Anda di halaman 1dari 3

Mediasi dalam sistem hukum di indonesia

A. Latar Belakang

Penyelesaian konfilik (sengketa) secara damai telah diprakrikan dalam kehiduoan masyrakat indonesia
berabad-abad yang lalu. Masyarakat indonesia merasakan penyelesaian sengketa secara damai
mengantarkan mereka pada kehidupan yang harmonis, adil, seimbang, dan terpelihara nilai-nilai
kebersamaan (komunalitas) dalam masyarkat. Masyarakat mengupayakan penyelesaian sengketa secara
cepat dengan tepat menjungung tinggi nilai kebersamaan dan tidak merampas atau menekan kebebasan
individual. Masyarakat menupayakan penyelesaiannya. Dampak dari konflik tidak hanya memperburuk
hubungan antarpara pihak, tetapi dapat mengganggu keharmonisan sosial dalam masyarakat.

Penyelesaian konfik atau sengketa dalam masyarakat mengacu pada prinsip “kebebasan” yang
menguntungkan kedua belah pihak. Para pihak tidak terpaku pada upaya pembuktian benar atau salah
dalam sengketa

B. Sejarah dan perkembangan mediasi


1. Perkembangan dari lembaga dading ke lembaga mediasi
Lemabaga damai/dadaing seabgaimana yang diatur dalam paasal 130 HIR/154 RBG sealam
bertahun-tahun seacara koseptual tidak mengalami perkembangan atau perubahan yang
berarti. Di dalam praktik di pengadilan, lembaga tersebut seacara formal juga menjadi
bagian dari proses persidanan perdata.
Pada hari sidang yang telah ditentukan dengan dihadiri para pihak hakim menawarkan
untuk dilaksanakan perdamaian. Apabila taawarsan tersebut disepakata=ti oleh para pihak
maka sacara berakhir dan mejelsia hakim membuat kan akta perdamatan (certificate of
concilliaction). Kemudian majelis hakim memerintahakan para pihak agar mematuhi dan
memenuhi isi perdamaian tersebut.
Pelaksanakan tawaran perdamaian dari hakim kepada para pihka yang bersengkeeta
senantiasa dilaksanakan dalam tiap persidangan, tetapi pada dasarnya rawaran
damaitersebut akhirnya hanya menjadi formalitas belaka. Hanya seeekdar untuk
melaksanakan dan prosedur undangan-undangan. Biasanya para pihak juga tidak
menganggap lembaga perdamaian sebagai hal yang penting yang patiti untuk
dipertimbangkan. Dan lebih suka untuk tetap melanjutkan persidangan tanpa ada usaha
untuk mencoba melaksanakan perdamaian.
Hal tersebut tetu saja belum cukup ideal mengingat sebeanrnya amanat undang-undangan
sebagaimana yang diatur dalam pasal 130 HIR/154 RBG adalah suaha aktif dari hakim agar
berusaha mendamaikan pihka yang berperkara.
Fenomena tersebut menjadi perhatian utama dalam Rapat Kerja Nasional Terbatas
Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan para Ketua Pengadilan Tingkat Banding dari
empat lingkungan peradilan seluruh indoensia di Yogyakarta yang dilaksanakan pada tanggal
25 dan 26 September 2002.
Beberapa kesimpulan yang dihasilkan dari pembahasan di komisi I dalam konsideran
“menimbang”, adalah:
a. Bahwa untuk mengatasi menumpuknya jumlah perkara kasasi di Mahkaman Agung
perlu dicari solusi untuk memecahnya, antara lain melalui upaya perdamaian.
b. Bahwa upaya perdamaian dalam proseses untuk mengadkiri sengketa di pengadilan
adalah suatu cara yang tepat untuk mendukung upaya yang bersifat Alternatif
Penyelesaian Sengketa/alternatif Dispute Resolution (APS/ADR).
c. Bahwa dismaping ketentuan pasal 130 HIR/15 RBG yang berlaku pada tingkat pertama
juga dikenal Pasal 31 Rv yang memberi kesempatan upaya perdamaian tersebut dapat
dilakukan pada tingkat banding seperti yang diputus oleh Pengadilan Tinggi Bandung
tanggal 4 Oktober 1973 Nomor: 143/Ped/Pt.B dan tanggal 27 Maret 1974 Nomor
60/1974/Prd/PT.B
d. Dalam upaya perdamaian yang tercantum dalam pasal 130 HIR/154RBg yang selama in
idilakukan oleh hakim Tingkat peretama secara pasif perlu diubah menjadi bersifat aktif.
e. Bahwa untuk mencapai hasil yang optimal, sifat aktif hakim tersbeut perlu dilengkapi
dengan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang cukup.
Kemudian dalam “kesimpulannya” komisi I menyatakan beberapa hal anatara lain:
1. Usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dan diatur dalam pasal 130 HIR/154RBg
sebagai salah satu bentuk yudicial reform perlu diberdayakan untuk mengurangi
tunggakan citra peradilan yang bermartabat dan dihormati.
2. Bahwa upaya perdamian dapat ditempuh dengan tahap sebagai berikut:
Tahap Pertama: Upaya penyempurnaan petitum gugata sesuai dengan posita gugata
seperti diatur dalam pasal 132 HIR/156 RBg untuk mencegai terjadinya putusan
hakim yang non-excecutable.
Tahap Kedua: upaya perdamaian/dading mengupayakan para pihak memilih
sengketa melalui upaya perdamaian/dading.
Di pengadilan tingkat pertama:
 Pada sidang ke-I : Hakim bertindak sebagai fasilitator
 Pada sidang ke-II : hakim bertindak sebagai mediator dengan berpegang
para prinsip win win solution.
3. Agara pengadilan tingkat pertama dapat mengembangakan proses penanganan
sengketa sesuai dengan metode lembaga alternatif penyelesaian sengeketa.
4. Sambil menunggu Undnag-Undnagn Hukum Acara Perdaa yang baru yang berkaitan
dengan dading. Mahkamah agung perlu membuat PERMA atau SEMA sebagai
pedoman bagi hakim.
5. Agar diadakannya pelatihan bagi hakim untuk meningkatkan kemampuan sebagai
faisilitator dan mediator.
Beberapa hasil/kesimpulan dari Rapat Kerja Nasional Terbtas Mahakamah Agung
Republik Indonesia tersebut menjadi di titik tolak dan landasan terbitnya SEMA
Nomor 1 tahun 2002 tetang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama
menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR/154 RBg.)
Sebagai penjabaran rekomendasi sidang tahunan MPR Tahun 200 agar mahkamah
Agung mengatasi tunggakan perkara, maka RAKERNAS Mahkamah Agung RI di
Yogyakarta menerbitkan Sema No. 1 Tahun 2002 adalah 130 HIR/154RBg dan
khususnya Pasal 132 HIR/156 RBg. Beberpa petunjuk yang terdapat dalam Sema No.
1 Tahun 2002 adalah:
 Agar semua hakim (majelis) yang menyidangkan perkara dengan sungguh-
sungguh mengusahakan perdamaian dengan menerapkan ketentuan pasal
130 HIR/154 RBg., tidak hanya sekedera formalitas menganjurkan
perdamaian.
 Hakim yang ditunuk dapat bertindak sebagai fasilitator yang membantu
para pihak baik dari segi waktu, tempat, dan pengumpulan data-data dan
argumentasi para pihak dalam rangka persiapan ke arah perdamaian.
 Pada tahap selanjutnya apabila dikehendaki para pihak yang berperkara,
hakim atau pihak lain yang ditunjuk dapat bertidnak sebaai mediatri yang
akan mempertemukan para pihak yang bersengketa guan mencari masukan
mengenai pokok persoalan yang disengketakan dan berdasarkan informasi
yang diperoleh serta keinginan masing-masing dalam rangka perdamaian,
mencoba menyusun proposal perdamaian yang kemudian dikonsultasikan
dengan para pihak untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan
(win win solution).
 Hakim yang dintujuk sebagai fasilitator/mediator oleh para pihak tidak
dapat menjadi hakim mejelis pada perakara yang bersangkutan untuk
mnjeaga objektifitas.
 Untuk pelkasanaan tugsa sebagaii fasilitatoy maupun daitor kepada hakim
yang bersangkutan diberikan wakktu paling lama t3 (tiga) bulan dan dapat
diperpanjang apabila ada alasan auntuk itu dengan persetujuan Ketua
Pengadilan Ngeri dan waktu tersebut tidak termasuk waktu penyelesaian
perkara sebagaimana dimaksud dalam SEMA No. 6 Tahun 1992.
 Persetujusn para pihak dituangkan dalam persetujuan tertulis dan
ditandatangani, kemudian dibuatkan Akta perdamaian atau dading agar
dengan akta perdamaian itu para pihakdihukum untuk menepati apa yang
disepakati/disetujui tersebut.
 Keberhasilan penyelesaian perkara melalui perdamaian, dapat dijadikan
sebagai bahan peniliaian (reward) bagi hakim yang menjadi
fasilitator/mediator.
 Apabila usaha-usaha yang dilakukan oleh hakim tersebut tidak berhasil,
hakim yang bersangkutan melaporkan kepada ketua pengadilan
negeri/ketua majelis dan pemeriksaan perkara dapat dianjutkan oleh
majelis hakim dengan tidak menutup peluang bagi para pihak untuk
berdamai selama proses pemeriksaan berlangsung.
 Hakim yang menjadi fasilitator maupun mediator wajib membuta laporan
kepda Ketua Pengadilan Negeri secara teratur
 Apabila terjdi proses perdamaian, maka proses perdamaian tersebut dapat
dilakukan sebagai alasan penyelesaian perkara melebihi ketentuan 6 bulan

Dengan berlakunya Sema No. 1 Tahun 2002 tersebut, maka secara konseptual
telah terjadi perkembangan yang cukup signifikan terhadap lembaga
perdamaian (khususnya) yang dilaksanakan di muka pengadilan (130 HIR/154
RGg). Kalau sebelumnya tidak ada penekanan agar lembaga perdamaian
(dading) benar-benar diusahakan, maka setelah terbitnya Sema No. 1 Tahun
2002 hal tersebut tidak berlaku lagi. Lembaga perdamaian (dading)sebagai
upaya penyelesaian sengketa yang bersifat alternatif dispute resolution harus
secara sungguh-sungguh diberdayakan.

Kesempatan

Anda mungkin juga menyukai