Anda di halaman 1dari 17

Alternatif penyelesaian sengketa medis dokter dan pasien dirumah sakit melalui

mediasi

Latar Belakang

Kebutuhan akan kesehatan yang optimal menjadi hak seluruh individu dalam
masyarakat Indonesia yang merupakan bagian dari komponen kesejahteraan umum
yang termakhtub dalam pembukaan undang undang dasar 1945 1, secara terinci pada
Pasal 28 H Ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.2 Hal ini menunjukkan
komitmen dan kewajiban jaminan negara Indonesia dalam bidang kesehatan kepada
seluruh rakyat Indonesia.2,3

Pada praktek sehari hari layanan kesehatan itu terjadi di antara dokter dan pasien
yang berinteraksi seringkali di dalam suatu upaya kesembuhan terhadap penyakit.
Interaksi antara dokter, pasien, dan lingkungannya telah menciptakan suatu perikatan
yang menimbulkan hak dan kewajiban antara pemberi layanan dalam hal ini dokter
dan pasien sebagai penerima layanan didalam suatu bentuk hubungan yang unik
berupa hubungan perjanjian teraupetik dan hubungan hukum. Hubungan hukum
antara pasien apabila dirumah sakit dengan adanya kontrak pada saat pendaftaran
pada saat awal masuk, yang kemudian dilanjutkan dengan kesepakatan dalam
informed consent atas segala tindakan yang dilakukan oleh tenaga medis terhadap
pasien. Menurut Cheng (2015), hubungan hukum ini seringkali menimbulkan
kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang diperoleh pasien, yang dapat menjadi

1
Supeno, S. (2019). Kajian Yuridis Penyelesaian Sengketa Medik di Indonesia. Wajah Hukum, 3(2),
200. https://doi.org/10.33087/wjh.v3i2.67
2
Ardinata, M. (2020). Tanggung Jawab Negara terhadap Jaminan Kesehatan dalam Perspektif Hak
Asasi Manusia (HAM). Jurnal HAM, 11(2), 319. https://doi.org/10.30641/ham.2020.11.319-332
3
Hidayat, R. (2017). HAK ATAS DERAJAT PELAYANAN KESEHATAN YANG OPTIMAL.
Syariah Jurnal Hukum Dan Pemikiran, 16(2), 127. https://doi.org/10.18592/sy.v16i2.1035

1
faktor pemicu terjadinya konflik. Jika konflik tidak ditangani dengan baik dan segera,
maka akan mengakibatkan perselisihan antara pasien dan perawat dan dokter sebagai
tenaga kesehatan serta rumah sakit sebagai institusi penyedia layanan. 4 Praduga
melakukan malpraktik selalu melekat pada tenaga medis yang memberikan
pelayanan, yang berakibat pada tuntutan, baik pidana maupun perdata, keadaan inilah
yang dikelan dengan sengketa medik .5

Dalam beberapa tahun terakhir, profesi medis menghadapi banyak tuntutan hukum.
Ada 405 laporan masalah kesehatan dari berbagai wilayah Indonesia yang diterima
oleh Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan (LBH). Laporan kerugian karena klaim
kelalaian medis dinyatakan yang menyatakan bahwa Medical Defense Malaysia
(MDM) melaporkan klaim hingga RM5,4 juta per kasus, tidak termasuk bunga yang
dibayarkan oleh pengadilan setempat pada tahun 2011. Pada tahun 2014-2015, terjadi
sekitar 3.526 kasus kelalaian medis dan dilaporkan ke Unit Keselamatan Pasien
Kementerian Kesehatan. Alternatif penyelesaian sengketa dirasa perlu sejalan dengan
semakin banyaknya laporan kelalaian medis saat ini6

Dalam proses penyelesaian sengketa, dua jalur dapat digunakan: litigasi (pengadilan)
dan non-litigasi/konsensual/non-ajudikasi. Kita semua dapat memahami bahwa
proses di pengadilan adalah proses yang mahal dan memakan waktu. Karena sistem
pengadilan konvensional pada dasarnya berlawanan, sering kali mengakibatkan salah
satu pihak menang dan pihak lainnya kalah. Sedangkan kritik tajam terhadap lembaga
peradilan dalam menjalankan fungsinya dinilai terlalu padat, lambat dan memakan
waktu, mahal dan kurang tanggap terhadap kepentingan publik. Ini dianggap terlalu
formalistik dan terlalu teknis. Karena itu, persoalan peninjauan kembali perbaikan
4
Lee, D. W., & Lai, P. B. (2015). The practice of mediation to resolve clinical, bioethical, and medical
malpractice disputes. Hong Kong Medical Journal, 560–564. https://doi.org/10.12809/hkmj154615
5
Trisnadi, S. (2017). PERLINDUNGAN HUKUM PROFESI DOKTER DALAM
PENYELESAIAN SENGKETA MEDIS. Jurnal Pembaharuan Hukum, 4(1), 24.
https://doi.org/10.26532/jph.v4i1.1656
6
Amirthalingam, K. (2017). Medical dispute resolution, patient safety and the doctor-patient
relationship. Singapore Medical Journal, 58(12), 681–684. https://doi.org/10.11622/smedj.2017073

2
sistem peradilan ke arah yang efektif dan efisien terjadi di mana-mana. Bahkan ada
kritik bahwa proses perdata dianggap tidak efisien dan tidak adil (prosedur sipil tidak
efisien dan tidak adil). pengadilan dipandang sebagai jalan terakhir untuk
mendapatkan keadilan. Yang secara teoritis masih dianggap sebagai badan yang
berfungsi dan berperan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, sehingga upaya
litigasi selalu menjadi pilihan yang dapat ditempuh oleh para pihak yang bersengketa
untuk menyelesaikan sengketa yang sedang dihadapi.1,3,5

Penyelesaian kasus masih memakan waktu lama. Mulai dari tingkat pertama, kasasi,
dan peninjauan kembali. Hal ini berbanding terbalik dengan kebutuhan masyarakat
pencari keadilan yang membutuhkan waktu yang cepat dan tidak hanya formalitas
belaka. Proses mediasi merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa
(ADR) atau alternative penyelesaian masalah. Mediasi adalah suatu cara penyelesaian
sengketa melalui proses negosiasi untuk memperoleh kesepakatan antara para pihak
dengan dibantu oleh seorang mediator. Penelitian ini akan merangkum semua literatur
ilmiah tentang efektivitas alternatif penyelesaian sengketa dalam penyelesaian
sengketa medis.3,5

Akhir-akhir ini sering terdengar terjadi perselisihan antara dokter dan pasien, dan
beberapa di antaranya melibatkan rumah sakit, sebagai fasilitas kesehatan tempat
dokter mengabdikan diri juga dituntut. Sebenarnya akar sengketa medis ini terjadi
akibat ketidakpuasan terhadap profesi medis dimana sebagian dari mereka tidak puas
dengan pelayanan medis. Umumnya, pasien dan mereka keluarga tidak puas dengan
pelayanan medis karena harapan mereka tidak dapat dipenuhi oleh dokter. Dengan
kata lain, ada kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang diperoleh. kegagalan
upaya penyembuhan antara dokter dan pasien, dapat menyebabkan ketidakpuasan dan
konflik di antara mereka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar konflik
antara dokter dan pasien disebabkan oleh perbedaan persepsi dan masalah
komunikasi dalam upaya pelayanan medis, mengingat kesepakatan antara dokter dan
pasien adalah inspanningsverbintenis. Kebanyakan orang tidak memahami bahwa ada

3
banyak faktor lain di luar kendali dokter yang dapat mengubah hasil upaya medis,
seperti stadium penyakit, kondisi fisik, kekebalan tubuh, kualitas obat dan kepatuhan
pasien terhadap nasehat dokter, sehingga hasilnya suatu upaya medis penuh dengan
ketidakpastian dan tidak dapat dihitung. Konflik antara dokter dan pasien tidak selalu
dapat disebut sebagai malpraktik, tetapi kebanyakan terjadi karena kesalahpahaman
dalam komunikasi antara dokter dan pasien7 . Beberapa kasus kemudian muncul di
media, tetapi itu seperti puncak gunung es yang terlihat muncul di permukaan hanya
sedikit, tetapi banyak kasus tidak dipublikasikan ke media8.

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, baik di bidang hukum maupun


kedokteran itu sendiri, serta karena tumbuhnya kesadaran masyarakat, khususnya
Indonesia, sebagai salah satu buah pembangunan turut mempengaruhi pola hubungan
dokter dan pasien, yang dapat menimbulkan ketidakpuasan dan konflik antara
keduanya. Konflik yang terjadi antara dokter dan pasien dapat diselesaiakn adengan
baik diantara keduanya baik secara litigasi dan non litigasi.M ekanisme penyelesaian
sengketa dengan mediasi menjadi satu satu pilihan yang dapat dipilih keduanya
dengan mengnit prinsip”win win solution”.1,2,,5,6,7

Dalam makalah ini penulis membatasi pembahasan terbatas memahami bagaimana


hubungan dokter dengan pasien, apa penyebab perselisihan medik sengketa medik
dirumah sakit, bagaimana peran mediasi dalam penyelesaiaan sengketa medik.

Permasalahan

1. Bagaimana hubungan hukum antara dokter dan pasien?

2. Apa penyebab perselisihan medis sengketa medis antara dokter dan pasien di
rumah sakit?
7
Amar, C. (2021). Deal Mediation: The Future of Alternative Dispute Resolution. Konfliktdynamik,
10(2), 144–150. https://doi.org/10.5771/2193-0147-2021-2-144
8
Silaen, D. J. A., & Alferraly, I. (2019). Hubungan komunikasi efektif dokter-pasien terhadap tingkat
kepuasan pasien dalam pelayanan medik. Intisari Sains Medis, 10(2).
https://doi.org/10.15562/ism.v10i3.387

4
3. Bagaimana peran mediasi antara dokter dan pasien dalam penyelesaian sengketa
medik?

Pembahasan.

1. Bagaimana hubungan hukum antara dokter dan pasien?

a. Hubungan antara dokter dan pasien berawal dari pola vertikal paternalistik
seperti itu hubungan antara ayah dengan anak berangkat dari prinsip “ayah paling
tahu” yang melahirkan hubungan paternalistic. Dalam hubungan ini, kedudukan
dokter dan pasien tidak sama, dokter memiliki kedudukan yang lebih tinggi karena
mereka dianggap seharusnya mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan
penyakit dan obatnya. Sedangkan pasien tidak tahu apa-apa sehingga pasien
berkomitmen sendiri sepenuhnya di tangan dokter.1 Observasi hubungan antara
dokter dan pasien dalam upaya pelayanan medik di rumah sakit menunjukkan
adanya hubungan ketergantungan pasien kepada dokter. Dokter yang
mengendalikan kekuatan untuk pasien yang tidak tahu pengetahuan kedokteran,
sehingga dokter cenderung lebih tinggi posisi daripada pasien. Karena kemampuan
dan keterampilan dokter di bidang kesehatan hamper hampir tidak diragukan oleh
pasien, sehingga hampir semua keputusan ada di tangan dokter. Pola hubungan
vertikal yang melahirkan sifat paternalistik antara dokter dan pasien mengandung
dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif dari vertikal pola yang
melahirkan konsep hubungan paternalistik ini sangat membantu pasien, dalam hal
ini pasien tidak tahu tentang penyakitnya. Sebaliknya, itu juga bisa menjadi
dampak negatif, ketika tindakan dokter yang terdiri dari langkah-langkah menuju
kesehatan pasien adalah tindakan yang membatasi otonomi pasien, yang dalam
sejarah budaya dan hak asasi manusia sudah ada sejak lahir. Pola vertikal
hubungan paternalistik kemudian bergeser ke pola horizontal kontrak. Hubungan
ini melahirkan aspek hukum kontraktual horizontal “inspanningsverbintenis” yaitu
hubungan hukum antara 2 (dua) subyek hukum (pasien dan dokter) secara

5
sederajatkedudukan tersebut melahirkan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang
bersangkutan. Hubungan hukum ini adalah tidak menjanjikan apapun (pemulihan
atau kematian) sebagai objek hubungan hukum yang maksimal usaha yang
dilakukan secara cermat oleh seorang dokter berdasarkan ilmu pengetahuan dan
pengalaman (menangani penyakit) untuk menyembuhkan pasien. 14,7

b. Terjadinya hubungan hukum antara dokter dan pasienApabila kesepakatan yang


terjadi merupakan yang kedua tercapainya kesepakatan antara para pihak. Itu
dokter dan pasien saling mengikatkan diri pada suatu perjanjian yang objeknya
bersifat terapeutik upaya penyembuhan hubungan hukum kontraktual yang terjadi
antara pasien dan dokter tidak dimulai dari saat pasien memasuki praktek dokter,
seperti yang diyakini secara luas, melainkan dari saat itu dokter menyatakan
kesediaan yang dapat diungkapkan secara lisan (oral statement) maupun implisit
(tersirat). pernyataan) yang ditunjukkan dengan sikap atau tindakan yang
menyimpulkan kesediaan; seperti tanda terima aplikasi, pemberian nomor,
memberikan rekam medis, dan lain-lain. Dengan kata lain terapi hubungan juga
membutuhkan kesediaan para dokter. Hal ini sesuai dengan prinsip berdasarkan
kesepakatan dan kontrak. 1,4

c. Syarat hubungan hukum antara dokter dan pasien,yaitu 1,4,7

1) Setuju mereka terikat sendiri (toestemming van die zich degeneration verbinden)

Secara hukum, perjanjian yang dimaksud adalah tidak adanya kesalahan, atau
paksaan, atau penipuan (Pasal 1321). Kitab Hukum Perdata). Perjanjian dilihat dari
rumusan aslinya berarti persetujuan (toestemming) dari mereka yang mengikatkan
diri. Terjadinya perjanjian tersebut, terkait dengan Pasal 1320 KUHPerdata,
merupakan saat terjadinya kesepakatan antara dokter dan pasien ketika pasien
menyatakan keluhannya dan menanggapinya oleh seorang dokter.

2) Kemampuan untuk menciptakan keterlibatan (bekwaamheid om te gaan aan eene


verbintenis)

6
Secara hukum, yang dimaksud dengan kemampuan membuat komitmen adalah
kemampuan seseorang untuk mengikatkan diri, karena itu tidak dilarang oleh
undang-undang. Hal ini berdasarkan Pasal 1329 dan 1330 KUHPerdata. Menurut
Pasal 1329 KUHPerdata bahwa setiap orang berwenang membuatkomitmen, jika
demi hukum dinyatakan tidak cakap. Kemudian, dalam Pasal 1330 Kitab Perdata
Undang-undang, disebutkan orang-orang yang dinyatakan tidak cakap adalah anak
di bawah umur, mereka yang ditempatkan di bawah perwalian, para wanita,
menurut ketentuan yang ditetapkan oleh hukum dan pada umumnya semua orang
yang kepadanya

hukum telah melarang perjanjian-perjanjian tertentu yang dibuat. Berdasarkan


kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa, kecakapan bertindak merupakan
kewenangan bersama untuk mengikat sendiri, sedangkan wewenang adalah
wewenang perbuatan khusus. Artinya, kekurangan hanya menghambat orang untuk
melakukan perbuatan hukum tertentu, dan yang dinyatakan tidak mampu adalah
orang yang pada umumnya tidak kompeten untuk bertindak. Dengan kata lain,
orang yang tidak cakap bertindak adalah orang yang tidak memiliki kewenangan
hukum, karena orang yang cakap bertindak pada umumnya berkompeten untuk
bertindak kecuali pada peristiwa-peristiwa tertentu ketika mereka tidak dapat
melakukan perbuatan hukum dan tidak mampu untuk menutup perjanjian tertentu
secara sah.

3) Hal-hal tertentu (een bepaald onderwerp)

Hal-hal tertentu yang dapat dikaitkan dengan objek perjanjian/transaksi adalah


penyembuhan terapeutik upaya. Oleh karena itu objeknya adalah upaya
penyembuhan, hasil yang diperoleh dari pencapaian upaya ini tidak dapat atau
tidak boleh dijamin oleh dokter. Selain pelaksanaan upaya pertolongan itu tidak
hanya bergantung pada keseriusan dan keahlian para dokter dalam
menjalankannya tugas profesional, tetapi banyak faktor lain ikut bermain, seperti

7
resistensi pasien terhadap obat tertentu, tingkat keparahan penyakit dan peran
pasien dalam menjalankan perintah dokter demi kepentingan pasien itu sendiri.

4) Alasan yang sah (geoorloofde oorzaak)

Pasal 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa alasan apapun dilarang, jika dilarang
oleh undang-undang atau jika: bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban
umum. Dengan demikian, alasan yang sah adalah alasan yang tidak dilarang oleh
hukum, kesusilaan atau ketertiban umum, sedangkan penyebab adalah tujuan.

2. Penyebab Perselisihan antara Dokter dan Pasien di Rumah Sakit1,4,7

a. Kesadaran masyarakat dan pasien akan haknya di bidang pelayanan kesehatan


semakin meningkat, sehingga lebih sensitif dan lebih kritis untuk menuntut hak-
hak mereka.

b. Pada umumnya ketidakpuasan pasien dan keluarga pasien terhadap pelayanan


dokter disebabkan oleh harapan mereka tidak dapat dipenuhi oleh dokter, atau
dengan kata lain ada kesenjangan antara harapan pasien dengan kenyataan yang
diperoleh pasien. Itu pasien sebagai penerima pelayanan dokter memiliki harapan
dan besarnya harapan ini tergantung pada pengalaman pribadi, dan juga tergantung
pada informasi tentang perawatan dokter yang pernah ada didengar, dilihat atau
dibaca. Harapan itu masih melekat di benak pasien, ketika berhadapan dengan
dokter. Harapan pasien ini meningkat jika pasien pernah membaca, melihat di
televise pertunjukan atau film tentang bagaimana dokter yang baik bekerja dengan
pengabdian. Kesenjangan besar antara harapan pasien dengan fakta yang diperoleh
sesudahnya merupakan faktor predisposisi, tetapi Sumber konflik yang sebenarnya
dapat disebabkan oleh adanya perbedaan persepsi (mis sifat dan tujuan upaya
medis), komunikasi yang ambigu (misalnya, istilah tertentu memiliki arti yang

8
berbeda untuk individu yang berbeda) dan gaya individu orang tersebut (mis sikap
arogan dokter atau temperamen pasien)

c. Sebagian besar konflik disebabkan oleh masalah komunikasi dan persepsi. Sejauh
ini, orang menganggap bahwa tindakan medis yang dilakukan oleh dokter adalah
satu-satunya variabel yang dapat mempengaruhi kesehatan seseorang, sehingga
malapetaka yang dimaksud adalah kualitas upaya medis. Contoh paling nyata
terlihat pada kasus Nurdin yang merupakan pasien menjalani operasi mata di
sebuah rumah sakit di Sukabumi. Perawat yang ditugaskan untuk
menginformasikan tentang operasi telah melakukan penugasan, sehingga
kemudian pasien setuju, tetapi istilahnya "operasi" yang ditangkap secara berbeda
oleh pasien. Akibatnya, ketika kain kasa dibuka, Nurdin berteriak saat melihat
matanya yang sakit sudah tidak pada tempatnya karena itu ia menggugat dokter.
Untungnya, hakim yang mengadili kasusnya bersedia menerima pembelaan
hukum (secondary defense) yang diajukan oleh dokter, karena apa dilakukan
semata-mata dalam rangka tindakan darurat (emergency care) guna
menyelamatkan mata sehat berdasarkan teori Sympatico optalmia.

d. Beberapa konflik disebabkan oleh kelalaian dokter pada saat perawatan medis
upaya, sebagai contoh kain kasa tertinggal di dalam tubuh pasien dan melukai
organ selain apa yang dirawat (saluran ureter terpotong dalam operasi perut).
Dapat disimpulkan bahwa konflik antara dokter dan pasien tidak selalu dapat
diartikan sebagai tindakan malpraktik. Kebanyakan dari mereka adalah karena
salah persepsi atau kesalahpahaman karena komunikasi yang tidak berfungsi
dengan baik. Oleh karena itu, peran Dokter Indonesia Asosiasi sebagai organisasi
profesi dan organisasi konsumen yang mewakili kepentingan pasien diperlukan
untuk menyelesaikan konflik, atau setidaknya, dapat berperan dalam skrining
untuk konflik yang belum menjadi alasan substantif dihadapan hukum.1

9
Beberapa contoh kasus yang pernah terjadi dalam hal ini ini dikota Semarang.
Semarang pada periode awal tahun 2010 – 2012 terdapat 35 kasus sengketa medik
antaradokter dan pasien yang diajukan oleh direktur rumah sakit, dengan rincian
15 kasus medis sengketa yang terjadi di Rumah Sakit Pendidikan dan Rumah Sakit
Pemerintah dan 20 kasus medis sengketa yang terjadi di Rumah Sakit Swasta di
Semarang diambil sebagai sampel. Kasus yang dipilih sebagai sampel sebagian
besar disebabkan oleh kesalahpahaman pasien atau keluarga pasien tentang hasil
pelayanan medis yang dilakukan oleh dokter 9

3. Bagaimana peran mediasi antara dokter dan pasien dalam penyelesaian sengketa
medik?

Ada banyak alasan penyebab terjadinya sengketa medis. Menurut Zeng et al


penyebab utama perselisihan medis adalah komunikasi yang tidak tepat (24,0%)
keterampilan terapeutik yang lebih rendah (43,7%) di rumah sakit . 10 Sedangkan
Wang et al menyatakan bahwa penyebab utama ketidaksepakatan adalah:
perbedaan pendapat tentang tanggung jawab (misalnya, pasien akan meminta
rumah sakit untuk mengambil tanggung jawab utama atau semua tanggung jawab
atas hasil medis yang tidak memuaskan) (54%), keterampilan dokter atau perawat
(27%) dan ketidakpuasan dengan perawatan dan pengobatan (7%). Sementara
kecelakaan medis (cedera medis yang tidak terduga dan tidak disengaja, biasanya
karena kondisi dan keterampilan medis yang terbatas) (5%) dan masalah
manajemen rumah sakit (4%), dan kurangnya persetujuan (3%) merupakan
sebagian kecil kasus. -kasus. Pengaduan yang diterima terhadap praktisi kesehatan
meningkat dari sekitar 2.000 hingga puncaknya sekitar 2.650 pada 2013-2014.

9
Repository.undaris.ac.id. 2022. [online] Available at: <http://repository.undaris.ac.id/438/2/Medical
%20Dispute%20between%20Doctor%20and%20Patient%20in%20Medical%20Service%20Effort
%20in%20Hospital%20in%20Semarang%2C%20Indonesia.pdf> [Accessed 8 May 2022].
10
Zeng, Y., Zhang, L., Yao, G., & Fang, Y. (2018). Analysis of current situation and influencing factor
of medical disputes among different levels of medical institutions based on the game theory in Xiamen
of China A cross-sectional survey. Medicine (United States), 97(38).
https://doi.org/10.1097/MD.0000000000012501

10
Sebagian besar keluhan terkait dengan layanan medis 50-60 persen dari kasus,
diikuti oleh sikap staf (20%) dan prosedur administrasi (17%). 11 Konflik tersebut
telah mengakibatkan tuntutan hukum bagi petugas. Menurut "Buku Tahunan
Statistik Kesehatan China yang tercatat pada tahun 2016", jumlah dokter di China
adalah 2,65 juta, dan dari jumlah tersebut, jumlah gugatan malpraktik adalah
21.480. Diperkirakan setiap 123 dokter memiliki satu gugatan malpraktik pada
tahun 2016, menurut Lum (2017) dalam (Khan et al., 2020), disebutkan bahwa
pada tahun 2014-2015 terjadi sekitar 3.526 kasus kelalaian medis, dan dilaporkan
ke Unit Keselamatan Pasien ke Kementerian Kesehatan .12 Zeng et al menyatakan
bahwa 896 kasus perselisihan medis terjadi dari tahun 2012 hingga 2014. Konflik
antara profesional dan pasien telah menyebabkan beberapa kerugian ,gambaran
campuran biaya ekonomi litigasi dan biaya sosial litigasi adalah contoh yang
paling umum.13 Berdasarkan laporan yang dibuat pada tahun 2013, di Amerika
Serikat, biaya litigasi diperkirakan sebesar 2,4% dari total pengeluaran perawatan
kesehatan nasional. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 30% sampai 45% dari uang
yang terlibat dalam klaim dikembalikan ke penggugat. Biaya sosial dapat
mencakup hilangnya kepercayaan, kepercayaan dan rasa hormat terhadap profesi
medis dan informasi rahasia dalam litigasi medis. Dalam rekam medis pasien
untuk umum.1

Mediasi merupakan salah satu metode Alternative Dispute Resolution (ADR) yang
digunakan dalam penetapan klaim malpraktik kesehatan. Ini mengacu pada proses
sukarela dan rahasia di mana para pihak berusaha menemukan solusi praktis untuk

11
Wang, M., Liu, G. G., Zhao, H., Butt, T., Yang, M., & Cui, Y. (2020). The role of mediation in
solving medical disputes in China. BMC Health Services Research, 20(1), 1–11.
https://doi.org/10.1186/s12913-020-5044-7
12
Khan, H. A., Bastiampillai, A., & Mon, S. W. (2020). Mediation as a suitable dispute resolution
method in medical negligence cases: Special reference to the Malaysian position. Pertanika Journal
of Social Sciences and Humanities, 28(3), 2309–2323
13
Widjaja, G. (2020). Mediation as Toll to Settle Medical Disputes; Indonesian Case. 472(Adric
2019), 37–39. https://doi.org/10.2991/assehr.k.200917.009

11
Meninjau perselisihan mereka (Cheng & le Roux-Kemp, 2017). 14 Sedangkan Li et
al mengatakan bahwa mediasi adalah proses penyelesaian konflik secara sukarela
dan rahasia di mana ketiga pihak netral, yaitu mediator, bekerja sama dengan para
pihak untuk mencari solusi yang disepakati bersama atas sengketa yang sedang
dihadapi. Ini berguna ketika hubungan antara para pihak tegang, dan komunikasi
langsung menemui jalan buntu. Dalam gugatannya, jenis mediasi ditujukan untuk
beberapa kasus, antara lain pembedahan (46,2%), pengobatan (21,0%), dan
diagnostik (13,9%). Dalam gugatan yang dinilai, jenis efek samping yang paling
umum adalah pembedahan (39,3%), pengobatan (19,1%), dan diagnostik (18,6%).
Kematian adalah hasil yang paling umum di kedua tuntutan hukum yang dimediasi
(32,7%) dan tuntutan hukum yang diadili (41,1%). Cedera permanen adalah hasil
paling umum berikut di kedua tuntutan hukum yang dimediasi (24,8%) dan
tuntutan hukum yang diputuskan (29,1%).4 untuk penelitian terbaru, mediasi
mengungkapkan 75% sampai 90% keberhasilan dalam menghindari litigasi,
$50.000 dalam penghematan biaya per klaim, dan tingkat kepuasan 90% di antara
penggugat dan tergugat.15 Waktu penyelesaian secara signifikan lebih pendek
untuk gugatan mediasi dibandingkan dengan tuntutan hukum di pengadilan (untuk
mediasi, rata-rata = 13 bulan (399 hari); untuk putusan, rata-rata = 27 bulan (817
hari); p <0,001). Tujuh puluh lima persen dari tuntutan hukum yang dimediasi
membutuhkan waktu 16 bulan atau kurang untuk diselesaikan, sementara 75%
keputusan membutuhkan waktu 17 bulan atau lebih untuk diselesaikan .4 Seabury
dkk. melaporkan bahwa rata-rata, dokter di Amerika Serikat menghabiskan hampir
11% dari 40 tahun karir mereka dengan klaim malpraktik yang terbuka dan tidak
terselesaikan - klaim besar membutuhkan 4,93 tahun untuk diselesaikan di luar
pengadilan dan 6,50 tahun untuk keputusan pengadilan, sementara tuntutan hukum
14
Cheng, K. K., & le Roux-Kemp, A. (2017). Mediation and resolving disputes involving emergency
nurses in Hong Kong: A legal empirical inquiry. Hong Kong Law Journal, 47(February), 763–791.

15
Sohn, D. H., Sonny Bal, B., & Bal, S. B. (2012). Medical malpractice reform: The role of
alternative dispute resolution. Clinical Orthopaedics and Related Research, 470(5), 1370–1378.
https://doi.org/10.1007/s11999-011-2206-2

12
mediasi dan penilaian dalam sistem kami. Menurut hasil penelitian (Cheng & le
Roux-Kemp, 2017) pada saat survei pada bulan November 2015, masing-masing
55 dan 80 perawat gawat darurat berpraktik di Rumah Sakit Lantau Utara dan
Rumah Sakit Princess Margaret. Sebanyak 22 ENP berlatih diidentifikasi dalam 5
AED yang berbeda. 77 Selama periode pengumpulan data, 76 kuesioner diisi dan
dikembalikan dari AED Rumah Sakit Lantau Utara dan Rumah Sakit Princess
Margaret, sementara 14 ENP ikut serta dalam penelitian. Oleh karena itu, total 90
kuesioner diselesaikan, dan tingkat respons keseluruhan adalah sekitar 57 persen.
82 persen peserta percaya bahwa proses itu membantu menyelesaikan perselisihan
perawatan kesehatan. Dalam sampel ini, perawat secara konsisten melaporkan
bahwa mediasi "membantu dalam mengklarifikasi masalah emosi" (= 88 persen),
dapat menawarkan kesempatan untuk "menjelaskan posisi masing-masing" (= 82
persen) dan dapat memberikan "kerahasiaan untuk dijelajahi dan diselesaikan" (=
85 persen). Mayoritas peserta (= 93 persen) percaya bahwa privasi itu penting
dalam penyelesaian sengketa mungkin karena membatasi efek buruk dari
publisitas negatif dan akan membantu melindungi reputasi mereka. 14 Wang et al.
(2020) menyatakan bahwa di antara kasus-kasus yang dianalisis, 1995 (41%)
diselesaikan dengan kesepakatan melalui mediasi, 1030 ditutup dengan
rekonsiliasi, 559 ditutup dengan merujuk ke pengadilan, dan 1017 kasus ditarik
setelah mediasi. Lima ratus lima kasus Yinao diselesaikan dengan bantuan
mediator, mediasi menyelesaikan sekitar 90% perselisihan medis di bawah
mekanisme saat ini, sementara lebih banyak dukungan polisi diperlukan untuk
menangani Yinao. Dengan kompensasi mediasi rata-rata sekitar CNY 60,200 dan
rata-rata lama mediasi 87 hari.11

Semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai resolusi dan lebih banyak
uang yang diklaim oleh pasien dikaitkan dengan tingkat keberhasilan resolusi yang
lebih rendah (p <0,01) dan tingkat kompensasi yang lebih tinggi (p <0,01). Di
Indonesia. Mediasi selain diperintahkan oleh undang-undang, peraturan

13
perundang-undangan dan peraturan lainnya. Mediasi menemukan landasannya
dalam budaya lokal Indonesia. Penulis sangat menyarankan untuk menggunakan
mediasi sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa medis di Indonesia
dikarenakan menjujung tinggi sikap “win-win solution” yang hasil keputusannya
dianggap dapat memuaskan parapihak yang berselisih . 1,8, 13,16

Kesimpulan

1. Hubungan hukum antara dokter dan pasien terjadi ketika pasien menyatakan
perasaannya

keluhan dan ditanggapi oleh dokter. Di sini, meskipun tidak ada kesepakatan
tertulis, tetapi tersirat oleh pergerakan apa yang disebut persetujuan tersirat
dianggap sebagai menanggapi keluhan pasien.

2. Penyebab perselisihan antara dokter dan pasien

a. Kesenjangan antara harapan konsumen pelayanan kesehatan dengan kenyataan


yang diterima.

b. Besarnya perbedaan persepsi sebagian besar masyarakat yang menggunakan jasa


pelayanan kesehatan hasil pelayanan medis. Mereka tidak mengerti bahwa objek
pertunangan antara dokter dan pasien adalah inspaningsverbintenis, suatu
kewajiban usaha yang dilakukan secara hati-hati. Mereka menganggap hasil
akhirnya akan menuntut dokter untuk menyebutnya malpraktik.

c. Kesalahpahaman antara dokter dan pasien karena pasien tidak mengerti istilah
medisnya, tapi enggan bertanya karena malu.

d. Kelalaian dokter pada saat memberikan pelayanan medis.

16
Susanto, H., & Nursyamsu, N. (2017). IMPLEMENTASI PERMA NOMOR 1 TAHUN 2016
TENTANG PROSEDUR MEDIASI. Bilancia: Jurnal Studi Ilmu Syariah Dan Hukum, 11(2), 299–
324. https://doi.org/10.24239/blc.v11i2.308

14
3. Mediasi merupakan salah satu alternatif metode penyelesaian sengketa medis.
Mediasi cocok sebagai metode, metode dan alat terbaik untuk menyelesaikan
sengketa medis Mediasi dapat membantu secara substansial mengurangi konflik
antara dokter dan pasien untuk menghindari litigasi, sehingga menghemat waktu
dan uang bagi kedua belah pihak. Mediasi menyelesaikan perselisihan dan
menjaga kepercayaan dalam hubungan dokter-pasien.

Saran

a. Dokter dalam menjalankan tugas profesionalnya tidak boleh menjamin hasil


pengobatan.

b. Pasien untuk lebih memahami bahwa hubungan hukum antara dokter dan pasien
melahirkan aspek hukum hubungan inspanningsverbintenis karena objek
hukumnya adalah upaya maksimal yang dilakukan oleh dokter secara cermat dan
penuh ketegangan berdasarkan ilmunya untuk menyembuhkan pasien. Jadi, tidak
menjanjikan hasil yang pasti.

c. Penyelesaian sengketa medis antara dokter dan pasien lebih diutamakan melalui
mediasi lewat

komite medis rumah sakit dan penyelesaian melalui pengadilan adalah upaya
terakhir.

Kesimpulan

Mediasi cocok sebagai metode, metode dan alat terbaik untuk menyelesaikan
sengketa medis Mediasi dapat membantu secara substansial mengurangi konflik
antara dokter dan pasien untuk menghindari litigasi, sehingga menghemat waktu dan
uang bagi kedua belah pihak. Mediasi menyelesaikan perselisihan dan menjaga
kepercayaan dalam hubungan dokter-pasien

15
Daftar pustaka

jurnal

Supeno, S. (2019). Kajian Yuridis Penyelesaian Sengketa Medik di Indonesia. Wajah Hukum, 3(2),
200. https://doi.org/10.33087/wjh.v3i2.67

Ardinata, M. (2020). Tanggung Jawab Negara terhadap Jaminan Kesehatan dalam Perspektif Hak
Asasi Manusia (HAM). Jurnal HAM, 11(2), 319. https://doi.org/10.30641/ham.2020.11.319-332

Hidayat, R. (2017). HAK ATAS DERAJAT PELAYANAN KESEHATAN YANG OPTIMAL.


Syariah Jurnal Hukum Dan Pemikiran, 16(2), 127. https://doi.org/10.18592/sy.v16i2.1035

Lee, D. W., & Lai, P. B. (2015). The practice of mediation to resolve clinical, bioethical, and medical
malpractice disputes. Hong Kong Medical Journal, 560–564. https://doi.org/10.12809/hkmj154615

Trisnadi, S. (2017). PERLINDUNGAN HUKUM PROFESI DOKTER DALAM PENYELESAIAN


SENGKETA MEDIS. Jurnal Pembaharuan Hukum, 4(1), 24. https://doi.org/10.26532/jph.v4i1.1656

Amirthalingam, K. (2017). Medical dispute resolution, patient safety and the doctor-patient
relationship. Singapore Medical Journal, 58(12), 681–684. https://doi.org/10.11622/smedj.2017073

Amar, C. (2021). Deal Mediation: The Future of Alternative Dispute Resolution. Konfliktdynamik,
10(2), 144–150. https://doi.org/10.5771/2193-0147-2021-2-144

Silaen, D. J. A., & Alferraly, I. (2019). Hubungan komunikasi efektif dokter-pasien terhadap tingkat
kepuasan pasien dalam pelayanan medik. Intisari Sains Medis, 10(2).
https://doi.org/10.15562/ism.v10i3.387

Zeng, Y., Zhang, L., Yao, G., & Fang, Y. (2018). Analysis of current situation and influencing factor
of medical disputes among different levels of medical institutions based on the game theory in Xiamen
of China A cross-sectional survey. Medicine (United States), 97(38).
https://doi.org/10.1097/MD.0000000000012501

Wang, M., Liu, G. G., Zhao, H., Butt, T., Yang, M., & Cui, Y. (2020). The role of mediation in solving
medical disputes in China. BMC Health Services Research, 20(1), 1–11.
https://doi.org/10.1186/s12913-020-5044-7

Khan, H. A., Bastiampillai, A., & Mon, S. W. (2020). Mediation as a suitable dispute resolution
method in medical negligence cases: Special reference to the Malaysian position. Pertanika Journal of
Social Sciences and Humanities, 28(3), 2309–2323

Widjaja, G. (2020). Mediation as Toll to Settle Medical Disputes; Indonesian Case. 472(Adric 2019),
37–39. https://doi.org/10.2991/assehr.k.200917.009

Cheng, K. K., & le Roux-Kemp, A. (2017). Mediation and resolving disputes involving emergency
nurses in Hong Kong: A legal empirical inquiry. Hong Kong Law Journal, 47(February), 763–791.

16
Sohn, D. H., Sonny Bal, B., & Bal, S. B. (2012). Medical malpractice reform: The role of alternative
dispute resolution. Clinical Orthopaedics and Related Research, 470(5), 1370–1378.
https://doi.org/10.1007/s11999-011-2206-2

Susanto, H., & Nursyamsu, N. (2017). IMPLEMENTASI PERMA NOMOR 1 TAHUN 2016
TENTANG PROSEDUR MEDIASI. Bilancia: Jurnal Studi Ilmu Syariah Dan Hukum, 11(2), 299–
324. https://doi.org/10.24239/blc.v11i2.308

Internet

Repository.undaris.ac.id. 2022. [online] Available at: <http://repository.undaris.ac.id/438/2/Medical


%20Dispute%20between%20Doctor%20and%20Patient%20in%20Medical%20Service%20Effort
%20in%20Hospital%20in%20Semarang%2C%20Indonesia.pdf> [Accessed 8 May 2022].

17

Anda mungkin juga menyukai