Anda di halaman 1dari 21

ABSTRAK

Artikel ini menganalisis putusan perkara gugatan wanprestasi yang tercantum


dalam putusan Nomor 9/Pdt.G/2019/PN.Sby tanggal 21 Oktober 2019. Putusan
tersebut melibatkan penggugat sebagai pemilik tanah dan bangunan yang
menggugat tergugat atas perbuatan melawan hukum terkait jaminan pinjaman
uang. Analisis ini bertujuan untuk memahami dan mengevaluasi penekanan
hukum acara perdata yang digunakan dalam putusan tersebut. Putusan perkara
wanprestasi memiliki peranan penting dalam menyelesaikan sengketa perdata
antara para pihak yang terlibat dalam suatu kontrak. Putusan ini berfungsi untuk
menentukan hak dan kewajiban masing-masing pihak serta memberikan keadilan
kepada pihak yang dirugikan akibat pelanggaran kontrak. Dalam konteks tersebut,
penekanan hukum acara perdata dalam putusan sangatlah penting untuk
memastikan proses yang adil dan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Studi
ini menggunakan metode analisis terhadap putusan Nomor 9/Pdt.G/2019/PN.Sby
tanggal 21 Oktober 2019. Putusan tersebut melibatkan perbuatan melawan hukum
atas nama tergugat yang terkait dengan jaminan pinjaman uang. Dalam analisis
ini, kami memfokuskan pada penekanan hukum acara perdata yang terdapat dalam
putusan tersebut, seperti proses peradilan, alat bukti yang digunakan, argumentasi
hukum, dan pertimbangan hakim. Putusan Nomor 9/Pdt.G/2019/PN.Sby
mengungkapkan bahwa penggugat adalah pemilik tanah dan bangunan yang
terletak di Jl. Sutorejo Timur ZZ-32/19, Surabaya. Penggugat menggugat tergugat
atas perbuatan melawan hukum terkait jaminan pinjaman uang.

Kata kunci : Putusan Hakim, wanprestasi, perjanjian penanggungan hutang

PENDAHULUAN.

Dalam sistem hukum Indonesia, Hukum Acara Perdata memegang peran


penting dalam penyelesaian perselisihan yang timbul antara individu, perusahaan,
atau pihak lain yang terlibat dalam masalah hukum yang berkaitan dengan hak
perdata. Hukum Acara Perdata adalah cabang hukum yang mengatur prosedur dan
tata cara penyelesaian perselisihan perdata di pengadilan.
Hukum Acara Perdata di Indonesia didasarkan pada Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang diatur dalam Buku IV. Tujuan utama
Hukum Acara Perdata adalah menciptakan kerangka hukum yang adil dan efisien
untuk menyelesaikan perselisihan perdata, melindungi hak individu, dan
menjamin kepastian hukum.

Salah satu karakteristik penting dari Hukum Acara Perdata di Indonesia


adalah prinsip kontradiktif. Prinsip ini menjamin bahwa pihak-pihak yang terlibat
dalam persidangan memiliki hak untuk menyampaikan pendapat, bukti, dan
argumen mereka sendiri, serta memberikan tanggapan terhadap pendapat, bukti,
dan argumen pihak lawan. Persidangan dilakukan secara terbuka dan transparan
untuk memastikan pihak-pihak yang terlibat mendapatkan keadilan yang obyektif.

Proses Hukum Acara Perdata di Indonesia melibatkan tahapan-tahapan,


termasuk gugatan, persidangan, pembuktian, dan putusan pengadilan. Pengadilan
yang mengadili perkara perdata di Indonesia memiliki beberapa tingkatan, mulai
dari Pengadilan Negeri sebagai tingkat pertama, Pengadilan Tinggi sebagai tingkat
banding, hingga Mahkamah Agung sebagai tingkat kasasi.

Selain itu, Hukum Acara Perdata di Indonesia juga memberikan ruang bagi
alternatif penyelesaian sengketa, seperti mediasi dan arbitrase. Mediasi adalah
proses penyelesaian sengketa di mana pihak-pihak yang berselisih bertemu untuk
mencapai kesepakatan dengan bantuan mediator. Arbitrase, di sisi lain, adalah
proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan, di mana pihak-pihak yang
berselisih menyerahkan penyelesaian sengketa kepada arbiter yang independen
dan netral.

Hukum Acara Perdata di Indonesia terus mengalami perubahan dan


penyempurnaan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan
perkembangan zaman. Reformasi hukum dilakukan untuk mempercepat proses
peradilan, meningkatkan akses terhadap keadilan, dan memperkuat independensi
hukum itu sendiri.

Pada umumnya kegiatan jual beli sudah dikenal manusia sejak zaman
dahulu, dimana manusia telah menemukan alat tukar yang mempermudah
manusia untuk mendapatkan suatu barang. Hakikatnya jual beli pada zaman
sekarang lebih mudah dilakukan khususnya di Indonesia, jual beli tersebut
merupakan salah satu aktivitas sehari-hari manusia yang berbentuk pertukaran
suatu barang yang memiliki nilai dengan barang lainnya atas kesepakatan
bersama.1

Jual beli juga merupakan salah satu peristiwa perdata yang paling sering
dilakukan oleh orang demi memperoleh hak milik atas suatu benda. Sehingga jual
beli merupakan perbuatan dua pihak, pihak yang satu sebagai penjual/menjual dan
pihak yang lain sebagai pembeli/membeli, maka dalam hal ini terjadilah suatu
peristiwa hukum yaitu jual beli. Jual beli merupakan peristiwa hukum pada ranah
perdata. Menurut Soeroso jual beli termasuk peristiwa hukum majemuk yaitu
terdiri dari lebih dari satu peristiwa yakni pada jual beli akan terjadi peristiwa
tawar menawar, penyerahan barang, penerimaan barang.2

Sebagian besar benda yang dipunyai seseorang, hak milik atas benda
tersebut diperoleh karena adanya penyerahan oleh pihak lain, yakni penjual.
Peristiwa perdata atau titel berupa perjanjian jual beli mendominasi kepemilikan
benda yang dipunyai oleh setiap anggota masyarakat. Berpangkal dari titik ini
terbuktikan, betapa sentralnya peristiwa perdata berupa perjanjian jual beli itu
dalam kancah kehidupan sosial. 2 Hukum perdata telah memberlakukan undang-
undang yang mengatur tentang jual beli cukup rinci sebagaimana dapat dilihat
dalam buku ke-III BW/burgerlijk wetboek voor Indonesia atau disebut sebagai
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pasal 1457 yang berbunyi “Jual
beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya
untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga
yang dijanjikan”. Pasal tersebut cukup jelas mendefinisikan bahwa kegiatan jual
beli merupakan suatu peristiwa hukum yang menimbulkan akibat hukum bagi
pihak yang melakukannya.3
1
Hanafi, I. (2018). Analisis Putusan Pengadilan Agama Purbalingga Tentang Wanprestasi
Akad Murabahah Studi Kasus Putusan Perkara Nomor 0311/Pdt. g/2014/PA. Pbg (Doctoral
dissertation, IAIN SALATIGA).
2
Susmayanti, R. (2019). Analisis Putusan tentang Gugatan Wanprestasi terhadap
Pengingkaran Janji Kampanye oleh Presiden Terpilih. Jurnal Supremasi, 39-50.
3
Lazwardi, M. (2018). Wanprestasi Dalam Akad Pembiayaan Ijarah Multijasa (Analisis
Putusan Pengadilan Agama Purbalingga No. 1721/Pdt. G/2013/PA. Pbg). Rechtidee, 13(2), 139-
Jika dilihat dalam unsur pokok perjanjian jual beli adalah barang dan
harga, dimana antara penjual dan pembeli harus ada kata sepakat tentang harga
dan benda yang menjadi objek dalam jual beli tersebut. Suatu perjanjian jual beli
yang sah lahir apabila kedua belah pihak yang melakukan jual beli telah
menyetujui tentang harga dan barang.

Sifat konsensual dari perjanjian jual beli tersebut ditegaskan dalam pasal
1458 KUH Perdata yang berbunyi “Jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua
belah pihak seketika setelah mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan
harga, meskipun barang ini belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.”

Kasus sengketa ekonomi syariah di Bukittinggi terhitung sejak berlakunya


Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang peradilan agama diberlakukan,
Pengadilan Agama Bukittinggi telah menangani beberapa perkara ekonomi
syariah. Ditahun 2017 ada 4 (empat) perkara ekonomi syariah yang masuk ke
Pengadilan Agama Bukittinggi. Dari 4 (empat) perkara ekonomi syariah tersebut 1
(satu) di antaranya dalam upaya hukum yaitu banding, 1 (satu) lagi juga masih
dalam upaya hukum yaitu kasasi dan 2 (dua) sudah memutusi.

Berdasar pada empat perkara ekonomi syariah yang ditangani Pengadilan


Agama Bukittinggi di Tahun 2017, penulis membatasi satu perkara yang menjadi
objek penelitian penulis yaitu perkara Nomor 260/Pdt.G/2017/PA. Bkt, yang
digunakan sebagai bahan kajian dalam penyusunan penelitian ini. Adapun
kronologis kasusnya adalah ketika penggugat mengajukan konflik antara
penggugat dan tergugat ke Pengadilan Agama Bukittinggi sehingga konflik
tersebut menjadi sebuah sengketa yang harus diselesaikan oleh Pengadilan Agama
Bukittinggi. Penggugat atas nama BPR Syariah Ampek Angkek Candung
sedangkan tergugat atas nama Rahmawati Taqwa sebagai tergugat 1 (satu) dan
Abdurrahman Rafiq M Adam SE sebagai tergugat 2 (dua). Pada hari Selasa, 09
Mei 2017 penggugat mendaftarkan perkara tersebut sehingga terdaftar di
Pengadilan Agama Bukittinggi dengan klasifikasi perkara Ekonomi Syariah
Nomor 260/Pdt.G/2017/PA.Bkt.

159.
Sumber hukum diatas adalah sumber hukum yang berlaku di Indonesia
yang bisa dijadikan hakim sebagai pertimbangan untuk memutus sengketa. Karna
penelitian ini berpijak pada penerapan Undang-undang dalam pertimbangan
hakim, maka perlu dikaji lebih dalam tentang posisi Undang-undang sebagai dasar
pertimbangan hakim untuk memutus suatu perkara. Untuk dapat mengetahui tata
urutan peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia, maka bisa dilihat
dalam undangundang no 12 Tahun 2011 Tentang Peraturan Perundang-Undangan,
tepatnya dalam pasal 7 sebagai berikut: Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan
MPR, undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undangundang, peraturan
pemerintah, peraturan presiden, peraturan daerah provinsi, peraturan daerah,
kabupaten/ kota. Peraturan UU yang belum tersebut dalam pasal 7 di atas dalam
konteks ini dijelaskan dalam Pasal 8 ayat 1 UU No 12 Tahun 2011 yang
menyebutkan bahwa:Jenis peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh
Majelis Permusyawaran Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan,
Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga atau komisi yang
setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah
UndangUndang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau
yang setingkat (Sainul & Afrelian, 2015:185).

Berdasarkan tata aturan perundang-undangan di atas maka hakim dapat


menggunakan peraturan hukum positif tersebut sebagai aturan yang bisa dijadikan
hakim untuk dasar pertimbangan hukum dalam penyelesaian sengketa, hal ini
sesuai dengan asas putusan harus disertai alasan-alasan. Asas putusan harus
disertai alasan-alasan yang dimaksud adalah keputusan hakim dalam suatu perkara
harus menggunakan dalil-dalil dan atau dasar hukum positif yang ada tentunya
hukum positif yang dimaksud adalah yang telah ditentukan oleh UU NO. 12
Tahun 2011 Tentang Peraturan Perundang-Undangan seperti yang telah dijelaskan
di atas.Dalil-dalil atau dasar hukum positif yang ada dimaksudkan untuk
pertanggungjawaban dari sebuah keputusan yang telah dikeluarkan oleh hakim
dalam persidangan di pengadilan. Hakim dalam menerapkan dalil-dalil atau dasar
hukum positif harus betul-betul jeli dan cermat serta harus sesuai dengan sengketa
yang dihadapi oleh para pihak, karena jika dalam suatu keputusan penerapan
tentang dasar hukumnya salah dan atau tidak sesuai dengan permasalahan yang
dihadapi oleh para pihak, maka keputusan pengadilan yang telah dikeluarkan akan
berakibat cacat hukum dan dapat dibatalkan, diubah, dan diperbaiki di tingkat
banding, kasasi maupun peninjauan kembali (Sarwono, 2011: 24-25).

Khususnya dalam mengantisipasi perkembangan ekonomi syariah, salah


satunya dengan menggunakan reformasi hukum kearah hukum ekonomi syariah.
Menyikapi hal ini sebagai langkah awal dibentuklah Dewan Syariah Nasional
(DSN). DSN dibentuk melalui surat keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Nomor Kep-754/II/MUI/1999 tertanggal 10 Febuari 1999. Dasar hukum yang
mengikat DSN adalah Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 6/24/PBI/2004
tentang bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah yang telah diubah menjadi PBI Nomor 7/35/PBI/2015.4

Munculnya sengketa ekonomi syariah yang terjadi di Indonesia terutama


dalam kasus ekonomi Syariah di suatu perusahaan yang timbul karena adanya
wanprestasi yang dilakukan oleh nasabah yang tidak dapat memenuhi prestasinya.
Wanprestasi merupakan tidak terpenuhinya atau lalai melaksanakan kewajiban
dalam suatu perjanjian yang disepakati dalam suatu perikatan. Wanprestasi atau
tidak dipenuhinnya janji dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak
disengaja, sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1243 KUHPerdata juga
dijelaskan pengertian wanprestasi dalam KHES pasal 36 yaitu Tidak melakukan
apa yang dijanjikan, melakukan namun tidak sebagaimana yang dijanjikan,
melakukan namun terlambat, atau melakukan apa hal yang tidak boleh dilakukan.5

Kasus sengketa yang terjadi pada perbankan syariah masih banyak yang
menggunakan KUHPerdata saja dalam menyelesaikan beberapa putusan
sengketanya, padahal sumber hukum perdata ekonomi syariah berbeda dengan
sumber hukum ekonomi konvensional. Penggunaan KUHPerdata disini tidak

4
Ihsan, M. A. D. (2023). Analisis Yuridis Tanggung Renteng Wanprestasi Dalam
Perjanjian Kerja Pembangunan Perumahan (Studi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 286
K/Pdt/2019) (Doctoral dissertation, Fakultas Hukum, Universitas Islam Sumatera Utara).
5
Lubis, S., Sugeng, S. H., SI, M., Wiyono, S. H., & Hartomo, S. H. ANALISIS
PUTUSAN PENGADILAN TENTANG WANPRESTASI
disusun berdasarkan Al-Quran dan Sunnah sebagai landasan hukumnya,
melainkan hanya menggunakan aturan pemerintah yang disusun berdasarkan
hukum konvensional, Sedangkan penyelesaian ekonomi syariah harus
berlandaskan dengan syariat Islam. Dalam Majalah Peradilan Agama edisi 8
dicantumkan terdapat beberapa kasus ekonomi syariah yang terjadi sengketa,
dalam penerapan 8 kasus tersebut diantaranya menggunakan peraturan
KUHPerdata, KHES, fatwa DSN-MUI, dan yurisprudensi sebagai sumber
hukumnya, namun terdapat satu putusan yang hanya menggunakan KUHPerdata
dan PBI sebagai sumber pengambilan putusan.16 Artinya sumber putusanya tidak
berlandaskan nash sama sekali.6

Terdapat dalam putusan No. 565/Pdt.G/2020/PA.JU yang dalam putusan


pengadilan kasus tersebut membahas tentang wanprestasi yang mana dalam duduk
perkaranya pihak tergugat tidak menjalankan kewajibannya dengan tidak
membayar marhun biih, mu’nah dan biaya-biaya lainnya. Namun dalam
penyelesaiannya hakim menggunakan dasar hukum wanprestasi yang di atur
dalam KUHPerdata, sedangkan menurut pengertian wanprestasi dalam
KUHPerdata menjelaskan bahwa undang-undang tersebut berlaku hingga adanya
undang-undang yang menggantikannya, terutama dalam kasus ekonomi syariah
seharusnya penyelesaiannya terikat untuk tunduk kepada hukum dan ajaran Islam.

Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yaitu wanprestastie yang


memiliki arti tidak dipenuhinya suatu prestasi atau kewajiban yang telah
ditetapkan sebelumnya terhadap pihak-pihak yang bersepakat dalam suatu
perikatan, baik berupa perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian maupun
perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang mengatur. Dalam
kamus hukum istilah wanprestasi berarti kelalaian, cidera janji, tidak menepati
kewajibannya dalam suatu perjanjian. Mariam Darus badrulzaman memberikan
pernyataan bahwa apabila debitur melakukan suatu kesalahan sehingga tidak
6
Nainggolan, D., Fahrezi, E. A., & Ndraha, Y. D. (2021). Tinjauan Yuridis Mengenai
Sengketa Wanprestasi Dalam Perjanjian Sewa Menyewa Iso Tank (Analisis Putusan Nomor
121/PDT. G/2018PN JKT. SEL). Jurnal Hukum Al-Hikmah: Media Komunikasi dan Informasi
Hukum dan Masyarakat, 2(2), 264-276.
menjalankan kewajibannya yang diperjanjikan maka debitur tersebut dinyatakan
wanprestasi atau cidera janji, kata arti salah di sini bukan berarti tidak melakukan
sama sekali sebuah perjanjian yang disepakatinya, melainkan melaksanakan
namun terjadi di kesalahan dalam pelaksanaannya sehingga menjadikan sebuah
perjanjian tidak sempurna.

Seperti yang kita ketahui terdapat macam-macam objek dalam jual beli,
objek tersebut harus benda tertentu yang jelas wujud, jumlah, maupun harganya
dan benda tersebut memang benda yang boleh diperjual belikan agar statusnya
jelas dan sah menurut hukum. Akan tetapi perlu juga dilihat dari sifat dari benda
itu sendiri. Berdasarkan pasal 504 KUH Perdata, benda dibedakan menjadi 2
(dua) yaitu benda bergerak dan benda tidak bergerak. Mengenai benda tidak
bergerak, diatur dalam pasal 506 – pasal 508 KUH Perdata. Sedangkan untuk
benda bergerak, diatur dalam pasal 509 – pasal 518 KUH Perdata.

Menurut Subekti suatu benda dapat tergolong dalam golongan benda yang
tidak bergerak (onroerend) pertama karena sifatnya, kedua karena tujuan
pemakaiannya, dan ketiga karena memang demikian ditentukan oleh undang-
undang. Suatu benda dihitung termasuk golongan benda yang bergerak karena
sifatnya ialah benda yang tidak tergabung dengan tanah atau dimaksudkan untuk
mengikuti tanah atau bangunan, seperti barang perabot rumah tangga yang
termasuk golongan benda bergerak karena penetapan undang-undang.

Salah satu objek perjanjian jual beli yang sering terjadi sengketa di
Indonesia adalah jual beli tanah. Objek sengketa perjanjian jual beli tersebut
berupa hak atas tanah yang telah diatur secara khusus dalam perundangundangan
yang berlaku. Perbuatan hukum yang menyangkut tentang hak atas tanah harus
mematuhi ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA).

Menurut pasal 616 KUH Perdata, penyerahan benda tidak bergerak


dilakukan melalui pengumuman akta yang bersangkutan dengan cara seperti yang
ditentukan oleh pasal 620 KUH Perdata yaitu membukukannya dalam register.
Dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria (UUPA), maka pendaftaran hak atas tanah
dan peralihan haknya menurut ketentuan pasal 19 UUPA dan peraturan
pelaksananya, bukti kepemilikan hak atas suatu bidang tanah dibuktikan dengan
adanya sertifikat tanah. Beralihnya hak milik ketika nama penjual diubah menjadi
nama pembeli dalam suatu sertifikat/ akta tanah yang didaftarkan oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT).

keadaan memaksa. Kreditur masi memiliki hak untuk menuntut debitur


melanjutkan kontrak . oleh krena itu, apabila debitur tidak menjalankan kontrak
maka debitur telah melaksanakan wanprestasi dan kreditur dapat menuntut ganti
rugi kepada debitur.

Pasal 1238 KUHPerdata mengatur bahwa “debitur dinyatakan lalai,


apabila dengan surat perintah atau dengan akta sejenis itu telah dinyatakan lalai,
atau demi perikatanya sendiri, ialah jika ini menyatakan bahwa si berhutang harus
dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Pernyataan lalai atau
somasi adalah terjemahan dari ingrerekestelling dan merupakan istilah yang
digunakan untuk menyebut peringatan atau teguran. Somasi bertujuan untuk
memberikan teguran atau teguran kepada debitur agar memenuhi kewajiban
hukum yang telah ditentukan dalam perjanjian. Bila debitur mengabaikan somasi,
maka dapat dikategorikan melakukan wanprestasi, sehingga dapat dituntut untuk
melakukan penggantian biaya, rudi dan bunga sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 1243 KUHPerdata yang berisi” : “Penggantian biaya, rugi dan bunga karena
tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah muali diwajibkan apabila si berhutang
setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatanya, tetapi tetap melalaikanya”.

Somasi diperlukan untuk menentukan kapan terjadinya wanprestasi


dengan alasan bahwa pada kebanyakan perikatan yang tidak menunjuk jangka
waktu tertentu, tanpa somasi debitur dapat dianggap memenuhi prestasi tidak tepat
pada waktunya. Bahkan jika tidak ditetapkan waktu terakhir untuk memenuhi
prestasinya, maka harus diterima bahawa debitur dapat memenuhi prestasinya
setiap waktu dan waktu tersebut dapat diukur sampai kapan saja tanpa adanya
wanprestasi. Untuk menghentikan agar debitur dalam menundamenunda
pemenuhan kewajiban prestasinya, undang-undang memberikan suatu upaya
untuk mengingatkan debitur akan waktu terakhir untuk pemenuhan itu dengan
cara fixatie dan sebagai pemberitahuan akan ganti rugi apabila ia tidak
memperhatikan jangka waktu tersebut.7

Suatu somasi yang tidak menentukan suatu jangka waktu tertentu untuk
memenuhi prestasi, debitur tidak dapat dinyatakan wanprestasi bahkan bilamana
somasi yang demikian itu diulangi. Dalam hal ini somasi berguna untuk
memperingatkan kepada debitur agar mengetahui bahwa kreditur menghendaki
prestasi pada suatu waktu tertentu.

Secara etimologi kata jaminan berasal dari kata jamin yang berarti
tanggung atau dapat diartikan sebagai tanggungan. Istilah jaminan merupakan
terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu zekerheid atau cautie. Zekerheid atau cautie
mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya suatu tagihan
disamping pertanggung jawaban umum debitur terhadap barang-barangnya.

Menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Hartono Hadisoeprapto


dan M. Bahsan yang dikutip oleh Salim HS, jaminan adalah sesuatu yang
diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan
memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan dengan uang yang timbul dari
suatu perikatan. Mariam Daruz Badrulzaman mendefinisikan jaminan sebagai
suatu tanggungan yang diberikan oleh seorang debitur atau pihak ketiga kepada
kreditur untuk menjamin kewajibanya agar terpenuhi suatu akad atau kontrak.
Pendapat lain menyatakan bahwa jaminan adalah segala sesuau yang diterima
kreditur dan diserahkan debitur untuk menjamin suatu hutang pihutang dalam
masayarakat. Dari definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur
jaminan yaitu, dibuat sebagai pemenuhan kewajiban, jaminan dapat dinilai dengan
uang, jaminan timbul akibat adanya perikatan (perjanjian pokok) antara kreditur
dan debitur.

7
Layla Martama’na Suratul Fatekhah, L., Mutimatun, N. A., & SH, M. (2018). Tinjauan
Hukum Terhadap Sengketa Wanprestasi Hutang Piutang Dengan Jaminan Sertifikat Tanah
(Analisis Putusan No.: 26/Pdt. G/2014/PN. Kln) (Doctoral dissertation, Universitas
Muhammadiyah Surakarta).
Selain istilah jaminan dikenal pula istilah angunan. Menurut pasal 1 angka
23 Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UndangUndang
No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, “angunan adalah jaminan tambahan yang
diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas
kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah”.

Dalam memaknai dua istilah tersebut, J. Satrio mengatakan bahwa


pengertian jaminan memiliki arti lebih luas dari angunan karena jaminan tidak
selalu menunjuk pada sebuah barang dalam arti konkret, namun juga berkaitan
dengan kemampuan debitur melaksanakan prestasinya sebagaiamana dinyatakan
dalam prinsip character, collateral, capacity, capital dan condition of economy
(C.5). Jaminan tidak bersifat konkret, karena berkaitan dengan keyakinan debitur
terhadap kemampuan debitur dalam melaksanakan prestasinya. Adapun angunan
selalu bersifat konkret (nyata) yaitu segala harta benda yang dimiliki oleh debitur
atau pihak ketiga untuk menjamin pelunasan manakal debitur tidak melaksanakan
prestasi (wanprestasi).

Jaminan dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu jaminan kebendaan


(materiil) dan jaminan perorangan (imateriil). Sri Soedewi Maschoen Sofwan
mengemukakan pengertian jaminan materiil sebagai jaminan yang berupa hak
mutlak atas suatu benda, yang mempunyai ciri-ciri mempunyai hubungan
langsung atas benda tertentu dari debitur, dapat dipertahankan terhadap siapapun,
selalu mengikuti bendanya. Sedangkan jaminan imateriil adalah jaminan yang
menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat
dipertahankan terhadap debitur tertentu dan terhadap kekayaan debitur pada
umumnya

Jaminan kebendaan mempunyai ciri-ciri kebendaan dalam arti


memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat
melekat dan mengikuti bendanya. Sedangkan jaminan perorangan tidak
memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu tetapi hanya dijamin oleh
harta kekayaan seseorang lewat orang yang menjamin pemenuhan perikatan yang
bersangkutan. Pada jaminan perorangan, kreditur mempunyai hak untuk menuntut
piutangnya selain kepada debitur utama juga kepada penanggung atau dapat
menuntut pemenuhan kepada debitur lainya. Jaminan perorangan demikian dapat
terjadi jika kreditur mempunyai seorang penjamin (borg) atau jika ada pihak
ketiga yang mengikatkan diri secara tanggung menanggung dengan debitur.
Sedangkan pada jaminan kebendaan kreditur mempunyai hak untuk didahulukan
pemenuhan piutangnya terhadap pembagian hasil eksekusi benda-benda tertentu
dari debitur. Jadi kreditur tidak mempunyai hak pemenuhan atas bendanya,
melainkan melalui hasil eksekusi dari bendanya, diperhitungkan dari hasil
penjualan atas benda tersebut.

Jadi jika pada jaminan perorangan, kreditur merasa terjamin karena


memiliki lebih dari seorang debitur yang dapat ditagih untuk memenuhi
piutangnya, maka pada jaminan kebendaan kreditur merasa terjamin karena
mempunyai hak didahulukan (prefrensi) dalam pemenuhan piutangnya atas hasil
eksekusi terhadap benda-benda debitur.8 Pada umumnya penanggungang diadakan
untuk menjamin perhutangan yang timbul dari segala macam hubungan hukum.
Lazimnya hubungan hukum yang bersifat keperdataan, namun dimungkinkan juga
bahwa penanggungan diberikan untuk menjamin pemenuhan prestasi yang lahir
dari hubungan hukum yang bersifat publik asalkan prestasi dapat dinilai dalam
bentuk uang. Berdasrakan pasal 1820 KUHPerdata “Penanggungan hutang
merupakan suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan
kreditur mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, manakala debitur
tidak memenuhi perikatanya”.

Apabila diperhatikan dari definisi pasal 1820 KUHPerdata tersebut,


terdapat tiga pihak yang terkait dalam perjanjian penanggungan hutang, yaitu
kreditur, debitur dan pihak ketiga. Kreditur berkedudukan sebagai pemberi kredit
atau orang yang berpihutang sedangkan debitur adalah orang yang mendapatkan
pinjaman uang atau kredit dari kreditur. Pihak ketiga adalah orang yang akan
menjadi penanggung hutang debitur kepada kreditur manakala debitur tidak
memenuhi prestasinya. Alasan diadakanya perjanjian penanggungan anatara lain
adalah karena penanggung mempunyai persamaan kepentingan ekonomi dalam
8
Nainggolan, D., Fahrezi, E. A., & Ndraha, Y. D. (2021). Tinjauan Yuridis Mengenai
Sengketa Wanprestasi Dalam Perjanjian Sewa Menyewa Iso Tank (Analisis Putusan Nomor
121/PDT. G/2018PN JKT. SEL). Jurnal Hukum Al-Hikmah: Media Komunikasi dan Informasi
Hukum dan Masyarakat, 2(2), 264-276.
usaha dari penjamin (ada hubungan kepentingan antara penjamin dan peminjam),
misalnya penjamin sebagai direktur perusahaan selaku pemegang saham
terbanyak dari perusahaan tersebut, secara pribadi ikut menjamin hutanghutang
dari perusahaan, perusahaan induk ikut menjamin htang-hutang perusahaan
cabang atau anak cabangya.

Pada pasal 1820 KUHPerdata ditegaskan bahwa penanggungan


merupakan suatu perjanjian, perjanjian yang dimaksud adalah perjanjian yang
terjadi antara kreditur dengan pihak penanggung (borg). Hal ini berakibat bahwa
perjanjian penanggungan disamakan dengan perjanjian pada umumnya yang harus
harus memperhatikan semua aspek hukum perjanjian, terutama yang berkaitan
dengan asas-asas hukum perjanjian dan syarat-syarat sahnya suatu perjanjian
sebagimana yang terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata yaitu:

a. Kesepakatan antar kedua belah pihak yang membuat perjanjian Kedua


belah pihak dalam perjanjian harus mempunyai kemauan yang bebas
untuk mengikatkan diri, dan kemauan itu harus dinyatakan baik secara
tegas maupun diam-diam.
b. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum Cakap artinya mampu.
Kecakapan berarti kemampuan. Seseorang dapat disebut cakap atau
mampu untuk membauat perjanjian artinya bahwa menurut hukum, orang
tersebut diperbolehkan atau diijinkan untuk membuat sesuatu perjanjian
karena telah mencapai usia dewasa, tidak gila atau hilang ingatan.
Sedangkan mereka yang termasuk dalam kategori tidak cakap yaitu, orang
yang belum dewasa,orang yang berada dibawah pengampuan serta
perempuan yang bersuami.
c. Suatu hal tertentu Adapun yang dimaksud suatu hal tertentu dalam sebuah
perjanjian adalah isi prestasi yang menjadi objek perjanjian. Dimana objek
tersebut harus dinyatakan dan ditentukan secara jelas dan disepakti oleh
para pihak. Pasal 1333 KUH Perdata ayat 1 menyatakan bahwa suatu
perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda (zaak) yang paling sedikit
dapat ditentukan jenisnya. Suatu perjanjian harus memiliki suatu pokok
persoalan. Oleh karena itu, objek perjanjian tidak hanya berupa benda,
tetapi juga bisa berupa jasa.
d. Suatu sebab yang halal. KUHPeradata mengaturnya pada Pasal 1337 yang
menyatakan bahwa sesuatu sebab dikatakan terlarang aabila sebab tersebut
dilarang atau bertentangan dengan tiga hal yaitu, undang-undang,
kesusilaan atau ketertiban umum. Adapun yang dimaksud dengan sebab
atau causa halal dari perjanjian adalah perjanjian itu sendiri.9

Menurut ketentuan pasal 1821 KUHPerdata menyatakan bahwa “tidak ada


penanggungan tanpa adanya suatu perikatan pokok yang sah, namun dapatlah
seseorang mengajukan diri sebagai penanggung untuk suatu perikatan, sekalipun
perikatan itu dibatalkan dengan suatu tangkisan yang hanya mengenai dirinya
pribadi si berhutang, misalnya dalam hal belum cukup umur”. “Ketentuan tersebut
menunjukan bahwa penanggungan merupakan perjanjian yang bersifat accessoir
seperti halnya perjanjian hipotik dan pemberian gadai. Eksistensi atau adanya
penanggungan bergantung dari adanya perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang
pemenuhanya ditanggung atau dijamin dengan perjanjian penanggungan itu.
Kemudian dapat dilihat adanya kemungkinan (diperbolehkan) diadakan suatu
perjanjian penanggungan terhadap suatu perjanjian pokok yang dapat dimintakan
pembatalanya. Misalnya suatu perjanjian (pokok) yang diadakan oleh seorang
yang belum dewasa. Hal itu dapat diterima dengan pengertian apabila perjanjian
pokok dikemudian hari dibatalkan maka perjanjian penanggunganya juga ikut
batal.10

PEMBAHASAN

Penerapan Hukum Tentang Perbuatan Melawan Hukum Dalam Jual Beli


Rumah Studi Putusan Nomor 9/Pdt.G/2019/Pn.Sby

9
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
10
Lazwardi, M. (2018). Wanprestasi Dalam Akad Pembiayaan Ijarah Multijasa (Analisis Putusan
Pengadilan Agama Purbalingga No. 1721/Pdt. G/2013/PA. Pbg). Rechtidee, 13(2), 139-159.
Putusan Pengadilan Nomor. 9/Pdt.G/2019/PN.Sby tanggal 21 Oktober
2019 tentang Perbuatan Melawan Hukum Atas Nama Tergugat Windarta
Gunawan dan Yudi Tantono. Bahwa, Penggugat adalah pemilik sebidang tanah
beserta bangunan rumah di atasnya, seluas 456 M yang terletak di Jl. Sutorejo
Timur ZZ32/19, RT.007, RW.008, Kelurahan Dukuh Sutorejo, Kecamatan
Mulyorejo, Kota Surabya, tercatat dalam Sertifikat Hak Milik Nomor: 2358
Kelurahan Dukuh Sutorejo, sesuai Surat Gambar Situasi Tanggal 10-11- 1994
No.12.448/1994, atas nama Nyonya THUNG NATALIA CHENDRAWATI (objek
sengketa) Bahwa, pada tanggal 15 Agustus 2009, Penggugat menitipkan Sertifikat
Hak Milik Nomor: 2358 Kelurahan Dukuh Sutorejo, atas nama Nyonya THUNG
NATALIA CHENDRAWATI kepada Tergugat I sebagai jaminan pinjaman uang
sebesar Rp 2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah) tersebut belum
pernah diberikan oleh Tergugat I Kepada Penggugat, dan menurut Tergugat I uang
senilai Rp 2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah) tersebut digunakan
oleh Tergugat I untuk mengurus perkara suami Penggugat di Polda Kalimantan
Tengah dalam perkara illegal logging serta mengeluarkan barang bukti kayu
olahan tersebut belum bisa dikeluarkan dan sekarang barang bukti tersebut tidak
tahu keberadaannya di mana lagi, jadi Penggugat sama sekali belum pernah
menerima secara tunai/cash uang senilai Rp 2.500.000.000,- (dua milyar lima
ratus juta rupiah) dari Tergugat I.

Bahwa, karena barang bukti kayu olahan yang disita oleh Polisi Plda
Kalimantan Tengah belum bia dikeluarkan sehingga Penggugat belm bisa
mengembalikan uang senilai Rp 2.500.000.000,- (dua milyar lima rastus juta
rupiah) tersebut, dan mulai ditandatangani surat tanggal 15 Agustus 2009
Penggugat dibebani kewajiban membayar kepada Tergugat I tiap bulannya Rp
80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah), dan Penggugat baru bisa mengangsur
pembayaran pinjaman tersebut dengan harga kayu lokal dan mengirim kayu-kayu
tersebut kepada perusahaan-perusahaan yang ditunjuk oleh Tergugat I mulai bulan
Mei 2011 sampai tahun 2017 yang totalnya sudah mencapai 5364.4144 M yang
harganya Rp 16.664.496.848,- (enam belas milyar enam ratus enam puluh empat
juta empat ratus sembilan puluh enam ribu delapan ratus empat delapan rupiah
Bahwa, karena pada waktu itu Penggugat belum bisa mengembalikan uang
senilai Rp 2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah) kepada Tergugat I,
sehingga pada tanggal 30 Oktober 2009, Penggugat diminta Tergugat I untuk
hadir di kantor Notaris Sitaresmi Puspadewi Subianto,SH. Turut Tergugat I untuk
mengatur hubungan hukum Tergugat I, Penggugat disodori surat yang isinya
perjanjian jual beli objek sengketa dengan hak membeli kembali, selanjutnya juga
disodori Akta Ikatan Jual Beli No. 63 dan Surat Kuasa No. 64 yang isinya menjual
rumah tersebut sebagaimana Sertifikat Hak Milik Nomor: 2358 Kelurahan Dukuh
Sutorejo, sesuai Surat Gambar Situasi Tanggal 10-11-1994 No. 12.448/1994, atas
nama nyonya THUNG NATALIA CHENDRAWATI (objek sengketa) kepada
Tergugat II, dan pada waktu itu Penggugat bertanya kepada Tergugat I, apa
hubungan Penggugat dengan Tergugat II, bukankah antara Penggugat dengan
Tergugat II tidak mempunyai hubungan hutang piutang, lagipula sudah ada
perjanjian utang sebagaiman surat tertanggal 15 Agustus 2009 mengapa dibuatkan
perjanjian jual beli? Dan jawaban Tergugat I bahwa surat perjanjian jual beli ini
hanya berjaga-jaga apabila apabila Penggugat tidak melunasi utangnya kepada
Tergugat I

Bahwa baik sebelum dan saat penandatangan Akta Ikatan Jual beli No. 63
dan Surat Kuasa No. 64 yang dibuat oleh Turut Tergugat I tertanggal 30 Oktober
2009, Penggugat sama sekali belum pernah menerima uang Rp 2.500.000.000,-
(dua milyar lima ratus juta rupiah) dari Tergugat II dan sama sekali tidak pernah
ada bukti transfer penyetoran uang Rp 2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta
rupiah) dari Tergugat II kepada Penggugat, dan Penggugat tidak pernah
menerbitkan kwitansi pembayaran atas jual beli objek sengketa. Dengan demikia
Penggugat mohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Pemeriksa Pekara ini
berkenan menyatakan bahwa Penggugat adalah pemilik sah atas tanah berikut
bangunan rumah di atasnya yang terletak di Jl. Sutorejo Timur ZZ-32/19, RT.007,
RW.008, Kelurahan Dukuh Sutorejo, Kecamatan Mulyorejo, Kota Surabay,
tercatat dalam Sertifikat Hak Milik Nomor: 2358 Kelurahan Dukuh Sutorejo,
sesuai Surat Gambar Situasi Tanggal 10-11-1994 No. 12.448/1994, atas nama
Nyonya THUNG NATALIA CHENDRAWATI (Penggugat), karena Penggugat
belum pernah menerima sepeser pun uang pembelian dari Tergugat II, dan
menyatakan bahwa Akta Ikatan Jual Beli No. 63 Tertanggal 30 Oktober 2009 dan
Surat Kuasa No. 64 Tertanggal 30 Oktober 2009, yang keduanya dibuat di
hadapan Notaris Sitaresmi Puspadewi Subianto, SH. (Turut Tergugat I) adalah
cact hukum dan dibatalkan; dan menyatakan bahwa Peralihan hak terhadap
Sertifikat Hak Milik Nomor: 2358 Kelurahan Dukuh Sutorejo yang terletak di Jl.
Sutorejo Timur ZZ-32/19, RT.007, RW.008, Kelurahan Dukuh Sutorejo,
Kecamatan Mulyorejo, Kota Surabaya atas nama YUDI TANTONO (Tergugat II)
yang didasarkan pada Akta Ikatan Jual Beli No. 63 Tertanggal 30 Oktober 2009,
yang keduanya dibuat dihadapan Notaris Sitaresmi Puspadewi Subianto, SJ.
(Turut Tergugat I) beserta akta jual belinya adalah cacat hukum dan tidak
memiliki kekuatan hukum yang berlaku

Bahwa sejak Tahun 2011 sampai dengan Tahun 2017 Penggugat fokus
untuk membayar hutang kepada Tergugat I yang tidak ada putusputusnya dengan
kewajiban membayar Rp 80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah) sehingga mulai
awal Tahun 2017 Penggugat mengalami kebangkrutan ekonomi dan kesulitan
dalam mebayar hutang tersebut Bahwa karena Tergugat II belum pernah
membayar harga pembelian objek sengketa, maka Penggugat pada Tanggal 04
Januari 2018 telah mengirimkan Surat tagihan agar Tergugat II membayar harga
pembelian rumah, namun Tergugat II belum melakukan pembayaran harga
pembelian atas objek sengketa. Dengan demikian Penggugat memohon kepada
Yang Mulia Majelis Hakim Pemeriksa ini berkenan menyatakan Tergugat II telah
melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan Penggugat Bahwa untuk
mendapatkan kembali sertifikat objek sengketa dari Tergugat I, Penggugat sejak
tanggal 03 Mei 2011 sampai dengan tanggal 02 Juni 2017 membayar kepada
Tergugat I beserta bunga tiap bulannya Rp 80.000.000,- (delapan puluh juta
rupiah) dengan pembayaran pengiriman kayu lokal sebanyak: 5364.4144 M yang
harganya Rp 16.664.496.848,- (enam belas milyar enam ratus enam puluh empat
juta empat ratus sembilan puluh enam ribu delapan ratus empat puluh delapan
rupiah) ke perusahaanperusahaan yang ditunjuk oleh Tergugat I. Dengan demikian
Penggugat memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Pemeriksa perkara ini
berkenan menghukum Tergygat I dan Tergugat II untuk menyerahkan Sertifikat
Hak Milik Nomor: 2358 Kelurahan Dukuh Sutorejo tersebut kepada Penggugat
Bahwa, atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat I
dan Tergugat II tersebut telah mengakibatkan Penggugat mengalami kerugian
materiil dan kerugian immaterial, sebagai berikut: a. Kerugian materiil berupa:
selisih kelebihan bayar, yang dihitung dengan rumus: (Pembayaran Penggugat
yang berupa pengiriman kayu lokal kepada Tergugat I dikurangi utang Penggugat
kepada Tergugat I), yakni: Rp 16.664.496.848,- - Rp 2.500.000.000,- = Rp
14.164.496.848,- (empat belas milyar seratus enam puluh empat juta empat ratus
sembilan puluh enam ribu delapan rupiah). b. Kerugian immateriil yang berupa:
keresahan di dalam keluarga dan tekanan batin yang mengakibatkan Penggugat
menderita shock dan sakit yang harus inap maupun rawat jalan dengan
pengawasan dokter, yang apabila diperhitungkan sebesar Rp 5.000.000.000,-
(lima milyar rupiah)

Berdasarkan hal tersebut mohon agar Yang Mulia Majelis Hakim


Pemeriksa perkara ini berkenan menghukum Tergugat I untuk membayar kerugian
materiil sebesar Rp 14.164.496.848,- (empat belas milyar seratus enam puluh
empat juta empat ratus sembilan puluh enam ribu delapan ratus empat puluh
delapan rupiah), dan membayar kerugian immateriil sebesar Rp 5.000.000.000,-
(lima milyar rupiah) Bahwa oleh karena jika Tergugat I dan Tergugat II dihukum
untuk melakukan perbuatan untuk mngembalikan Sertifikat Hak Milik No. 2358
Kelurahan Dukuh Sutorejo kepada Penggugat, dengan demikian mohon agar Yang
Mulia Majelis Hakim Pemeriksa Perkara ini berkenan menghukum Tergugat I dan
Tergugat II secara tanggung renteng untuk membayar uang paksa atas setiap hari
keterlambatan melaksanakan perbuatan menyerahkan Sertifikat Hak Milik No.
2358 Kelurahan Dukuh Sutorejo tersebut dengan hukuman pembayaran uang
paksa (dwangsom) sebesar Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah) per hari.

Bahwa gugatan Penggugat ini berdasarkan bukti-bukti yang sesuai dengan


undang-undang, maka berdasarkan ketentuan Pasal 180 HR mohon agar Yang
Mulia Majelis Hakim Pemeriksa Perkara ini untuk dijalankan terlebih dahulu
meskipun adanya banding, Kasasi maupun perlawanan (Uitvoerbarr bii zoorrad).
Berdasarkan duduk perkara tersebut di atas, mohon kiranya Ketua Pengadilan
Negeri Surabaya cq.
I. EKSEPSI GUGATAN PENGGUGAT KABUR (Obscuur Libel)

Menimbang, bahwa maksud dalam gugatan kabur berarti isi gugatan tidak jelas;
Menimbang, bahwa setelah Pengadilan mempelajari surat gugatan Penggugat
tersebut menurut Pengadilan Gugatan Penggugat tersebut jelas
mempermasalahkan tentang pinjam meminjam uang antara Penggugat dengan
tergugat I yang uangnya belum diterima oleh Penggugat dan oleh Penggugat telah
diserahkan SHM No 2358 atas nama Penggugat; Menimbang, bahwa
berdasarkann pada pertimbangan tersebut diatas maka menurut Pengadilan
gugatan Penggugat tidaklah kabur dan Exeptil Tergugat haruslah ditolak;

II. Eksepsi Gugatan Penggugat Error In Persona

Menimbang, bahwa maksud dari Eksepsi Error In Persona ada Ekspesi tentang
orang yang bertindak sebagai Penggugat bukanlah orang yang berhak dan tidak
mempunyai kapasitas untuk menggugat Tergugat I karena Tergugat tidak
mempunya hubungan hukum dengan Penggugat; Menimbang, bahwa setelah
Pengadilan meneliti dan mempelajari surat gugatan Penggugat ternyata Penggugat
telah menggugat Para Tergugat karena Penggugat merasa telah di rugikan oleh
Para Tergugat dan Para Tergugat ada hubungan hukum dengan Penggugat;
Menimbang, bahwa berdasarkan pada pertimbangan tersebut diatas maka Ekspesi
Para Tergugat tentang gugatan Penggugat Error In Persona haruslah ditolak;

III. Eksepsi Tentang Domini (Obyek Barang Yang Di Gugat Bukan Milik
Penggugat);

Menimbang, bahwa terhadap Eksepsi inipun haruslah ditolak karena obyek


sengketa dalam perkara ini adalah SHM No. 2358 adalah atas nama Penggugat;

IV.Eksepsi Tentang Surat Kuasa Dari Kuasa Penggugat Tidak Sah

Menimbang, bahwa terhadap Eksepsi inipun haruslah ditolak karena Surat kuasa
Penggugat telah memenuhi syarat sebagaimana yang di tentukan dalam SEMA
No. 4 Tahun1994;

V. Eksepsi Gugatan Pengugat Salah Alamat


Menimbang, bahwa terhadap Eksepsi inipun haruslah ditolak karena gugatan
Pengugat telah dengan jelas mencantumkan alamat Para Tergugat; Menimbang,
bahwa berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas maka
menurut hukum Eksepsi yang diajukan oleh Para Tergugat haruslah dinyatakan
ditolak;

KESIMPULAN

Jual beli merupakan salah satu perbuatan hukum dalam bentuk perjanjian
yang telah diatur di dalam Pasal 1457-1540 KUHPerdata. Adanya undang-undang
yang mengatur tentang jual beli membuktikan bahwa kegiatan atau aktivitas jual
beli merupakan suatu perbuatan hukum yang memiliki akibat hukum

Berdasarkan kasus diatas, Yudi Tantono merasa dirugikan oleh tindakan


Thung Natalia Cendrawati, karena menempati objek rumah tanpa hak dan ijin,
serta menimbulkan kerugian yang mengakibatkan Yudi Tantono tidak dapat
menguasai, memanfaatkan dan menggunakan tanah miliknya secara sah. Maka
dengan jelas perbuatan yang dilakukan oleh Thung Natalia Cendrawati tersebut
merupakan perbuatan melawan hukum sebab perbuatan yang dilakukannya
memenuhi unsurunsur dari perbuatan melawan hukum

Sebaiknya para pihak yang melakukan perjanjian jika mereka telah sepakat
untuk suatu perbuatan hukum tertentu maka perjanjian tersebut telah mengikat
kedua belah pihak sebagai undang-undang, dan harus memperhatikan
syaratsyaratnya seperti yang tercantum dalam pasal 1320 KUHPerdata agar
memiliki pengetahuan yang tepat tentang perjanjian. Diharapkan untuk
masyarakat yang ingin melakukan perjanjian jual beli tanah dan rumah untuk
berhati-hati dan paham dengan ketentuan serta kewajiban yang harus dipenuhi
dalam suatu perjanjian, sehingga dalam pelaksanaannya masyarakat tidak
melakukan kesalahan hukum.

Anda mungkin juga menyukai