Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Profesi dokter merupakan profesi yang mempunyai tujuan mulia bagi


masyarakat, karena tujuan dasar ilmu kedokteran adalah meringankan sakit,
penderitaan fisik, psikis, dan sosial pada pasien dan masyarakat. Serta
mempertahankan kehidupan insani tanpa memperpanjang proses mati. Sedangkan
prinsip dasar etik kedokteran yaitu primum non necere (yang terpenting adalah
tidak merugikan sosial maupun ekonomi). Di dalam pelayanan kedokteran,
terdapat dua pihak yang saling berhubungan, yaitu dokter dan pasien. Jika tidak
tercipta hubungan antara dokter dengan pasien, maka tidak akan terjadi suatu
pelayanan kedokteran. Dokter akan berupaya untuk mencapai tujuan dasar dari
ilmu kedokteran yang akan diterapkan pada pasien dengan prinsip primum non
nocere.

Hubungan yang terjadi antara dokter dengan pasien dalam pelayanan


kedokteran bisa saja terjadi suatu masalah, jika terdapat hal yang tidak sesuai
dengan harapan atau yang merugikan. Oleh sebab itu, maka timbul hubungan
hukum antara dokter dengan pasien. Hubungan ini telah terjadi sejak dahulu
(zaman Yunani kuno), dokter sebagai seorang yang memberikan pengobatan
terhadap orang yang membutuhkannya. Hubungan ini merupakan hubungan yang
sangat pribadi karena didasarkan atas kepercayaan dari pasien terhadap dokter
yang disebut dengan transaksi terapeutik. Hubungan hukum antara dokter dan
pasien ini berawal dari hubungan vertikal paternalistik seperti antara bapak
dengan anak yang bertolak dari prinsip “father knows best” yang melahirkan
hubungan yang bersifat paternalistik. Hubungan hukum timbul ketika pasien pergi
ke dokter karena adanya keluhan yang dianggap membahayakan kesehatannya.
Dalam hubungan ini kedudukan dokter dengan pasien tidak sederajat, kedudukan

1
dokter dianggap lebih tinggi karena mengetahui tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan penyakit dan penyembuhannya. Sedangkan pasien tidak
mengerti apapun dan menyerahkan tindakan sepenuhnya kepada dokter.
Pola hubungan dokter dan pasien seperti tadi banyak dampak negatifnya
apabila tindakan dokter yang berupa langkah-langkah dalam mengupayakan
penyembuhan pasien itu merupakan tindakan dokter yang membatasi otonomi
pasien. Pada akhirnya hubungan yang menempatkan kedudukan dokter lebih
tinggi tadi bergeser pada pola horizontal kontraktual yang bersifat
“inspanningverbintenis”, dimana dokter dan pasien merupakan subyek hukum
yang mempunyai kewajiban dan hak yang sederajat. Hubungan ini tidak
menjanjikan kesembuhan, karena obyek dari hubungan hukum ini adalah upaya
dokter berdasar atas kompetensi dan kewenangan dokter untuk menyembuhkan
pasien.
Salah satu hal yang sangat penting sebelum melakukan pelayanan kedokteran/
pelayanan kesehatan bagi pasien yaitu informed consent/ persetujuan tindakan
medis/ persetujuan tindakan kedokteran. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan
RI Nomor 585/Menkes/Per/IX/1989, persetujuan tindakan medis adalah
persetujuan yang diberikan pasien atau keluarga atas dasar penjelasan mengenai
tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Sedangkan
menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
290/Menkes/Per/III/2008, persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan
yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah penjelasan secara
lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan
terhadap pasien. Dimana informed consent memberikan perlindungan kepada
pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara
medis tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa sepengetahuan
pasiennya serta memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu
kegagalan dan bersifat negatif, dan pada setiap tindakan medis melekat suatu
resiko. Menurut Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran yang diterbitkan oleh
Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), suatu persetujuan dianggap sah apabila

2
pasien telah diberi penjelasan/ informasi, pasien atau yang sah mewakilinya
dalam keadaan cakap (kompeten) untuk memberikan keputusan/ persetujuan, dan
persetujuan harus diberikan secara sukarela.
Dalam video yang kami bahas pada kesempatan kali ini, menunjukan seorang
dokter yang bertugas untuk menangani pasien menemukan kondisi pasien yang
telah meninggal. Dalam hal ini dokter tersebut bukannya langsung mengabari
kepada keluarga bahwa pasien telah tiada, namun malah memeras keluarga
pasien, dengan mengatakan bahwa kondisi pasien sedang kritis dan membutuhkan
berbagai usaha seperti obat-obatan yang mahal, dokter spesialis, dan lain
sebagainya yang harus diusahakan dan dibayarkan segera. Hal ini tentu sangat
menyimpang dari sikap profesionalisme yang seharusnya dimiliki oleh seorang
dokter.
Melalui makalah ini, penulis ingin membahas mengenai profesionalisme
seorang dokter berdasarkan sikap dan etika dokter dalam video.

2. Tujuan

Mengetahui profesionalisme seorang dokter berdasarkan sikap dan etika


dokter dalam video.

3
BAB II

PEMBAHASAN

21. Integritas Seorang Dokter


Seorang dokter mempunyai peran sentral dalam memberikan
pelayanan kesehatan. Maka dalam melaksanakan tugas keprofesiannya,
seorang dokter harus mempunyai karakter 3 K, yakni Kesantunan,
Kesejawatan, dan Kebersamaan.
3 K ini diwujudkan berdasarkan UU nomor 20 tahun 2013 yang
bertujuan menghasilkan dokter berbudi luhur, bermartabat, bermutu dan
berkompeten. Menteri Kesehatan RI Nila Moeloek mengatakan Kesantunan,
Kesejawatan, dan Kebersamaan bagus didengungkan demi menjunjung
profesi kedokteran. karakter Kesantunan artinya dokter yang memiliki
kemampuan komunikasi yang baik terhadap pasien, sejawat, dan tenaga
kesehatan lainnya yang menjadi mitra kerja. Pada karakter ini dokter juga
harus bertutur kata baik, sikap, dan bahasa tubuh yang baik.
Integritas adalah salah satu bentuk profesionalisme seorang dokter,
Perwujudan integritas bisa dilakukan dengan banyak cara, salah satunya
dengan berperilaku jujur, bertanggung jawab dan dapat dipercaya serta
konsisten.Dengan berperilaku jujur, memegang teguh prinsip-prinsip
kebenaran, etika, dan moral, serta berbuat sesuai dengan perkataan maka
orang tersebut bisa disebut bertanggung jawab serta memiliki integritas. Hal
tersebut cukup untuk menjadi modal agar mendapat kepercayaan dari orang
lain,terutama pasien. Salah satu contoh penanaman tentang integritas kita
sebagai seorang dokter adalah empati dan sambung rasa yang telah kita
pelajari saat skills lab. Pasien seharusnya dapat mempercayakan

4
permasalahan kesehatannya kepada dokter yang menanganinya. Integritas
yang dimiliki oleh dokter menjadi pribadi yang dapat diandalkan dan
dipercaya.
Perilaku dalam video tersebut sangat tidak mencerminkan integritas
yang seharusnya dimiliki oleh seorang dokter. Bagaimana mungkin dokter
berbohong kepada keluarga pasien hanya karena keperluan pribadi,yakni
meraup keuntungan. Tentu saja hal tersebut mengecewakan pasien dan juga
keluarga pasien. Tidak lagi ada yang percaya dengan dokter yang berperilaku
seperti vidio tersebut. Oleh karena itu, sebagai mahasiswa prodi kedokteran
kita seharusnya belajar dengan tekun. Bukan hanya pintar teori saja,tetapi
juga kemampuan soft skills yang harus dipahami sebagai penunjang agar
menjadi dokter yang profesional.

22. Empati
Empati merupakan salah satu untur yang penting dalam relasi antara
dokter dengan pasien. Relasi yang berdasar pada empati akan membuat
pelayanan kesehatan menjadi lebih efektif dan juga membantu pasien
memahami kondisi kesehatannya secara tepat. Namun dalam video “ Worst
Doctor Ever”, dokter tidak memiliki rasa empati pada pasien dilihat dari cara
dokter menangani pasien, komunikasi tidak tepat dengan melakukan candaan
yang tidak profesional dan sikap yang suka memuji diri sendiri. Maka dari
itu, menyadari pentingnya sifat empati ini, diharapkan dapat melatih dan
membiasakan diri dengan sifat dan karakter tersebut sejak menjadi
mahasiswa kedokteran.hal ini dimaksudkan agar mahasiswa kedokteran
memiliki kemampuan empati yang memadai sebelum memasuku profesi
dokter.
Sebuah studi yang dilakukan di Medical Faculty of Boston University
menunjukkan bahwa nilai empati mahasiswa kedokteran di Amerika
mengalami penurunan ketika mereka memasuki tahun pertama klinik. Pada
tahun pertama pre-klinik mengalami peningkatan setelah satu tahun, namun

5
kemudian menurun pada tahun kedua dan tahun ketiga hingga tahun pertama
koas (Hong, 2012).
Dalam penelitian yang dilakukan Dani Sulaeman dan Ratih Arruum
Listiyandisi dari Fakultas Psikologi Universitas Yarsi, penurunan empati
mahasiswa terjadi dari tahun ke tahun dan kembali naik saat tahun pertama
koas. Penurunan empati di tahun ke-2, ke-3, dan ke-4 terjadi diduga karena
burnout pada mahasiswa kedokteran pre-klinik. Namun pada masa koas,
empati mahasiswa kembali naik. Hal ini bisa terjadi karena pada saat koas
mereka bertemu dengan pasien secara langsung sehingga membuat empati
mereka kembali naik.
Walaupun demikian, perlu ditekankan bahwa seharusnya seorang
dokter harus memiliki sikap empati sepanjang hayatnya selama dokter
tersebut masih menghadapi pasien. Empati juga selain dengan pasien dapat
diterapkan ketika berhadapan dengan keluarga pasien. Bagaimana seorang
dokter menghormati perasaan dan keadaan keluarga pasien, terutama ketika
menghadapi situasi yang tidak diinginkan namun juga tidak memalsukan
keadaan.

23. Interprofessional Collaboration


Interprofessional Collaboration terjadi ketika 2 profesi atau lebih
bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan yang sama dan biasa dilakukan
untuk memecahkan suatu masalah atau isu kompleks. Keuntungan dari
kolaborasi tersebut antara lain memberi kesempatan untuk mencapai tujuan
bersama secara lebih dibandingkan secara sendiri-sendiri, meningkatkan
kualitas pelayanan, dan menumbuhkan kemampuan organisasi. Kolaborasi
adalah sebuah hal yang tidak asing di hampir setiap aspek kesehatan, seperti
kolaborasi advokasi pasien dan pelayanan kesehatan, pembelajaran
kolaboratif, interprofessional collaboration dalam praktik dan edukasi,
kolaborasi bisnis, dan lain-lain. Dengan semakin canggihnya teknologi,
kolaborasi juga menjadi lebih mudah dan semakin sering dilakukan.

6
Dalam dunia kesehatan, interprofessional collaboration yang ideal
adalah kerja sama yang menjalin hubungan komunikatif dan memiliki tujuan
yang sama guna meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan pasien. Tujuan
yang dicapai seharusnya memberikan hasil yang terbaik bagi pasien dan tidak
merugikannya. Dalam video tersebut, dokter memfabrikasi berita tentang
pasien kepada keluarga agar mendapatkan uang lebih dari keluarga tersebut.
Dimana pasien sebenarnya sudah meninggal tetapi dokter bersama perawat
dan rekan kerja lainnya bersekongkol atau bekerja sama untuk menutup
kebenaran serta berusaha memeras uang keluarga pasien dari kejadian
tersebut. Hal ini sangat menyimpang dari tujuan interprofessional
collaboration yang seharusnya memberikan pelayanan dan hasil yang
semaksimal mungkin untuk kebaikan pasien beserta keluarga yang
bersangkutan. Walaupun kenyataannya pasien sudah meninggal, keluarga
pasien diperintahkan untuk membayar banyak hal yang sebenarnya tidak
diperlukan, seperti membeli obat, membayar biaya operasi, bahkan sampai
memanggil dokter spesialis. Semua ini dilakukan dengan kerja sama antara
dokter umum, perawat, dan dokter spesialis yang saling berkolaborasi dengan
tujuan mendapatkan uang lebih dengan memanfaatkan keluarga pasien.
Fenomena ini merupakan contoh buruk dari implementasi interprofessional
collaboration yang sebenarnya karena tujuan yang ingin dicapai bukan
semata-mata untuk kebaikan pasien, melainkan untuk keuntungan pribadi
masing-masing.

7
BAB III

PENUTUPAN

1. Kesimpulan

Dalam video tersebut, seorang dokter yang seharusnya mempunyai


karakter 3K, yakni kesantunan, kesejawatan, dan kebersamaan tidaklah
tercermin. Hal tersebut dapat dilihat dari sikap dokter yang tidak jujur, acuh,
dan bekerjasama dalam hal yang buruk yakni memeras keluarga pasien.
Seorang dokter seharusnya juga memiliki empati, dimana hal ini sangat
mendasar bagi seorang dokter dalam melaksanakan praktik kedokteran. Hal
yang paling pokok yang harus diperhatikan yakni kerjasama antar profesi,
yakni dokter, dokter spesialis, perawat, maupun apoteker harus mempunyai
prinsip yang tegak mengenai etika-etika yang seharusnya dilaksanakan demi
terwujudnya kolaborasi yang baik dan manusiawi.

8
DAFTAR PUSTAKA

Hong, M. 2012. “Changes of Empathy in Medical College and Medical School


Students: 1-Year Follow up Study”. BMC Medical Education, Vol.12.

Sulaeman, Dani., & Listiyandini, Ratih A. (2017). Empati Mahasiswa Kedokteran


Pre-klinik dan Koas di Jakarta. Prosiding Konferensi Nasional III Psikologi
Kesehatan, 3, 169-183

https://www.depkes.go.id/article/view/18121700001/3-karakter-ini-harus-dimiliki-
seorang-dokter.html diakses pada 24 November 2019

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4360764/ diakses pada 22 November


2019

Anda mungkin juga menyukai