KODE ETIK
KESEHATAN
Masyarakat Sekunder
Pola hidup
Menerapkan Konsumerisme
KONSUMERISME X PATERNALISME
PENDAHULUAN
DAHULU SEKARANG
Etika Medis
Adalah berhubungan dengan pengambilan keputusan dokter dalam
melakukan tindakan terhadap pasien.
FAKTOR-FAKTOR
PENGHAMBAT KODE ETIK
1. Sifat kekeluargaan sifat yg lebih
mementingkan klg daripada yang lain
2. Pengaruh jabatan pengaruh dari jabatan akan
berdampak thd proses pelaksanaan kode etik
3. Pengaruh konsumerisme Erat kaitannya
dengan perekonomian dan daya konsumsi suatu
individu
4. Profesi menjadi kegiatan bisnis
5. Lemahnya keyakinan atau iman
CONTOH PERMASALAHAN
KODE ETIK KESEHATAN
1. PENGARUH JABATAN
Direktur RS memberikan kemudahan pelayanan
terhadap keluarga di RS yang dipimpinnya
2. PENGARUH KONSUMERISME
Seorang NAKES memiliki gaji yang cukup
untuk memenuhi kebutuhannya. Namun, ia ingin
mendapatkan uang tambahan untuk
memenuhi kebutuhan hiburannya dengan membantu
pasien lewat jalur belakang dalam mendapat
pelayanan kesehatan
3. Karena lemahnya keyakinan
Seseorang yang menjabat sebagai kepala rumah sakit
melakukan Tindakan kriminal seperti penggelapan
uang.
Hal ini terjadi karena ia memiliki iman yang lemah
sehingga mudah tergoda untuk melakukan tindakan
tersebut demi mendapatkan
keuntungan yang besar
PERADILAN DALAM PROFESI
A. Prestasi yang diberikan Nakes dgn indikasi
kebutuhan medis sebagai upaya maksimal
(Inspanning verbintennis)
• Ilmu kesehatan dan kedokteran bukanlah ilmu pasti
yang bisa memberikan jaminan hasil,
pasien atau keluarga pasien datang ke tenaga
kesehatan untuk mendapatkan pengobatan dengan
harapan sembuh dari penyakitnya. Di sisi lain
tenaga kesehatan hanya dapat mengusahakan
berdasarkan ilmu kesehatan dan kedokteran untuk
meringankan dan mengupayakan
penyembuhan bukan memberikan jaminan
kesembuhan
• Konflik pelayanan kesehatan yang dikarenakan
pasien atau keluarga pasien menganggap
dirugikan atau mengalami resiko medis maka
penyelesaiannya bukan melalui tuntutan pidana
atau gugatan perdata melainkan diproses sebagai
“sengketa medis” yang diselesaikan melalui
“mediasi medis” atau peradilan khusus kesehatan
yang bersifat “ad hoc” tanpa campur tangan
peradilan umum dari aparat penegak hukum umum
B. Mediasi Sebagai bagian Upaya
Menuju Masyarakat Sejahtera
• Istilah menghukum, memenangkan gugatan dan lain
sebagainya dalam suatu putusan lembaga peradilan
merupakan istilah yang bermakna negatif bagi pihak
yang menerimanya dan bagi orang yang mencari
keadilan.
• Apabila proses yang mencari keadilan tidak berhasil krn
kekuatan gugatan mungkin akan terkena gugatan balik
ulang oleh yang menerima gugatan dengan pencemaran
nama baik
• Proses mediasi merupakan upaya yang saling
menguntungkan dengan kesadaran masing-masing
pihak terkait utk mendapatkan hasil akhir yang lebih
baik.
• Dalam ilmu pengetahuan hukum dapat diartikan
dalam 3 (tiga) hal yaitu
1.Hukum sebagai adil (keadilan).
2.Hukum sebagai undang- undang dan/ atau peraturan
mengenai tingkah laku (tertulis) yang dibuat oleh
penguasa
3.hukum dalam arti sebagai hak.
• Hukum dalam arti yang kedua inilah yang lazimnya
disebut sebagai hukum obyektif yaitu yang berupa
rangkaian peraturan yang mengatur yang
mengatur tentang macam-macam perbuatan yang
boleh dilakukan dan dilarang, siapa yang
melakukannya serta sanksi apa yang dijatuhkan atas
pelanggaran peraturan tersebut. Dokter atau
dokter gigi sebagai suatu profesi memiliki tanggung
jawab profesi atas pelayanan medisnya.
Terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum tersebut
yang dilakukan oleh profesi dokter ini dapat
dilakukan tindakan atau dengan kata lain dilakukan
penegakan hukum
Permasalahan
• Pelaksana kesehatan berhubungan dengan
masalah penderita penyakit dan penyakit itu sendiri
di masyarakat, dan dengan demikian menyentuh
beberapa masalah etika yang unik.
• Secara umum, pelaksana dan kebijakan kesehatan
masyarakat berusaha untuk meningkatkan
kesehatan seluruh masyarakat, dimana hal ini
kadang-kadang bertentangan dengan hak pribadi
perorangan. Konflik ini mungkin klinis, seperti
dalam kasus imunisasi, atau hukum, seperti dalam
kasus kewajiban pelaporan medis dan pengobatan
penyakit menular.
Hal ini dibenarkan secara etis untuk mengungkapkan
diagnosis kepada otoritas kesehatan publik jika risiko
kepada publik memiliki fitur berikut:
risiko tinggi dalam probabilitas
risiko serius dalam dampaknya
resiko berhubungan dengan individu atau
kelompok dapat diidentifikasi
• Misalnya, jika pekerja restoran yang menangani
makanan menderita hepatitis akut meminta
diagnosanya dirahasiakan, dokter tetap harus
mengungkapkan diagnosis ini kepada Balai POM
atau Dinas Kesehatan , karena resiko penularan
kepada masyarakat yang tinggi, dengan akibat yang
serius.
Dapatkah pasien menolak untuk menjalani
langkah-langkah rutin pencegahan di bidang
kesehatan?