Anda di halaman 1dari 19

Rahasia Dokter-Pasien Terhadap Penyakit Menular Seksual Pasien

Yolanda Phingkasari
102013552
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl.Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731
Email: wieyolanda@ymail.com
PENDAHULUAN

Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas, yang sering
tumpang-tindih pada suatu issu tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia
kedokteran, profesionalisme, dll.  Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik seringkali
tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang telah
diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai
etika.

Gonore (GO) adalah penyakit Menular Seksual yang paling sering terjdi dan paling mudah
terjadi. Penyakit menular seksual (PMS) adalah penyakit yang ditularkan secara langsung dari
seseorang ke orang lain melalui kontak seks. Namun penyakit gonore ini dapat juga ditularkan
melalui ciuman atau kontak badan yang dekat. Kuman patogen tertentu yang mudah menular
dapat ditularkan melalui makanan, transfusi darah, alat suntik yang digunakan untuk obat bius.

Skenario

Seorang pasien laki-laki datang ke praktek dokter. Pasien ini dan keluarganya adalah pasien lama
dokter tersebut, dan sangat akrab serta selalu mendiskusikan kesehatan keluarganya dengan
dokter terebut. Kali ini pasien laki-laki ini datang sendirian dan mengaku telah melakukan
hubungan dengan wanita lain seminggu yang lalu. Sesudah itu ia masih tetap berhubungan
dengan istrinya. Dua hari terakhir ia mengeluh bahwa kemaluannya mengeluarkan nanah dan
terasa nyeri. Setelah diperiksa ternyata ia menderita GO. Pasien tidak ingin diketahui istrinya,
karena bisa terjadi pertengkaran diantara keduanya. Dokter tahu bahwa mengobati penyakit
tersebut pada pasien ini tidaklah sulit, tetapi oleh karena ia telah berhubungan juga dengan
istrinya maka mungkin istrinya juga sudah tertular.
Prinsip-prinsip Etika Kedokteran

Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya suatu sikap dan atau
perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Penilaian baik-buruk dan benar-
salah dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang cukup banyak
jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang paling banyak dianut orang adalah teori deontologi dan
teleologi. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa, Deontologi mengajarkan bahwa baik-buruknya
suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatannya sendiri (I Kant), sedangkan teleologi
mengajarkan untuk menilai baik-buruk tindakan dengan melihat hasilnya atau akibatnya (D
Hume, J Bentham, JS Milis). Deontologi lebih mendasarkan kepada ajaran agama, tradisi, dan
budaya sedangakan teleologi lebih ke arah penalaran (reasoning) dan pembenaran (justifikasi)
kepada azas manfaat (aliran utilitarian).2
Beauchamp and Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu keputusan etik
diperlukan 4 kaidah dasar moral (moral principle) yakni:2
 Beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke kebaikan
pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbutan untuk kebaikan saja, melainkan
juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi buruknya.
 Non-malaficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan
pasien.
 Justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam bersikap
maupun dalam mendistribusikan sumber daya.
 Autonomy, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak-hak
ototnomi pasien (the right to self determination).

Sedangkan rules derivatnya adalah veracity (berbicara benar, jujur dan


terbuka), privacy (menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien)
dan fidelity (loyalitas dan promise keeping).2

Di dalam praktek, peran profesional kesehatan khususnya dokter dapat terbagi ke dalam 3 model
penjaga gawang, yaitu peran tradisional, peran negative gatekeeper dan peran positive
gatekeeper.3 Dalam peran tradisionalnya, dokter memikul beban moral sebagai penjaga gawang
penyelenggaraan layanan kesehatan dan medis. Mereka harus menggunakan pengetahuan mereka
untuk berpraktek secara kompeten dan rasional ilmiah. Petunjuknya harus diagnostic elegance
(termasuk menggunakan cara yang memiliki tingkat ekonomi yang sesuai dalam mendiagnosis)
dan therapeutic parsinomy (memberikan terapi hanya yang secara nyata bermanfaat dan efektif).
Mereka harus mencegah adanya risiko yag tidak diperlukan kepada pasien yang berasal dari
terapi yang meragukan dan menjaga sumber daya finansial pasien. Dalam peran negative
gatekeeper, yaitu pada sistem kesehatan pra-bayar atau kapitasi, dokter diharapkan untuk
membatasi akses pasien ke layanan medis. Pada peran ini jelas terjadi konflik moral pada dokter
dengan tanggungjawab tradisionalnya dalam membela kepentingan pasien (prinsip beneficence)
dengan tanggungjawab barunya sebagai pengawal sumberdaya masyarakat/komunitas. Meskipun
demikian, peran negative gatekeeper ini secara moral mungkin masih dapat dijustifikasi.

Tidak seperti peran negatif yang banyak dideskripsikan secara terbuka, peran positive gatekeeper
dokter sangat tertutup dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Dalam peran ini
dokter diberdayakan untuk menggunakan fasilitas medis dan jenis pelayanan hi-tech demi
kepentingan profit. Bagi mereka yang mampu membayar disediakan fasilitas diagnostik dan
terapi yang paling mahal dan mutakhir, layanan didasarkan kepada “keinginan pasar” dan bukan
kepada kebutuhan medis. Upaya meningkatkan demand atas layanan yang sophisticated
dijadikan tujuan yang impilisit, dan dokter menjadi salesmannya. Mereka berbagi profit secara
langsung apabila mereka pemilik atau investor layanan tersebut, atau mereka memperoleh
penghargaan berupa kenaikan honorarium atau tunjangan apabila mereka hanya berstatus
pegawai atau pelaksana.

Etika kedokteran adalah pengetahuan tentang perilaku profesional para dokter dan dokter gigi
dalam menjalankan pekerjaannya sebagaimana tercantum dalam lafal sumpah dan kode etik
masing-masing yang telah disusun oleh organisasi profesinya bersama-sama pemerintah. 3
Terdapat 17 pasal yang tentukan menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang
secara besar menyentuh tentang kewajiban umum dokter (pasal 1 – 9) , dan kewajiban dokter
terhadap pasien (pasal 10-17).

Dalam pasal 1 ditetapkan tentang sumpah dokter itu harus dijunjung tinggi, dihayati dan
diamalkan oleh setiap dokter. Dari sumpah dokter, maka kita dapat lihat bahwa setiap dokter itu
harus membaktikan hidupnya guna kepentingan kemanusiaan; menjalankan tugas yang terhormat
dan bersusila sesuai martabat pekerjaannya sebagai seorang dokter; memelihara martabat dan
tradisi luhur profesi kedokteran; merahsiakan segala sesuatu yang ketahuinya karena
keprofesianya; mempergunakan pengetahuan dokternya untuk sesuatu yang tidak bertentangan
dengan perikemanusiaan; menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan;
mengutamakan kesehatan pasien dengan memperhatikan kepentingan masyarakat; tidak
terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, gender, politik, kedudukan
sosial, dan jenis penyakit dalam menunaikan kewajiban terhadap pasien; menghormati dan
berterimakasih kepada guru-gurunya; memperlakukan teman sejawat seperti saudara kandung;
mentaati dan mengamalkan KODEKI; dan mengikrarkan sumpahnya dengan sungguh-sungguh
dan mepertaruhkan kehormatan dirinya.

Pelanggaran etika kedokteran diproses melalui MKDKI dan MKEK IDI, sedangkan pelanggaran
hukum diselesaikan melalui pengadilan. Dalam profesi kedokteran dikenal 4 prinsip moral
utama, yaitu:2

1. Autonomy
Prinsip autonomy atau otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien
terutama hak otonomi pasien (the rights to self determination, yaitu hak menentukan nasib
sendiri)2 dan hak atas informasi yang dimiliki pasien tentang penyakitnya dan tindakan medik
apa yang hendak dilakukan terhadap dirinya.1
2. Beneficence
Beneficence yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke kebaikan
pasien.2
3. Non-maleficence
Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk
keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non nocere” atau “do no harm”.2
4. Justice
Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
mendistribusikan sumber daya (distributive justice). 2
Prinsip-prinsip moral
Praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip
moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai
baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral.
Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika
biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis
(clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.

Dari skenario, sebagai seorang dokter, tersebut harus tetap mengikuti etika kedokteran yang ada,
dan juga mengikuti prinsip-prinsip dalam etika kedokteran. Laki-laki tersebut dan juga istrinya
itu keduanya adalah pasiennya si dokter tersebut. Dari segi prinsip autonomy, dokter harus
memberikan hak kepada pasien laki-laki tersebut dalam menentukan tindakan medis yang akan
dipilih dan hak untuk menyimpan rahasia laki-laki tersebut karena itu adalah autonomynya laki-
laki tersebut. Jadi dokter tidak berhak memberitahu kepada istri laki-laki tersebut tentang
penyakit yang dialami oleh laki-laki tersebut walaupun dokter tahu bahwa penyakit yang diderita
laki-laki tersebut yaitu PMS dapat juga sudah tertular kepada istri laki-laki tersebut.

Pengembangan Skenario

Dari segi prinsip beneficence, dokter harus mengambil tindakan yang terbaik dalam memberikan
penyembuhan kepada pasien laki-laki tersebut dan pada masa yang sama dari prinsip non-
maleficence, dokter dilarang mengambil tindakan yang dapat memperburuk keadaan pasien laki-
laki tersebut. Disini dokter harus menjelaskan kepada pasien tentang PMS dan menjelaskan
bahwa penyakit ini bisa ditularkan lagi kepadanya walaupun ia sudah berobat tapi istrinya tidak
diobati. Maka, dokter harus mengambil tindakan yang benar dengan mengobati pasien laki-laki
tersebut dan juga sang istrinya. Dari segi prinsip justice, si istri kepada laki-laki tersebut juga
mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan kesembuhan dari dokter tersebut. Jadi dokter
harus merawat kedua-keduanya tanpa membuka rahasia pasien laki-laki tersebut dengan
meminta si suami sendiri bilang ke istrinya.

Informed Consent

Informed consent merupakan alat paling penting dalam hubungan dokter-pasien pada masa kini.
Informed consent yang benar harus disertai dengan komunikasi baik antara dokter dan pasien.
Keterangan yang dapat diberikan kepada pasien sebelum mendapatkan informed consent
termasuklah menerangkan diagnosis penyakit, prognosis dan pilihan pengobatan penyakit. Perlu
juga kebaikan dan keburukan masing-masing tindakan yang bakal dilakukan.

Informed consent harus memuatkan pilihan untuk pasien menerima atau menolak tindakan medic
yang bakal dilakukan dokter selain mencantumkan pilihan terapi lain. Pasien yang kompeten
boleh memilih untuk menolak tindakan medik walaupun tanpa tindakan ini dapat mengancam
nyawa pasien. Terdapat dua kondisi di mana informed consent dikecualikan yaitu:

1. Pasien menyerahkan sepenuhnya keputusan tindakan medik terhadap dirinya kepada


dokter. Apabila pasien menyerahkan semua keputusan kepada dokter yang merawatnya,
dokter tetap harus menerangkan secara lengkap tindakan yang bakal dilakukan.
2. Keadaan apabila pemberitahuan tentang kondisi penyakit pasien dapat berdampak besar
terhadap pasien secara fisik, psikologis dan emosional. Contohnya adalah apabila pasien
cenderung untuk membunuh diri apabila mengetahui tentang penyakitnya. Namun,
dokter pada awalnya harus menganggap bahwa semua pasien dapat menerima berita
tentang penyakitnya dan memberikan informasi selengkapnya sesuai dengan hak pasien.4

Informed consent atau persetujuan tindakan medik adalah suatu cara bagi pasien untuk
menunjukan prefensi dan pilihannya. Informed consent adalah aplikasi praktis dari salah satu
kaidah moral dalam praktek kedokteran yaitu, autonomi.

Secara harafiah, informed consent memiliki dua unsur yaitu:


1. Informed yang dapat diartikan informasi yang telah diberikan dokter. Yang dimaksud
dengan informed atau memberi penjelasan di sini adalah semua keadaan yang
berhubungan dengan penyakit pasien dan tindakan medic apa yang akan dilakukan dokter
serta hal-hal lain yang perlu dijelaskan dokter atas pertanyaan pasien atau keluarga.
Dalam Permenkes Nomor 589 tahun 1989 dijelaskan bahwa Persetujuan Tindakan Dokter
(Informed Consent) adalah persetujuan yang diberikan pasien atau keluarga atas dasar
penjelasan mengenai tindak medic yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
2. Consent artinya persetujuan yang diberikan kepada seseorang untuk berbuat sesuatu.
Dengan demikian, informed consent adalah persetujuan yang diberikan pasien kepada
dokter setelah diberi penjelasan.3 Saat seorang dokter memulai hubungan dokter-pasien,
maka tugasnya adalah memeriksa pasien, membuat diagnosa, memberi informasi yang
jujur dan tepat sasaran serta mengajurkan pengobatan. Dokter diharapkan untuk dapat
menjelaskan tahapan-tahapan dalam pengobatan, memberikan alasan diberikannya
pengobatan yang ia anjurkan, dan menunjukkan alternatif pengobatan dari sisi
keuntungan dan kerugiannya. Di lain pihak, pasien diharapkan untuk dapar memahami
penjelasan dokter, menilai pilihan pengobatan yang ditawarkan dokter, kemudian
memilih pilihan-pilihan pengobatan yang ditawarkan.2,5
Dari pengertian demikian, informed consent bisa dilihat dari dua sudut, yaitu pertama
membicarakan informed consent dari pengertian umum dan kedua membicarakan informed
consent dari pengertian khusus. Dalam pengertian umum, informed consent adalah persetujuan
yang diperoleh dokter sebelum melakukan pemeriksaan, pengobatan, dan tindakan medic apapun
yang akan dilakukan.

Persetujuan tindak medik secara praktis dalam praktek kedokteran dapat dibedakan atas 2
bentuk, yaitu:
1. Implied consent atau persetujuan tersirat, yakni pasien tidak menyatakan persetujuan baik
secara tertulis maupun lisan, namun dari tingkah lakunya menunjukan persetujuaanya.
2. Expressed consent atau persetujuan yang dinyatakan, yakni persetujuan dinyatakan secara
lisan dan tertulis. Bila yang dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan yang
biasa.Dalam keadaan demikian, sebaiknya kepada pasien disampaikan dahulu tindakan apa
yang akan dilakukan supaya tidak sampai terjadi salah pengertian. Misalnya pemeriksaan
dalam rectal atau pemeriksaan vaginal, mencabut kuku dan tindakan lain yang melenihi
prosedur pemeriksaan dan tindakan umum. Pada saat ini, belum diperlukan pernyataan
tertulis. Persetujuan secara lisan sidah mencukupi.
Namun bila tindakan yang akan dilakukan mengandung risiko seperti tindakan pembedahan atas
prosedur pemeriksaan dan pengobatan invasive, sebaiknya didapatkan informed consent tertulis.

Dalam Permenkes Nomor 585 tahun 1989 tentang informed consent, dinyatakan dokter harus
menyampaikan atau menjelaskan informasi kepada pasien/keluarga diminta atau tidak diminta.
Jadi informasi harus disampaikan. Inti dari persetjuan adalah persetujuan haruslah didapat
sesudah pasien mendapat informasi yang adekuat. Hal yang harus diperhatikan adalah bahwa
yang berhak memberikan persetujuan adalah pasien yang sudah dewasa (di atas 21 tahun atau
sudah menikah) dan dalam keadaan sehat mental.
Selain memberikan informasi yang lengkap kepada pasien, informed consent itu penting juga
kepada dokter dalam menjamin dokter tidak akan dihukum jika apa-apa masalah yang timbul
seperti yang telah dijelaskan kepada pasien berlaku atas tindakan yang diberi dengan persetujuan
pasien.

Sesuai dengan sifat hukum yang memiliki daya paksa, maka tidak dilaksanakan informed
consent atau persetujuan tindakan medik dalam praktek kedokteran akan dikenakan sanksi,
yakni:
 Sanksi administratif
Terhadap dokter yang melakukan tindakan medik tanpa adanya persetujuan dari pasien atau
keluarganya dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan surat izin prakteknya
(Pasal 13 Permenkes 585 tahun 1989)
 Sanksi perdata
Tindakan medik tanpa persetujuan dari pasien, adalah perbuatan melanggar hukum. Bila
perbuatan itu menimbulkan kerugian, maka dokter yang melakukan dan institusi
penyelengara pelayanan kedokteran yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi perdata
dengan acuan pasal 1365 KUHP.
 Sanksi pidana
Kelalaian menjalankan persaetujuan tindakan medik dapat dikenai delik penganiaan dalam
KUHP. Kesengajaan penyimpangan dalam praktek kedokteran yang mengakibatkjan
kerugian bagi pasien dengan delik yang sesuai.
Rahasia Pasien

Kerahasiaan merupakan pembatasan pengungkapan informasi pribadi tertentu. Dalam hal ini
mencakup tanggungjawab untuk menggunakan, mengungkapkan, atau mengeluarkan informasi
hanya dengan sepengetahuan dan ijin individu. Informasi yang bersifat rahasia dapat berupa
tulisan ataupun verbal.2

Dasar dari kerahasiaan pasien adalah autonomy, rasa hormat dan kepercayaan pasien.
Kepercayaan adalah bagian paling penting dalam hubungan dokter-pasien sehingga seorang
dokter tidak dibenarkan untuk membuka rahasia pasien tanpa kebenaran dari pasien itu sendiri
kecuali diminta oleh hukum. Dokter juga dibenarkan untuk membuka rahasia pasien apabila
pasien tidak mampu untuk mengambil keputusan sendiri.
Tugas dokter untuk menjaga kerahasian informasi pasien merupakan dasar pokok dalam etka
kedokteran sejak zaman Hippocrates. Sumpah Hippocrates menyebutkan: “Apa yang mungkin
aku lihat atau dengar dalam perawatan atau bahkan di luar perawatan yang saya lakukan yang
berhubungan dengan kehidupan manusia yang tidak disampaikan ke luar, saya akan
menyimpannya sebagai sesuatu yang memalukan untuk dibicarakan”. Sumpah ini, dan versi
yang lebih baru, tidak menempatkan perkecualian dalam tugas menjaga kerahasiaan.

Kode Etik Kedokteran Internasional dari World Medical Association (WMA) menyatakan
“Seorang dokter harus menjaga kerahasiaan secara absolute mengenai yang dia ketahui tentang
pasien-pasien mereka bahkan setelah pasien tersebut mati”.3 Menurut sumpah dokter sesuai
dengan Deklarasi Jenewa 1948 (Geneva Declaration 1948), “Saya akan merahasiakan segala
rahasia yang saya ketahui bahkan sesudah pasien meninggal dunia.” “Saya tidak akan
mengizinkan pertimbangan umur, penyakit dan disabilitas, kepercayaan, asal etnik, gender,
kewarganegaraan, affiliasi politik, ras, orientasi seksual”.3

Kepercayaan merupakan bagian penting dalam hubungan dokter-pasien. Untuk dapat menerima
perawatan medis, pasien harus membuka rahasia pribadi kepada dokter atau orang yang mungkin
benar-benar asing bagi mereka mengenai informasi yang mungkin tidak ingin diketahui orang
lain. Mereka pasti mempunyai alasan yang kuat untuk mempercayai orang yang memberikan
perawatan bahwa mereka tidak akan membocorkan informasi tersebut. Kepercayaan merupakan
standar legal dan etis dari kerahasiaan dimana profesi kesehatan harus menjaganya. Tanpa
pemahaman bahwa pembeberan tersebut akan selalu dijaga kerahasiaannya, pasien mungkin
akan menahan informasi pribadi yang dapat mempersulit dokter dalam usahanya memberikan
intervensi efektif atau dalam mencapai tujuan kesehatan public tertentu.6

Aspek Hukum

Kewajiban dokter untuk tetap menjaga rahasia kedokteran merupakan suatu hal yang tercantum
di dalam undang-undang maka apabila dokter melakukan suatu kelalaian dalam menyimpan
rahasia kedokteran maka akan terkena dampak hukum yang berlaku.7

Pengaturan kewajiban menyimpan rahasia kedokteran


Seperti yang telah diketahui, bahwa dalam transaksi terapeutik terdapat hak dan kewajiban
kepada masing-masing pihak secara timbal balik. Adapun salah satu kewajiban dokter adalah
berkewajiban menyimpan rahasia kedokteran yang dimiliki pasiennya.7

Dibidang etika kedokteran, sepanjang dapat ditelesuri masalah rahasia kedokteran mulai diatur
dalam sumpah hippocrates pada abad 469-399 SM yang berbunyi “apa yang saya melihat atau
mendengar sewaaktu dalam menjalankan praktek atau tidak, tentang kehidupan seseorang yang
seharusnya tidak diungkapkan akan saya perlakukan sebagai rahasia.” Selain di dalam sumpah
hippocrates kewajiban menyimpan rahasia kedokteran juga terdapat pada:

a. Declaratioon of Geneva
Declaration of Geneva adalah versi sumpah hipocrates yang dimodernisasi yang
diintroduksikan oleh world medical association. Khusus yang mengenai rahasia
kedokteran berbunyi : “I will respect the secrets which are confided in me, even after
the patient has died.”
b. International code of medichal ethics
Pada tahun 1968 di sydney diadakan perubahan pada declaration of geneva yang
kemudian menjadi pedoman dasar untuk terbitnya International code of medichal ethics
ini. khusus yang mengenai rahasia kedokteran berbunyi “ a doctor shall preserve
absolute secrecy on all the knows about his patient because the confidence entrusted in
him.”
c. Peraturan pemerintah nomor 26 tahun 1966 yang memuat lafal sumpah dokter indonesia
Dalam sumpah ini khususnya di dalam penjelasan pasal 1 kode etik kedokteran
indonesia terdapat uraian yang berkenaan dengan rahasia kedokteran yang berbunyi
“saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan
karena kelimuan saya sebagai dokter.”
d. Kode etik kedokteran indonesia
Pasal 13 tercantum kalimat sebagai berikut :”setiap dokter wajib merahasiakan segala
sesuatu yang diktehauinya tentang seorang penderita, bahkan juga setelah penderita itu
meninggal dunia.”
Sumpah dalam hubungannya dengan rahasia kedokteran ini jika ditinjau secara yuridis tidak
mempunyai arti. Sumpah hanyalah merupakan suatu ikrar, suatu pernyataan kehendak secara
sepihak yang pelaksanaannya tergantung pada hati nurani si pelaku itu sendiri. Oleh karena itu
suatu sumpah tidak dapat dipergunakan sebagai dasar hukum untuk penuntutan. Demikian pula
kode etik kedokteran indonesia (KODEKI) yang termasuk bidang etik yang sifatnya self imposed
regulations. Suatu kode etik ini bersifat intern dimana sanksi hanya dapat dijatuhkan dalam
kaitan organisasi dan oleh organisasi itu sendiri. Suatu KODEKI juga tidak memiliki nilai
yuridis, shingga tidak mempunyai akibat hukum.
Adapun dasar yuridis untuk menuntut yang menyangkut rahasia kedokteran terdapat pada:

a. Hukum perdata
1. Perjanjian terapeutik antara dokter dengan pasien
2. Pasalnya 1909, 3e KUHPerdata “segala siapa yang karena kedudukannya, pekerjaannya,
atau jabatannya menurut undang-undang diwajibkan merahasiakan sesuatu, namun
hanyalah semata-mata mengenai hal-hal yang pengetahuannya dipercayakan kepadanya
sebagai demikian.”
3. Pasal 1365 KUHPerdata “Tiap-tiap perbuatan melanaggar hukum yang membawa
kerugian terhadap orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya, menerbitkan
kerugian itu, menggantikan kerugian tersebut”
b. Hukum pidana
1. Pasal 322 KUHP
Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau
pencariannya baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling
lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilanribu rupiah.

1) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya
dapatdituntut atas pengaduan orang itu
2. Pasal 224 KUHP
Barangsiapa yang dipanggil menurut undang-undang untuk menjadi saksi, ahli
atau jurubahasa, dengan sengaja tidak melakukan suatu kewajiban yang menurut undang-
undang harus melakukannnya:
1. Dalam perkara pidana dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 bulan.
2. Dalam perkara lain, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 6 bulan.
c. Hukum acara pidana
1. Pasal 170 KUHAP
1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan
menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi
keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.
2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.
2. Pasal 179 KUHAP
1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau
dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.
2) Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang
memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah
atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya
menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.
d. Hukum acara perdata
1. Pasal 146 ayat 3 HIR
Sekalian orang yang karena kedudukan, pekerjaan atau jabatannya yang sah, diwajibkan
menyimpan rahasia, tetapi semata-mata hanya tentang hal yang diberitahukan kepadanya
karena kedudukan, pekerjaan atau jabatannya itu.
2. Pasal 174 RBg
(1) Mereka yang dapat membebaskan diri dari pemberian kesaksian adalah : (KUHperd.
1909.)
1) saudara-saudara laki-laki atau perempuan dan ipar-ipar laki-laki atau perempuan
dari salah satu pihak;
2) saudara-saudara sedarah dalam garis lurus dan saudara-saudara laki-laki atau
perempuan dari suami atau istri salah satu pihak;
3) mereka yang karena kedudukan, pekerjaan atau jabatan resmi, diharuskan
menyimpan rahasia tetapi hanya dan semata-mata mengenai hal-hal yang
pengetahuannya dipercayakan kepadanya dalam kedudukannya tersebut.
(2) Ada tidaknya kewajiban menyimpan rahasia yang dikemukakan oleh yang
bersangkutan dapat dinilai oleh pengadilan negeri.
e. Hukum administrasi
Peraturan pemerintah nomor 10 tahun 1996 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran. Pada
peraturan tersebut diperluas berlakunya wajib simpan rahasia kedokteran, juga bagi tenaga
kesehatan lainnya, seperti perawat, bidan, mahawsiswa kedokteran, ahli farmasi, analis
laboratorium, radiologi dan lain-lainnya.
Gugurnya kewajiban dokter untuk menyimpan rahasia kedokteran

Kewajiban menyimpan rahasia kedokteran ini tidak mutlak sifatnya. Artinya dalam situasi-
situasi tertentu hal tersebut dapat diterobos. Dengan kata lain, kewajiban dokter untuk
menyimpan rahasia kedokteran tersebut dapat gugur sehingga dokter tidak dikenai sanksi hukum.
Seorang dokter dapat dibebaskan dari sanksi hukum dalam hal ia mengungkapkan rahasia
kedokteran jika terdapat faktor-faktor atau hal-hal sebagai berikut:7

a. Adanya ijin dari pasien


Pasien adalah satu-satunya orang yang berhak memutuskan boleh tidaknya konfidensialitas
tentang dirinya diungkapkan. Namun apabila pasien telah memberikan ijin untuk
mengungkapkan rahasia atas dirinya, maka dokter terbebas dari kewajiban menyimpan rahasia
tersebut dan tidak dapat dikenai sanksi. Ijin dari pasien ini dapat diberikan secara lisan ataupun
tertulis ataupun secara diam-diam/anggapan. Pemberian ijin itu bisa secara terbatas, yaitu dalam
arti terbatas pada orang-orang tertentu saja. Dapat juga dibatasi oleh ruang lingkup rahasia itu
sendiri, misalnya terbatas hanya kepada apa yang diperlukan saja. Pemeberian ijin secara diam-
diam/anggapan, misalnya pasien yang dirawat inap dirumah sakit dapat dianggap telah
memberikan ijin kepada dokter yang merawatnya untuk mengadakan konsultasi kepada dokter
ahli tentang penyakitnya.
b. Adanya keadaan mendesak atau memaksa
Di dalam keadaan terpaksa, juga tanpa ijin pasien, dokter dapat mengungkapkan rahasia
kedokteran. Keadaan terpaksa yang dimaksud adalah suatu situasi di mana suatu norma dapat
dilanggar demi suatu kepentingan yang lebih besar. Seperti pada pasal 48 KUHP “siapapun tak
terpidana jika melakukan perbuatan karena terdorong oleh keadaan terpaksa.”
c. Adanya peraturan perundang-undangan
Seorang dokter yang membuka rahasia kedokteran tidak dapat dipidana karena melaksanakan
ketentuan undang-undang. Hal tersebut tersimpul dalam ketentuan pasal 50 KUHP yang
berbunyi : “barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang
tidak dipidana.” Dalam hal ini dapat dianggap bahwa secara materiil oleh undang-undang telah
dipertimbangkan, bahwa terdapat kepentingan yang lebih besar.
d. Adanya perintah jabatan
Sebagai dasar pembenar lain untuk melanggar kewajiban dokter untuk menyimpan rahasia
kedokteran adalah adanya perintah jabatan yang diatur dalam ketentuan pasal 51 KUHP. Pasal
ini mengatur tentang seorang dokter yang mempunyai jabatan rankap seperti militer atau dokter
tentang penguji kesehatan.
e. Demi kepentingan umum atau kepentingan yang lebih tinggi
Alasan ini timbul berdasaarkan kebiasaan praktek, karena pasien tersebut merupakan “public
figure”, seorang tokoh atau pemimpin yang dianggap penting oleh masyarakat.
f. Adanya Presumed Consent dari pasien
Adanya Presumed Consent yaitu pasien telah mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa
data tentang dirinya akan diketahui oleh orang atau instansi selain dokter.Menurut Undang-
Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran, terdapat
pasal-pasal berkaitan dengan pelaksanaan praktik seorang dokter yaitu dengan pasiennya (Pasal
39); persetujuan kedokterani dalam menjalankan prakteknya (Pasal 45); rahasia kedokteran
(Pasal 48) dan kewajiban dokter merahasiakan hal pasien (Pasal 51); dan hak pasien dalam
menerima pelayanan pada praktik kedokteran (Pasal 52) seperti berikut:
Pasal 39

Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi
dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan
kesehatan, pengobatan peyakit dan pemulihan.

Pasal 45

1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter
gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap.
3) Penjelasan sebagaimana dimaksud ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup:
4) Diagnosis dan tata cara tindakan medis; tujuan tindakan medis yang dilakukan; alternatif
tindakan lain dan risikonya; risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan prognosis
terhadap tindakan yang dilakukan.
5) Persetujuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara bertulis
maupun lisan.
6) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus
diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.

Pasal 48

(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan prakrik kedokteran wajib menyimpan
rahasia kedokteran.
(2) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien….
Pasal 51

Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban
merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu
meninggal dunia.

Pasal 52

Pasien dalam, menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:

(1) Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud
dalam pasal 45 ayat (3),
(2) Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
(3) Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
(4) Menolak tindakan medis; dan mendapatkan isi rekam medis.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 10 tahun 1966 dijelaskan tentang kewajiban
simpan rahasia Kedokteran seperti berikut:

Pasal 1:
Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialah segala sesuatu yang diketahui oleh orang-orang
tersebut dalam pasal 3 pada waktu tertentu atau selama melakukan pekerjaannya dalam lapangan
kedokteran.

Pasal 2:

Pengetahuan tersebu pasal 1 harus dirahasiakan oleh orang-orang yang tersebut dalam

pasal 3, kecuali apabila suatu peraturan lain yang sederajat atau lebih tinggi daripada PP ini
menentukan yang lain.

Pasal 3:

Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam pasal 1 ialah:

a. Tenaga kesehatan menurut pasal 2 UU tentang kesehatan

b. Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan, pengobatan, dan
atau perawatan, dan orang lain yang ditetapkan oleh menteri kesehatan.

Pasal 4

Terhadap pelanggaran ketentuan mengenai wajib simpan rahasia kedokteran, yang tidak atau
tidak dapat dipidana menurut pasal 322 atau pasal 112 KUHP, menteri kesehatan dapat
melakukan tindakan administrative berdasarkan pasal UU tentang tenaga kesehatan.

Pasal 5

Apabila pelanggaran yang dimaksud dalam pasal 4 dilakukan oleh mereka disebut dalam pasal 3
huruf b, maka menteri kesehatan dapat mengambil tindakan-tindakan berdasarkan wewenag dan
kebijaksanaannya.

Pasal 6

Dalam pelaksanaan peraturan ini, menteri kesehatan dapat mendengar Dewan Pelinding Susila
Kedokteran dan atau badan-badan lain bilamana perlu.
Seperti dalam pasal 4 PP no 10/1966, tindak pidana yang dikenakan adalah berdasarkan pasal
322 yang seperti berikut:

Pasal 322 KUHP:

(1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau
pencariannya baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.

(2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seseorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat
dituntut atas pengaduan orang itu.

Tapi menurut Pasal 48 KUHP:

Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana.

Yaitu sini, apabila seorang dokter itu terpaksa membuka rahsua dokter karena dipaksa dengan
gugatan dan atau diancam nyawa, dokter itu tidak akan dipidana.

MA 117/K/Kr/1968 2 Juli 1969

Dalam “noodtoestand” harus dilihat adanya:

1. Pertentangan antara dua kepentingan hukum

2. Pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hokum

3. Pertentangan antara dua kewajiban hokum

Pasal 49 KUHP:

(1) Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri
maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta bnda sendiri maupun orang lain,
karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan
hukum.

(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan keguncangan jiwa
yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
Pasal 50 KUHP

Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak


dipidana.

Solusi

Dalam bahasan kasus kali ini, pasien dokter tersebut menderita penyakit hubungan seksual yaitu
GO. Namun, pasien tersebut tidak ingin istrinya tahu tentang penyakitnya karena takut akan
menimbulkan pertengkaran. Dokter tahu bahwa penyakit tersebut dapat menularkan istrinya
melalui hubungan seksual. Maka dokter memberikan penjelasan kepada pasien laki-laki tersebut
tentang cara penularannya. Dokter tersebut menyarankan agar istrinya tahu karena apabila tidak
segera berobat penyakitnya akan terus timbul meskipun pengobatannya mudah. Maka pasien
laki-laki tersebut menyetujui agar istrinya diberi tahu.

Apabila dokter berbicara terbuka di hadapan kedua pasutri tanpa pengetahuan terlebih dahulu
apakah pasien setuju kalau penyakitnya boleh diketahui oleh pasangannya, bisa membawa
persoalan tentang wajib simpan rahasia kedokteran, rahasia jabatan dan pekerjaan yang menjurus
pada perkara medik. Bila dokter menduga pasangannya telah tertular tanpa disadari, sebaiknya
dokter mengobati pasien tanpa harus menyatakan ia telah tertular, kecuali terpaksa bila pasien
mau tahu tentang penyakitnya. Membuka rahasia pasien kepada orang lain, biarpun dalam ikatan
suami istri harus dihindari dokter.6

Kesimpulan
Dalam menjalankan tugas profesi kedokteran, seorang dokter itu harus mengamalkan etika
kedokteran dan prinsip-prinsip etika kedokteran tersebut. Menjaga rahasia pasien itu sangatlah
penting dalam profesi kedokteran karena melibatkan kepercayaan yang diberi kepada dokter oleh
pasien karena tanpa kepercayaan tersebut, pasien tidak akan memberikan informasi-informasi
yang penting kepada dokter yang mungkin penting dalam dokter gunakan untuk mengobati
pasien tersebut. Sebelum melakukan tindakan ke atas pasien, dokter harus memberikan informed
consent kepada pasien, sama ada secara expressed atau implied consent, lisan atau tertulis supaya
pasien dapat mendapatkan penjelasan-penjelasan tentang tindakan-tindakan yang akan dilakukan
ke atasnya dan juga demi kebaikan dokter supaya dokter tidak dituntut dengan syarat dokter
melakukan tugasnya dengan benar. Terdapat hokum-hukum seperti Undang Republik Indonesia
(UU RI) Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran, dan Peraturan Pemerintah (PP)
nomor 10 tahun 1966 dijelaskan tentang kewajiban simpan rahasia Kedokteran yang harus
dipatuhi oleh seorang dokter.

Daftar Pustaka
1. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 6. Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia: Jakarta; 2010.
2. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran. Bagian Kedokteran
Forensik FKUI: Jakarta; 2005.
3. Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran & hukum kesehatan, Edisi 4. Penerbit Buku
Kedokteran EGC: Jakarta; 2007.
4. Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja, Bioetik dan Hukum
Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum, Penerbit Pustaka Dwipar,
Oktober 2005.
5. Williams J. World medical association. Medical Ethics Manual 2nd Edition; 2009.
6. Sagiran. Panduan Etika Medis. Pusat Studi Kedokteran Islam FK Universitas
Muhammadiyah: Yogyakarta; 2006.
7. Lestari AY. Aspek hukum kewajiban menyimpan rahasia kedokteran. Diunduh dari
http://isjd.pdii.lipi.go.id, 16 Januari 2013.
8. Jusuf HM. Etika kedokteran & hukum kesehatan. Dalam aspek etik dan hukum penyakit
menular seksual. Ed. 4. Jakarta: EGC, 2008. h. 144-5.

Anda mungkin juga menyukai