Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH HUKUM DAGANG

PRANATA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA


DALAM HUKUM DAGANG

DOSEN PENGAJAR :
NI NYOMAN MARIADI,SH,MH

KELOMPOK 5 :
 KOMANG TIO ADI MULIA SASTRAWAN (017.3.0003)
 I MADE AGUS BUDIASTRAWAN (017.3.0022)
 I KADEK ADITYA WIRA PRIANGGA (017.3.0025)
 KOMANG JHONY BAGUS SANJAYA (017.3.0033)

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PANJI SAKTI SINGARAJA
TAHUN AJARAN 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur pemakalah panjatkan kehadirat TuhanYang Maha Esa, karena

atas rahmat, petunjuk, dan karuniaNya pemakalah dapat menyelesaikan makalah

ini. Adapun dalam makalah ini pemakalah mencoba memberikan penjelasan

mengenai penyelesaian sengketa dalam hukum dagang yang pemakalah

kumpulkan dari berbagai sumber. Makalah ini dibuat dalam rangka menyelesaikan

tugas mata kuliah Hukum Dagang yang diberikan kepada pemakalah dengan judul

“Pranata Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Hukum Dagang”.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam penyusunan makalah ini, pemakalah

mendapat bantuan dari berbagai pihak. Maka dari itu pemakalah mengucapkan

terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan. Berikut beberapa pihak

yang membantu pemakalah, yaitu :

1) Ibu Ni Nyoman Mariadi,SH.,MH, selaku dosen mata kuliah Hukum

Dagang yang memberikan saran dan judul dalam penyusunan makalah ini.

2) Semua pihak yang membantu secara langsung maupun tidak langsung baik

berupa material maupun non material demi terselesaikannya makalah ini.

Pemakalah menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari

sempurna, untuk itu pemakalah harapkan kepada pembaca untuk memberikan

masukan, saran dan kritik yang membangun sehingga makalah ini menjadi lebih

baik. Akhir kata pemakalah ucapkan terima kasih.

Singaraja, 18 April 2018

Pemakalah

DAFTAR ISI

HUKUM DAGANG | i
HUKUM DAGANG | ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan, bahkan

dalam ilmu hukum terdapat adagium yang berbunyi: “Ubi societas ibi ius” (di

mana ada masyarakat di situ ada hukum). Artinya bahwa dalam setiap

pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka

selalu akan dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai “perekat” atas berbagai

komponen pembentuk dari masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai “perekat”

tersebut adalah hukum. Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan yang

mengatur kehidupan bermasyarakat yang dibuat oleh lembaga yang berwenang

dan bersifat memaksa serta berisi perintah dan larangan yang apabila dilanggar

akan mendapat sanksi. Hukum sangat dibutuhkan dalam pergaulan hidup manusia,

dimana fungsinya adalah memperoleh ketertiban dalam hubungan antar manusia

dan menciptakan suatu keadilan. Dalam hubungan hukum dan negara, baik hukum

maupun negara muncul dari kehidupan manusia karena keinginan bathinnya untuk

memperoleh ketertiban dan keadilan1.

Negara Indonesia adalah Negara Hukum sebagaimana diamanatkan dalam

pasal 1 ayat (3) UUD RI Tahun 1945 yang menyatakan: “ Negara Indonesia

adalah Negara Hukum”. Sebagai Negara Hukum, setiap penyelenggaraan

pemerintahan haruslah berdasarkan pada hukum yang berlaku. Dalam Negara

Hukum, hukum ditempatkan sebagai aturan main dalam penyelenggaraan

kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan. Sementara tujuan negara hukum

1
Ratna Artha Windari,Pengantar Hukum Indonesia, Rajawali Pers,Depok,2017,hlm. 1

HUKUM DAGANG | 1
itu sendiri adalah terciptanya kegiatan kenegaraan, pemerintahan, dan

kemasyarakatan yang bertumpu pada keadilan, kedamaian, dan kemanfaatan2.

Bangsa Indonesia sekarang masih memiliki sejumlah peraturan yang berasal

dari peninggalan pemerintahan kolonial Belanda, termasuk peraturan hukum

perdata dan hukum dagang (KUHD), yang sekarang masih berlaku berdasarkan

“aturan peralihan” pasal II Undang – Undang Dasar Republik Indonesia 1945 3,

dan digunakan sebagai dasar hukum penyelenggaraan perdagangan di Indonesia.

Era globalisasi yang melanda seluruh dunia mempengaruhi semua bidang

kehidupan terutama bidang ekonomi khususnya perdagangan. Era ini ditandai

dengan lahirnya berbagai macam perjanjian multilateral dan bilateral maupun

pembentukan blok-blok ekonomi yang menjurus kepada kondisi yang borderless

dalam dunia perdagangan. Majunya perdagangan dunia ini, di satu sisi memang

memberikan dampak positif, namun di sisi lain dapat menimbulkan perbedaan

paham, perselisihan pendapat maupun pertentangan atau sengketa sebagai akibat

adanya salah satu pihak yang melakukan wanprestasi terhadap kontrak dagang

tersebut. Perbedaan paham, perselisihan pendapat , pertentangan maupun sengketa

tersebut tidak dapat dibiarkan berlarut-larut dan harus diselesaikan secara

memuaskan bagi semua pihak melalui bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang

menguntungkan dan memberikan rasa aman serta keadilan bagi para pihak 4.

Untuk dapat lebih memahami mengenai bentuk-bentuk penyelesaian sengketa

lebih lanjut, maka pemakalah mengangkat judul “Pranata Alternatif Penyelesaian

Sengketa dalam Hukum Dagang” dalam makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah


2
Ibid, hlm. 3
3
Farida Hasyim, Hukum Dagang, Sinar Grafika, Jakarta,2016,hlm.10
4
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, Rajawali pers, Jakarta,2000, hlm. 1

HUKUM DAGANG | 2
1) Apa saja pranata alternatif penyelesaian sengketa?

2) Bagaimana penyelesaian sengketa melalui arbitrase?

1.3 Manfaat

1) Bagi Pemerintah

Membantu pemerintah di dalam menyosialisasikan cara-cara

penyelesaian sengketa dalam hukum dagang kepada masyarakat.

2) Bagi Masyarakat

Membantu masyarakat didalam mengetahui dan memahami mengenai

bentuk-bentuk penyelesaian sengketa dalam hukum dagang.

3) Bagi Pemakalah

Dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Hukum Dagang dan dapat

mengetahui serta memahami materi tentang bentuk-bentuk

penyelesaian sengketa dalam hukum dagang.

BAB II

HUKUM DAGANG | 3
KAJIAN TEORI

Sebagai bahan didalam penyusunan makalah ini, pemakalah menggunakan

berbagai kajian teori yang bersumber dari beberapa buku yang membahas tentang

aspek-aspek hukum dagang.

2.1 Pengertian Hukum Dagang

Hukum dagang adalah hukum yang mengatur tingkah-laku manusia yang turut

melakukan perdagangan dalam usahanya memperoleh keuntungan. Dapat juga

dikatakan, hukum dagang ialah hukum yang mengatur hubungan-hukum antara

manusia-manusia dan badan-badan hukum satu sama lainnya, dalam lapangan

perdagangan (C.S.T. Kansil, 1979: 17).

Hukum dagang dalam pemahaman konvensional merupakan bagian dari

bidang hukum perdata atau dengan perkataan lain selain disebut bahwa hukum

perdata dalam pengertian luas, termasuk hukum dagang. Maka asas-asas hukum

dagang merupakan bagian asas-asas hukum perdata pada umumnya (Sri Redjeki

Hartono,2000:9).

Hukum dagang merupakan bagian dari hukum perdata yang mempunyai

aturan-aturan mengenai hubungan berdasarkan atas perusahaan. Peraturan-

peraturan mengenai perusahaan tidak hanya dijumpai dalam Kitab Undang-

undang Hukum Dagang (KUHD) melainkan juga berupa undang-undang di luar

KUHD dapat disebut sebagai perluasan dari KUH Perdata (KMRT. Tltodiningrat,

1963:113).

Hukum dagang dapat dimaknai sebagai suatu norma yang mengatur perilaku

para pengusaha dalam melakukan usaha perdagangan untuk mendapat

HUKUM DAGANG | 4
keuntungan. Norma yang dipakai untuk menjalankan kegiatan usaha itu

bersumber dari KUH Perdata dan KUH Dagang (Aulia Muthiah,2016:15).

Dari beberapa pengertian menurut para ahli di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa hukum dagang merupakan bagian dari hukum perdata yang mengatur

tentang segala kegiatan atau tindakan di dalam melakukan usaha perdagangan

yang bersumber dari Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD).

2.2 Pengertian Arbitrase

Arbitrase adalah proses penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang

hakim atau para hakim yang berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk

kepada atau menaati keputusan yang diberikan oleh para hakim yang mereka pilih

atau tunjuk (Farida Hasyim, 2016:59).

Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar

peradilan umum yang didasarkan para perjanjian arbitrase yang dibuat secara

tertulis oleh para pihak yang bersengketa. (UU No. 30 Tahun 1999)

Dari beberapa pengertian arbitrase menurut para ahli di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa arbitrase merupakan suatu penyelesaian sengketa di luar

peradilan umum yang dilaksanakan oleh pihak-pihak yang bersengketa yang

diutus oleh hakim-hakim yang mereka tunjuk dan angkat sendiri, dimana

keputusan yang diambil oleh para hakim bersifat final dan mengikat yang

berdasarkan pada kesepakatan dari kedua belah pihak bahwa mereka akan tunduk

dan menaati putusan tersebut.

2.3 Pengertian Konsultasi

Konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat “Personal” antara suatu

pihak tertentu, yang disebut dengan “klien” dengan pihak lain yang merupakan

HUKUM DAGANG | 5
pihak “konsultan”, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk

memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut (Gunawan Widjaja dan

Ahmad Yani, 2000:28).

Konsultasi adalah suatu proses yang biasanya didasarkan pada karakteristik

hubungan yang sama yang ditandai dengan saling mempercayai dan komunikasi

yang terbuka, bekerja sama dalam mengidentifikasikan masalah, menyatukan

sumber-sumber pribadi untuk mengenal dan memilih strategi yang mempunyai

kemungkinan dapat memecahkan masalah yang telah diidentifikasi, dan

pembagian tanggung jawab dalam pelaksanaan dan evaluasi program atau strategi

yang telah direncanakan (Zins, 1993).

Dari pengertian konsultasi menurut para ahli di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa konsultasi adalah suatu proses yang bersifat “personal” antara pihak

tertentu dimana pihak pertama disebut dengan “klien” dan pihak lain disebut

dengan “konsultan” yang melakukan komunikasi terbuka untuk

mengidentifikasikan masalah dan memecahkan permasalahan tersebut.

2.4 Pengertian Negosiasi

Negosiasi adalah proses dimana dua pihak dengan tuntutan yang berbeda

mencapai kesepakatan secara umum melalui kompromi dan konsesi (Mark E.

Roszkowski, 1997).

Negosiasi merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa alternatif

dimana para pihak yang bersengketa melakukan perundingan secara langsung

(adakalanya didampingi oleh pengacara masing-masing) untuk mencari

penyelesaian sengketa yang sedang mereka hadapi ke aras kesepakatan atas dasar

win-win solution (Runtung Sitepu, 2001).

HUKUM DAGANG | 6
Dari pengertian negosiasi menurut para ahli di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa negosiasi yaitu salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa dimana

para pihak yang bersengketa melakukan kompomi atau perundingan langsung

untuk mencapai kesepakatan bersama.

2.5 Pengertian Perdamaian

Perdamaian adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan

menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara

yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara (pasal 1851-

1864 KUHD).

Perdamaian yaitu perjanjian tertulis antara dua pihak atau lebih yang

merupakan langkah kesepakatan untuk mengakhiri perkara yang sedang

berlangsung atau untuk mencegah timbulnya suatu perkara dengan melepaskan

sebagian hak atau tuntutan masing-masing pihak melalui kompromi (Glosarium

KBBI)

Dari beberapa pengertian perdamaian di atas, dapat disimpulkan bahwa

perdamaian adalah suatu kesepakatan antar dua belah pihak yang bersengketa

yang dituangkan kedalam perjanjian tertulis untuk mengakhiri suatu perkara yang

sedang berlangsung atau mencegah timbulnya suatu perkara.

2.6 Pengertian Mediasi

Mediasi merupakan suatu proses penyelesaian sengketa informal yang

bersifat pribadi, dimana orang ketiga yang netral atau disebut sebagai mediator

membantu pihak yang berselisih untuk mencapai kesepakatan (Black Law

Dictionary).

HUKUM DAGANG | 7
Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak

dengan dibantu oleh mediator. Mediator adalah pihak yang bersifat netral dan

tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai

kemungkinan penyelesaian sengketa (PERMA No. 2 Tahun 2003).

Dari beberapa pengertian mediasi di atas, dapat disimpulkan bahwa mediasi

adalah suatu proses penyelesaian sengketa yang bersifat informal, di mana

penyelesaian sengketa antara dua pihak yang berselisih dibantu oleh pihak ke tiga

yang netral atau yang disebut dengan mediator untuk mencapai suatu kesepakatan.

2.7 Pengertian Konsiliasi

Konsiliasi adalah suatu tindakan atau proses untuk mencapai perdamaian di

luar pengadilan melalui usaha mempertemukan keinginan para pihak yang

berselisih yang dibantu oleh pihak ketiga yang disebut konsiliator untuk mencapai

suatu kesepakatan. (UU No. 30 Tahun 1999).

Konsiliasi adalah suatu cara penyelesaian sengketa yang bersifat lebih formal

daripada mediasi. Putusan yang ditetapkan lewat konsiliasi ini bersifat tidak

mengikat (Peter Behrens : 1992).

Dari beberapa pengertian konsiliasi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

konsiliasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa yang bersifat lebih formal

dibandingkan mediasi untuk mencapai suatu kesepakatan atau perdamaian antara

pihak-pihak yang bersengketa yang dibantu oleh pihak ketiga yang disebut dengan

konsiliator.

HUKUM DAGANG | 8
BAB III

PRANATA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM

HUKUM DAGANG

3.1 Pranata Alternatif Penyelesaian Sengketa

Pada tanggal 12 Agustus 1999 telah diundangkan dan sekaligus diberlakukan

UU RI No. 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.

Jika kita baca judul dan tentunya isi dari Undang-Undang tersebut lebih lanjut,

dapat kita ketahui bahwa Undang-Undang ini tidak hanya mengatur mengenai

arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa, yang telah cukup

dikenal di Indonesia saat ini, melainkan juga alternatif penyelesaian sengketa

lainnya. Dalam rumusan yang diberikan dalam Pasal 1 angka 10 dan Alenia ke-9

dari Penjelasan Umum Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, dikatakan bahwa

alternatif penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan cara konsultasi,

negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli, hal tersebut diatur dalam Bab II

yang terdiri dari satu pasal yaitu pasal 6. Dari pengertian yang dimuat dalam pasal

1 angka 10 dan rumusan pasal 6 ayat (1), secara jelas dapat diketahui bahwa yang

dimaksud dengan alternatif penyelesaian sengketa adalah suatu pranata

penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau dengan cara mengesampingkan

penyelesaian secara litigasi di pengadilan negeri5.

Pranata alternatif penyelesaian sengketa yang diperkenalkan oleh Undang-

Undang No. 30 Tahun 1999 sebagaimana di atur dalam pasal 6 terdiri dari :

5
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op.cit, hlm. 26

HUKUM DAGANG | 9
(1) Penyelesaian yang dapat dilaksanakan sendiri oleh para pihak dalam

bentuk “negosiasi” (Pasal 6 ayat (2)).

(2) Penyelesaian sengketa yang diselenggarakan melalui (dengan bantuan)

pihak ketiga yang netral di luar para pihak yaitu dalam bentuk “mediasi”

(Pasal 6 ayat (3),(4),(5)).

(3) Penyelesaian melalui arbitrase (pasal 6 ayat (9))6.

Berikut akan dibahas pranata alternatif penyelesaian sengketa menurut

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, yaitu :

1. Konsultasi

Tidak ada suatu rumusan ataupun penjelasan yang diberikan dalam

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 mengenai makna maupun arti dari

konsultasi. Jika melihat pada Black’s Law Dictionary dapat kita ketahui

bahwa yang dimaksud dengan konsultasi (consultation) adalah :

“act of consulting or confering; e.g patient with doctor, client with

lawyer. Deliberation of persons on some subject”.

Dari rumusan yang diberikan tersebut dapat kita lihat bahwa pada

prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat “Personal”

antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan “klien” dengan pihak lain

yang merupakan pihak “konsultan”, yang memberikan pendapatnya

kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya

tersebut. Tidak ada suatu rumusan yang menyatakan sifat “keterikatan”

atau “kewajiban” untuk memenuhi dan mengikuti pendapat yang

disampaikan oleh pihak konsultan, ini berarti klien bebas menentukan

sendiri keputusan yang akan ia ambil untuk kepentingannya sendiri,


6
Ibid, hlm. 27

HUKUM DAGANG | 10
walaupun demikian tidak menutup kemungkinan klien akan

mempergunakan pendapat yang disampaikan oleh konsultan. Ini berarti

dalam konsultasi, sebagai suatu bentuk pranata alternatif penyelesaian

sengketa peran konsultan dalam penyelesaian perselisihan atau sengketa

yang ada tidaklah dominan sama sekali, konsultan hanyalah memberikan

pendapat hukum sebagaimana diminta oleh kliennya, yang untuk

selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan

diambil sendiri oleh para pihal meskipun adakalanya pihak konsultan juga

diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian

sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut7.

2. Negosiasi

Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan

paling tua digunakan. Penyelesaian melalui negosiasi merupakan cara

yang paling sering digunakan, banyak sengketa yang diselesaikan setiap

hari oleh negosiasi tanpa adanya publisitas atau menarik perhatian publik.

Alasan utama para pelaku usaha menggunakan penyelesaian sengketa

dengan negosiasi ini adalah karena para pihak dapat mengawasi prosedur

penyelesaian sengketanya, setiap penyelesaian pun didasarkan pada

kesepakatan atau konsensus para pihak8.

Dalam Buku Business Law, Principle, Cases and Policy Karya

Mark E. Roszkowski dikatakan bahwa :

7
Ibid, hlm. 28
8
Aulia Muthiah,Hukum Dagang dan Pelaksanaannya di Indonesia, Pustaka Baru
Press,Yogyakarta, 2016, hlm.234

HUKUM DAGANG | 11
“Negotiation is a process by which two parties, with differing

demands reach an agreement generally through compromise and

concession”

Yang artinya adalah :

“Negosiasi adalah proses dimana dua pihak dengan tuntutan yang

berbeda mencapai kesepakatan secara umum melalui kompromi

dan konsesi”

Dari literatur hukum diketahui bahwa pada umumnya proses

negosiasi merupakan suatu alternatif penyelesaian sengketa yang bersifat

informal, meskipun adakalanya dilakukan secara formal. Tidak ada suatu

kewajiban bagi para pihak untuk melakukan “pertemuan secara langsung”

pada saat negosiasi dilakukan, negosiasi tersebut tidak harus dilakukan

oleh para pihak sendiri. Melalui negosiasi para pihak yang bersengketa

atau berselisih paham dapat melakukan suatu proses “penjajakan” kembali

akan hak dan kewajiban para pihak dengan/melalui suatu situasi yang

sama-sama menguntungkan (win-win), dengan melepas atau memberikan

“kelonggaran” (concession) atas hak-hak tertentu berdasarkan pada asas

timbal balik. Tujuan dari dilaksanakannya negosiasi ini adalah untuk

mencapai suatu perdamaian, menurut Undang-Undang Hukum Perdata

pasal 1851 sampai pasal 1864 yang dimaksud dengan perdamaian adalah

“suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak dengan menyerahkan,

menjanjikan atau menahan suatu barang untuk mengakhiri suatu perkara

yang sedang berlangsung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara”.

Perdamaian tersebut kemudian dituangkan secara tertulis untuk

HUKUM DAGANG | 12
ditandatangi oleh para pihak dan bersifat final dan mengikat. Kesepakatan

tertulis (perdamaian) tesebut menurut ketentuan pasal 6 ayat (7) dan ayat

(8) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 wajib didaftarkan di Pengadilan

Negeri dalam jangka waktu 30 hari dari terhitung semenjak ditanda

tangani, dan dilaksanakan dalam waktu 30 hari terhitung sejak

pendaftaran9. Selain itu perlu dicatat pula bahwa “negosiasi” merupakan

salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di luar

pengadilan, sedangkan perdamaian dapat dilakukan baik sebelum proses

persidangan pengadilan dilakukan, maupun setelah sidang peradilan

dilaksanakan baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan (Pasal 130

HIR)10.

Selanjutnya oleh karena kesepakatan tertulis (pedamaian) hasil

negosiasi adalah suatu “persetujuan” diantara para pihak, maka selayak-

layaknya juga jika hasil negosiasi tidak dapat dibantah dengan alasan

kekhilafan mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah satu pihak

telah dirugikan. Walau demikian masih terdapat kemungkinan untuk

dibatalkan, jika memang dapat dibuktikan telah terjadi suatu kekhilafan

mengenai orangnya atau mengenai pokok sengketa, atau telah dilakukan

penipuan atau paksaan, atau kesepakatan telah diadakan atas dasar surat-

surat yang kemudian dinyatakan palsu11.

3. Mediasi
9
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op.cit, hlm. 31
10
Ibid, hlm.30
11
Ibid, hlm.32

HUKUM DAGANG | 13
Pengaturan mengenai mediasi dapat kita temukan dalam ketentuan

pasal 6 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang No. 30 Tahun

1999. Ketentuan mengenai mediasi yang diatur dalam pasal 6 ayat (3)

adalah suatu proses kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya negosiasi

yang dilakukan oleh para pihak menurut ketentuan pasal 6 ayat (2).

Menurut rumusan dari pasal 6 ayat (3) tersebut juga dikatakan bahwa “atas

kesepakatan tertulis para pihal, sengketa atau beda pendapat diselesaikan

melalui bantuan seorang atau penasehat ahli maupun melalui seorang

mediator”. Undang-Undang tersebut tidak memberikan rumusan definisi

atau pengertian yang jelas dari mediasi ataupun mediator. Dari literatur

hukum, yaitu Black’s Law Dictionary dikatakan bahwa mediasi adalah :

“Mediation is private, informal dispute resolution process in which

a nautral third person, the mediator, helps disputing parties to

rach an agreement”12.

Yang artinya adalah :

“Mediasi merupakan suatu proses penyelesaian sengketa informal

yang bersifat pribadi, dimana orang ketiga yang netral atau disebut

sebagai mediator membantu pihak yang berselisih untuk mencapai

kesepakatan”.

Untuk penyelesaian sengketa yang melibatkan lembaga mediasi

Mahkamah Agung Republik Indonesia telah menerbitkan PERMA Nomor

2 Tahun 2003 tentang prosedur mediasi di pengadilan. Adapun latar

belakang diterbitkannya PERMA ini dijelaskan dalam pertimbangan

(konsiderans) pada butir b bahwa mediasi merupakan salah satu proses


12
Ibid, hlm. 33

HUKUM DAGANG | 14
yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses kepada para

pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan atau penyelesaian

yang memuaskan atas sengketa yang dihadapi. Adapaun yang dimaksud

dengan mediasi berdasarkan PERMA ini dijelaskan pada pasal 1 ayat (6)

yaitu “mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan

para pihak dengan dibantu oleh mediator”. Sedangkan yang dimaksud

dengan mediator dijelaskan pada pasal 1 ayat (5) yaitu “mediator adalah

pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu

para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian

sengketa”13.

Mediasi, dari pengertian yang diberikan di atas jelas melibatkan

keberadaan pihak ketiga (baik perorangan maupun dalam bentuk suatu

lembaga independen) yang bersifat netral dan tidak memihak, yang akan

berfungsi sebagai “mediator”. Sebagai pihak ketiga yang netral,

independen, tidak memihak dan ditunjuk oleh para pihak (secara langsung

maupun melalui lembaga mediasi), mediator ini berkewajiban untuk

melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan pada kehendak dan

kemauan para pihak. Walau demikian ada suatu pola umum yang dapat

diikuti dan pada umumnya dijalankan oleh mediator dalam rangka

penyelesaian sengketa para pihak. Sebagai suatu pihak di luar perkara,

yang tidak memiliki kewenangan memaksa, mediator ini berkewajiban

untuk bertemu atau mempertemukan para pihak yang bersengketa guna

mencari masukan mengenai pokok persoalan yang dipersengketakan oleh

para pihak. Berdasarkan pada informasi yang diperoleh, baru kemudian


13
Aulia Muthiah, op.cit. hlm. 235

HUKUM DAGANG | 15
mediator dapat menentukan duduk perkara, “kekurangan” dan “kelebihan”

dari masing-masing pihak yang bersengketa, dan selanjutnya mencoba

menyusun proposal penyelesaian, yang kemudian dikomunikasikan

kepada para pihak secara langsung. Mediator harus mampu menciptakan

suasana dan kondisi yang kondusif bagi terciptanya kompromi diantara

kedua belah pihak yang bersengketa untuk memperoleh hasil yang saling

menguntungkan (win-win). Baru setelah diperoleh persetujuan dari para

pihak atas proposal yang diajukan (beserta segala revisi atau

perubahannya) untuk penyelesaian masalah yang dipersengketakan,

mediator kemudian menyusun kesepakatan itu secara tertulis untuk ditanda

tangani oleh para pihak. Tidak hanya sampai disitu, mediator juga

diharapkan dapat membantu pelaksanaan dari kesepakatan tertulis yang

telah ditanda tangani oleh kedua belah pihak tersebut14.

Sengketa perdata menurut kebiasaan penyelesaiannya terlebih

dahulu dengan proses mediasi. Jadi semua perkara yang diajukan ke

pengadilan tingkat pertama wajib untuk terlebih dahulu diselesaikan

melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Jika mediasi menghasilkan

kesepakatan, dari para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan

secara tertulis. Kesepakatan tersebut ditanda tangani oleh para pihak yang

kemudian hakim mengukuhkan kesepakatan sebagai suatu akta

perdamaian15.

4. Konsiliasi

14
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op.cit, hlm. 34
15
Aulia Muthiah, op.cit. hlm. 236

HUKUM DAGANG | 16
Seperti halnya konsultasi, negosiasi, maupun mediasi, Undang-

Undang No. 30 Tahun 1999 tidak memberikan suatu rumusan yang

eksplisit atas pengertian atau definisi dari konsiliasi ini. Bahkan tidak

dapat kita temui suatu ketentuanpun dalam Undang-Undang No. 30 Tahun

1999 ini yang mengatur mengenai konsiliasi. Perkataan konsiliasi sebagai

salah satu alternatif penyelesaian sengketa dapat kita temukan dalam

ketentuan pasal 1 angka 10 dan alenia ke-9 Penjelasan Umum Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut16.

Konsiliasi dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 sebagai

suatu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah

suatu tindakan atau proses untuk mencapai perdamaian di luar pengadilan

melalui usaha mempertemukan keinginan para pihak yang berselisih yang

dibantu oleh pihak ketiga yang disebut konsiliator untuk mencapai suatu

kesepakatan. Konsiliasi dilakukan tidak hanya untuk mencegah

dilaksanakannya proses litigasi (peradilan), melainkan juga dalam setiap

tingkatan tingkat peradilan yang sedang berlangsung, baik di dalam

maupun di luar pengadilan dengan pengecualian untuk hal-hal atau

sengketa dimana telah diperoleh suatu putusan hakim yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap. Dapat dikatakan bahwa pada

prinsipnya konsiliasi tidak berbeda jauh dengan perdamaian, maka segala

sesuatu yang diselesaikan melalui konsiliasi secara tidak langsung tunduk

pada ketentuan pada Bab Kedelapan belas Buku III KUH Perdata, dan

secara khusus tunduk pada pasal 1851 sampai dengan pasal 1864. Ini

berarti hasil kesepakatan para pihak melalui alternatif penyelesaian


16
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op.cit, hlm. 35

HUKUM DAGANG | 17
sengketa konsiliasi inipun harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani

secara bersama oleh para pihak yang bersengketa, dan kemudian

didaftarkan di Pengadilan Negeri yang mana kesepakatan tertulis tersebut

bersifat final dan mengikat para pihak (Pasal 6 ayat (7) jo pasal 6 ayat (8)

UU No. 30 Tahun 1999)17 .

Pada tampilannya, tampaknya tidak ada perbedaan besar antara

konsiliasi dengan mediasi. Namun, konsiliasi adalah mekanisme resolusi

perselisihan yang lebih formal dari mediasi. Seorang mediator dalam

mediasi mencoba untuk memfasilitasi dialog antara para pihak dalam suatu

perselisihan sedemikian rupa sehingga mereka sampai pada solusi damai

untuk perselisihan itu sendiri, mediator mencoba membuat pihak-pihak

tersebut memiliki pandangan yang lebih jelas terhadap kepentingan dan

kebutuhan mereka sendiri dengan cara yang lebih baik di dalam

menyelesaikan sengketa yang dihadapi. Meskipun mediator tidak

memaksakan kehendaknya, dia menggunakan teknik negosiasi dan

komunikasi untuk membantu faksi-faksi yang bertikai untuk sampai pada

penyelesaian sengketa damai. Sedangkan seorang konsiliator dalam

konsiliasi merupakan seorang ahli di bidang mana ia mencoba untuk

mengadili suatu sengketa, seorang konsiliator lebih mengutamakan

mencari konsesi dari pihak-pihak yang bersengketa18.

5. Pendapat Hukum oleh Lembaga Arbitrase

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 juga mengenal istilah

“pendapat ahli” sebagai bagian dari alternatif penyelesaian sengketa, dan


17
Ibid, hlm. 36
18
EsDifferent, Perbedaan antara Konsiliasi dan Mediasi, Diakses pada
https://id.esdifferent.com/difference-betwen-conciliation-and-mediation

HUKUM DAGANG | 18
bahwa ternyata arbitrase dalam suatu bentuk kelembagaan tidak hanya

bertugas untuk menyelesaikan perbedaan atau perselisihan pendapat

maupun sengketa yang terjadi diantara para pihak dalam suatu perjanjian

“pokok”, melainkan juga dapat memberikan “konsultasi” dalam bentuk

“opini” atau “pendapat hukum” atas permintaan dari setiap pihak yang

memerlukannya, tidak terbatas pada para pihak dalam perjanjian.

Pemberian opini atau pendapat hukum tersebut dapat berupa suatu

masukan bagi para pihak dalam menyusun atau membuat perjanjian yang

akan mengatur hak-hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian,

maupun dalam memberikan penafsiran ataupun pendapat terhadap salah

satu atau lebih ketentuan dalam perjanjian yang telah dibuat oleh para

pihak untuk memperjelas pelaksanaannya. Pendapat hukum yang

diberikan oleh lembaga arbitrase bersifat “mengikat” guna menyelesaikan

suatu bentuk perbedaan paham atau perselisihan pendapat, ataupun

mengenai suatu “ketidak jelasan” akan suatu hubungan hukum, ataupun

rumusan dalam perjanjian yang dihadapi oleh para pihak dalam suatu

perjanjian dengan “klausula” arbitrase, sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

sengketa19.

Rumusan pasal 52 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa para

pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang

mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu

perjanjian. Ketentuan ini pada dasarnya merupakan pelaksanaan dari


19
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op.cit, hlm. 37

HUKUM DAGANG | 19
pengertian tentang lembaga arbitrase yang diberikan dalam pasal 1 angka

8 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa :

“Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak

yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa

tertentu; lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang

mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal

belum timbul sengketa”

Menurut ketentuan pasal 52, pendapat hukum yang diberikan oleh lembaga

arbitrase tersebut dikatakan bersifat mengikat (binding) oleh karena

pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang tidak

terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada

lembaga arbitrase tersebut). Setiap pelanggaran terhadap pendapat hukum

yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of

contract-wan prestasi). Selanjutnya oleh karena pendapat tersebut

diberikan atas permintaan dari para pihak secara bersama-sama dengan

melalui mekanisme, sebagaimana halnya suatu penunjukan lembaga

arbitrase untuk menyelesaikan suatu perbedaan pendapat atau perselisihan

paham maupun sengketa yang ada atau lahir dari suatu perjanjian, maka

pendapat hukum ini pun bersifat “akhir” (final) bagi para pihak yang

meminta pendapat pada lembaga arbitrase termaksud. Hal ini ditegaskan

kembali dalam rumusan pasal 53 Undang-Undang No.30 Tahun 1999,

yang menyatakan bahwa terhadap pendapat yang mengikat tersebut dalam

pasal 52 (sebagaimana disebutkan di atas) tidak dapat dilakukan

perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun. Jika dilihat dari sifat

HUKUM DAGANG | 20
pendapat hukum yang diberikan, yang secara hukum mengikat dan

merupakan pendapat pada tingkat akhir, dapat dikatakan bahwa

sebenarnya sifat pendapat hukum yang diberikan oleh lembaga arbitrase

ini termasuk dalam pengertian atau bentuk “putusan” lembaga arbitrase20.

3.2 Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase

Berdasarkan definisi yang diberikan dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang

No. 30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di

luar peradilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat

secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Ada tiga hal yang dapat

dikemukakan dari definisi yang diberikan dalam Undang-Undang No. 30 Tahun

1999 tersebut :

1. Arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian.

2. Perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis.

3. Perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan

sengketa yang dilaksanakan di luar pengadilan umum.

Menurut ketentuan pasal 6 ayat (9) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 dalam hal

usaha-usaha alternatif penyelesaian sengketa melalui konsultasi, negosiasi,

mediasi, konsiliasi, pemberian pendapat hukum yang mengikat maupun

perdamaian tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara

tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase, yang

berarti dapat dikatakan bahwa arbitrase merupakan pranata alternatif penyelesaian

sengketa terakhir dan final bagi para pihak21.

20
Ibid, hlm. 38
21
Ibid, hlm. 42

HUKUM DAGANG | 21
Berdasarkan pada ketentuan pasal 3 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999

dapat diketahui bahwa penyelesaian perselisihan atau sengketa melalui pranata

arbitrase memiliki “kompetensi absolut” (kewenangan dari pranata penyelesaian

sengketa yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi) terhadap

penyelesaian perselisihan atau sengketa melalui pengadilan. Ini berarti bahwa

setiap perjanjian yang telah mencantumkan klausula arbitrase atau suatu

perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak menghapuskan kewenangan dari

pengadilan negeri untuk menyelesaikan setiap perselisihan atau sengketa yang

timbul dari perjanjian yang memuat klausula arbitrase tersebut atau yang telah

timbul sebelum ditanda tanganinya perjanjian arbitrase oleh para pihak22.

Jika dilihat dari definisi dari perjanjian arbitrase yang diberikan dalam

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya

perjanjian arbitrase dapat terwujud dalam bentuk suatu kesepakatan berupa :

a. klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang

dibuat oleh para pihak sebelum timbul sengketa, atau

b. suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah

timbul sengketa.

Sebagai salah satu bentuk perjanjian, sah tidaknya perjanjian arbitrase

digantungkan pada syarat-syarat sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 1320

KUH Perdata23.

Perjanjian arbitrase tidak melekat menjadi suatu kesatuan dengan materi

pokok perjanjian. Perjanjian arbitrase yang lazim disebut “klausula arbitrase”

merupakan tambahan yang diletakkan pada perjanjian pokok. Meskipun

22
Ibid, hlm. 43
Ibid, hlm. 44
23

HUKUM DAGANG | 22
keberadaannya hanya sebagai tambahan pada perjanjian pokok klausula arbitrase

tidak bersifat assesoir oleh karena pelaksanaannya dan sama sekali tidak

mempengaruhi atau dipengaruhi oleh keabsahan maupun pelaksanaan pemenuhan

perjanjian pokok24.

Secara umum proses pemeriksaan sengketa dalam arbitrase tidak jauh

berbeda dengan jalannya proses pemeriksaan perkara dalam pranata peradilan.

Proses jalannya tersebut meliputi acara yang dipergunakan, bahasa yang dipakai,

sistem pembuktian acara yang dipergunakan, bahasa yang dipakai, sistem

pembuktian yang diterapkan, hak-hak para pihak dalam proses pemeriksaan, serta

alur jalannya pemeriksaan itu sendiri dimulai dari sejak permohonan untuk

pemeriksaan sengketa diajukan hingga pada akhirnya dijatuhkan putusan pada

tingkat akhir yang mengikat para pihak yang meminta penyelesaian perselisihan

atau sengketa mereka melalui pranata arbitrase tersebut25.

Sengketa yang diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa perdata di

bidang perdagangan dan mengenai hak yang menuntut hukum dan peraturan

perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Di

Indonesia terdapat Lembaga Arbitrase Nasional Indonesia yang disingkat BANI,

BANI merupakan suatu badan yang didirikan atas prakarsa Kamar Dagang dan

Industri (KADIN) yang bertujuan memberikan penyelesaian yang adil dan cepat

dalam sengketa perdata dalam bidang perdagangan yang bersifat nasional dan

internasional, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999. Lembaga Arbitrase Nasional Indonesia memiliki kelebihan dibandingkan

24
Ibid, hlm. 47
25
Ibid, hlm. 77

HUKUM DAGANG | 23
lembaga peradilan di dalam menyelesaikan sengketa dalam bidang perdagangan,

yaitu :

1. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak.

2. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan kerena hal prosedural dan

administratif.

3. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai

pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai

masalah yang disengketakan, jujur dan adil.

4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan

masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase.

5. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan

melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat

dilaksanakan26.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Pada tanggal 12 Agustus 1999 telah diundangkan dan sekaligus

diberlakukan UU RI No. 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif

penyelesaian sengketa. Dalam rumusan yang diberikan dalam Pasal 1 angka 10

dan Alenia ke-9 dari Penjelasan Umum Undang-Undang No. 30 Tahun 1999,

dikatakan bahwa alternatif penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan cara

konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, penilaian ahli dan arbitrase.

26
Aulia Muthiah, op.cit. hlm. 237

HUKUM DAGANG | 24
Konsultasi adalah suatu proses yang bersifat “personal” antara pihak

tertentu dimana pihak pertama disebut dengan “klien” dan pihak lain disebut

dengan “konsultan” yang melakukan komunikasi terbuka untuk

mengidentifikasikan masalah dan memecahkan permasalahan tersebut. Negosiasi

yaitu salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa dimana para pihak yang

bersengketa melakukan kompomi atau perundingan langsung untuk mencapai

kesepakatan bersama. Mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa yang

bersifat informal, di mana penyelesaian sengketa antara dua pihak yang berselisih

dibantu oleh pihak ke tiga yang netral atau yang disebut dengan mediator untuk

mencapai suatu kesepakatan. Konsiliasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa

yang bersifat lebih formal dibandingkan mediasi untuk mencapai suatu

kesepakatan atau perdamaian antara pihak-pihak yang bersengketa yang dibantu

oleh pihak ketiga yang disebut dengan konsiliator.

Arbitrase merupakan suatu penyelesaian sengketa di luar peradilan umum

yang dilaksanakan oleh pihak-pihak yang bersengketa yang diutus oleh hakim-

hakim yang mereka tunjuk dan angkat sendiri, dimana keputusan yang diambil

oleh para hakim bersifat final dan mengikat yang berdasarkan pada kesepakatan

dari kedua belah pihak bahwa mereka akan tunduk dan menaati putusan tersebut.

Secara umum proses pemeriksaan sengketa dalam arbitrase tidak jauh berbeda

dengan jalannya proses pemeriksaan perkara dalam pranata peradilan. Proses

jalannya tersebut meliputi acara yang dipergunakan, bahasa yang dipakai, sistem

pembuktian acara yang dipergunakan, bahasa yang dipakai, sistem pembuktian

yang diterapkan, hak-hak para pihak dalam proses pemeriksaan, serta alur

jalannya pemeriksaan itu sendiri dimulai dari sejak permohonan untuk

HUKUM DAGANG | 25
pemeriksaan sengketa diajukan hingga pada akhirnya dijatuhkan putusan pada

tingkat akhir yang mengikat para pihak yang meminta penyelesaian perselisihan

atau sengketa mereka melalui pranata arbitrase tersebut.

4.2 Saran

Didalam menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam bidang perdagangan

sebaiknya menggunakan pranata alternatif penyelesaian sengketa yang terdiri dari

konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, pendapat ahli lembaga arbitrase , dan

arbitrase. Karena selain prosedural dan administratif yang lebih sederhana, biaya

yang dikeluarkan relatif lebih murah ketimbang menyelesaikan perkara di pranata

peradilan.

HUKUM DAGANG | 26
DAFTAR PUSTAKA

Artha Windari, Ratna.2017.Pengantar Hukum Indonesia. Depok : Rajawali Pers

Kansil, C.S.T. 1979. Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia.

Jakarta : Radar Jaya Offset

Hasyim, Farida.2016. Hukum Dagang. Jakarta: Sinar Grafika

Muthiah, Aulia.2016. Hukum Dagang dan Pelaksanaannya di Indonesia.

Yogyakarta : Pustaka Baru Press

Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani.2000. Hukum Arbitrase. Jakarta : PT. Raja

Grafindo Persada

EsDifferent. Perbedaan Konsiliasi dan Mediasi. Tersedia pada :

https://id.esdifferent.com/difference-betwen-conciliation-and-

mediation. Diakses pada : 20 April 2018.

Anda mungkin juga menyukai