Anda di halaman 1dari 12

http://www.pn-yogyakota.go.id/pnyk/component/content/article/8/19-layanan-mediasi.

html

Pengertian Mediasi

Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para
pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus atau
memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah perundingan yang
esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan
atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak
sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus
memperoleh persetujuan dari para pihak.

Latar Belakang Mediasi

Dasar hukum pelaksanaan Mediasi di Pengadilan adalah  Peraturan Mahkamah Agung RI No.
1 Tahun 2008 (PERMA No. 1 Th. 2008) tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang
merupakan hasil revisi dari Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 (PERMA No. 2
Th. 2003), dimana dalam PERMA No. 2 Tahun 2003 masih terdapat banyak kelemahan-
kelemahan Normatif yang membuat PERMA tersebut tidak mencapai sasaran maksimal yang
diinginkan, dan juga berbagai masukan dari kalangan hakim tentang permasalahan permasalahan
dalam PERMA tersebut. 

Latar Belakang mengapa Mahkamah Agung RI (MA-RI) mewajibkan para pihak menempuh
mediasi sebelum perkara diputus oleh hakim diuraikan dibawah ini. Kebijakan MA-RI
memberlakukan mediasi ke dalam proses perkara di Pengadilan didasari atas beberapa alasan
sebagai berikut :

Pertama, proses mediasi diharapkan dapat mengatasi masalah penumpukan perkara. Jika para
pihak dapat menyelesaikan sendiri sengketa tanpa harus diadili oleh hakim, jumlah perkara yang
harus diperiksa oleh hakim akan berkurang pula. Jika sengketa dapat diselesaikan melalui
perdamaian, para pihak tidak akan menempuh upaya hukum kasasi karena perdamaian
merupakan hasil dari kehendak bersama para pihak, sehingga mereka tidak akan mengajukan
upaya hukum. Sebaliknya, jika perkara diputus oleh hakim, maka putusan merupakan hasil dari
pandangan dan penilaian hakim terhadap fakta dan kedudukan hukum para pihak. Pandangan
dan penilaian hakim belum tentu sejalan dengan pandangan para pihak, terutama pihak yang
kalah, sehingga pihak yang kalah selalu menempuh upaya hukum banding dan kasasi. Pada
akhirnya semua perkara bermuara ke Mahkamah Agung yang mengakibatkan terjadinya
penumpukan perkara.

Kedua, proses mediasi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa yang lebih. cepat dan
murah dibandingkan dengan proses litigasi. Di Indonesia memang belum ada penelitian yang
membuktikan asumsi bahwa mediasi merupakan proses yang cepat dan murah dibandingkan
proses litigasi. Akan tetapi, jika didasarkan pada logika seperti yang telah diuraikan pada alasan
pertama bahwa jika prkara diputus, pihak yang kalah seringkali mengajukan upaya hukum,
banding maupun kasasi, sehingga membuat penyelesaian atas perkara yang bersangkutan dapat
memakan waktu bertahun-tahun, dari sejak pemeriksaan di Pengadilan tingkat pertama hingga
pemeriksaan tingkat kasasi Mahkamah Agung. Sebaliknya, jika perkara dapat diselesaikan
dengan perdamaian, maka para pihak dengan sendirinya dapat menerima hasil akhir karena
merupakan hasil kerja mereka yang mencerminkan kehendak bersama para pihak. Selain logika
seperti yang telah diuraikan sebelumnya, literatur memang sering menyebutkan bahwa
penggunaan mediasi atau bentuk-bentuk penyelesaian yang termasuk ke dalam pengertian
alternative dispute resolution (ADR) merupakan proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat
dan murah dibandingkan proses litigasi.

Ketiga, pemberlakuan mediasi diharapkan dapat memperluas akses bagi para pihak untuk
memperoleh rasa keadilan. Rasa keadilan tidak hanya dapat diperoleh melalui proses litigasi,
tetapi juga melalui proses musyawarah mufakat oleh para pihak. Dengan diberlakukannya
mediasi ke dalam sistem peradilan formal, masyarakat pencari keadilan pada umumnya dan para
pihak yang bersengketa pada khususnya dapat terlebih dahulu mengupayakan penyelesaian atas
sengketa mereka melalui pendekatan musyawarah mufakat yang dibantu oleh seorang penengah
yang disebut mediator. Meskipun jika pada kenyataannya mereka telah menempuh proses
musyawarah mufakat sebelum salah satu pihak membawa sengketa ke Pengadilan, Mahkamah
Agung tetap menganggap perlu untuk mewajibkan para pihak menempuh upaya perdamaian
yang dibantu oleh mediator, tidak saja karena ketentuan hukum acara yang berlaku, yaitu HIR
dan Rbg, mewajibkan hakim untuk terlebih dahulu mendamaikan para pihak sebelum proses
memutus dimulai, tetapi juga karena pandangan, bahwa penyelesaian yang lebih baik dan
memuaskan adalah proses penyelesaian yang memberikan peluang bagi para pihak untuk
bersama-sama mencari dan menemukan hasil akhir.

Keempat, institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan
memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa. Jika pada masa-masa
lalu fungsi lembaga pengadilan yang lebih menonjol adalah fungsi memutus, dengan
diberlakukannya PERMA tentang Mediasi diharapkan fungsi mendamaikan atau memediasi
dapat berjalan seiring dan seimbang dengan fungsi memutus. PERMA tentang Mediasi
diharapkan dapat mendorong perubahan cara pandang para pelaku dalam proses peradilan
perdata, yaitu hakim dan advokat, bahwa lembaga pengadilan tidak hanya memutus, tetapi juga
mendamaikan. PERMA tentang Mediasi memberikan panduan untuk dicapainya perdamaian.

Inspirasi Prosedur Mediasi

Dalam rangka menindaklanjuti keputusan MARI merevisi PERMA No. 2 Tahun 2003, telah
dibentuk sebuah Kelompok Kerja untuk mengkaji berbagai kelemahan pada PERMA dan
mempersiapkan draf PERMA hasil revisi, yang hasilnya adalah PERMA No. 1 Tahun 2008.
Kelompok Kerja ini diketuai oleh Dr. Harifin A. Tumpa, SH.MH. yang dilanjutkan oleh Atja
Sondjaja, SH.

Dalam melaksanakan tugasnya, Kelompok Kerja telah melakukan kegiatan-kegiatan untuk


menyelesaikan proses penyusunan revisi PERMA tersebut. Hasil kerja Kelompok Kerja
kemudian diserahkan kepada Kelompok Pengarah (Steering Committee), yaitu terdiri atas Wakil
Ketua MARI bidang Yustisial, dan seluruh Ketua-Ketua Muda MARI dan konsultan ahli.
Kelompok Pengarah menentukan kata akhir atas tiap rumusan pasal-pasal dalam PERMA hasil
revisi.
Sistem Hukum Jepang.

Jepang merupakan sebuah negara yang telah berhasil melembagakan upaya perdamaian ke dalam
sistem peradilan negara. Pengalaman Jepang ini memberikan inspirasi bagi Kelompok Kerja
untuk mengadopsi beberapa konsep atau pendekatan upaya perdamaian dalam sistem hukum
Jepang untuk dituangkan ke dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 setelah memperhatikan secara
mendalam peluang-peluang yang dimungkinkan oleh sistem hukum Indonesia.

Dalam PERMA, para pihak dibolehkan untuk menggunakan jasa mediator lebih dari satu orang
yang terdiri atas hakim dan profesi lainnya yang dianggap memahami masalah pokok sengketa.
Konsep ini menyerupai dengan konsep Chotei dalam sistem hukum Jepang. Jika dalam PERMA
No. 2 Tahun 2003, hakim pemeriksa perkara tidak dibolehkan menjadi mediator perkara yang
diperiksanya, sebaliknya dalam PERMA No. 1 Tahun 2008, hakim pemeriksa perkara tidak
dibolehkan menjadi mediator perkara yang diperiksanya jika dikehendaki oleh para pihak atau
atas dasar ketentuan Pasal 12 ayat (6).

Hakim pemeriksa perkara boleh menjadi mediator dalam perkara yang diperiksanya menyerupai
dengan konsep Wakai dalam sistem hukum Jepang. Selanjutnya, dalam sistem hukum Jepang
dikenal konsep Sokketsu Wakai, yaitu perdamaian di luar pengadilan dapat dimintakan
pengesahannya kepada pengadilan. Konsep Sokketsu Wakai memberikan inspirasi bagi
Kelompok Kerja untuk mengadopsinya ke dalam PERMA seperti yang dirumuskan dalam Pasal
24.

Prosedur Untuk Mediasi

• Setelah perkara dinomori, dan telah ditunjuk majelis hakim oleh ketua, kemudian majelis
hakim membuat penetapan untuk mediator supaya dilaksanakan mediasi.

• Setelah pihak-pihak hadir, majelis menyerahkan penetapan mediasi kepada mediator berikut
pihak-pihak yang berperkara tersebut.

• Selanjutnya mediator menyarankan kepada pihak-pihak yang berperkara supaya perkara ini
diakhiri dengan jalan damai dengan berusaha mengurangi kerugian masing-masing pihak yang
berperkara.

• Mediator bertugas selama 21 hari kalender, berhasil perdamaian atau tidak pada hari ke 22
harus menyerahkan kembali kepada majelis yang memberikan penetapan.

Jika terdapat perdamaian, penetapan perdamaian tetap dibuat oleh majelis.


Mediator

Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna
mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau
memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri-ciri penting dari mediator adalah :

1. netral
2. membantu para pihak
3. tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.

Jadi, peran mediator hanyalah membantu para pihak dengan cara tidak memutus atau
memaksakan pandangan atau penilaiannya atas masalah-masalah selama proses mediasi
berlangsung kepada para pihak.

Tugas-tugas Mediator

1. Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para


pihakuntuk dibahas dan disepakati.
2. Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam
proses mediasi.
3. Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus atau pertemuan
terpisah selama proses mediasi berlangsung.

4. Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan
mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.
 

Daftar Mediator

Demi kenyamanan para pihak dalam menempuh proses mediasi, mereka berhak untuk memilih
mediator yang akan membantu menyelesaikan sengketa.

1. Untuk memudahkan para pihak memilih mediator, Ketua Pengadilan


menyediakan daftar mediator yang sekurang-kurangnya memuat 5(lima)
nama dan disertai dengan latar belakang pendidikan atau pengalaman dari
para mediator.
2. Ketua Pengadilan menempatkan nama-nama hakim yang telah memiliki
sertifikat dalam daftar mediator.
3. Jika dalam wilayah pengadilan yang bersangkutan tidak ada hakim dan
bukan hakim yang bersertifikat, semua hakim pada pengadilanyang
bersangkutan dapat ditempatkan dalam daftar mediator.
4. Kalangan bukan hakim yang bersertifikat dapat mengajukan permohonan
kepada ketua pengadilan agar namanya ditempatkan dalam daftar mediator
pada pengadilan yang bersangkutan
5. Setelah memeriksa dan memastikan keabsahan sertifikat, Ketua Pengadilan
menempatkan nama pemohon dalam daftar mediator.
6. Ketua Pengadilan setiap tahun mengevaluasi dan memperbarui daftar
mediator.
7. Ketua Pengadilan berwenang mengeluarkan nama mediator dari daftar
mediator berdasarkan alasan-alasan objektif, antara lain karena mutasi tugas,
berhalangan tetap, ketidakaktifan setelah penugasan dan pelanggaran atas
pedoman perilaku.

Honorarium Mediator

1. Penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya.


2. Uang jasa mediator bukan Hakim ditanggung bersama oleh para pihak berdasarkan
kesepakatan para pihak.

MEDIASI

MEDIASI
(Lanjutan : Putusan Hakim)

Setiap perkara perdata dilatar belakangi oleh ketidak puasan seseorang atau beberapa orang
(pihak penggugat) terhadap seseorang atau beberapa orang lain (pihak tergugat), yang menurut
pihak penggugat ada hak-haknya yang telah dilanggar oleh pihak tergugat, atau ada kewajiban
tergugat kepada penggugat yang tidak dilaksanakan oleh tergugat.

Penggugat karena telah berkali-kali meminta haknya kepada tergugat, tidak juga berhasil
kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan, dengan harapan Hakim dapat mengembalikan hak
penggugat atau menghukum tergugat memenuhi kewajibannya.

Kemudian Hakim dibebani kewajiban untuk dapat mendamaikan para pihak melalui jalur
mediasi, dan boleh jadi para pihak menunjuk mediator yang bukan Hakim atau orang lain di luar
Pengadilan.

Lain hal dengan Pengadilan di Jepang, masyarakat lebih memilih mengajukan permohonan minta
didamaikan oleh Pengadilan (Permohonan konsiliasi/Cote) bukan mengajukan gugatan, dan
umumnya berhasil. Persidangan konsiliasi/Cote dipimpinoleh seorang Hakim dan didampingi
oleh dua orang konsiliator, dua orang konsiliator tersebut ada diantaranya pensiunan Hakim, atau
Pengacara yang kawakan, atau dokter ahli, atau ahli pertanahan, tokoh masyarakat, dlsb. Para
konsiliator diberi honor oleh Pemerintah Jepang. Ada juga perdamaian yang terjadi di
Pengadilan Jepang berdasarkan gugatan, dan hasil perdamaiannya disebut Wakai.
Mahkamah Agung dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2003 memakai system mediasi, hal itu yang
akan dibahas dalam Bab berikutnya.

Pengadilan telah memanggil pihak-pihak untuk bersidang, kemudian para pihak atau wakilnya
datang menghadap, maka Ketua Majelis Hakim wajib menunda persidangan guna menempuh
perdamaian dengan para pihak menunjuk mediator, boleh jadi kesepakatan para pihak atau
wakilnya untuk menunjuk salah seorang Hakim di Pengadilan atau Panitera / Panitera Pengganti,
atau orang lain di luar daftar mediator yang ada di Pengadilan. Perhal tentang mediasi adalah
menggali kehendak UU (Pasal 30 HIR / Pasal 154 R.Bg)
Praktek yang telah lama berjalan, adalah Upaya Majelis Hakim menasehati pihak-pihak
berperkara dalam persidangan pertama tersebut, kemudian menawarkan kepada para pihak atau
wakilnya agar mau menyelesaikan sengketanya secara damai. Proses menasehati dan
menawarkan perdamaian inilah yang menurut pandangan Mahkamah Agung, sebagai upaya yang
belum sungguh-sungguh pelaksanaannya oleh Majelis Hakim Pengadilan Tingkat Pertama, dan
oleh karenanya lahirlah PERMA Nomor 2 Tahun 2003 tersebut. “Mediasi adalah penyelesaian
sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator”.
Dari pengertian mediasi sebagaimana tersebut diatas, mengandung makna, yakni para pihak
diharapkan dapat mencapai kesepakatan yang menguntungkan bagi kedua belah pihak melalui
jalur perundingan dengan dibantu oleh seorang mediator. Dengan adanya kesepakatan yang telah
dibuat oleh kedua belah pihak diharapkan dapat meminimalisir terbuangnya waktu serta biaya
yang akan dikeluarkan oleh mereka dalam menyelesaikan sengketa.
Beberapa hal yang harus mendapat perhatian penuh dari pimpinan pengadilan, antara lain :

 Telah memiliki daftar mediator;


 Menyediakan tempat untuk pelaksanaan mediasi;

Pada prinsipnya apabila para pihak atau wakilnya hadir dalam persidangan pertama, kemudian
majelis hakim berupaya menasehati dan mengarahkan para pihak agar memilih penyelesaian
secara damai, maka jika para pihak sepakat untuk berdamai dan minta kepada Pengadilan agar
menerbitkan akta perdamaian, Pengadilan cukup sekali bersidang pada hari itu saja dengan
produk akta perdamaian. Sekiranya para pihak sepakat untuk membuat perdamaian sendiri di
luar persidangan dan penggugat mencabut gugatannya, hal tersebut juga dibolehkan. Bedanya
produk Pengadilan berupa akta perdamaian, sengketa kedua belah pihak benar-benar berakhir,
sudah tidak dimungkinkan lagi untuk diajukan kembali ke Pengadilan manapun, baik tingkat
pertama, banding maupun kasasi, hal demikianlah yang dimaksudkan dengan pasal 130 ayat (1)
HIR / pasal 154 ayat (1) R.Bg jo. Pasal 130 ayat (3) / pasal 154 ayat (3) R.Bg jo. Pasal 43 ayat
(1) UU Nomor 4 Tahun 1985.

Sedangkan perdamaian antara kedua belah pihak yang terjadi di luar persidangan pengadilan,
biasa disebut dengan istilah “dading”. Perdamaian dading mengikat kedua belah pihak yang
berdamai, diharapkan keduanya tunduk dan mematuhi isi kesepakatan yang mereka perbuat,
tetapi jika salah satupihak tidak mau melaksanakan isi kesepakatan tersebut, maka pihak yang
merasa dirugikan tidak dapat memohon kepada Pengadilan untuk dieksekusi, dan sekalipun surat
perdamaian tersebut dibuat dihadapan Notaris. Yang merasa dirugikan dapat mengajukan
gugatan baru.
“Segala perdamaian diantara para pihak mempunyai suatu kekuatan suatu putusan Hakim dalam
hukum yang penghabisan, tidak dapatlah dibantah dengan alasan kekhilafan mengenai hukum
atau dengan alasan salah satu pihak dirugikan “ (Pasal 1858 KUHPerdata).

Bila upaya perdamaian tersebut tidak berhasil, barulah ditempuh upaya mediasi :

 Ketua atau Anggota Majelis tidak diperbolehkan bertindak sebagai mediator.


Problemnya : di lingkungan Peradilan Agama, Hakim masih sangat terbatas, para pihak
sepakat Hakim A lah yang mereka sukai sebagai penengah, padahal Hakim A adalah
Ketua atau Anggota Majelis perkara tersebut. Perlu ada pengecualian untuk Pengadilan
Agama yang masih kekurangan tenaga Hakim.
 Mediator harus telah memiliki “sertifikat”.
Problemnya : persyaratan tersebut tidak tercantum dalam definisi mediator. Pasal 1 ayat
(5) menyatakan :”Mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang
berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian
sengketa”. Menurut hemat penulis, upaya perdamaian yang telah dicanangkan sejak Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002, kemudian diganti dengan PERMA
Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, perlu segera
ditindaklanjuti dengan mempedomani PERMA tersebut, dan ketentuan keharusan
menunggu adanya pensertifikatan, justru menghambat pelaksanaan mediasi, perlu adanya
terobosan bagi Pengadilan guna mengatasi hambatan tersebut, dengan berpatokan kepada
definisi mediator tersebut diatas.

Adapun beberapa prinsip dari lembaga mediasi, adalah:

1. Pada prinsipnya mediasi bersifat sukarela


Pada prinsipnya inisiatif pilihan penyelesaian sengketa melalui mediasi tunduk pada kesepakatan
para pihak. Hal ini dapat dilihat dari sifat kekuatan mengikat dari kesepakatan hasil mediasi
didasarkan pada kekuatan kesepakatan berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata. Dengan demikian
pada prinsipnya pilihan mediasi tunduk pada kehendak atau pilihan bebas para pihak yang
bersengketa. Mediasi tidak bisa dilaksanakan apabila salah satu pihak saja yang
menginginkannya.
Pengertian sukarela dalam proses mediasi juga ditujukan pada kesepakatan penyelesaian.
Meskipun para pihak telah memilih mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa mereka, namun
tidak ada kewajiban bagi mereka untuk menghasilkan kesepakatan dalam proses mediasi
tersebut. Sifat sukarela yang demikian didukung fakta bahwa mediator yang menengahi sengketa
para pihak hanya memiliki peran untuk membantu para pihak menemukan solusi yang terbaik
atas sengketa yang dihadapi para pihak. Mediator tidak memiliki kewenangan untuk
memutuskan sengketa yang bersangkutan seperti layaknya seorang hakim atau arbiter. Dengan
demikian tidak ada paksaan bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan cara
mediasi.
Dalam hukum di Indonesia, praktek mediasi pada umumnya juga didasarkan pada pilihan
sukarela para pihak yang bersengketa. Dalam konteks sengketa konsumen pengguna mediasi
bersifat sukarela sebagaimana diatur dalam pasal 45 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1999 yang
berbunyi:
“Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan
berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa”.

2. Lingkup sengketa pada prinsipnya bersifat keperdataan

Jika dilihat dari berbagai peraturan setingkat Undang-undang yang mengatur tentang mediasi di
Indonesia dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya sengketa-sengketa yang dapat diselesaikan
melalui mediasi adalah sengketa keperdataan. Pasal 30 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1997 tentang
pengelolaan lingkungan hidup menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan
tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup. Demikian pula pada pasal 75 ayat (1)
UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan sebagaimana dirubah dengan UU No. 19 Tahun 2004
mengatakan penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak
pidana sebagaimana diatur dalam UU kehutanan tersebut. UU No. 30 Tahun 1999 meskipun
tidak tegas seperti kedua UU terdahulu, namun dari ketentuan pasal 5 ayat (1) berbunyi:
“sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan
mengenai hak yang menurut hukum dan perundang-undangan dikuasai oleh pihak yang
bersengketa”, dapat dipahami bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah
sengketa perdagangan dan sengketa hak yang bersifat keperdataan saja.

3. Proses sederhana

Sifat sukarela dalam mediasi memberikan keleluasaan pada pihak untuk menentukan sendiri
mekanisme penyelesaian sengketa mediasi yang mereka inginkan. Dengan cara ini, para pihak
yang bersengketa tidak terperangkap dengan formalitas acara sebaimana dalam proses litigasi.
Para pihak dapat menentukan cara-cara yang lebih sederhana dibandingkan dengan proses
beracara formal di Pengadilan. Jika penyelesaian sengketa melalui litigasi dapat selesai bertahun-
tahun, jika kasus terus naik banding, kasasi, sedangkan pilihan penyelesaian sengketa melalui
mediasi lebih singkat, karena tidak terdapat banding atau bentuk lainnya. Putusan bersifat final
and binding yang artinya putusan tersebut bersifat inkracht atau mempunyai kekuatan hukum
yang tetap. Istilqh “final” berarti putusan tersebut tidak membutuhkan upaya hukum lanjutan.
Pengertian “mengikat” atau “Binding” adalah memberikan beban kewajiban hukum dan
menuntut kepatuhan dari subjek hukum. Di dalam Hukum Acara Perdata dikenal teori res
adjudicate pro veritare habetur, yang artinya apabila suatu putusan sudah tidak mungkin diajukan
upaya hukum, maka dengan sendirinya putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap (inkracht van gewijsde) dan oleh karenanya putusan tersebut mengikat para pihak yang
bersengketa.
Sebagai konsekuensi cara yang lebih sederhana ini, maka mediasi sering dianggap lebih murah
dan tidak banyak makan waktu jika dibandingkan dengan proses litigasi atau berperkara di
Pengadilan.

4. Proses mediasi tetap menjaga kerahasiaan sengketa para pihak

Mediasi dilaksanakan secara tertutup sehingga tidak setiap orang dapat menghindari sessi-sessi
perundingan mediasi. Hal ini berbeda dengan badan peradilan dimana sidang umumnya dibuka
untuk umum. Sifat kerahasiaan dari proses mediasi merupakan daya tarik tersendiri, Karena para
pihak yang bersengketa pada dasarnya tidak suka jika persoalan yang mereka hadapi
dipublikasikan kepada umum.

5. Mediator bersifat menengahi

Dalam sebuah proses mediasi, mediator menjalankan peran untuk menengahi para pihak yang
bersengketa. Peran ini diwujudkan melalui tugas mediator yang secara aktif membantu para
pihak dalam memberikan pemahamannya yang benar tentang sengketa yang mereka hadapi dan
memberikan alternative solusi yang terbaik bagi penyelesaian sengketa diajukan mediator
sepenuhnya berada dan ditentukan sendiri oleh kesepakatan para piha yang bersengketa.
Mediator tidak dapat memaksakan gagasannya sebagai penyelesaian sengketa yang harus
dipatuhi.

Prinsip ini kemudian menuntut mediator adalah orang yang memiliki pengetahuan yang cukup
luas tentang bidang-bidang terkait yang dipersengketakan oleh para pihak.
Bila diperhatikan berbagai macam cara untuk penyelesaian sengketa memiliki keunggulan dan
kelemahan masing-masing, misalnya pencapaian consensus bersama yang terjadi dalam Hukum
Adat Indonesia, di samping menyelesaikan sengketa tertentu, juga membantu membangun dan
melindungi komunitas, tetapi kadang kala yang muncul dalam upaya untuk memperoleh
kesepakatan hanya berupa bentuk pemaksaan yang terselubung, yaitu para pihak yang
bersengketa dipaksa menyetujui demi kepentingan pihak komunitas. Pada beberapa kasus seperti
ini, kebutuhan dan kepentingan pihak yang bersengketa mungkin tidak terpenuhi sama sekali.
Hal ini tentunya merugikan pihak yang bersengketa.

Tugas mediator telah diatur di dalam Bab III PERMA Nomor 2 Tahun 2003, ada beberapa hal
yang tidak diatur di daalam PERMA. Menurut hemat penulis perlu ditempuh oleh para mediator,
yaitu antara lain:
Tugas pertama seorang mediator: adalah memberikan nasehat dan mengarahkan para pihak atau
wakilnya agar mau menyelesaikan sengketanya secara damai, setelah selesai memberikannasehat
atau pengarahan, kemudian pihak tergugat dipersilahkan menunggu di luar ruangan dan mediator
melanjutkan dengan memberikan kesempatan kepada pihak penggugat atau kuasanya
mengungkapkan sejelas-jelasnya permasalahan yang menjadi sengketa sejak awal hingga
keadaan yang sekarang, kemudian mediator memberikan pandangannya bagaimana sebaiknya
mengatasi permasalahan tersebut sehingga pihak penggugat tidak dirugikan dan pihak tergugat
juga diberi kemudahan-kemudahan memenuhi tuntutan tersebut. Kemudian penggugat disuruh
menunggu di luar dan tergugat atau kuasanya dipanggil masuk, mediator mempersilahkan
tergugat memberikan keterangannya sehubungan dengan adanya tuntutan pihak penggugat. Bila
ada hal-hal yang janggal atau kurang jelas keterangan tergugat mediator mengajukan pertanyaan-
pertanyaan atau minta kejelasan dari tergugat tentang hal-hal yang belum ditanggapi oleh
tergugat, setelah selesai, mediator menawarkan beberapa solusi agar sengketa tersebut dapat
selesai secara damai.

Tugas kedua seorang mediator: adalah memanggil kedua belah pihak memasuki ruang mediasi,
mediator mempersilahkan pihak penggugat atau kuasanya mengajukan poin-poin tuntutannya
dan bila ada solusi damai yang ditawarkannya hendaknya diajukan secara tertulis, bila ada hal
yang dianggap mediator belum konkrit, mediator meminta agar penggugat mengulangi dan
menjelaskan hal tersebut. Selanjutnya agar tergugat memberikan tanggapannya serta solusi
damai yang ditawarkannya secara tertulis, dan mediator meminta kejelasan hal-hal yang
dianggap kurang jelas.

Tugas ketiga seorang mediator: adalah mengelompokkan bagian-bagian yang telah disepakati,
bila semua bagian telah disepakati berarti mediator berhasil mendamaikan para pihak, bila masih
ada bagian yang belum disepakati maka pertemuan dilanjutkan pada hari dan tanggal yang telah
disepakati bersama, dan mediator mengingatkan kepada para pihak untuk berfikir kembali dan
mengajukan tawaran jalan keluar atas hal-hal yang belum disepakati tersebut secara tertulis dan
diajukan kepada mediator pada hari dan tanggal yang telah disepakati tersebut.

MAKNA PENTINGNYA MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN


SENGKETA

Tidak bisa dipungkiri bahwa upaya penyelesaian suatu perkara demikian sulit, rumit dan
berbelit-belit, demikianlah kira – kira pendapat sebagian orang sehingga muncul wacana bahwa
upaya yang telah dilakukan untuk sedapat mungkin menyelesaikan sengketa tanpa melalui proses
ligitasi, sebagai contoh dalam menghadapi suatu sengketa para pihak yang berperkara khususnya
piak Penggugat sebagai pihak yang berinisiatif berperkara untuk sedapat mungkin mengakhiri
sengketa dengan jalur perdamaian. Karena bagaimanapun juga penyelesaian perkara dengan jalur
perdamaian senantiasa akan mendatangkan keuntungan bagi kedua belah pihak.
Begitupun halnya keuntungan dari segi biaya, tentunya biaya yang akan dikeluarkan akan lebih
murah, karena tidak mengeluarkan biaya yang terlalu banyak dan yang lebih penting lagi
perdamaian akan mampu memulihkan hubungan baik diantara pihak yang berperkara, lebih-lebih
bila mana para pihak yang berperkara tersebut adalah mereka yang nota bene sesama mitra usaha
yang memerlukan suasana hubungan yang bersifat kolegalitas, bisa dibanyangkan apabila
muncul persoalan diantara mereka kemudian diselesaikan melalui proses persidangan yang pada
akhirnya berakibat pada dua kubu menang dan kalah. Hal ini tentunya akan berakibat pada
pecahnya hubungan yang bersifat kolegalitas diantara mereka. Demikian pula halnya hubungan
baik antara keluarga akan menjadi renggang bahkan putus, manakala mereka dalam
menyelesaikan suatu sengketa misalnya adanya perebutan harta warisan dan lain-lain. Untuk
mencegah agar jangan sampai hubungan keluarga menjadi berantakan hanya karena
memperebutkan suatu hak seperti yang disebutkan dalam contoh diatas, maka penyelesaian
secara damai jauh lebih bermanfaat dibandingkan sebaliknya.

Pentingnya mediasi dalam konteks ini dimaknai bukan sekedar upaya untuk meminimalisir
perkara-perkara yang masuk ke Pengadilan baik itu pada Pengadilan tingkat pertama maupun
tingkat banding, sehingga badan peradilan dimaksud terhindar dari adanya timbunan perkara,
namun lebih dari itu Mediasi dipahami dan diterjemahkan dalam proses penyelesaian sengketa
secara menyeluruh dengan penuh kesungguhan untuk mengakhiri suatu sengketa yang tengah
berlangsung.
Walaupun dalam kenyataannya setiap perkara yang masuk ke Pengadilan Negeri sebagian besar
tidak dapat didamaikan lagi dengan upaya perundingan, namun itu bukan berarti upaya ini kita
matikan sama sekali, akan tetapi justru itu yang menjadi tantangan bagi mediator khususnya
hakim untuk bisa memainkan perannya sebagai mediator yang ulung dengan menerapkan
kemampuan dan kemahirannya secara maksimal.

Oleh karena itu Mediasi hendaknya dijadikan sebagai lembaga pertama dan terakhir dalam
menyelesaikan sengketa antara para pencari keadilan, karena penyelesaian sengketa melalui
proses litigasi banyak yang tidak berakhir manis, fenomena yang tak jarang kita temukan bisa
menjadi suatu gambaran betapa nestapa yang sering mengiringi para pihak yang berperkara, di
satu sisi bagi pihak yang menang ia mengeluarkan biaya yang tinggi terkadang tidak sesuai
dengan nilai ekonomis barang yang diperebutkan dan di sisi lain bagi pihak yang kalah sering
tidak dapat menerima kekalahan yang menyebabkan adanya tekanan psikologis dan timbulnya
depresi yang akhirnya bermuara pada bentuk-bentuk tindakan anarkis. Hal demikian tentulah
bukan menjadi harapan kita, karena konflik yang terjadi antar individu bisa memicu konflik yang
lebih luas, seperti antar kelompok, dampak buruk dari hal itupun tak ayal dapat terhindar,
putusnya jalinan silaturrahmi hubungan persaudaraan, kerugian moril dan materiil adalah contoh
akibat negative dari persoalan di atas. Untuk itu, upaya preventif dalam setiap upaya
penyelesaian persoalan harus dikedepankan, mencegah penyebab konflik berarti mencegah
adanya kemudaratan.

Prinsipnya suatu peraturan dibuat adalah untuk dijalankan, demikian juga halnya dengan
PERMA Nomor 2 Tahun 2003. Islam adalah agama damai, yang berperkara di Pengadilan
adalah Agama adalah orang-orang yang beragama Islam dan masih dalam ikatan keluarga,
peluang untuk dapat didamaikan lebih besar dibandingkan dengan perkara-perkara pada
Peradilan Umum, oleh karenanya upaya mendamaikan secara sungguh-sungguh sangat
diharapkan, sekalipun menurut tehnik dan cara tersendiri di luar PERMA tersebut, hal ini
Pengadilan Agama dapat dikecualikan, karena ada kekhususan, khusus menangani orang-orang
Islam (orang-orang yang cinta damai), dan khusus sengketa dalam keluarga (family law).

Anda mungkin juga menyukai