Anda di halaman 1dari 12

Pengaturan Hukum dan Etika dalam Penyelesaian Sengketa Medis di Era Modern

Vinky Farera Pardede1, Hudi Yusuf2


1Universitas Bungkarno, Indonesia
2Universitas Bungkarno, Indonesia

Abstrak

Penyelesaian sengketa medis merupakan tantangan yang kompleks dalam sistem kesehatan
modern. Di era di mana teknologi medis berkembang pesat dan standar pelayanan kesehatan terus
berubah, penting untuk memahami peran pengaturan hukum dan aspek etika dalam menangani
sengketa medis. Artikel ini menggali dinamika dan tantangan yang terlibat dalam penyelesaian
sengketa medis di era modern, dengan fokus pada kerangka hukum dan prinsip etika yang
mengatur praktik medis dan hubungan antara pasien dan penyedia layanan kesehatan. Kami
menganalisis berbagai pendekatan dalam penyelesaian sengketa medis, termasuk mediasi,
arbitrase, dan litigasi, serta tantangan yang terkait dengan masing-masing. Selain itu, kami
menjelajahi inovasi dalam sistem penyelesaian sengketa medis, seperti penggunaan teknologi
informasi dan komunikasi dalam mediasi dan pendekatan alternatif lainnya. Diskusi ini juga
menyoroti implikasi praktis dan etis dari penyelesaian sengketa medis bagi pasien, praktisi
kesehatan, dan masyarakat secara keseluruhan. Dengan mempertimbangkan perspektif hukum,
etika, dan kesehatan masyarakat, artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih
baik tentang bagaimana mengelola sengketa medis dengan cara yang adil, efisien, dan berdampak
positif bagi semua pihak yang terlibat.

Kata Kunci: Pengaturan, Etika Medis, Modern.

Abstract

Medical dispute resolution is a complex challenge in the modern healthcare system. In an era
where medical technology is developing rapidly and health care standards are constantly
changing, it is important to understand the role of legal regulations and ethical aspects in handling
medical disputes. This article explores the dynamics and challenges involved in resolving medical
disputes in the modern era, with a focus on the legal framework and ethical principles that govern
medical practice and the relationship between patients and healthcare providers. We analyze
various approaches to medical dispute resolution, including mediation, arbitration, and litigation,
and the challenges associated with each. In addition, we explore innovations in medical dispute
resolution systems, such as the use of information and communication technologies in mediation
and other alternative approaches. This discussion also highlights the practical and ethical
implications of medical dispute resolution for patients, healthcare practitioners, and society as a
whole. By considering legal, ethical, and public health perspectives, this article aims to provide a
better understanding of how to manage medical disputes in a way that is fair, efficient, and has a
positive impact on all parties involved.
Keywords: Setting, Medical Ethics, Modern.

I. PENDAHULUAN

Dalam era modern, penyelesaian sengketa medis menjadi semakin penting seiring dengan
kompleksitas yang terus berkembang dalam praktik medis dan hubungan pasien-dokter.
Pembangunan dan penjaminan akses kesehatan adalah bagian dari pembangunan nasional yang
dilaksanakan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui upaya kesehatan dan
pemberdayaan masyarakat yang didukung dengan perlindungan finansial dan pemerataan
pelayanan kesehatan1. Berdasarkan beberapa kasus yang dimuat di dalam media massa tersebut,
terlihat bahwa tanggung jawab hukum yang dibebankan kepada rumah sakit juga sangat besar.
Seringkali, tanggung jawab yang telah diamanahkan di dalam hukum dan etika ini tidak dapat
dilaksanakan dengan sepenuhnya karena masih kuatnya pola hubungan paternalistik antara
pemberi dan penerima pelayanan kesehatan. Menurut Soekidjo Notoatmojo, tanggung jawab
hukum adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan yang disengaja maupun tidak
disengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran dan kewajibannya.
Tanggung jawab hukum juga merupakan akibat atas konsekuensi kebebasan seseorang tentang
perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau moral dalam melakukan suatu perbuatan2.
Pengaturan hukum memegang peranan utama dalam menentukan kerangka kerja yang jelas untuk
menangani konflik yang mungkin timbul di antara pihak-pihak yang terlibat. Penerapan hukum
yang tepat dan efektif dalam konteks penyelesaian sengketa medis sangatlah penting untuk
menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem kesehatan serta memberikan perlindungan yang
sesuai bagi semua pihak yang terlibat. Pentingnya pengaturan hukum dan etika dalam penyelesaian
sengketa medis tidak dapat dilebih-lebihkan. Hukum memberikan kerangka kerja yang jelas untuk
menentukan hak dan kewajiban pasien serta praktisi kesehatan, serta prosedur untuk

1
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang Pedoman
Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga, Permenkes Nomor 39 Tahun 2016,
Bagian Menimbang huruf (a).
2
Soekidjo Notoatmodjo, Etika Hukum Kesehatan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hal. 34.
menyelesaikan konflik yang timbul. Di sisi lain, prinsip etika memberikan pedoman moral yang
membimbing tindakan dan keputusan dalam praktik medis, serta dalam penanganan sengketa yang
mungkin muncul. Kombinasi yang tepat antara pengaturan hukum dan prinsip etika menjadi
krusial dalam memastikan penyelesaian sengketa yang adil dan berkelanjutan. Kesehatan sebagai
hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada
seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas dan
terjangkau oleh masyarakat3

Dalam pendekatan hukum terhadap penyelesaian sengketa medis, terdapat beberapa aspek yang
perlu dipertimbangkan. Pertama-tama, ada perlunya kerangka kerja hukum yang jelas dan
terperinci yang mengatur hak dan kewajiban pasien serta praktisi kesehatan. Hal ini mencakup,
antara lain, regulasi tentang informasi pasien, persetujuan atas tindakan medis, pengungkapan
risiko, dan tanggung jawab profesional. Selain itu, peraturan hukum juga perlu mengakomodasi
perkembangan teknologi medis yang pesat, seperti penggunaan teknologi digital dalam catatan
medis dan telemedicine. Penting juga untuk memperhatikan peran lembaga-lembaga hukum dalam
penyelesaian sengketa medis. Sistem peradilan harus mampu memberikan akses yang adil dan
cepat bagi pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa medis untuk menyelesaikan konflik mereka.
Di samping itu, mediasi dan arbitrase juga dapat menjadi alternatif yang efektif untuk
menyelesaikan sengketa medis di luar pengadilan, dengan memberikan ruang bagi penyelesaian
yang lebih kolaboratif dan fleksibel.

II. PERMASALAHAN

Permasalahan tentang Pengaturan Hukum dan Etika dalam Penyelesaian Sengketa Medis di
Era Modern.
1. Keterbatasan Hukum dalam Menangani Kasus Medis yang Kompleks: Dalam
beberapa kasus, hukum mungkin tidak cukup fleksibel untuk menangani sengketa medis
yang melibatkan faktor-faktor yang kompleks, seperti keputusan medis yang sulit,
perbedaan nilai-nilai budaya, atau isu-isu etis yang sensitif. Hal ini dapat menimbulkan
ketidakpuasan bagi pihak-pihak yang terlibat dan menghambat penyelesaian yang adil.

3
Bagian Menimbang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran (UU
Praktik Kedokteran).
2. Kesenjangan Antara Hukum dan Teknologi Medis: Kemajuan dalam teknologi medis
sering kali melebihi perkembangan hukum yang mengatur penggunaannya. Sebagai
contoh, pertanyaan etika tentang penggunaan kecerdasan buatan dalam diagnosis atau
perawatan medis belum sepenuhnya diatur secara hukum. Hal ini dapat menimbulkan
ketidakpastian hukum dan meningkatkan risiko sengketa medis.
3. Akses Terbatas ke Sistem Peradilan: Beberapa pihak mungkin menghadapi kesulitan
dalam mengakses sistem peradilan untuk menyelesaikan sengketa medis, baik karena biaya
yang tinggi, kekakuan prosedural, atau kesulitan teknis. Hal ini dapat menyebabkan
ketidaksetaraan akses terhadap keadilan dan memperpanjang waktu penyelesaian sengketa.
4. Konflik Etika antara Hak Pasien dan Tanggung Jawab Profesional: Terkadang,
penyelesaian sengketa medis menghadapi konflik antara hak-hak pasien untuk
mendapatkan informasi yang jujur dan hak-hak profesional dan etis dari praktisi kesehatan
untuk menjaga kerahasiaan pasien serta melindungi diri dari tuntutan yang tidak beralasan.
Hal ini memerlukan keseimbangan yang hati-hati antara aspek hukum dan etika dalam
menangani sengketa tersebut.
5. Keterbatasan Pemahaman dan Kesadaran Etis: Tidak semua praktisi kesehatan
memiliki pemahaman yang memadai tentang prinsip-prinsip etika dalam praktik medis,
dan tidak semua pasien memiliki kesadaran tentang hak-hak mereka dalam konteks hukum
kesehatan. Kurangnya pemahaman dan kesadaran ini dapat menyulitkan penyelesaian
sengketa medis dengan cara yang adil dan bermartabat.

Mengatasi permasalahan-permasalahan ini memerlukan pendekatan holistik yang


mempertimbangkan interaksi kompleks antara hukum, etika, dan praktik medis dalam
penyelesaian sengketa medis di era modern. Diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak,
termasuk pemerintah, lembaga-lembaga hukum, praktisi kesehatan, dan masyarakat sipil, untuk
mengembangkan kerangka kerja yang sesuai dan meningkatkan pemahaman serta kesadaran akan
pentingnya pengaturan hukum dan etika dalam penyelesaian sengketa medis.

III. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, Studi Literatur dan Analisis Dokumen.
1. Penelitian hukum normatif (yuridis normatif) dengan menggunakan pendekatan
perundang-undangan dan pendekatan konsep. Dengan membandingkan berbagai sistem
hukum, penelitian ini dapat mengidentifikasi perbedaan dan kesamaan dalam pendekatan
penyelesaian sengketa medis serta mengevaluasi kelebihan dan kelemahan dari masing-
masing sistem.
2. Metode ini melibatkan penelusuran literatur akademis dan dokumentasi resmi terkait
dengan pengaturan hukum dan etika dalam penyelesaian sengketa medis. Studi literatur
dapat membantu peneliti memahami perkembangan terkini dalam bidang ini serta
menganalisis berbagai pandangan dan pendekatan yang telah diajukan oleh para ahli.

Menggunakan kombinasi metode penelitian hukum normatif ini tentang pengaturan hukum dan
etika dalam penyelesaian sengketa medis di era modern dapat memberikan pemahaman yang
komprehensif tentang tantangan, inovasi, dan implikasi praktis dari praktik penyelesaian sengketa
medis yang berkelanjutan.

IV. HASIL ANALISA DAN PEMBAHASAN


A. Praktik Kedokteran di Indonesia

Praktik kedokteran di Indonesia diatur oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Setiap
dokter harus memiliki lisensi resmi yang dikeluarkan oleh otoritas kesehatan setempat untuk dapat
berpraktik. Lisensi ini menunjukkan bahwa dokter tersebut telah lulus ujian kompetensi dan
memenuhi standar pendidikan dan pelatihan yang ditetapkan. Pendidikan kedokteran di Indonesia
umumnya terdiri dari program sarjana kedokteran yang berlangsung selama sekitar lima hingga
enam tahun, diikuti dengan tahun-tahun praktek klinis dan pelatihan spesialisasi yang biasanya
berlangsung beberapa tahun lagi. Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh dokter terhadap pasien dalam melaksanakan upaya Kesehatan.4

Pelayanan kesehatan primer di Indonesia mencakup puskesmas (pusat kesehatan masyarakat) dan
klinik-klinik yang tersebar di seluruh negara. Rumah sakit juga ada dalam berbagai tingkatan,
mulai dari rumah sakit pemerintah hingga rumah sakit swasta yang menyediakan layanan
kesehatan yang lebih canggih. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah
kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung
maupun tidak langsung kepada dokter.5

4
Pasal 1 Angka 1 UU Praktik Kedokteran
5
Pasal 1 Angka 10 UU Praktik Kedokteran.
B. Pengaturan Mengenai Pertanggungjawaban Rumah Sakit di Indonesia.

Pengaturan mengenai pertanggungjawaban rumah sakit di Indonesia diatur oleh berbagai


peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, khususnya oleh Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Dasar hukum yang dapat dipergunakan dalam menerapkan pola
pertanggungjawaban rumah sakit di Indonesia adalah Pasal 1367 Kitab UndangUndang Hukum
Perdata. Di dalam Pasal 1367 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan bahwa:

“Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya
sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orangorang yang menjadi
tanggungjawabnya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada dibawah pengawasannya.”

Pemerintah menetapkan standar pelayanan kesehatan yang harus dipatuhi oleh rumah sakit di
Indonesia. Rumah sakit merupakan Badan Hukum dan Unit Usaha yang kompleks karena di
dalamnya bekerja personalia yang berasal dari berbagai profesi. Permasalahan hukum yang
dihadapi juga sangat variatif dan unik karena sifat pelayanan yang diberikan sebagian besar
bersifat inspanningsverbintennis dan bukan resultaatsverbintennis. Standar ini mencakup berbagai
aspek, termasuk fasilitas fisik, keamanan pasien, kualitas layanan medis, manajemen pengobatan,
dan administrasi rumah sakit. Setiap rumah sakit harus memiliki lisensi resmi yang dikeluarkan
oleh otoritas kesehatan setempat untuk dapat beroperasi.

Selain itu, rumah sakit juga dapat mengikuti proses akreditasi yang diselenggarakan oleh
lembaga independen seperti Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) untuk memastikan bahwa
mereka memenuhi standar kualitas tertentu. Rumah sakit bertanggung jawab untuk menyediakan
layanan medis yang berkualitas dan aman bagi pasien. Ini mencakup penerapan praktik medis yang
sesuai, penggunaan teknologi yang tepat, pemantauan terhadap efek samping atau risiko prosedur
medis, serta memberikan informasi yang jelas dan jujur kepada pasien. Rumah sakit dapat
bertanggung jawab secara hukum atas kerugian atau cedera yang dialami pasien akibat kesalahan
medis atau kelalaian dalam memberikan perawatan. Pasien yang merasa dirugikan memiliki hak
untuk mengajukan klaim ganti rugi melalui proses hukum yang berlaku.

Rumah sakit juga diharapkan untuk mengikuti prinsip-prinsip etika medis dalam memberikan
pelayanan kepada pasien. Hal ini termasuk menghormati hak pasien untuk otonomi, kerahasiaan,
keadilan, dan kejujuran dalam praktik medis. Pengaturan mengenai pertanggungjawaban rumah
sakit di Indonesia terus mengalami perkembangan seiring dengan perubahan dalam sistem
kesehatan dan tuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan aman.

1. Karakteristik Profesi Dokter di Rumah Sakit

Dokter merupakan profesi yang independen. Independensi profesi dokter, terlihat dari
kebebasannya dalam menerapkan keahliannya di rumah sakit.

Hubungan hukum antara rumah sakit dengan dokter dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

a. Hubungan perburuhan
Dalam hubungan ini, dokter bekerja sebagai karyawan dari rumah sakit dan menerima gaji
dari rumah sakit (dokter in). Dalam hal ini, dokter bertindak untuk dan atas rumah sakit.
Sehingga, rumah sakit bertanggung jawab penuh terhadap semua tindakan dokter tersebut.
Hubungan ini terdapat pada semua rumah sakit pemerintah dan sebagian kecil rumah sakit
swasta.
b. Hubungan yang berdasarkan perjanjian
Dalam hubungan ini, dokter berhak menggunakan fasilitas yang ada di rumah sakit dan
rumah sakit menyediakan fasilitas untuk dokter (dokter out). Dalam hal ini, dokter bekerja
secara mandiri dan berperan sebagai mitra rumah sakit. Sehingga, tanggung jawab bukan
berada pada rumah sakit, tetapi pada dokter itu sendiri. Hubungan ini seringkali terjadi
pada rumah sakit swasta.6

Dokter di rumah sakit bertanggung jawab untuk mengelola perawatan pasien secara menyeluruh,
mulai dari diagnosis hingga pengobatan dan pemantauan pasca-perawatan. Mereka merencanakan
perawatan, mengkoordinasikan tindakan medis, dan memastikan bahwa pasien mendapatkan
perawatan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Dokter di rumah sakit diharapkan untuk mengikuti standar etika medis yang tinggi dalam praktik
mereka. Mereka harus menghormati hak-hak pasien, menjaga kerahasiaan informasi medis, dan
bertindak dengan integritas dan kejujuran dalam semua aspek praktik medis mereka.

6
Willa Chandrawilla Supriadi, Hukum Kedokteran, (Bandung: Mandar Maju, 2001), hal. 10
2. Standar Pelayanan Rumah Sakit

Standar Pelayanan Rumah Sakit adalah seperangkat kriteria atau pedoman yang menetapkan
standar minimum yang harus dipenuhi oleh sebuah rumah sakit dalam menyediakan pelayanan
kesehatan kepada pasien. Di Indonesia, Standar Pelayanan Rumah Sakit (SPRS) ditetapkan oleh
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia sebagai acuan untuk meningkatkan mutu dan
keselamatan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Undang-Undang Rumah Sakit pada awalnya
diharapkan dapat memberikan pencerahan terhadap pola pertanggungjawaban rumah sakit dan
menjembatani perbedaan penafsiran Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Namun,
dalam pelaksanaannya ternyata Undang-Undang Rumah Sakit tidak dapat menyelesaikan
permasalahan tersebut karena pola pertanggungjawaban hukum yang diatur di dalam Undang-
Undang Rumah Sakit bersifat umum dan berpotensi menimbulkan kesalahan penafsiran serta
memerlukan penjelasan lebih lanjut.

Rumah sakit sebagai entitas bisnis harus bertanggung jawab secara organisasi dan bukan semata-
mata meletakkan tanggung jawab pada individu. Hal ini disebabkan karena imunitas yang
diberikan oleh Pemerintah terhadap rumah sakit semakin berkurang, dimana rumah sakit
sebelumnya dianggap sebagai badan amal kemudian dalam perkembangannya berubah menjadi
suatu entitas bisnis. Rumah sakit harus memantau dan memastikan kualitas Staf yang bekerja di
rumah sakit.7 Di Inggris, kondisinya juga mirip dengan yang terjadi di Amerika Serikat.
Pertanggungjawaban hukum rumah sakit disamakan dengan pertanggungjawaban perusahaan.
Malpraktik muncul karena adanya kesalahan yang sistemik dari suatu sistem yang diterapkan di
rumah sakit. Hal ini terjadi karena rumah sakit mempekerjakan dokter yang mempunyai
kemampuan di bawah rata-rata dan kurang berpengalaman. Selain itu, rumah sakit juga sering
mempekerjakan dokter melampaui jam kerjanya (beban kerja berlebihan).8

3. Etika Medis

Etika medis adalah cabang dari etika yang mempelajari nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan norma-
norma moral yang terkait dengan praktik medis dan hubungan antara penyedia layanan kesehatan,
pasien, dan masyarakat. Ini melibatkan pemahaman dan penerapan prinsip-prinsip moral dalam

7
Ibid
8
Ibid
pengambilan keputusan medis serta dalam hubungan antara praktisi kesehatan, pasien, dan
masyarakat. Etika medis memiliki peran penting dalam penyelesaian sengketa yang melibatkan
praktik medis atau pelayanan kesehatan. Dalam konteks penyelesaian sengketa, etika medis dapat
memberikan kerangka kerja moral yang membimbing berbagai pihak yang terlibat, termasuk
pasien, praktisi kesehatan, dan pihak terkait lainnya, untuk menangani konflik dengan integritas,
keadilan, dan rasa hormat yang diperlukan.

Berikut beberapa prinsip etika medis yang relevan dalam penyelesaian sengketa:

- Otonomi Pasien: Prinsip otonomi pasien menekankan hak pasien untuk membuat
keputusan tentang perawatan medis mereka sendiri. Dalam penyelesaian sengketa, penting
untuk memastikan bahwa pasien diberikan informasi yang jujur dan lengkap tentang opsi
yang tersedia serta implikasi dari setiap opsi tersebut sehingga mereka dapat membuat
keputusan yang sesuai dengan nilai dan preferensi pribadi mereka.
- Kerahasiaan: Prinsip kerahasiaan mengharuskan praktisi kesehatan untuk menjaga privasi
dan kerahasiaan informasi medis pasien. Dalam penyelesaian sengketa, penting untuk
memastikan bahwa informasi medis sensitif tidak diungkapkan tanpa izin pasien, kecuali
dalam situasi yang diizinkan oleh hukum atau etika medis.
- Keadilan: Prinsip keadilan menuntut perlakuan yang sama terhadap semua pihak yang
terlibat dalam penyelesaian sengketa. Hal ini mencakup memastikan bahwa semua pihak
memiliki akses yang sama terhadap proses penyelesaian sengketa dan bahwa keputusan
yang diambil mempertimbangkan kepentingan dan hak-hak semua pihak yang terlibat.
- Pertimbangan Terhadap Manfaat dan Risiko: Dalam penyelesaian sengketa yang
melibatkan pelayanan kesehatan, penting untuk mempertimbangkan manfaat dan risiko
dari setiap tindakan atau keputusan yang diambil. Prinsip ini menekankan pentingnya
meminimalkan risiko dan kerugian bagi pasien sambil memaksimalkan manfaat yang
mungkin diperoleh.
- Kerjasama dan Komunikasi: Prinsip etika medis mendorong kerjasama dan komunikasi
terbuka antara semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa. Hal ini termasuk
memfasilitasi dialog yang jujur dan saling menghormati antara pasien, praktisi kesehatan,
dan pihak lainnya untuk mencapai pemahaman bersama dan solusi yang bermartabat.
Faktor-faktor Terjadinya Sengketa Medis adalah karena:

a. Melakukan apa yang menurut kesepakatan tidak seharusnya dilakukan;


b. Melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan tetapi terlambat tidak tepat
waktu;
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan tetapi tidak sempurna;
Kurangnya informasi;
d. Komunikasi: Cara dan kualitas, komunikasi yg tdk baik bisa menimbulkan masalah,
sebaliknya komunikasi yg baik bisa meredam masalah; Perbedaan persepsi contoh makna
malpraktik;
e. Perbedaan kepentingan
f. Kesenjangan harapan dan hasil. Hal ini bisa terjadi karena kepercayaan yg berlebih bisa
pemicu, lupa bahwa dokter juga manusia;
g. Pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puasnya baik secara langsung
kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak lain.
Ketidakpuasan tersebut tidak bisa diselesaikan dengan baik atau slow respon. makanya jika
ada masalah atau begitu ada bibit masalah segera cari penyelesaiannya jangan hanya
menunggu. Kadang jika slow respon si pasien kesal lalu menceritakan hal tersebut kepada
org lain, dan orang tersebut memanas-manasi si pasien atau keuarganya maka masalah
tersebut bisa tambah rumit;
h. Perkembangan dalam masyarakat, bisa terjadi karena pengaruh info yg tdk valid dr medsos;
i. Memudar/terabaikannya nilai etika, hal ini terjadi karena berbagai halantara lain bisa
karena money oriented, konsumtif, lupa dgn sumpa dan kode etik.
j. Persaingan antar rekan sejawat, hal ini sangat mungkin terjadi;
k. Lemah kepercayaan;
l. Dll

Tanggung jawab hukum dalam penyelesaian sengketa medis di era modern sangat penting untuk
memastikan bahwa hak-hak pasien terlindungi, praktisi kesehatan bertindak dengan integritas, dan
keadilan ditegakkan dalam proses penyelesaian sengketa. Melalui penegakan tanggung jawab
hukum yang tegas dalam penyelesaian sengketa medis, sistem kesehatan dapat memastikan bahwa
keadilan ditegakkan, pasien dilindungi, dan praktik medis dilakukan dengan integritas dan kualitas
yang tinggi.

V. PENUTUP

Dalam era modern, pengaturan hukum dan etika memainkan peran penting dalam penyelesaian
sengketa medis. Kombinasi antara ketentuan hukum yang jelas dan prinsip-prinsip etika yang kuat
membentuk kerangka kerja yang komprehensif untuk menangani konflik yang muncul dalam
praktik kesehatan. Melalui pengaturan ini, berbagai pihak yang terlibat dalam pelayanan
kesehatan, termasuk pasien, praktisi kesehatan, dan lembaga kesehatan, dapat memperoleh
pedoman yang jelas untuk bertindak dengan integritas, keadilan, dan rasa hormat yang diperlukan.

Penyelesaian sengketa medis memerlukan pendekatan holistik yang mempertimbangkan berbagai


faktor, mulai dari kepentingan pasien hingga standar profesi medis. Pengaturan hukum yang kuat
memastikan bahwa hak-hak pasien dilindungi, bahwa tanggung jawab praktisi kesehatan diakui,
dan bahwa proses penyelesaian sengketa dilakukan secara adil dan transparan. Di sisi lain, prinsip-
prinsip etika medis mengingatkan kita untuk selalu memprioritaskan kesejahteraan pasien,
menghormati otonomi mereka, dan bertindak dengan integritas dan kejujuran dalam semua aspek
praktik kesehatan.

Dalam menjalankan praktik kesehatan di era modern, praktisi kesehatan dihadapkan pada
tantangan yang kompleks dan sering kali kontroversial. Namun, dengan mengikuti pedoman yang
ditetapkan oleh pengaturan hukum dan etika medis, mereka dapat menavigasi sengketa dengan
bijaksana dan menjaga kepercayaan serta martabat dalam pelayanan kesehatan. Sementara itu,
penegakan hukum yang adil dan penghargaan terhadap prinsip-prinsip etika medis akan
memastikan bahwa standar mutu dan keamanan dalam pelayanan kesehatan terus ditingkatkan,
sehingga memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat dan memperkuat fondasi moral yang
mendasari profesi kesehatan secara keseluruhan.
Daftar Pustaka

Referensi: Sri Siswati, Etika Dan Hukum Kesehatan Dalam Perspektif Undang-Undang
Kesehatan, Ed.1- Cet.3 - Depok: PT. Rajawali, 2017

Peraturan Perundang-Undangan Indonesia: Undang-Undang Dasar 1945. Indonesia, Menteri


Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang Pedoman Penyelenggaraan
Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga. Nomor PM 39 Tahun 2016

Undng - Undang Republik IndonesiaNomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.

Jurnal: Blum, John D. “New Medical Practice Guidelines, CQI, And Potential Liability
Outcomes”, Saint Louis University Law Journal (Summer 1992).

Furrow, Barry R. “Medical Mistakes: Tiptoeing Toward Safety.” Houston Journal of Health Law
& Policy (2003).

Anda mungkin juga menyukai