Anda di halaman 1dari 9

CONTOH KASUS HUKUM KESEHATAN

A. KASUS
RS Wahidin Tolak Pasien Bayi Tanpa Batok Kepala
Makassar (ANTARA News) - Bayi perempuan yang lahir tanpa batok kepala terpaksa dibawa
pulang oleh kedua orang tuanya, Jumat, karena ditolak oleh rumah sakit rujukan RS Wahidin
Makassar. Bayi itu lahir di Puskesmas Pattingalloang, Kecamatan Ujung Tanah, Makassar
pada hari Rabu 22 Agustus sekitar pukul 19.00 Wita dari pasangan Subaedah (istri 20) dan
Akbar Hasan (suami 25). Bayi pertama perempuan dan merupakan anak keempat pasangan
suami itri itu belum sempat mendapat pelayanan khusus karena RS Wahidin yang menjadi
rujukan tidak menerima bayi tersebut. Alasannya, kedua orang tua bayi itu tidak memiliki
kartu Bantuan Tunai Langsung (BTL). Sampai hari Jumat (24/8) pukul 16.00 Wita bayi
malang itu masih dapat bertahan hidup. Dokter Emilia Handayani, kahumas RS Wahidin
mengatakan pihak rumah sakit harus mengikuti prosedur penerimaan pasien yang tidak
mampu. "Setiap pasien tidak mampu harus menyertakan kartu BTL dan bukan sekadar
keterangan miskin dari kelurahan atau camat. Banyak orang yang mampu tetapi berpura-pura
miskin dan memiliki kartu BTL," katanya. Selain itu, katanya, sudah ada instruksi dari
pemerintah untuk menghentikan bantuan pelayanan untuk keluarga miskin sejak Juni 2007,
karena tunggakan pemerintah untuk membiayai pelayanan kesehatan di RS Wahidin sudah di
atas Rp10 miliar.
"Sampai saat ini, RS Wahidin belum mendapat bayaran, jadi bagaimana kami bisa melayani
lagi, sementara biaya operasional sangat terbatas," katanya.
Dia menambahkan, pihak rumah sakit sebelumnya tidak menolak pasien dari keluarga miskin
sepanjang memiliki kartu BTL dan bukti-bukti pendukung bahwa pasien berasal dari keluarga
tidak mampu.
Subaedah (ibu bayi itu) mengatakan sangat terkejut ketika mengetahui anak perempuan yang
selama ini diharapkannya memiliki kelainan.
Proses persalinan yang dibantu bidan Reni itu, kata Subaedah, berjalan tidak seperti
persalinan ketiga anak laki-lakinya sebelumnya.
"Sebelum bayi saya keluar, sekitar satu ember air bercampur lendir keluar dari mulut rahim.
Setelah itu keluar barulah bayi saya keluar dengan normal," ujar Subaedah dengan raut wajah
sedih.
Lanjutan kasus :
Bayi Tanpa Batok Kepala Meninggal Setelah Ditolak RS Wahidin
Makassar (ANTARA News) - Bayi perempuan yang lahir tanpa batok kepala, akhirnya
menghembuskan nafas terakhir Jumat sore saat bayi tersebut hendak dirujuk ke Rumah Sakit
Labuangbaji karena ditolak di RS rujukan Wahiddin Sudirohusodo, Makassar. Anak ke empat
pasangan Subaedah (20) dan Akbar Hasan (25) itu meninggal dunia dalam perjalan menuju
rumah sakit Labuangbaji setelah bertahan hidup selama dua hari. "Kami hanya pasrah saja,
mungkin ini kehendak yang di atas," ujar Akbar yang setiap harinya berprofesi sebagai
pengayuh becak itu.
Jenazah bayi yang lahir dengan berat badan 2,8 kg dan panjang 48 cm di Puskesmas
Pattingalloang, Kecamatan Ujung Tanah, Makassar itu langsung dikebumikan di pekuburan
umum Kabupaten Maros, Sulsel Jumat malam sekitar pukul 19.00 Wita.
Bayi tanpa batok kepala itu semula dirujuk ke RS Wahidin, sebuah rumah sakit negeri
terbesar di Kawasan Timur Indonesia, namun pihak RS menolak merawat bayi itu karena
orangtuanya tidak dapat menunjukkan karta tanda bukti penerima Bantuan Langsung Tunai
(BLT) keluarga miskin. Dr Emilia Handayani, Kahumas RS Wahidin mengatakan, pihak
rumah sakit harus mengikuti prosedur penerimaan pasien yang tidak mampu.
"Setiap pasien tidak mampu harus menyertakan kartu BLT dan bukan sekedar keterangan
miskin dari kelurahan atau camat, karena banyak orang yang mampu tetapi berpura-pura
miskin dan untuk membuktikannya, harus ada kartu BLT," ujarnya.
Selain itu, katanya, sudah ada instruksi dari pemerintah untuk menghentikan pelayanan untuk
keluarga miskin sejak bulan Juni 2007 karena tunggakan pemerintah untuk membiayai
pelayanan kesehatan di RS Wahidin sudah di atas Rp10 miliar.
"Sampai saat ini, RS Wahidin belum mendapat bayaran, jadi bagaimana kami bisa melayani
lagi, sementara biaya operasional sangat terbatas," katanya. Dia menambahkan, pihak rumah
sakit sebelumnya tidak menolak pasien dari keluarga miskin sepanjang memiliki kartu BLT
dan bukti-bukti pendukung bahwa pasien berasal dari keluarga tidak mampu. Akbar, ayah
bayi itu mengatakan, kendati tidak memiliki kartu BLT, dirinya sudah mengikhlaskan
kepergian anak pertama perempuannya itu. "Kita sudah berusaha namun Tuhanlah yang
menentukan semuanya," .1[1]

B. PEMBAHASAN KASUS
Dulu sering kita mendengar adanya pasien yang ditolak dirawat oleh rumah sakit dengan
alasan tidak mempunyai biaya buat pengobatan seperti pada kasus yang diambil dari situs
kantor berita Antara (ANTARA NEWS) dengan judul “Bayi Tanpa Batok Kepala Meninggal
Setelah Ditolak RS W” di tertanggal 25 Agustus 2007. Dari berita tersebut berisikan bayi
perempuan yang lahir tanpa batok kepala, akhirnya menghembuskan nafas terakhir pada

1
Jumat sore saat bayi tersebut hendak dirujuk ke RS L karena ditolak di RS W. Bayi tersebut
meninggal dunia dalam perjalanan menuju RS L setelah bertahan hidup selama dua hari.
Jenazah bayi yang lahir dengan langsung dikebumikan di pekuburan umum. Bayi tanpa batok
kepala itu semula dirujuk ke RS W, sebuah rumah sakit negeri, namun pihak RS menolak
merawat bayi itu karena orangtuanya tidak dapat menunjukkan karta tanda bukti penerima
Bantuan Langsung Tunai (BLT) keluarga miskin.
Pada kasus di atas penyimpangan etika dan hukum dari instansi kesehatan terhadap bayi
tersebut meliputi beberapa aspek antara lain :
1. Sumpah dokter yang berbunyi “kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan”.
2. Deklarasi Lisabon 1981 yang menjelaskan tentang hak-hak pasien tentang hak dirawat dokter
3. Undang-undang Kesehatan no 23 tahun 1992 yang telah dirubah menjadi UU no.36 tahun
2009 tentang kesehatan yang berisikan :
 pasal 2 : Pembangunan kesehatan diselenggarakan berasaskan perikemanusiaan yang
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan
merata, perikehidupan dalam keseimbangan, serta kepercayaan akan kemampuan dan
kekuatan sendiri
penjelasan pasal 2 bagian d yang berbunyi asas adil dan merata berarti bahwa
penyelenggaraan kesehatan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada
segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat.
 Pasal 4 : setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang
optimal
 Pasal 7 pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan terjangkau oleh
masyarakat. penjelasan pasal 7 upaya kesehatan yang merata dalam arti tersedianya sarana
pelayanan di seluruh wilayah sampai daerah terpencil yang mudah di jangkau oleh seluruh
masyarakat, termasuk fakir miskin, orang terlantar dan orang kurang mampu.
 Pasal 57 : sarana kesehatan dalam penyelenggaraan kegiatan tetap memperhatikan fungsi
sosial.
Penjelasan pasal 57 ayat 2 : fungsi sosial sarana kesehatan adalah bahwa dalam
menyelenggarakan kegiatan setiap sarana kesehatan baik yang diselenggarakan oleh
pemerintah maupun oleh masyarakat harus memperhatikan kebutuhan pelayanan kesehatan
golongan masyarakat yang kurang mampu dan tidak semata-mata mencari keuntungan.
4. Asas pokok Etika Kedokteran yaitu
Otonomi
a. Hal ini membutuhkan orang – orang yang kompeten,dipengaruhi oleh kehendak dan
keinginannya sendiri dan kemampuan ( kompetensi ). Memiliki pengertian pada tiap-tiap
kasus yang dipersoalkan memiliki kemampuan untuk menanggung konsekuensi dari
keputusan yang secara otonomi atau mandiri telah diambil.
b. Melindungi mereka yang lemah, berarti kita dituntut untuk memberikan perlindungan dalam
pemeliharaan, perwalian, pengasuhan kepada anak- anak, para remaja dan orang dewasa yang
berada dalam kondisi lemah dan tidak mempunyai kemampuan otonom ( mandiri ).
Bersifat dan bersikap amal, berbudi baik
Dasar ini tercantum pada etik kedokteran yang sebenarnya bernada negatif;“ PRIMUM NON
NOCERE “ ( = janganlah berbuat merugikan / salah ).Hendaknya kita bernada positif dengan
berbuat baik dan apabila perlu kita mulai dengan kegiatan yang merupakan awal
kesejahteraan para individu / masyarakat.
Keadilan
Azas ini bertujuan untuk menyelenggarakan keadilan dalam transaksi dan perlakuan antar
manusia, umpamanya mulai mengusahakan peningkatan keadilan terhadap si individu dan
masyarakat dimana mungkin terjadi resiko dan imbalan yang tidak wajar dan bahwa
segolongan manusia janganlah dikorbankan untuk kepentingan golongan lain. ( kodeki,
MKEK,2002,hal.47 )
Dari kasus itu seharusnya RS W tetap menerima pasien bayi ditinjau dari segi etika dan
hukum bukan menolak pasien lantaran tidak mempunyai biaya berobat. Padahal RS W
merupakan salah satu rumah sakit negeri (milik pemerintah). Sehingga soal pembiayaan dana
seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah bukan RS W sesuai dengan pasal 7 UU
Kesehatan no 36 tahun2009.
Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari pada waktu menjabat sebagai Menteri Kesehatan
waktu itu pernah mengingatkan manajemen rumah sakit untuk tidak menolak pasien dari
keluarga miskin. Bila menolak, bisa dilaporkan ke polisi dengan tuduhan cukup berat.Siti
Fadilah mengatakan, tidak ada alasan bagi rumah sakit pemerintah menolak pasien dari
keluarga miskin. Pasalnya, pemerintah sudah menyediakan jaminan pembayaran biaya
perawatan kesehatan paling sedikit Rp 2,6 triliun untuk rumah sakit. Belum lagi dana-dana
dari alokasi lain.Alasan administrasi juga tidak bisa dipakai untuk menolak pasien. Rumah
sakit tidak dibenarkan menolak pasien dengan alasan kartu Asuransi Kesehatan untuk
Keluarga Miskin (Askeskin) tidak berlaku lagi. ”Rawat dulu, urusan administrasi bisa
dibereskan,” ujarnya.Siti Fadilah juga mengingatkan, pemerintah tetap menyediakan jaminan
pembayaran perawatan kesehatan masyarakat miskin. Memang saat ini tidak lagi
menggunakan nama Askeskin. Sekarang pemerintah menggunakan Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas).”Rumah sakit jangan menolak gara-gara Askeskin menjadi
Jamkesmas. Apalagi, sampai menolak pasien yang hidupnya bergantung pada tindakan medis.
Nanti saya laporkan ke polisi karena pembunuhan berencana,” ujarnya. (situs alumni-
Kalabahu-lbh Jakarta yahoo group mengutip kompas tanggal 9 April 2008. Semoga dari
pemberitaan di atas tidak ada lagi pasien yang ditolak rumah sakit akibat tidak mempunyai
biaya.

Contoh Kasus Malpraktik Dalam Kesehatan

1. Kasus Malpraktik dalam bidang Orthopedy


Gas Medik yang Tertukar
Seorang pasien menjalani suatu pembedahan di sebuah kamar operasi. Sebagaimana
layaknya, sebelum pembedahan dilakukan anastesi terlebi dahulu. Pembiusan dilakukan oleh
dokter anastesi, sedangkan operasi dipimpin oleh dokter ahli bedah tulang (orthopedy).
Operasi berjalan lancar. Namun, tiba-tiba sang pasien mengalami kesulitan bernafas. Bahkan
setelah operasi selesai dilakukan, pasien tetap mengalami gangguan pernapasan hingga tak
sadarkan diri. Akibatnya, ia harus dirawat terus menerus di perawatan intensif dengan
bantuan mesin pernapasan (ventilator). Tentu kejadian ini sangat mengherankan. Pasalnya,
sebelum dilakukan operasi, pasien dalam keadaan baik, kecuali masalah tulangnnya.
Usut punya usut, ternyata kedapatan bahwa ada kekeliruan dalam pemasangan gas anastesi
(N2O) yang dipasang pada mesin anastesi. Harusnya gas N2O, ternyata yang diberikan gas
CO2. Padahal gas CO2 dipakai untuk operasi katarak. Pemberian CO2 pada pasien tentu
mengakibatkan tertekannya pusat-pusat pernapasan sehingga proses oksigenasi menjadi
sangat terganggu, pasien jadi tidak sadar dan akhirnya meninggal. Ini sebuah fakta
penyimpangan sederhana namun berakibat fatal.
Dengan kata lain ada sebuah kegagalan dalam proses penetapan gas anastesi. Dan ternyata, di
rumah sakit tersebut tidak ada standar-standar pengamanan pemakaian gas yang dipasang di
mesin anastesi. Padahal seharusnya ada standar, siapa yang harus memasang, bagaimana
caranya, bagaimana monitoringnya, dan lain sebagainya. Idealnya dan sudah menjadi
keharusan bahwa perlu ada sebuah standar yang tertulis (misalnya warna tabung gas yang
berbeda), jelas, dengan formulir yang memuat berbagai prosedur tiap kali harus ditandai dan
ditandatangani. Seandainya prosedur ini ada, tentu tidak akan ada, atau kecil kemungkinan
terjadi kekeliruan. Dan kalaupun terjadi akan cepat diketahui siapa yang bertanggung jawab.

Tinjauan Kasus
Ditinjau dari Sudut Pandang Hukum
a. Tinjauan Malpraktik Pidana dan Sanksi Hukumnya
Kasus tersebut merupakan bentuk malpraktik pidana sebab telah melanggar beberapa
aturan dalam KUHP untuk kelalaian yang berlaku bagi setiap orang, yang diatur dalam Pasal
359, 360, dan 361 KUHP
Dalam Kitab-Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang mengakibatkan
celaka atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Pasal 359, misalnya menyebutkan,
“Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.
Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa seseorang
dapat diancam dengan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 Kitab-Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP):
(1) ‘Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu
tahun’.
(2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa
sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian
selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau
kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.

Pemberatan sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang terbukti melakukan
malpraktik, sebagaimana Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), “Jika
kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau
pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut hak
untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat
memerintahkan supaya putusannya diumumkan.” Namun, apabila kelalaian dokter tersebut
terbukti merupakan malpraktik yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa dan atau
hilangnya nyawa orang lain maka pencabutan hak menjalankan pencaharian (pencabutan izin
praktik) dapat dilakukan.
Jika perbuatan malpraktik yang dilakukan dokter terbukti dilakukan dengan unsur
kesengajaan (dolus) dan ataupun kelalaian (culpa) seperti dalam kasus malpraktek dalam
bidang orthopedy tersebut, maka adalah hal yang sangat pantas jika dokter yang bersangkutan
dikenakan sanksi pidana karena dengan unsur kesengajaan ataupun kelalaian telah melakukan
perbuatan melawan hukum yaitu menghilangkan nyawa seseorang. Perbuatan tersebut telah
nyata-nyata mencoreng kehormatan dokter sebagai suatu profesi yang mulia.
Pekerjaan profesi bagi setiap kalangan terutama dokter tampaknya harus sangat berhati-
hati untuk mengambil tindakan dan keputusan dalam menjalankan tugas-tugasnya karena
sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Tuduhan malpraktik bukan hanya ditujukan
terhadap tindakan kesengajaan (dolus) saja.Tetapi juga akibat kelalaian (culpa) dalam
menggunakan keahlian, sehingga mengakibatkan kerugian, mencelakakan, atau bahkan
hilangnya nyawa orang lain. Selanjutnya, jika kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan
tindakan medik yang tidak memenuhi SOP yang lazim dipakai, melanggar Undang-undang
No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, maka dokter tersebut dapat terjerat tuduhan
malpraktik dengan sanksi pidana.

b. Tinjauan Malpraktik Perdata dan sanksi Hukumnya


Kasus di atas juga dapat dikategorikan sebagai malpraktik perdata ketika Seorang dokter
orthopedy yang telah terbukti melakukan kelalaian sehingga pasiennya menderita luka atau
mati. Tindakan malpraktik tersebut juga dapat berimplikasi pada gugatan perdata oleh
seseorang (pasien) terhadap dokter yang dengan sengaja (dolus) telah menimbulkan kerugian
kepada pihak korban, sehingga mewajibkan pihak yang menimbulkan kerugian (dokter)
untuk mengganti kerugian yang dialami kepada korban, sebagaimana yang diatur dalam Pasal
1365 Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), “Tiap perbuatan melanggar
hukum, yang membawa kerugian pada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Seorang dokter yang telah terbukti melakukan kelalaian sehingga pasiennya menderita
luka atau mati, dapat digugat secara perdata berdasarkan Pasal 1366 atau 1370 KUH Perdata

Pasal 1366 KUH Perdata


Kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian (culpa) diatur oleh Pasal 1366 yang berbunyi:
“Setiap orang bertanggung jawab tidak saja atas kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya, tetapi juga atas kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-
hatinya.”
Pasal 1370 KUH Perdata
Dalam hal pembunuhan (menyebabkan matinya orang lain) dengan sengaja atau kurang hati-
hati seseorang, maka suami dan istri yang ditinggalkan, anak atau orang tua yang biasanya
mendapat nafkah dari pekerjaan korban, mempunyai hak untuk menuntut suatu ganti rugi,
yang harus dinilai menurut kedudukannya dan kekayaan kedua belah pihak serta menurut
keadaan.
Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan :
Menurut Pasal Undang-undang tersebut diatas :
Ayat (1)
Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga
kesehatan
Ayat (2)
Ganti rugi yang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku

Penjelasan
Ayat (1)
Pemberian hak atas ganti rugi merupakan suatu upaya untuk memberi perlindungan bagi
setiap orang atas suatu akibat yang timbul, baik fisik maupun nonfisik karena kesalahan atau
kelalaian tenaga kesehatan. Perlindungan ini sangat penting karena akibat kesalahan atau
kelalaian itu mungkin dapat menyebabkan kematian atau menimbulkan cacat dan permanen
Yang dimaksud dengan kerugian fisik adalah hilangnya atau tidak berfungsinya seluruh atau
sebagian organ tubuh, sedangkan kerugian nonfisik berkaitan dengan martabat seseorang
Ayat (2)
Cukup jelas

c. Tinjauan Malpraktik Etik dan Sanksinya


Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang
berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang
moralitas. Moralitas adalah hal-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sitem tentang
motifasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis
Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk
menjawab pertanyaan yang amat fundamental: bagaimana saya harus hidup dan bertindak?.
Bagi seorang sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan
budaya tertentu. Bagi praktisi professional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya,
etika berarti kewajiban dan tanggungjawab memenuhi harapan profesi dan masyarakat, serta
bertindak dengan cara-cara yang professional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga
terjadinya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil,
professional dan terhormat.
Selain melanggar UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, ditinjau dari Sudut Pandang
Etika (Kode Etik Kedokteran Indonesia /KODEKI), tindakan tersebut juga dapat menjadi
bentuk malpraktik etik karena dokter tersebut tidak melaksanakan profesinya sesuai dengan
standar profesi tertinggi.
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “ seorang dokter harus senantiasa berupaya
melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang
dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya seebagai seorang proesional harus sesuai
dengan ilmu kedokteran mutakhir, hukum dan agama. KODEKI pasal 7d juga menjelaskan
bahwa “setiap dokter hrus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”.
Artinya dalam setiap tindakan dokter harus betujuan untuk memelihara kesehatan dan
kebahagiaan manusia.
Peran pengawasan terhadap pelanggaran kode etik (KODEKI) sangatlah perlu
ditingkatkan untuk menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang mungkin sering
terjadi yang dilakukan oleh setiap kalangan profesi-profesi lainnya seperti halnya
advokat/pengacara, notaris, akuntan, dll. Pengawasan biasanya dilakukan oleh lembaga yang
berwenang untuk memeriksa dan memutus sanksi terhadap kasus tersebut seperti Majelis
Kode Etik. Dalam hal ini Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK). Jika ternyata terbukti
melanggar kode etik maka dokter yang bersangkutan akan dikenakan sanksi sebagaimana
yang diatur dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia. Karena itu seperti kasus yang
ditampilkan maka juga harus dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam kode etik.
Namun, jika kesalahan tersebut ternyata tidak sekedar pelanggaran kode etik tetapi juga
dapat dikategorikan malpraktik maka MKEK tidak diberikan kewenangan oleh undang-
undang untuk memeriksa dan memutus kasus tersebut. Lembaga yang berwenang memeriksa
dan memutus kasus pelanggaran hukum hanyalah lembaga yudikatif. Dalam hal ini lembaga
peradilan. Jika ternyata terbukti melanggar hukum maka dokter yang bersangkutan dapat
dimintakan pertanggungjawabannya. Baik secara pidana maupun perdata. Sudah saatnya
pihak berwenang mengambil sikap proaktif dalam menyikapi fenomena maraknya gugatan
malpraktik. Dengan demikian kepastian hukum dan keadilan dapat tercipta bagi masyarakat
umum dan komunitas profesi. Dengan adanya kepastian hukum dan keadilan pada
penyelesaian kasus malpraktik ini maka diharapkan agar para dokter tidak lagi menghindar
dari tanggung jawab hukum profesinya.

Anda mungkin juga menyukai