PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
1
dokter dianggap lebih tinggi karena mengetahui tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan penyakit dan penyembuhannya. Sedangkan pasien tidak
mengerti apapun dan menyerahkan tindakan sepenuhnya kepada dokter.
Pola hubungan dokter dan pasien seperti tadi banyak dampak negatifnya
apabila tindakan dokter yang berupa langkah-langkah dalam mengupayakan
penyembuhan pasien itu merupakan tindakan dokter yang membatasi otonomi
pasien. Pada akhirnya hubungan yang menempatkan kedudukan dokter lebih
tinggi tadi bergeser pada pola horizontal kontraktual yang bersifat
“inspanningverbintenis”, dimana dokter dan pasien merupakan subyek hukum
yang mempunyai kewajiban dan hak yang sederajat. Hubungan ini tidak
menjanjikan kesembuhan, karena obyek dari hubungan hukum ini adalah upaya
dokter berdasar atas kompetensi dan kewenangan dokter untuk menyembuhkan
pasien.
Salah satu hal yang sangat penting sebelum melakukan pelayanan kedokteran/
pelayanan kesehatan bagi pasien yaitu informed consent/ persetujuan tindakan
medis/ persetujuan tindakan kedokteran. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan
RI Nomor 585/Menkes/Per/IX/1989, persetujuan tindakan medis adalah
persetujuan yang diberikan pasien atau keluarga atas dasar penjelasan mengenai
tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Sedangkan
menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
290/Menkes/Per/III/2008, persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan
yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah penjelasan secara
lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan
terhadap pasien. Dimana informed consent memberikan perlindungan kepada
pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara
medis tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa sepengetahuan
pasiennya serta memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu
kegagalan dan bersifat negatif, dan pada setiap tindakan medis melekat suatu
resiko. Menurut Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran yang diterbitkan oleh
Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), suatu persetujuan dianggap sah apabila
2
pasien telah diberi penjelasan/ informasi, pasien atau yang sah mewakilinya
dalam keadaan cakap (kompeten) untuk memberikan keputusan/ persetujuan, dan
persetujuan harus diberikan secara sukarela.
Dalam video yang kami bahas pada kesempatan kali ini, menunjukan seorang
dokter yang bertugas untuk menangani pasien menemukan kondisi pasien yang
telah meninggal. Dalam hal ini dokter tersebut bukannya langsung mengabari
kepada keluarga bahwa pasien telah tiada, namun malah memeras keluarga
pasien, dengan mengatakan bahwa kondisi pasien sedang kritis dan membutuhkan
berbagai usaha seperti obat-obatan yang mahal, dokter spesialis, dan lain
sebagainya yang harus diusahakan dan dibayarkan segera. Hal ini tentu sangat
menyimpang dari sikap profesionalisme yang seharusnya dimiliki oleh seorang
dokter.
Melalui makalah ini, penulis ingin membahas mengenai profesionalisme
seorang dokter berdasarkan sikap dan etika dokter dalam video.
2. Tujuan
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
permasalahan kesehatannya kepada dokter yang menanganinya. Integritas
yang dimiliki oleh dokter menjadi pribadi yang dapat diandalkan dan
dipercaya.
Perilaku dalam video tersebut sangat tidak mencerminkan integritas
yang seharusnya dimiliki oleh seorang dokter. Bagaimana mungkin dokter
berbohong kepada keluarga pasien hanya karena keperluan pribadi,yakni
meraup keuntungan. Tentu saja hal tersebut mengecewakan pasien dan juga
keluarga pasien. Tidak lagi ada yang percaya dengan dokter yang berperilaku
seperti vidio tersebut. Oleh karena itu, sebagai mahasiswa prodi kedokteran
kita seharusnya belajar dengan tekun. Bukan hanya pintar teori saja,tetapi
juga kemampuan soft skills yang harus dipahami sebagai penunjang agar
menjadi dokter yang profesional.
22. Empati
Empati merupakan salah satu untur yang penting dalam relasi antara
dokter dengan pasien. Relasi yang berdasar pada empati akan membuat
pelayanan kesehatan menjadi lebih efektif dan juga membantu pasien
memahami kondisi kesehatannya secara tepat. Namun dalam video “ Worst
Doctor Ever”, dokter tidak memiliki rasa empati pada pasien dilihat dari cara
dokter menangani pasien, komunikasi tidak tepat dengan melakukan candaan
yang tidak profesional dan sikap yang suka memuji diri sendiri. Maka dari
itu, menyadari pentingnya sifat empati ini, diharapkan dapat melatih dan
membiasakan diri dengan sifat dan karakter tersebut sejak menjadi
mahasiswa kedokteran.hal ini dimaksudkan agar mahasiswa kedokteran
memiliki kemampuan empati yang memadai sebelum memasuku profesi
dokter.
Sebuah studi yang dilakukan di Medical Faculty of Boston University
menunjukkan bahwa nilai empati mahasiswa kedokteran di Amerika
mengalami penurunan ketika mereka memasuki tahun pertama klinik. Pada
tahun pertama pre-klinik mengalami peningkatan setelah satu tahun, namun
5
kemudian menurun pada tahun kedua dan tahun ketiga hingga tahun pertama
koas (Hong, 2012).
Dalam penelitian yang dilakukan Dani Sulaeman dan Ratih Arruum
Listiyandisi dari Fakultas Psikologi Universitas Yarsi, penurunan empati
mahasiswa terjadi dari tahun ke tahun dan kembali naik saat tahun pertama
koas. Penurunan empati di tahun ke-2, ke-3, dan ke-4 terjadi diduga karena
burnout pada mahasiswa kedokteran pre-klinik. Namun pada masa koas,
empati mahasiswa kembali naik. Hal ini bisa terjadi karena pada saat koas
mereka bertemu dengan pasien secara langsung sehingga membuat empati
mereka kembali naik.
Walaupun demikian, perlu ditekankan bahwa seharusnya seorang
dokter harus memiliki sikap empati sepanjang hayatnya selama dokter
tersebut masih menghadapi pasien. Empati juga selain dengan pasien dapat
diterapkan ketika berhadapan dengan keluarga pasien. Bagaimana seorang
dokter menghormati perasaan dan keadaan keluarga pasien, terutama ketika
menghadapi situasi yang tidak diinginkan namun juga tidak memalsukan
keadaan.
6
Dalam dunia kesehatan, interprofessional collaboration yang ideal
adalah kerja sama yang menjalin hubungan komunikatif dan memiliki tujuan
yang sama guna meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan pasien. Tujuan
yang dicapai seharusnya memberikan hasil yang terbaik bagi pasien dan tidak
merugikannya. Dalam video tersebut, dokter memfabrikasi berita tentang
pasien kepada keluarga agar mendapatkan uang lebih dari keluarga tersebut.
Dimana pasien sebenarnya sudah meninggal tetapi dokter bersama perawat
dan rekan kerja lainnya bersekongkol atau bekerja sama untuk menutup
kebenaran serta berusaha memeras uang keluarga pasien dari kejadian
tersebut. Hal ini sangat menyimpang dari tujuan interprofessional
collaboration yang seharusnya memberikan pelayanan dan hasil yang
semaksimal mungkin untuk kebaikan pasien beserta keluarga yang
bersangkutan. Walaupun kenyataannya pasien sudah meninggal, keluarga
pasien diperintahkan untuk membayar banyak hal yang sebenarnya tidak
diperlukan, seperti membeli obat, membayar biaya operasi, bahkan sampai
memanggil dokter spesialis. Semua ini dilakukan dengan kerja sama antara
dokter umum, perawat, dan dokter spesialis yang saling berkolaborasi dengan
tujuan mendapatkan uang lebih dengan memanfaatkan keluarga pasien.
Fenomena ini merupakan contoh buruk dari implementasi interprofessional
collaboration yang sebenarnya karena tujuan yang ingin dicapai bukan
semata-mata untuk kebaikan pasien, melainkan untuk keuntungan pribadi
masing-masing.
7
BAB III
PENUTUPAN
1. Kesimpulan
8
DAFTAR PUSTAKA
https://www.depkes.go.id/article/view/18121700001/3-karakter-ini-harus-dimiliki-
seorang-dokter.html diakses pada 24 November 2019