ُك‬
‫ًوا َغفُورً ا‬gًّّ ُ‫ان َعف‬ َ ‫صعِي ًدا َط ِّيبًا َفام‬
َ
            Artinya: “Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari
tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah
mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun.”

b)            Hadits Nabi SAW dari Abu Hurairah r.a berkata:


Artinya: “Rasulullah SAW bersabda, “seluruh bumi dijadikan bagiku dan bagi
umatku sebagai mesjid dan alat bersuci, maka dimana juga shalat itu ditemui salah
seorang di antaramu, disisinya terdapat-terdapat alat untuk bersuci.” (HR. Ahmad)

c)            Ijma’

Ijma’ ulama membolehkan tayamum, tetapi khusus bagi orang sakit dan Musafir
yang ktiadaan air. Namun mereka berselisih dalam persoalan, yaitu:

1)      Orang sakit yang khawatir terhadap pnggunaan air pada penyakitnya,


2)      Keadaan normal yang tidak menemukan air,
3)      Musafir yang sangat yang menghemat atau memerlukan air bawaanya, dan
4)      Orang yang khawatir terhadap kesehatannya dengan menggunakan air yang
sangat dingin.
Jumhur ulama berpendapat bahwa keempat golongan tersebut boleh
bertayamum, sedangkan Atha’ tidak membolehkan tayamum baik orang sakit
maupun sehat jikamenemukan air.sementara itu, mahzab Syafi’i dan Maliki

7
membolehkan tayamum bagi orang yang bukan berada dalam perjalanan dan tidak
sakit.[15] 

2.3  Pembagian Thaharah, Wudhu dan Tayamum

1.      Pembagian Thaharah


         Kita bisa membagi thaharah secara umum menjadi dua macam pembagian
yang besar, yaitu:
a)            Thaharah Hakiki
Thaharah secara hakiki maksudnya adalah hal-hal yang terkait dengan
kebersihan badan, pakaian dan tempat shalat dari najis. Boleh dikatakan bahwa
thaharah secara hakiki adalah terbebasnya seseorang dari najis.
Seorang yang shalat dengan memakai pakaian yang ada noda darah atau air
kencing, tidak sah shalatnya. Karena dia tidak terbebas dari ketidaksucian secara
hakiki. Thaharah secara hakiki bisa didapat dengan menghilangkan najis yang
menempel, baik pada badan, pakaian atau tempat untuk melakukan ibadah ritual.
Caranya bermacam-macam tergantung level kenajisannya. Bila najis itu ringan,
cukup dengan memercikkan air saja, maka najis itu dianggap telah lenyap. Bila najis
itu berat, harus dicuci dengan air 7 kali dan salah satunya dengan tanah. Bila najis
itu pertengahan, disucikan dengan cara mencucinya dengan air biasa, hingga hilang
warna najisnya. Dan juga hilang bau najisnya. Dan juga hilang rasa najisnya.

b)            Thaharah Hukmi
Sedangkan thaharah secara hukmi maksudnya adalah sucinya kita dari hadats,
baik hadats kecil maupun hadats besar (kondisi janabah). Thaharah secara hukmi
tidak terlihat kotornya secara fisik. Bahkan boleh jadi secara fisik tidak ada kotoran
pada diri kita. Namun tidak adanya kotoran yang menempel pada diri kita, belum
tentu dipandang bersih secara hukum. Bersih secara hukum adalah kesucian secara
ritual.
Seorang yang tertidur batal wudhu’nya, boleh jadi secara fisik tidak ada kotoran
yang menimpanya. Namun dia wajib berthaharah ulang dengan cara berwudhu’ bila
ingin melakukan ibadah ritual tertentu seperti shalat, thawaf dan lainnya. Demikian
pula dengan orang yang keluar mani. Meski dia telah mencuci maninya dengan

8
bersih, lalu mengganti bajunya dengan yang baru, dia tetap belum dikatakan suci
dari hadats besar hingga selesai dari mandi janabah.
Jadi thaharah secara hukmi adalah kesucian secara ritual, dimana secara fisik
memang tidak ada kotoran yang menempel, namun seolah-olah dirinya tidak suci
untuk melakukan ritual ibadah. Thaharah secara hukmi dilakukan dengan berwudhu’
atau mandi janabah.[16]

2.      Pembagian, Syarat, Rukun & Yang Membatalkan Wudhu


A.    Pembagian Wudhu:
1. Wajib, sebagai syarat sahnya shalat, sujud tilawah, thawaf, dan
menyentuh mushaf.
2. Sunnah, ketika akan melakukan segala amal kebaikan (berdzikir,
tidur, melakukan hubungan suami istri, setelah berbuat kemaksiatan,
marah, membaca Al-Qur'an, memandikan jenazah dsb)
3. Makruh, jika wudhu yang sudah dilaksanakan belum digunakan
untuk beribadah sehingga makruh jika mengulangi wudhu.
4. Haram, jika berwudhu dengan air hasil ghoshob, atau hasil mencuri
dan semisalnya.[17] 

B.     Syarat-syarat Wudhu
1.      Islam,
2.      Mumayiz (dapat mmbdakan mana nilai-nilai yang baik dan buruk atau sudah
berakal),
3.      Airnya suci,
4.      Tidak ada halangan dari agama seperti haid atau nifas.

C.     Rukun (Fardu) Wudhu’


1.      Niat,
2.      Membasuh muka,
3.      Membasuh kedua tangan sampai kedua siku,
4.      Mengusap sebagian kepala,
5.      Membasuh kaki sampai mata kaki,
6.      Menertibkan rukun-rukun di atas.

9
D.    Yang Membatalkan Wudhu’

1.      Sesuatu yang keluar dari qubul atau dubur,

2.      Tidur nyenyak shingga pinggul tidak tetap lagi di atas lantai,

3.      Hilang akal karena mabuk, gila dan pingsan yang disebabkan obat-obatan atau

sakit,

4.      Bersentuh kulit laki-laki dengan perempuan yang bukan muhrimnya dan tanpa
lapis,

5.      Menyentuh kemaluan tanpa alas.

3.            Syarat, Rukun dan Yang Membatalkan Tayamum

A.    Syarat-Syarat Tayamum:

1.      Adanya halangan seperti tidak mendapatkan air, sakit dan lain-lain,

2.      Sudah masuk waktu shalat, tetapi tidak mendapatkan air,

3.      Debu yang dipergunakan untuk tayamum harus suci.

B.     Rukun (Fardu) Tayamum:


1.      Niat untuk melaksanakan shalat
2.      Mengusap muka
3.      Mengusap dua tangan sampai siku
4.      Tertib

10
C.     Yang Membatalkan Tayamum:
1.      Segala sesuatu yang membatalkan wudhu’,

2.      Menemukan air jika tayamum disebabkan ketiadaan air,

3.      Riddah, keluar dari agama Islam.[18]

BAB III
PENUTUP

3.1      Kesimpulan
Berdasarkan dari uraian materi di atas yang telah diungkapkan pada halaman
sebelumnya, maka dapat disimpulkan :
1.            Bersuci merupakan persyaratan dari beberapa macam ibadah, karena itu bersuci
memperoleh tempat yang utama dalam ajaran Islam. Berbagai aturan dan hukum
ditetapkan oleh syara’ dengan maksud antara lain agar manusia menjadi suci dan
bersih baik lahir maupun batin.
2.            Bersuci juga sangat ditekankan dalam Islam, baik dari hadats kecil, hadats besar,
atau najis yang datangnya dari luar tubuh. Islam telah mengatur hal ini dengan
sebaik-baiknya, karena bersuci adalah kegiatan awal yang harus dilakukan sebelum
melakukan ibadah.
3.            Cara mensucikan hadats kecil adalah dengan berwudhu atau tayammum jika
memang tidak menemukan air. Sedangkan mensucikan hadats besar adalah
dengan mandi, namun jika seorang yang junub tidak menemukan air, boleh baginya
untuk bertayammum seperti halnya berwudhu.
4.            Wudhu adalah membasuh bagian tertentu yang boleh ditetapkan dari anggota
badan dengan air sebagai persiapan bagi seorang Muslim untuk menghadap Allah
SWT (mendirikan shalat) dan suatu syarat untuk sahnya shalat yang dikerjakan
sebelum seseorang mengerjakan shalat.
5.            Tayamum adalah mengusapkan debu ke wajah dan kedua tangan dengan niat
untuk mendirikan shalat atau lainnya.

3.2  Saran

11
         Pemakalah menyarankan bagi pembaca agar dapat memahami pengertian
thaharah, wudhu dan tayamum, landasan hukum thaharah, wudhu dan
tayamum, serta pembagian thaharah, wudhu dan tayamum. Bagi pembaca dan
mahasiswa lain yang ingin mengetahui dan memahami lebih dalam lagi mengenai
materi ini, maka dapat menjadikan makalah ini sebagai referensi. Pemakalah juga
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk kesempurnaan makalah ini
selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

1.        Buku
-Departemen Agama RI.2009. Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Bandung: Diponegoro.

-Hafsah. 2011. Fiqh. Bandung: Citapustaka Media Perintis.

-Mz, Labib. 2005.  Terj. Hadits Pilihan Shahih Bukhari. Surabaya:


Bintang Usaha Jaya.

- Rifa’i, Moh. 1978. Fiqih Islam Lengkap. Semarang: CV. Toha


Putra.

-Rusyd, Ahmad Ibn.tt.  Bidayah al-Mujtahid. Indonesia: Dar Ihya al-


Kutub al-Arabiyat.

-Sabiq, Sayid. 1995. Fiqh Al-Sun. Beirut: Dar al-Fikr.

-Sinaga, Ali Imran. 2011.  FIKIH. Bandung: Citapustaka Media


Perintis.

-Tim Penyusun Fak. Tarbiyah. 2012. Buku Ajar Praktik Ibadah. IAIN


SU.

12
-Ustadz Abu Isa Abdulloh bin Salam. Ringkasan Syarah Arba’in An-
Nawawi - Syaikh Shalih Alu Syaikh   Hafizhohulloh. Staf Pengajar
Ma’had Ihyaus Sunnah. Tasikmalaya.

-Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad. 2012. Fiqih Wanita. Jakarta:


Pustaka Al-Kautsar.

2. Internet
http://tigalandasanutama.wordpress.com/2011/12/13/bab-thaharah-
bersuci-wudhu-dasar-hukum-dan-keutamaannya/
http://paismpn4skh.wordpress.com/2009/09/30/pengertian-dan-
pembagian-thaharah/
http://vitaguspurnomo.blogspot.com/2012/03/wudhu.html

[1] Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap (Semarang: CV. Toha Putra,


1978), h.46.

[2] Terj. Labib Mz, Hadits Pilihan Shahih Bukhari, (Surabaya:


Bintang Usaha Jaya, 2005), h.71.

[3] Hafsah, Fiqh (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2011), h. 1.

[4] Tim Penyusun Fak. Tarbiyah, Buku Ajar Praktik Ibadah (IAIN


SU, 2012), h. 17.

[5] Ustadz Abu Isa Abdulloh bin Salam, Ringkasan Syarah Arba’in


An-Nawawi - Syaikh Shalih Alu Syaikh   Hafizhohulloh (Staf Pengajar
Ma’had Ihyaus Sunnah, Tasikmalaya), Hadits ke-23.

[6] Hafsah, h. 26.

[7] Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita (Jakarta:


Pustaka Al-Kautsar, 2012), h. 40

13
[8] Moh. Rifa’i, h. 63.

[9] Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, h.102.

[10] Tim Penyusun Fak. Tarbiyah, h. 37.

[11] Moh. Rifa’i, h. 70.

[12] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan


Terjemahannya (Bandung: Penerbit , 2009), h.27.

[13]http://tigalandasanutama.wordpress.com/2011/12/13/bab-
thaharah-bersuci-wudhu-dasar-hukum-dan keutamaannya/

[14] Sayid Sabiq, Fiqh Al-Sun (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), h. 29.

[15] Ahmad ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid (Indonesia: Dar Ihya al-


Kutub al-Arabiyat, tt), h. 47-48.

[16] http://paismpn4skh.wordpress.com/2009/09/30/pengertian-dan-
pembagian-thaharah/

[17] http://vitaguspurnomo.blogspot.com/2012/03/wudhu.html

[18]Ali Imran Sinaga, FIKIH (Bandung: Citapustaka Media Perintis,


2011), h. 34-36.

14

Anda mungkin juga menyukai