NPM : M012020040
KONSENTRASI ADMINISTRASI PELAYANAN KESEHATAN
A. KASUS
RS Wahidin Tolak Pasien Bayi Tanpa Batok Kepala
Makassar (ANTARA News) - Bayi perempuan yang lahir tanpa batok kepala
terpaksa dibawa pulang oleh kedua orang tuanya, Jumat, karena ditolak oleh rumah sakit
rujukan RS Wahidin Makassar. Bayi itu lahir di Puskesmas Pattingalloang, Kecamatan
Ujung Tanah, Makassar pada hari Rabu 22 Agustus sekitar pukul 19.00 Wita dari
pasangan Subaedah (istri 20) dan Akbar Hasan (suami 25). Bayi pertama perempuan dan
merupakan anak keempat pasangan suami itri itu belum sempat mendapat pelayanan
khusus karena RS Wahidin yang menjadi rujukan tidak menerima bayi tersebut.
Alasannya, kedua orang tua bayi itu tidak memiliki kartu Bantuan Tunai Langsung (BTL).
Sampai hari Jumat (24/8) pukul 16.00 Wita bayi malang itu masih dapat bertahan hidup.
Dokter Emilia Handayani, kahumas RS Wahidin mengatakan pihak rumah sakit harus
mengikuti prosedur penerimaan pasien yang tidak mampu. "Setiap pasien tidak mampu
harus menyertakan kartu BTL dan bukan sekadar keterangan miskin dari kelurahan atau
camat. Banyak orang yang mampu tetapi berpura-pura miskin dan memiliki kartu BTL,"
katanya. Selain itu, katanya, sudah ada instruksi dari pemerintah untuk menghentikan
bantuan pelayanan untuk keluarga miskin sejak Juni 2007, karena tunggakan pemerintah
untuk membiayai pelayanan kesehatan di RS Wahidin sudah di atas Rp10 miliar. "Sampai
saat ini, RS Wahidin belum mendapat bayaran, jadi bagaimana kami bisa melayani lagi,
sementara biaya operasional sangat terbatas," katanya.
Dia menambahkan, pihak rumah sakit sebelumnya tidak menolak pasien dari
keluarga miskin sepanjang memiliki kartu BTL dan bukti-bukti pendukung bahwa pasien
berasal dari keluarga tidak mampu. Subaedah (ibu bayi itu) mengatakan sangat terkejut
ketika mengetahui anak perempuan yang selama ini diharapkannya memiliki kelainan.
Proses persalinan yang dibantu bidan Reni itu, kata Subaedah, berjalan tidak seperti
persalinan ketiga anak laki-lakinya sebelumnya. "Sebelum bayi saya keluar, sekitar satu
ember air bercampur lendir keluar dari mulut rahim. Setelah itu keluar barulah bayi saya
keluar dengan normal," ujar Subaedah dengan raut wajah sedih.
Lanjutan kasus :
Bayi Tanpa Batok Kepala Meninggal Setelah Ditolak RS Wahidin
Makassar (ANTARA News) - Bayi perempuan yang lahir tanpa batok kepala,
akhirnya menghembuskan nafas terakhir Jumat sore saat bayi tersebut hendak dirujuk ke
Rumah Sakit Labuangbaji karena ditolak di RS rujukan Wahiddin Sudirohusodo,
Makassar. Anak ke empat pasangan Subaedah (20) dan Akbar Hasan (25) itu meninggal
dunia dalam perjalan menuju rumah sakit Labuangbaji setelah bertahan hidup selama dua
hari. "Kami hanya pasrah saja, mungkin ini kehendak yang di atas," ujar Akbar yang
setiap harinya berprofesi sebagai pengayuh becak itu.
Jenazah bayi yang lahir dengan berat badan 2,8 kg dan panjang 48 cm di
Puskesmas Pattingalloang, Kecamatan Ujung Tanah, Makassar itu langsung dikebumikan
di pekuburan umum Kabupaten Maros, Sulsel Jumat malam sekitar pukul 19.00 Wita.
Bayi tanpa batok kepala itu semula dirujuk ke RS Wahidin, sebuah rumah sakit negeri
terbesar di Kawasan Timur Indonesia, namun pihak RS menolak merawat bayi itu karena
orangtuanya tidak dapat menunjukkan karta tanda bukti penerima Bantuan Langsung
Tunai (BLT) keluarga miskin. Dr Emilia Handayani, Kahumas RS Wahidin mengatakan,
pihak rumah sakit harus mengikuti prosedur penerimaan pasien yang tidak mampu.
"Setiap pasien tidak mampu harus menyertakan kartu BLT dan bukan sekedar keterangan
miskin dari kelurahan atau camat, karena banyak orang yang mampu tetapi berpura-pura
miskin dan untuk membuktikannya, harus ada kartu BLT," ujarnya.
Selain itu, katanya, sudah ada instruksi dari pemerintah untuk menghentikan
pelayanan untuk keluarga miskin sejak bulan Juni 2007 karena tunggakan pemerintah
untuk membiayai pelayanan kesehatan di RS Wahidin sudah di atas Rp10 miliar. "Sampai
saat ini, RS Wahidin belum mendapat bayaran, jadi bagaimana kami bisa melayani lagi,
sementara biaya operasional sangat terbatas," katanya. Dia menambahkan, pihak rumah
sakit sebelumnya tidak menolak pasien dari keluarga miskin sepanjang memiliki kartu
BLT dan bukti-bukti pendukung bahwa pasien berasal dari keluarga tidak mampu. Akbar,
ayah bayi itu mengatakan, kendati tidak memiliki kartu BLT, dirinya sudah
mengikhlaskan kepergian anak pertama perempuannya itu. "Kita sudah berusaha namun
Tuhanlah yang menentukan semuanya.
B. PEMBAHASAN KASUS
Dulu sering kita mendengar adanya pasien yang ditolak dirawat oleh rumah sakit
dengan alasan tidak mempunyai biaya buat pengobatan seperti pada kasus yang diambil
dari situs kantor berita Antara (ANTARA NEWS) dengan judul “Bayi Tanpa Batok
Kepala Meninggal Setelah Ditolak RS W” di tertanggal 25 Agustus 2007. Dari berita
tersebut berisikan bayi perempuan yang lahir tanpa batok kepala, akhirnya
menghembuskan nafas terakhir pada Jumat sore saat bayi tersebut hendak dirujuk ke RS L
karena ditolak di RS W. Bayi tersebut meninggal dunia dalam perjalanan menuju RS L
setelah bertahan hidup selama dua hari. Jenazah bayi yang lahir dengan langsung
dikebumikan di pekuburan umum. Bayi tanpa batok kepala itu semula dirujuk ke RS W,
sebuah rumah sakit negeri, namun pihak RS menolak merawat bayi itu karena orangtuanya
tidak dapat menunjukkan karta tanda bukti penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT)
keluarga miskin.
Pada kasus di atas penyimpangan etika dan hukum dari instansi kesehatan terhadap
bayi tersebut meliputi beberapa aspek antara lain :
1. Sumpah dokter yang berbunyi “kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan”.
2. Deklarasi Lisabon 1981 yang menjelaskan tentang hak-hak pasien tentang hak dirawat
dokter
3. Undang-undang Kesehatan no 23 tahun 1992 yang telah dirubah menjadi UU no.36
tahun 2009 tentang kesehatan yang berisikan :
a. pasal 2 : Pembangunan kesehatan diselenggarakan berasaskan perikemanusiaan yang
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan,
adil dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan, serta kepercayaan akan
kemampuan dan kekuatan sendiri, penjelasan pasal 2 bagian d yang berbunyi asas
adil dan merata berarti bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dapat memberikan
pelayanan yang adil dan merata kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya
yang terjangkau oleh masyarakat.
b. Pasal 4 : setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat
kesehatan yang optimal.
c. Pasal 7 pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan terjangkau oleh
masyarakat. penjelasan pasal 7 upaya kesehatan yang merata dalam arti tersedianya
sarana pelayanan di seluruh wilayah sampai daerah terpencil yang mudah di jangkau
oleh seluruh masyarakat, termasuk fakir miskin, orang terlantar dan orang kurang
mampu.
d. Pasal 57 : sarana kesehatan dalam penyelenggaraan kegiatan tetap memperhatikan
fungsi sosial. Penjelasan pasal 57 ayat 2 : fungsi sosial sarana kesehatan adalah
bahwa dalam menyelenggarakan kegiatan setiap sarana kesehatan baik yang
diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat harus memperhatikan
kebutuhan pelayanan kesehatan golongan masyarakat yang kurang mampu dan tidak
semata-mata mencari keuntungan.
4. Asas pokok Etika Kedokteran yaitu :
Otonomi
a. Hal ini membutuhkan orang – orang yang kompeten,dipengaruhi oleh kehendak dan
keinginannya sendiri dan kemampuan ( kompetensi ). Memiliki pengertian pada
tiap-tiap kasus yang dipersoalkan memiliki kemampuan untuk menanggung
konsekuensi dari keputusan yang secara otonomi atau mandiri telah diambil.
b. Melindungi mereka yang lemah, berarti kita dituntut untuk memberikan
perlindungan dalam pemeliharaan, perwalian, pengasuhan kepada anak- anak, para
remaja dan orang dewasa yang berada dalam kondisi lemah dan tidak mempunyai
kemampuan otonom ( mandiri ).
Bersifat dan bersikap amal, berbudi baik
Dasar ini tercantum pada etik kedokteran yang sebenarnya bernada negatif;“
PRIMUM NON NOCERE “ ( = janganlah berbuat merugikan / salah ).Hendaknya kita
bernada positif dengan berbuat baik dan apabila perlu kita mulai dengan kegiatan yang
merupakan awal kesejahteraan para individu / masyarakat.
Keadilan