Anda di halaman 1dari 5

ESSAY

Tentang

Dokter sebagai ahli

Di Susun Oleh :
Nama : Ni Nyoman Sulindri Intan Sari
NIM : 018.06.0065
Kelas :A
Blok : Elekeif (Hukum Kesehatan)
Dosen : dr. I Nyoman Dwija Putra Sp.B (K) BD. MH.FISA.
FICS
FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR

2020 / 2021
PROBLEM ETIKA DALAM PRAKTEK MEDIS

Saat ini etika kedokteran telah banyak dipengaruhi oleh perkembangan dalam hak asasi
manusia. Di dalam dunia yang multikultural dan pluralis, dengan berbagai tradisi moral yang
berbeda, persetujuan hak asasi manusia internasional utama dapat memberikan dasar bagi etika
kedokteran yang dapat diterima melampaui batas negara dan kultural. Lebih dari pada itu, dokter
sering harus berhubungan dengan masalah-masalah medis karena pelanggaran hak asasi
manusia, seperti migrasi paksa, penyiksaan, dan sangat dipengaruhi oleh perdebatan apakah
pelayanan kesehatan merupakan hak asasi manusia karena jawaban dari pertanyaan ini di
beberapa negara tertentu akan menentukan siapakah yang memiliki hak untuk mendapatkan
perawatan medis(Forensik & Pidana, 2019).

Dari pengamatan dan pengalaman sehari-hari kita melihat bahwa pada umumnya
sebagian besar rencana dokter yang dipandu oleh etika kedokteran untuk melakukan yang terbaik
kepada pasien berjalan selaras dengan kebutuhan dan pemahaman pasien akan kebutuhan
tersebut. Oleh karenanya sebagian besar praktik seperti yang direncanakan oleh dokter dapat
berlangsung dengan baik. Namun tidak jarang terdapat konflik antara rencana dokter di satu sisi
dengan pendapat dan preferensi pasien di lain sisi. Bila hal ini terjadi maka dokter sebagai pihak
yang paling berperan dalam praktik kedokteran harus memahami dan merujuk kembali pada hal-
hal yang berkaitan dengan etika praktik, termasuk hak-hak pasien yang perlu
dihormati(Darmadipura et al. & Juneman, 2013).

Masalah etika dalam praktik dapat timbul sejak masa sebelum konsepsi (misalnya
pemeriksaan genetika pranikah) sampai dengan saat-saat terakhir dokter merawat pasien
menjelang ajal (termasuk kapan harus menghentikan pengobatan), atau bahkan saat seorang
pasien telah meninggal (misalnya masalah donor organ). Pada umumnya kontrak antara pasien
dan dokter dimulai dengan wawancara antara dokter dengan pasien. Selain mendengar keluhan
dan riwayat penyakitnya, pada kesempatan tersebut dokter harus dapat menangkap apa maksud
pasien berkonsultasi, dengan kata lain dokter harus mengerti benar harapan pasien. Bila dokter
menyanggupi untuk memenuhi harapan pasien, maka kontrakpun terjadilah. Dalam tahapan ini
dokter secara implisit menyatakan bahwa ia mempunyai kompetensi untuk mengatasi masalah
pasien, dan ia bersedia untuk memberikan pelayanan terbaik dan etis. Di lain sisi pasien juga
berkewajiban untuk bekerja sama dengan dokter, dalam arti mengikuti petunjuk atau instruksi
dokter yang berkaitan dengan tindakan atau pengobatan yang telah dijelaskan dan disetujui
sebelumnya (Sundoro et al., 2017).

Sebagai tenaga profesional dokter harus senantiasa mendasarkan tugasnya pada


profesionalisme yang dapat dipandang memiliki dimensi kompetensi, akuntabilitas, altruisme,
kolegialitas, serta etika. Tiap dimensi tersebut dapat diuraikan menjadi komponenkomponen
yang relevan. Dalam etika hubungan dokter-pasien, terdapat 4 hal utama atau asas yang menjadi
landasan bagi dokter, yakni asas beneficence, non-maleficence, justice, dan autonomy Meskipun
asas-asas tersebut tampak sederhana dan mudah dimengerti, namun penerapannya dalam praktik
tidak jarang menimbulkan konflik, dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks;
lebih-lebih bila diingat bahwa tidak semua praktik kedokteran didasarkan pada evidence yang
kuat (Pelayanan Medis Sehari-Hari, 2014)

Meskipun asas-asas tersebut tampak sederhana dan mudah dimengerti, namun


penerapannya dalam praktik tidak jarang menimbulkan konflik, dari yang paling sederhana
sampai yang paling kompleks; lebih-lebih bila diingat bahwa tidak semua praktik kedokteran
didasarkan pada evidence yang kuat. dinyatakan sebagai praktik yang tidak etis, karena:5 1. Asas
beneficence (menguntungkan) tidak terpenuhi karena tidak terdapat evidence yang valid bahwa
tindakan tersebut bermanfaat. 2. Asas non-maleficence (tidak merugikan) juga tidak dipenuhi
karena tindakan bedah, bagaimanapun kecilnya, menyebabkan rasa sakit dan membawa potensi
risiko terjadinya efek samping, misalnya perdarahan, infeksi, atau reaksi alergi akibat obat
anestsi. 3. Asas justice (keadilan) tidak terpenuhi karena di luar kehendaknya bayi telah dirampas
bagian tubuhnya yang utuh dan masih berfungsi. 4. Asas autonomy (autonomi) jelas tidak
dipenuhi oleh karena izin untuk melakukan sirkumsisi tidak diberikan oleh bayi, melainkan
secara ’proxy’ oleh orangtuanya(Darmadipura et al. & Juneman, 2013).

Sehubungan dengan prinsip etis berupa manfaat atau keuntungan, perlu dirumuskan
secara akurat dan kontekstual dalam mendefinisikan “keuntungan” (benefit; apakah misalnya
berbentuk penyediaan layanan kesehatan yang sebelumnya tidak ada, pembangunan kapasitas
individu dan kelembagaan, akses terhadap intervensi kesehatan masyarakat, dan sebagainya),
“penerima keuntungan” (beneficiaries), dan cakupan kewajiban untuk memberikan keuntungan
tersebut. Urgensi ini didasarkan atas kenyataan bahwa berbagai pedoman etis penelitian berbeda-
beda dalam menekankan batasan atau definisi “keuntungan” bagi partisipan penelitian. Beberapa
peneliti dapat berpangkal dari pertanyaan penelitian yang serupa, namun pada konteks sosial
yang berbeda, kesimpulan penelitian dapat sangat berbeda atas pertimbangan aspek
“keuntungan”, “penerima keuntungan”, dan “cakupan kewajiban” tersebut(RAHMAN &
SAKKA, 2017).

Pembukaan praktik ilegal.Bagi calon dokter atau bidan yang ingin mendapatkan izin
membuka praktik pelanyanan kesehatan masyarakattidaklah mudah. Menurut beberapa sumber
yang didapat, bagi calon dokter syarat untuk mendapatkan Surat IzinPraktik (SIP) adalah lulus
uji kompetensi Ikatan Dokter Indonesia Pusat, dan mendapatkan Surat TandaRegistrasi dari
konsil kesehatan pusat (KKP). Setelah itu meminta rekomendasi IDI (Ikatan Dokter
Indonesia)setempat. Dengan berbagai persyaratan dan membutuhkan waktu yang cukup lama,
maka beberapa calondokter melakukan secara instan yaitu membuka praktik tanpa surat izin
(praktik ilegal). Masyarkat banyak yangtidak mengerti akan hal itu, masyarakat hanya tahu jika
seorang dokter telah membuka praktik, maka doktertersebut telah memiliki izin.(Susanti, 2013).
Solusi :Untuk menghentikan semua prktik ilegal yang telah berjalan tidaklah mudah,
namun hal ini mungkin dapatmeminimalisir adanya praktik ilegal. Salah satu cara adalah dinas
kesehatan setempat melakukan pendataansemua lokasi pelayanan kesehatan yang terdapat
didaerahnya, kemudian meminta menunjukkan surat izinpraktik (SIP) yang asli pada setiap
pelayanan kesehatan untuk pendataan. Dan memverifikasi keabsahan SIPyang dimiliki. Hal ini
dapat dilakukan secara berkala, antara 6 bln 1 tahun sekali.2. Penjualan obat tanpa resep Ada
beberapa jenis obat yang dalam pembelian dan penggunaannya harus menggunakan resep dokter,
ada juga yang tidak. Tetapi dalam keadaan yang sebenarnya banyak toko obat atau apotek yang
menjual secarabebas obat yang seharusnya menggunakan resep dokter, dengan takaran dosis
yang tidak dapatdipertanggungjawabkan. Dalam kasus ini, ada beberapa masyarakat yang
menyadari akan pelanggarantersebut.Solusi :Pemerintah dan Dinas Kesehatan lebih memperketat
penjualan obat yang menggunakan resep dokter, salahsatunya dengan cara mengeluarkan
peraturan yang mengharuskan penggunaan resep dokter untuk obat-obatyang memang tercantum
informasi harus dengan resep dokter. Menindak tegas bagi yang melakukanpelanggaran tersebut.
Dinas kesehatan setempat secara berkala melakukan inspeksi mendadak (sidak) terhadaptoko-
toko obat dan apotek-apotek (Susanti, 2013).
Sumber:
Darmadipura et al., P. dr. M. S., & Juneman. (2013). Isu Etik Dalam Penelitian di Bidang
Kesehatan. http://www.aifi.or.id/jurnal/isu-etik-dalam-penelitian-di-bidang-kesehatan-
buku-aifi

Forensik, P. D., & Pidana, P. (2019). PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN
PERKARA PIDANA. 127–141.

Pelayanan Medis Sehari-Hari. (2004). 29.

RAHMAN, & SAKKA, A. (2017). Etika Dan Hukum Kesehatan. Euthanasia, September.

Sundoro, J., Sulaiman, A., Purwadianto, A., & Wasisto, B. (2017). Etika Kedokteran Indonesia.
Etika Kedokteran Indonesia, 1(1), 38.

Susanti, R. (2013). Peran Dokter sebagai Saksi Ahli Di Persidangan. Jurnal Kesehatan Andalas,
2(2), 101. https://doi.org/10.25077/jka.v2i2.133

Anda mungkin juga menyukai