Anda di halaman 1dari 10

REFERAT

Blok KIL
Mediasi, advokasi, surat rujukan medis, surat
sakit sehat

OLEH:
Fairuz Din Sukowati
201810330311084

Fairuz Din Sukowati


201810330311084
Kelompok Skill 6

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG


FAKULTAS KEDOKTERAN
2021
A. MEDIASI

Proses mediasi merupakan salah satu bentuk dari alter-native dispute resolution (ADR)
atau alternatif penyelesaian masalah. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melaluiproses
perundingan untuk memperoleh kesepakatan parapihak dengan dibantu oleh mediator. Mediasi
itu sendiri dapat dilakukan melalui jalur pengadilan maupun di luar pengadilan dengan
menggunakan mediator yang telah mempunyai sertifikat mediator. Mediator adalah pihak netral
yang membantu para pihak dalam proses perundingan gunamencari berbagai kemungkinan
penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah
penyelesaian.

Untuk mengerti secara komprehensif mengenai mediasi,perlu dipahami tentang tiga


aspek mediasi yaitu:

1.Aspek Urgensi/Motivasi

Urgensi dan motivasi mediasi adalah agar pihak-pihakyang berperkara menjadi damai
dan tidak melanjutkanperkaranya ke pengadilan. Apabila ada hal-hal yangmengganjal yang
selama ini menjadi masalah, maka harusdiselesaikan secara kekeluargaan dengan
musyawarahmufakat. Tujuan utama mediasi adalah untuk mencapaiperdamaian antara pihak-
pihak yang bertikai. Pihak-pihakyang bertikai atau berperkara biasanya sangat sulit
untukmencapai kata sepakat apabila bertemu dengansendirinya. Titik temu yang selama ini beku
mengenaihal-hal yang dipertikaikan itu biasanya dapat menjadicair apabila ada yang
mempertemukan. Maka mediasimerupakan sarana untuk mempertemukan pihak-pihakyang
berperkara dengan difasilitasi oleh seorang ataulebih mediator untuk menyaring persoalan agar
menjadijernih dan pihak-pihak yang bertikai mendapatkankesadaran akan pentingnya
perdamaian antara mereka.

2.Aspek Prinsip

Secara hukum mediasi tercantum dalam Pasal 2 ayat (2)Perma Nomor 01 Tahun 2008
yang mewajibkan setiap hakim, mediator dan para pihak untuk mengikuti prosedur penyelesaian
perkara melalui mediasi. Apabila tidak menempuh prosedur mediasi menurut Perma, hal
itumerupakan pelanggaran terhadap Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan
putusan batal demihukum. Artinya, semua perkara yang masuk kepengadilan tingkat pertama
tidak mungkin melewatkan acara mediasi. Karena apabila hal itu terjadi risikonyaakan fatal.

3.Aspek Substansi

Mediasi merupakan rangkaian proses yang harus dilaluiuntuk setiap perkara perdata yang
masuk ke pengadilan.Substansi mediasi adalah proses yang harus dijalanisecara sunggguh-
sungguh untuk mencapai perdamaian.Karena itu diberikan waktu tersendiri untuk
melaksanakanmediasi sebelum perkaranya diperiksa. Mediasi bukanhanya sekadar untuk
memenuhi syarat legalitas formal,tetapi merupakan upaya sungguh-sungguh yang
harusdilakukan oleh pihak-pihak terkait untuk mencapaiperdamaian. Mediasi adalah merupakan
upaya pihak-pihak yang berperkara untuk berdamai demi kepentinganpihak-pihak itu sendiri,
bukan kepentingan pengadilanatau hakim, juga bukan kepentingan mediator. Dengandemikian
segala biaya yang timbul karena proses mediasiini ditanggung oleh pihak-pihak yang berperkara.

Tahapan Proses Mediasi

Ada dua belas langkah agar proses mediasi berhasildengan baik yaitu:

1.Menjalin hubungan dengan para pihak yang bersengketa

2.Memilih strategi untuk membimbing proses mediasi

3.Mengumpulkan dan menganalisis informasi latarbelakang sengketa

4.Menyusun rencana mediasi

5.Membangun kepercayaan dan kerja sama di antara parapihak

6.Memulai sidang mediasi

7.Merumuskan masalah dan menyusun agenda

8.Mengungkapkan kepentingan yang tersembunyi

9.Membangkitkan pilihan penyelesaian sengketa

10.Menganalisis pilihan penyelesaian sengketa

11.Proses tawar menawar akhir

12.Mencapai kesepakatan formal

B. Mediasi dalam Sengketa Medis

Profesi kedokteran merupakan profesi tertua di dunia.Profesi kedokteran juga merupakan


profesi pertama yangbersumpah untuk mengabdikan dirinya bagi kemanusiaan.Hubungan dokter
pasien pada dasarnya dilandasi keper-cayaan.12 Walaupun masih memerlukan kajian yang
lebihspesifik, ketidakpercayaan kepada dokter ditandai denganmempertanyakan pengetahuan,
kemampuan, perilaku danmanajemen pasien dari si dokter.1 Sebuah studi di
Amerika13menunjukkan bahwa seringkali dokter dituntut pasien denganhal-hal yang tidak
berhubungan sama sekali dengan kualitasperawatan kesehatan yang diberikan dokter.

Perubahan terminologi dari pasien ke konsumen atauklien mentransformasi perubahan


konsep hubungan dokterpasien ke konsep hubungan “jasa pelayanan.” Ironisnyaseringkali
hubungan itu tidak meletakkan kepentingan yangterbaik untuk pasien sebagai kepentingan utama
oleh karenaketidakseimbangan kekuasaan dan pengetahuan antarakedua belah pihak.
Perkembangan ketersediaan informasikesehatan melalui berbagai media turut
mempengaruhikeputusan yang akan diambil oleh dokter.15,16 Selain itu jugaharus dipahami
bahwa ilmu kedokteran tidaklah menjanjikanhasil melainkan upaya maksimal yang dapat
dilakukan(inspanning verbintennis).12 Lebih jauh akibat pengaruhintelektual dekonstruksionis
yang akarnya terletak padapengertian good dalam perspektif pasien mempengaruhiotonomi
profesi. Dahulu good atau benefit merupakan do-main para ahli pengobatan (dokter) dalam
situasi paternalistik.Ternyata sejalan dengan perkembangan zaman pengertiangood tetap dalam
kerangka “berbuat baik” dalam konteksdokter berubah menjadi benefit pasien dengan memper-
timbangkan keputusan dan harapan pasien itu sendiri.

Berdasarkan uraian di atas sebenarnya proses mediasimerupakan upaya yang tepat dalam
menyelesaikan sengketamedis antara dokter dan pasien kecuali dalam proses pidanamurni seperti
pelecehan seksual, pengungkapan rahasiakedokteran, aborsi serta kelalaian berat, keterangan
palsu,penipuan dan lain-lain. Penyelesaian melalui jalur litigasiakan merugikan kedua belah
pihak. Apalagi cukup sukaruntuk memenuhi empat kriteria malpraktik medis, yaitu:

1. Adanya duty (kewajiban) yang harus dilaksanakan

2. Adanya dereliction/breach of that duty (penyimpangankewajiban);

3. Terjadinya damage

4. Terbuktinya direct causal relationship antara pelang-garan kewajiban dengan kerugian.

Efek positif lainnya dari proses mediasi adalah hu-bungan dokter pasien akan tetap
senantiasa terjaga denganbaik. Karena bagaimanapun kedua belah pihak
memerlukankepentingan yang sama meskipun dalam konteks dantanggung jawabnya masing-
masing.Meskipun demikian, mediasi memiliki kelemahan yaituketerbatasan dukungan yuridis
terhadap proses danhasilnya, termasuk terhadap eksekusi perjanjian penyelesaian sengketa
(perdamaian) yang dihasilkan. Proses dankeputusan yang dihasilkan tidak dapat begitu
sajadipaksakan. Kelemahan lain adalah dari Perma itu sendiriyaitu menurut tata urutan
perundang-undangan IndonesiaPerma tidak bersifat wajib; mengikat, sehingga Perma
hanyadapat dijadikan pedoman. Perlu dibentuk undang-undangyang mengatur mediasi untuk
memberikan kepastian hukum.

Pengertian dan Prinsip Advokasi dalam Promosi Kesehatan(Promkes)

Pengertian umum dari kegiatan advokasi adalah,“strategi untuk mempengaruhi para


pengambil keputusan khususnya pada saat mereka menetapkan peraturan, mengatur sumber daya
dan mengambil keputusan-keputusan yang menyangkut khalayak masyarakat”.
Hal tersebut menunjukkanbahwa Advokasi diartikan sebagaiupaya pendekatan
terhadaporang lain yang dianggap mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan suatu program
atau kegiatan yang dilaksanakan.Oleh karena itu yang menjadi sasaran advokasi adalah para
pemimpin atau pengambil kebijakan (policy makers) atau pembuat keputusan(decision makers)
baik di institusi pemerintah maupun swasta.

Sedangkan ahli lain menyatakan bahwa Advokasi secara harfiah berarti pembelaan,
sokongan atau bantuan terhadap seseorang yang mempunyai permasalahan. Istilah advokasi
mula-mula digunakan di bidang hukum atau pengadilan.Menurut Johns Hopkins (1990) advokasi
adalah usahauntuk mempengaruhi kebijakan publik melalui bermacam-macam bentuk
komunikasi persuasif. Istilah advocacy/advokasi di bidang kesehatan mulai digunakan dalam
program kesehatan masyarakat pertama kali oleh WHO pada tahun 1984 sebagai salah satu
strategi global Pendidikan atau Promosi Kesehatan.WHO merumuskan bahwa dalam
mewujudkan visi dan misi Promosi Kesehatan secara efektif menggunakan 3 strategi pokok,
yaitu: 1) Advocacy, 2) Social support, 3) Empowerment.

Seperti dijabarkan dalam PMK no. 004 thn 2012, bahwa “Advokasi perlu dilakukan, bila
dalam upaya memberdayakan pasien dan klien, rumah sakit membutuhkan dukungan dari pihak-
pihak lain. Misalnya dalam rangka mengupayakan lingkungan rumah sakit yang tanpa asap
rokok, rumah sakit perlu melakukan advokasi kepada wakil-wakil rakyat dan pimpinan daerah
untuk diterbitkannya peraturan tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang mencakup di rumah
sakit.” Prinsipnya hal tersebut menunjukkan bahwa strategi advokasi merupakan hal penting dan
meliputi proses kerja yang tidak sederhana pula.Karenanyadibutuhkan tahapan kerja yang jelas
dalam pelaksanaannya yang akan disampaikan selanjutnya.

Prinsip dasar Advokasi tidak hanya sekedar melakukan lobby politik,tetapi mencakup
kegiatan persuasif,memberikan semangat dan bahkan sampai memberikan pressureatau tekanan
kepada para pemimpin institusi.

Metode atau cara dan teknik advokasi untuk mencapai tujuan ada bermacam-macam,
yaitu:
a. Lobi politik (political lobying)
b. Seminar/presentasi
c. Media
d. Perkumpulan

Ada 8 unsur dasar advokasi, yaitu:


a. Penetapan tujuan advokasi
b. Pemanfaatan data dan riset untuk advokasi
c. Identifikasi khalayak sasaran
d. Pengembangan dan penyampaian pesan advokasi
e. Membangun koalisi
f. Membuat presentasi yang persuasif
g. Penggalangan dana untuk advokasi
h. Evaluasi upaya advokasi.
Ada 5 pendekatan utama advokasi,yaitu :
a. Melibatkan para pemimpin
b. Bekerja dengan media massa
c. Membangun kemitraan
d. Memobilisasi massa
e. Membangun kapasitas.

Tujuan Advokasi dalam Promosi kesehatan


Seperti diuraikan sebelumnya bahwa proses Advokasi ini bertujuan untuk mempengaruhi
para pengambil keputusan khususnya yang menyangkut keputusan terhadap masyarakat. Secara
mendetail, tujuan dari Advokasi meliputi hal-hal berikut ini:

a. Komitmen politik (Political commitment)


Komitmen para pembuat keputusan atau penentu kebijakan sangat penting untuk
mendukung atau mengeluarkan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kesehatan
masyarakat, misalnya untuk pembahasan kenaikan anggaran kesehatan, contoh konkrit
pencanangan Indonesia Sehat 2010 oleh presiden. Untuk meningkatkan komitmen ini sangat
dibutuhkan advokasi yang baik.

b. Mendapatkan dukungan kebiajakan (Policy support).


Adanya komitmen politik dari para eksekuti, maka perlu ditindaklanjuti dengan advokasi
lagi agar dikeluarkan kebijakan untuk mendukung program yang telah memperoleh komitmen
politik tersebut.

c. Mendapatkan penerimaan sosial (Social acceptance)


artinya diterimanya suatu program oleh masyarakat. Suatu program kesehatan yang telah
memperoleh komitmen dan dukungan kebijakan, maka langkah selanjutnya adalah
mensosialisasikan program tersebut untuk memperoleh dukungan masyarakat.

d. Mendapatkan Dukungan sistem (System support)


Agar suatu program kesehatan berjalan baik maka perlunya sistem atau prosedur kerja
yang jelas mendukung.
Prinsip dasar Advokasi tidak hanya sekedar melakukan lobby politik, tetapi mencakup
kegiatan persuasif, memberikan semangat dan bahkan sampaimemberikan pressure atau tekanan
kepada para pemimpin institusi. Karenanya, sangat penting bagi pelaksana advokasi untuk
meningkatkan ketrampilan berkomunikasi. Peran komunikasi sangat penting, sehingga
komunikasi dalam rangka advokasi kesehatan memerlukan kiat khusus agar dapat berjalan
efektif. Kiat-kiatnya antara lain sebagai berikut:
1) Jelas (clear)
2) Benar (correct)
3) Konkret (concrete)
4) Lengkap (complete)
5) Ringkas (concise)
6) Meyakinkan (convince)
7) Konstekstual (contexual)
8) Berani (courage)
9) Hati–hati (coutious)
10) Sopan (courteous)

Rujukan Medik
Rujukan medik adalah upaya kesehatan yang berorientasi kepada kepentingan penderita,
bertujuan untuk memperoleh pemecahan masalah baik untuk keperluan diagnostik, pengobatan
maupun pengelolaan penderita selanjutnya.
Rujukan medik dapat dilakukan terhadap :
 Penderita : penderita dikirim oleh perujuk kepada konsultan, atau apabila penderita tidak
dapat dikirim maka perujuk meminta kesediaan konsultan untuk bersama-sama
memeriksanya.
 Bahan pemeriksaan : dapat berupa jaringan tubuh (hasil insisi, ekstirpasi, biopsi, maupun
reseksi), darah, serum, tinja, air seni, sekret, serta cairan tubuh yang lain. Rujukan medik
dapat berupa pengetahuan, keterampilan, maupun sikap, yang dapat dilaksanakan secara
lisan maupun tertulis.

a. Rujukan medik lisan :


 Dokter perujuk dan konsultan melakukan pemeriksaan bersama.
 Dokter perujuk memberi keterangan selengkapnya, serta mengemukakan kesulitan /
masalah yang dihadapinya.
 Kemudian keduanya mendiskusikan hasil pemeriksaan di tempat tersendiri.
 Bila ada perselisihan pendapat, jangan sampai menggoncangkan kepercayaan penderita
terhadap dokter perujuk.

b. Rujukan medik tertulis :


 Rujukan ditulis dalam amplop tertutup, diajukan oleh dokter perujuk kepada konsultan
disertai keterangan yang cukup.
 Dalam hal rujukan penderita, maka konsultan mengirim kembali penderita tersebut
disertai pendapat dan anjuran tertulis pula.
 Bila dikehendaki oleh dokter perujuk, konsultan dapat melakukan pengelolaan atau
pengobatan penderita sampai sembuh.
 Konsultan tidak dibenarkan memberitahukan kepada penderita secara langsung maupun
tidak langsung tentang kekeliruan yang mungkin dibuat oleh dokter perujuk terhadap
penderita.
 Pendapat dan anjuran konsultan dapat berupa pendapat final atau anjuran untuk
melakukan pemeriksaan lebih lanjut (laboratorik, EKG, radiologik, atau penunjang lain).

 Dari dokter umum kepada dokter spesialis :


Permasalahan yang dihadapi oleh dokter umum diharapkan untuk dapat
dipecahkan oleh dokter spesialis sesuai dengan bidangnya.
 Dari dokter spesialis tertentu kepada dokter spesialis lain :
Selain untuk keperluan diagnostik, rujukan demikian biasanya bertujuan untuk
memperoleh konfirmasi tentang kemungkinan adanya komplikasi-komplikasi yang dapat
terjadi dalam ruang lingkup bidang keahlian di luar spesialisasi dokter perujuk.
 Dari dokter spesialis kepada dokter umum (di daerah tempat tinggal penderita)
Rujukan medik ini paling jarang terjadi, biasanya dilakukan oleh dokter spesialis
atas permintaan penderita dengan pertimbangan kesulitan transportasi karena tempat
tinggal penderita sangat jauh dari dokter spesialis tersebut. Tentunya tidak semua
tindakan dapat dirujuk ke bawah mengingat fasilitas, kemampuan, dan kewenangan yang
ada pada dokter umum tersebut.

Sikap yang tidak dibenarkan terjadi dalam rujukan medik yaitu :


a. Dari dokter perujuk :
 Tidak mencantumkan keterangan secara lengkap.
 Melakukan rujukan karena malas menanganinya.
 Melakukan rujukan untuk mengalihkan tanggung jawab atas risiko yang tidak
menyenangkan.
 Melakukan rujukan karena menginginkan imbalan.
 Melakukan rujukan setelah keadaan penderita cukup parah.
 Dalam hal merujuk bahan pemeriksaan, tidak mempedulikan persiapan penderita dan
prosedur “sampling” secara luas (pengambilan, penampungan, pengawetan dan
pengiriman).
b. Dari dokter konsultan :
 Tidak memberikan jawaban konsul dengan sebenarnya karena takut anjuran atau
tindakannya ditiru oleh dokter perujuk.
 Bekerjasama dengan dokter lain di luar kepentingan penderita (menganjurkan rujukan
dengan janji imbalan).
 Walau tidak diminta, mengambil alih pengelolaan penderita seterusnya (tidak mengirim
kembali penderita kepada dokter perujuk).
 Mencela tindakan dokter perujuk / terdahulu di hadapan penderita.
 Mencela hasil pemeriksaan (yang mungkin tidak sesuai dengan keadaan klinis) di
hadapan penderita atau keluarganya.

MANFAAT KONSULTASI DAN RUJUKAN


1. Pengetahuan dan keterampilan dokter akan meningkat. Peningkatan pengetahuan dan
keterampilan ini diperoleh sebagai hasil adanya bantuan dokter lainnya yang lebih
berpengalaman dan atau yang lebih ahli pada pelayanan konsultasi. Dokter perujuk dapat
pula mempelajari dengan pelbagai tindakan kedokteran yang telah dilakukan oleh dokter
lainnya pada pelayanan rujukan. Tentu saja untuk yang terakhir ini hanya akan dapat
dilakukan apabila dokter tempat merujuk, setelah selesai melakukan tindakan kedokteran,
merujuk kembali pasien tersebut ke dokter yang melakukan rujukan.
2. Kebutuhan dan tuntutan kesehatan pasien akan lebih terpenuhi. Karena pada konsultasi
dan rujukan dapat menghasilkan kerjasama yang baik antar banyak dokter, maka pada
konsultasi dan rujukan tersebut telah terbentuk semacam tim kerja, yang peranannya jelas
lebih positif dalam upaya pemenuhan kebutuhan dan tuntutan kesehatan pasien yang
memang sangat bervariasi. Melalui konsultasi dan rujukan, pelbagai keterbatasan
pelayanan kedokteran yang diselenggarakan oleh seorang dokter akan dapat lebih
dilengkapi, yang dampaknya jelas akan sangat besar terhadap pemenuhan kebutuhan dan
tuntutan kesehatan pasien.
Surat Keterangan Dokter

1. BAB I Pasal 7 KODEKI : “ Setiap Dokter hanya memberikan keterangan dan pendapat yang
telah diperiksa sendiri kebenarannya”

2. BAB II Pasal 12 KODEKI :” Setiap Dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang seorang pasien bahkan juga setelah pasien meninggal dunia”

3. Paragraph 4 Pasal 48 Undang Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.

 Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan
rahasia kedokteran.
 Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi
permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien
sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
 Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri.

Persepsi dokter atas pasien berhak mendapatkan sura tketerangan cuti sakit sesuai dengan
Kodekipasal 52, persepsi dokter atas hubungankekerabatan tidak mempengaruhi
dalammemberikan surat keterangan cuti sakitsesuai dengan Kodeki pasal 7, pesepsidokter atas
pemberian lama cuti sakitmerupakan hak/ kewenangan mutlak doktersesuai dengan Kodeki
paragraf 6 pasal 50,sikap dokter tidak setuju apabila selalumemberikan surat keterangan cuti
sakitsesuai dengan Kodeki pasal 7, sikap doktertidak pernah memberikan surat keterangan cuti
sakit yang tidak sesuai dengan kondisipasien sesuai dengan Kodeki pasal 7 danKUHP pasal 267,
sikap dokter setuju dalam menuliskan lama cuti sakit terkadangmempertimbangkan permintaan
pasien,sikap dokter tidak setuju apabila menarikbiaya tersendiri dalam pemberian
suratketerangan cuti sakit sesuai dengan Kodekipasal 3.Dalam memberikan suratketerangan cuti
sakit hendaknya dokter tetapmemperhatikan kode etik kedokteran (Kodeki).

REFERENSI

 Anonim.2014. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Diakses melalui http://ika-


fkunpad.org/wp-content/uploads/2014/10/PMK-No.-512-ttg-Izin-Praktik-dan-Pelaksanaan-
Praktik-Kedokteran.pdf pada tanggal 11 Oktober 2016 pada pukul 15.00
 Aziz. NM. (2010). Laporan Penelitian Hukum TentangHubungan Tenaga Medik, Rumah
Sakit dan Pasien. Diakses melalui
http://www.bphn.go.id/data/documents/hubungan_tenaga_medik,rumah_sakit_dan_pasien.pd
f pada tanggal 10 Oktober 2016.
 Budiyanto.2010. HUKUM dan ETIK KEDOKTERAN, STANDAR PROFESI
MEDISdanAUDIT MEDIShttps://budi399.wordpress.com/2010/11/22/hukum-etik-
kedokteran-standar-profesi-medis-audit-medis/ pada tanggal 11 Oktober 2016 pukul 15.46
 DIAH, PRATITA.2013."TINJAUAN PELAKSANAAN PROSEDUR INFORMED CONSENT PASIEN
BEDAH ORTOPEDI DI RS BHAYANGKARA SEMARANG PADA TAHUN 2013." Diakses
melaluihttp://eprints.dinus.ac.id/6608/1/jurnal_13000.pdf pada tanggal 9 oktober 2016.

Anda mungkin juga menyukai