Anda di halaman 1dari 6

Pola Hubungan Dokter-Pasien

Disusun oleh:
Belinda Salma Sekardalu (31101700017)

Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Islam Sultan Agung Semarang
2018
POLA HUBUNGAN PASIEN-DOKTER

Proses komunikasi yang yang melibatkan peran kesehatan, unsur-unsur, atau peserta
komunikasi dinamakan komunikasi kesehatan. Kepuasan pasien dihitung setelah
membandingkan ekspektasi atau harapan dari pasien dengan kinerja atau hasil yang
didapatkannya dari pelayanan kesehatan. Komunikasi yang baik perlu dibangun oleh
dokter karena salah satu kunci keberhasilan dokter dalam memberikan pelayanan medis
adalah komunikasi yang baik yang terbangun pada hubungan antara dokter dan pasien,
begitu juga sebaliknya. Apabila komunikasi yang terbangun antara dokter dan pasien
tidak baik, hal tersebut dapat memicu terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak.
Salah satu contoh penting dari peran komunikasi kesehatan yang baik adalah apabila
ada pasien yang mendapatkan hasil yang tidak memuaskan tetapi dokter yang melayani
mengkomunikasikan pelayanannya dengan baik, pasien tersebut akan merespon hal
tersebut dengan lebih baik dan lebih pengertian lagi, berbeda dengan dokter yang
mengkomunikasikan pelayanannya dengan baik saat melakukan pelayanan, besar
kemungkinan pasien yang tidak puas tersebut untuk menyebar luaskan hal yang
dialaminya atau mungkin pasien tersebut dapat mengadukan hal yang dialaminya ke
ranah hukum. Survei global terbaru yang dilakukan di beberapa negara yaitu Inggris,
Jerman, Itali, Korea, Meksiko, Spanyol, dan Finlandia menunjukkan bahwa komunikasi
yang baik antara dokter dan pasien merupakan salah satu kunci untuk perawatan dan
diagnosis yang lebih akurat. Hasil serupa juga didapatkan dari American Society of
Internal Medicine, bahwa komunikasi yang baik terbukti menurunkan tingkat keluhan dan
tuntutan secara hukum pasien terhadap dokter. Banyak pasien mengeluhkan pelayanan
dokter bukan dikarenakan hasil yang didapatkan dari kurangnya kemampuan dokter
melainkan dari kurangnya mereka mendapatkan rasa diperhatikan oleh dokternya.
Selama ini pula, dokter menempatkan diri sebagai yang serba tahu sehingga pasien
berada di tingkat lebih rendah. Pola hubungan seperti ini bersifat paternalistik. Namun,
bukan berarti dengan adanya komunikasi seperti ini lantas pasien berhak semena-mena
terhadap dokter atau penyedia layanan medis lainnya. Hal seperti ini diatur sedemikian
rupa dalam hubungan dokter dan pasien.
Demi terbentuknya kesetaraan atau keseimbangan dalam hubungan dokter pasien maka
diperlukan komunikasi yang setara antar kedua belah pihak. Hubungan dokter dengan
pasien bukanlah hubungan atasan dengan bawahan. Tidak ada yang superior dan
inferior di antara keduanya. Oleh karena itu dokter tidak boleh memperlakukan pasien
sebagai objek pekerjaannya. Dalam pola hubungan dokter pasien yang tidak seimbang
tersebut lah pola komunikasi antara keduanya dapat bersifat:
(1) Aktif-Pasif
Dalam pola komunikasi ini dokter bersifat aktif dan pasien bersifat pasif, biasanya
dalam kondisi ini pasien hanya memberikan informasi ketika ditanya atau melakukan
suatu perbuatan setelah diperintah oleh dokter. Pada kondisi ini, ada kecenderungan
bahwa sang dokter akan bertindak otoriter dan tidak memberi pasien kesempatan
untuk berpendapat. Di masa sekarang, dimana perkembangan ilmu kedokteran dan
kesadaran masyarakat akan hak-haknya sudah meningkat, hubungan semacam ini
sudah tidak sesuai lagi. Ilmu kedokteran sekarang sadar bahwa sembuhnya suatu
penyakit membutuhkan ilmu pengetahuan dari pihak pasien dan keluarganya.
(2) Guidance-cooperation
Hubungan ini lebih maju dibandingkan hubungan aktif pasif. Dalam hubungan ini
pasien dapat dibimbing dengan cara kerja sama yang baik. Pasien masih dianggap
tidak perlu banyak tahu tetapi perlu dibimbing dan diajak untuk bekerja sama dalam
usaha penyembuhan penyakitnya. Pada pola ini pasien mencari pertolongan
pengobatan dan bersedia diajak bekerja sama. Meskipun, dokter mengetahui lebih
banyak daripada pasien, dokter tidak semata-mata menjalankan kekuasaan, namun
dibantu juga dengan kerja sama dari pihak pasien yang diwujudkan dengan menuruti
nasihat atau anjuran dari dokter.
(3) Mutual participation
Pola ini didasarkan pemikiran bahwa setiap manusia memiliki kesamaan hak dan
juga martabat. Pasien secara sadar berperan aktif dalam upaya kesembuhannya.
Hal ini tidak dapat diterapkan pada pasien yang memiliki latar belakang dan sosial
yang rendah, ataupun pada pasien dengan gangguan mental.
Pasien atau klien layanan medis merupakan orang yang membutuhkan bantuan dari
dokter karena suatu keluhan atau penyakit, dan dokter adalah orang yang mampu
menolong karena kemampuan profesinya yang dianggap mampu untuk membantu
meringankan atau menyembuhkan keluhan penyakit tersebut. Pada kondisi seperti ini
timbul hubungan yang tidak seimbang, dimana dokter yang memberikan pertolongan
berada di posisi yang lebih tinggi dan pasien berada pada posisi yang lebih rendah.
Pada hubungan seperti ini, dokter diharapkan tidak semena-mena, bijaksana, serta tidak
memanfaatkan pasiennya untuk kepentingan diri sendiri. Dokter juga memiliki kewajiban
secara moral untuk menghormati hak pasiennya sebagai manusia.Hubungan antara
dokter dan pasien secara yuridis dapat digolongkan sebagai hubungan kontrak, karena
dalam hubungan tersebut terjadi kondisi dimana permintaan dokter untuk mendapat
imbalan jasa dari pasien dan pasien bersedia untuk memenuhinya. Dalam hubungan
kontraktual seperti inilah terdapat kewajiban dan hak dari kedua belah pihak yang harus
saling dihormati, dan tanggung jawab yang perlu dilaksanakan apabila ada pihak yang
tidak memenuhi kesepakatan sebelumnya. Karena sifat hubungan yang tidak seimbang
tersebut maka faktor kepercayaan memegang peranan yang pening. Pasien akan mau
untuk bersikap jujur dan terbuka dalam mengungkapkan hal-hal dan informasi yang ingin
diketahui oleh dokter, dan dokter akan bersikap jujur dalam usaha yang akan
dilakukannya dalam menolong pasien. Selain itu, dokter juga harus dapat dipercaya
bahwa ia tidak akan mengungkapkan rahasia pasien kepada siapapun tanpa
persetujuan terlebih dahulu dari pihak pasien kecuali atas perintah undang-undang.
Saling percaya dan saling dipercaya ini bersifat krusial. Sebagaimana dijelaskan di atas,
hubungan antara dokter dan pasien dimasukkan golongan kontrak. Dengan demikian
maka sifat hubungannya mempunyai 2 ciri:
(1) Adanya persetujuan (consensual, agreement), yaitu saling menyetujui dari pihak
dokter dan pasien mengenai pelayanan medis yang akan diberikan.
(2) Adanya kepercayaan (fiduciary), karena hubungan kontrak tersebut didasarkan sikap
saling percaya kedua belah pihak.
Karena sifat hubungan kontrak antara dokter dan pasien, maka harus memenuhi
persyaratan yaitu:
(1) Harus adanya persetujuan (consent) dari pihak-pihak yang membuat kontrak.
Persetujuan itu berwujud dari pertemuan antara penawaran dan penerimaan
pemberian suatu layanan kesehatan. Persetujuannya adalah antara dokter dan
pasien mengenai jenis pemberian pelayanan kesehatan yang ditawarkan oleh dokter
dan yang diterima baik oleh pasiennya. Maka dari itu, persetujuan antar pihak harus
bersifat sukarela. Persetujuan yang diperoleh berdasarkan kesalahan (mistake),
tekanan atau kekerasan (violence), ditakut-takuti (intimidation), pengaruh tekanan
yang tak wajar (undue influence), atau penipuan (fraud), akan membuat kontrak itu
dapat dibatalkan secara hukum.
(2) Harus ada suatu obyek atau substansi dari kontrak.
Obyek atau substansi dari kontrak dari hubungan tersebut adalah pemberian
pelayanan pengobatan yang diseujui pasien yang diberi oleh dokter. Obyek harus
bisa dipastikan, legal, dan tidak di luar profesinya.
(3) Harus ada suatu sebab (cause) atau pertimbangan (consideration).
Sebab atau pertimbangan merupakan hal yang menggerakkan dokter untuk
memberikan pelayanan pada pasiennya. Dapat dengan pemberian imbalan jasa atau
sekedar untuk menolong atau atas dasar kemurah-hatian sang dokter.

Pada hubungan kontrak antara dokter dan pasien juga terdapat beberapa bentuk
yaitu:
1. Kontrak yang nyata (expressed contract).
Pada bentuk ini, sifat dan jangkauan pemberian pelayanan medis ditawarkan oleh
sang dokter secara nyata dan jelas, bisa melalui lisan maupun bentuk tulisan.
2. Kontrak yang tersirat (implied contract).
Pada bentuk ini, adanya kontrak ditunjukkan dari tindakan-tindakan para pihak.
Munculnya bukan karena adanya persetujuan, tapi dianggap ada oleh hukum
berdasarkan akal sehat dan keadilan.
Pada hubungan dokter-pasien juga terdapat waktu berakhirnya hubungan kontraktual
tersebut. Penentuan saat berakhirnya hubungan dokter pasien merupakan hal yang penting,
karena semua hak dan kewajiban yang ada pada dokter juga turut berakhir. Beberapa cara
berakhirnya hubungan dokter dan pasien, yakni:
(1) Sembuhnya pasien dari sakitnya dan dokter menganggap tidak diperlukan lagi
pengobatan, sehingga tidak ada manfaatnya sang pasien untuk meneruskan lagi
pengobatannya. Penyembuhannya tidak perlu total, penyembuhan sudah dapat
dianggap saat pasien sudah dalam keadaan tidak memerlukan lagi pelayanan medik.
Penentuan apakah pasien sudah sembuh benar sehingga tidak diperlukan lagi
pelayanan medik tergantung pada dokternya. Hal ini dapat dilakukan sesudah
adanya penelitian lagi dan evaluasi terhadap catatan mediknya, serta pasien itu
sudah melakukan penelaian dirinya sendiri bersama dengan orang-orang yang
mengkhawatirkan keadaannya.
(2) Dokternya mengundurkan diri, seorang dokter boleh mengundurkan diri dengan
syarat:
(a) Pasien menyetujui keputusan dokter untuk mengundurkan diri tersebut
(b) Kepada pasien diberikan waktu cukup dan pemberitahuan, sehingga ia bisa
memperoleh pengobatan dari dokter lain.
(c) Atau jika dokter tadi merekomendasikan kepada dokter lain yang sama
kompetensinya atau lebih kompetensinya untuk menggantikan dokter
sebelumnya dengan perseujuan pasiennya.
(3) Pengakhiran oleh pasien, seorang pasien bebas untuk mengakhiri pengobatannya.
Apabila diakhiri, dokter memiliki kewajiban untuk memberi nasihat mengenai apakah
masih diperlukan pengobatan lanjutan dan memberikan kepada penggantinya
informasi yang cukup, sehingga pengobatan tersebut dapat diteruskan penggantinya.
(4) Meninggalnya sang pasien
(5) Meninggalnya atau tidak mampu menjalani lagi profesinya oleh sang dokter.
(6) Lewatnya jangka waktu, apabila kontrak tersebut ditentukan dalam jangka waktu
tertentu.
(7) Persetujuan kedua belah-pihak bahwa hubungan tersebut sudah berakhir.
Pada beberapa kasus, terdapat pasien yang memiliki sejumlah perilaku tertentu seperti
kehilangan kepercayaan diri, kehilangan lingkungan sosial, mengalami kepasifan, maupun
mengalami ketegangan jiwa. Berbagai kondisi yang dialami pasien ini memunculkan
komitmen para dokter sebagai kelompok profesi yang luhur serta senantiasa menjadi dewa
penolong bagi pasien. Hal-hal tersebut mengarah ke profesionalisme seorang dokter. Pada
dokter, diharapkan melekat beberapa ciri profesionalisme, yaitu:
- Kejujuran
- Integritas
- Kepedulian terhadap pasien (duty of care)
- Menghormati pasien
- Memahami perasaan pasien atau empati, dan ikut prihatin kepada pasien
- Sopan dan santun kepada pasien
- Pengabdian yang berkelanjutan untuk mempertahankan kompetensi
pengetahuan dan ketrampilan teknis medis.
Profesionalisme adalah wujud janji kepada publik bahwa seorang dokter akan terus dapat
dipercaya sebagai dewa penolong pasien. Di dalamnya terdapat kontrak sosial untuk
memegang teguh komitmen terhadap kepentingan terbaik pasien, jujur, dan menghormati
hak-hak pasien dalam menjalankan praktiknya sebagai upaya tanpa pamrih.
DAFTAR PUSTAKA

J. Guwandi, S.H. Dokter, Pasien, dan Hukum, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Muhammad Mulyohadi Ali. Kemitraan Dalam Hubungan Dokter-Pasien. Konsil Kedokteran
Indonesia, 2006
Bambang Muladi, Dokter dan Pasien, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2005
Alfitri, Komunikasi Dokter-Pasien Vol. 7 No.1 Juni 2006. Mediator
Erdiansyah, S.H, M.H. Pertanggungjawaban Pidana terhadap Dokter atas Kesalahan da
Kelalaian dalam Memberikan Pelayanan Medis di Rumah Sakit. Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 3,
No. 2
G.G Kent Phd,A.S. Pengelolaan Tingkah Laku Pasien pada Praktik Kedokteran Gigi Edisi 2

Anda mungkin juga menyukai