Anda di halaman 1dari 4

1.

       Jelaskan peranan Mediasi dalam proses penyelesaian kasus medis

 Penyelesaian sengketa kesehatan yang terjadi antara pihak lembaga pemberi layanan kesehatan
dengan pihak pasien sebenarnya bisa dilakukan secara berjenjang   melalui proses negosiasi, mediasi,
dan litigasi.    Sengketa yang terjadi bila areanya masih sempit masih sebatas pihak lembaga pemberi
layanan kesehatan dengan pihak pasien  maka bisa dilakukan secara informal dengan proses negosiasi
dan mediasi dan bila telah    melibatkan pihak lembaga penegak hukum (formal) maka proses
menyelesaiannya bisa melalui mediasi atau persidangan di pengadilan. Mediasi mempunyai peranan
yang luas dalam penyelesaian sengketa kesehatan  karena bisa masuk dalam ranah informal dan ranah
formal.  Mediasi merupakan suatu proses penyelesaian sengketa dengan pendekatan musyawarah untuk
mencapai suatu kesepakatan perdamaian guna mengakhiri sengketa yang ada dengan dibantu oleh
pihak ke‐3 yang bersifat netral.  Penyelesaian sengketa melalui proses mediasi telah diakui dalam hukum
positif Indonesia, hal ini dapat kita lihat dalam Peraturan Mahkamah Agung RI nomor 1 tahun 2008,
dimana secara tegas disebutkan bahwa semua sengketa perdata wajib dilakukan mediasi terlebih dahulu
sebelum dilakukan proses persidangan. Dalam hal sengketa kesehatan, Undang Undang Kesehatan
Nomor 36 tahun 2009 juga mewajibkan untuk dilakukan mediasi terlebih dahulu bila terjadi sengketa
dalam pelayanan  kesehatan.

  Pelayanan kesehatan dilakukan berdasarkan keilmuan kedokteran, dan ilmu kedokteran bukanlah ilmu
pasti layaknya matematik atau fisika yang hasilnya bisa dipastikan melalui perhitungan, oleh karena itu
kadang hasil dari perawatan tidak  membuahkan hasil penyembuhan sesuai dengan harapan pasien,
misalnya penyakit tidak kunjung sembuh, penyakit berkembang menjadi parah, bahkan bisa jadi muncul
efek samping lainnya dari pengobatan yang dilakukan.  Mendasarkan pada alasan tersebut sebenarnya
dugaan malpraktik yang sering dilaporkan sebenarnya bukanlah tindak pidana kejahatan karena tenaga
kesehatan, dalam memberikan pengobatan semata‐mata hanyalah untuk membantu dalam proses
penyembuhan dan tidak mempunyai motivasi untuk mencelakakan/merugikan/menghilangkan nyawa
orang lain sebagaimana sering kita temukan dalam poin laporan/tuntutan/gugatan perbuatan melawan
hukum. Penyelesaian sengketa yang saat ini banyak diketahui oleh masyarakat adalah melalui cara
litigasi yaitu beracara di pengadilan,  karakteristik penyelesaian sengketa  melalui jalur litigasi adalah
bersisifat terbuka, rigid yakni mengikuti prosedur formal beracara di pengadilan, otoritas ada
dipengadilaan, diperlukan adanya pengacara, dan putusan berupa menang atau kalah, karakteristik ini
tentu kurang tepat jika diterapkan pada sengketa kesehatan, karena pada umumnya inti pada sengketa
kesehatan.

lebih  pada permintaan dan pemberian penghargaan diri dari pasien,  perbaikan pelayanan dari lembaga
dan atau ganti rugi terhadap kelainan yang timbul dari suatu proses pelayanan kesehatan.              
Mediasi merupakan bentuk alternative penyelesaian sengketa yang diakui oleh  hokum dan lembaga
penegak hukum  di Indonesia, bahkan setiap sengketa yang masuk dalam pengadilan diharuskan untuk
di mediasi terlebih dahulu sebelum masuk dalam proses peradilan, ketentuan ini diatur dalam Perma
nomor 1 tahun 2008.  Dalam hal penyelesaian sengketa kesehatan melalui mediasi, Pasal 29 Undang‐
Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009 sebagai dapat dijadikan dasar hukum
pelaksanaannya. Mediasi dalam penyelesaian sengketa kesehatan dibantu oleh pihak ketiga yang
bersifat netral yang disebut Mediator. Untuk bisa menjadi mediator bersertifikat, seseorang harus
mengikuti pendidikan mediator yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah mendapatkan akreditasi
dari Mahkamah Agung RI, Mediator dengan menggunakan teknik bermediasi akan menjembatani dan
memfasilitasi parapihak untuk menemukan titik tengah dalam rangka membuat perdamaian guna
mengakhiri sengketa yang ada. Akhir dari proses mediasi adalah mediasi dinyatakan gagal atau
berhasil. mediasi yang berhasil menghasilkan nota perdamaian untuk di implemetasikan oleh parapihak,
atau sebelum diimplementasikan    dapat dimintakan putusan dari hakim pengadilan menjadi akta
perdamaian yang bersifat final dan binding dan bisa dilakukan eksekusi.   Akta  perdamainan yang
dihasilkan dari proses mediasi memiliki kekuatan hukum yang tetap dan mengikat,  tindak tunduk pada
upaya hukum biasa, oleh karena itu tidak ada proses banding maupun kasas

2.       Uraikan langkah langkah atau upaya upaya yang harus dilakukan dalam penanganan kasus medis
di RS

Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa dengan perantaran pihak ketiga, yakni pihak yang
memberi masukan-masukan kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa antar mereka.Terdapat
perbedaan antara arbitrase dengan mediasi. Perbedaan itu terletak pada keputusan yang dibuat oleh
pihak ketiga. Pada arbitrase, keputusan dari seorang arbiter atau majelis arbiter harus ditaati oleh para
pihak layaknya keputusan pengadilan, sedangkan pada mediasi, tidak terdapat kewajiban dari masing-
masing pihak untuk menaati apa yang disarankan oleh seorang mediator.154 Hal ini dikarenakan mediator
yang memiliki fungsi sebagai penengah, hanya dapat memberikan saran atas pemecahan masalah yang
sedang terjadi sehingga tidak dapat memaksa para pihak yang sedang bersengketa untuk mengikuti dan
menaati apa yang disarankan oleh seorang mediator.Mediasi dapat dilakukan melalui dua cara, yakni:

a.       Mediasi di pengadilan

Proses mediasi di pengadilan berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2008 tentang prosedur mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA No. 1
Tahun 2008), merupakan proses yang wajib dijalani oleh para pihak yang berperkara. Pasal ini
menentukan bahwa “pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim
mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi.” Pada hari sidang yang telah ditentukan dan para
pihak hadir di persidangan, terlebih dahulu hakim menanyakan persoalan yang terjadi dan menyerahkan
para pihak untuk menempuh upaya damai. Hakim kemudian menyarankan untuk menempuh upaya
mediasi terlebih dahulu. Sebelum mediasi dilaksanakan para pihak terlebih dahulu harus memilih
mediator untuk menangani perkara tersebut. Selain itu, para pihak juga berhak untuk menentukan
apakah hanya menggunakan satu mediator atau lebih dari satu mediator untuk menangani perkara
tersebut. Ketentuan mengenai hal ini diatur di dalam Pasal 8 PERMA No. 1 Tahun 2008 sebagai berikut:

1.       Para pihak berhak memilih mediator diantara pilihan-pilihan berikut:

a.       hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yangbersangkutan;

b.      advokat atau akademisi hukum;

c.       profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau berpengalaman dalam pokok
sengketa;

d.      hakim majelis pemeriksa perkara;

e.       gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d, atau gabungan butir b dan d, atau
gabungan butir c dan d;

2.       Jika dalam sebuah proses mediasi terdaoat lebih dari satu orang mediator, pembagian tugas
meditor ditentukan dan disepakati oleh para mediator sendiri.

Mediator yang dipilih oleh para pihak didasarkan pada daftar mediator yang ada di setiap pengadilan.
Setelah mediator dipilh, barulah para pihak melakukan proses mediasi. Pada saat melaksanakan
fungsinya, mediator memiliki kewenangan untuk menyatakan mediasi yang dijalankan dinyatakan gagal
dengan mendasarkan alasan kegalalan tersebut pada hal- hal sebagai berikut:

a.       Jika para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan
mediasi meskipun telah dipanggil secara patut.

b.      Mediator memahami bahwa dalam sengketa yang diperiksa melibatkan aset, harta kekayaan, atau
kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan pihak lain yang tidak disebutkan dalam gugatan
sehingga para pihak dianggap tidak lengkap.

Proses mediasi yang dilakukan tentu dapat menghasilkan kesepakatan dari para pihak, baik kesepakatan
untuk berdamai ataupun kesepakatan untuk tidak berdamai. Apabila kesepakatan perdamaian telah
dicapai, para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian menjadi sebuah akta perdamaian
kepada hakim. Namun sebaliknya, jika tidak terjadi kesepakatan antar kedua belah pihak, maka
pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti
dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan atau lain. Selain itu, catatan mediator wajib
dimusnahkan dan mediator tidak boleh untuk menjadi saksi dalam proses perkara yang bersangkutan
serta mediator tidak dapat dimintai pertanggungjawaban baik secara pidana maupun perdata atas isi
kesepakatan perdamaian hasil proses mediasi.

Gagalnya proses mediasi tentu menyebabkan para pihak harus menjalani proses persidangan dan
mengajukan bukti-bukti serta saksi-saksi yang dipergunakan untuk memperkuat setiap argumen-argumen
yang disampaikan dipersidangan.

b.      Mediasi diluar pengadilan

Dibandingkan dengan ketentuan PERMA No. 2 Tahun 2003 maka PERMA No. 1 Tahun 2008 lebih
membuka kesempatan, sarana dan peran mediator non hakim di luar pengadilan dalam melaksanakan
proses mediasi sebagai usaha untuk mensukseskan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Para
pihak dengan bantuan mediator apabila telah mencapai kesepakatan perdamaian dapat mengajukan
kesepakatan tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian (acte van
dading) dengan cara mengajukan gugatan. Pengajuan gugatan tersebut harus disertai dengan
kesepakatan perdamaian dam dokumen-dokumen yang membuktikan ada hubungan hukum para pihak
dengan objek sengketa. Selanjutnya hakim dihadapan para pihak hanya akan menguatkan kesepakatan
perdamaian dalam bentuk akta perdamaian apabila kesepakatan itu memenuhi syarat, yakni sesuai
kehendak para pihak, tidak bertentangan dengan hukum, tidak merugikan pihak ketiga, dapat dieksekusi
dan dilakukan dengan iktikad baik.

Anda mungkin juga menyukai