A. Latar Belakang
Penyelesaian konfilik (sengketa) secara damai telah diprakrikan dalam kehiduoan masyrakat indonesia
berabad-abad yang lalu. Masyarakat indonesia merasakan penyelesaian sengketa secara damai
mengantarkan mereka pada kehidupan yang harmonis, adil, seimbang, dan terpelihara nilai-nilai
kebersamaan (komunalitas) dalam masyarkat. Masyarakat mengupayakan penyelesaian sengketa secara
cepat dengan tepat menjungung tinggi nilai kebersamaan dan tidak merampas atau menekan kebebasan
individual. Masyarakat menupayakan penyelesaiannya. Dampak dari konflik tidak hanya memperburuk
hubungan antarpara pihak, tetapi dapat mengganggu keharmonisan sosial dalam masyarakat.
Penyelesaian konfik atau sengketa dalam masyarakat mengacu pada prinsip “kebebasan” yang
menguntungkan kedua belah pihak. Para pihak tidak terpaku pada upaya pembuktian benar atau salah
dalam sengketa
Dengan berlakunya Sema No. 1 Tahun 2002 tersebut, maka secara konseptual
telah terjadi perkembangan yang cukup signifikan terhadap lembaga
perdamaian (khususnya) yang dilaksanakan di muka pengadilan (130 HIR/154
RGg). Kalau sebelumnya tidak ada penekanan agar lembaga perdamaian
(dading) benar-benar diusahakan, maka setelah terbitnya Sema No. 1 Tahun
2002 hal tersebut tidak berlaku lagi. Lembaga perdamaian (dading)sebagai
upaya penyelesaian sengketa yang bersifat alternatif dispute resolution harus
secara sungguh-sungguh diberdayakan.
Kesempatan