Anda di halaman 1dari 64

LAPORAN PRESENTASI KASUS KELOMPOK

ASUHAN KEBIDANAN PERSALINAN DENGAN USIA > 35 TAHUN + OBESITAS


GRADE I + PREEKLAMPSIA + ANEMIA + GAGAL INDUKSI + TINDAKAN SECTIO
CAESARIA + IUD PASCA PLASENTA DI RUANG BERSALIN RSUD dr. MOHAMAD
SOEWANDHIE SURABAYA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Profesi Bidan


Blok Maternal Neonatal Patologis dan Kegawatdaruratan

Oleh
Renggita Aulia Rahmawati 011913243043
Risqi Rahayu Mustikasari 011913243043

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI BIDAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus Program Pendidikan Profesi Bidan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
dengan judul “Asuhan Kebidanan Persalinan dengan usia > 35 Tahun + Obesitas Grade I +
Preeklampsia + Anemia + Gagal Induksi + Tindakan Sectio Caesaria + IUD Pasca Plasenta di
Ruang Bersalin RSUD dr. Mohamad Soewandhie Surabaya” yang disusun oleh:
1. Renggita Aulia Rahmawati 011913243043
2. Risqi Rahayu Mustikasari 011913243043
telah diperiksa dan disetujui untuk memenuhi Tugas Praktik Klinik Program Studi Pendidikan
Profesi Bidan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga pada:
Hari :
Tanggal :

Surabaya, Maret 2020


Mahasiswa,

Risqi Rahayu Mustikasari


NIM. 011913243043

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


Program Studi Pendidikan Profesi Bidan Kamar Bersalin RSUD dr. Mohamad
Fakultas Kedokteran UNAIR Soewandhie Surabaya

Ivon Diah Wittiarika,S.Keb,Bd,M.Kes. Sri Wahyuni, SST


NIP. 198411112016087201 NIP. 19811130 200501 2 008
BAB 1
PENFDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Persalinan merupakan rangkaian proses yang berakhir dengan pengeluaran hasil konsepsi
(Varney, 2007). Persalinan normal menurut WHO adalah persalinan yang dimulai secara
spontan, beresiko rendah pada awal persalinan dan tetap selama proses persalinan. Bayi
dilahirkan secara spontan dalam persentase belakang kepala usia kehamilan 37 minggu sampai
42 minggu, setelah persalinan ibu dan bayi dalam kondisi sehat. (Depkes, 2002). Sedangkan
persalinan patologis dapat diartikan sebagai persalinan yang membawa satu akibat buruk bagi
ibu dan anak. (Departemen of Gynekologi, 1999).
Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menunjukkan adanya
peningkatan AKI dari 228 pada tahun 2007 menjadi 359/100.000 pada tahun 2012. Hal ini
tentunya tidak sesuai dengan angka yang ditargetkan pada Milleniun Development Goals
(MDGs). Eklamsia merupakan salah satu penyebab kematian ibu di Indonesia yaitu sebanyak
24%, (Profil Kesehatan Indonesia, 2012). Sedangkan menurut World Health Organization
(WHO) pada tahun 2008, bahwa setiap tahunnya wanita yang bersalin meninggal dunia
mencapai lebih dari 500.000 orang, salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas ibu dan janin
adalah Preeklampsia (PE), angka kejadiannya berkisar antara 0,51%- 38,4%. Di negara maju
angka kejadian preeklampsia berkisar 6-7% dan eklampsia 0,1-0,7%. Sedangkan angka kematian
ibu yang diakibatkan preeklampsia dan eklampsia di negara berkembang masih tinggi.
Preeklampsia adalah salah satu gangguan yang terjadi pada masa kehamilan yang
menjadi salah satu penyebab kematian ibu dan juga berdampak pada bayi. Preeklampsia
merupakan penyakit vasospastik yang melibatkan banyak sistem dan ditandai dengan hipertensi
dan proteinuria (Saifuddin, 2009).Eklampsia merupakan salah satu komplikasi yang timbul dari
Pre Eklampsia Berat. PEB adalah komplikasi kehamilan yang ditandai dengan timbulnya
hipertensi >160/110 disertai protein urine danatau edema, pada kehamilan 20 minggu atau lebih.
(Agus Abadi, dkk 2008). Preeklampsia merupakan masalah yang serius dan memiliki tingkat
kompleksitas yang tinggi.Besarnya masalah ini bukan hanya karena preeklampsia berdampak
pada ibu saat hamil dan melahirkan, namun juga menimbulkan masalah pasca persalinan akibat
disfungsi endotel di berbagai organ, seperti risiko penyakit kardiometabolik dan komplikasi
lainnya.Ibu hamil dengan preeklampsia umumnya tidak merasakan sakit, sehingga hal inilah
yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Preeklamsia dapat dicegah dengan penanganan yang
adekuat dan dapat mencegah ibu jatuh dalam keadaan eklampsia.
Bidan harus mampu melakukan penanganan yang cepat dan tepat dalam penanganan
awal dan sistem rujukan agar kematian akibat preeklampsia berat dapat dihindari. Bidan juga
mempunyai peran untuk terlibat dalam program-program dukungan yang melibatkan edukasi
kesehatan ibu maupun janin dapat meningkat. Bidan sebagai salah satu tenaga kesehatan yang
terdidik dan dipercaya masyarakat untuk memberikan asuhan selama kehamilan sudah
seharusnya dapat memberikan pelayanan kesehatan terbaik (PP IBI, 2013). Salah satunya yaitu
pelayanan untuk menangani kasus ketuban pecah prematur.Bidan harus mampu mengambil sikap
yang cepat dan tepat. Setiap tindakan yang dilakukan harus sesuai prosedur dan dasar keilmuan
yang dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga penting bagi bidan untuk senantiasa belajar dan
berlatih untuk meningkatkan kapasitas dirinya sebagai seorang tenaga kesehatan yang
profesional. Oleh karena itu, penting bagi seorang mahasiswa bidan yang nantinya akan
menjalankan profesi bidan dan menanggung tanggungjawab besar terutama dalam hal kesehatan
ibu dan anak, untuk senantiasa belajar dan meningkatkan keilmuannya.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Mahasiswa mampu melaksanakan asuhan kebidanan pada persalinan dengan usia > 35
tahun + Obesitas Grade II + Preeklampsia + Anemia + Gagal Induksi + Tindakan Sectio Caesaria
+ IUD Pasca Plasenta. Menerapkan pola pikir melalui pendekatan manajemen Varney dan
pendokumentasian menggunakan SOAP.
1.2.2 Tujuan khusus
1. Mahasiswa mampu menjelaskan konsep teori tentang faktor risiko Usia > 35 tahun, Obesitas
Grade II, Preeklampsia, Anemia, Induksi Persalinan, Sectio Caesaria, dan IUD Pasca Plasenta
pada ibu bersalin.
2. Mahasiswa mampu menyusun konsep asuhan kebidanan pada ibu bersalin dengan usia > 35
tahun + Obesitas Grade II + Preeklampsia + Anemia + Gagal Induksi + Tindakan Sectio
Caesaria + IUD Pasca Plasenta.
3. Mahasiswa mampu melakukan asuhan kebidanan pada ibu bersalin dengan usia > 35 tahun +
Obesitas Grade II + Preeklampsia + Anemia + Gagal Induksi + Tindakan Sectio Caesaria +
IUD Pasca Plasenta.
4. Mahasiswa mampu melakukan dokumentasi asuhan kebidanan dengan SOAP.
5. Mahasiswa mampu menganalisis kasus dengan teori

1.3 Manfaat
1.3.1 Bagi penulis
Penulis dapat mengaplikasikan ilmu yang telah didapatkan selama pendidikan secara
langsung kepada klien dengan usia > 35 tahun + Obesitas Grade II + Preeklampsia + Anemia +
Gagal Induksi + Tindakan Sectio Caesaria + IUD Pasca Plasenta.
1.3.2 Bagi klien
Klien mendapatkan asuhan kebidanan yang berkualitas sehingga proses persalinan
dengan usia > 35 tahun + Obesitas Grade II + Preeklampsia + Anemia + Gagal Induksi +
Tindakan Sectio Caesaria + IUD Pasca Plasenta dapat berjalan lancar dan aman.

1.1.4 Pelaksanaan
Praktik Klinik dilaksanakan pada tanggal 2 s/d 15 Maret 2020 di Ruang Bersalin RSUD dr.
Mohamad Soewandhie Surabaya.

1.5 Sistematika Penulisan


Halaman Judul
Lembar Pengesahan
Kata Pengantar
BAB 1 Pendahuluan
Latar Belakang
Tujuan
Manfaat
Pelaksanaan
Sistematika Penulisan
BAB 2 Tinjauan Pustaka
BAB 3 Tinjauan Kasus
BAB 4 Pembahasan
BAB 5 Penutup
Daftar Pustaka
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Preeklampsia


2.1.1 Definisi
Preeklampsia adalah penyakit hipertensi spesifik yang terjadi pada kehamilan yang
melibatkan multisistem. Biasanya terjadi setelah 20 minggu kehamilan, bisa terjadi superimposed
dan gangguan hipertensi lainnya. Preeklampsia ditandai dengan pemeriksaaan tekanan darah yang
tinggi. Kejadian yang memperusulit preeklampsia adalah ketika ditemukan hipertensi dan protein
urine onset. Meskipun kedua hal tersebut menjadi patokan diagnosis preeklampsia, pada beberapa
kasus dietemukan bahwa wanita yang menderita hipertensi dan menunjukkan tanda gangguan
multisistemik biasanya menunjukkan tingkat keparahan penyakit yang lebih, meski setelah
dilakukan pemeriksaan tidak diapatkan protein urin. Tanpa protein urine preeklampsia juga
didiagnosis sebagai hipertensi dengan trombositopenia, gangguan fungsi hati, insufisiensi ginal,
edema paru atau gangguan serebral. (ACOG, 2013)
Preeklampsia adalah suatu penyakit vasospastik, yang melibatkan banyak sistem dan
ditandai oleh hemokonsentrasi, hipertensi, dan proteinuria (Bobak, dkk., 2005). Menurut Mansjoer
(2008), Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat kehamilan
setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan.
2.1.2 Etiologi
Penyebab preeklampsia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Banyak teori-teori
dikemukakan para ahli yang mencoba menerangkan penyebabnya, namun belum ada yang
memberikan jawaban yang memuaskan (Prawirohadjo, 2016). Cunningham (2012) mengatakan
bahwa setiap teori yang memuaskan mengenai etiologi dan patogenesis penyakit ini lebih mungkin
timbul pada perempuan yang:
1. Terpajan vili korionik untuk pertama kalinya.
2. Terpajan vili korionik dalam jumlah berlebihan, seperti pada kehamilan ganda atau mola
hidatidosa
3. Telah memiliki penyakit ginjal atau molahidatidosa.
4. Secara genetis berisiko untuk mengalami hipertensi selama kehamilan.
Apapun etiologi pencetusnya, rangkaian peristiwa yang menyebabkan preeklampsia ditandai
dengan sejumlah kelainan yang menimbulkan kerusakan endotel pembuluh darah dan selanjutnya,
vaso spasme, transudasi plasma, serta komplikasi iskemik dan trombotik (Cunningham, 2012).
Preeklampsi tidaklah sesederhana “suatu penyakit”, melainkan merupakan hasil akhir berbagai
faktor yang kemungkinan meliputi sejumlah faktor pada ibu, plasenta dan janin. Faktor-faktor yang
saat ini dianggap penting mencakup:
1. Implantasi plasenta disertai invasi trofoblastik abnormal pada pembuluh darah uterus.
2. Toleransi imunologis ang bersifat maladatif di antara jaringan maternal, paternal (plasental),
dan fetal.
3. Maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskular atau inflamatorik yang terjadi pada
kehamilan normal.
4. Faktor-faktor genetik, termasuk gen predisposisi yang diwariskan, serta pengaruh epigenetik.
Faktor-faktor tersebut termasuk dalam beberapa teori yang dianut hingga sekarang antara lain
(Saifuddin, dkk, 2010; Cunningham, 2012):
1) Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari cabang-cabang
arteri uterina dan artetri ovarika. Kedua pembuluh darah tersebut menembus miometrium berupa
arteri arkuarta dan arteri arkuarta memberi cabang arteri radialis. Arteria radialis menembus
endometrium menjadi arteri basalis yang kemudian memberi cabang arteri spiralis.
Pada hamil normal yang belum jelas sebabnya terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan otot
arteri spiralis yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi. Invasi
trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis sehingga mengalami distensi dan dilatasi.
Keadaan ini memberikan dampak penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular dan
peningkatan aliran darah menuju uteroplasenta sehingga aliran ke janin juga baik. Proses ini
dinamakan “remodeling arteri spiralis”.Pada preeklampsia tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas
pada lapisan otot sehingga menjadi tetap kaku dan keras atau mengalami vasokonstriksi, dan
terjadi kegagalan “remodeling arteri spiralis” yang berakibat penurunan aliran darah
uteroplasenta, dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta (Saifuddin, dkk, 2010).
2) Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan/radikal bebas.
Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat
toksis, khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh darah.Radikal hidroksil akan
merusak membran sel, yang mengandung banyak asam lemak tak jenuh menjadi peroksida
lemak. Peroksida lemak selain akan meruasak membran sel, juga akan merusak nukleus, dan
protein sel endotel.
Peroksida lemak sebagai oksidan/radikal bebas yang sangat toksis akan beredar di seluruh
tubuh dalam aliran darah dan akan merusak membran sel endotel. Membran sel endotel lebih
mudah mengalami kerusakan oleh peroksida lemakkarena letaknya langsung berhubungan
dengan aliran darah dan mengandung banyak asam lemak tak jenuh. Asam lemak tak jenuh
sangat rentan terhadap oksidan radikal hidroksil, yang akan berubah menjadi peroksida lemak.
Akibat sel endotel yang terpapar peroksida lemak, maka terjadi kerusakan sel endotel, yang
kerusakannya dimulai dari membran sel endotel. Kerusakan membran sel endotelmengakibatkan
terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel. Keadaan ini disebut
“disfungsi endotel”. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya :
a. Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi sel endotel adalah
memproduks prostaglandin, yaitu menurunnya prostasiklin (suatu vasodilatator kuat)
b. Agregasi sel trombosit pada daerah sel yang mengalami kersakan. Agregasi trombosit
memproduksi tromboksan, suatu vasokonstriktor kuat.
c. Perubahan khas padasel endotel kapilar glomerulus
d. Peningkatan permeabilitas kapilar
e. Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin. Kadar NO (vasodilatator)
menurun, sedangkan endotelin (vasokonstriktor) meningkat.
f. Peningkatan faktor koagulasi.
3) Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Dugaan bahwa faktor imunologik berperan terhadap terjadinya hipertensi dalam kehamilan
terbukti dengan fakta:
a. Primigravida mempunyai resiko lebih besar terjadinya hipertensi kehamilan jika
dibandingkan dengan multigravida
b. Ibu multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai resiko lebih besar terjadinya
hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan suami sebelumnya
c. Seks oral mempunyai resiko lebih rendah terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Lamanya
periode hubungan seks sampai saat kehamilan ialah makin lama periode ini, makin kecil
terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Pada perempuan hamil normal, respon imun tidak menolak adanya “hasil konsepsi” yang
bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukosit antigen protein 6 (HLA-6) yang
berperan penting dalam modulasi respon imun, sehingga ibu tidak menolak hasil konsepsi
(plasenta).Pada plasenta hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan ekskresi HLA-6 sehingga
menghambat invasi trofoblas ke dalam desidua. Invasi trofoblas sangat penting agar jaringan
desidua ibu menjadi lunak sehingga memudahkan terjadnya dilatasi arteri spiralis juga
merangsang produksi sitikon. Sehingga memudahkan terjadinya reaksi inflamasi. Kemungkinan
terjadi imun maladaptasi pada preeklampsia.
4) Teori adaptasi kardiovaskular
Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan vasopresor. Pada
hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap bahan vasokonstriktor dan
ternyata terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor, artinya daya refrakter
pebuluh darah terhadap bahan vasopresor hilang sehingga pembuluh darah menjadi sangat peka
terhadap bahan vasopresor.
5) Teori genetik
Genotipe ibu lebih menetukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika
dibandingkan dengan genotipe janin. Telah terbukti bahwa pada ibu yang mengalami
preeklampsia 26% anak perempuannya akan mengalami preeklmapsia pula, sedangkan hanya
8% anak menantu mengalami preeklmapsia.
6) Teori defisiensi gizi
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan gizi berperan dalam terjadinya
hipertensi dalam kehamilan. Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan atau
bahan yang mengandung asam lemak tak jenuh dapat mengurangi preeklampsia. Asam lemak tak
jenuh dapat menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit, dan mencegah
vasokontriksi pembuluh darah. Beberapa juga menganggap bahwa defisiensi kalsium pada diet
perempuan hamil mengakibatkan resiko terjadinya preeklampsia/eklampsia.
7) Teori inflamasi
Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam sirkulasi darah
merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada kehamilan normal plasenta juga
melepaskaan debris trofoblas, sebagai sisa-sisa proses apoptosis dan nekrotik trofoblas, akibat
reaksi stress oksidatif bahan-bahan ini sebagai bahan asing yang kemudian merangsang
timbulnya proses inflamasi.
Pada kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih dalam batas wajar, sehingga reaksi
inflamasi juga masih dalam batas normal. Berbeda dengan proses apoptosis pada preeklampsia,
dimana pada preeklampsia terjadi peningkatan stress oksidatif sehingga produksi debris
apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkat. Semakin banyak sel trofoblas plasenta ,
misalnya pada plasenta besar, kehamlan ganda, maka reaksi stress oksidatif akan sangat
meningkat sehingga beban reaksi inflamasi pada ibu juga meningkat.
2.1.3 Patofisiologi
Meskipun penyebab preeklampsia masih belum diketahui secara pasti, bukti manifestasi
klinisnya mulai tampak sejak awal kehamilan, berupa perubahan patofisiologi tersamar yang
terakumulasi sepanjang kehamilan, dan akhirnya menjadi nyata secara klinis. Tanda klinis ini
diduga merupakan akibat vasospasme, disfungsi endotel, dan iskemia. Meskipun sejumlah besar
dampak sindrom preeklampsia pada ibu diuraikan per sistem organ, manifestas klinis ini seringkali
multipel dan bertumpang tindih secara klinis (Cunningham, 2012). Menurut Manuaba, dkk (2010),
terjadinya spasme pembuluh darah menuju organ penting dalam tubuh dapat menimbulkan:
1. Gangguan metabolisme jaringan. Terjadi metabolisme anaerobik lemak dan protein.
Pembakaran yang tidak sempurna menyebabkan pembentukan badan keton dan asidosis.
2. Gangguan peredaran darah dapat menimbulkan nekrosis (kematian jaringan), perdarahan,
dan edema jaringan.
3. Mengecilnya aliran darah menuju retroplasenter sirkulasi menimbulkan gangguan
pertukaran nutrisi, CO2 dan O2 yang menyebabkan asfiksia sampai kematian janin dalam
rahim.
Menurut Manuaba, dkk (2010) dan Saifuddin, dkk (2010), perubahan patologis beberapa
organ penting dijabarkan sebagai berikut:
1. Perubahan hati: Perdarahan yang tidak teratur, terjadi nekrosis, trombosis pada lobus hati.
2. Rasa nyeri epigastrium karena perdarahan subskapuler.
3. Retina: Spasme arterior, edema sekitar diskus optikus, ablasio retina (lepasnya retina), dan
menyebabkan penglihatan kabur.
4. Otak: Spasme pembuluh darah arteriol otak menyebabkan anemia jaringan otak,
perdarahan dan nekrosis, menimbulkan nyeri kepala berat.
5. Paru: Berbagai tingkat edema, brokopneumonia sampai abses, menimbulkan sesak napas
sampai sianosis.
6. Jantung: Perubahan degenerasi lemak dan edema, perdarahan subendokardial,
menimbulkan dekompensasi kordis sampai terhentinya fungsi jantung.
7. Aliran darah ke plasenta: spasme arteriol yang mendadak menyebabkan asfiksia berat
sampai kematian janin, dan spasme arteriol yang berlangsung lama dapat mengganggu
pertumbuhan janin.
8. Perubahan ginjal: Spasme arteriol menyebabkan aliran darah ke ginjal menurun sehingga
filtrasi glomerulus berkurang, penyerapan air dan garam tubulus tetap, terjadi retensi air
dan garam, edema pada tungkai dan tangan, paru, dan organ lain.
9. Perubahan pembuluh darah: Permeabilitasnya terhadap protein makin tinggi sehingga
terjadi vasasi protein ke jaringan. Protein ekstravakular menarik air dan garam
menimbulkan edema. Hemokonsentrasi darah yang menyebabkan gangguan fungsi
metabolisme tubuh dan trombosis.
2.1.4 Faktor Risiko
Terdapat banyak resiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan, yang dapat di
kelompokan dalam factor resiko sebagai berikut:
1. Primigravida/nulipara
Wanita nulipara memiliki risiko lebih besar (7 sampai 10 persen) jika dibandingkan dengan
wanita multipara (Leveno, 2009). Hipertensi seringkali terjadi pada kehamilan pertama, terutama
pada ibu yang berusia belasan tahun. Selain itu juga sering terjadi pada wanita yang hamil
dengan pasangan baru. Menurut Robillard et al, 1994 dalam Fraser (2009), tingginya insiden
penyakit hipertensi pada primigravida, menurunnya prevalensi setelah pajanan jangka panjang
terhadap sperma paternal, menjadi data yang mendukung respon imun.
2. Hiperplasentosis, misalnya : mola hidatidosa, kehamilan multiple, diabetes mellitus, bayi besar.
Menurut Roberts dan Redman, 1993 (Fraser, 2009), plasentasi abnormal dan penurunan
perfusi plasenta juga dapat terjadi pada kondisi yang berhubungan dengan penyakit
mikrovaskular, misalnya diabetes, hipertensi, atau trombofilia. Hal ini dapat terjadi jika terdapat
massa plasenta yang besar seperti pada kehamilan kembar atau penyakit trofoblastik gestasional
(mola hidatidosa)
3. Umur yang ekstrim
Wanita berusia diatas 35 tahun mempunyai resiko sangat tinggi terhadap terjadinya
hipertensi. Menurut Spellacy yang dikutip Cunningham (2005) insiden hipertensi karena
kehamilan meningkat 3 kali lipat pada wanita diatas 40 tahun dibandingkan dengan wanita yang
berusia 20 - 30 tahun.
4. Riwayat keluarga pernah eklampsia/ preeclampsia
Adanya faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotip ibu lebih
menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Telah terbukti bahwa pada ibu yang
mengalami preeklampsia, 26% anak perempuannya akan mengalami preeklampsia pula,
sedangkan hanya 8% anak menantu mengalami preeklampsia (Angsar, 2008).
5. Penyakit-penyakit yang sudah ada sebelum hamil.
Menurut Chesley (1985) yang dikutip oleh Cunningham (2005) preeklampsia juga terjadi
pada multipara yang menderita penyakit vaskuler, termasuk hipertensiessensialyang kronis,
diabetes mellitus, dengan penyakit ginjal.
6. Obesitas
Risiko terjadi hipertensi lebih besar pada wanita dengan IMT yang tinggi dibandingkan
yang rendah. Dan mengidentifikasi wanita yang peningkatan IMT 5-7 kg/m 2 memiliki dua kali
risiko lebih besar mengalami preeklampsia (O’Brien TE, 2003). Dan IMT atau Indeks massa
tubuh awal berguna sebagai prediktor hipertensi pada kehamilan, karena angka IMT biasanya
lebih tinggi pada ibu yang menderita hipertensi (Masse at al, 1993 dalam Fraser, 2009).
Walker (2000), Dekker & Sibai (2001), serta Roberts & Cooper (2001) dalam Billington
(2009) menyebutkan beberapa faktor predisposisi terjadinya preeklamsi,yaitu:
1) Primigravida, meningkatkan risiko preeklamsi 2 kali lipat
2) Gangguan pada pasangan, primipaternitas, atau pemajanan sperma terbatas atau
spermadonor
3) Pasangan yang menjadi ayah kehamilan preeklamtik wanita lain
4) Riwayat preeklamsi sebelumnya
5) Peningkatan usia ibu atau peningkatan interval antar kehamilan/remaja
6) Riwayat keluarga, kemungkinan mencapai 25% jika ibu mengalami preeklamsi,
danmencapai 40% jika saudara kandung mengalami preeklamsi (Nelson-Piercy, 2002)
7) Telur donor pada inseminasi buatan
8) Hipertensi kronis dan penyakit ginjal
9) Penyakit sel sabit dan sifat sel sabit (Larrabee & Monga, 1997)
10) Obesitas, diabetes (termasuk gestasional diabetes), dan berat badan lahir rendah
11) Resistensi protein C aktif (faktor V Leiden) dan defisiensi protein
12) Antibodi antifosfolipid
13) Hiperomosisteinemia (didefinisikan sebagai peningkatan konsentrasi homosistein (tHcy)
plasma,. Kondisi ini dapat disebabkan oleh mutasi genetik, defisiensi vitamin, penyakit
ginjal dan penyakit lain, beberapa jenis obat, serta peningkatan usia (Hankey et al, 2004))
14) Stres, terutama disebabkan ketegangan psikososial terkait pekerjaan
15) Kehamilan kembar
16) Infeksi saluran kemih
17) Anomali saluran kongenital
18) Hidrops fetalis
19) Anomali kromosom (misalnya triploid-terutama berkaitan dengan awitan dini
preeklamsi(Nelson-Peircy, 2002))
20) Mola hidatidiformis.
2.1.5 Skrining Preekmpsia
Pengukuran berbagai penanda biologis, biokimiawi, dan biofisik yang terlibat dalam
patofisiologi preeklampsia di awal atau selama kehamilan, telah diajukan sebagai cara untuk
memprediksi timbulnya preeklampsia. Usaha-usaha yang telah dilakukan untuk mengidentifikasi
penanda dini plasentasi yang terganggu, terganggunya perfusi plasenta, aktivasi dan disfungsi sel
endotel,serta aktivasi sistem koagulasi. Sebagian besar menghasilkan metode yang memiliki
sensitivitas rendah dan nilai prediksi positif rendah untuk preeklampsia. Saat ini tidak ada uji
penyaring ang handal, valid, dan ekonomis. Namun terapat kombinasi sejumlah pemeriksaan,
beberapa diantaranya masih perlu dievaluasi lebih lanjut, yang mungkin bermanfaat (Cunningham,
2012). Menurut Cunningham (2012), pemeriksaan prediktif untuk timbulnya sindrom preeklampsia
diantaraya:
1. Pemeriksaan tahanan vaskular/perfusi plasenta
a. Uji pressor provokatif
Uji ini terbagi menjadi tiga pemeriksaan yang dapat menilai tekanan darah yang meningkat
sebagai respons terhadap stimulus:
1) Pemeriksaan berguling (roll over test/ ROT) memeriksa respons hipertensif pada
perempuan yang sedang mengandung 28 sampai 32 minggu dalam posisi terlentang
kemudian ke posisi dekubitu lateral kiri.
2) Uji latihan isometrik
3) Uji infus angiotensin II
b. Velosimetri doppler areteria uterina
Invasi trofoblastik yang abnormal pada arteri spiralis menyebabkan berkurangnya perfusi
plasenta dan meningkatnya tahanan terhadap aliran balik pada arteria uterin. Bertambahnya
velosimetri arteria uterinina yang ditentukan dengan ultrasonografi Doppler pada trimester
pertama atau kedua seharusnya dapat memberikan bukti tak langsung proses ini sehingga
berperan sebagai uji prediktif untuk preeklampsia (Cunningham, 2012).
c. Analisis gelombang denyut
Seperti halnya arteria uterina, “kekakuan” denyut arteri pada jari merupakan penanda risiko
kardiovaskular (Cunningham, 2012).
2. Pemeriksaan terkait disfungsi ginjal
a. Asam urat dalam serum
Salah satu temuan laboratorium paling awal pada preeklampsia adalah hiperurisemia
(Powers, dkk dalam Cunningham, 2012). Hal ini kemungkinan terjadi akibat berkurangnya
bersihan asam urat karena menurunnya filtrasi glomerulus, bertambahnya reabsorpso di
tubulus, dan menurunnya sekresi (Lindheimer, dkk dalam Cunningham, 2012).
b. Mikroalbuminuria
3. Pemeriksaan terkait disfungsi endotel dan stress oksidan
a. Fibronektin
b. Aktivitas koagulasi
c. Stres oksidatif
Hiperhomosisteinemia menyebabkan stres okidatid dan disfungsi sel endotel, serta
ditemukan pada preeklamsia (Cunningham, 2012).
d. Faktor angiogenik
e. DNA bebas janin
Adapun berdasarkan Satgas Penakib (2016), tata laksana skrining preeklampsia sesuai bagan
berikut.

Usia Kehamilan 12 – 28 minggu

Pemeriksaan anamnesa dan fisik Doppler


Riwayat Khusus :
Riwayat keluarga preeklampsia Velocimetry:
Riwayat hipertensi
Primigravida Peningkatan
dalam kehamilan
Kehamilan kembar resistensi
Hipertensi kronis
Primitua sekunder (jarak antara kehamilan >10
Kelainan ginjal Notching (+)
tahun)
Diabetes
Usia >35 tahun
Penyakit autoimun
Body Massa Indekx >30 (obesitas)
Mean Arterial Pressure ( (Sistolik + 2 Diastolik) /
3 ) >90
Roll Over Test (perbandingan diastolic posisi
terlentang (supine) dengan miring kiri (left
lateral recumbent) >15 mmHg

≥2 hasil (+) Salah satu hasil (+) Salah satu hasil (+)

Screening (+)
Rujuk untuk evaluasi di Faskes Sekunder

 Low dose Aspirin 1 x 80mg – 150mg/ hari sampai dengan 7 hari sebelum persalinan
 Kalsium 1g / hari

Bagan 2.1 Tata laksana skrining preeklampsia


Keterangan :
1. Semua pasien usia kehamilan 12 – 28 minggu dilakukan skrinning preeklampsia. Usia
kehamilan ini dipilih karena terapi preventif menggunakan aspilet secara evidence-based
dibuktikan bermakna diberikan sebelum 20 minggu.
2. Jika didapatkan pasien datang setelah usia kehamilan 20 minggu, dapat tetap dilakukan
skrinning preeklampsia, namun mohon untuk pendataan dilakukan secara terpisah antara
pasien dibawah 20 minggu dan diatas 20 minggu.
3. Khusus poli hamil RSUD Dr. Soetomo, meskipun sudah didapatkan pemeriksaan anamnesis
dan fisik serta riwayat khusus yang menunjukkan hasil skrinning positif, pasien tetap
dilakukan Doppler Velocimetry arteri uterine untuk tujuan pelayanan (data obyektif pasien),
pendidikan dan penelitian.
2.1.6 Klasifikasi
Preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan/diatas usia
kehamilan 20 minggu disertai adanya gangguan organ. Jika hanya didapatkan hipertensi saja,
kondisi tersebut tidak dapat disamakan dengan peeklampsia, harus didapatkan gangguan organ
spesifik akibat preeklampsia tersebut. Kebanyakan kasus preeklampsia ditegakkan dengan adanya
protein urin, namun jika protein urin tidak didapatkan, salah satu gejala dan gangguan lain dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis preeklampsia (POGI, 2016), yaitu:
1) Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
2) Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar kreatinin
serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
3) Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau adanya nyeri
di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
4) Edema Paru
5) Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
6) Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi uteroplasenta :
Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau didapatkan adanya absent or
reversed end diastolic velocity (ARDV)
Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada preeklampsia, dan jika gejala
tersebut didapatkan, akan dikategorikan menjadi kondisi pemberatan preeklampsia atau disebut
dengan preeklampsia berat. Kriteria gejala dan kondisi yang menunjukkan kondisi pemberatan
preeklampsia atau preklampsia berat adalah salah satu dibawah ini :
1) Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg diastolik pada dua
kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan yang sama
2) Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
3) Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar kreatinin
serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
4) Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau adanya nyeri di
daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
5) Edema Paru
6) Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
7) Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi uteroplasenta:
Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau didapatkan absent or reversed end
diastolic velocity (ARDV)
Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan antara kuantitas protein urin
terhadap luaran preeklampsia, sehingga kondisi protein urin masif ( lebih dari 5 g) telah dieleminasi
dari kriteria pemberatan preeklampsia (preeklampsia berat). Kriteria terbaru tidak lagi
mengkategorikan lagi preeklampsia ringan, dikarenakan setiap preeklampsia merupakan kondisi
yang berbahaya dan dapat mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas secara signifikan
dalam waktu singkat.
Kriteria Minimal Preeklampsia
- Hipertensi :Tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik atau 90 mmHg, diastolik
pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan yang sama
Dan
- Protein urin :Protein urin melebihi 300 mg dalam 24 jam atau tes urin dipstik > positif 1.
- Jika tidak didapatkan protein urin, hipertensi dapat diikuti salah satu dibawah ini:
- Trombositopeni :Trombosit < 100.000 / mikroliter
- Gangguan ginjal :Kreatinin serum diatas 1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar
kreatinin serum dari sebelumnya pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
- Gangguan Liver :Peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau adanya nyeri
di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
- Edema Paru
- Gejala Neurologis :Stroke, nyeri kepala, gangguan visus
- Gangguan Sirkulasi Uteroplasenta :Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau
didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)
Kriteria Preeklampsia berat (diagnosis preeklampsia dipenuhi dan jika didapatkan salah satu
kondisi klinis dibawah ini :
- Hipertensi :Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg
diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan yang sama
- Trombositopeni :Trombosit < 100.000 / mikroliter
- Gangguan ginjal :Kreatinin serum diatas 1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar
kreatinin serum dari sebelumnya pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
- Gangguan Liver :Peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau adanya nyeri
di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
- Edema Paru
- Gejala Neurologis :Stroke, nyeri kepala, gangguan visus
- Gangguan Sirkulasi Uteroplasenta :Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau
didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV).
2.1.7 Penatalaksanaan Preeklampsia
Pengelolaan preeklampsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang pengobatan
hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit organ yang terlibat, dan saat
yang tepat untuk persalinan (Saifuddin, dkk, 2010).Monitoring selama di rumah sakit berupa
pemeriksaan yang sangat teliti diikuti dengan observasi harian tentang tanda-tanda klinik
berupanyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrum, dan kenaikan cepat berat badan. Selain itu
perlu dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran proteinuria, pengukuran tekanan darah,
pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan USG dan NST.Manajemen umum perawatan
preeklampsia berat(PEB) dibagi menjadi dua unsur sebagai berikut:
1. Sikap terhadap penyakit (pemberian obat atau terapi medisinalis atau pengobatan
medikamentosa)
a. Penderita PEB harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap
Penderita dianjurkan tirah baring miring ke kiri. Perawatan yang penting pada PEB ialah
pengelolaan cairan karena penderita preeklampsia dan eklampsia mempunyai risiko tinggi
untuk terjadinya edema paru dan oliguria. Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut belum
jelas, tetapi faktor yang sangat menentukan terjadinya edema paru dan oliguria ialah
hipovolemia, vasospasme, kerusakan sel endotel, dan penurunan gradien tekanan onkotik
koloid. Oleh karena itu, monitoring input cairan (melalui oral dan infus) dan output cairan
(melalui urin) menjadi sangat penting.
Bila terjadi tanda-tanda edema paru, segera dilakukan tindakan koreksi. Cairan yang
diberikan dapat berupa 5% Ringer-dextrose atau cairan garam faali jumlah tetesan < 125 cc /
jam atau Infus Dextrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan Infus Ringer laktat (60–125
cc/jam) 500 cc. Folley Catheterdipasang untuk mengukur pengeluaran urin. Oliguria terjadi
bila produksi urin <30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc / 24 jam. Diberikan antasida untuk
menetralisir asamlambung hingga bila mendadak kejang, dapat menghindari risiko aspirasi
asam lambung yang sangat asam. Diet yang cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, dan
garam.
b. Pemberian obat antikejang
Obat pilihan pertama untuk mencegah dan mengatasi kejang pada preeklampsia dan
eklampsia adalah MgSO4.Contoh obat-obat lain yang dipakai untuk antikejang seperti
diazepam dan fenitoin. Pemberian MgSO4 sebagai anti kejang lebih efektif dibanding dengan
fenitoin. Obat antikejang yang banyak dipakai di Indonesia adalah magnesium sulfat
(MgSO4H2O). Sediaan MgSO4 yang tersedia yakni 20 % (tiap 25 ml mengandung MgSO4 5
gram) dan 40% (tiap 25 ml mengandung MgSO4 10 gram).
Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serat
saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi neuromuskular membutuhkan
kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium sulfat, magnesium menggeser kalsium,
sehingga aliran rangsangan tidak terjadi. Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat
menghambat kerja magnesium sulfat. Pemberian MgSO4 dapat menurunkan risiko kematian
ibu dan didapatkan 50% dari pemberiannya menimbulkan efek panas (flushes).
Syarat pemberian MgSO4 adalah reflesks patella (+) kuat, frekuensi pernapasan minimal
16 x/menit (tidak ada tanda-tanda distres napas), dan urin minimal 30 ml/jam dalam 4 jam
terakhir. Selain itu, harus tersedia antidotum MgSO4 (bila terjadi intoksikasi) yaitu kalsium
glukonas 1 gram dalam larutan 10% diberikan melaui intravena (IV) secara perlahan-lahan
sampai pernapasan mulai kembali. Ada banyak cara pemberian MgSO4 diantaranya:
1) Dosis awal (loading dose / initial dose)
a) MgSO4 4 gram IV (20% dalam 20 cc atau 40% dalam 10 cc) secara perlahan selama 5
– 15 menit.
b) Diikuti dengan MgSO4 10 gram intramuskular (IM), masing-masing 5 gram bokong
kanan dan kiri (40% dalam 12,5 cc), bisa ditambah dengan 1 ml lidokain 2% pada
semprit yang sama.
c) Bila kejang berualang setelah 15 menit, berikan MgSO4 2 gram IV selama 5 menit.
2) Dosis pemeliharaan (maintenance dose)
a) MgSO4 1 – 2 gram per jam per infus 15 tetes/menit (sebaikanya menggunakan syringe
pump) atau 5 gram MgSO4 IM tiap 4 – 6 jam
b) Lanjutkan pemberian MgSO4 sampai 24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah
kejang terakhir.
Pemberian Magnesium Sulfat dihentikan bila ada tanda intoksinasi yaitu frekuensi
pernapasan < 16 x/menit (terjadi distres atau bahkan henti napas), refleks patella (-), atau
urin < 30 ml/jam.
c. Pemberian antihepertensi
Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas (cut off) tekanan
darah, untuk pemberian antihipertensi. Misalnya Belfort mengusulkan cut off yang dipakai
adalah ≥ 160/110 mmHg dan MAP (Mean Arterial Pressure) ≥ 126 mmHg. Di RSU Dr.
Soetomo Surabaya batas tekanan darah pemberian antihipertensi ialah apabila tekanan sistolik
≥ 180 mmHg dan/atau tekanan diastolik ≥ 110 mmHg. Tekanan darah diturunkan secara
bertahap yaitu penurunan awal 25% dari tekanan sistolik dan tekanan darah diturunkan
mencapai <160/105 atau MAP < 125. Jenis antihipertensi yang diberikan sangat bervariasi.
1) Antihipertensi lini pertama
Nifedepin dengan dosis 10–20 mg per oral, diulangi setelah 30 menit; maksimum 120
mg dalam 24 jam.
2) Antihipertensi lini kedua
Sodium nitroprusside 0,25 µg IV/kg/menit, infus, ditingkatkan 0,25 µg IV/kg/5 menit
atau diazokside 30 – 60 mg IV/5 menit atau IV infus 10 mg/menit/dititrasi.
d. Pemberian diuretikum
Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru, payah
jantung kongestif atau anasarka (Saifuddin, dkk, 2010). Salah satu tanda edema paru adalah
bunyi krepitasi yang didapatkan setelah melakukan auskultasi paru (Saifuddin, dkk, 2009).
Jika ada edema paru, hentikan pemberian cairan dan berikan diuretik misalnya furosemide 40
mg IV. Pemberian diuretikum dapat merugikan yaitu memperberat hipovolemia,
memperburuk perfusi utero-plasenta, meningkatkan hemokonsentrasi, menimbulkan dehidrasi
pada janin, dan menurunkan berat janin.
e. Pemberian glukokortikoid
Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan ibu. Diberikan
pada kehamilan 32 – 34 minggu, 2 x 24 jam. Obat ini juga diberikan pada sindrom HELLP.
2. Sikap terhadap kehamilannya
Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala preeklampsia berat selama perawatan,
maka sikap terhadap kehamilannya terbagi menjadi aktif dan konservatif.
a. Perawatan aktif (aggressive management)
Kehamilan segera diakhiri/diterminas bersamaan dengan pemberian pengobatan
medikamentosa.Indikasi perawatan aktif ialah bila didapatkan satu/lebih keadaan sebagai
berikut (Saifuddin, dkk, 2010; RS Soetomo, 2008):
1) Ibu
- Umur kehamilan > 37 minggu atau kehamilan late preterm (>34 minggu estimasi
berat janin > 2000 g)
- Adanya tandagejala impending eclampsia
- Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu keadaan klinik dan laboratorik
memburuk
- Diduga terjadi solusio plasenta
- Timbul onset persalinan, ketuban pecah, atau perdarahan
2) Janin
- Adanya tanda-tandafetal distress
- Adanya tanda-tanda IUGR
- NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
- Terjadinya oligohodramnion
3) Laboratorik dengan adanya tanda-tanda sindrom HELLP, khususnya menurunnya
trombosit dengan cepat. Sedapat mungkin sebelum perawatan aktif pada tiap penderita
dilaksanakan pemeriksaan NST. Pemberian medikamentosa yang dilakukan antara lain:
- Segera rawat inap
- Tirah baring miring ke satu sisi
- Infus RL yang mengandung 5% dextrose dengan 60-125 cc/jam
- Pemberian anti kejang : MgSO4
Persalinan harus diusahakan segera setelah pasien stabul. Penundaan persalinan
meningkatkan risiko untuk ibu dan janin. Saifuddin, dkk (2010) menyatakan bahwa cara
mengakhiri kehamilan (terminasi kehamilan) dilakukan berdasar keadaan obstetrik pada
waktu itu (inpartu atau belum). Beberapa cara persalinan yang dilakukan antara lain:
- Jika serviks matang, lakukan pemecahan ketuban, lalu induksi persalinan dengan
oksitosin.Induksi dengan drip oksitosin dikerjakan bila NST baik, ibu belum inpartu
dengan skor pelvik baik (skor bishop ≥5)
- Jika persalinan pervaginam tidak dapat diharapkan dalam 12 jam (pada eklampsia) atau 24
jam (pada preeklampsia), lakukan seksio sesarea.
- Jika denyut jantung janin < 100 x/menit atau > 180 x/menit atau hasil NST buruk, lakukan
seksio sesarea.
- Jika serviks belum matang/belum inpartu atau skor bishop < 5, janin hidup, lakukan seksio
sesarea.
- Jika drip oksitosin gagal, lakukan seksio sesarea.
- Jika anestesia untuk seksio sesarea tidak ada atau jika janin mati atau terlalu kecil atau
kemungkinan hidup kecil, maka usahakan lahir pervaginam.
- Jika seksio sesarea akan dilakukan, perhatikan bahwa tidak terdapat koagulopati, anestesia
yang aman/terpilih ialah anestesia umum sedangkan anestesia spinal berhubungan dengan
risiko hipotensi (risiko ini dapat dikurangi dengan memberikan 500 – 1000 ml cairan IV
sebelum anestesia).
Perawatan pascapersalinan dengan memberikan obat antikejang selama 24 jam setelah
persalinan atau kejang terakhir, teruskan terapi antihipertensi jika tekanan darah diastolik ≥
110 mmHg, dan pantau urin. Lakukan rujukan ke fasilitas yang lebih lengkap jika terdapat
oliguria ( urin < 400 ml/ 24 jam) selama 48 jam setelah persalinan, jika terdaat koagulopati
atau sindrom HELLP, dan jika koma berlanjut > 24 jam setelah kejang.
b. Perawatan konservatif
Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan preterm < 37 minggu, khususnya <
34 minggu, tanpa disertai tanda-tanda impending eclampsia dengan keadaan janin baik, dan
estimasi berat janin < 2000 gram (Saifuddin, dkk, 2010; RS Dr. Soetomo, 2008). Perawatan
konservatif pada kehamilan premature < 32 minggu terutama < 30 minggu memberikan
prognosa yang buruk. Diperlukan lama perawatan koservatif sekitar 7-15 hari (RS Soetomo,
2008). Selama perawatan konservatif, sikap terhadap kehamilannya ialah hanya observasi dan
evaluasi sama seperti perawatan aktif, kehamilan tidak diakhiri (Saifuddin, dkk, 2010).
Diberikan pengobatan sama dengan pengobatan medikamentosa pada pengelolaan secara aktif
(Saifuddin, dkk, 2010). Adapun perawatan konservatif menurut prosedur RS Dr. Soetomo
sebagai berikut :
1) Dikamar bersalin (selama 24 jam)
- Tirah baring
- Infus RL yang mengandung 5% dextrose 60-125 cc/jam
- 10 gr MgSO4 50% IM setiap 6 jam sampai 24 jam pasca persalinan (kalau tidak ada
kontra indikasi pemberian MgSO4)
- Diberikan antihipertensi : nifedipin 5-10 mg setiap 8 jam dapat diberikan bersaa
dengan methyl dopa 250-500 mg setiap 8 jam. Nifedipin dapat diberikan ulang
sublingual 5-10 mg dalam waktu 30 menit pada keadaan tekanan sitolik > 180
mmHg atau diastolik > 110 mmHg (cukup satu kali saja)
- Dilakukan pemeriksaan lab tertentu (fungsi hepar dan ginjal) dan produksi urine 24
jam
- Konsultasi dengan bagian lain, baian mata, jantung atau bagian lain sesuai dengan
indikasi
2) Pengobatan dan evaluasi selama rawat tinggal di ruang bersalin (setelah 24 jam)
- Tirah baring
- Obat-obat : Roboransia (multivitamin), Aspirin dosis rendah 87,5 mg sehari satu
kali, Anthipertensi, penggunaan Atenolol dan β blocker (dosis regimen) dapat
dipertimbangkan pada pemberian kombinasi
- Pemeriksaan lab : Hb, PVC dan hapusan darah tepi, asam urat darah, trombosit,
fungsi ginjal/hepar, urine lengkap
- Monitoring produksi urine per 24 jam, penimbangan BB setiap hari
- Diet tinggi protein, rendah karbohidrat
- Dilakukan penilaian kesejahteraan janin.
Perawatan konservatif dianggap gagal bila ada satu atau lebih ditemukan tanda-
tanda impending eclampsia, kenaikan progresif tekanan darah, ada sindroma HELLP, ada
kelainan fungsi ginjal, atau penilaian kesejahteraan janin buruk. Jika hal tersebut terjadi,
kehamilan harus diterminasi (perawatan aktif). Adapun penanganan preeklampsia secara
umum berdasarkan Satgas Penakib (2016) sebagaimana dalam gambar berikut.

KONSENSUS PEMBERIAN MgSO4 DI LAYANAN PRIMER,


SEKUNDER DAN TERSIER
A. ALTERNATIF 1 (Pemberian kombinasi iv dan im) (untuk Faskes primer, sekunder dan
tersier)
Loading dose
•Injeksi 4g iv bolus (MgSO4 20%) 20cc selama 5 menit (jika tersedia MgSO4 40%, berikan
10cc diencerkan dengan 10 cc
aquabidest)
•Injeksi 10g im (MgSO4 40%) 25cc pelan, masing – masing pada bokong kanan dan kiri
berikan 5g (12,5cc). Dapat ditambahkan
1mL Lidokain 2% untuk mengurangi nyeri
Maintenance Dose
Injeksi 5g im (MgSO4 40%) 12,5cc pelan, pada bokong bergantian setiap 6 jam
B. ALTERNATIF 2 (Pemberian iv saja) (hanya untuk Faskes sekunder dan tersier)
Initial Dose
•Injeksi 4g iv bolus (MgSO4 20%) 20cc selama 5 menit (jika tersedia MgSO4 40%, berikan
10cc diencerkan dengan 10 cc
aquabidest)
Dilanjutkan Syringe pump atau infusion pump
•Lanjutkan dengan pemberian MgSO4 1g/jam, contoh: sisa 15cc atau 6g (MgSO4 40%)
diencerkan dengan 15cc aquabidest
dan berikan selama 6 jam
Atau dilanjutkan Infusion Drip *
•Lanjutkan dengan pemberian MgSO4 1g/jam, contoh: sisa 15cc atau 6g (MgSO4 40%)
diencerkan dengan 500cc kristaloid
dan berikan selama 6 jam (28 tetes / menit)
C. Jika didapatkan kejang ulangan setelah pemberian MgSO4
Tambahan 2g iv bolus (MgSO4 20%) 10cc (jika tersedia MgSO4 40%, berikan 5cc diencerkan
dengan 5cc aquabidest). Berikan
selama 2 – 5 menit, dapat diulang 2 kali. Jika masih kejang kembali beri diazepam
•Syarat pemberian MgSO4 : laju nafas > 12x/menit, refleks patela (+), produksi urin
100cc/4jam sebelum pemberian,
tersedianya Calcium Glukonas 10% 1g (10cc) iv sebagai antidotum.
•Evaluasi syarat pemberian MgSO4 setiap akan memberikan maintenance dose (im intermitent)
pada ALTERNATIF 1 dan
setiap jam jika menggunakan ALTERNATIF 2 (syringe pump / infusion pump, continuous
pump)
•MgSO4 diberikan hingga 24 jam setelah persalinan atau kejang terakhir (jika terjadi kejang
postpartum)
Keterangan Tambahan :
Layanan primer tidak merawat preeklampsia, melainkan melakukan skrining secara aktif terhadap
risiko terjadinya preeklampsia. Jika didapatkan skrining preeklampsia positif wajib dikonsultasikan
ke layanan sekunder untuk evaluasi lebih lanjut.
 Berikan aspilet dan kalsium pada kehamilan normal dengan skrining preeklampsia positif.
 Evaluasi preeklampsia di layanan primer, minimal dengan pemeriksaan tekanan darah ≥140/90
dan atau proteinurin ≥+1. Dan dilakukan pemberian SM loading dose jika didapatkan PEB,
yaitu TD ≥160/110 dengan salah satu gejala preeklampsia.
 Pasien jika didapatkan pasien dalam kondisi inpartu di layanan primer:
 Jika tidak segera lahir: Rujuk segera ke layanan sekunder jika akan segera lahir lakukan
persalinan, TETAP rujuk setelah melahirkan. Jika didapatkan PEB, pemberian MgSO4
dilakukan sesuai prosedur dengan ditambahkan dosis maintenance jika diperlukan. Pemberian
MgSO4 dapat dilakukan menggunakan 2 alternatif, yaitu kombinasi injeksi intravena dan
intramuskular serta hanya injeksi intravena. Untuk alasan kemudahan dan keamanan dianjurkan
untuk memberikan kombinasi intravena dan intramuskular (loading dose) di layanan primer
dikarenakan untuk pemberian intravena saja harus disertai dosis maintenance berupa syringe
pump dan infusion pump.
 Hati – hati pada pemberian MgSO4 dosis maintenance dengan infusion drip. Meskipun mudah,
harus dapat memastikan tetesan yang dilakukan berjalan dengan baikdan sesuai dosis yang
direkomendasikan.
 Monitoring tanda – tanda toksisitas wajib dilakukan setiap jam untuk pemberian continuous
infusion (Syringe pump dan infusion pump) dan setiap sebelum memberikan maintenance dose
pada injeksi intermitent intramuskular. Evaluasi menggunakan kadar magnesium tidak rutin
dilakukan (hanya dilakukan jika didapatkan fasilitas dan pada kasus tertentu, seperti gagal
ginjal).
 Pemberian anti hipertensi diindikasikan pada PEB bila didapatkan TD ≥ 160/110. Regimen
yang dipilih: nifedipin (line 1) dan atau metildopa (lini 2).
 Setiap kasus persalinan PEB dilakukan perawatan nifas dan dapat dipulangkan dengan syarat
klinis danlaboratoris maternal yang baik.
 Sangat dianjurkan menggunakan KB pasca plasenta (IUD).
 Terminasi preeklampsia dianjurkan secara pervaginam menggunakan ripening misoprostol (jika
diperlukan) sebelum induksi persalinan, yang disesuaikan dengan syarat
induksi persalinan, kondisi maternal, janin dan tingkat kematangan serviks.
 Syarat layanan sekunder untuk melakukan perawatan PEB konservatif dan PEB / eklampsia
dengan komplikasi:
o Didapatkan perawatan intensif maternal (Intensive Care Unit).
o Didapatkan perawatan intensif neonatal (Neonatal Intensive Care Unit).
o Didapatkan kamar operasi beserta timnya dan tim anestesi yang siap 24 jam.
o Pertimbangkan untuk dilakukan perawatan atau dikonsultasikan kepada konsultan kedokteran
fetomaternal.
 Waspada terhadap efek jangka panjang preeklampsia baik terhadap Ibu maupun janin, seperti
terjadinya hipertensi kronis, preeklampsia ulangan, diabetes mellitus dan kelainan
kardiovaskuler lainnya pada Ibu serta gangguan autisme dan beberapa kelainan kongenital
seperti hipospadia dan mikrosefali yang berhubungan dengan IUGR janin.
2.1.8 Komplikasi
Perempuan dengan hipertensi yang didiagnosis saat sedang hamil harus dievaluasi dalam
beberapa bilan pertama pascapartum. Mereka diberi konseling mengenei risiko jangka panjang
penyakit ini (Cunningham, 2012). Beberapa komplikasi yang dapat terjadi ada preeklampsia antara
lain:
1. Komplikasi pada ibu
a. Eklampsia
b. Solusio plasenta
Biasanya terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut dan lebih sering terjadi pada
preeklampsia (Rukiyah dan Yulianti, 2010).
c. Hipertensi kronis
Semakin lama ibu terdiagnosis dalam kehamilan menetap setelah persalinan. National High
Blood Pressure Education Program (2000) dalam Cunningham (2012) menyimpulkan
bahwa hipertensi yang dicetuskan oleh kehamilan harus menghilang dalam 12 minggu
setelah pelahiran. Hipertensi yang menetap di luar periode ini dianggap sebagai hipertensi
kronis.
d. Komplikasi hipertensi dan metabolik pada kehamilan berikutnya
Sibai, dkk. (1986, 1999) dalam Cunningham (2012) menemukan bahwa perempuan nulipara
yang didiagnosis preeklampsia sebelum kehamilan 30 minggu memiliki risiko berulangnya
preeklampsia sebesar 40% pada kehamilan berikutnya. Hasil analisis catatan kelahiran
Denmark, Lykke, dkk. (2009) dalam Cunningham (2012) menyimpulkan bahwa perempuan
yang mengalami komplikasi preeklampsia saat usia kehamilan 32 – 36 mingu kehamilan
pertamanya memiliki insiden preeklampsia yang meningkat secara signifikan, sebesar dua
kali lipat, pada kehamilan keduanya. Mereka juga menemuka bahwa pelahiran kurang bulan
dan restriksi pertumbuhan janin pada kehamilan pertama sedikit bermakna terhadap
peningkatan risiko preeklampsia pada kehamilan berikutnya.
e. Sistem saraf pusat misalnya terjadi perdarahan intrakarnial, trombosis vena sentral,
hipertensienselopati, edema serebri, edema retina, makular atau retina detachment, dan
kebutaan korteks.
f. Gastrointerstinal-hepatik: subskapular hematoma hepar, ruptur kapsul hepar Nekrosis
periportal hati merupakan akibat vasospasmus arteriol umum. Kerusakan sel-sel hati dapat
diketahui dengan pemeriksaan faal hati, terutama penentuan enzim-enzimnya.
g. Ginjal: gagal ginjal akut, nekrosis tubular akut.
h. Hematologik : kelainan pembekuan darah (DIC), trompositopenia, dan hematoma luka
operasi.
i. Kardiopulmonar : edema paru kardiogenik atau nonkardiogenik, depresi atau arrest
pernapasan, kardiak arrest, iskemia miokardium, gagal jantung, hingga kematian.
j. Sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low Platelets Count)
k. Lain-lain : asites, edema laring, hipertensi yang tidak terkendalikan.
2. Komplikasi pada janin atau bayi
a. Terhambatnya petumbuhan dalam uterus (IUGR)
b. Prematur
c. Sindrom distres napas
d. Asfiksia neonatorum
e. Kematian janin inrauterin (IUFD)
f. Kematian neonatal perdarahan intraventrikular
g. Necrotizing enterocolitis
h. Cerebral palsy
i. Sepsis
j. Peningkatan angka kematian dan kesakitan perinatal
2.1.9 Pencegahan Preeklampsia
Berbagai strategi yang digunakan untuk mencegah atau memodifikasi keparahan
preeklampsia yang telah dievaluasi dalam penelitian teracak antara lain (Cunningham, 2012):
1. Manipulasi diet
Merupakan metode favorit banyak ahli teori dan pengikut tren selama beberapa abad, terapi
diet untuk preeklampsia telah menghasilkan beberapa penyalahgunaan yang menarik, seperti
dicatat oleh Chesley (1978) dalam Cunningham (2012).
2. Diet rendah garam
Salah satu usaha penelitian pertama untuk mencegah preeklampsia adalah restriksi garam
(DeSnoo, 1937 dalam Cunningham, 2012). Yang ironis, penelitian acak pertama mengenai
diet rendah garam baru dilakukan oleh Knuist, dkk (1998) dalam Cunningham (2012) yang
memperlihatkan bahwa restriksi garam tidak efektif mencegah preeklampsia pada 361
perempuan.
3. Suplementasi kalsium
Secara keseluruhan berdasarkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa suplementasi
kalsium tidak memiliki manfaat kecuali perempuan tersebut kekurangan kalsium (Sibai dan
Cunningham, 2009 dalam Cunningham, 2012)
4. Suplementasi minyak ikan
Asam lemak yang bersifat kardioprotektif ditemukan dalam sejumlah ikan berlemak yang
banyak ditemukan dalam diet seorang Skandinavia dan Eskimo Amerika. Sumber dalam diet
yang paling lazim adalah asam eikosapentaetaenoat (EPA) dan asam alfalinoleat (ALA).
Setelah suplementasi asam lemak ini dinyatakan dapat mencegah aterogenesis yang
diperantarai peradangan, tidaklah mengherankan muncul teori bahwa asam lemak tersebut
mungkin dapat mencegah preeklampsi. Namun sejauh ini penelitian teracak yang
dilaksanakan belum menunjukkan manfaat demikian (Cunningham, 2012).
4. Obat kardiovaskular (antihipertensi, diuretik)
Karena adanya teori mengenai manfaat retriksi natrium, tidaklah aneh terapi diuretik
digunakan. Dalam metaanalisis terbaru menemukan bahwa perempuan yang diterapi diuretik
mengalami penurunan insiden edema dan hipertensi, tetapi tidak preeklampsia. Karena
perempuan dengan hipertensi kronis berisiko tinggi mengalami preeklampsia, beberapa
penelirian teracak dilakukan untuk mengevaluasi berbagai terapi antihipertensi untuk
menurunkan insiden preeklampsia yang bertumpang tindih pada hipertensi kronis. Analisis
penelitian tersebut ternyata gagal memperlihatkan penurunan insiden tersebut (Sibai dan
Cunningham (2009) dalam Cunningham (2012)).
5. Antioksidan
Terdapat data empiris bahwa ketidakseimbangan antara aktivitas oksidan dan antioksidan
mungkin memiliki peran penting dalam patogenesis preeklampsia. Dua antioksidan alamiah
(vitamin C dan E) dapat menurunkan oksidasi tersebut. Lebih lanjut lagi, peremuan yang
mengalami preeklampsia ditemukan memiliki kadar plasma yang rendah untuk kedua
vitamin tersebut (Rajimakers, dkk, 2004 dalam Cunningham, 2012). Jadi suplementasi diet
diajukan sebagai metode untuk memperbaiki kemampuan oksidatif perempuan yang berisiko
mengalami preeklampsia. Namun penelitian terbaru, Roberts (2009) dalam Cunningham
(2012) melaporkan bahwa tidak ada satupun penelitian menunjukkan penurunan insiden
preeklampsia pada perempuan yang diberikan vitamin antioksidan dibandingkan dengan
yang diberikan plasebo.
6. Obat antitrombotik
Sindrom preeklampsia ditandai oleh vasospasme, disfungsi endotel, dan aktivitas trombosit
serta sistem koagulasi hemostasis dan ditambah lagi ketidakseimbangan prostaglandin
mungkin juga berperan dan sekuele lain preeklampsi mencakup infark plasenta dan
trombosis arteri spiralis. Oleh karena itu, agen antirombotik diduga dapat menurunkan
insiden preeeklampsia (Cunningham, 2012).
7. Aspirin dosis rendah
Dalam dosis oral 50 – 150 mg/hari, aspirin secra efektif menghambat biosintesis tromboksan
A2 dalam trombosit dengan efek minimal pada produksi prostasiklin dalam trombosit
dengan efek minimal pada produksi prostasiklin vaskular (Wallenburg, dkk, 1986 dalam
Cunningham, 2012). Walaupun hasil studi akhir klinis menunjukkan manfaat yang kecil,
karena alasan marginal ini tampaknya beralasan untuk menggunakan aspirin dosis rendah
yang disesaikan bagi setiap individu untuk mencegah berulangnya preeklampsia (Sibai dan
Cunningham, 2009 dalam Cunningham, 2012).
8. Aspirin dosis rendah plus heparin
Karena tingginya pravelensi lesi tromboik plasenta pada preeklampsia berat, telah dilakukan
beberapa penelitian observasional untuk mengevaluasi terapi heparin untuk perempuan yang
mengalami preeklampsia berat. Sergis, dkk (2006) dalam Cunningham (2012) mengulas
efek profilaksis heparin berberat molekul rendah ditambah aspirin dosis rendah terhadap
hasil akhir kehamilan pada perempuan dengan riwayat preeklampsia berat awitan dini
terhadap bayi berat lahir rendah. Mereka melaporkan hasil akhir kehamilan yang lebih baik
pada perempuan yang mendapatkan heparin berberat molekul rendah dibandingkan pada
perempuan yang mendapatkan aspirin dosis rendah saja. Namun sampai saat ini, belum
dibuat rekomendasi berdasarkan data hasil pengamatan ini (Cunningham, 2012).

2.2 Konsep Dasar Anemia

2.3.1 Definisi Anemia


Kehamilan di definisikan sebagai fertilisasi atau penyatuan  dari spermatozoa dan ovum
dan dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi. (Sarwono, 2008 : hal 213). Kehamilan,
persalinan dan nifas pada dasarnya merupakan proses alamiah yang di alami oleh
seorang  wanita.
 Anemia adalah Kondisi dimana berkurangnya sel darah merah (eritrosit) dalam
sirkulasi darah atau massa hemoglobin sehingga tidak mampu memenuhi fungsinya sebagai
pembawa oksigen keseluruh jaringan.(Wasnidar, 2007.hal 20).
Anemia adalah kekurangan kadar hemoglobin atau sel darah merah < 11 gr % atau suatu
keadaan dengan junlah eritrosit yang beredar atau konsentrasi hemoglobin menurun
(Maimunah 2005 ).
 Ibu hamil dikatakan anemia jika hemoglobin darahnya kurang dari 11 gr %. Bahaya
anemia pada ibu hamil tidak hanya berpengaruh pada keselamatan dirinya saja, tetapi juga
pada janin yang dikandungnya (wibisono, Hermawan,dkk 2009).
Penyebab paling umum dari anemia pada kehamilan adalah kekurangan zat besi, hal ini
penting dilakukan pemeriksaan untuk anemia pada kunjungan pertama kehamilan bahkan
jika tidak mengalami anemia pada saat kunjungan pertama, masih mungkin terjadi anemia
untuk kunjungan berikutnya (Proverawati 2011).
Anemia juga disebabkan oleh kurangnya konsumsi makanan yang mengandung zat besi
atau adanya gangguan penyerapan zat besi dalam tubuh (Wibisono,Hermawan dkk,2009).
2.3.2 Etiologi
a. Penyebab anemia diantaranya adalah :
1. Kekurangan gizi (malnutrisi)
2. Kurang zat besi dalam diet
3. Mal absorpsi
4. Kehilangan darah banyak, persalinan yang lalu, dan Iain-lain.
5. Penyakit-penyakit kronik : TBC, Paru, cacing usus, malaria, dan
Iain-lain.
6.  Dua penyebab yang paling sering ditemukan adalah anemia akibat
defisiensi besi dan perdarahan
b. Faktor penyebab defisiensi zat besi adalah :
1. Pendarahan
a) Pendarahan   dari   uterus   (menstruasi,   persalinan,   kelainan ginekologis).
b) Gastrointestinal dapat menghambat suplai makanan dalam lambung sehingga kadar
zat besi yang dikandung didalam makanan tidak dapat diserap dengan baik oleh
tubuh.
2. Kebutuhan meningkat
a) Prematuritas
b) Pertumbuhan 
c) Kehamilan
3. Mal absorbsi
Apabila terjadi malabsorbsi didalam tubuh mengakibatkan kandungan zat besi yang
dikandung dalam makanan tidak dapat dicerna atau diserap oleh tubuh dengan baik
sehingga mengakibatkan zat besi yang diproduksi didalam tubuh berkurang.
2.3.3 Tanda dan gejala
Berkurangnya konsentrasi hemoglobin selama masa kehamilan mengakibatkan
suplay oksigen keseluruh jaringan tubuh berkurang sehingga menimbulkan tanda dan
gejala anemia secara umum, sebagai berikut : lemah, mengantuk, pusing, lelah,  malaise,
sakit kepala, nafsu makan turun, mual dan muntah, konsentrasi hilang dan nafas pendek
(pada anemia yang parah). Pada pemerikasaan tanda-tanda dan gejala anemia dapat
meliputi :
a. Kulit pucat
b. Konjungtiva pucat
c. Gusi
d. Kuku-kuku jari pucat
e. Takikardi ( pada anemia yang parah )
f. Rambut dan kuku rapuh ( pada anemia yang parah )
g. Dan juga lidah licin ( pada anemia yang parah ).
Gejala awal anemia zat besi berupa badan lemah, lelah, kurang energi, kurang nafsu
makan, daya konsentrasi menurun, sakit kepala, mudah terinfeksi penyakit, stamina tubuh
menurun, dan pandangan berkunang-kunang terutama bila bangkit dari duduk. Selain itu,
wajah, selaput lendir kelopak mata, bibir dan kuku penderita tampak pucat.Apabila anemia
sangat berat, dapat berakibat penderita sesak napas, bahkan lemah jantung (Depkes RI,
2007).
Tanda dan gejala anemia menurut Varney, (2007) adalah:
a. Letih, sering mengantuk, malaise.
b. Pusing, lemah.
c. Nyeri kepala.
d. Luka pada lidah
e. Kulit pucat.
f. Membran mekosa pucat (misalnya konjungtiva)
g.  Bantalan kuku pucat.
h. Tidak ada nafsu makan, mual dan muntah.
2.3.4 Klasifikasi Anemia dalam kehamilan
Berdasarkan klasifikasi dari WHO kadar hemoglobin pada ibu hamil dapat di bagi
menjadi 4 kategori yaitu :
a. Hb > 11 gr%Tidak anemia (normal)
b. Hb 9-10 gr% Anemia ringan
c. Hb 7-8 gr% Anemia sedang
d. Hb <7 gr% Anemia berat
(Manuaba I.B.G,2010.hal 38)
Menurut Sarwono,2010, Macam-macam anemia, yaitu sebagai berikut :
1. Anemia Defisiensi Besi
Anemia yang paling sering di jumpai yang di sebabkan karena kekurangan unsur zat
besi dalam makanan, karena gangguan absorpsi, kehilangan zat besi yang keluar dari
badan yang menyebabkan perdarahan.
2. Anemia megaloblastik
Anemia karena defisiensi asam folik, jarang sekali karena defisiensi vitamin B12 Hal ini
erat hubungannya dengan defisiensi makanan.
3. Anemia Hipoplastik
Disebabkan oleh karena sum-sum tulang kurang mampu membuat sel-sel darah baru.
Etiologi anemia hipoplastik karena kehamilan hingga kini diketahui dengan pasti,
kecuali yang disebabkan oleh sepsis, sinar roentgen, racun dan obat-obatan.
4. Anemia hemolotik
Disebabkan karena penghancuran sel darah merah berlangsung lebih cepat dari
pembuatannya. Wanita dengan anemia hemolitik sukar menjadi hamil, apabila ia hamil
maka anemianya biasa menjadi lebih berat. Sebaliknya mungkin pula pada kehamilan
menyebabkan krisis hemolitik pada wanita yang sebelumnya tidak menderita
anemia.menyebabkan krisis hemolitik pada wanita yang sebelumnya tidak menderita
anemia.
2.3.5 Patofisiologi
Selama kehamilan terjadi peningkatan volume darah (hypervolemia). Hypervolemia
merupakan  hasil dari peningkatan volume plasma dan eritrosit (sel darah merah) yang
berada dalam tubuh tetapi peningkatan ini tidak seimbang yaitu volume plasma
peningkatannya jauh lebih besar sehingga member efek yaitu konsentrasi hemoglobin
berkurang dari 12 g/100 ml. (Sarwono,2010 hal 450-451).pengenceran darah (hemodilusi)
pada ibu hamil sering terjadi dengan peningkatan volume plasma 30%-40%, peningkatan sel
darah 18%-30% dan hemoglobin 19%. Secara fisiologis hemodilusi untuk membantu
meringankan kerja jantung.
Hemodulusi terjadi sejak kehamilan 10 minggu dan mencapai puncaknya pada
kehamilan 32-36 minggu. Bila hemoglobin ibu sebelum hamil berkisar 11 gr% maka dengan
terjadinya hemodilusi akan mengakibatkan anemia hamil fisiologis dan Hb ibu akan menjadi
9,5-10 gr%.

2.3.6 Faktor  Predisposisi Anemia Pada Ibu Hamil


a. Umur
Umur ibu adalah lama waktu hidup atau sejak dilahirkan sampai ibu tersebut hamil.
Ada banyak hal yang menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi pada masa kehamilan
diantaranya adalah umur ibu pada saat hamil. Jika umur ibu terlalu muda yaitu usia kurang
dari 20 tahun, secara fisik dan panggul belum berkembang optimal sehingga dapat
mengakibatkan resiko kesakitan dan kematian pada masa kehamilan, dimana pada usia
kurang dari 20 tahun ibu takut terjadi perubahan pada postur tubuhnya atau takut gemuk. Ibu
cenderung mengurangi makan sehingga asupan gizi termasuk asupan zat besi kurang yang
berakibat bisa terjadi anemia. Sedangkan pada usia di atas 35 tahun, kondisi kesehatan ibu
mulai menurun, fungsi rahim mulai menurun, serta meningkatkan komplikasi medis pada
kehamilan sampai persalinan (Anonim, 2010).
b. Paritas
Paritas adalah jumlah persalinan yang pernah di alami oleh ibu baik lahir hidup
maupun lahir mati. Paritas 1-3 merupakan paritas I paling aman di tinjau dari sudut kematian
maternal paritas I dan parits tinggi (lebih dari 3) mempunyai angka kematian lebih tinggi.
Resiko pada paritas 1 dapat di kurangi atau di cegah dengan keluarga berencana. Sebagian
kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan. (Sarwono, 2010 ).
Setelah kehamilan yang ketiga resiko anemia (kurang darah) meningkat. Hal di
sebabkan karena pada kehamilan yang berulang menimbulkan kerusakan pada pembuluh
darah dan dinding uterus yang biasanya mempengaruhi sirkulasi nutrisi ke janin.
c. Status Gizi Ibu Hamil
Anemia merupakan salah satu masalah utama penyebab angka kematian ibu di
Indonesia dan sering terjadi pada ibu hamil. Biasanya Anemia di temukan pada wania hamil
yang jarang mengkonsumsi sayuran segar, khususnya jenis daun-daunan hiaju yang mentah
ataupun makanan yang kandungan protein hewani.
Status gizi dinilai berdasarkan perhitungan Antropometri WHO NCHS ( National
Center Of Health Statistic ), yaitu pengukuran dan berbagai dimensi fisik tubuh seperti barat
terhadap umur (BB/U), tinggi badan terhadap umur (TB/U) dan berat badan terhadap tinggi
badan terhadap tinggi badan (BB/TB) dan di kelompokkan. Menurut klasifikasi Departemen
Kesehatan Indonesia menjadi gizi buruk (BB/U < 60 %), gizi kurang (BB/U 60-80%) dan
gizi lebih (BB/U > 110%).
Ibu hamil memerlukan jumlah zat gizi yang relative besar. Hal ini berkaitan dengan
pertumbuhan janin di dalam kandungan. Peningkatan kebutuhan zat gizi ini terutama berupa
vitamin B1, (Thiamin), Vitami E2 (Riboflapin), Vitamin A,D dan B1, Mineral,La, dan Fe.
Kondisi gizi dan komsumsi ibu hamil yang kurang akan menyebabkan anemia dan
berpengaruh terhadap kondisi janin dan bayi yang di lahirkan. Kekurangan gizi pada saat
hamil akan menimbulkan berbagai kesulitan. Oleh karena itu, kecukupan gizi yang
dianjurkan bayi ibu hamil harus dapat terpenuhi. ( Hadju Veni, 2004 hal 11 ).
d. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan
terhadap suatu obyek tertentu. Pengetahuan atau kognitif yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan lebih bersifat pengenalan suatu benda secara
subjektif.  Keadaan anemia ini bisa disebabkan karena pengetahuan ibu hamil tentang gizi
yang rendah, sehingga masalah konsumsi dari menu makanaan masih rendah dan tidak
teratur.  Selain memang jumlah zat besi yang dapat di serap dari bahan makanaan hanya
sedikit.  Kurangnya pengetahuan dan salah konsep tentang kebutuhan gizi dan nilai pangan
adalah umum dijumpai setiap negara di dunia. Kemiskinan dan kekurangan persediaan
pangan yang bergizi merupakaan faktor penting masalah kurang gizi. Sebab lain yang
penting dari gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan gizi atau kemampuan untuk
menerapkan informasi dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan atau kognitif merupakan
domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Karena dari
pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih
langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan, menurut Roger (1974).
e. Jarak Kehamilan Yang Terlalu Dekat
Salah satu penyebab yang dapat mempercepat terjadinya anemia pada wanita hamil
adalah jarak kehamilan yang pendek. Hal ini disebabkan kekurangan nutrisi yang merupakan
mekanisme biologis dan pemulihan faktor hormonal dan adanya kecendrungan bahwa
semakin dekat jarak kehamilan maka akan semakin tinggi angka kejadian anemia.
f. Pemeriksaan Antenatal Care
Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan profesional yaitu Dr. Gynekologi dan Bidan serta memenuhi syarat 5T ( TB, BB,
TD, Tinggi fundus uteri, TT dan Tablet Fe). Jika pemeriksaan antenatal care kurang atau
tidak ada sama sekali maka akan tinggi angka kejadian anemia.
g. Pola Makan dan Kepatuhan mengkonsumsi tablet Fe
Gizi seimbang adalah pola konsumsi makan sehari-hari yang sesuai dengan kebutuhan
gizi setiap individu untuk hidup sehat dan produktif. Agar sasaran keseimbangan gizi dapat
dicapai, maka setiap orang harus mengkonsumsi 1 jenis makanan dari tiap golongan
makanan yaitu karbohidrat,protein hewani dan nabati sayuran buah dan susu. Kepatuhan
meminum tablet Fe diukur dari ketepatan jumlah tablet Fe yang dikonsumsi  perharinya.
Suplementasi tablet Fe merupakan salah satu upaya penting dalam mencegah dan
menanggulangi anemia, khususnya anemia kekurangan zat besi. Ibu hamil yang kurang
patuh konsumsi tablet Fe mempunyai resiko untuk mengalami anemia dibanding yang patuh
konsumsi tablet Fe.

2.3.7 Pengaruh Anemia pada Kehamilan,Persalinan,Nifas, dan Janin (Manuaba, 2010)


a. Bahaya Anemia dalam Kehamilan
1) Resiko terjadi abortus
2) Persalinan permaturus
3) Hambatan tumbuh kembang janin dalam rahim
4) Mudah menjadi infeksi
5) Ancaman dekompensasi kordis (Hb <6 gr %)
6) Mengancam jiwa dan kehidupan ibu
7) Mola hidatidosa
8) Hiperemesis gravidarum
9) Perdarahan anterpartum
10) Ketuban pecah dini (KPD)
Bahaya pada Trimester I
Pada trimester I, anemia dapat menyebabkan terjadinya missed abortion, kelainan
kongenital, abortus atau keguguran.
Bahaya pada Trimester II
Pada trimester II, anemia dapat menyebabkan terjadinya partus prematur, pada
antepartum,gangguan pertumbuhan janin dalam rahim, asfiksia intrapartum sampai
kematian janin, gestosis dan mudah terkena infeksi dan dekompensasi kordis hingga
kematian ibu. 
b.  Bahaya Anemia dalam Persalinan
1) Gangguan kekuatan his
2) Kala pertama dapat berlangsung lama, dan terjadi partus terlantar
3) Kala dua berlangsung lama sehingga dapat melelahkan dan sering memerlukan
tindakan operasi kebidanan.
4) Kala tiga dapat di ikuti retensio placenta dan perdarahan post partum karena atonia
uteri.
5) Kala empat dapat terjadi perdarahan post partum sekunder dan atonia uteri.
c. Bahaya anemia dalam masa nifas
1) Perdarahan post partum karena atonia uteri dan involusio uteri memudahkan infeksi
puerperium
2) Pengeluaran ASI berkurang
3) Terjadi dekompensasi kordis mendadak setelah persalinan
4) Mudah terjadi infeksi mammae
 d.  Bahaya anemia terhadap janin
Sekalipun tampaknya janin mampu menyerap berbagai keutuhan dari ibunya,
tetapi dengan anemia akan mengurangi kemampuan metabolism tubuh sehingga
menggangu pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim. Akibat anemia dapat
terjadi gangguan dan bentuk :
1) Abortus
2) Terjadi kematian intra uteri
3) Persalinan prematuritas tinggi
4) Berat badan lahir rendah (BBLR)
5) Kelahiran dengan anemia
6) Dapat terjadi cacat bawaan
7) Bayi mudah mendapat infeksi sampai kematian perinatal
8) Intelengensi rendah, oleh karena kekurangan oksigen dan nutrisi yang
menghambat pertumbuhan janin
2.3.8 Diagnosa anemia pada ibu hamil
Diagnosa anemia dalam kehamilan dapat di tegakkan dengan :
1)  Anamnesa
Pada anemnese akan didapatkan keluhan lelah, sering pusing, mata berkunang -kunang
dan keluhan mual, muntah lebih berat pada hamil muda.  (Manuaba, I.B.G, 2010). Bila
terdapat keluhan lemah, Nampak pucat, mudah pingsan,sementara masih dalam batas
normal, maka perlu dicurigai anemia defesiensi zat besi ( Saifuddin A.B, 2002 hal.282 ).
2)  Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah Hb dan darah tepi akan memberikan kesan pertama. PemeriksaanHb
dengan Spektofotometri merupakan standar, kesulitan adalah alat ini hanya tersedia di
kota.
 Pemeriksaan Hb sahli, kadar Hb < 10 mg/%
 Kadar Ht menurun (normal 37%- 41%)
 Peningkatan bilirubin total (pada anemia hemolitik)
 Terlihat retikulositosis dan sferositosis pada apusan darah tepi.
 Terdapat pansitopenia, sum- sum tulang kosong diganti lemak
2.3.9 Pencegahan Anemia pada Ibu Hamil
Tujuan pencegahan anemia selama kehamilan adalah untuk menjaga keseimbangan
jumlah protein sel darah merah dan zat pewarna merah pada sel darah ibu untuk mencegah
kekurangan bahan pembentuk protein sel darah merah pada bayi.
Untuk menghindari terjadinya anemia sebaiknya ibu hamil melakukan pemeriksaan
sebelum hamil sehingga dapat di ketahui data dasar kesehatan ibu tersebut, dalam
pemeriksaan kesehatan di sertai pemeriksaan laboratorium termasuk pemeriksaan tinja
sehingga di ketahui adanya infeksi parasit. (Manuaba, I. B. G. 2010)

2.3.10 Penanganan pada Anemia sebagai berikut :


a. Anemia Ringan
Pada kehamilan dengan kadar Hb 9-10 gr% masih di anggap ringan sehingga hanya perlu
di perlukan kombinasi 60 mg/hari zat besi dan 500 mg asam folat peroral sekali sehari.
( Arisman, 2004).
b. Anemia Sedang
Pengobatan dapat di mulai dengan preparat besi feros 600-1000 mg/hari seperti sulfat
ferosus atau glukonas ferosus. (Wiknjosastro, 2005).
c. Anemia Berat
Pemberian preparat besi 60 mg dan asam folat 400 mg, 6 bulan selama hamil, dilanjutkan
sampai 3 bulan setelah melahirkan. ( Arisman, 2004 hal 153 ).
Untuk mencegah anemia pada ibu hamil menurut Depkes RI, (2007) yang harus dilakukan
adalah:
1. Mengkonsumsi makanan bergizi seimbang dengan asupan zat besi yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan tubuh. Zat besi dapat diperoleh dari daging, (terutama daging
merah seperti sapi dan kambing), telur, ikan dan ayam, serta hati. Pada sayuran zat besi
dapat ditemukan pada sayuran berwarna hijau gelap seperti bayam dan kangkung,
buncis, kacang polong, serta kacang-kacangan lain. Perlu diperhatikan bahwa zat besi
pada daging lebih mudah diserap oleh tubuh dari pada zat besi pada sayuran atau pada
makanan olahan seperti sereal yang diperkuat dengan zat besi. Hal ini dikarenakan
bentuk zat besi didalam sayuran adalah dalam bentuk non heme, juga karena adanya
pitat dan pektin, sehingga diperlukan zat pemicu seperti vitamin C untuk membantu
mempermudah penyerapan didalam usus.
2. Makan-makanan yang banyak mengandung bahan pembentuk protein sel darah merah 
seperti:
a)   Telur
b)   Susu
a). Ibu hamil 0-3 bulan = 1 gelas
b). Ibu hamil 4-7 bulan = 1 gelas
c). Ibu hamil 7-9 bulan = 1 gelas
c)   Ikan
a). Ibu hamil 0-3 bulan = 11/2  potong
b). Ibu hamil 4-7 bulan = 2 potong
c). Ibu hamil 7-9 bulan = 3 potong
d)   Daging
e)   Tempe
a). Ibu hamil 0-3 bulan = 3 potong
b). Ibu hamil 4-7 bulan = 4 potong
c). Ibu hamil 7-9 bulan = 5 potong
f)   Sayuran yang berwarna hijau tua (kankung, bayam, daun katuk, daun singkong)
a). Ibu hamil 0-3 bulan = ½ mangkok
b). Ibu hamil 4-7 bulan = 3 mangkok
c). Ibu hamil 7-9 bulan = 3 mangkok
g)   Buah-buahan (jeruk,jambu biji, pisang,tomat)
a). Ibu hamil  0-3 bulan = 2 buah
b). Ibu hamil 4-7 bulan = 2 buah
c). Ibu hamil 7-9 bulan = 2 buah
3. Berhati-hati dalam mengkonsumsi makanan, karena kombinasi tertentu dapat
mempengaruhi proses penyerapan zat besi oleh tubuh. Misalnya minum teh atau kopi
bersamaan dengan makan akan mempesulit penyerapan zat besi, untuk itu tablet zat besi
sebaiknya diminum tidak bersamaan waktunya dengan minum susu, teh, kopi, atau
antasida.
4. Mengkonsumsi tablet besi, pada wanita hamil dan menyusui disarankan 18mg suplemen
zat besi perhari.
5. Periksa secepat mungkin apabila terdapat tanda-tanda anemia agar langkah-langkah
pencegahan bisa segera dilakukan.
Pengobatan efektif anemia pada ibu hamil dilakukan dengan menghilangkan
penyebabnya atau memperbaiki kelainan primernya. Suplemen besi, asam folat, dan
vitamin B12 bisa diberikan pada penderita anemia akibat pendarahan dan defisiensi besi.
Hasil penelitian Sood, S K membuktikan bahwa wanita hamil yang mendapat pil besi
ditambah dengan asam folat dan vitamin B12 kadar Hbnya naik lebih tinggi dari pada
wanita hamil yang mendapatkan pil besi saja.
Seorang wanita hamil memerlukan 18-21 mg zat besi per hari. Wanita dengan
anemia kekurangan zat besi harus diberikan 60-120 mg zat besi per hari. Untuk
meningkatkan penyerapan zat besi menurut Varney, (2007) adalah :
1. Minumlah zat besi  diantara waktu makan atau 30 menit sebelum makan.
2. Hindari mengkonsumsi kalsium bersama zat besi (susu, antasida, makanan tambahan
prenatal).
3. Minumlah vitamin C (jus jeruk, tambahan vitamin C).
4. Masak makanan dalam jumlah air minimal supaya waktu memasak sesingkat
mungkin.
5. Makanlah daging, unggas, dan ikan. Zat besi yang terkandung dalam bahan makanan
ini lebih mudah diserap dan digunakan dibanding zat besi dalam bahan makanan lain.
6. Makanlah berbagai jenis makanan. Pemberian preparat 60 mg/hari dapat menaikan
kadar Hb sebanyak 1 gr% / bulan (Saifuddin, 2006).
Penatalaksanaan pada ibu hamil dengan anemia :
7. Memeriksakan kadar Hb semua ibu hamil pada kunjungan pertama
pada trimester pertama dan trimester III untu mengetahui kadar Hb ibu dibawah 11 gr
%.
8. Pemenuhan kalori 300 kalori/hari dan suplemen zat besi 60 mg/hari.
9. Pada anemia defisiensi zatbesi yaitun dan preparat besi: fero sulfat, guconat atau Na-
feri bisitrat. Pemberian preparat 60 mg/hari.
10. Beri penyuluhan gizi pada setiap kunjungan antenatal tentang perlunya
mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi dan perlunya minum tablet Fe.
11.Sarankan ibu untuk tetap minum tablet Fe 1 x 1 perhari.

2.3 Konsep Dasar Persalinan Induksi


2.3.1 Definisi
Induksi persalinan adalah upaya untuk melahirkan janin menjelang aterm dalam keadaan
belum terdapat tanda – tanda in partu, dengan kemungkinan janin dapat hidup. (Manuaba,
2007)
2.3.2 Indikasi untuk induksi persalinan
Induksi diindikasikan hanya untuk pasien yang kondisi kesehatannya atau kesehatan
janinnya berisiko jika kehamilan berlanjut. Induksi persalinan mungkin diperlukan untuk
menyelamatkan janin dari lingkungan intra uteri yang potensial berbahaya pada kehamilan
lanjut untuk berbagai alasan atau karena kelanjutan kehamilan membahayakan ibu.
(Llewellyn, 2002).
Adapun indikasi induksi persalinan yaitu ketuban pecah dini, kehamilan lewat waktu,
oligohidramnion, korioamnionitis, preeklampsi berat, DM akibat kehamilan, intrauterine
fetal death (IUFD) dan pertumbuhan janin terhambat (PJT), insufisiensi plasenta merupakan
masalah pada plasenta yang mengakibatkan oksigenasi pada janin terganggu yang
menimbulkan hipoksia (Oxorn, 2010).
2.3.3 Kontra Indikasi
Kontra indikasi induksi persalinan serupa dengan kontra indikasi untuk menghindarkan
persalinan dan pelahiran spontan. Diantaranya yaitu: disproporsi sefalopelvik (CPD),
plasenta previa, gamelli, polihidramnion, riwayat sectio caesar klasik, malpresentasi atau
kelainan letak, gawat janin, hidrosefalus, dan infeksi herpes genital aktif. (Cunningham,
2013).
2.3.4 Persyaratan
Untuk dapat melaksanakan induksi persalinan perlu dipenuhi beberapa kondisi/persyaratan
sebagai berikut:
a) Tidak ada disproporsi sefalopelvik (CPD)
b) Sebaiknya serviks uteri sudah matang, yakni serviks sudah mendatar dan menipis, hal ini
dapat dinilai menggunakan tabel skor Bishop. Jika kondisi tersebut belum terpenuhi
maka kita dapat melakukan pematangan serviks dengan menggunakan metode
farmakologis atau dengan metode mekanis.
c) Presentasi harus kepala, atau tidak terdapat kelainan letak janin.
d) Sebaiknya kepala janin sudah mulai turun kedalam rongga panggul.
(Oxorn, 2010).
Apabila kondisi-kondisi diatas tidak terpenuhi maka induksi persalinan
mungkin tidak memberikan hasil yang diharapkan. Untuk menilai keadaan serviks dapat
dipakai skor Bishop. berdasarkan kriteria Bishop, yakni:
a. Jika kondisi serviks baik (skor 5 atau lebih), persalinan biasanya berhasil diinduksi
dengan hanya menggunakan induksi.
b. Jika kondisi serviks tidak baik (skor <5), matangkan serviks terlebih dahulu sebelum
melakukan induksi. (Cunningham, 2013)
2.3.5 Komplikasi
Komplikasi dapat ditemukan selama pelaksanaan induksi persalinan maupun setelah bayi
lahir. Komplikasi yang dapat ditemukan antara lain: atonia uteri, prematuritas, fetal distress,
prolaps tali pusat, rupture uteri, solusio plasenta, infeksi intra uterin, perdarahan post
partum, kelelahan ibu dan krisis emosional, serta dapat meningkatkan pelahiran caesar pada
induksi elektif. (Cunningham, 2013).
2.3.6 Induksi dianggap gagal :
- Apabila uterus sama sekali tidak bereaksi terhadap stimulasi
- Apabila uterus mengadakan kontraksi yang abnormal dan cervix tidak berdilatasi.
2.3.7 Faktor – faktor yang mempengaruhi keberhasilan induksi persalinan
1) Kedudukan bagian terendah
Semakin rendah kedudukan bagian terendah janin maka semakin besar kemungkinan
keberhasilan induksi persalinan karena dapat menekan fleksus Frankenhaouser.
2) Presentasi
Letak kepala lebih berhasil daripada bokong karena kepala lebih cepat membantu
pembukaan servik daripada bokong
3) Kondisi servik
Servik yang kaku lebih sulit berhasil dengan induksi persalinan dibandingkan servik
lunak.
4) Paritas
Induksi multipara lebih berhasil dibandingkan primigravida karena sudah terdapat
kelenturan pada servik.
5) Umur kehamilan
a) Pada kehamilan yang mendekati aterm, induksi persalinan per vaginam akan
semakin berhasil.
b) Ibu dengan umur yang relatif tua (>35 tahun) kurang berhasil dengan induksi
persalinan karena kekakuan servik menghalangi pembukaan sehingga lebih banyak
dilakukan tindakan operasi.
(Hakimi, 2010)
Faktor
Skor Dilatasi Penipisan Station (-3 Konsistensi Posisiservik
(cm) (persen) sampai +2) serviks s
0 Tertutup 0-30 -3 Keras Posterior
1 1-2 40-50 -2 Medium Medial
2 3-4 60-70 -1 Lembek Anterior
3 ≥5 ≥ 80 +1,+2 - -
Dengan memperhitungkan nilai skor bishop, kemungkinan keberhasilan induksi
persalinan sudah dapat diperhitungkan sebagai berikut :
Skor bishop : 2-4 : kurang berhasil
5-6 : meragukan, tetapi dicoba
>6 : sebagian besar berhasil (Manuaba,2007:803)
2.3.8 Metode pada induksi persalinan
Menurut Manuaba (2007), metode pada induksi persalinan yaitu :
1) Secara Medis
a. Metode steinsche
Merupakan metode lama, tetapi masih perlu diketahui, yaitu :
- Penderita diharapkan tenang pada malam harinya
- Pada pagi hari diberikan enema dengan caster oil atau sabun panas
- Diberikan pil kinin sebesar 0,200 gr setiap jam sampai mencapai dosis 1,200 gr.
- Satu jam setelah pemberian kinin pertama disuntikan oksitosin 0,2 unit/jam sampai
tercapai his yang adekuat.
b. Metode drip/infus oksitosin
Merupakan metode yang paling sering digunakan. Oleh karena itu, perlu diketahui
dengan baik. Menurut See Saw Theory- Prof.I Scapo dari Universitas Washington
menyatakan bahwa :
- Prostaglandin banyak dijumpai dalam jaringan tubuh
- Progesteron mungkin menghalangi kerja prostaglandin sehingga tidak terdapat
kontraksi otot rahim.
- Oksitosin dianggap merangsang pengeluaran prostaglandin sehingga terjadi
kontraksi otot rahim.
- Metode drip oksitosin dapat dilakukan sebagai berikut :
a) Dipasang infus dekstros 5% dengan 5 unit oksitosin
b) Tetesan pertama antara 8-12 tetes per menit dengan perhitungan setiap tetesan
mengandung 0,0005 unit sehingga dengan pemberian 12 tetes per menit terdapat
oksitosin sebanyak 0,006 unit per menitt
c) Setiap 15 menit dilakukan penilaian, jika tidak terdapat his yang adekuat, maka
tambah jumlah tetesan sebanyak 4 tetes, sampai maksimal tercapai 40 tetes per
menit atau 0,02 unit oksitosin per menit.
d) Tetesan maksimal dipertahankan dalam 2 kali pemberian 500 cc dekstros 5 %.
e) Jika sebelum tetesan ke-40, sudah timbul his yang adekuat, tetesan terakhir
dipertahankan sampai persalinan berlangsung.
f) Dalam literatur juga menyatakan bahwa pemberian oksitosin maksimal setiap
menit adalah 30-40 IU atau tetesan sebanyak 40 tetes per menit dengan oksitosin
sebanyak 10 unit.
c. Metode oksitosin sublingual
Sandos mngeluarkan oksitosin sublingual “sandopard” sebagai tablet isap dibawah
lidah dengan isi 50 IU oksitosin. Obat ini tidak banyak diterima karena besarnya unit
oksitosin dan tingginya kemampuan penyerapan oleh mukosa lidah sehingga dapat
menyebabkan terjadinya kontraksi otot rahim yang kuat dan dapat membahayakan.
Pemberiannya setiap 0,5 – 1 jam sampai tercapai his yang kuat, dan sebaiknya
dilakukan di rumah sakit.
d. Induksi persalinan dengan prostaglandin
Induksi dengan prostagandin dinilai paling efektif untuk mencapai tujuan ini adalah
PGF2. Perkembangan penelitian prostaglandin sangat maju sehingga dari obat maag,
akhirnya dapat digunakan untuk induksi persalinan yang efektif. Kini prostaglandin
ternyata banyak dipergunakan untuk induksi menstruasi bagi mereka yang terlambat
sekitar 2 minggu. Contoh dari obat tersebut adalah misoprostol. Misoprostol dapat
berikatan secara selektif dengan reseptor EP2 dan EP3.
Keberhasillan penggunaan misoprostol ini meningkatkan skor pelvik secara
bermakna pada pemberian oral maupun pervaginam.
Syarat pemakaiannya hampir sama dengan induksi persalinan umumnya, karena
daya serap obat tidak dapat ditetapkan dengan pasti, observasi yang dilakukan secara
cermat dan ketat sehingga bahaya yang mengancam maternal dan janinnya dapat
segera diketahui. Kesiapan untuk intervensi operasi obstetri harus dapat dilakukan
setiap saat.
2) Secara Mekanis
a. Pemecahan ketuban
Merupakan salah satu bentuk induksi persalinan, dengan keluarnya sebagian air
ketuban dan terjadi pemendekan otot rahim sehingga otot rahim lebih efektif
berkontraksi.
Indikasi khusus pemecahan ketuban :
- perpanjangan fase laten
- perpanjangan fase aktif atau secondary arrest
- pada hidramnion
- pada pembukaan hampir lengkap
syarat pemecahan ketuban :
- pembukaan minimal 3 cm
- tidak terdapat kedudukan ganda
- bagian terendah sudah masuk PAP
- proses perlunakan servik sudah dimulai
- perkiraan lahir per vaginam dalam waktu 6 jam
Teknik pemecahan ketuban :
1. dua jari dimasukkan ke kanalis servikalis sambil melakukan pemisahan
selaput ketuban dengan segmen bawah rahim. Pelepasan selaput ketuban dari
segmen bawah rahim merupakan tindakan untuk mempercepat persalinan
sehingga memudahkan pergeseran antara segmen bawah rahim dengan
selaput ketuuban
2. alat pemecah ketuban dimasukkan diantara kedua jari sampai mencapai
selaput ketuban
3. selaput ketuban dipecahkan pada akhir his sehingga derasnya aliran air
ketuban tidak menimbulkan prolapsus bagian kecil, yaitu tangan, jari, kaki,
atau tali pusat.
4. Kepala atau bagian terendah janin di dorong masuk ke PAP sehingga
menghindari terjadinya prolapsus bagian janin.
5. Setelah pemecahan ketuban dilakukan, alat pemecah ketuban dikeluarkan,
sedangkan jari tangan tetap berada didalam kanalis servikalis sehingga aliran
air ketuban dapat dikendalikan.
6. Setelah aliran air ketuban berhenti barulah jari tangan dikeluarkan sambil
melakukan evaluasi tentang his dan prolapsus bagian kecil janin.
Komplikasi dari pemecahan ketuban adalah :
a. Meningkatkan bahaya infeksi (pada persalinan yang berlangsung lebih dari 6
jam)
b. Perdarahan (karena pecahnya sinus marginalis atau vasa previa)
c. Terjadi kontrak dan retraksi yang sangat besar sehingga dapat menimbulkan
fetal distress : gangguan sirkulasi retroplasenta dan solusio plasenta
d. Pada kesempitan panggul dapat terjadi :
- Edema servik, kaput suksedaneum
- Proses pembukaan dan penurunan kepala janin tidak mengalami kemajuan
e. Prolapsus bagian kecil janin (karena derasnya air ketuban yang keluar)
Dengan demikian, tindakan pemecahan ketuban memerlukan pertimbangan
sehingga dapat mengurangi kemungkinan komplikasi.
b. Pemasangan lamina stiff
Induksi persalinan dengan memasang laminaria stiff hampir seluruhnya dilakukan
pada janin yang telah meninggal. Pemasangan laminaria stiff untuk janin hidup tidak
diindikasikan karena bahaya infeksi.
- Pemasangan laminaria dapat didahului atau bersamaan dengan pemberian
estrogen sehingga proses pematangan servik berlangsung.
- Laminaria yang dipasang dapat berjumlah 2-3 buah yang dimasukkan ke kanalis
servikalis dan ditinggal selama 24-48 jam, kemudian dipasang tampon vaginal.
- Diberikan profilaksis dengan antibiotik untuk menghindari infeksi.
- Setelah 24-48 jam dilanjutkan dengan induksi persalinan menggunakan
oksitosin.
Pemasangan laminaria atau pemberian astradiol dapat mulai menimbulkan
kontraksi otot rahim dan persalinan berlangsung.
2.3.9 Mekanisme Induksi Persalinan

SKOR SERVIK

0-4 5+
PGE2 2 mg pesarium, atau PGE2 2 mg pada malam hari
gel di forniks posterior

Jika persalinan belum atau/dan


terjadi dalam 4-6 jam
Amniotomi di pagi hari

Skor serviks 5+ Skor serviks 0-4 Jika dalam 6 jam belum


berada dalam persalinan
lakukan :

Ulangi pesarium Amniotomi


Mulai penambahan
infus oksitosin
Tidak ada perubahan dalam 12 jam intravena

atau
Seksio sesarea
Ulangi PGE2 pesarium

Jika belum lahir


dalam 10 jam

Pertimbangkan
sesarea

2.2 Konsep Dasar Sectio Caesarea


2.4.1 Definisi
Sectio caesarea ialah suatu tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat di atas 500 gram,
melalui sayatan pada dinding uterus yang masih utuh atau intact. Sectio caesarea adalah suatu cara
melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding perut. Sectio
caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding
uterus. (Prawirohardjo, 2009)
Cunningham (2005), mendefinisikan seksio sesarea sebagai lahirnya janin melalui insisi di
dinding abdomen (laparotomi) dan dinding uterus (histerektomi). Definisi ini tidak mencakup
pengeluaran janin dari rongga abdomen pada kasus ruptur uteri atau pada kasus kehamilan
abdomen.
Istilah seksio sesarea berasal dari bahasa latin caedere yang artinya memotong. Seksio
sesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding
uterus dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram (Saifuddin, 2010).
2.4.2 Prognosis
Dulu angka morbiditas dan mortalitas untuk ibu dan janin tinggi. Pada masa sekarang, oleh
karena kemajuan yang pesat dalam teknik operasi, anastesi, penyediaan cairan dan darah, indikasi
dan antibiotika angka ini sangat menurun. Angka kematian ibu pada rumah sakit dengan fasilitas
operasi yang baik dan oleh tenaga-tenaga yang cekatan adalah kurang dari 2 per 1000. Nasib janin
yang ditolong secara sectio caesarea sangat tergantung dari keadaan janin sebelum dilakukan
operasi. Menurut data dari negara-negara dengan pengawasan antenatal yang baik dan fasilitas
neonatal yang sempurna, angka kematian perinatal sekitar 4-7 % (Prawirohardjo, 2009).
2.4.3 Jenis-jenis Sectio caesarea
1) Sectio caesarea klasik (korpal)
Insisi memanjang pada segmen atau uterus
2) Sectio caesarea transporifonealis profunda
a. Insisi pada segmen bawah rahim.
b. Teknik ini ada 2 macam secara melintang (secara Kerr) atau
secara memanjang (Kroning).
3) Sectio caesarea hysterectomy
Setelah section caesarea, dilakukan hysteretomi dengan indikasi atonia uteri, placenta
acreta, myoma uteri, infeksi intra uteri yang berat.
2.4.4 Istilah-istilah
Istilah-istilah yang di gunakan untuk operasi bedah Caesar ialah:
1. Sectio caesarea primer (elektif)
Dari semula telah direncanakan bahwa janin akan dilahirkan secara sectio caesarea, tidak
diharapkan lagi kelahiran biasa, misalnya pada panggul sempit (CV kurang dari 8 cm).
2. Sectio caesarea sekunder
Dalam hal ini kita bersikap mencoba menunggu kelahiran biasa (partus percobaan), bila
tidak ada kemajuan persalinan atau partus percobaan gagal, baru dilakukan sektio
caesarea.
3. Sectio caesarea ulang (repeat caesarean section)
Ibu pada kehamilan yang lalu mengalami sectio caesarea dan pada kehamilan selanjutnya
dilakukan sectio caesarea ulang.
4. Sectio caesarea histerektomi (caesarean section hysterctomy)
Adalah suatu operasi dimana setelah janin dilahirkan dengan sectio caesarea, langsung
dilakukan hysterktomy oleh karena suatu indikasi
5. Operasi Porro (Porro operation)
Adalah suatu operasi tanpa mengeluarkan janin dari kavum uteri (tentunya janin sudah
mati), dan langsung dilakukan histerektomi, misalnya pada keadaan infeksi rahim yang
berat. Sectio caesarea oleh ahli kebidanan disebut obstetric panacea, yaitu obat atau terapi
ampuh dari semua masalah obstetri. (Mochtar Rustam, 2011).
2.4.5 Indikasi Section Caesarea
Ada 3 indikasi dilakukannya persalinan Seksio Sesarea menurut Rasjidi (2009), yaitu :
1. Indikasi Mutlak
a. Indikasi ibu, yaitu panggul sempit absolut, kegagalan melahirkan secara normal
karena kurang adekuatnya stimulasi, tumor-tumor jalan lahir yang menyebabkan
obstruksi, stenosis serviks atau vagina, plasenta previa, disproporsi sefalopelvik,
ruptur uteri membakat dan disfungsi uterus.
b. Indikasi janin, yaitu kelainan letak, gawat Janin, prolapsus plasenta, perkembangan
bayi yang terhambat, mencegah hipoksia janin (misalnya karena preeklamsia), janin
besar.
2. Indikasi Relatif, yaitu riwayat seksio sesarea sebelumnya, presentasi bokong, distosia,
Fetal distress, preeklamsia berat, penyakit kardiovaskuler dan diabetes, ibu dengan HIV
positif sebelum inpartu, dan gemeli. Menurut Eastman, seksio sesarea dianjurkan bila janin
pertama letak lintang atau presentasi bahu, bila terjadi interlock, bila distosia oleh karena
tumor dan bila janin IUFD (Intra Uterine Fetal Distress).
3. Indikasi Sosial, diantaranya wanita yang takut melahirkan berdasarkan pengalaman
sebelumnya, wanita yang ingin seksio sesarea elektif karena takut bayinya mengalami
cedera atau asfiksia selama persalinan atau mengurangi risiko kerusakan dasar panggul,
serta wanita yang takut terjadinya perubahan pada tubuhnya atau sexuality image setelah
melahirkan. Ketika seorang ibu meminta untuk dilakukan seksio sesarea dengan alasan
yang tidak begitu jelas, maka risiko dan keuntungan dari masing-masing persalinan normal
dan seksio sesarea harus didiskusikan. Seorang klinisi dibenarkan untuk menolak
permintaan seksio sesarea apabila tidak ada indikasi yang jelas untuk dilakukannya
operasi.
2.4.6 Kontraindikasi Sectio caesarea
1) Kontra Indikasi Absolut:
1. Pasien menolak.
2. Infeksi pada tempat suntikan.
3. Hipovolemia berat, syok.
4. Koagulapati atau mendapat terapi antikoagulan.
5. Tekanan intrakranial meninggi.
6. Fasilitas resusitasi minimal.
7. Kurang pengalaman/ tanpa didampingi konsultan anesthesia.
2) Kontra Indikasi Relatif
1. Infeksi sisitemik (sepsis, bakteremi).
2. Infeksi sekitar suntikan.
3. Kelainan neurologist.
4. Kelainan psikis.
5. Bedah lama.
6. Penyakit jantung.
7. Hipovolemia ringan.
8. Nyeri punggung kronis
2.4.7 Mekanisme Sectio Cesarea
1) Persiapan SC
Berbagai persiapan fisik yang harus dilakukan terhadap pasien sebelum operasi antara lain:
o Status kesehatan
o Status nutrisi
o Keseimbangan cairan dan elektrolit
o Kebersihan lambung dan kolon
o Pencukuran daerah operasi
o Personal hygiene
o Pengosongan kandung kemih
2) Persiapan Penunjang Pre-Op Sectio caesarea
a. Pemeriksaan radiologi dan diagnostik
b. Pemeriksaan laboratorium
c. Inform consent
d. Latihan pra operasi
 Latihan napas dalam.
 Latihan batuk efektif
 Latihan gerak sendi.
3) Persiapan Mental atau Psikis Pre-op Sectio Ceasarea
2.4.8 Komplikasi yang ditimbulkan dari Operasi Sectio caesarea
Komplikasi yang sering terjadi pada ibu dengan sectio caesarea adalah sebagai berikut :
1. Infeksi puerperal (nifas)
2. Perdarahan disebabkan karena :
3. Luka kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih bila reperitonealisasi
terlalu tinggi.
4. Kemungkinan ruptura uteri spontan pada kehamilan mendatang.
Sedangkan komplikasi yang biasanya terjadi pada janin:
1. Depresi susunan saraf pusat janin akibat penggunaan obat-obatan anestesia (fetal
narcosis).
2. Anak yang dilahirkan tidak spontan menangis mealinkan harus dirangsang sesaat untuk
bisa menangis, yang mengakibatkan kelainan hemodinamika dan mengurangi agar score
terhadap anak.
3. Pengeluaran lender atau sisa air ketuban di saluran napas tidak sempurna.
4. Penyakit hyalin membrane disease.
5. Trauma persalinan.
6. Sistem kekebalan janin tidak segera didapat karena bayi berhadapan langsung dengan
lingkungan steril, berbeda pada bayi yang lahir melewati vagina.
2.4.9 Penatalaksanaan Post Sectio caesarea
1. Pemberian cairan
Karena 24 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka pemberian cairan
perintravena harus cukup banyak dan mengandung elektrolit agar tidak terjadi hipotermi,
dehidrasi, atau komplikasi pada organ tubuh lainnya.
2. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu dimulailah
pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian minuman dengan jumlah yang
sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 10 jam pasca operasi, berupa air putih dan air teh.
3. Mobilisasi
a. Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :
b. Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi
c. Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini mungkin
setelah sadar
d. Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan diminta
untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.
e. Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah duduk
(semifowler)
f. Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar duduk
selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada hari ke-3 sampai
hari ke 5 pasca operasi.
4. Kateterisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada penderita,
menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan. Kateter biasanya terpasang
24 - 48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis operasi dan keadaan penderita.
5. Pemberian obat-obatan
a. Antibiotik
Cara pemilihan dan pemberian antibiotic sangat berbeda-beda setiap institusi
b. Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
c. Obat-obatan lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat diberikan
roboransia.
6. Perawatan luka
7. Perawatan rutin

2.4.10 Perawatan luka operasi


Luka perlu ditutup dengan kassa steril, sehingga sisa darah dapat diserap oleh kassa.
Dengan menutup luka itu kita mencegah terjadinya kontaminasi kuman, tersenggol. Sehabis
operasi, luka yang timbul langsung ditutup dengan kassa steril selagi di kamar bedah dan biasanya
tidak perlu diganti sampai diangkat jahitannya, kecuali bila terjadi perdarahan sampai darahnya
menembus di atas kassa barulah diganti kassa steril lagi. Pada saat mengganti kassa lama perlu
diperhatikan teknik aseptik supaya tidak terjadi infeksi.

2.5 Konsep dasar kontrasepsi IUD Post Plasenta


2.5.1 Definisi
IUD post plasenta adalah alat kontrasepsi yang termasuk dalam KB pasca partum adalah alat
kontrasepsi yang dapat langsung dipasang 10 menit setelah plasenta dilahirkan, yaitu IUD (intra
uterine device).pemesangan alat kontrasepsi ini setelah plasenta dilahirkan diraskan menguntungkan
untuk beberapa alasan tertentu, seperti pada masa ini wanita tersebut tidak ingin hamil dan
motivasiny untuk memasang alatkontrasepsi msih tinggi ( Grimes, David A, et al,2010).
IUD ini dapat digunakan bertahun-tahun dan ini dapat menghemat biaya apalagi jika
pemasangan dapat langsung dilakukan di fasilitas kesehatan tempat ibu melahirkan (USAID,2008).
Pemasangan IUD post-plasenta dan segera pasca persalinan direkomendasikan karena pada
masa ini serviks masih terbuka dan lunak sehingga memudahkan pemasangan IUD dan kurang
nyeri bila dibandingkan pemasangan setelah 48 jam pasca persalinan (BKKBN-PKBRS,2010)
Insersi IUD post-plasenta memiliki angka ekspulsi rata-rata 13-16% dan dapat hingga 9-
12,5% jika dipasang oleh tenaga terlatih. Angka ekspulsi ini lebih rendah bila dibandingkan dengan
waktu pemasangan padamasa segera pasca persalinan (immediate post partum,yitu 28-37%.
Sayangnya pengunaan IUD post plasenta belum banyak digunakan karena masih kurangnya
sosialisasi mengenai hal ini dan masih adanya ketakuan pada calon akseptor mengenai terjadinya
komplikasi seperti perporasi uterus, infeksi, perdarahan, dan nyeri (Edelman et al, 2011).
Kelangsungan IUD pasca salin dalah pemakaian kontrasepsi pada akseptor KB Pasangan
usia subur yang didasari atau dibatasi oleh tujuan program KB diantaranya apakah kelangsungan
pemakaian kontrasepsi jangka panjang tersebut bertujuan untuk menunda, menjarangkan, dan
mengakhirikehamilan. Waktu dimualainya kontrasepsi pasca salin berdasarkan satrus menyusui,
metode kontrasepsiyng dipilih, untuk ini dapt digunakan algotitma KB pasca salin sebagai berikut:
Gambar 2.1 Algoritma pilihan KB (BKKBN,2012)

2.5.2 Mekanisme kerja


Sampai sekarang mekanisme kerja AKDR belum diketahui dengan pasti. Kini
pendapat yang terbanyak ialah bahwa AKDR dalam kavum uteri menimbulkan reaksi
peradangan endometrium yang disertai dengan sebukan leukosit yang dapat menghancurkan
blastokista atau sperma. Pada pemeriksaan cairan uterus pada pemakai AKDR, sering kali
dijumpai pula sel-sel makrofag (fagosit) yang mengandung spermatozoa. Penelitian
selanjutnya menemukan bahwa sifat dan isi cairan uterus mengalami perubahan pada
pemakai AKDR, yang menyebabkan blastokista tidak dapat hidup dalam uterus, walaupun
sebelumnya terjadi nidasi. Penelitian lain menemukan sering terjadinya kontraksi uterus
pada pemakai AKDR, sehingga akan dapat menghalangi terjadinya nidasi. Diduga hal ini
deisebabkan karena kadar prostaglandin dalam uterus pada wanita tersebut. Pada AKDR
bioaktif mekanisme kerjanya selain menimbulkan peradangan seperti pada AKDR biasa,
juga karena ion logam atau bahan lain yang melarut dari AKDR mempunyai pengaruh
terhadap sperma. Menurut penelitian, ion logam yang paling efektif adalah ion logam
tembaga (Saifuddin, 2009).
Menurut Saifuddin (2010), cara kerja kontrasepsi IUD/ AKDR adalah menghambat
kemampuan sperma untuk masuk ke tuba falopii, mempengaruhi fertilisasi sebelum ovum
mencapai kavum uteri, memungkinkan untuk mencegah implantasi telur dalam uterus serta
mencegah sperma dan ovum bertemu (walaupun AKDR membuat sperma sulit masuk ke
dalam alat reproduksi perempuan dan mengurangi kemampuan sperma untuk fertilisasi).
Sedangkan menurut Manuaba (2010), mekanisme kerja kontrasepsi IUD / AKDR
adalah sebagai berikut :
1. AKDR merupakan benda asing dalam rahim sehingga menimbulkan reaksi benda asing
dengan timbunan leukosit, makrofag dan limfosit.
2. AKDR menimbulkan perubahan pengeluaran cairan prostaglandin yang menghalangi
kapasitasi spermatozoa.
3. Pemadatan endometrium oleh leukosit, makrofag dan limfosit menyebabkan blastokis
mungkin mungkin dirusak oleh makrofag sehingga blastokis tidak mampu melaksanakan
nidasi.
4. Ion Cu yang dikeluarkan AKDR dengan Cupper menyebabkan gangguan gerak
spermatozoa sehinggamengurangi kemampuan untuk melaksanakan konsepsi.
2.5.3 Efektifitas IUD Post-Plasenta
AKDR post palsenta teklah dibuktikan tidak menambah risiko infeksi, perforasi dan
perdarahan. Diakui bahwa ekspulsi lebih tinggi (6-10%) dan harus disadari pasien, bila
mau dapat dipasang lagi. Kontraindikadi pemasangan post plasenta adalah : ketuban
pecah lama, infeksi intrapartum, perdarahan post partum
2.5.4 Persyaratan pemakaian
Berikut ini merupakan persyaratan pemakaian kontrasepsi IUD menurut Saifuddin
(2010) :
(1) Yang dapat menggunakan kontrasepsi IUD / AKDR :
 Usia produktif
 Keadaan nulipara
 Menginginkan menggunakan kontrasepsi jangka panjang
 Menyusui yang menginginkan menggunakan kontrasepsi
 Setelah melahirkan dan tidak menyusui bayinya
 Setelah mengalami abortus dan tidak terlihat adanya infeksi
 Risiko rendah dari IMS
 Tidak menghendaki metode hormonal
 Tidak menyukai untuk mengingat-ingat minum pil setiap hari
 Tidak menghendaki kehamilan setelah 1-5 hari sanggama
(2) Yang mungkin dapat menggunakan kontrasepsi IUD / AKDR :
 Perokok
 Pasca keguguran atau kegagalan kehamilan apabila tidak terlihat adanya infeksi
 Sedang memakai antibiotika atau anti kejang
 Gemuk ataupun yang kurus
 Sedang menyusui
 Penderita tumor jinak payudara
 Penderita kanker payudara
 Pusing-pusing, sakit kepala
 Tekanan darah tinggi
 Varises di tungkai atau di vulva
 Penderita penyakit jantung (termasuk penyakit jantung katup dapat diberi antibiotika
sebelum pemasangan IUD)
 Pernah menderita stroke
 Penderita diabetes
 Penderita penyakit hati atau empedu
 Malaria
 Skistosomiasis (tanpa anemia)
 Penyakit tiroid
 Epilepsi
 Nonpelvik TBC
 Setelah kehamilan aktopik
 Setelah pembedahan pelvik
(3) Yang tidak dapat menggunakan kontrasepsi IUD / AKDR :
 Sedang hamil (diketahui hamil atau kemungkinan hamil)
 Perdarahan vagina yang tidak diketahui (sampai dapat dievaluasi)
 Sedang menderita infeksi alat genital (vaginitis, servisitis)
 Tiga bulan terakhir sedang mengalami atau sering menderita PRP atau abortus septik
 Kelainan bawaan uterus yang abnormal atau tumor jinak rahim yang dapat
mempengaruhi kavum uteri
 Penyakit trofoblas yang ganas
 Diketahui menderita TBC pelvik
 Kanker alat genital
 Ukuran rongga rahim kurang dari 5 cm

2.5.5 Keuntungan dan kerugian


Berikut ini merupakan keuntungan dan kerugian kontrasepsi IUD menurut Manuaba
(2010) :
1. Keuntungan
 IUD dapat diterima oleh masyarakat dunia, termasuk Indonesia dan menempati
urutan ketiga dalam pemakaiannya
 Pemasangan tidak memerlukan alat medis dan teknis yang sulit
 Kontrol medis yang ringan
 Penyulit tidak terlalu berat
 Pulihnya kesuburan setelah AKDR dicabut berlangsung baik
2. Kerugian
 Masih terjadi kehamilan dengan AKDR in situ
 Terdapat perdarahan (spotting dan menometroragia)
 Leukorea, sehingga menguras protein tubuh dan liang senggama terasa lebih
basah
 Dapat terjadi infeksi
 Tingkat akhir infeksi menimbulkan kemandulan primer atau sekunder serta
kehamilan ektopik
 Benang AKDR dapat menimbulkan perlukaan portio uteri dan mengganggu
hubungan seksual
Sedangkan keuntungan dan kerugian IUD menurut Saifuddin (2010) adalah sebagai
berikut :
1. Keuntungan
 Sebagai kontrasepsi, efektivitasnya tinggi yaitu > 0,6-0,8 kehamilan/ 1000
perempuan dalam 1 tahun pertama (1 kegagalan dalam 125-170 kehamilan)
 AKDR dapat efektif segera setelah pemasangan
 Metode kontrasepsi jangka panjang (10 tahun proteksi dari CuT-380A dan tidak
perlu diganti
 Sangat efektif karena tidak perlu lagi mengingat-ingat
 Tidak mempengaruhi hubungan seksual
 Meningkatkan kenyamanan seksual karena tidak perlu takut untuk hamil
 Tidak mempunyai efek samping hormonal dengan Cu AKDR (CuT-380A)
 Tidak mempengaruhi kualitas dan volume ASI
 Dapat dipasang segera setelah melahirkan atau sesudah abortus (apabila tidak
terjadi infeksi)
 Dapat digunakan sampai menopouse (1 tahun atau lebih setelah haid terakhir)
 Tidak ada interaksi dengan obat-obat
 Membantu mencegah kehamilan ektopik
2. Kerugian
 Efek samping yang umum terjadi :
- Perubahan siklus haid (umumnya pada 3 bulan pertama dan akan berkurang
setelah 3 bulan pemakaian)
- Haid lebih lama dan banyak
- Perdarahan (spotting) antar menstruasi
- Saat haid lebih sakit
 Komplikasi lain :
- Merasakan sakit dan kejang selama 3-5 hari setelah pemasangan
- Perdarahan berat pada waktu haid atau diantaranya yang memungkinkan
penyebab anemia
- Perforasi dinding uterus (sangat jarang apabila pemasangannya benar)
 Tidak mencegah IMS termasuk HIV / AIDS
 Tidak baik digunakan pada perempuan dengan IMS atau perempuan yang sering
berganti pasangan
 Penyakit radang panggul terjadi sesudah perempuan dengan IMS memakai
AKDR. PRP dapat memicu infertilitas
 Prosedur medis termasuk pemeriksaan pelvik diperlukan dalam pemasangan
AKDR. Seringkali perempuan takut selama pemasangan
 Sedikit nyeri dan perdarahan (spotting) terjadi segera setelah pemasangan AKDR.
Biasanya menghilang dalam 1-2 hari
 Klien tidak dapat melepas AKDR oleh dirinya sendiri, petugas kesehatan terlatih
yang harus melepaskan AKDR
 Mungkin AKDR keluar dari uterus tanpa diketahui (sering terjadi apabila AKDR
dipasang setelah melahirkan)
 Tidak mencegah terjadinya kehamilan ektopik karena fungsi AKDR untuk
mencegah kehamilan normal
 Perempuan harus memeriksa posisi benang AKDR dari waktu ke waktu. Untuk
melakukan ini perempuan harus memasukkan jarinya ke dalam vagina, sebagian
perempuan tidak mau melakukan hal ini.
2.5.6 Jenis AKDR
Hartanto (2004) membedakan AKDR atau IUD menjadi 2 golongan besar, yaitu :
1. Un-Medicated Devices (Inert Devices atau First Generation Devices)
Yang termasuk dalam golongan ini antara lain :
 Grafenberg ring
 Ota ring
 Margulies coil
 Saf-T-Coil
 Delta Loop: Modified Lippes Loop D dengan penambahan benang chromic catgut
pada lengan atas, terutama untuk insersi post partum.
 Lippes Loop (dianggap sebagai IUD standart)
Lippes Loop terbuat dari bahan polyethelene, bentuknya seperti spiral atau huruf S
bersambung. Untuk memudahkan kontrol, dipasang benang pada ekornya. Lippes
Loop mempunyai angka kegagalan yang rendah. Keuntungan lain dari pemakaian
spiral jenis ini ialah bila terjadi perforasi jarang menyebabkan luka atau penyumbatan
usus, sebab terbuat dari bahan plastik. Yang banyak dipergunakan dalam program KB
nasional adalah IUD jenis ini. Lippes loop dapat dibiarkan in-utero untuk selama-
lamanya sampai menopause, sepanjang tidak ada keluhan bagi akseptor. Medicated
Devices (Bio-Active Devices atau Second Generation Devices)
a. Mengandung logam
1) AKDR-Cu generasi pertama (First Generation Copper Devices), yang termasuk
dalam kelompok ini adalah :
 CuT-200 (Tatum-T)
Memiliki panjang 36 mm dan lebar 32 mm, dengan luas permukaan Cu 200
mm2 dan daya kerja selama 3 tahun.
 Cu-7 (Gravigard)
Berbentuk angka 7 dengan maksud untuk memudahkan pemasangan. Jenis ini
mempunyai ukuran panjang 36 mm, lebar 26 mm dan ditambahkan gulungan
kawat tembaga (Cu) yang mempunyai luas permukaan 200 mm 2 dengan daya
kerja selama 3 tahun. Jenis IUD ini memiliki tabung inserter dengan diameter
paling kecil dibandingkan lainnya, sehingga dapat dianjurkan untuk
nulligravida.
 MLCu-250 (Multiload Cu 250)
Terbuat dari dari plastik (polyethelene) dengan dua tangan kiri dan kanan
berbentuk sayap yang fleksibel. Batangnya diberi gulungan tembaga dengan
luas permukaan 250 mm2 dan memiliki daya kerja 3 tahun. Ada 3 ukuran, yaitu
standar, short, dan mini.
2) AKDR-Cu generasi kedua (Second Generation Copper Devices), yang termasuk
dalam kelompok ini adalah :
 CuT-380 A (Paragard)
Panjang 36 mm dan lebar 32 mm dengan 314 mm2 lilitan tembaga mengelilingi
batang vertikal dan 2 selubung Cu seluas 33 mm2 pada masing-masing lengan
horizontal. Daya kerjanya 8 tahun, tetapi rekomendasi FDA adalah 10 tahun.
 CuT-380Ag
Seperti CuT-380A, hanya saja dengan tambahan inti Ag di dalam kawat Cu-
nya dan memiliki daya kerja selama 5 tahun.
 Nova T (Novagard)
Panjang 32 mm dan lebar 32 mm, 200 mm2 luas permukaan Cu dengan inti Ag
di dalam kawat Cu-nya dan memiliki daya kerja selama 5 tahun.
 CuT-220C
Panjang 36 mm dan lebar 32 mm, dengan 220 mm 2 Cu di dalam tujuh
selubung, 2 pada lengan dan 5 pada batang vertikalnya. Jenis ini memiliki daya
kerja selama 3 tahun.
 Delta T
Modified CuT-220C dengan penambahan benang chromic catgut pada lengan
atas, terutama untuk insersi post partum.
 MLCu-375 (Multiload Cu 375)
Terbuat dari dari plastik (polyethelene) dengan dua tangan kiri dan kanan
berbentuk sayap yang fleksibel. Batangnya diberi gulungan tembaga dengan
luas permukaan 375 mm2 dan memiliki daya kerja 5 tahun. Ada 3 ukuran, yaitu
standar, short, dan SL
b. Mengandung hormon
Disebut juga IUS (Intra Uterine System) yaitu bingkai berbentuk T yang terbuat dari
plastik dan memiliki sebuah reservoir steroid yang mengelilingi batang tegak lurus
yang berisi hormon progesteron atau levonorgestrel. Beberapa jenis IUS :
 Progestasert (Alza-T)
Alat ini memiliki panjang 36 mm dan lebar 32 mm dengan 2 benang ekor
berwarna hitam. Mengandung 38µg progesteron dan barium sulfat dalam dasar
silicon. Alat ini melepaskan 65 mcg progesteron per hari dengan daya kerja 18
bulan.
 LNG-20
Serupa progestasert, tetapi mengandung levonorgestrel. Alat ini melepaskan
levonorgestrel ke dalam uterus dengan kecepatan relatif konstan 20 µg
levonorgestrel selama 24 jam.
 Mirena®
Mempunyai panjang 32 mm dan diameter 4,8 mm. Mirena® diperkaya dengan
barium sulfat yang mengeluarkan radio-opaqnya sendiri. Mirena® memiliki
masa hidup 3 tahun, tetapi durasi pemakaian yang dianjurkan selama 5 tahun.
Gambar 2.1 Beberapa jenis AKDR
Keterangan gambar (berurutan dari kiri)
Atas: Lippes Loop, Saf-T-Coil, dana device
Bawah: Cu-T, Cu-7, MLCu, Progestasert
2.5.7 Efek samping
Efek samping yang sering dan mungkin terjadi pada pengguna akseptor kontrasepsi
IUD / AKDR menurut Sifuddin (2009) adalah sebagai berikut :
1. Perdarahan
Umumnya setelah pemasangan AKDR terjadi perdarahan sedikit-sedikit yang cepat
terhenti. Kalau pemasangan dilakukan sewaktu haid perdarahan yang sedikit-sedikit ini
tidak akan diketahui oleh akseptor. Keluhan yang sering terjadi pada pemakai AKDR
adalah menoragia, spotting, metoragia. Jika terjdi perdarahan banyak yang tidak dapat
diatasi, sebaiknya AKDR dikeluarkan dan diganti AKDR yang mempunyai ukuran kecil.
Jika perdarahan sedikit-sedikit dapat diusahakan mengatasinya dengan pengobatan
konservatif. Pada perdarahan yang tidak berhenti dengan tindakan-tindakan tersebut
diatas, sebaiknya AKDR diangkat dan digunakan pilihan kontrasepsi yang lain.
2. Rasa nyeri dan kejang di perut
Terjadi segera setelah pemasangan AKDR biasanya rasa nyeri ini berangsur-angsur
hilang dengan sendirinya. Rasa nyeri dapat dihilangkan dengan member analgesik. Jika
keluhan berlangsung terus, sebaiknya AKDR dikeluarkan dan diganti dengan AKDR
yang mempunyai ukuran yang lebih kecil.
3. Gangguan pada suami
Kadang-kadang suami dapat merasakan adanya benang AKDR sewaktu senggama,
dikarenakan oleh benang AKDR yang keluar dari portio uteri terlalu pendek atau terlalu
panjang. Untuk mengurangi/ menghilangkan keluhan ini, benang AKDR yang terlalu
panjang dipotong sampai kira-kira 2-3cm dari portio, sedang jika benang AKDR terlalu
pendek sebaiknya AKDRnya diganti. Dengan cara ini biasanya keluhan suami akan
hilang.
4. Ekspulsi (pengeluaran sendiri)
Ekspulsi AKDR dapat terjadi untuk sebagian atau seluruhnya. Ekspulsi biasanya terjadi
waktu haid dan dipengaruhi oleh :
 Umur dan paritas
Pada paritas yang rendah (1 atau 2), kemungkinan ekspulsi 2 kali lebih besar
daripada pada paritas 5 atau lebih.demikian pula pada wanita muda. Ekspulsi lebih
sering terjadi daripada wanita yang umurnya lebih tua
 Lama pemakaian
Ekspulsi paling sering terjadi pada 3 bulan pertama setelah pemasangan. Setelah itu
angaka kejadian menurun dengan tajam.
 Ekspulsi sebelumnya
Pada wanita yang pernah mengalami ekspulsi, maka pada pemasangan kedua
kalinya, kecencerungan untuk terjadinya ekspulsi lagi ialah sebesar 50%. Jika
terjadi ekspulsi, pasangkanlah AKDR jenis yang sama, tetapi dengan ukuran yang
lebih besar daripada sebelumnya. Dapat juga diganti dengan AKDR jenis lain atau
dipasang 2 AKDR.
 Jenis dan ukuran
Jenis dan ukuran AKDR yang dipasang sangat mempengaruhi frekuensi ekspulsi.
Pada Lippes Loop, makin besar ukuran AKDR makin kecil kemungkinan terjadinya
ekspulsi.
 Faktor psikis
Oleh karena motilitas usus dapat dipengaruhi oleh faktor psikis, maka frekuensi
ekspulsi lebih banyak dijumpai pada wanita-wanita yang emosional dan ketakutan,
atau yang mempunyai psikis labil. Kepada wanita-wanita seperti ini, penting
diberikan penerangan yang cukup sebelum dilakukan pemasangan AKDR.
2.5.8 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pengguna akseptor kontrasepsi IUD / AKDR
menurut Sifuddin (2009) adalah sebagai berikut :
1. Infeksi
AKDR itu sendiri, atau benang yang berada di dalam vagina umumnya tidak
menyebabkan terjadinya infeksi jika alat-alat yang digunakan steril. Infeksi mungkin
terjadi karena disebabkan oleh sudah adanya infeksi yang subakut atau menahun pada
traktus genitalis sebelum pemasangan AKDR.
2. Perforasi
Umumnya perforasi terjadi sewaktu pemasangan AKDR walaupun dapat terjadi pula
dikemudian hari. Pada permulaan hanya ujung AKDR saja yang menembus dinding
uterus, tetapi lama kelamaan dengan adanya kontraksi uterus, AKDR terdorong lebih jauh
menembus dinding uterus, sehingga akhirnya sampai ke rongga perut. Kemungkinan
adanya perforasi harus diperhatikan apabila pada pemeriksaan dengan spekulum, benang
AKDR tidak kelihatan. Dalam hal ini pada pemeriksaan dengan sonde uterus atau
mikrokuret tidak dirasakan AKDR dalam rongga uterus. Jika ada kecurigaan kuat tentang
terjadinya perforasi, sebaiknya dilakukan foto rontgen, dan jika tampak di foto AKDR
dalam rongga panggul, hendaknya dilakukan histerografi untuk menetukan apakah
AKDR terletak di dalam atau diluar kavum uteri. Dewasa ini dapat dilakukan dengan
USG transvaginal atau USG transabdominal.
3. Kehamilan
Jika timbul kehamilan pada AKDR in situ, tidak akan timbul cacat pada bayi baru lahir,
oleh karena AKDR terletak antara selaput ketuban dan dinding rahim. Angka keguguran
dengan AKDR in situ tinggi. Jika ditemukan kehamilan dengan AKDR in situsedang
benangnya masih kelihatan, sebaiknya AKDR dikeluarkan oleh karena kemungkinan
terjadinya abortus setelah AKDR itu dikeluarkan lebih kecil daripada jika AKDR
dibiarkan terus berada dalam rongga uterus. Jika benang AKDR tidak kelihatan,
sebaiknya AKDR dibiarkan saja berada dalam uterus.

2.6 Konsep Dasar Asuhan Kebidanan Pada PE dan KPP

2.6.1 Pengumpulan Data


A. Data Subjektif
1) Identitas (ibu dan suami)
 Umur
Usia kurang dari 20 tahun termasuk usia yang terlalu muda dengan keadaan uterus yang
kurang matur untuk melahirkan, sehingga rentan mengalami ketuban pecah prematur
(Mochtar, 2012). Pada usia kurang dari 20 tahun ibu takut terjadi perubahan pada postur
tubuhnya atau takut gemuk. Ibu cenderung mengurangi makan sehingga asupan gizi termasuk
asupan zat besi kurang yang berakibat bisa terjadi anemia . Sedangkan pada usia usia ≥35
tahun dapat terjadi perubahan pada jaringan lunak dan alat kandungan, seperti serviks
inkompeten (Manuaba, 2013).
Wanita berusia di atas 35 tahun memiliki risiko sangat tinggi terhadap preeklampsia. lnsiden
hipertensi karena kehamilan meningkat 3 kali lipat pada wanita diatas 40 tahun dibandingkan
dengan wanita yang berusia 20 - 30 tahun (Cunningham, 2005). Usia < 15 tahun atau > 35
tahun merupakan faktor risiko terjadinya preeklampsia.
 Pekerjaan
Sosio-ekonomi yang rendah merupakan faktor risiko terjadinya anemia dan infeksi daerah
operasi, khususnya berhubungan dengan pemenuhan nutirisi ketika hamil, persalinan, dan
nifasnya (NICE, 2011).

2) Keluhan utama
- Sakit kepala
- Pandangan kabur
- Sesak nafas
- Terjadi bengkak pada wajah, tangan dan kaki
- Semua ibu hamil dengan keluhan nyeri pada kuadran atas abdomen, tanpa tanda dan
gejala preeklamsi sekalipun, harus dipertimbangkan sindroma HELLP
- Ketuban pecah prematur : merasa basah pada vagina, atau mengeluarkan cairan banyak
secara tiba-tiba dari jalan lahir, cairan berbau khas, dan perlu juga diperhatikan warna
keluarnya cairan tersebut, kontraksi belum teratur dan belum ada, dan belum ada
pengeluaran lendir darah (Nugroho, 2012).

3) Riwayat Menstruasi
Mengetahui HPHT, guna menghitung usia kehamilan dan taksiran persalinan. HPHT perlu
dikaji untuk menentukan usia kehamilan ibu. Indikasi perawatan konservatif ialah bila
kehamilan preterm < 37 minggu, khususnya <34 minggu, tanpa disertai tanda-
tandaimpending eclampsia dengan keadaan janin baik, dan estimasi berat janin < 2000 gram.
Salah satu indikasi perawatan aktif adalah umur kehamilan>37 minggu atau kehamilan late
preterm yakni >34 minggu estimasi berat janin > 2000 gram (Saifuddin, dkk, 2010; RS Dr.
Soetomo, 2008). Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin diberikan pada
kehamilan 32 – 34 minggu (Saifuddin, dkk, 2010). Sekitar 8 – 10% kehamilan aterm dapat
mengalami KPP, sedangkan kehamilan preterm mengalami peningkatan risiko KPP yaitu 18 –
20% (Caughey dkk., 2008).
Fluor albus: Peningkatan volume sekresi vagina terjadi, dimana sekresi akan berwarna
keputihan, menebal, dan pH antara 3,5-6 yang merupakan hasil dari peningkatan asam laktat
glikogen yang dihasilkan oleh epitel vagina sebagai aksi dari lactobaccilus acidophilus.
(Prawirohardjo, 2010). Ketuban pecah dini pada kehamilan prematur disebabkan oleh faktor
eksternal, mislanya infeksi yang menjalar dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban
(Sarwono, 2010).
4) Riwayat kehamilan, persalinan yang lalu
Mengkaji adanya kehamilan, persalinan yang lalu yang ada hubungannya dengan penyakitnya
sekarang.
 Ibu dengan primigravida memiliki risiko lebih besar mengalami preeklampsia berat
dibandingkan dengan wanita multigravida (Wiknjosastro, 2010).
Pada The New England Journal of Medicine, tercatat bahwa pada kehamilan pertama
risikopreeklampsia 3,9% ; Kehamilan kedua 1,7% ; kehamilan ketiga 1,8% (Rozikhan,
2007).Walker (2000), Dekker & Sibai (2001), serta Roberts & Cooper (2001)
dalamBillington (2009) menyebutkan beberapa faktor predisposisi terjadinya
preeklamsi,yaitu: wanita yang sebelumnya pernah menderita preeklamsia.
 Ibu dengan multipara lebih besar kemungkinan terjadinya infeksi karena proses
pembukaan serviks lebih cepat dari nulipara, sehingga dapat terjadi pecahnya ketuban
lebih dini. Pada kasus infeksi tersebut dapat menyebabkan terjadinya proses biomekanik
pada selaput ketuban dalam bentuk proteolitik sehingga memudahkan ketuban pecah.
Pada multipara, karena adanya riwayat persalinan yang lalu maka keadaan jaringan
ikatnya lebih longgar dari pada nulipara. Pada multipara jaringan ikat yang menyangga
membran ketuban makin berkurang sehingga multipara lebih beresiko terjadi ketuban
pecah dini dibandingkan nulipara (Fatkhiyah, 2008). KPP biasanya terjadi pada
kehamilan yang menyebabkan ketegangan rahim berlebihan, misalnya gemeli,
hidramnion, serta adanya kelianan letak janin dalam rahim (Nugroho, 2012). Ibu dengan
riwayat KPP sebelumnya berisiko 2-4 kali mengalami KPP kembali karena komposisi
membran yang menjadi mudah rapuh dan kandungan kolagen yang semakin menurun
pada kehamilan berikutnya (Cunningham, 2006)
5) Riwayat Kehamilan Sekarang
 Kehamilan multipel, kehamilan dengan mola hidatidosa merupakan faktor reisko
terjadinya preeklamsia (prawirohardjo,2014)
 Usia kehamilan merupakan pertimbangan untuk penatalaksanaan sikap terhadap
kehamilan (prawirohardjo,2014)
 Riwayat kehamilan dengan PE bisa berlanjut pada saat melahirkan dan masa nifas.
 KPP biasanya terjadi pada kehamilan yang menyebabkan ketegangan rahim berlebihan,
misalnya gemeli, hidramnion, serta adanya kelianan letak janin dalam rahim (Nugroho,
2012)
6) Riwayat Kontrasepsi
Perencanaan/kesiapan untuk kehamilan dan memiliki anak kembali. Pelayanan kontrasepsi
memiliki kontribusi sekitar 20% untuk mencegah kehamilan yang menyebabkan kematian
akibat komplikasi obstetris, seperti eklampsia dan perdarahan postpartum (Rozikhan, 2007).
Hasil penelitian Beddu (2015) menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
riwayat penggunaan KB hormonal dengan kejadian preeklampsia. Begitupula hasil penelitian
Setiawan (2016) menyatakan bahwa ibu akseptor KB sebelum hamil memiliki kecenderungan
5,636 kali dibandingkan bukan akseptor KB sebelum hamil untuk terkena preeklampsia. Bagi
ibu yang memiliki riwayat komplikasi ataupun penyulit saat bersalin, seperti preeklampsia
dan perdarahan postpartum sangat dianjurkan untuk mengatur jarak kehamilannya, karena
grandemultipara meningkatkan risiko terjadinya komplikasi/penyulit kehamilan dan
persalinan (Queensland Clinical Guidelines, 2012).
7) Riwayat Penyakit Ibu
 Jantung
Tanda dan gejala adanya penyakit jantung yang berat (dekompensasi kordis) yaitu bising
diastalik, peristaltik, bising jantung terus-menerus, kordiomegali, aritmia berat, bising
jantung nyaring terutama bisa disertai thrill (Wiknjosastro, H., 2008). Penyakit jantung
dapat memperberat kondisi ibu sebab perluasan volume darah maternal normal adalah
500 ml lebih besar pada kehamilan kembar, dan rata-rata kehilangan darah dengan
persalinanvagina adalah 935 ml, atau hampir 500 ml lebih banyak dibanding
dengan persalinan dari janin tunggal selain itu cardiac output meningkat sebagai akibat
dari peningkatan denyut jantung serta peningkatan stroke volume. Dan pada hamil
multiple lebih sering terjadi anemia.
 Hipertensi
Hipertensi dibagi menjadi dua yaitu hipertensi essensial dan hipertensi ganas.Hipertensi
essensial jika tekanan darah 140/90-160/100(Manuaba, I.B.G, 2010). Ibu hamil janin
multiple lebih sering terjadi pre-eklampsi/eklampsi.
 Asma
Gejala asma biasanya penderita mengeluh nafas pendek, berbunyi, sesak dan batuk-batuk.
(Wiknjosastro, H., 2008). Ibu hamil multiple lebih sering terjadi sesak napas oleh karena
penekanan diafragma akibat janin serta kebutuhan O2 yang lebih banyak daripada hamil
tunggal.
 Diabetes Melitus (DM)
Karena massa plasenta semakin besar, hormone yang dihasilkan plasenta juga lebih besar
sehingga risiko diabetes pada kehamilan juga semakin tinggi. Penapisan glukosa harus
dilakukan ketika kehamilan menginjak usia 24 sampai 26 minggu. Nilai normal untuk
interpretasi dan rentang batas normal untuk control glukosa tidak berrbeda dari kehamilan
janin tunggal (Saifuddin, 2009)
7) Riwayat kesehatan keluarga
Ward dan Lindheimer (2009) mengutip risiko insiden preeklamsia sebesar 20 hingga
40 persen pada anak dari ibu yang pernah mengalami preeklamsia, 11-73% pada saudara
perempuan seorang penderita preeklamsia dan 22-47% pada kembar (Cunningham, 2009)
Hipertensi: pada ibu dengan preeklamsia, cenderung ada anggota keluarga yang pernah
menderita hipertensi ataupun preeklamsia, baik dari keluarga ibu maupun keluarga suami. Ibu
yang mengalami preeklampsia, 26% anak wanitanya akan mengalami preeklampsia pula,
sedangkankan hanya 8% anak menantu mengalami preeklampsia(Saifuddin, 2009). Penyakit
hipertensi pada keluarga dapat diturunkan pada anggota keluarga yang lain begitu pula pada
ibu yang hamil.
Riwayat kembar: riwayat gemeli juga dipengaruhi faktor keturunan selain bangsa, umur dan
paritas(Manuaba, 2010).
Penyakit sistemik keluarga yang kemungkinan menurun kepada ibu, misalnya penyakit
jantung, hipertensi, ginjal, diabetes mellitus, dan lain sebagainya menjadi focus untuk
melakukan pemeriksaan pada ibu hamil. Jika ditemukan penyakit sistemik yang menurun,
maka hal ini menjadi salah satu indikasi melakukan persalinan perabdominal. Persalinan
perabdominal memiliki resiko lebih besar terjadi infeksi nifas dibandingkan dengan
persalinan pervaginam.
8) Riwayat psiko-sosial
 Riwayat pernikahan. Untuk mengetahui apakah ibu kawin untuk pertama
kali dalam usia reproduksi (20-35 tahun) dimana jika ibu kawin pertama kali pada usia ≤
18 tahun atau ≥ 35 tahun merupaka usia yang ekstrim yang merupakan faktor
predisposisi yang dapat menimbulkan preeklamspsia pada ibu. Digunakan untuk
mengetahui apakah suami ibu memiliki anak yang lahir dari ibu yang mengalami
preeklampsia karena hal ini merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan
kejadian preeklampsia pada ibu
 Penelitian telah melaporkan bahwa perempuan multipara yang hamil
dengan pasangan yang berbeda memiliki risiko preeklamsia yang meningkat
(Mostelo,2002)
 Respon pasien dan keluarga terhadap kondisi kehamilan klien saat ini.
 Keadaan psikis ibu, kehamilan ini diharapkan atau tidak
 Adakah mitos yang dipercayai oleh ibu yang berhubungan dengan
kehamilan dan penyakitnya.
 Kebiasaan merugikan
9) Pola kehidupan sehari-hari
a. Pola nutrisi
Konsumsi makanan dan minuman yang mengandung vitamin C dan vitamin E merupakan
sistem pertahanan antioksidan. Antioksidan dapat mencegah kerusakan endotel sehingga
produksi tromboksan (vasokonstriktor kuat) tidak meningkat. Pola nutrisi yang baik pada
preeklampsia adalah diet tinggi protein rendah lemak, karbohidrat serta garam. Hal ini
bertujuan untuk melindungi fungsi ginjal dan mencegah peningkatan tekanan darah.
Defisit kalsium pada diet perempuan hamil mengakibatkan risiko terjadinya preeklampsia
dan eklampsia (Wiknjosastro, 2010).
Pada kasus ketuban pecah prematur, salah satu faktor predisposisinya adalah defisiensi
asam askorbik (vitamin C) dan tembaga (Cu) dimana komponen ini merupakan penjaga
elastisitas dari selaput ketuban. (Sarwono, 2010). Kurangnya asupan makanan yang
mengandung zat besi dan vitamin C (sayuran dan buah) menyebabkan kurangnya asupan
nutrisi ibu dan mengakibatkan defisiensi zat besi (Sofian, 2013). Asupan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh secara kronik dapat menyebabkan terjadinya defisiensi berbagai
jenis zat gizi. Defisiensi besi dapat menyebabkan anemia yang dapat meningkatkan risiko
mengalami KPP (Caughey dkk., 2008).
b. Pola eliminasi
Pada preeklampsia berat sering terjadi oligouria (produksi urine < 500 cc/hari)
(Wiknjosastro, 2010)
Pada BAK yang menunjukkan tanda infeksi/ISK (perubahan frekuensi, warna, atau
disertai darah dan nyeri) dapat meningkatkan resiko terjadinya KPP (Manuaba, 2010).
c. Pola istirahat
Menguraikan tentang berapa lama ibu beristirahat, khususnya tidur dalam sehari. Tidur
dibagi menjadi tidur siang dan tidur malam. Normalnya, tidur siang 1-2 jam dan malam
6-8 jam. Bagi ibu hamil multiple kebutuhan istirahat lebih banyak daripada hamil tunggal
(Saifuddin, 2008)
Terdapat gangguan istirahat pada pasien dengan PEB akibat nyeri kepala yang sangat.
d. Pola aktifitas
Menguraikan aktivitas yang dilakukan sehari-hari (berat ringannya aktivitas) dan macam-
macam aktivitas yang dilakukan. Umumnya, ibu hamil dapat melakukan aktivitas ringan
sampai sedang seperti sebelum hamil, hanya saja waktunya dikurangi dan ibu menjaga
agar tidak melakukan aktivitas yang terlalu berat. Pada hamil multiple setelah kehamilan
30 minggu sebaiknya hindari berpergian jauh (Saifuddin, 2008).
Hubungan signifikan juga telah ditemukan antara keletihan karena bekerja dan
peningkatan resiko ketuban pecah dini sebelum cukup bulan diantara wanita
nulipara(tetapi bukan wanita multipara) (Varney, 2007). Memberikan gambarang tentang
seberapa berat aktivitas yang dilakukan di rumah (sulistyawati, 2009). Dikaji pekerjaan di
rumah atau pekerjaan yang dikerjaan sehari-hari.
e. Seksual
Pertanyaan kepada klien kapan terakhir kali berhubungan seksual karena semen yang
keluar dari vagina dapat disalah artikan sebagai cairan amnion (Varney, 2007). Trauma
akibat hubungan seksual merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya KPP
(Nugroho, 2012)
B. Data Objektif
1) Pemeriksaan fisik Umum
 Keadaan umum :
Keadan umum penderita PE dan KPP dapat baik sampai lemah.
 Kesadaran :
Kesadaran penderita pre-eklmapsia mulai dari composmentis dan seringkali ditemukan
penderita dengan preeklampsia berat yang mendadak mengalami kejang dan jatuh dalam
koma (Wiknjosastro, 2010).
 Tanda-tanda vital :
- Pada preeklampsia berat tekanan darah ≥ 160/≥ 110 mmHg (Sarwono, 2010) atau
peningkatan diastolik sebesar 15 mmHg atau peningkatan sistolik sebesar 30 mmHg
(Fraser, 2009).
- Respirasi : Pada pasien preeklampsia dengan pemberian MgSO4, Jumlah RR harus ≥
16 x/menit.
- Suhu : Suhu Tubuh Meningkat juga menggambarkan adanya nekrosis sel parenkim
hati yang luas, dan menunjukkan adanya suatu hepatitis virus tipe fulminan jika
disertai dengan tanda lain yaitu Adanya ikterus yang berat, bilirubin dan
transaminase serum yang  sangat tinggi, leukositosis, kesadaran yang menurun
sampai koma, defisiensi faktor pembekuan  darah, serta tanda-tanda perdarahan
(Mansjoer, 2010).
Waspadai terjadi adanya tanda-tanda infeksi yaitu suhu ≥38°C, karena infeksi dapat
menyebabkan KPP (Saifuddin, 2009). KPP dapat disebabkan oleh infeksi ataupun
dapat menyebabkan terjadinya infeksi. Pada ibu yang mengalami infeksi akan
menunjukkan tanda-tanda berupa peningkatan suhu tubuh (demam), nadi (takikardi),
respirasi dan tekanan darah.
- Nadi
Pengaruh dari tekanan darah tinggi, nadi menjadi lebih cepat sekitar 80- 100 x/menit,
jika terjadi syok ataupun komplikasi, nadi menjadi lebih cepat, melemah, bahkan
tidak teratur (Nugroho, 2012).
 Berat badan sebelum hamil dan kenaikan selama hamil:
Berat badan ibu sebelum hamil ditanyakan untuk mengetahui tingkat gizi ibu dan
seberapa besar kenaikan berat badan ibu saat hamil. Penimbangan berat badan dilakukan
setiap kali kunjungan untuk mengetahui pertambahan berat badan ibu. Normalnya
kenaikan BB pada TM 1 adalah 1-2 kg, pada TM II adalah 5 kg, sedangkan pada TM III
tidak boleh naik 0.5 kg tiap minggu. Normalnya BB selama kehamilan meningkat 10-12
kg.
Untuk menghitung penambahan BB salah satu faktor predisposisi dari preeklamsia adalah
status gizi ibu yang kurang, obesitas juga merupakan faktor predisposisi preeklamsia.
Penambahan berat badan ≥ 2 pon/minggu karena pengaruh kehamilan (Benson, 2008).
Kenaikan berat badan ≥ 0,57 kg/minggu berpotensi terjadi preeklampsia. Pada
primigravida yang mempunyai kenaikan berat badan rendah, yaitu ≤ 0,34 kg/minggu,
menurunkan risiko hipertensi (Wiknjosastro, 2010).
Kegemukan disamping menyebabkan meningkatkan kolesterol dalam darah, juga
menyebabkan kerja jantung yang lebih berat karena jumlah darah yang beredar dalam
tubuh sekitar 15% dari berat badan. Obesitas dapat menyumbangkan risiko preeklampsia
(Rozikhan, 2007).
Berat badan ibu dengan BMI yang lebih terjadi penimbunan lemak pada panggul dan
gangguan kontraksi uterus.Selain itu, produksi kelenjar adipose yaitu leptin dan
kolesterol menghambat terjadinya kontraksi uterus (Caughey, 2016 dan Marroun, 2012).
 Tinggi badan
Tinggi badan pada ibu dengan tinggi badan <145 cm berisiko terjadi CPD sehingga
bagian terendah langsung menerima tekanan intrauteri yang dominan dan berisiko terjadi
KPP.
2) Pemeriksaan Fisik Khusus
 Muka
80% edema dijumpai pada preeklampsia. Gangguan visus dan serebral ditandai dengan
penurunan kesadaran, nyeri kepala, dan pandangan mata kabur (Saifuddin, 2009).
 Mata
Konjungtiva normal warna merah muda, bila pucat menandakan anemia, sclera normal
berwarna putih, kelopak mata bengkak kemungkinan ada preeklampsia.
Dapat disertai gangguan penglihatan pada preeklampsia berat, yaitu skotoma atau
penglihatan berkabut/ kabur, perdarahan retina (Wiknjosastro, 2010)
 Dada
Nyeri epigastrium menjadi tanda preeklampsia (Wiknjosastro, 2010). Pada edema paru:
nafas pendek, ronkhi (+)
 Abdomen
Salah satu gejala subjektif impending eclampsia adalah nyeri epigastrium, sehingga akan
ada nyeri tekan atau lepas pada epigastrium. Pemerikasaan leopold dilakukan seperti
biasa. Waspadai adanya Nyeri perut, TFU lebih besar dari usia kehamilan waspada
kemungkinan bayi kembar/polihidramnion.
Leopold I : TFU bisa sesuai UK bisa lebih besar atau lebih kecil. Bagian yang terdapat
di fundus bisa kepala, bokong, atau kosong. Hiperplasentosis, misalnya kehamilan
multiple, bayi besar dapat meningkatkan risiko preeklampsia sehingga didapatkan TFU
yang lebih besar. Aliran utero-plasenta yang terhambat dapat menyebabkan IUGR
sehingga didapatkan TFU yang lebih kecil. Pada KPP dalam pemeriksaan leopold dapat
ditemukan TFU lebih besar dari usia kehamilan waspada kemungkinan bayi kembar/
polihidramnion. Gemeli/polihidramnion merupakan salah satu faktor predisposisi terjadi
KPP.
Leopold II : bisa teraba bagian kepala, bokong atau punggung ataupun bagian kecil
janin. Tidak teraba punggung kanan dan punggung kiri atau bagian terendah janin teraba
lunak waspadai adanya kelainan letak. Kelainan letak merupakan predisposisi terjadinya
KPP.
Leopold III : bisa teraba bokong, kepala atau kosong. Bisa digoyangkan ataupun tidak
bisa digoyangkan
Leopold IV : bisa konvergen / divergen. Usia kehamilan sudah aterm (37-40) kepala
janin belum masuk pintu atas panggul (PAP) waspadai adanya kelainan letak atau CPD
merupakan faktor predisposisi KPP.
DJJ menunjukan kesejahteraan janin, normalnya 120 – 160 x/menit, jika < 120 atau > 160
x /menit merukan pertanda fetal distress atau gawat janin dan harapan hidup masih tinggi.
Maka harus segera dilakukan terminasi dengan seksio sesaria, namun apabila
kemungkinan hidup kecil maka terminasi secara pervaginam (Saifuddin, dkk, 2010).
Taksiran Berat Janin (TBJ): janin besar (>4000 gram) merupakan salah satu faktor risiko
mengalami KPP (Caughey dkk, 2008).
 Ekstremitas
Adanya edema merupakan salah satu tanda dari preeklampsia juga. Pemeriksaan reflek
patella berguna untuk menilai apakah ibu mengalami kelemahan otot atau tidak. Ibu
preeklampsia berat dengan reflek patella positif, memenuhi syarat untuk diberikan
magnesium sulfat (Saifuddin, 2009).
 Genital
Di dalam vagina didapati cairan dan selaput ketuban sudah tidak ada lagi. Mengenai
pemeriksaan dalam vagina dengan toucher perlu pertimbangan, pada kehamilan yang
belum dalam persalinan perlu membatasi pemeriksaan dalam. Karena pada waktu
pemriksaan dalam, jari pemriksa akan mengakumulasi segmen bawah rahim dengan
flora vagina yang normal, mikroorganisme tersebut bisa dengan cepat menjadi pathogen.
Pemeriksaan dalam vagina hanya dilakukan kalau KPP yang sudah dalam persalinan atau
yang dilakukan induksi persalinan dan dibatasi sedkit mungkin.
Pemeriksaan spekulum :
Pemeriksaan dengan speculum pada KPP akan tampak keluar cairan dari ostium uteri
eksternum (OUE), kalau belum juga tampak keluar, fundus uteri ditekan, penderita
diminta batuk, mengejan dan mengadakan maneuver valsava, atau bagian terendah
digoyangkan, akan tampak keluar cairan dari ostium uteri dan terkumpul pada fornik
anterior.
Preeklampsia yang disertai dengan solusio plasenta tidak dapat dilakukan pemeriksaan
dalam jika buka di kamar operasi. Jika tidak ada solusio plasenta, pemeriksaan dalam
dilakukan untuk menentukan rencana asuhan selanjutnya. Saifuddin, dkk (2010)
menyatakan bahwa cara mengakhiri kehamilan (terminasi kehamilan) dilakukan berdasar
keadaan obstetrik pada waktu itu (inpartu atau belum). Pemeriksaan dalam juga untuk
menentukan skor bishop, dimana induksi dengan drip oksitosin dikerjakan bila NST baik,
ibu belum inpartu dengan skor pelvik baik (skor bishop ≥5).
3) Pemeriksaan penunjang
Adalah pemeriksaan yang dapat menunjang, seperti pemeriksaan labolatorium atau rontgen
bila dalam data subjektif maupun objektif memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.
a.Cairan yang keluar dari vagina
Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa : warna, konsentrasi, bau dan PH-nya. Ada
kemungkinan air ketuban, urine atau secret vagina. Secret vagina ibu hamil pH: 4-5,
dengan kertas nitrazin tidak berubah warna, tetap kuning. Tes lakmus (tes Nitrazin), jika
kertas lakmus merah muda menjadi biru, menunjukkan adanya air ketuban (alkalis). pH
air ketuban 7-7,5, darah dan infeksi vagina dapat menghasilkan tes yang positif palsu.
Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek dan dibiarkan
kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran daun pakis.
b.Darah
Trombositopenia berat < 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan cepat
merupakan tanda sindrom HELLP (Saifuddin, 2009).
Kreatinin serum > 1,2 mg/dl.
Peningkatan kadar alanin dan aspartate aminotransferase (peningkatan SGPT, SGOT,
atau keduanya) (Sarwono, 2010).
c.Urin
Pada preeklampsia berat kadar proteinuriapositif, ³ 300 mg/24 jam atau ³ +2 dipstik
dalam pemeriksaan kualitatif.
Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 500 cc/ 24 jam (indikasi PEB)(Sarwono, 2010).
d.Pemeriksaan USG
Invasi trofoblastik yang abnormal pada arteri spiralis menyebabkan berkurangnya perfusi
plasenta dan meningkatnya tahanan terhadap aliran balik pada arteria uterin.
Bertambahnya velosimetri arteria uterinina yang ditentukan dengan ultrasonografi
Doppler pada trimester pertama atau kedua seharusnya dapat memberikan bukti tak
langsung proses ini sehingga berperan sebagai uji prediktif untuk preeklampsia
(Cunningham, 2012). Selain itu, untuk menilai apakah ada hiperplasentosis misalnya
mola hidatidosa, kehamilan multiple, hidrops fetalis, bayi besar yang dapat memicu
terjadinya preeklampsia. Kemudian, menilai fungsi plasenta (aliran darah janin) dan
pertumbuhan janin (adakah pertumbuhan terhambat janin).
Pemeriksaan ultrasonografi untuk menentukan besar janin, denyut jantung janin,
gangguan pertumbuhan janin, keadaan dan derajat kematangan plasenta, jumlah index
cairan amnion dan kualitas air ketubah. Sebuah AFI normal adalah 5,1-25 cm, dengan
oligohidramnion didefinisikan sebagai kurang dari 5,0 cm dan polihidramnion karena
lebih dari 25 cm. Pada keadaan oligohidramnion, cairan amnion disebut berkurang bila
kantung amnion hanya terlihat di daerah tungkai bawah dan disebut habis bila tidak
terlihat lagi kantung amnion. Pada keadaan ini aktivitas gerakan janin menjadi berkurang.
Struktur janin sulit dipelajari dan ekstremitas tampak berdesakan.
e. NST
Pemeriksaan kardiotokografi seperti nonstress test (NST) dan contraction stress test
untuk mengetahui kesejahteraan janin sebagai reaksi terhadap gerak janin atau kontraksi
uterus. Jika hasil reaktif, maka 98,8% menunjukan kemungkinan besar janin baik. Gerak
janin secara objektif dengan tokografi (10 kali/20 menit).

2.6.2 Identifikasi Masalah / Diagnosa Kebidanan


Diagnosa
G.... P.... Usia Kehamilan, Tunggal/ Kembar, Hidup, Letak/presentasi, intrauterine/
ekstrauterine (ditunjang pemeriksaan lain, misal USG), Keadaan jalan lahir kesan normal, KU ibu
dan janin, dengan (Preeklampsia dan Ketuban Pecah Prematur).
Masalah
Masalah: keluhan ibu diluar diagnosa medis namun dapat mempengaruhi keadaan ibu.
Masalah berdasarkan kebutuhan biopsikososiokultural pasien, dilakukan pengkajian untuk
memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga masalah dapat teratasi. Masalah yang dapat timbul pada
pasien PE dan KPP adalah : emosi seperti cemas pada ibu, dan keluarga karena belum adanya
kontraksi sedangkan air ketuban sudah keluar, khawatir terhadap keadaan kehamilan dan proses
persalinan, gangguan kenyamanan, istirahat, gangguan aktivitas, kejang.

2.6.3 Mengidentifikasi Diagnosa atau Masalah Potensial


Identifikasi diagnosa atau masalah potensial dibuat setelah mengidentifikasi diagnosa atau
masalah kebidanan. Langkah ini membutuhkan antisipasi dan bila mungkin dilakukan pencegahan.
Pada ibu : dapat terjadi eklampsia, kegagalan pada organ-organ hepar, ginjal, anak ginjal,
paru, jantung, Cerebro Vascular Accident (CVA) dan sepsis. Pada janin dapat terjadi prematuritas,
Intra Uterine Growth Retardation (IUGR), Gawat janin, Intra Uterine Fetal Death (IUFD).
2.6.4 Identifikasi kebutuhan segera
Pada kasus ibu bersalin dengan PE dan KPP, tindakan segera yang dilakukan diantaranya
dengan stabilisasi, pemantauan persalinan, pemantaun TTV, monitoring keluhan dan rujukan ke
FKTR.
1) Anjurkan ibu tirah baring (bedrest)
R/ Tirah baring dapat mengurangi resiko terjadinya tali pusat menumbung dan mengurangi
keluarnya air ketuban
2) Posisi miring kiri
R/ Merubah posisi ibu dari terlentang menjadi miring, sebagai usaha untuk memperbaiki aliran
darah balik, curah jantung, dan aliran darah uteroplasental. Perubahan dalam posisi ini juga
dapat membebaskan kompresi tali pusat.
3) Memasang oksigen
R/ Oksigen dipasang untuk kesejahteraan janin dan jika ibu sesak
4) Memasang infus dengan cairan Infus Ringer laktat (60–125 cc/jam) 500 cc.
R/ Untuk rehidrasi cairan.
5) Memasang kateter Folley
R/ penderita preeklampsia mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan oliguria.
Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas, tetapi faktor yang sangat menentukan
terjadinya edema paru dan oliguria ialah hipovolemia, vasospasme, kerusakan sel endotel, dan
penurunan gradien tekanan onkotik koloid. Oleh karena itu, monitoring input cairan (melalui
oral dan infus) dan output cairan (melalui urin) menjadi sangat penting. Dan kondisi ibu yang
KPP diusahakan agar tetap baring supaya air ketuban tidak semakin berkurang sehingga ibu
tidak perlu BAK ke kamar mandi.
6) Melakukan rujukan ke fasilitas kesehatan tingkat rujukan.
R/ untuk penanganan lebih lanjut.
2.6.5 Menyusun rencana asuhan
1. Beritahukan hasil pemeriksaan kepada ibu dan keluarga
R/ ibu dan kelurga mengerti dan mengetahui tentang kondisi ibu dan janin.
2. Beri KIE tentang PE dan KPP
R/ Informasi yang adekuat dapat mengurangi kecemasan dan ketakutan pasien.
3. Beri dukungan emosional
R/ Dukungan emosional seperti penjelasan tentang rencana perawatan, bantuan pemenuhan
rasa nyaman, dan perkembangan kondisinya membantu mengurangi rasa cemas ibu.
4. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi yang tepat.
a. Infus RL dengan 5% dextrose 60-125 cc/jam
b. Loading dose
• Injeksi 4g iv bolus (MgSO4 20%) 20cc selama 5 menit (jika tersedia MgSO4 40%,
berikan 10cc diencerkan dengan 10 cc aquabidest).
• Injeksi 10g im (MgSO4 40%) 25cc pelan, masing – masing pada bokong kanan dan
kiri berikan 5g (12,5cc). Dapat ditambahkan 1 ml Lidokain 2% untuk mengurangi
nyeri.
Maintenance Dose
Injeksi 5g im (MgSO4 40%) 12,5cc pelan, pada bokong bergantian setiap 6 jam.
R/ berguna untuk mencegah kejang atau anti kejang
c. Glukokortikoid diberikan pada kehamilan 32 – 34 minggu, 2 x 24 jam.
R/ untuk pematangan paru janin.
d. Nifedipin 5-10 mg setiap 8 jam dapat diberikan bersama dengan methyl dopa 250-500
mg setiap 8 jam. R/ berguna untuk antihipertensi
5. Siapkan surat persetujuan (informed consent).
R/ Dengan menyiapkan surat persetujuan diharapkan ibu dan keluarga setuju pada semua
tindakan kebidanan yang akan dilakukan oleh petugas dan sebagai bentuk tanggung jawab.
6. Memfasilitasi ibu dan keluarga untuk memilih faskes tingkat rujukan yang akan dituju.
R/ Disesuaikan antara kepemilikan jaminan kesehatan dengan FKTR.
7. Koordinasi rujukan dengan FKTR yang dituju.
R/ Kesiapan FKTR apakah masih mampu menampung pasien.
8. Lakukan observasi TTV terutama tekanan darah dan tanda-tanda eclampsia dan infeksi.
R/Deteksi dini perburukan keadaan.
9. Lakukan observasi DJJ dan tanda-tanda persalinan.
R/Pemantauan kesejahteraan janin dan mendeteksi tanda persalinan. Kejadian fetal distress
ditemukan lebih tinggi secara signifikan pada kehamilan dengan KPP. Janin yang mengalami
takhikardi, mungkin mengalammi infeksi intrauterine.
10. Anjurkan ibu untuk lebih banyak beristirahat.
R/ Patofisiologi preeklampsia adalah insufisiensi plasenta dan uterus sehingga istirahat
diperlukan untuk perbaikan kondisi janin.
11. Lakukan observasi balance cairan.
R/ Menghitung haluran urine total yang akurat setiap jam dan memantau terjadinya masalah
ginjal (oligouria) atau odema paru
12. Lakukan pemenuhan nutrisi, personal hygine
R/ Membantu untuk mengambilkan makanan dan minuman, dan membantu menyeka/
mengganti baju jika kotor karena pasien tidak boleh turun dari tempat tidur.
2.6.6 Implementasi
Pelaksanaan asuhan yang diberikan kepada ibu sesuai dengan keadaan dan kebutuhan ibu
yang mengacu pada rencana asuhan yang telah disusun.
2.6.7 Evaluasi
Untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan asuhan yang diberikan kepada pasien, mengacu
pada beberapa pertimbangan sebagai berikut :
a. Tujuan asuhan kebidanan
b. Efektivitas tindakan untuk mengatasi masalah yakni seberapa efektif dalam pemenuhan
kebutuhan bantuan
c. Hasil asuhan, bentuk nyata perubahan kondisi, respon pasien dan keluarga
Evaluasi tahap akhir manajemen kebidanan. Selanjutnya pendokumentasian dituliskan dalam
bentuk SOAP yakni :
S (Subjektif) : data dari pasien (riwayat, biodata)
O (Objektif) : hasil pemeriksaan umum, fisik, maupun penunjang.
A (Analisis) : kesimpulan dari data subjektif dan objektif berupa diagnosis,
masalah, dan diagnosa dan masalah potensial jika terdapat data-data
yang mendukung.
P (Penatalaksanaan) : pelaksanaan dari perencanaan asuhan kebidanan patologi dengan
kolaborasi.
BAB 3
TINJAUAN KASUS

BAB 4
PEMBAHASAN

BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan

5.2 Saran
5.2.1 Bagi Petugas di Fasilitas Kesehatan Primer
DAFTAR PUSTAKA

American College of Obstetrician and Gynecologist. 2013. Hypertesion in Pregnancy. Chapter


I :Classification of Hypertensive Disorder p. 13-15

Levero, Kenneth J dkk. 2009. Obstetric Williams. Jakarta: EGC

Manuaba, Ida dkk. 2007. Pengantar Kuliah obsetri. Jakarta: EGC

Barbara, Stright. 2005. Panduan Belajar Keperawatan Ibu-Bayi baru lahir. Jakarta: EGC

Handayani, Wiwik. 2008. Asuhan keperawatan pada klien dengan Gangguan Sistem Hematologi.
Jakarta. Salemba medika.

Angsar, M. Dikman. 2014. “Hipertensi dalam Kehamilan” dalam Ilmu Kebidanan Sarwono
Prawirohardjo editor Abdul Bari Saifuddin, Jakarta: YBPSP.

Barraco, R.D. dan Chiu, W.C. 2010. Practice Management Guidelines for the Diagnosis dan
Management of Injury in the Pregnant Pantient. Jurnal The EAST, 23 (5):123

Bobak, I.M, Lowdermilk, D.L., & Jensen, M.D. 2004. Maternity Nursing Edisi 4. Jakarta: EGC.

Bobak. 2004. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC

Coad, Jane, et al. 2007.AnatomidanFisiologiuntukBidan. Jakarta: EGC

Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL et al. 2005. Williams Obstetri 21nd. Jakarta: EGC.

Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL et al. 2013. Williams Obstetri 21nd. Jakarta: EGC.

Dasuki, D. 2000. Distosia  dalam Standar Pelayanan Medis RSUP Dr. Sardjito 2 nd  eds, cetakan 1.
Medika FK UGM. Yogyakarta

Fraser, Diane M, 2011. Myles Buku Ajar Bidan Edisi 14 Revisi. Jakarta : EGC

Handajani, Sutjiati. 2010. Manajemen Asuhan Kebidanan: Pengantar&ContohKasus. Jakarta: EGC

Kementerian RI. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan
Rujukan. Jakarta: Kemenkes RI.

Leveno KJ, Cunningham FG, Bloom SL et al. 2009. Obstetri Williams Panduan Ringkas. Jakarta:
EGC.

Maharani, Khusnul P. 2018. Hubungan Lama Pernikahan Sampai Hamil Dengan Kejadian
Preeklamsia Pada Primigravida di RSUD Dr M Soewandhie Surabaya. Skripsi. Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya

Mansjoer, A dkk. 2001. Kelainan Pada Persalinan Dalam Kapita Selekta Kedokteran 3th eds, jilid


pertama. Media Aesculapius FKUI: Jakarta

Mansjoer, Arif, dkk. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius.

Manuaba IBG, Manuaba IAC, Manuaba IBGF. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC
Manuaba, I.A.C. dkk. 2010. Gawat Darurat Obstetri Ginekologi & Obstetri Ginekologi Sosial
untuk Bidan. Jakarta : EGC.

Maryuni, D. K. 2017. Faktor Risiko Ketuban Pecah Dini. National Publich Health Journal,
11(3):133- 137

Mochtar, D. 1998. Letak Lintang (Transverse Lie) dalam Sinopsis Obstetri : Obstetri Fisiologi,


Obstetri Patologi 2ndeds. EGC. Jakarta.

Mochtar, Rustam. 2011. Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi. Jakarta: EGC

POGI. 2016. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran: Diagnosis dan Tata Laksana Ketuban
Pecah Dini. Jakarta: Perkumpulan Obstetri Ginekologi Indonesia (POGI) dan Himpunan
Kedokteran Feto Maternal (HKFM).

POGI. 2016. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran: Diagnosis dan Tata Laksana Pre-
Eklampsia. Jakarta: Perkumpulan Obstetri Ginekologi Indonesia (POGI) dan Himpunan
Kedokteran Feto Maternal (HKFM).

Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta : YBPSP

Prawirohardjo, Sarwono. 2016. Ilmu Kandungan. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.

Profil Kesehatan Indonesia diakses dari


http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17198/5/Chapter%20I.pdf

Saifuddin, Abdul B, dkk. 2010. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: Bina Pustaka Prawirohardjo

Saifuddin, Abdul. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta: YBPSP

Saminem. 2010. Dokumentasi Asuhan Kebidanan: Konsep dan Praktik. Jakarta: EGC

Sastrawinata, Sulaiman. 2005. Obstetri Fisiologi Bagian Obstetri Ginekologi FK Unpad Bandung.
Bandung: El Eman

Satgas Penakib. 2016. Penatalaksanaan Preeklamsia dan Perdarahan Pasca Persalinan. Surabaya:
Satgas Penakib.

Setiawan, Rizky Pradana. 2016. Hubungan Partas dan Kontrasepsi dengan Preeklampsia Ringan
di Puskesmas Jagir. Artikel Penelitian. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Airlangga, Surabaya.

Sibai, Baha M. 2011. Management of Obstetric Emergency. Philadelpia: Elsevier Saunders.

Varney, Helen, et al. 2007. Buku Ajar AsuhanKebidanan. Jakarta: EGC

Varney. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta : EGC

Wiknjosastro, H. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Yusrawati, dkk. 2014. Faktor Resiko Individual Pada Preeklamsia Pada RSUP Dr Djamil Padang.
Obgin Emas, Tahun V, Volume 1, Nomor 15.

BAB 3
TINJAUAN KASUS

ASUHAN KEBIDANAN PERSALINAN DENGAN USIA > 35 TAHUN + OBESITAS GRADE


II + PREEKLAMPSIA + ANEMIA + GAGAL INDUKSI + TINDAKAN SECTIO CAESARIA +
IUD PASCA PLASENTA DI RUANG BERSALIN RSUD DR. MOHAMAD SOEWANDHIE
SURABAYA

PENGKAJIAN
Masuk kamar bersalin : 01-03-2020 Jam 19.52 WIB
Tanggal pengkajian : 02-03-2020 Jam 22.00 WIB
Tempat : Kamar Bersalin RSUD dr. M. Soewandhie
Oleh : Kelompok
No RM : 581xxx

3.1 DATA SUBYEKTIF


1. Identitas
Nama Ibu : Ny. SA Nama Suami : Tn. J
Umur : 36 tahun Umur : 20 tahun
Pekerjaan : Tidak bekerja Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : SMP Pendidikan : SD
Alamat : Sawah Pulo-Surabaya
2. Alasan Masuk Ruang Bersalin
Pasien pindahan dari IGD Ponek RSUD Dr. Soewandhi dengan diagnosa G4P3003 UK 38 minggu,
THIU, presentasi kepala + tak inpartu +PEB + Obesitas grade I.
3. Keluhan
Perut terasa kenceng-kenceng & keluar lendir dari jalan lahir sejak tanggal 01-03-2020 jam
05.00 WIB.
4. Riwayat menstruasi
HPHT : 08-06-2019
HPL : 15-03-2020
Siklus menstruasi : Teratur, 28 hari
Lama Mestruasi : 5-6 hari
5. Riwayat kehamilan, persalinan, nifas dan KB yang lalu
Kehamilan Persalinan Anak Nifas KB

Suami Anak Tempa


UK Pylt Penol Jenis Pylt JK BB H/M Pylt ASI
ke ke t

1 1 9 bl - Bidan Spt B RS - L 3800 17 th - 2 th Suntik

1 2 9 bl - Bidan Spt B RS - P 3500 12 th - 2 th Suntik

1 3 9 bl - Bidan Spt B RS - P 3200 5 th - 2 th Pil

1 4 H A M I L I N I

6. Riwayat Kehamilan ini


Ibu melakukan ANC 8x di Puskesmas Sawah Pulo, 4X di PMB dan 3x di RS Muhammadiyah.
Di Puskesmas Sawah Pulo sudah dilakukan ANC terpadu. Selama pemeriksaan kehamilan ibu
diberikan vitamin untuk ibu hamil. Ibu merasa perut kenceng-kenceng dan keluar lendir dari
jalan lahir sejak tanggal 01-03-2020 jam 05.00 WIB, kemudian datang ke bidan dan dari bidan
dirujuk ke PONEK RSUD dr. M. Soewandhie Surabaya dengan diagnosa G4P3A0 UK 36/37
minggu T/H/I presentasi kepala dengan PEB. Terpasang infus RD 5% 12 tpm.
7. Riwayat kesehatan klien
Tidak menderita penyakit menurun seperti hipertensi, jantung, diabetes mellitus, ginjal, asma,
penyakit kelainan darah atau alergi tertentu. Juga tidak sedang menderita penyakit menular
seperti TB, hepatitis, TORCH, dan IMS. Tidak pernah di rawat atau menjalani operasi
sebelumnya. Tidak memiliki riwayat keturunan gemeli.
8. Riwayat kesehatan keluarga
Keluarga tidak pernah mempunyai penyakit menular seperti HIV/AIDS, TBC, hepatitis, dan
penyakit menurun seperti jantung, ginjal, hipertensi, DM dan tidak ada keturunan kembar.
9. Riwayat Pernikahan
Menikah satu kali selama 19 tahun, dan pertama menikah usia 18 tahun.
10. Riwayat psiko-sosio-kultural dan spiritual
Ini merupakan kehamilan yang keempat, tidak direncanakan namun kehamilan ini diterima
dengan baik oleh ibu dan keluarga, selama persalinan ibu ingin didampingi keluarga di dalam
ruang bersalin, sekali-kali menanyakan kemajuan persalinannya. Respon keluarga terhadap
persalinan ini baik. Tidak ada kebiasaan maupun tradisi keluarga yang mempengaruhi kehamilan
serta persalinan. Ibu memiliki jaminan kesehatan dan aktif sampai dengan saat ini. Lingkungan
sekitar tempat tinggal ibu mendukung kehamilan ibu. Selama hamil ibu rutin beribadah
mendoakan janin dalam kandungan dan supaya diberi kelancaran serta keselamatan selama
proses persainannya.Kehamilan ini merupakan kehamilan yang direncanakan, suami dan
keluarga senang akan kehamilan ini. Ibu berencana menggunakan kontrasepsi hormonal setelah
persalinan, Tidak ada budaya keluarga yang merugikan saat hamil dan bersalin seperti pantangan
makanan. Ibu pernah merokok dan suami merokok, ibu pernah mengkonsumsi alkohol. Selama
hamil pernah minum jamu. Pengambil keputusan dalam keluarga adalah bersama (Suami dan
Ibu). Ibu merasa cemas terhadap persalinannya karena pada kehamilan keempat ini
persalinannya lebih lama dari ke tiga persalinan sebelumnya.
11. Data fungsional kesehatan
Nutrisi : Makan terakhir jam 18.00 WIB makanan dari RS dan
dihabiskan.
Eliminasi : BAB terakhir 1 hari yang lalu, BAK terakhir jam 20.00 WIB
tidak ada keluhan
Aktivitas : Ibu hanya berbaring di tempat tidur,dan bangun untuk BAK ke
kamar mandi
Istirahat : Ibu tidak dapat tidur karena kontraksi semakin lama semakin
sering dan lebih sakit.
Personal Hygiene : Ibu sudah mandi di kamar mandi ruang bersalin.
Pola Seksual Terakhir berhubungan seksual sekitar 1 minggu yang lalu.

3.2 DATA OBJEKTIF


1. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Baik Tinggi badan : 155 cm
Kesadaran : Compos mentis Lila : 36 cm
Tekanan darah : 166/95 mmHg BB sebelum hamil : 70 kg (IMT 29,55)
Nadi : 81 x/menit BB saat ini : 81 kg (IMT 33,71)
Pernafasan : 20 x/menit
2. Pemeriksaan Fisik
Wajah : konjungtiva tidak pucat, sklera putih
Gigi : Tidak ada periodontitis
Payudara : Bersih, puting susu menonjol, kolostrum belum keluar
Abdomen : tidak terdapat bekas jahitan operasi
Leopold I : TFU pertengahan prosesus xyfoideus-pusat, pada bagian atas
perut ibu teraba lunak, kurang bulat dan tidak melenting
Leopold II : teraba panjang keras seperti papan pada bagian kanan perut
ibu, dan teraba bagian-bagian kecil janin pada bagian kiri
perut ibu
Leopold III : pada bagian bawah perut ibu teraba keras, bulat, melenting
dan bisa digoyangkan.
Leopold IV : Tidak dilakukan
Palpasi WHO 4/5
TFU Mc D : 34cm
TBJ : (34-11) x 155 = 3.565 gram
DJJ : 158x/ menit
HIS : 1x10 menit lama 15 detik
Genetalia : Terdapat pengeluaran lendir servik dari jalan lahir
VT Ø 1 cm, konsistensi kenyal, ketuban (+), presentasi
kepala, denominator UUK depan H I
Ekstremitas : tidak terdapat oedema pada ekstremitas atas maupun bawah,
juga tidak terdapat varises. Terpasang infus RL 12 tpm
menetes lancer pada tangan kiri.

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium (17-09-2019)
Hb : 11,6 gr/dL
Golongan darah : O (+)
Albumin urine : (-)
Reduksi urine : (-)
RPR : NR
HbSAg : NR
PITC : NR

Hasil Laboratorium di Ruang Bersalin RSUD dr. Soewandhi Surabaya


Tanggal 01-03-2020 jam 23.20 WIB

Pemeriksaan HasilPemeriksaan Nilai Normal


DARAH LENGKAP
Hb L 8,7 g/dl 11,7 – 15,5
Leukosit 6.46 10^3/uL 3.60 – 11.00
Hematokrit L 29,2 % 35-47
Trombosit 299.000 10^3/uL 150.000 – 400.000
URINE
Protein Negatif Negatif
Glukosa Negatif Negatif

4. Data Rekam Medis


Tanggal 01-03-2020 Jam 19.52WIB
S : Kenceng-kenceng
O : KU baik, Kesadaran composmentis, TD 166/91mmHg; Suhu36,8 0C; Nadi
85x/menit; RR:20x/menit. TFU: 34cm, letak bujur, presentasi kepala, DJJ
144x/menit. VT oleh bidan jaga Ø 1 cm, eff 25 %, konsistensi kenyal, presentasi
kepala, penurunan HI, ketuban (+).
A : G4P3003 UK 38 minggu, janin tunggal, hidup, intra uterin, presentasi kepala, tak
inpartu + PEB+Obesitas grade II
P : - Jelaskan hasil pemeriksaan dan rencana tindakan
- Kolaborasi dengan dokter SpOG (lapor dokter jaga→lapor DPJP)

Tanggal 01-03-2020 Jam 00.30WIB


S : Kenceng-kenceng jarang
O : KU baik, Kesadaran composmentis, TD 166/91mmHg; Suhu36,8 0C; Nadi
85x/menit; RR:20x/menit. TFU: 34cm, letak bujur, presentasi kepala, DJJ
144x/menit. VT oleh bidan jaga Ø 1 cm, eff 25 %, konsistensi kenyal, presentasi
kepala, penurunan HI, ketuban (+).
A : G4P3003 UK 38 minggu, janin tunggal, hidup, intra uterin, presentasi kepala, tak
inpartu + PEB+Obesitas grade I+ Anemia
P : - Jelaskan hasil pemeriksaan dan rencana tindakan
- Kolaborasi dengan dokter SpOG (lapor dokter jaga→lapor DPJP)

4.3 ANALISA
G4P3003 UK 38 minggu, janin tunggal, hidup, intra uterin, presentasi kepala, tak inpartu +
PEB+Obesitas grade I+ Anemia

3.4 PENATALAKSANAAN
Tanggal/ Penatalaksanaan Pelaksana
Jam
02/03/2020 - Menjelaskan hasil pemeriksaan pada ibu, ibu Bidan dan
21.15 mengerti Risqi
- Mengajarkan ibu melakukan teknik relaksasi, ibu
melakukan
- Melakukan observasi Tanda vital dan CHPB
- Memfasilitasi ibu dalam memilih posisi yang
nyaman selam proses persalinan
- Memberikan dukungan dan semangat dalam
menghadapi proses persalinan

TABEL PEMANTAUAN
Tanggal/ TD Nadi Suhu RR Kontraksi DJJ Ket
o
Pukul (mmHg) (x/menit) C (x/menit) (x/menit)
2//3/2020 168/96 79 36,6 21 10.1.25detik 144
21.00
00.00 - 80 - - 10.1.25detik 132
04.00 - 78 - - 10.1.25detik 138
05.00 - 80 - - 10.4.45detik 132
CATATAN PERKEMBANGAN

Tanggal 3 Maret 2020 pukul 16.00 WIB


S : nyeri rahim bagian bawah
O :
Keadaan umum : baik
Kesadaran : composmentis
TD : 150/90 mmHg Nadi : 78 x/menit
RR : 18 x/menit Suhu : 36,8oC
Leopold I : teraba bagian lunak tidak melenting di fundus
Leopold II : teraba bagian kecil janin di sebelah kiri, teraba bagian keras seperti
papan di sebelah kanan
Leopold III : teraba bulat melenting
Leopold IV : sudah masuk PAP, divergen
TFU : pertengahan pusat dan px
His : 3x30”/ 10 menit ; DJJ: 132xmenit
A : G4P3003 UK 38 minggu, janin tunggal, hidup, intra uterin, presentasi kepala, inpartu kala I fase
aktif + PEB+Obesitas grade I+ Anemia

P :
Tgl/ Jam Penatalaksanaan Pelaksana
16.00 WIB Menjelaskan hasil pemeriksaan, ibu Renggita
mengerti.
16.10 WIB Memberikan HE pada ibu untuk mengatur Renggita
pernafasan dan manajemen nyeri
16.30 WIB Membantu rehidrasi dengan jumlah cairan Renggita
yang dibatasi dan memberikan HE ibu untuk
membatasi konsumsi buah-buahan yang
berair.
Melakukan kolaborasi dengan dokter Renggita
pemberian Nifedipine 1x10 mg dan 1x250mg
18.00 WIB Melakukan pemeriksaan dalam, pembukaan Bidan
tetap Ø 7cm, penurunan kepala H-I
18.30 WIB Mengatur ulang tetesan OD dari 20 tpm ke Renggita
40 tpm sesuai advice DSOG
P: lakukan observasi CHPB tiap 30 menit
19.00 WIB Direncanakan cito SC Bidan

Anda mungkin juga menyukai