Anda di halaman 1dari 14

Hubungan Dokter-Pasien dan Dokter-Sejawat

Julio Ludji Pau


102014183/ D1
Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6 Kebun Jeruk, Jakarta 11510

Pendahuluan
Permasalahan paling banyak yang diadukan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan ke
Konsil Kedokteran Indonesia adalah berkenaan dengan masalah komunikasi. Pasien
mengeluh soal dokter yang lebih banyak diam dan tidak memberikan penjelasan,
penggunaan istilah kedokteran yang tidak dipahami, hingga miskomunikasi antara dokter
dan pasien. Penyampaian informasi yang komunikatif terkait penyakit, tindakan yang akan
diambil, serta risiko yang timbul kepada pasien merupakan kewajiban dokter. Disisi lain
perdebatan soal kriminalisasi dokter versus resiko medis dimana ilmu kedokteran belum bisa
memahami, mencegah apalagi mengobati dan antisipasi apa yang dilakukan oleh praktisi
kedokteran dan saran pelayanan kesehatan, merupakan topik hangat yang tengah
dibicarakan. Untuk itu tentunya Dokter harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik.
Di dalam komunikasi yang baik terdapat juga etika terhadap teman sejawat yang
mengharuskan setiap dokter memelihara hubungan baik dengan teman sejwatnya sesuai
makna atau butir dari lafal sumpah dokter.1

Skenario 6
Seorang pasien bayi dibawa orangtuanya datang ke tempat praktek dokter A, seorang dokter
anak. Ibu pasien bercerita bahwa ia adalah pasien seorang dokter obsgyn B sewaktu
melahirkan dan anaknya dirawat oleh dokter anak C. Baik dokter B maupun C tidak pernah
mengatakan bahwa anaknya menderita penyakit atau cedera sewaktu lahir dan dirawat
disana. Sepuluh hari pasca lahir orangtua bayi menemukan benjolan di pundak kanan bayi.
Setelah diperiksa oleh dokter anak A dan pemeriksaan radiologi sebagai penunjangnya,
pasien dinyatakan menderita fraktur klavikula kanan yang sudah berbentuk khalus. Kepada
dokter A mereka meminta kepastian apakah benar terjadi patah tulang klavikula dan kapan
kira-kira terjadinya. Bila benar bahwa patah tulang terssebut terjadi sewaktu kelahiran,
mereka akan menuntut dokter B karena telah mengakibatkan patah tulang dan dokter C
karena lalai tidak dapat mendiagnosisnya. Mereka juga menduga bahwa dokter C kurang

1
kompoten sehingga sebaiknya ia merawat anaknya ke dokter A saja. Dokter A berpikir apa
yang sebaiknya ia katakan.

Aspek Hukum
Kelalaian medik juga dapat dimasukkan kedalam domain pidana, yaitu dengan
memanfaatkan pasal 359-360 KUHP yang mengancam seseorang dengan pidana apabila
melakukan kelalaianm sehungga mengakibatkan seseorang lain luka luka berat atau mati. 2
Ancaman pidana yang lebih berat diberikan kepada orang yang melakukannya dalam rangka
melakukan pekerjaan/pencahariannya. Bahkan orang tersebut dapat dicabut haknya dalam
melakukan aktivitasnya tersebut. Berikut merupakan dasar hukum penuntutan ganti rugi,
Pasal 55 UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan:
1. Setip orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan
tenaga kesehatan
Pasal 1365 KUH Perdata
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut.
Pasal 1366 KUH Perdata
Setiap orang bertanggung-jawa tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya,
tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatiannya
Pasal 1367 KUH Perdata
Seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri,
tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.
KUH Perdata Pasal 1371
Penyebab luka atau cacatnya sesuatu anggota badan dengan sengaja atau karena kurang hati-
hati memberikan hak kepada si korban untuk selain penggantian biaya-biaya penyembuhan,
menuntut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut. Juga
penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak,
dan menurut keadaan.

Prinsip Etika Kedokteran


2
Beauchamp and Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu keputusan
etik diperlukan 4 kaidah dasar moral (moral principle) dan beberapa rules dibawahnya.
Ke-4 kaidah dasar moral tersebut adalah:

a) prinsip otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama
hak otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral inilah yang
kemudian melahirkan doktrin informed consent.3 Pertama, setiap individu (pasien)
harus diperlakukan sebagai manusia yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan
nasib diri sendiri), dan kedua, setiap manusia yang otonominya berkurang atau
hilang perlu mendapatkan perlindungan.4,5
b) prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang
ditujukan ke kebaikan pasien.3 Selain menghormati martabat manusia, dokter juga
harus mengusahakan agar pasien yang dirawatnya terjaga keadaan kesehatannya
(patient welfare). Pengertian ”berbuat baik” diartikan bersikap ramah atau menolong,
lebih dari sekedar memenuhi kewajiban.4,5
 General beneficence :
- melindungi & mempertahankan hak yang lain
- mencegah terjadi kerugian pada yang lain,
- menghilangkan kondisi penyebab kerugian pada yang lain,
 Specific beneficence :
- menolong orang cacat,
- menyelamatkan orang dari bahaya.
c) prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien.3 Praktik Kedokteran haruslah memilih pengobatan
yang paling kecil risikonya dan paling besar manfaatnya. Pernyataan kuno: first, do
no harm, tetap berlaku dan harus diikuti. Sisi komplementer beneficence dari sudut
pandang pasien, seperti : tidak boleh berbuat jahat (evil) atau membuat derita (harm)
pasien dan minimalisasi akibat buruk.4,5
d) prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya.5 Perbedaan kedudukan
sosial, tingkat ekonomi, pandangan politik, agama dan faham kepercayaan,
kebangsaan dan kewarganegaraan, status perkawinan, serta perbedaan jender tidak
boleh dan tidak dapat mengubah sikap dokter terhadap pasiennya. Tidak ada
pertimbangan lain selain kesehatan pasien yang menjadi perhatian utama dokter.4,5

3
Sedangkan aturan turunannya adalah veracity (berbicara jujur, benar dan terbuka), privacy
(menghormat hak pribadi pasien), confidentiality (menjaga kerahasian pasien) dan fidelity
(loyalitas dan promise keeping).
Selain prinsip atau kaidah dasar moral diatas, yang harus dijadikan pedoman dalam
mengambil keputusan klinis, profesionalitas kedokteran juga mengenal etika profesi sebagai
panduan dalam bersikap dan berperilaku. Nilai-nilai dalam etika profesi tercermin dalam
sumpah dokter dan kode etik kedokteran. Sumpah berisi “kontrak moral” antara dokter
dengan Tuhan sang penciptanya, sedangkan kode etik kedokteran berisikan “kontrak
kewajiban moral” antara dokter dengan peer-groupnya yaitu masyarakat profesinya. Baik
sumpah dokter maupun kode etik kedokteran berisikan sejumlah kewajiban moral yang
melekat pada para dokter. Meskipun kewajiban tersebut bukanlah kewajiban hukum
sehingga tidak dapat dipaksakan secara hukum, namun kewajiban moral tersebut haruslah
menjadi “pemimpin” dari kewajiban dalam hokum kedokteran. Hukum kedokteran yang
baik haruslah hukum yang etis.1

Hubungan Dokter dan Pasien


Jenis hubungan dokter-pasien sangat dipengaruhi oleh etika profesi kedokteran, sebagai
konsekuensi dari kewajiban-kewajiban profesi yang memberikan batasan atau rambu-rambu
hubungan tersebut. Kewajiban-kewajiban tersebut tertuang di dalam prinsip-prinsip moral
profesi yaitu autonomy, beneficence, non maleficence, justice yang disebut sebagai prinsip
utama; dan veracity (kebenaran=truthfull information), fidelity (kesetiaan), privacy, dan
confidentiality (menjaga kerahasiaan) sebagai prinsip turunannya. Hubungan dokter dengan
pasien pada prinsipnya merupakan hubungan yang berdasarkan atas kepercayaan antara
keduanya. Pada awalnya hubungan dokter-pasien adalah hubungan yang bersifat
paternalistik dengan prinsip moral utama adalah beneicence. Sifat hubungan paternalistik ini
kemudian dinilai telah mengabaikan nilai otonomi pasien, dan dianggap tidak sesuai denga
perkembangan moral (orang barat) saat ini, sehingga berkembanglah teori kontraktual
(sekitar tahun 1972-1975).
Teori kontraktual ini muncul dengan merujuk kepada teori social contract dibidang politik.
Dokter akan mengemban tanggungjawab atas segala keputusan teknis sedangkan pasien
tetap memegang kendali keputusan penting, terutama yang terkait dengan nilai moral dan
gaya hidup pasien. Hubungan kontrak mengharuskan terjadinya pertukaran informasi dan
negosiasi sebelum terjadinya kesepakatan, namun juga memberi peluang kepada pasien

4
untuk menyerahkan pengambilan keputusan kepada dokter. Walaupun hubungan dokter-
pasien ini bersifat kontraktual, namun mengingat sifat praktek kedokteran yang berdasarkan
ilmu empiris, maka prestasi kontrak tersebut bukanlah hasil yang akan dicapai melainkan
upayanya yang sungguh-sungguh. Hubungan kontrak semacam ini harus dijaga dengan
peraturan perundang-undangan dan mengacu kepada suatu standar tertentu.
Hubungan kontrak mereduksi hubungan dokter-pasien menjadi “peraturan” dan “kewajiban”
saja, sehingga seorang dokter dianggap “baik” bila telah melakukan kewajiban dan
peraturan. Pada hubungan dokter-pasien yang virtue-based ethics (etika berdasar nilai
kebajikan/keutamaan) dirumuskan bahwa hubungan itu bertumbuh dan berkembang
sedemikian rupa sehingga tidak ada satupun ketentuan yang ditentukan pada permulaan
dapat menentukan masa depan. Baik dokter maupun pasien harus tetap berdialog untuk
menjaga berjalannya komunikasi dalam rangka mencapai tujuan bersama, yaitu
kesejahteraan pasien. Tentu saja dengan komunikasi yang baik tersebut membutuhkan
prinsip-prinsip moral diatas termasuk inform consent yang berasal dari prinsip autonomy.
Di Indonesia, sebagian dokter merasa tidak mempunyai waktu yang cukup untuk
berbincang-bincang dengan pasiennya, sehingga hanya bertanya seperlunya. Akibatnya,
dokter bisa saja tidak mendapatkan keterangan yang cukup untuk menegakkan diagnosis dan
menentukan perencanaan dan tindakan lebih lanjut. Tidak mudah bagi dokter untuk
menggali keterangan dari pasien karena memang tidak bisa diperoleh begitu saja. Perlu
dibangun hubungan saling percaya yang dilandasi keterbukaan, kejujuran dan pengertian
akan kebutuhan, harapan, maupun kepentingan masing-masing. Dengan terbangunnya
hubungan saling percaya, pasien akan memberikan keterangan yang benar dan lengkap
sehingga dapat membantu dokter dalam mendiagnosis penyakit pasien secara baik dan
memberi obat yang tepat bagi pasien. Komunikasi efektif mampu mempengaruhi emosi
pasien dalam pengambilan keputusan tentang rencana tindakan selanjutnya, sedangkan
komunikasi tidak efektif akan mengundang masalah.1

Hubungan Dokter dan Teman Sejawat


Menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) terdapat 4 kewajiban seorang dokter
dalam menjalani profesinya dan salah satunya itu adalah mengenai kewajiban terhadap
teman sejawat. Pasal-pasal dalam KODEKI yang mengatur mengenai kewajiban terhadap
teman sejawat adalah sebagai berikut:1

1. Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki
5
kekurangan dalam karakter atau kompetensi atau yang melakukan penipuan atau
penggelapan dalam menangani pasien.
2. Seorang dokter harus menghargai hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya dan hak
tenaga kesehatan lainnya dan harus menjaga kepercayaan pasien.
3. Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia ingin diperlakukan.
4. Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan
persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.
Berikut kewajiban dokter terhadap teman sejawat berdasarkan Kode Etik Kedokteran
Indonesia beserta penjelasan dan pedoman pelaksanaannya.
Pasal 14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.
Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan
Kawan-kawan seperjuangan merupakan suatu kesatuan aksi dibawah panjil perikemanusiaan
untuk memerangi penyakit yang merupakan salah satu pengganggu keselamatan dan
kebahagiaan umat manusia. Sejarah ilmu kedokteran penuh dengan peristiwa kejujuran,
ketekunan dan pengabdian yang mengharukan. Penemuan dan pengalaman yang baru
dijadianl milik bersama. Panggilan suci yang menjiwai hidup dan perbuatan telah
mempersatukan mereka dan menempatkan dokter pada satu kedudukanl terhormat dalam
masyarakat
Berhubungan dengan itu, maka Etik Kedokteran mengharuskan setiap dokter memelihara
hubungan baik dengan teman sejawatnya sesuai makna atau butir dari lafal sumpah dokter
yang mengisyaratkan perlakuan terhadap sejawatnya sebagai berikut : “Saya akan
perlakukan teman sejawat saya sebagai mana saya sendiri ingin diperlakukan” Hubungan
antara teman sejawat dapat menjadi buruk bukan karena perbedaan pendapat tentang cara
penanganan pasien, perselisihan mengenai cara mewakili teman sejawat yang cuti, sakit dan
sebagainya. Kejadian tesebut hendaknya diselesaikan secara musyawarah antar sejawat.
Kalau dengan cara demikian juga tidak terselesaikan, maka dapat diminta pertolongan
pengurus Ikatan Dokter Indonesia atau Majelis Kehormatan Etik Kedokteran untuk
menjelaskannya. Harus dihindarkan campur tangan dari pihak luar. Perbuatan sangat tidak
kolegial ialah mengejek teman sejawat dan mempergunjingkannya dengan pasien atau orang
lain tentang perbuatannya yang dianggap kurang benar. Mencermarkan nama baik teman
sejawat berarti mencemarkan nama baik sendiri, seperti kata pribahasa

6
“Menepuk air di dulang terpercik muka sendiri”. Sejawat senior wajib membimbing sejawat
yang lebih muda, terutama yang berada di bawah pengawasannya. Janganlah sekalipun juga
mengatakan di muka umum, bahwa ia baru lulus dan tidak mengetahui itu peraturan.
Pada umumnya masyarakat kita belum begitu memahami tentang hubungan yang begitu erat
antar dokter dengan dokter, sehingga mereka kadang-kadang melakukan sesuatu yang
cenderung mengadu domba. Tidak jarang terjadi seorang pasien mengunjungi dua atau tiga
dokter untuk penyakitnya, dan pada akhirnya memilih dokter yang dalam ucapan dan
perbuatannya sesuai dengan selera dan harapannya. Dengan sendirinya seorang dokter yang
mengetahui kejadian tersebut harus menasehatinya untuk tidak berbuat demikian, karena
dapat merugikan kepentingan sendiri dan dapat membahayakan kesehatannya. Janganlah
sekali-kali diberi kesempatan kepadanya untuk menjelekkan nama teman sejawat yang lebih
dulu menolongnya. Seorang dokter harus ikut mendidik masyarakat dalam cara
menggunakan jasa pelayanan kedokteran.
Seandainya seorang teman sejawat membuat kekeliruan dalam pekerjaannya, maka teman
sejawat yang mengetahui hal itu seyogyanya menasehatinya.
Dokter yang keliru harus menerima nasehat ataupun teguran dengan lapang dada asal
disampaikan dalam suasana persaudaraan. Jangan sekali-kali menjatuhkan seorang sejawat
dari kedudukannya apalagi menggunakan pihak lain. Sewaktu berhadapan dengan si sakit,
seorang dokter tidak boleh memperlihatkan bahwa ia tidak sepaham dengan teman
sejawatnya dengan menyindir, atau dengan sikap yang menjurus kearah demikian.
Untuk menjalin dan mempererat hubungan baik antara para teman sejawat, maka wajib
memperlihatkan hal-hal berikut :
1. Dokter yang baru menetap di suatu tempat mengunjungi teman sejawat yang telah
berada di situ. Hal ini tidak perlu dilakukan di kota-kota besar dimana banyak dokter
yang berpraktek, tetapi cukup dengan pemberitahuan tentang pembukaan praktek
baru itu kepada teman sejawat yang tinggal berdekatan.
2. Setiap dokter menjadi anggota Ikatan Dokter Indonesia yang setia dan aktif. Dengan
menghadiri pertemuan sosial dan klinik yang diselenggarakan, akan terjadi kontak
pribadi sehingga timbul rasa persaudaraan dapat berkembang dan penambahan ilmu
pengetahuan.
Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan
persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.

7
Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan
Biasanya kalau seseorang sudah percaya pada seorang dokter maka dokter tersebut akan
dicari terus walaupun jauh dari rumahnya. Di kota besar perkembangan pengetahuan umum
masyarakat maju dengan pesat. Penyakit dengan pengobatan bukan rahasia bagi umum yang
benar-benar mempelarinya. Juga karena diburu oleh keinginan untuk lebih efisien, orang
ingin segera sembuh. Oleh karena itu, banyak pasien yang walaupun baru berobat 1 hari tapi
belum sembuh, pada hari ke 2 telah ke dokter yang lain. Dalam hal seperti ini dokter ke 2
yang menerima tidak dapat dikatakan merebut pasien dari dokter pertama.
Seseorang yang telah kehilangan kepercayaan pada seorang dokter, tidak dapat dipaksa
untuk kembali mempercayainya. Dan kita paham akan hal ini.
Oleh karena itu, dokter lain yang kemudian menerima pasien yang bersangkutan harus
menasehatinya agar kembali ke dokter yang diperoleh dari dokter pertama untuk tiga hari
dan mengamati hasilnya. Sangatlah etis bila dokter yang kedua bila menerima pasien
sebagai pasiennya (sesuai hak asasinya) memberitahu dokter pertama.
Sangat tercela kalau kita malahan mengganti obat dari dokter pertama dan mencela
pengobatan dokter pertama di hadapan pasien, padahal belum sempat diamati efeknya dan
karena semata mendengar keluhan pasien yang tidak sabar dan terburu waktu.
Penggantian atau penghentian obat dapat dilakukan bila kita yakini bahwa pengobatan dari
dokter pertama memang nyata-nyata keliru, menimbulkan efek sampingan atau tidak
diperlukan lagi dan bijaksana jika dasarnya dikemukakan.

Dampak Pelanggaran Etika Kedokteran


Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar
norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggungjawaban (etik dan disiplin profesinya).
Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan
keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi yang menyidangkan
kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kalangan kedokteran. MKEK
dalam perjalanannya telah diperkuat dengan landasan hukum yang diatur dalam UU No.18
tahun 2002 tentang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Di kemudian hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), lembaga
yang dimandatkan untuk didirikan oleh UU No.29/2004, akan menjadi majelis yang
menyidangkan dugaan/pelanggaran disiplin profesi kedokteran. MKDKI bertujuan
menegakkan disiplin dokter / dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran.
8
Domain atau yurisdiksi MKDKI adalah “disiplin pofesi”, yaitu permasalahan yang timbul
akibat dari pelanggaran seseorang professional atas peraturan internal profesinya, yang
menyimpangi apa yang diharapkan akan dilakukan oleh orang (professional) dengan
pengetahuan dan ketrampilan yang rata-rata. Dalam hal MKDKI dalam sidangnya
menemukan adanya pelanggaran etika, maka MKDKI akan meneruskan kasus tersebut
kepada MKEK. Proses persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan terpisah dari proses
persidangan gugatan perdata atau tuntutan pidana oleh karena domain dan jurisdiksinya
berbeda. Persidangan etik dan disiplin profesi dilakukan oleh MKEK IDI,sedangkan gugatan
perdata dan tuntutan pidana dilaksanakan di lembaga pengadilan di lingkungan peradilan
umum. Dokter tersangka pelaku pelanggaran standar profesi (kasus kelalaian medik) dapat
diperiksa oleh MKEK, dapat pula diperiksa dipengadilan tanpa adanya keharusan saling
berhubungan diantara keduanya. Seseorang yang telah diputus melanggar etik oleh MKEK
belum tentu dinyatakan bersalah oleh pengadilan, demikian pula sebaliknya.
Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota)
bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai
penuntut. Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem pembuktian
sebagaimana lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap
berupaya melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim.
Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh:
1. Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidativ), langsung dari pihak-pihak terkait
(pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di bidangnya
yang dibutuhkan.
2. Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah /
brevet dan pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat
Ijin Praktek Tenaga Medis, Perijinan Rumah Sakit tempat kejadian, bukti hubungan
dokter dengan Rumah Sakit, hospital by laws SOP dan SPM setempat, rekam medis,
dan surat-surat lain yang berkaitan dengan kasusnya.
Majelis etik ataupun disiplin umumnya tidak memiliki syarat-syarat bukti seketat pada
hukum pidana ataupun perdata. Bar’s Disciplinary Tribunal Regulation, misalnya,
membolehkan adanya bukti yang bersifat hearsay dan bukti tentang perilaku teradu di masa
lampau. Cara pemberian keterangan juga ada yang mengharuskan didahului dengan
pengangkatan sumpah, tetapi ada pula yang tidak mengharuskannya.
Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak dapat
dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam bentuk
9
permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli
di pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya
persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham
dengan putusan MKEK. Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI
Wilayah dan/atau Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk
SIP, eksekusinya diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah
dijalankan maka dokter teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan.

Dampak penuntutan
Sebenarnya banyaknya kasus penuntutan hukum kepada dokter yang diduga melakukan
kelalaian medik apabila dilakukan sesuai dengan proporsinya dapat diharapkan berperan
sebagai upaya menjaga mutu pelayanan kedokteran kepada masyarakat. Namun disisi lain,
penuntutan tersebut dapat menimbulkan berbagai dampak negatif. Besarnya tuntutan ganti
rugi yang semakin hari kian meningkat juga merupakan salah satu hal yang harus
diperhitungkan baik oleh para praktisi kedokteran maupun oleh penyelanggara negara.
Gugatan yang tidak dibatasi terutama kerugian immaterial akan cenderung mengakibatkan
semakin rumitnya lingkaran setan pelayanan kedokteran berbiaya tinggi. Demikian pula
gugatan ganti rugi melalui sidang pengadilan akan meningkatkan legal cost, akibat adanya
biaya proses persidangan, pengacara dan succes fee. Oleh karena itu WMA menganjurkan
kepada para ikatan dokter nasional untuk mencari jalan inovatif dalam menyelesaikan
tuntutan ganti rugi, seperti lebih memilih penyelesaian melalui arbitrase daripada melalui
pengadilan. Penuntutan juga mengakibatkan tekanan psikologis bagi para dokter yang
diduga melakukan kelalaian medis. Meskipun pembayaran ganti rugi dilakukan dengan
menggunakan uang pertanggungan asuransi profesi, namun peristiwa penuntutan tersebut
sudah mengakibatkan kegelisahan, depresi, perasaan bersalah dan kehilangan rasapercaya
diri dokter, karena nama baik dan reputasi dokter yang bermasalah tersebut dapat tercemar.
Para dokter yang pernah mengalami penuntutan akan menderita litigation stress syndrom
dengan derajat yang bervariasi. Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum
menganggap bahwa standar prosedur dan standar pelayanan medis dianggap sebagai domain
hukum, padahal selama ini profesi menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah
bagian dari sikap etis dan sikap professional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi
dapat dinilai sebagai pelanggaran etik profesi, disiplin profesi dan juga sekaligus
pelanggaran hukum.1

10
Malpraktek medis
Dari segi hukum, bahwa malpraktik dapat terjadi karena tindakan yang disengaja seperti
misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-mahiran /
ketidak-kompetenan yang tidak beralasan. Profesional misconduct yang merupakan
kesengajaan dapat dilakukan dalm bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin
profesi, hukum administratif, serta hukum pidana dan perdata, seperti melakukan
kesengajaan yang merugikan pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi
ilegal, euthanasia, keterangan palsu, berpraktek tanpa SIP, berpraktek diluar kompetensinya
sengaja melanggar standar, dll. Selain itu malpraktik juga dapat terjadi karena kelalaian.
Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa adanya malpraktik bukanlah dilihat dari hasil
tindakan medis pada pasien melainkan harus ditinjau dari bagaimana proses tindakan medis
tersebut dilaksanakan. Suatu hasil yang tidak diharapkan dibidang medik sebenarnya dapat
diakibatkan oleh beberapa kemungkinan yaitu:1
 Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan tindakan
medis yang dilakukan dokter
 Hasil dari suatu resiko yang tak dapat dihindari, yaitu resiko yang tak dapat diketahui
sebelumnya (unforeseeable) atau resiko yang meskipun telah diketahui sebelumnya
tetapi dianggap acceptable sebagaimana telah diuraikan diatas
 Hasil dari suatu kelalaian medik
 Hasil dari suatu kesengajaan

Solusi
Dalam kasus ini, langkah yang harus ditempuh oleh dokter A adalah harus sesuai dan
berdasar pada Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), dimana selain menghargai dan
melayani pasien dengan sebaiknya, juga menjaga hubungan yang baik dengan rekan
sejawatnya. Berikut hal yang bisa dilakukan Dokter A terkait skenario diatas.
1. Menjelaskan dengan rinci keadaan anaknya dan kemungkinan penyebab fraktur
Menjelaskan bahwa fraktur klavikula tersebut disebabkan oleh benturan ataupun
kompressi yang berkekuatan rendah sampai yang berkekuatan tinggi yang bisa saja
terjadi saat proses kelahiran tetapi bisa juga disebabkan oleh hal lain. Kita sebagai
dokter tidak bisa memutuskan dan menentukan apakah fraktur tersebut disebabkan
oleh proses kelahiran atau tidak. Jika fraktur tersebut disebabkan oleh proses
kelahiranpun banyak faktor yang berperan. Faktor tersebut antara lain faktor ibu,

11
faktor janin, dan keahlian penolong persalinan. Trauma saat lahir sebagian besar
akibat persalinan pervaginam yang sulit misalnya pada presentasi puncak kepala,
lengan yang tertahan pada kelahiran sungsang, distokia bahu, dan penggunaan
instrumen forsep dan ekstraksi vakum. Fraktur ini merupakan jenis yang tersering
pada bayi baru lahir,yang mungkin terjadi apabila terdapat kesulitan mengeluarkan
bahu pada persalinan. Hal ini dapat timbul pada kelahiran presentasi puncak kepala
dan pada lengan yang telentang pada kelahiran sungsang. Gejala yang tampak pada
keadaan ini adalah kelemahan lengan pada sisi yang terkena, krepitasi,
ketidakteraturan tulang mungkin dapat diraba, perubahan warna kulit pada bagian
atas yang terkena fraktur serta menghilangnya refleks Moro pada sisi tersebut.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan palpasi dan foto rontgent
2. Memberikan penanganan terhadap fraktur kalvikula anak tersebut
 Imobilisasi lengan untuk mengurangi rasa sakit.
 Imobilisasi dalam posisi abduksi 60° dan fleksi 90° dari siku yang terkena.
 Terangkan kepada ibu bahwa fraktur akan sembuh secara spontan, biasanya
tanpa gejala sisa, dan akan teraba benjolan keras ( kalus ) didaerah tulang
yang patah pada umur 2 atau 3 minggu → proses penyembuhan normal.
3. Menjelaskan bahwa kita tidak bisa menentukan fraktur tersebut akibat proses
kelahiran atau tidak sehingga pasien sebaiknya menemui kembali dr.B dan dr.C
untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut terkait keadaan anaknya. Perlu
ditambahkan juga bahwa fraktur tersebut bisa didapatkan diluar proses kelahiran.
Jika disebabkan oleh proses kelahiranpun masih banyak faktor lain yang berperan
seperti faktor ibu, faktor janin, dan keahlian penolong persalinan.
4. Jika setelah didapatkan keterangan lebih lanjut dan hal tersebut berkaitan dengan
kelalaian atau kesalahan dr.B dan dr.C jelaskan pada pasien bahwa hal tersebut
baiknya dilaporkan kepada Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) terlebih dahulu
sebelum dibawa ke pengadilan.
5. Seandainya seorang teman sejawat membuat kekeliruan dalam pekerjaannya, maka
kita sebagai teman sejawat yang mengetahui hal itu seyogyanya menasehatinya.
Dokter yang keliru harus menerima nasehat ataupun teguran dengan lapang dada
asal disampaikan dalam suasana persaudaraan. Jangan sekali-kali menjatuhkan
seorang sejawat dari kedudukannya apalagi menggunakan pihak lain. Sewaktu
berhadapan dengan pasien, seorang dokter tidak boleh memperlihatkan bahwa ia

12
tidak sepaham dengan teman sejawatnya dengan menyindir, atau dengan sikap yang
menjurus kearah demikian.
6. Pada umumnya masyarakat kita belum begitu memahami tentang hubungan yang
begitu erat antar dokter dengan dokter, sehingga mereka kadang-kadang melakukan
sesuatu yang cenderung mengadu domba. Dengan sendirinya seorang dokter yang
mengetahui kejadian tersebut harus menasehatinya untuk tidak berbuat demikian,
karena dapat merugikan kepentingan sendiri dan dapat membahayakan
kesehatannya. Janganlah sekali-kali diberi kesempatan kepadanya untuk
menjelekkan nama teman sejawat yang lebih dulu menolongnya. Seorang dokter
harus ikut mendidik masyarakat dalam cara menggunakan jasa pelayanan
kedokteran

Kesimpulan
Permasalahan paling banyak yang diadukan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan
ke Konsil Kedokteran Indonesia adalah berkenaan dengan masalah komunikasi. Masalah
tersebut mencakup perbuatan malapraktik, komunikasi yang tidak adekuat yang melingkup
hubungan dokter-pasien, atau persoalan etika. Untuk itu tentunya Dokter harus memiliki
kemampuan komunikasi yang baik. Di dalam komunikasi yang baik terdapat juga etika
terhadap teman sejawat yang mengharuskan setiap dokter memelihara hubungan baik
dengan teman sejwatnya sesuai makna atau butir dari lafal sumpah dokter. Terjalinnya
hubungan baik antara teman sejawat membawa manfaat tidak saja kepada dokter yang
bersangkutan, tetapi juga kepada para pasiennya. Rasa persaudaraan harus dibina sejak masa
mahasiswa agar menjadi bekal yang berharga.

13
Daftar Pustaka
1. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TJ. Bioetik dan hukum kedokteran. Jakarta: fakultas
kedokteran universitas indonesia;2007.p.8-10, 89-96, 109.
2. Safitry O. Kompilasi peraturan perundang-undangan terkait praktik kedokteran. Jakarta:
Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK UI;2014.p.29-30.
3. Etika Kedokteran Indonesia dan Penanganan Pelanggaran Etika di Indonesia, diunduh
dari http://astaqauliyah.com/2006/12/04/etika-kedokteran-indonesia-dan-penanganan-
pelanggaran-etika-di-indonesia
4. Agus Purwadianto, Segi Kontekstual Pemilihan Prima Facie Kasus Dilemma Etik dan
Penyelesaian Kasus Konkrit Etik, dalam bahan bacaan Program Non Gelar Blok II
FKUI Juni 2007
5. Professor Omar Hasan Kasule; September 2007; Filosofi Dalam Etika Kedokteran :
Studi Banding Antara Sudut Pandang Islam dan Barat (Eropa); Seminar dan Lokakarya
Implementasi Nilai-nilai Islam di dalam Pendidikan Kedokteran di Indonesia 8 – 9
September 2007

14

Anda mungkin juga menyukai