Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH PENYELESAIAN SENGKETA MEDIS

Dosen pembimbing : Bapak Prasko, S.Si.T, M.H

Disusun oleh:

Putri Amalia Mahsun

NIM. P1337425120096/1B

Program Studi D-III Kesehatan Gigi

Jurusan Keperawatan Gigi

Politeknik Kesehatan Kemenkes Semarang

2020
Kata Pengantar

Puja dan puji syukur saya haturkan kepada Allah Swt., yang telah
memberikan banyak nikmat, taufik, dan hidayah sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Penyelesaian Sengketa Medis”
dengan baik tanpa adanya halangan yang berarti.

Makalah ini telah saya selesaikan dengan maksimal berkat kerja


sama dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, saya sampaikan
banyak terima kasih kepada segenap pihak yang telah berkontribusi
secara maksimal dalam penyelesaian makalah ini.

Di luar itu, penulis sebagai manusia biasa menyadari sepenuhnya


bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik dari
segi tata bahasa, susunan kalimat maupun isi. Oleh sebab itu dengan
segala kerendahan hati, saya selaku penyusun menerima segala kritik
dan saran yang membangun dari pembaca. Dengan makalah ini saya
berharap dapat membantu pembaca sekalian dalam mengetahui
tanggung jawab hukum dari profesi terapis gigi dan mulut.

Demikian yang bisa saya sampaikan, semoga makalah ini dapat


menambah wawasan ilmu pengetahuan dan memberikan manfaat nyata
untuk masyarakat luas.

Semarang, 17 Oktober 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam amandemen UUD tahun 1945 tercantum “Setiap
orang berhak mendapatkan pelayanan Kesehatan”. Hak untuk
sehat oleh banyak orang sering ditafsirkan sebatas hak untuk
mendapatkan pelayanan Kesehatan, khususnya pelayanan
medik/kuratif. Pelayanan Kesehatan kuratif hanya Sebagian kecil
dari hak untuk sehat karena sehat bukan hanya “tersembuhkan dari
penyakit” tetapi meliputi hal yang jauh lebih luas. Pelayanan
kesehatan lainnya meliputi promotif, preventif dan rehabilitatif.
Dokter berkewajiban memberikan pelayanan medis sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedur operasional sesuai
dengan kode etik kedokteran, merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang pasien, bahkan setelah pasien meninggal
dunia, serta menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti
perkembangan ilmu kedokteran.
Oleh karena itu pada dasarnya, seorang dokter dalam
memberikan pelayanan medik kepada pasien selalu dituntut untuk
mengutamakan rasa puas pasien (patient statisfaction) yaitu secara
bertanggung jawab berupaya demi kesembuhan pasien.Salah satu
prinsip dalam etika kedokteran adalah ‘primum non nocere’ yang
maksudnya adalah bermaksud baik dan tidak ingin merugikan.
Hal yang perlu dipahami terhadap pelayanan kesehatan
yang dilakukan oleh dokter bahwa pelayanan kesehatan yang
dilakukan dokter merupakan sebuah usaha untuk menyembuhkan
dan meningkatkan derajat kesehatan, yang memiliki kemungkinan
berhasil tetapi juga bisa gagal.
Kecelakaan medis dapat terjadi karena malpraktik medik
ataupun adanya suatu risiko medis. Malpraktik terjadi karena
kesalahan atau kelalaian dokter dalam melakukan tindakan medik
dan dokter tidak melaksanakan profesinya sesuai standar
pelayanan medis. Pada risiko medis, dokter sudah melaksanakan
pelayanan medis sesuai standar tetapi terjadi risiko pada
pelayanan medis, seperti adanya efek samping suatu obat atau
adanya reaksi hipersensitif terhadap obat tertentu. Keadaan
tersebut dapat menimbulkan terjadinya konflik atau sengketa antara
dokter dengan pasien. Sarana untuk menyelesaikan sengketa di
bidang kesehatan pada dasarnya dapat ditempuh 3 (tiga) cara.
Pertama, negosiasi atau alternatif sengketa (ADR); kedua,
arbitrase; dan ketiga melalui lembaga peradilan.
Bila terjadi sengketa medik, penyelesaiannya yang ada pada
saat ini, ada dua jalur yaitu jalur Litigasi dan jalur Non Litigasi. Dari
ke 2(dua) jalur tersebut ada 5 (lima ) lembaga penyelesaian. Ke 5
(lima) lembaga penyelesaian sengketa medik tesebut adalah:
Lembaga Peradilan Hukum Perdata, Lembaga Peradilan Hukum
Pidana, Majelis Kehormatan etika kedokteran Indonesia(MKEK),
Panitia Pertimbangan dan Pembinaan etik kedokteran (P3EK),
serta melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia(MKDKI).

1.2 Rumusan Masalah


1. Definisi sengketa medis
2. Bagaimana sengketa medis dalam dimensi hukum dan dimensi
pelayanan Kesehatan
3. Contoh kasus sengketa medis dan penyelesaiannya
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi sengketa medis
2. Untuk mengetahui sengketa medis dalam dimensi hukum dan
dimensi pelayanan Kesehatan
3. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian pada kasus
sengketa medis.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sengketa Umum


Dalam kosa kata Inggris terdapat 2 istilah, yakni “conflict”
dan “dispute” yang keduanya mengandung pengertian tentang
adanya perbedaan kepentingan diantara kedua belah pihak atau
lebih, tetapi keduanya dapat dibedakan. Conflict sudah di
terjemahkan ke Bahasa Indonesia yakni “konflik”, sedangkan
“dispute” dapat diartikan dengan sengketa.
Konflik adalah sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih
dihadapkan pada perbedaan kepentingan, tidak dapat berkembang
dari sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan hanya
memendam perasaan tidak puas atau keperihatinannya. Konflik
berkembang atau berubah menjadi sebuah sengketa apabila pihak
yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau
keperihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang
dianggap sebagai penyebab kerugian atau pihak lain. Ini berarti
sengketa merupakan kelanjutan dari konflik. Sebuah konflik yang
tidak dapat terselesaikan akan menjadi sengketa.
2.2 Definisi Sengketa Medis
Sengketa medis adalah sengketa yang terjadi antara pasien
atau keluarga pasien dengan tenaga Kesehatan, atau antara
pasien dengan rumah sakit/fasilitas Kesehatan. Biasanya yang
dipersengketakan adalah hasil atau hasil akhir pelayanan
Kesehatan dengan tidak memperhatikan atau mengabaikan
prosesnya. Padahal dalam hukum Kesehatan diakui bahwa tenaga
Kesehatan hanya bertanggung jawab atas proses atau upaya yang
dilakukan (Insapanning Verbintennis) dan tidak
menjamin/menggaransai hasil akhir (Resultalte Verbintennis).
Biasanya pengaduan dilakukan oleh pasien atau keluarga
pasien ke instansi kepolisian dan juga ke media massa. Akibatnya
sudah dapat diduga pers menghukum tenaga Kesehatan
mendahului pengadilan dan menjadikan tenaga Kesehatan
sebagai bulan-bulanan, yang tidak jarang merusak reputasi nama
dan juga karir tenaga Kesehatan ini.
Sengketa yang terjadi antara dokter dengan pasien biasanya
disebabkan oleh kurangnya informasi dari dokter, padahal informasi
mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan tindakan
medis yang dilakukan oleh dokter merupakan hak pasien, hal
tersebut terjadi karena pola paternalistik yang masih melekat dalam
hubungan tersebut. Upaya penyelesaian sengketa melalui
peradilan umum yang selama ini ditempuh tidak dapat memuaskan
pihak pasien, karena putusan hakim dianggap tidak memenuhi rasa
keadilan pihak pasien. Hal ini disebabkan sulitnya pasien atau
Jaksa Penuntut Umum maupun Hakim untuk membuktikan adanya
kesalahan dokter. Kesulitan pembuktian dikarenakan minimnya
pengetahuan mereka mengenai permasalahan-permasalahan
teknis sekitar pelayanan medik.
Bagi pihak dokter atau sarana pelayanan kesehatan,
penyelesaian sengketa medik melalui pengadilan / secara litigasi
berarti mempertaruhkan reputasi yang telah dicapainya dengan
susah payah, dan dapat menyebabkan kehilangan nama baik.
Meskipun belum diputus bersalah atau bahkan putusan akhir
dinyatakan tidak bersalah, nama baik dokter atau sarana pelayanan
kesehatan sudah terkesan jelek karena sudah secara terbuka di
media diberitakan telah diduga melakukan kesalahan dan akan
menjadi stigma yang jelek pula dalam masyarakat yang pada
gilirannya menyebabkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
dokter atau sarana pelayanan kesehatan tersebut akan turun.
Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran secara implisit menyebutkan bahwa sengketa medik
adalah sengketa yang terjadi karena kepentingan pasien dirugikan
oleh tindakan dokter atau dokter gigi yang menjalankan praktik
kedokteran. Pasal 66 Ayat (1) UU Praktik Kedokteran yang
berbunyi: setiap orang yang mengetahui atau kepentingan
dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan
praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua
majelis Kehormatan Disiplin Kedoktern Indonesia. Dengan
demikian sengketa medik merupakan sengketa yang terjadi antara
pengguna pelayanan medik dengan pelaku pelayanan medik dalam
hal ini pasien dengan dokter.

2.3 Dasar Hukum Sengketa Medik


Sengketa medik tidak dimuat secara eksplisit dalam
Undang-undang No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan, tetapi UU
tersebut mengatur mengenai ganti rugi akibat kesalahan atau
kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.
Pasal 58 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan, menyatakan: (1) Setiap orang berhak menuntut ganti
rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau
penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat
kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang
diterimanya. (2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan
tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan
seseorang dalam keadaan darurat. (3) Ketentuan mengenai tata
cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 29 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan mengamanatkan penyelesaian sengketa dilakukan
terlebih dahulu dengan mediasi.

2.4 Dimensi Hukum Sengketa Medik dalam Dimensi


Pelayanan Kesehatan
Bila kita berbicara sengketa medis dalam pelayanan kesehatan
ada dua hal yang perlu mendapat perhatian serius karena kedua
memberikan konsekwensi hukum yang menuntut pertanggungan
jawab dokter sebagai tenaga kesehatan dan atau rumah sakit/klinik
sebagai fasilitas kesehatan.
1. KELALAIAN MEDIS
K elalaian medis adalah sebuah sikap atau tindakan yang
dilakukan oleh dokter/dokter gigi atau tenaga kesehatan lainnya
yang merugikan pasien. Menurut kepustakaan ada beberapa
pandangan tentang kelalaian medis. Secara umum kelalaian
medis dimaknai sebagai melakukan sesuatu yang tidak
semestinya dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang
seharusnya dilakukan. Pendapat lain juga mengatakan kelalaian
adalah tidak melakukan sesuatu apa yang seorang yang wajar
yang berdasarkan pertimbangan biasa yang umumnya
mengatur peristiwa manusia, akan melakukan, atau telah
melakukan sesuatu yang wajar dan hati-hati justru tidak akan
melakukan. Pandangan lain menyatakan kelalaian adalah suatu
kegagalan untuk bersikap hati-hati yang secara wajar dilakukan
dalam ukuran umum.
Risiko pengobatan yang tidak diinginkan dalam proses
pengobatan dapat terjadi karena empat hal, yaitu: Dokter yang
mengobati melakukan praktik di bawah standar profesi,
melanggar etik, melanggar disiplin, dan melanggar hukum“
Dalam perpektif hukum perdata, gugatan atas dugaan
kelalaian medik dapat menggunakan pasal-pasal berikut:
a. Wanprestasi, dengan memakai Pasal 1239 KUHPerdata.
Pasal ini dapat dipakai jika hubungan hukum yang terbentuk
antara dokter-pasien adalah perjanjian yang berorientasi
hasil (resultant verbintenis).
b. Kelalaian dengan menggunakan Pasal 1366 KUHPerdata
sebagai berikut.
“Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian
yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian
yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya”.
Dalam perspektif hukum pidana dikenal adanya kesalahan
(schuld), baik yang berupa kesengajaan (opzet, dolus) maupun
kelalaian / kealpaan (culpa). Kesengajaan yang sering disebut
Criminal Malpractice sangat kecil angka kejadiannya; contohhya
antara lain adalah melakukan abortus tanpa indikasi medik dan
euthanasia aktif.
Kelalaian yang dilakukan dokter sesuai tolak ukur kelalaian
berat atau culpa lata (grove schuld, gross negligence) seperti
yang diatur dalam KUHP pada pasal 359 dan 360 . Berikut
adalah pasal-pasal KUHP yang memungkinkan dikenakan
kepada dokter dan diindikasikan sebagai tindakan pidana
adalah:
a. Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan
b. Pasal 359 KUHP yaitu karena kesalahannya menyebabkan
orang mati
c. Pasal 360 KUHP yaitu karena kesalahannya menyebabkan
orang luka berat.
d. Pasal 361 KUHP yaitu karena kesalahannya dalam
melakukan suatu jabatan atau pekerjaannya hingga
menyebabkan mati atau luka berat akan dihukum lebih berat
e. Pasal 322 KUHP tentang pelanggaran rahasia kedokteran
f. Pasal 346, 347, 348 KUHP yang berkenaan dengan abortus
provocatus.
g. Pasal 344 KUHP tentang euthanasia
h. Pasal 304 KUHP sebagai pembiaraan
Tuntutan atau gugatan kelalaian medik yang dialamatkan ke
dokter pada hakekatnya adalah proses hukum yang ingin
meminta pertanggungjawab atas kesalahan yang dibuatnya,
baik yang berupa kelalaian maupun kesengajaan. Dengan kata
lain tanggungjawab dokter lah yang menjadi obyek tuntutan
ataugugatan kelalaian medik, dengan wujud tanggungjawab
dokter dapat berbentuk ganti rugi atau hukuman lain sesuai
keputusan hakim.
2. PEMBIARAN MEDIS
Pembiaran medik secara umum belum dikenal secara luas di
kalangan masyarakat baik itu profesi hukum, pembiaran medik
merupakan salah satu tindakan kedokteran dimana dalam
memberikan pelayanan kesehatan tidak sesuai standar
prosedur yang berlaku, adapun dapat dikatakan pembiaran
medik adalah suatu tindakan dokter tidak sungguh-sungguh
atau tidak memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien
dengan berbagai alasan yang terkait dengan sistem pelayanan
kesehatan.
Pembiaran medik ini sering kali terjadi di rumah sakit terlebih
khusus bagi masyarakat atau pasien miskin dengan alasan
harus memenuhi beberapa syarat administrasi, pembiaran
medik juga sering terjadi pada Instalasi Gawat Darurat (IGD)
atau Unit Gawat Darurat (UGD) setiap pasien yang masuk ke
unit tersebut seringkali tidak diberikan pelayanan yang memadai
sehingga dapat terjadi pembiaran, dalam hal tersebut, dokter
atau tenaga kesehatan yang bertugas di unit tersebut harus
bertanggung jawab, dalam pertanggung jawab tersebut juga
tidak lepas dari peran rumah sakit yang melaksanakan
pelayanan kesehatan.
Kasus pembiaran medik yang berdampak pada kecacatan atau
kematian kepada pasien menimbulkan dampak hukum yang
sangat besar, namun begitu karena ketidaktahuan atau kurang
pahamnya pasien dalam sistem pelayanan kesehatan menjadi
suatu hal yang biasa saja. Dalam sistem hukum Indonesia
pembiaran medik secara umum belum tercantum secara jelas
namun dalam hal yang demikian dapat diasumsikan kedalam
beberapa peraturan perundang-undangan yang ada misalnya:
a. KUHPerdata
Dalam pasal 1366 KUHPerdata, bahwa setiap orang
bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan perbuatannya tetapi juga untuk kerugian
yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya,
dalam asumsi pasal tersebut kelalaian adalah suatu
Tindakan yang dilakukan oleh tenaga Kesehatan yang
bertugas di rumah sakit dalam memberikan pelayanan
Kesehatan kepada pasien tentunya merupakan tanggung
jawabnya, jika terjadi pembiaran medis bahwa karena
hal-hal yang berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
mengabaikan pasien dengan alas an tertentu misalnya
karena tidak ada biaya, atau penjaminnya, sehingga
mengakibatkan terjadinya kecacatan dan kematian bagi
pasien, maka tenaga Kesehatan dapat digugat perdata
dalam hal kelalaian dari tugas dan tanggung jawabnya
yang seharusnya dikerjakan.
b. KUHP
Pasal 304 KUHP, Sengaja menempatkan atau
membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya, dia wajib
memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan
kepada orang itu. Dalam hal demikian, tenaga kesehatan
dengan sengaja membiarkan pasien yang masuk di
rumah sakit dan membutuhkan perawatan namun
dengan kelalaiannya membiarkan pasien sehingga
pasien mengalami kecacatan dan atau kematian, maka
tenaga kesehatan tersebut dapat dituntut melakukan
suatu tindakan kejahatan pidana, berkaitan dengan
kenyataan yang mempunyai arti dibidang pidana, antara
lain apakah tindakan, atau perbuatan dan sebab-akibat
yang terjadi tersebut memenuhi kualifikasi suatu
kejahatan atau tidak. Berkaitan dengan kenyataan yang
dapat dijadikan perkara pidana yang artinya bahwa ada
korban yang terancam atau dibahayakan jiwanya dan
apakah kejadian tersebut murni karena faktor manusia
dan bukan alam
c. Undang- Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
dalam ketentuan pidana tidak secara jelas mengatur
tentang tindak pidana kesehatan. Pasal 190
menyebutkan pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan
dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau
pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang
dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama
terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau
Pasal 85 (ayat 2) di pidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.
200.000.000,-. Dalam hal pasal ini tidak dengan secara
tegas hanya mengatur tentang ketentuan pidana yang
terjadi di unit gawat darurat tetapi tidak dengan pasien
umum yang berada di rumah sakit, untuk pembiaran
medik ini bisa terjadi pada unit gawat darurat ataupun
untuk pelayanan umum karena pembiaran medik terjadi
pada pasien yang kurang mampu.
2.5 Mediasi
1. Pengertian Mediasi
Salah satu penyelesaian sengketa medis adalah dengan
adanya mediasi. Berdasarkan bunyi Pasal 1 ayat (7) Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan berbunyi bahwa “mediasi adalah cara
penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk
memperoleh kesepatakan dengan bantuan seorang mediator”.
Sedangkan menurut Takdir Rahmadi mendefinisikan mediasi
adalah suatu proses penyelesaian sengketa antara kedua belah
pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan
bantuan pihak netrall yang tidak mempunyai kewenangan
memutus.
2. Karakteristik dan Keunggulan Mediasi
Menurut Yahya Harahap keuntungan substansi dan
psikologis mediasi ada beberapa macam, yaitu:
a. Penyelesaian bersifat informal
Pendekatan melalui Nurani, bukan berdasarkan hukum.
Kedua belah pihak melepaskan diri dari kekakuan istilah
hukum (legal term) kepada pendekatan yang bercorak
Nurani dan moral. Menjauhkan dojtrin dan asas pembuktian
ke arah persamaan presepsi yang saling menguntungkan.
b. Tidak ada campur tangan pihak lain dalam menyelesaikan
sengketa.
Maksudnya disini penyelesaian tidak diarahkan kepada
kemauan dan kehendak hakim atau arbiter, tetapi
diselesaikan oleh pihak sendiri sesuai dengan sengketa
yang dipermasalahkan.
c. Jangka waktu penyelesaian pendek
Pada umumnya penyelesaian sengketa dengan mediasi
hanya dengan jangka waktu selama satu dua minggu atau
paling lama satu bulan, mediasi berjalan dengan baik asal
ada ketulusan dan kerendahan hati dari para pihak, itu
sebabnya disebut bersifat speedy.
d. Biaya ringan
Mediasi tidak memerlukan biaya. Meskipun ada, sangat
murah atau zero cost. Hal ini merupakan kebalikan dari
system peradilan atau arbitrase yang membutuhkan biaya
mahal.
e. Tidak perlu aturan pembuktian
Tidak ada pertarungan yang sengit antapihak untuk saling
membantah dan menjatuhkan pihak lawan melalui system
dan prinsip pembuktian yang formil dan teknis yang sangat
menjemukan seperti halnya proses arbitase dan pengadilan.
f. Proses penyelesaian bersifat konfidensial
Hal lain yang perlu dicatat, penyelesaian melalui perdamaian
benar-benar bersifat rahasia, penyelesaian tertutup untuk
umum yang tahu hanya mediator. Dengan demikian tetap
terjaga nama baik para pihak dalam pergaulan
bermasyarakat. Jika dikaitkan dengan masalah medik maka
dokter sebagai salah satu pihak sudah tentu nama baik
merupakan hal yang paling utama mengingat dokter menjual
jasa pelayanan.
g. Hubungan para pihak bersifat kooperatif
Oleh karena yang berbicara dalam penyelesaian adalah hati
nurani, terjalin penyelesaian berdasarkan kerja sama.
Masing-masing pihak menjauhkan dendam dan
permusuhan.
h. Komunikasi dan focus penyelesaian
Dalam mediasi terwujud komunikasi aktif para pihak.
Komunikasi tersebut bertujuan untuk menjalin hubungan
baik antara para pihak.
i. Hasil dituju sama menang
Hasil yang dicari dan dituju para pihak dalam mediasi dapat
dikatakan sangat luhur yakni sama-sama menang (win-win
solution), dengan menjauhkan diri dari sifat egoistik dan
serakah.
j. Babas emosi dan dendam
Penyelesaian sengketa melalui mediasi meredam sikap
emosional kearah suasana bebas emosi selama
berlangsungnya mediasi, dengan kata lain mediasi
menghendaki rasa kekeluargaan dan persaudaraan.
3. Jenis Mediasi
Ada 2 jenis mediasi menurut tempatnya, yaitu:
a. Mediasi di Pengadilan
Proses mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa
dapat dilakukan di pengadilan. Adapun prosedur
penyelesaian sengketa melalui mediasi peradilan dalam
PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi dapat
dibedakan menjadi dua tahap, yaitu tahap pramediasi dan
tahap mediasi.
b. Mediasi di Luar Pengadilan
Mediasi diluar pengadilan dapat kita temukan dalam
beberapa Peraturan Perundang-undangan, yang
membentuk suatu badan penyelesaian sengketa. PERMA
No. 1 Tahun 2008 juga memuat ketentuan yang
menghubungkan antara praktik mediasi di luar pengadilan
yang menghasilkan kesepakatan. Pasal 23 ayat (1), (2), dan
(3) PERMA No.1 Tahun 2008 mengatur sebuah prosedur
hukum untuk akta perdamaian dari pengadilan tingkat
pertama atas kesepakatan perdamaian di luar pengadilan
2.6 Kasus Sengketa Medis
Salah satu contoh sengketa medik adalah kasus Josua
Situmorang yang meninggal dunia setelah menerima tindakan
pencabutan gigi oleh drg. Didi Alamsyah. Tindakan tersebut
dilakukan tanpa adanya Informed Consent dan dilakukan pada saat
Josua mengalami pembengkakan pada gusinya. Saat ini keluarga
Josua berniat untuk menuntut drg. Alamsyah dengan dugaan
malpraktek. Tuntutan atas drg. Alamsyah dapat berupa tuntutan
pidana dan perdata dan sekaligus secara etika karena bukan hanya
norma hukum yang dilanggar tetapi juga norma-norma dalam etika
profesi kedokteran atau etikolegal.
2.7 Penyelesaian Kasus Sengketa Medis
Ada dua jalur penyelesaian kasus sengketa medis yaitu jalur
Litigasi dan jalur Non Litigasi. Dari ke 2(dua) jalur tersebut ada 5
(lima ) lembaga penyelesaian. Ke 5 (lima) lembaga penyelesaian
sengketa medik tesebut adalah: Lembaga Peradilan Hukum
Perdata, Lembaga Peradilan Hukum Pidana, Majelis Kehormatan
etika kedokteran Indonesia(MKEK), Panitia Pertimbangan dan
Pembinaan etik kedokteran (P3EK), serta melalui Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia(MKDKI).
Metode yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan
pendekatan yuridis normatif jenis perbandingan, teknik
pengumpulan data menggunakan data sekunder dari bahan hukum
primer, sekunder, dan tersier. Meneliti masalah normatif, membuat
perbandingan antar penyelesaian sengketa medik melalui jalur
litigasi dan nonlitigasi dengan disertai contoh kasus-kasus
penyelesaian sengketa, sehingga dapat diketahui dengan jelas.
Hasil penelitian penyelesaian sengketa medik dapat dilakukan
melalui jalur litigasi dan jalur nonlitigasi.
Pada jalur litigasi diselesaikan melalui peradilan hukum
perdata dan peradilan hukum pidana, sedangkan melalui jalur
nonlitigasi diselesaikan melalui MKEK, P3EK, dan MKDKI. Proses
penyelesaian sengketa medik melalui peradilan perdata,
dilaksanakan oleh lembaga pengadilan Negeri, Pengadilan tinggi
pada tingkat banding, Mahkamah Agung pada tingkat kasasi
dengan dugaan adanya perbuatan pelanggaran hukum-hukum
perdata, sedangkan penyelesaian perkara melalui peradilan pidana
diselesaikan melalui lembaga yang sama seperti peradilan perdata,
dengan dugaan adanya pelanggaran tindak pidana oleh dokter.
Pada jalur nonlitigasi, proses penyelesaian sengketa medik
dilaksanakan oleh lembaga MKEK cabang, MKEK wilayah pada
tingkat banding, MKEK pusat pada tingkat banding kedua, bila
diduga adanya pelanggaran etik kedokteran terhadap tindakan
dokter, demikian pula penyelesaian sengketa medik melalui P3EK,
bila pengaduan diduga berupa pelanggaran etika kedokteran,
sedangkan penyelesaian sengketa medik melalui MKDKI bila
diduga adanya perbuatan dokter yang melanggar disiplin
kedokteran.
Perbandingan penyelesaian dari lembaga-lembaga yang ada
dari ke 2(dua) jalur tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Didapat banyak perbedaan dari masing-masing lembaga tersebut
antara lain: tentang badan atau lembaga yang menanganinya,
dasar hukum pelaksanaan penyelesaian sengketa medik dari
lembaga-lembaga tersebut, materi/objek sengketa, pihak yang
bersengketa, sifat persidangan dari lembaga-lembaga, prosedur
acara, lokasi persidangan, pejabat pelaksana, pendamping
terhadap pihak yang bersengketa.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Sengketa Medis adalah sengketa yang terjadi antara pasien atau


keluarga pasien dengan tenaga kesehatan atau antara pasien dengan
rumah sakit / fasilitas kesehatan. Sengketa yang terjadi antara dokter
dengan pasien biasanya disebabkan oleh kurangnya informasi dari
dokter, padahal informasi mengenai segala sesuatu yang berhubungan
dengan tindakan medis yang dilakukan oleh dokter merupakan hak
pasien.Dua hal yang perlu mendapat perhatian serius oleh dokter
karena kedua memberikan konsekwensi hukum yang menuntut
pertanggungan jawab dokter sebagai tenaga kesehatan dan atau
rumah sakit/klinik sebagai fasilitas kesehatan, yaitu kelalaian medis
dan pembiaran medis.
Dalam hal menyelesaikan sengketa medis bisa melalui jalur hukum
dan mediasi. Penyelesaian sengketa medis dengan jalur hukum berarti
memutuskan hasil akhir di tangan hakim, sedangkan pada mediasi
hasil akhir akan di tangan perunding. Selain itu banyak keuntungan
apabila menyelesaikan masalah sengketa medis dengan jalur mediasi.
3.2. Saran
Menurut saya masih banyak hal-hal yang harus di perbaiki
untuk mengurangi hal-hal yang menyebabkan terjadinya sengketa
medis. Dalam hal ini saya menyaranklan bahwa pihak dokter harus
selalu meng-update pengetahuan mereka di bidang medis, lalu
selalu memperhatikan hak pasien. dengan demikian semoga saja
tidak kembali terjadi kasus-kasus sengketa medis di Indonesia, dan
pelayanan medis di Indonesiapun semakin di percaya oleh
masyarakat indonesia maupun luar negri,

Daftar Pustaka

Nasser,M, 2011, Sengketa Medis Dalam Pelayanan Kesehatan, Kebijakan

Kesehatan Indonesia: Yogyakarta

Halim. A, DKK, 2006, Penyelesaian Sengketa Medik antara Dokter dan

Pasien melalui Jalur Hukum dan Jalur Etika Profesi Kedokteran


Indonesia )Kasus Josua Situmorang), Fakultas Hukum UNIKA Atma Jaya:
Jakarta

Peraturan Mahkamah Agung tentang Penyelesaian Sengketa di Luar


Pengadilan

Anda mungkin juga menyukai