Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

ASMA BRONKIAL

Pembimbing:

dr Benyamin Paulus Oktavianus Sp, P

Disusun oleh:

Yolanda Phingkasari Suhendra (112021035)

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA PERIODE 13 SEPTEMBER- 20


NOVEMBER 2021

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CENGKARENG 2021


LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul :

Asma Bronkial

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik

Ilmu Penyakit Dalam RSUD Cengkareng periode

13 September 2021 – 20 November 2021

Disusun oleh:

Yolanda Phingkasari Suhendra 11201035

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Benyamin Paulus Oktavianus Sp, P

Selaku dokter pembimbing Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUD Cengkareng

Jakarta, 2 November 2021


Pembimbing

dr. Benyamin Paulus Oktavianus Sp,P


BAB 1

Pendahuluan

Gangguan pada paru dapat diakibatkan oleh banyak hal yang mendasari sehingga
dapat menyebabkan rusaknya sistem pernafasan pada manusia. Salah satu penyakit paru yang
sering dijumpai adalah asma. Asma merupakan kondisi jangka panjang yang mempengaruhi
anak-anak maupun orang dewasa. Asma disebabkan oleh peyempitan atau pembengkakan
saluran yang membawa udara ke paru-paru. Sehingga, hal ini menyebabkan batuk, sesak
nafas, nafas pendek dan mengi. Pemicu asma pada setiap orang berbeda-beda, dan serangan
yang diakibatkan pun dapat terjadi mulai dari ringan sampai berat ataupun sampai
mengakibatkan kematian. Namun ada beberapa faktor yang dapat mencetuskan timbulnya
penyakit ini, yaitu olahraga, infeksi aluran nafas, alergen (serbuk sari, debu), iritan (asap
polusi,asap rokok).1

Menurut WHO asma mempengaruhi sekitar 262 juta orang pada tahun 2019 dan
menyebabkan 461.000 kematian. Sumber lain menyebutkan bahwa pasien asma sudah
mencapai300 juta orang di seluruh dunia dan terus meningkat selama 20 tahun belakangan
ini. Apabilatidak dicegah dan ditangani dengan baik, maka diperkirakan akan terjadi
peningkatan prevalensi yang lebih tinggi lagi pada masa akan datang.2,3

Asma dapat diderita seumur hidup sebagaimana penyakit alergi lainnya, dan tidak dapat
disembuhkan secara total. Upaya terbaik yang dapat dilakukan untuk menanggulangi
permasalahan asma hingga saat ini masih berupa upaya penurunan frekuensi dan derajat
serangan, sedangkan penatalaksanaan utama adalah menghindari faktor penyebab.4

BAB II

Tinjauan Pustaka

Definisi
Asma adalah penyakit radang kronis pada saluran pernafasan. Peradangan kronis
dikaitkan dengan hiperresponsivitas jalan napas (adanya penyempitan jalan napas berlebihan
yang disebabkan oleh pemicu spesifik seperti virus, alergen, dan olahraga) yang mengarah
pada episode berulang berupa mengi, sesak napas, nyeri dada dan/atau batuk yang dapat
bervariasi dari waktu ke waktu dan intensif.5 Sedangkan definisi lain menurut WHO pada
tahun 2020 yaitu, asma merupakan kondisi dimana terjadinya pembengkakan atau
penyempitan saluran nafas yang menyebabkan kesulitan bernapas sporadis dan sering dimulai
pada masa kanak-kanak, walaupun juga dapat berkembang pada orang dewasa, dan
mempengaruhi orang-orang dari segala usia.2

Gambar 1: Mekanisme Dasar Kelainan Asma6

Pasien asma memiliki pola inflamasi saluran napas yang khas, ditandai oleh sel mast
bergranulasi, infiltrasi eosinofil dan peningkatan jumlah sel T helper- 2 yang teraktivasi.
Pola inflamasi khas inilah yang mendasari gambaran klinis pasien asma termasuk mengi
intermiten, sesak napas, batuk dan rasa berat di dada. Peningkatan berbagai mediator
inflamasi diantaranya mediator lipid, sitokin atau kemokin dan growth factor yang berasal
dari struktur sel saluran napas antara lain sel otot polos saluran napas, sel epitel, sel endotel
dan fibroblas ditemukan pada pasien asma. Sel epitel diduga berperan penting karena
mengalami aktivasi oleh sinyal lingkungan dan melepaskan berbagai protein inflamasi yang
diatur oleh meningkatnya transkripsi gen yang dikendalikan oleh faktor transkripsi
proinflamasi misalnya nuclear factor-kB (NF-Kb) dan activator protein-1 (AP-1) yang
teraktivasi pada saluran napas pasien asma.7

Epidmiologi
Asma merupakan masalah kesehatan dunia. Diperkirakan sebanyak 300 juta
orang menderita asma, dengan prevalensi sebesar 1- 18 %, bervariasi pada berbagai negara.
Kejadian asma dipengaruhi factor genetik, lingkungan, umur dan gender dan terdapat
kecenderungan peningkatan insidensinya terutama didaerah perkotaan dan industri akibat
adanya polusi udara. Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti, namun
diperkirakan 5-7% penduduk Indonesia menderita asma. Sedangkan menurut Badan
Kesehatan Dunia (WHO), jumlah penderita asma pada tahun 2019 adalah 262 juta orang dan
diprediksi akan terus meningkat. Sedangkan jumlah kematian yang diakibatkan oleh asma
mencapai 461.000 orang.2,5

Etiologi

Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan
asma:3

1. Faktor predisposisi

Genetik. Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum


diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi
biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat
alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan
foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.

2. Faktor presipitasi
a) Alergen, dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
 Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan (debu, bulu binatang, serbuk bunga,
spora jamur, bakteri dan polusi)
 Ingestan, yang masuk melalui mulut (makanan dan obat-obatan)
 Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit (perhiasan, logam dan jam
tangan)
b) Perubahan cuaca

Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma.
Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti musim hujan, musim
kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
c) Stress

Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa
memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus
segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi
nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi
maka gejala asmanya belum bisa diobati.

d) Lingkungan kerja

Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini
berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium
hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu
libur atau cuti.

e) Olahraga/ aktifitas jasmani yang berat

Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani atau
olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma
karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.

Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu :3

1. Ekstrinsik (alergik)

Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang
spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan
spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik
terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang
disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.

2. Intrinsik (non alergik)

Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak
spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya
infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering
sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan
emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.

3. Asma gabungan

Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk
alergik dan non-alergik.

Patofisiologi

Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas dan disebabkan oleh hipereaktivitas
saluran napas yang melibatkan beberapa sel inflamasi terutama sel mast, eosinofil, sel
limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel yang menyebabkan pelepasan mediator seperti
histamin dan leukotrin yang dapat mengaktivasi target saluran napas sehingga terjadi
bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema dan hipersekresi mukus. Inflamasi
saluran napas pada asma merupakan proses yang sangat kompleks melibatkan faktor genetik,
antigen dan berbagai sel inflamasi, interaksi antara sel dan mediator yang membentuk proses
inflamasi kronik.7

C       
 
   
 
 
#
##
#

.

#
!
C




$##



!  7
  

   
 


%#

%


%
% 
 
(# 
 
 

#  ?
=G    
  
  
  (#
  
  
 
  # 
?/ !  ?
.

%





%
C 
 
   
 
 
#
##
#

.

#
!
C




$##



!  7
  

   
 


%#

%


%
% 
 
(# 
 
 

#  ?
=G    
  
  
  (#
  
  
 
  # 
?/ !  ?
.

%





%
Obstruksi saluran nafas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus,
sumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat selama
ekspirasi karena secara fisiologis saluran nafas menyempit pada fase tersebut. Hal ini
mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obtruksi terjebak tidak bisa diekspirasi,
selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF), dan pasien
akan bernafas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan
hiperinflasi ini bertujuan agar saluran nafas tetap terbuka dan pertukaaran gas berjalan lancar.
Gangguan yang berupa obstruksi saluran nafas dapat dinilai secara obyektif dengan Volume
Ekspirasi Paksa (VEP) atau Arus Puncak Ekspirasi (APE). Sedangkan penurunan Kapasitas
Vital Paksa (KVP) menggambarkan derajat hiperinflasi paru. Penyempitan saluran nafas
dapat terjadi baik pada di saluran nafas yang besar, sedang maupun yang kecil. Gejala mengi
menandakan ada penyempitan di saluran nafas besar.7

Tabel 1. Mediator Sel Mast Dan Pengaruhnya Terhadap Asma3

Mediator
Histamin Kontruksi otot polos
LTC4, D4, E4
Prostaglandin dan Thromboksan A2
Bradikinin
Platelet-activating factor (PAF)
Histamin Udema mukosa
LTC4, D4,E4
Prostaglandin dan Thromboksan E2
Bradikinin
Platelet-activating factor (PAF)
Histamin Sekresi mukus
LTC4, D4,E4
Prostaglandin
Hidroxyeicosatetraenoic acid
Radikal oksigen Deskuamasi epitel bronkial
Enzim proteolitik
Faktor inflamasi dan sitokin
Gambar 2. Patofisiologi Asma7

Klasifikasi

Klasifikasi asma menurut Global Initiative for Asthma:5

1. Intermiten
Gejala kurang dari 1 kali, serangan singkat, gejala nokturnal tidak lebih dari 2 kali/bulan
(FEV1 ≥80% predicted atau PEF ≥80% nilai terbaik individu, variabilitas PEV atau
FEV1<20%)
2. Persisten ringan
Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari, serangan dapat mengganggu
aktivitas dan tidur, gejala nokturnal >2 kali/bulan (FEV1 ≥80% predicted atau PEF ≥80%
nilai terbaik individu, variabilitas PEV atau FEV120-30%)
3. Persisten sedang
Gejala terjadi setiap hari, serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur, gejala nokturnal >1
kali/ minggu, menggunakan agonis-β2 kerja pendek setiap hari (FEV1 60-80% predicted atau
PEF 60-80% nilai terbaik individu, variabilitas PEV atau FEV1>30%).
4. Persisten berat
Gejala terjadi setiap hari, serangan sering terjadi, gejala asma nokturnal sering terjadi (FEV1
≤60% predicted atau PEF ≤60% nilai terbaik individu, variabilitas PEV atau FEV1>30%)

Tabel 2. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada orang
dewasa6

Derajat Gejala Gejala malam Faal paru


Intermiten Gejala kurang dari Kurang dari 2 kali APE > 80%
1x/minggu dalam sebulan

Asimtomatik
Persisten -Gejala lebih dari Lebih dari 2 kali APE >80%
ringan 1x/minggu tapi kurang dalam sebulan
dari 1x/hari

-Serangan dapat
menganggu Aktivitas
dan tidur
Persisten -Setiap hari, Lebih 1 kali dalam APE 60-80%
sedang seminggu

-serangan 2
kali/seminggu, bisa
berahari-hari.

-menggunakan obat
setiap hari

-Aktivitas & tidur


terganggu
Persisten berat - gejala Kontinyu Sering APE <60%

-Aktivitas terbatas

-sering serangan

Gejala yang biasanya dialami oleh pasien dengan penyakit asma adalah mengi,
kesulitan bernafas, dada sesak, dan batuk (tanpa dahak). Gejala ini merupaka gejala klasik
pada pasien dengan penykit asma. Gejala yang dialami pasien ini bisa terjadi secara
berulang/episodik, dan dapat juga terjadi keparahan pada pagi hari atau malam hari. Selain itu
juga, keparahan pada gejala dapat terjadi karena terpaparnya pasien oleh allergen (debu,
tungau, dingin, serbuk sari, dll), sedang atau setelah olahraga, dan terpaparnya dengan asap
rokok.7

Diagnosis Asma

Diagnosis asma didasarkan pada riwayat penyakit, pemeriksaan fisis, dan


pemeriksaan penunjang. Pada riwayat penyakit akan dijumpai keluhan batuk, sesak, mengi,
atau rasa berat di dada. Tetapi kadang-kadang pasien hanya mengeluh batuk-batuk saja
yang umumnya timbul pada malam hari atau sewaktu kegiatan jasmani. Adanya
penyakit alerho yang lain pada pasien maupun keluarganya seperti rinitis alergi, atau
dermatitis atopik membantu diagnosis asma. Gejala asma sering timbul pada malam hari,
tetapi dapat pula muncul sembarang waktu. Adakalanya gejala lebih sering terjadi pada
musim tertentu. Yang perlu diketahui adalah faktor-faktor pencetus kemudian
menghindarinya, maka diharapkan gejala asma dapat dicegah.6
Faktor-faktor pencetus pada asma yaitu:6

a. Infeksi virus saluran napas: influenza


b. Pemajanan terhadap alergen tungau, debu rumah, bulu binatang
c. Pemajanan terhadap iritan asap rokok, minyak wangi
d. Kegiatan jasmani: lari
e. Ekspirasi emosional takut, marah, frustasi
f. Obat-obat aspirin, penyekat beta, anti-inflamasi non-steroid
g. Lingkungan kerja: uap zat kimia
h. Polusi udara: asap rokok
i. Pengawet makanan: sulfit

Pemeriksaan Penunjang

 Spirometri
Spirometri adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur faal ventilasi paru. Reversibilitas
penyempitan saluran napas yang merupakan ciri khas asma dapat dinilai dengan peningkatan
volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan atau kapasiti vital paksa (FVC) sebanyak
20% atau lebih sesudah pemberian bronkodilator.6

 Uji Provokasi Bronkus


Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita dengan gejala
sma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus. Pemeriksaan uji
provokasi bronkus merupakan cara untuk membuktikan secara objektif hiperreaktivitas
saluran napas pada orang yang diduga asma. Uji provokasi bronkus terdiri dari tiga jenis
yaitu uji provokasi dengan beban kerja (exercise), hiperventilasi udara dan alergen non-
spesifik seperti metakolin dan histamin.6

 Foto Toraks
Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain yang memberikan
gejala serupa seperti gagal jantung kiri, obstruksi saluran nafas, pneumothoraks,
pneumomediastinum. Pada serangan asma yang ringan, gambaran radiologik paru biasanya
tidak memperlihatkan adanya kelainan.6
Diagnosis Banding6

 Bronkitis kronik
Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum 3 bulan dalam
setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Gejala utama batuk yang disertai sputum dan perokok
berat. Gejala dimulai dengan batuk pagi, lama kelamaan disertai mengi dan menurunkan
kemampuan jasmani.

 Emfisema paru
Sesak napas merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang
menyertainya.

 Gagal jantung kiri


Dulu gagal jantung kiri dikenal dengan asma kardial dan timbul pada malam hari disebut
paroxysmal nocturnal dispnea. Penderita tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak,
tetapi sesak menghilang atau berkurang bila duduk. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
kardiomegali dan edema paru.

 Emboli paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung. Disamping gejala sesak
napas, pasien batuk dengan disertai darah (haemoptoe).

Penatalaksanaan

Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan kualitas


hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas
sehari-hari.5

 Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma


 Mencegah eksaserbasi akut
 Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
 Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise
 Menghindari efek samping obat
 Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel

Penatalaksanaan asma bronkial terdiri dari pengobatan non-medikamentosa dan pengobatan


medikamentosa :
Pengobatan non-medikamentosa

 Penyuluhan
 Menghindari faktor pencetus
 Pengendali emosi

 Pemakaian oksigen

Pengobatan medikamentosa

Pengobatan ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas, terdiri atas
pengontrol dan pelega.3,5

a. Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap
hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten.
Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol :3,5

1. Kortikosteroid inhalasi
Pengobatan jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma. Penggunaan
steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan
napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki
kualiti hidup. Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma persisten (ringan
sampai berat).

2. Kortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Harus selalu diingat indeks terapi (efek/
efek samping), steroid inhalasi jangka panjang lebih baik daripada steroid oral jangka
panjang.

3. Kromolin (Sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)


Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten
ringan. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan untuk menetapkan apakah obat ini
bermanfaat atau tidak.

4. Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti
antiinflamasi. Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai obat
pengontrol, berbagai studi menunjukkan pemberian jangka lama efektif mengontrol
gejala dan memperbaiki faal paru.

5. Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi


Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan
formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya agonis
beta-2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier,
menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi penglepasan mediator dari
sel mast dan basofil.

6. Leukotrien modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral.
Mekanisme kerja menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan
bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat
bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. Kelebihan obat ini adalah
preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah diberikan. Saat ini yang
beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien sisteinil).

b. Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan
atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di
dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif
jalan napas. Termasuk pelega adalah:3,5

1. Agonis beta2 kerja singkat


Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol yang
telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat.
Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas,
meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan
modulasi penglepasan mediator dari sel mast. Merupakan terapi pilihan pada serangan
akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi pada exercise-induced asthma.

2. Kortikosteroid sistemik.
Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila penggunaan bronkodilator yang
lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan
dengan bronkodilator lain.
3. Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah
dibandingkan agonis beta-2 kerja singkat.

4. Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek penglepasan
asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan
menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks
bronkokostriksi yang disebabkan iritan. Termasuk dalam golongan ini adalah
ipratropium bromide dan tiotropium bromide.

5. Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat. Pemberian secara
subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia lanjut atau dengan gangguan
kardiovaskular. Pemberian intravena dapat diberikan bila dibutuhkan, tetapi harus
dengan pengawasan ketat (bedside monitoring).
Pengobatan Sesuai Derajat Asma

 Asma Intermiten

Termasuk pula dalam asma intermiten penderita alergi dengan pajanan alergen,
asmanya kambuh tetapi di luar itu bebas gejala dan faal paru normal. Demikian pula
penderita exercise- induced asthma atau kambuh hanya bila cuaca buruk, tetapi di luar
pajanan pencetus tersebut gejala tidak ada dan faal paru normal. Serangan berat umumnya
jarang pada asma intermiten walaupun mungkin terjadi. Bila terjadi serangan berat pada asma
intermiten, selanjutnya penderita diobati sebagai asma persisten sedang.

Pengobatan yang lazim adalah agonis beta-2 kerja singkat hanya jika dibutuhkan atau
sebelum exercise pada exercise-induced asthma, dengan alternatif kromolin atau leukotriene
modifiers, atau setelah pajanan alergen dengan alternatif kromolin. Bila terjadi serangan, obat
pilihan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi, alternatif agonis beta-2 kerja singkat oral,
kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis beta-2 kerja singkat oral atau antikolinergik
inhalasi. Jika dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama 3 bulan, maka
sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan.

 Asma Persisten Ringan


Penderita asma persisten ringan membutuhkan obat pengontrol setiap hari untuk
mengontrol asmanya dan mencegah agar asmanya tidak bertambah bera; sehingga terapi
utama pada asma persisten ringan adalah antiinflamasi setiap hari dengan glukokortikosteroid
inhalasi dosis rendah. Dosis yang dianjurkan 200-400 ug BD/ hari atau 100-250 ug FP/hari
atau ekivalennya, diberikan sekaligus atau terbagi 2 kali sehari.

Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika dibutuhkan
sebagai pelega, sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. Bila penderita membutuhkan
pelega/ bronkodilator lebih dari 4x/ sehari, pertimbangkan kemungkinan beratnya asma
meningkat menjadi tahapan berikutnya.

 Asma Persisten Sedang


Penderita dalam asma persisten sedang membutuhkan obat pengontrol setiap hari untuk
mencapai asma terkontrol dan mempertahankannya. Idealnya pengontrol adalah kombinasi
inhalasi glukokortikosteroid (400-800 ug BD/ hari atau 250-500 ug FP/ hari atau
ekivalennya) terbagi dalam 2 dosis dan agonis beta-2 kerja lama 2 kali sehari. Jika penderita
hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah (≤ 400 ug BD atau
ekivalennya) dan belum terkontrol; maka harus ditambahkan agonis beta-2 kerja lama
inhalasi atau alternatifnya. Jika masih belum terkontrol, dosis glukokortikosteroid inhalasi
dapat dinaikkan. Dianjurkan menggunakan alat bantu/ spacer pada inhalasi bentuk IDT/MDI
atau kombinasi dalam satu kemasan (fix combination) agar lebih mudah.

Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika dibutuhkan ,
tetapi sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. . Alternatif agonis beta-2 kerja singkat
inhalasi sebagai pelega adalah agonis beta-2 kerja singkat oral, atau kombinasi oral teofilin
kerja singkat dan agonis beta-2 kerja singkat. Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak
digunakan bila penderita telah menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol.

 Asma Persisten Berat


Tujuan terapi pada keadaan ini adalah mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala seringan
mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru (APE) mencapai nilai terbaik,
variabiliti APE seminimal mungkin dan efek samping obat seminimal mungkin. Untuk
mencapai hal tersebut umumnya membutuhkan beberapa obat pengontrol tidak cukup hanya
satu pengontrol. Terapi utama adalah kombinasi inhalasi glukokortikosteroid dosis tinggi (>
800 ug BD/ hari atau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama 2 kali sehari. Kadangkala
kontrol lebih tercapai dengan pemberian glukokortikosteroid inhalasi terbagi 4 kali sehari
dari pada 2 kali sehari.

Teofilin lepas lambat, agonis beta-2 kerja lama oral dan leukotriene modifiers dapat
sebagai alternatif agonis beta-2 kerja lama inhalasi dalam perannya sebagai kombinasi
dengan glukokortikosteroid inhalasi, tetapi juga dapat sebagai tambahan terapi selain
kombinasi terapi yang lazim (glukokortikosteroid inhalasi dan agonis beta-2 kerja lama
inhalasi). Jika sangat dibutuhkan, maka dapat diberikan glukokortikosteroid oral dengan dosis
seminimal mungkin, dianjurkan sekaligus single dose pagi hari untuk mengurangi efek
samping. Pemberian budesonid secara nebulisasi pada pengobatan jangka lama untuk
mencapai dosis tinggi glukokortikosteroid inhalasi adalah menghasilkan efek samping
sistemik yang sama dengan pemberian oral, padahal harganya jauh lebih mahal dan
menimbulkan efek samping lokal seperti sakit tenggorok/ mulut. Sehngga tidak dianjurkan
untuk memberikan glukokortikosteroid nebulisasi pada asma di luar serangan/ stabil atau
sebagai penatalaksanaan jangka panjang.

Tabel 3. Pengobatan Sesuai Derajat Asma

Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila
dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari.
Berat Asma Medikasi Alternatif / Pilihan Alternatif lain
pengontrol harian lain
Asma Intermiten Tidak perlu
Asma Persisten Glukokortikosteroid  Teofilin lepas
Ringan inhalasi (200-400 ug lambat
BD/hari atau
ekivalennya)  Kromolin
 Leukotriene
modifiers
Asma Persisten Kombinasi inhalasi  Glukokortikosteroi  Ditambah agonis
Sedang glukokortikosteroid d inhalasi (400-800 beta-2 kerja lama
ug BD atau oral, atau
(400-800 ug BD/hari ekivalennya)  Ditambah teofilin
atau ekivalennya) ditambah Teofilin lepas lambat
  dan lepas lambat ,atau
 Glukokortikosteroi
agonis beta-2 kerja d inhalasi (400-800
lama ug BD atau
ekivalennya)
ditambah agonis
beta-2 kerja lama
oral, atau
 Glukokortikosteroi
d inhalasi dosis
tinggi (>800 ug BD
atau ekivalennya)
atau
 Glukokortikosteroi
d inhalasi (400-800
ug BD atau
ekivalennya)
ditambah
leukotriene
modifiers

Asma Persisten Kombinasi inhalasi Prednisolon/


Berat glukokortikosteroid metilprednisolon oral
(> 800 ug BD atau sehari 10 mg ditambah
  ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja
agonis beta-2 kerja lama oral, ditambah
lama, ditambah ³ 1 teofilin lepas lambat
di bawah ini:

 teofilin lepas
lambat
 leukotriene
modifier
 glukokortikosteroid
oral

Tatalaksana serangan asma dirumah sakit dan rumah

Penderita asma mutlak untuk memahami bagaimana mengatasi saat terjadi serangan,
apakah cukup diatasi di rumah saja dengan obat yang sehari-hari digunakan, ataukah ada obat
tambahan atau bahkan harus pergi ke rumah sakit. Konsep itu yang harus dibicarakan dengan
dokternya (lihat bagan penatalaksanaan asma di rumah). Bila sampai membutuhkan
pertolongan dokter dan atau fasiliti rumah sakit, maka dokter wajib menilai berat serangan
dan memberikan penanganan yang tepat (lihat bagan penatalaksanaan asma akut di rumah
sakit).

Kemampuan penderita untuk dapat mendeteksi dini perburukan asmanya adalah


penting dalam keberhasilan penanganan serangan akut. Bila penderita dapat mengobati
dirinya sendiri saat serangan di rumah, maka ia tidak hanya mencegah keterlambatan
pengobatan tetapi juga meningkatkan kemampuan untuk mengontrol asmanya sendiri.
Idealnya penderita mencatat gejala, kebutuhan bronkodilator dan faal paru (APE) setiap
harinya dalam kartu harian (pelangi asma), sehingga paham mengenai bagaimana dan kapan
pasien mengenal perburukan asmanya, memodifikasi dan menambah pengobatan asma,
menilai berat asma, serta kapan harus mendapat pertolongan medis/ dokter.5

Gambar 3 :Algoritme Penatalaksanaan Asma di Rumah Sakit6


Gambar 4 : Algoritme Penatalaksanaan Asma di Rumah6

Edukasi kepada pasien/keluarga


a. meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola penyakit
asma sendiri)
b. meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma sendiri/asma
mandiri)
c. membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol asma

Pencegahan

a. Menjauhi alergen
b. Menghindari kelelahan
c. Menghindari stress psikis
d. Mencegah/mengobati ISPA sedini mungkin
e. Olahraga (senam asma)

Komplikasi
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah :
1. Pneumothorax
2. Pneumodiastinum dan emfisema subkutis
3. Atelectasis
4. Aspergilosis bronkopulmoner alergik
5. Gagal napas
6. Bronkitis
7. Fraktur iga

BAB III
Kesimpulan
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel
dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan
batuk- batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan
obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau
tanpa pengobatan.
Tujuan penatalaksanaan asma adalah menghilangkan dan mengendalikan gejala asma,
mencegah eksaserbasi akut, meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal
mungkin, mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise, menghindari efek samping obat,
mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel, dan mencegah
kematian karena asma. Secara etiologis, asma adalah penyakit yang heterogen, dipengaruhi
oleh berbagai faktor seperti genetik dan faktor-faktor lingkungan (infeksi virus, pajanan dari
pekerjaan, rokok, alergen, dan lain-lain). Kontrol pemeriksaan diri harus secara teratur
dilakukan agar asma tidak menjadi berat dan pengobatan yang paling baik adalah
menghindari faktor pencetusnya.
Daftar Pustaka
1. Rengganis, I. Diagnosis Dan Tatalaksana Asma Bronkhiale. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK UI: Jakarta, Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 58.
2008.
2. World Health Organization. Chronic respiratory diseases: asthma. 2020. Available
from:https://www.who.int/news-room/q-a-detail/chronic-respiratory-diseases-
asthma
3. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan RI ;2009; 5-11.
4. Kartasasmita CB. Epidemiologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B,
Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.71-83
5. Global Initiative for Asthma (GINA). Global strategy for asthma management and
prevention. Updated 2017. Tersedia online pada: http://www.ginasthma.org
6. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia.2004
7. Rahmawati I, Yunus F, Wiyono WH. Patogenesis dan Patofisiologi Asma. Jurnal
Cermin Kedokteran. 2003; 141. 5 – 6.

Anda mungkin juga menyukai