Anda di halaman 1dari 20

Medikolegal dan Pemeriksaan pada Kasus Pengabaian Kekerasan

Seksual pada Anak Dibawah Umur


Kelompok F4
Yuan Alessandro Suros
Jefri Patriawan
Dicky Febrian
Yolanda Phingkasari
Livia Brenda Patty
Tika Ayu Hasta Riani
Linez Marze Sapulette
Stefania Narlina Cono
Balqis Binti Basharudin
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna No. 6 Kebun Jeruk, Jakarta Barat
Telp. (021)56966593-4 Fax (021)5631731

Pendahuluan
Moral atau nurani adalah nilai yang umumnya atau seharusnya melekat pada manusia
sebagai makhluk yang berakal budi. Pengetahuan untuk membedakan mana yang baik dan benar
dengan apa yang salah. Namun tidak jarang terjadi hal-hal yang dapat dianggap sebagai
pelanggaran terhadap nilai tersebut oleh individu tertentu dalam suatu masyarakat. Dalam suatu
negara tentunya ada hukum yang turut menunjang nilai nilai tersebut sebagai aturan tertulis
sebagai pegangan, meski begitu dalam masyarakat tidak jarang juga tetap terjadi pelanggaran
terhadap hukum, baik dalam hal yang menyangkut tubuh bahkan nyawa. Dalam hal ini ilmu
kedokteran forensik ialah salah satu cabang spesialistik dari ilmu kedokteran yang berguna untuk
kepentingan penegakkan hukum serta keadilan. Proses penegakan hukum dan keadilan adalah
merupakan suatu usaha ilmiah dan bukan sekedar berdasarkan pengetahuan umum, yang tidak
ilmiah. Dengan demikian, dalam perkara pidana yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa
manusia, bantuan dokter dengan pengetahuan ilmu kedokteran forensik yang dimilikinya
sebagaimana yang tertuang dalam Visum et Repertum yang dibuatnya diperlukan. Selain bantuan
ilmu kedokteran forensik yang tertuang di dalam bentuk Visum et Repertum, bantuan dokter
dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya sangat diperlukan di dalam upaya mencari kejelasan
dan kebenaran yang selengkap-lengkapnya tentang suatu perbuatan tindak pidana yang telah
terjadi sehingga dengan demikian proses penegakan hukum dan keadilan yang sebenarnya dapat
diwujudkan.
Pada skenario ini, Seorang ibu muda bersama dengan seorang anak perempuannya yang
baru berusia 11 tahun datang ke poliklinik anak di sebuah Rumah Sakit. Setelah berada di dalam
ruang periksa Dokter, si ibu menjelaskan bahwa anaknya mengeluh sakit bila ingin kencing sejak
dua hari lalu. Dalam wawancara berikutnya dokter tidak memperoleh keterangan lain, maka
dokter pun memulai melakukan pemeriksaan fisik pada si anak.
Pada pemeriksan fisik dokter menemukan robekan lama selaput dara disertai dengan
erosi dan peradangan jaringan vulva sisi kanan. Dokter berkesimpulan bahwa sangat besar
kemungkinan telah terjadi “persetubuhan” beberapa hari sebelumnya. Dokterpun lebih intensif
mengorek keterangan dari si anak dan si ibu. Akhirnya terungkaplah fakta bahwa si anak telah
disetubuhi oleh seorang laki-laki yang telah lama dikenalnya sebagai pacar si ibu. Si ibu telah
bercerai 3 tahun dengan suaminya (ayah si anak) dan saat ini sedang menjalin hubungan dengan
laki-laki lain sebagai pacarnya. Si ibu meminta kepada dokter agar jangan membawa kasus ini ke
polisi karena ia akan malu dibuatnya. Ia berjanji untuk memutuskan hubungan dengan laki-laki
tersebut agar kejadian serupa tidak terulang lagi. Dokter menilai bahwa pasien perlu
dikonsultasikan kepada ahlinya.
PROSEDUR MEDIKOLEGAL
Dalam hal ini sebaiknya ditanyakan dahulu maksud pemeriksaan, apakah sekedar ingin
mengetahui saja, atau ada maksud untuk melakukan penuntutan. Bila dimaksudkan akan
melakukan penuntutan maka sebaiknya dokter jangan memeriksa anak itu. Pemeriksaan harus
dilakukan berdasarkan permintaan polisi dan biasanya dilakukan di rumah sakit. Ada baiknya
dokter memberikan penerangan pada ibu/ayah itu, bahwa jika umur anaknya sudah 15 tahun, dan
jika persetubuhan terjadi tidak dengan paksaan maka menurut undang-undang, laki-laki yang
bersangkutan tidak dapat dituntut. 1
Adapun prosedur medikolegal yang harus diperhatikan pada kasus kejahatan seksual:1,2
1. Setiap pemeriksaan untuk pengadilan harus berdasarkan permintaan tertulis dari penyidik
yang berwenang (pasal 133 KUHAP).
2. Korban harus diantar oleh polisi karena tubuh korban merupakan benda bukti. Kalau
korban datang sendiri dengan membawa surat permintaan dari polisi, jangan diperiksa,
suruh korban kembali kepada polisi.
3. Setiap visum et repertum harus dibuat berdasarkan keadaan yang didapatkan pada tubuh
korban pada waktu permintaan visum et repertum diterima oleh dokter.
4. Ijin tertulis untuk pemeriksaan ini dapat diminta pada korban sendiri atau jika korban
adalah seorang anak, dari orang tua atau walinya. Jelaskan terlebih dahulu tindakan-
tindakan apa yang akan dilakukan pada korban dan hasil pemeriksaan akan disampaikan
pada pengadilan. Hal ini perlu diketahui walaupun pemeriksaan dilakukan atas
permintaan polisi, belum tentu korban akan menyetujui pemeriksaan itu dan tidak
menolaknya. Selain itu bagian yang akan diperiksa merupakan the most private part dari
tubuh seorang wanita.
5. Seorang perawat atau bidan harus mendampingi dokter pada waktu memeriksa badan.
6. Pemeriksaan dilakukan secepat mungkin jangan ditunda terlampau lama. Hindarkan
korban menunggu dengan perasaan was-was dan cemas di kamar periksa. Apalagi bila
korban adalah seorang anak. Semua yang ditemukan harus dicatat, jangan tergantung
pada ingatan semata.
7. Visum et repertum diselesaikan secepat mungkin. Dengan adanya visum et repertum
perkara cepat dapat diselesaikan. Seorang terdakwa dapat cepat dibebaskan dari tahanan,
bila ternyata ia tidak bersalah.
8. Terkadang dokter yang sedang berpraktek pribadi diminta oleh seorang ibu/ayah untuk
memeriksa anak perempuannya, karena ia merasa sangsi apakah anaknya masih perawan,
atau karena ia merasa curiga kalau-kalau atas diri anaknya baru terjadi persetubuhan.
Dalam hal ini sebaiknya ditanyakan dulu maksud pemeriksaan, apakah sekedar ingin
mengetahui saja, atau ada maksud untuk melakukan penuntutan. Bila dimaksudkan akan
melakukan penuntutan maka sebaiknya dokter jangan memeriksa anak itu. Katakan
bahwa pemeriksaan harus dilakukan berdasarkan permintaan polisi dan biasanya
dilakukan di rumah sakit. Mungkin ada baiknya dokter memberikan penerangan pada
ibu/ayah itu, bahwa jika umur anaknya sudah 15 tahun, dan jika persetubuhan terjadi
tidak dengan paksaan makan menurut undang-undang, laki-laki yang bersangkutan tidak
dapat dituntut. Pengaduan mungkin hanya akan merugikan anaknya saja. Lebih baik lagi
jika orang tua itu dianjurkan untuk meminta nasehat dari pengacara.
Jika orang tua hanya sekedar ingin mengetahui saja maka dokter dapat melakukan
pemeriksaan. Perlu deielaskan lebih dahulu bahwa hasil pemeriksaan tidak akan dibuat dalam
bentuk surat keterangan karena tidak mengetahui untuk apa surat keterangan itu. Mungkin saja
untuk melakukan penuntutan atau untuk menuduh seseorang yang tidak bersalah. Sebaiknya
dokter meminta izin tertulis untuk memeriksa dan memberitahukan hasil pemeriksaan kepada
orang

KEJAHATAN SEKSUAL
A. Definisi
Kejahatan seksual adalah tindakan seksual apa pun yang dilakukan seseorang pada yang
lain tanpa persetujuan dari orang tersebut. Kejahatan seksual terdiri dari penetrasi genital, oral,
atau anal oleh bagian tubuh pelaku atau oleh sebuah objek benda. 3
Beberapa varian kejahatan seksual antara lain pemerkosaan dalam pernikahan (marital rape)
dilakukan oleh suami/istri dengan paksa terhadap pasangannya; acquitance rape, dilakukan oleh
orang yang telah dikenal sebelumnya, incest dilakukan terhadap saudara kandung sendiri; date
rape dilakukan pada saat sedang kencan; statutory rape bermakna adanya hubungan seksual
dengan seorang perempuan dibawah umur, yang rentang usianya ditentukan oleh hukum (rentang
usia 14-18 tahun); child sexual abuse diartikan dengan interaksi antara seorang anak dengan
dewasa dimana anak tersebut digunakan sebagai perangsang seksual dari orang dewasa itu atau
3
orang lain. Lingkungan sosial kita sering salah persepsi tentang kejahatan seksual. Korban
sering disalahkan bahwa kejahatan susila itu diakibatkan oleh tingkah lakunya sendiri.
Aspek Medikolegal
Pemeriksaan kasus-kasus persetubuhan yang merupakan tindak pidana, hendaknya
dilakukan dengan teliti dan waspada. Pemeriksa harus yakin akan semua bukti-bukti yang
ditemukannya karena berbeda dengan di klinik ia tidak lagi mempunyai kesempatan untuk
melakukan pemeriksaan ulang guna memperoleh lebih banyak bukti. Tetapi dalam melaksanakan
kewajiban itu dokter jangan sampai meletakkan kepentingan sikorban di bawah kepentingan
pemeriksaan. Terutama bila korban masih anak-anak hendaknya pemeriksaan itu tidak sampai
menambag trauma psikis yang sudah dideritanya.4,5
Pasal 285 KUHP
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita
bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 289 KUHP
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman memaksa seseorang untuk melakukan atau
membiarkannya dilakukannya perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang
menyerang kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 290 KUHP


Diancam dengan pidana paling lama tujuh tahun:
(1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahui bahwa
orang itu pingsan atau tidak berdaya;
(2) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahui atau
sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umumnya tidak
jelas, bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin
(3) Barang siapa membujuk seseorang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa
umurnya belum lima belas tahun atau kalau umumnya tidak jelas bahwa belum mampu dikawin,
untuk melakukan atau membiarkan perbuatan cabul atau bersetubuh diluar perkawinan dengan
orang lain.
Pasal 293
(1) Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan
wibawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja membujuk seorang
yang belum dewasa dan berkelakuan baik untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul dengan dia, padahal dia tahu atau selayaknya harus diduganya bahwa orang itu
belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(2) Penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan
kejahatan itu.
(3) Tenggang waktu tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini lamanya masing-masing
sembilan bulan dan dua belas bulan
Pasal 295
(1) Diancam:
1. dengan pidana penjara paling lama lima tahun barang siapa dengan sengaja menyebabkan
atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya,
atau anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau oleh rang yang belum dewasa yang
pemeliharaannya, pendidikannya atau penjagaannya diserahkan kepadanya, ataupun leh
pembantunya atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain
2. dengan pidana penjara paling lama empat tahun barang siapa dengan sengaja
menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul, di luar yang tersebut dalam butir 1 di atas,
yang dilakukan oleh orang yang diketahuinya belum dewasa atau yang seharusnya diduganya
demikian, dengan orang lain.

(2) Bila yang bersalah melakukan kejahatan itu sebagai pekerjaan atau kebiasaan, maka
pidananya dapat ditambah sepertiga.

Pasal 298
(1) Dalam hal pemidanaan berdasarkan salah satu kejahatan dalam pasal 281, 284-290, dan
292-297, pencabutan hak hak berdasarkan pasal 35 No. 1-5 dapat dinyatakan.
(2) Bila yang bersalah melakukan salah satu kejahatan seperti tersebut dalam pasal 292-297
dalam melakukan pencarian, maka hak untuk melakukan pencarian itu dapat dicabut orang
tuanya.

Kekerasan pada Anak

Bab IX Pasal 59 UU 23/2002 Tentang Perlindungan Anak

Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk
memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan
dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan
narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan,
penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang
menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.5

Bab IX Pasal 64 UU 23/2002 Tentang Perlindungan Anak

1. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana,
merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.5
2. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilaksanakan melalui: 5
a. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;
b. penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
c. penyediaan sarana dan prasarana khusus;
d. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;
e. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan
dengan hukum;
f. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga;
dan
g. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari
labelisasi.
3. Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilaksanakan melalui: 5
a. upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;
b. upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk
menghindari labelisasi;
c. pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental,
maupun sosial; dan
d. pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

Bab IX Pasal 68 UU 23/2002 Tentang Perlindungan Anak


1. Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan anak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan,
pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.5
2. Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau
turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).5

Bab XI Pasal 82 UU 23/2002 Tentang Perlindungan Anak

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,
memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah).5

Apabila seorang ibu/ayah ingin memeriksakan anak perempuannya, karena ia merasa


sangsi apakah anaknya masih perawan, atau karena ia merasa curiga kalau-kalau atas diri
anaknya baru terjadi persetubuhan.

Dalam hal ini sebaiknya ditanyakan dahulu maksud pemeriksaan, apakah sekedar ingin
mengetahui saja, atau ada maksud untuk melakukan penuntutan. Bila dimaksudkan akan
melakukan penuntutan maka sebaiknya dokter jangan memeriksa anak itu. Pemeriksaan harus
dilakukan berdasarkan permintaan polisi dan biasanya dilakukan di rumah sakit. Ada baiknya
dokter memberikan penerangan pada ibu/ayah itu, bahwa jika umur anaknya sudah 15 tahun, dan
jika persetubuhan terjadi tidak dengan paksaan maka menurut undang-undang, laki-laki yang
bersangkutan tidak dapat dituntut.

Anamnesis
Pada umumnya anamnesis yang diberikan oleh orang sakit dapat dipercaya, sebaliknya
anamnesis yang diperoleh dari korban tidak selalu benar. Untuk orangtua korban dan tersangka
hanya dilakukan penanyaan berkaitan dengan informed consent. Untuk lebih lanjutnya, penyidik
yang akan menanyai tersangka dan orangtua yang mengantar. Terdorong oleh berbagai maksud
atau perasaan, misalnya maksud untuk memeras, rasa dendam, menyesal atau karena takut pada
ayah atau ibu, korban mungkin mengemukakan hal-hal yang tidak benar. Anamnesis merupakan
suatu yang tidak dapat dilihat atau ditemukan oleh dokter sehingga bukan merupakan
pemeriksaan yang obyektif, sehingga seharusnya tidak dimasukkan dalam Visum et Repertum.
Anamnesis dibuat terpisah dan dilampirkan pada Visum et Repertum dengan judul “keterangan
yang diperoleh dari korban”. Dalam mengambil anamnesis, dokter meminta pada korban untuk
menceritakan segala sesuatu tentang kejadian yang dialaminya dan sebaiknya terarah. Anamnesis
terdiri dari bagian yang bersifat umum dan khusus.6
a. Anamnesis umum
Pengumpulan data tentang umur, tanggal dan tempat lahir, status perkawinan, siklus haid,
penggunaan obat-obatan, penyakit kelamin dan penyakit kandungan serta adanya penyakit lain:
epilepsy, katalepsi, syncope. Cari tahu pula apakah pernah bersetubuh? Persetubuhan yang
terakhir? Apakah menggunakan kondom? Keluhan saat pemeriksaan?
Penentuan umur korban amat perlu ditentukan pada pemeriksaan medis, karena hal itu
menentukan jenis delik (delik aduan atau bukan), jenis pasal yang dilanggar dan jumlah
hukuman yang dapat dijatuhkan. Dalam hal korban mengetahui secara pasti tanggal
lahirnya/umurnya, apalagi jika dikuatkan oleh bukti diri (KTP, SIM dsb), maka umur dapat
langsung disimpulkan dari hal tersebut. Akan tetapi jika korban tak mengetahui umurnya secara
pasti maka perlu diperiksa erupsi gigi molar II dan molar III. Gigi molar II mengalami erupsi
pada usia kurang lebih 12 tahun, sedang gigi molar III pada usia 17 sampai 21 tahun. Untuk
wanita yang telah tumbuh molar IInya, perlu dilakukan foto rongent gigi. Jika setengah sampai
seluruh mahkota molar III sudah mengalami mineralisasi (terbentuk), tapi akarnya belum maka
usianya kurang dari 15 tahun. Kriteria sudah tidaknya wanita mengalami haid pertama atau
menarche tak dapat dipakai untuk menentukan umur karena usia menarch saat ini tidak lagi pada
usia 15 tahun tetapi seringkali jauh lebih muda dari itu.6
b. Anamnesis khusus.
Hal khusus yang perlu diketahui adalah waktu kejadian; tanggal dan jam. Bila waktu antara
kejadian dan pelaporan kepada yang berwajib berselang beberapa hari atau minggu, dapat
diperkirakan bahwa peristiwa itu bukan peristiwa perkosaan, tetapi persetubuhan yang pada
dasarnya tidak disetujui oleh wanita yang bersangkutan. Karena berbagai alasan, misalnya
perempuan itu merasa tertipu, cemas akan menjadi hamil atau selang beberapa hari baru
diketahui ayah atau ibu dan karena ketakutan mengaku bahwa ia telah disetubuhi dengan paksa.
Jika korban benar telah diperkosa biasanya akan segera melapor. Tetapi saat pelaporan yang
terlambat mungkin juga disebabkan karena korban diancam untuk tidak melapor kepada polisi.
Dari data ini dokter dapat mengerti mengapa ia tidak dapat menemukan lagi spermatozoa, atau
tanda-tanda lain dari persetubuhan. Tanyakan pula di mana tempat terjadinya.6

Sebagai petunjuk dalam pencarian trace evidence yang berasal dari tempat kejadian,
misalnya rumput, tanah, dan sebagainya yang mungkin melekat pada pakaian atau tubuh korban.
Sebaliknya petugas pun dapat mengetahui di mana harus mencari trace evidence yang
ditinggalkan oleh korban atau pelaku. Perlu diketahui apakah korban melawan. Jika korban
melawan maka pakaian mungkin ditemukan robekan, pada tubuh korban mungkin ditemukan
tanda-tanda bekas kekerasan dan pada alat kelamin mungkin terdapat bekas perlawanan.
Kerokan kuku mungkin menunjukkan adanya sel-sel epitel kulit dan darah yang berasal dari
pemerkosa atau penyerang. Cari tahu apakah korban pingsan. Ada kemungkinan korban menjadi
pingsan karena ketakutan tetapi mungkin juga korban dibuat pingsan oleh laki-laki pelaku
dengan pemberian obat tidur atau obat bius. Tanyakan apakah terjadi penetrasi dan ejakulasi,
apakah setelah kejadian, korban mencuci, mandi dan mengganti pakaian. Tanyakan juga
mengenai pelaku, apakah ia dikenal atau tidak? Berapa orang pelaku? Usia pelaku dan hubungan
dengan korban?

Pemeriksaan Fisik Korban

 Pakaian

Pakaian ditentukan helai demi helai dan dilihat apakah terdapat robekan lama atau baru
sepanjang jahitan atau melintang pada pakaian, kancing terputus akibat tatikan, bercak darah, air
mani, lumpur dan lain-lain yang mungkin berasal dari tempat kejadian.6

Dicatat juga apakah pakaian rapi atau tidak, benda yang melekat dan pakaian yang mengandung
trace evidence dikirim ke laboratorium.

Pemeriksaan Tubuh

1. Dijelaskan penampilan, keadaan emosional dan tanda-tanda bekas hilang kesedaran atau
diberikan obat seperti needle marks. Pada kasus yang diduga terjadi kehilangan kesadaran
hendaklah dilakukan pemeriksaan urin dan darah.
2. Dilihat adanya atau tidak tanda-tanda kekerasan, memer atau luka lecet pada daerah
mulut, leher, pergelangan tangan, lengan, paha bagian dalam dan pinggang.
3. Dicatat perkembangan alat kelamin sekunder, pemeriksaan refleks cahaya pupil, tinggi
dan berat badan, tekanan darah, keadaan jantung dan abdomen.
4. Dilihat juga apakah terdapat trace evidence yang melekat pada tubuh korban dan
sekiranya ada, diambil dan diperlakukan seperti bahan bukti.
 Pemeriksaan Khusus (Bagian Genitalia)

Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan speculum hanya apabila pemeriksaan


mengijinkan dan sebaiknya dilakukan oleh dokter spesialis obstetrik dan ginekologi. 6

1. Rambut kemaluan
- Ada atau tidaknya rambut melekat karena air mani mengering
- Rambut digunting untuk pemeriksaan laboratorium dan untuk perbandingan dengan
rambut kemaluan pria tersangka.
2. Cari bercak air mani sekitar alat kelamin, kerok dengan sisi tumpul skalpel atau swab
dengan kapas lidi dibasahi garam fisiologis
3. Vulva
- Tanda-tanda kekerasan seperti hiperemi, edema, memar dan luka lecet akibat goresan
kuku.
- Introitus vagina dilihat apakah ada tanda-tanda kekerasan.
- Bahan sampel dari vestibulum diambil untuk pemeriksaan sperma.
4. Selaput dara
- Apakah ruptur atau tidak,
- Tentukan apakah ruptur baru atau lama. Pada ruptur lama, robekan menjalar sampai
insertion disertai adanya jaringan parut di bawahnya.
- Catat lokasi ruptur dan apakah sampai insertion atau tidak.
- Ukur lingkaran orifisium dengan cara memasukkan ujung kelingking atau telunjuk
perlahan-lahan sehingga teraba selaput dara menjepit ujung jari. Ukur lingkaran ujung
jari pada batas ini. Ukuran pada seorang perawan kira-kira 2,5cm dan lingkaran yang
memungkinkan persetubuhan adalah 9cm.
- Harus ingat bahwa persetubuhan tidak selalu terjadi deflorasi.
5. Frenulum labiorum pudenda dan commisura labiorum posterior diperiksa untuk melihat
utuh atau tidak.

Perlu juga dilakukan pemeriksaan untuk melihat apakah ada atau tidak penyakit kelamin.

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan cairan mani (semen) pada korban. Untuk membuktikan adanya cairan mani, perlu
dideteksi dengan pemeriksaan laboratorium sebagai berikut :6,7
*. Reaksi fosfatase asam
Prinsipnya adalah enzim Fosfatase asam menghidrolisis Na-α naftil fosfat; α-naftol yang
telah dibebaskan akan bereaksi dengan brentamine menghasilkan zat warnaazo yang berwarna
biru ungu. Cara pemeriksaan yaitu bahan yang dicurigai ditempelkan pada kertas saring yang
telah terlebih dahulu di basahi dengan aquades beberapa menit. Kemudian kertas saring diangkat
dan disemprot dengan reagens. Ditentukan waktu reaksi dari penyemprotan sampai timbul warna
ungu.
Untuk membedakan fosfatase asam dari cairan semen dan fosfatase asam dari cairan lain
menggunakan percobaan berikut:6
-Inhibisi dengan I (-) tartrat (Sivaram)
Untuk membedakan bercak mani dari bercak lain dari bercak lain digunakan I (-) tartat
yang menghambat aktivitas enzim fosfatase asam dalam semen.
-Elektroforesis (Baxter)
Serum anti mani manusia selain spesifik untuk antigen manusia juga mengandung zat anti
terhadap fosfatase asam. Pada fosfatase asam tampak pucat presipitin kea rah anoda sedangkan
fosfatase vaginal puncak presipitin ke arah katoda. Cara ini adalah satu – satunya cara untuk
menentukan dengan pasti adanya mani manusia pada keadaan azoospermia. Dengan cara ini
Baxter dapat menentukan adanya semen di dalam vagina sampai 4 hari pasca persetubuhan.6, 7
-Reaksi Florence
Test ini tidak khas untuk cairan mani karena ekstrak jaringan berbagai organ, putih telur
dan serangga akan memberikan Kristal serupa. Secret vagina kadang – kadang memberikan hasil
positif. Sebaliknya bila cairan mani belum cukup berdegradasi maka hasilnya mungkin negative.
6, 7
-Reaksi ini dilakukan bila terdapat azoospermia dan cara lain untukmenentukan semen
tidak dapat dilakukan. 6, 7
-Reaksi Berberio
Dasar reaksi adalah menentukanadanya spermin dalam semen. 6, 7
Pemeriksaan bercak cairan mani pada pakaian
1. Visual
Bercak mani berbatas tegas dan lebih gelap dari sekitarnya. Bercak yang sudah agak tua
berwarna kekuning – kuningan. Pada bahan sutera/nylon batasnya sering tidak jelas tetapi selalu
lebih gelap dari sekitarnya. Pada tekstil yang tidakmenyerap, bercak segar akan menunjukkan
permukaan mengkilat dan translusen, kemudian akan mongering. Dalam waktu kira – kira 1
bulan akan berwarna kuning sampai coklat. 6, 7
2. Sinar UV
Di bawah sinar UV bercak semen menunjukkan fluoresensi putih. Hasil pemeriksaan ini
kurang memuaskan untukbercak pada sutera buatan atau nylon karena tidakmemberi fluoresensi.
Bahan makanan, urin, serbuk detergen dan secret vagina juga memberikan fuoresensi juga. 1, 7
3. Perabaan taktil
Secara perabaan/taktil, bercak mani teraba member kesan kaku seperti kanji. Pada tekstil
yang tidakmenyerap, bila tidak teraba kaku, kita masih dapat mengenalinya karena permukaan
bercak akan teraba kasar. 6, 7
Pentuan Spermatozoa
1) Tanpa pewarnaan
Pemeriksaan ini berguna untuk melihat apakah terdapat spermatozoa yang bergerak.
motilitas spermatozoa ini palig bermakna memperkirakan saat terjadinya persetubuhan.
Umumnya disepakati bahwa dalam 2 – 3 jam setelah persetubuhan masih dapat ditemukan
spermatozoa yang bergerak di dalam vagina. Haid akan memperpanjang waktu ini menjadi 3 – 4
jam. Setelah itu spermatozoa tidak bergerak lagi dan akhirnya ekornya akan menghilang (lisis),
sehingga harus dilakukan pemeriksaan dengan pewarnaan. 6, 7
Cara pemeriksaan: Satu tetes lender vagina diletakkan pada kaca obyek, dilihat dengan
pembesaran 500 X serta kondensor diturunkan. Perhatikan pergerakan sperma. Menurut Voight,
sperma masih bergerak kira – kira 4 jam setelah persetubuhan. Menurut Gonzales, sperma masih
bergerak 30 – 60 menit pasca persetubuhan, tetapi kadang – kadang bila ovulasi atau terdapat
secret service dapat bertahan sampai 20 jam. Menurut Nicols, sperma masih ditemukan 5 – 6 hari
pasca persetubuhan, walaupun setelah 3 hari hanya tinggal beberapa saja. Pada orang yang mati
setelah persetubuhan, sperma masih dapat ditemukan sampai 2 minggu pasca persetubuhan,
bahkan mungkin lebih lama lagi. 6, 7
Berdasarkan data di atas maka dapat disimpulkan bahwa spermatozoa masih dapat
ditemukan sampai 3 hari pasca persetubuhan, kadang – kadang sampai 6 hari pasca
persetubuhan. Bila sperma tidak ditemukan belum tentu di vagina tidak ada ejakulat mengingat
kemungkinan azoospermia atau pasca vasektomi sehinga perlu penetuan cairan mani dalam
cairan vagina. 6, 7
2) Dengan pewarnaan
Dibuat sediaan apus dan difiksasi dengan melewatkan gelas sediaan apus pada nyala api.
Pulas dengan HE, Methylene Blue atau Malachite Green. Cara pewarnaan yang paling mudah
adalah malachite green. 1, 7
Cara pemeriksaan: warnai dengan larutan Malachite green 1% selama 10 – 15 menit, lalu cuci
dengan air mengalir dan setelah itu lakukan counter stain dengan larutan Eosin yellowish 1%
selama 1 menit, terakhir cuci lagi dengan air mengalir. 1, 7
Keuntungan pulasan ini adalah inti sel epitel dan leukosit tidak terdiferensiasi, sel epitel
berwarna merah muda merata dan leukosit tidak terwarnai. Kepala sperma tampak merah dan
lehernya tampak merah muda, ekornya berwarna hijau. 7

Aspek Psikososial

Perubahan Psikologis pada Korban Penganiayaan Seksual: 7,8


1. Fase pertama atau akut (beberapa hari setelah kejadian):

- Anak sering menangis atau diam sama sekali.

- Anak merasa tegang, takut, khawatir, malu, terhina, dendam dan sebagainya

2. Fase kedua atau adaptasi:

- Rasa takut atau marah dapat dikendalikan dengan represi atau rasionalisasi

3. Fase ketiga atau fase reoganisasi

- Depresi yang dapat berlangsung lama


- Sering sulit tidur, mimpi buruk dan sulit melupakan kejadian yang telah
menimpanya

- Takut melihat orang banyak atau orang yang berada dibelakangnya

- Takut terhadap hubungan seksual

Dampak Penganiayaan Seksual terhadap Anak: 8

Gangguan/masalah kejiwaan yang dapat timbul

 Pelbagai gejala kecemasan seperti misalnya fobia, insomnia dan sebagainya dan dapat
juga berupa Gangguan Stres Pasca Trauma.
 Gejala disosiatif dan histerik.
 Rasa rendah diri dan kecenderungan untuk bunuh diri yang menunjukkan terdapatnya
depresi.
 Keluhan somatik seperti enuresis, enkoporesis serta keluhan somatik lainnya.
Gangguan perilaku seksual: masturbasi, sexual hyeraousal.

Penatalaksanaan
Sebaiknya korban sexual abuse dirujuk untuk melakukan konseling ke psikologi, bantuan
lembaga LSM dan diterus melakukan follow-up dua minggu kemudian. Pasien mungkin
menderita trauma psikis dan perubahan tingkah laku. Perujukan dan pemeriksaan ini berkaitan
dengan pelaporan dalam visum et repertum juga untuk pengobatan.

Visum et Repertum
Visum et Repertum sendiri adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter, berisi
temuan dan pendapat berdasarkan keilmuannya tentang hasil pemeriksaan medis terhadap
manusia atau bagian dari tubuh manusia, baik yang hidup maupun mati, atas permintaan tertulis
(resmi) dari penyidik yang berwenang yang dibuat atas sumpah atau dikuatkan dengan sumpah,
untuk kepentingan peradilan9
Untuk kepentingan peradilan, dokter berkewajiban untuk membuktikan adanya
persetubuhan, kekerasan serta usia korban. Selain itu, pemeriksaan kehamilan, adanya penyakit
akibat hubungan seksual dan kelainan psikiatrik sebagai akibat dari tindakan pidana tersebut.
Dokter tidak dibebani pembuktian adanya pemerkosaan, karena per definisi perkosaan adalah
istilah yang harus dibuktikan di depan sidang pengadilan.9
Dalam kesimpulan visum et repertum korban kejahatan susila diiharapkan tercantum
perkiraan usia korban, ada atau tidaknya tanda persetubuhan dan bila mungkin, menyebutkan
perkiraan terjadinya dan adanya tanda tanda kekerasan. Misalnya, pada perempuan bukan
perawan, persetubuhan mungkin tidak menimbulkan luka dan tidak ada kualifikasi luka yang
akan dikemukakan.9
Anamnesis dipisah dan dilampirkan pada Visum et Repertum, tetapi masih perlu
dipikirkan apakah hal ini dapat diterima dengan gembira oleh pihak yang bersangkutan, karena
mungkin keterangan yang diberikan kepada dokter berbeda dengan yang diberikan kepada polisi.
9

Meskipun tidak ada keseragaman format, namun pada umumnya Visum et Repertum
terdiri dari 5 bagian yaitu:9
1. Projustitia
2. Pendahuluan
3. Pemberitaan
4. Kesimpulan
5. Penutup
Bagian pendahuluan merupakan uraian tentang identitas dokter pemeriksa, instansi
pemeriksa, tempat dan waktu pemeriksaan, instansi peminta visum, nomor dan tanggal surat
permintaan, serta identitas korban yang diperiksa sesuai dengan permintaan vsum et repertum
tersebut.8
Bagian hasil pemeriksaan diberi judul “hasil pemeriksaan”, memuat semua hasil
pemeriksaan terhadap “barang bukti” yang dituliskan secara sistematik, jelas dan dapat
dimengerti oleh orang yang tidak berlatar belakang kedokteran.9
Bagian kesimpulan berisi kesimpulan pemeriksa atas hasil pemeriksaan dengan
berdasarkan keilmuan/keahliannya. Pada korban hidup berisi setidaknya jenis perlukaa atau
cedera, penyebab, serta derajat luka.9
Bagian penutup, ditulis tanpa judul dan merupakan uraian kalimat penutup yang menyatakan
bahwa “visum et repertum dibuat dengan sebenarnya, berdasarkan keilmuan serta mengingat
sumpah dan sesuai dengan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana”9
Contoh Visum et Repertum
RS UKRIDA
Jl. Arjuna Utara
Telp 021-56990011

JAKARTA, 25 Desember 2017

PRO JUSTITIA
VISUM ET REPERTUM
No: 08 / TU.RSU / I/ 2017

VISUM ET REPERTUM
NO: KF 25/VR/IV/2017

Yang bertanda tangan di bawah ini, dr.Yolanda Phingkasari SpF, dokter pada Rumah Sakit
Ukrida, atas permintaan tertulis dari Kepolisian sektor Tanjung Duren, melalui suratnya nomor
08/VER/I/2017/SektTjDuren, tertanggal 25 Desember 2017, maka dengan ini menerangkan
bahwa pada tanggal lima Desember tahun dua ribu tiga belas, pukul lima belas Waktu Indonesia
Barat, bertempat di RS Ukrida, telah melakukan pemeriksaan terhadap korban yang menurut
surat permintaan tersebut adalah:----------------------------------------------
Nama : X---------------------------------------------------------------------------------
Jenis kelamin : Perempuan----------------------------------------------------------------------
Umur : Empat belas tahun -------------------------------------------------------------
Kewarganegaraan : Indonesia -----------------------------------------------------------------------
Pekerjaan : Pelajar ---------------------------------------------------------------------------
Alamat : Jalan Taman Angsana V No. 20 Jakarta Timur ---------------------------

Hasil pemeriksaan
Pada pemeriksaan ditemukan:
a. Perempuan tersebut adalah seorang wanita berumur empat belas tahun dengan kesadaran
baik, emosi tegang, rambut rapi, penampilan bersih, sikap selama pemeriksaan membantu---------
b. Pakaian rapi, tidak ditemukan robekan --------------------------------------------------------
c. Tanda kelamin sekunder sudah berkembang dengan baik-----------------------------------
d. Keadaan umum jasmaniah baik, tekanan darah seratus dua puluh per delapan puluh
milimeter air raksa, denyut nadi delapan puluh sembilan kali per menit, pernapasan dua puluh
kali per menit------------------------------------------------------------------------------------------------
e. Ditemukan adanya luka memar dan lecet pada daerah mulut, leher, pergelangan tangan,
paha bagian dalam, bokong, pinggang, dan jejas gigit pada daerah payudara------------
f. Pemeriksaan Alat Kelamin: ---------------------------------------------------------------------
• Rambut kemaluan : Saling melekat menjadi satu karena air mani yang mengering dan
adanya bercak mani sekitar alat kelamin----------------------------------------------
• Mulut alat kelamin: Pada kedua bibir kecil kemaluan tampak kemerahan, terdapat
luka lecet tekan dan memar yang merupakan tanda kekerasan-------------------------
• Selaput dara: Terdapat robekan pada selaput dara hingga ke dasar sesuai dengan arah
jarum jam tiga ---------------------------------------------------------------------------
• Leher rahim: Tampak merah keunguan dengan permukaan licin, lunak--------------
g. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya sel mani dalam leher rahim---------
Kesimpulan
Pada anak perempuan yang baru berumur 14 tahun ini ditemukan sel mani dalam liang vagina,
selanjutnya ditemukan robekan selaput dara pada lokasi pukul enam sesuai dengan arah jarum
jam----------------------------------------------------------------------------------------------
Ditemukan juga luka memar dan lecet akibat kekerasan tumpul di daerah mulut, leher,
pergelangan tangan, paha bagian dalam, bokong, pinggang, dan jejas gigit pada daerah
payudara-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Dari hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium memang benar yang bersangkutan
telah terjadi persetubuhan---------------------------------------------------------------------------------

Penutup:
Demikianlah visum et repertum ini saya buat dengan sesungguhnya dengan menggunakan
keilmuan yang sebaik-baiknya, mengingat sumpah sesuai dengan KUHAP ----------------------

Jakarta, 25 Desember 2017


Dokter Pemeriksa

dr. X, SpF
Kesimpulan

Dari unsur medikolegal, pelaku tidak dapat dituntut dengan pasal 285 KUHP karena ini
merupakan delik aduan, tetapi pelaku dapat dituntut dengan Bab IX Pasal 59 UU 23/2002
Tentang Perlindungan Anak, dan ibunya dapat dijerat pasal 289 KUHP tentang membiarkan
melakukan tindakan cabul. Untuk pemeriksaan, harus dilakukan secepat mungkin mengingat bisa
terdapat trauma pada anak tersebut, terutama pada bagian anamnesis harus menggunakan
pertanyaan terbuka agar tidak terkesan menghakimi anak tersebut. Kemudian pada pemeriksaan
vaginal swab untuk sample sperma tidak menggunakan bantuan spekulum karena anak tersebut
belum menikah dan melahirkan sehingga robekan pada selaput dara dapat diakibatkan oleh
insersi spekulum dan hal itu dapat menjadi tuntutan pada dokter yang memeriksa.
Daftar Pustaka

1. Idries, A.M., Tjiptomartono, A.L. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik Dalam Proses
Penyidikan. Jakarta : Sagung Seto; 2008: h. 113-32.
1. Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Peraturan Perundang-undangan Bidang
Kedokteran. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 1994. p. 1-9, 37.
2. Pelecehan Seksual pada Anak. Diunduh dari www.scribd.com, pada tanggal 25
Desember 2017.
3. Dahlan S. Ilmu kedokteran kehakiman pedoman bagi dokter dan penegak hukum.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000
4. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, et al. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta:
Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 1997. p.147-158.
5. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Unicef, Indonesia.

6. Apuranto H. Ilmu kedokteran forensik dan medikolegal. Surabaya: FK Airlangga, 2008


7. Kejahatan Seksual. Available at http://www.tribunnews.com/2013/01/13/tahun-2012-
laporan-kekerasan-seksual-anak-meningkat. Accessed on: December 16, 2017
8. Psikososial. Available at: www.library.usu.co.id Accesed on: December 16, 2017
9. Staf pengajar bagian kedokteran forensik FKUI. Visum et Repertum. Teknik Autopsi
Forensik. Cetakan ke-4. Penerbit Bagian Kedokteran Forensik FKUI. 2000:72-81.

Anda mungkin juga menyukai