Anda di halaman 1dari 10

Pentingnya BPJS Kesehatan

Kesehatan adalah hak warga negara, namun masih banyak negara-negara di dunia yang
mengabaikan hak tersebut. Penyebabnya bermacam-macam, terutama persoalan ketersediaan
dana untuk memenuhi hak tersebut.

Dalam cerita, tak sedikit kita mendengar pasien yang terbengkalai bahkan meninggal dunia,
karena persoalan biaya atau sejenis jaminan pembiayaan dari pasien. Ada pula pasien dirawat
seadanya, tidak menempati pelayanan sebagaimana mestinya. Misalnya di Pare, Seorang
warga Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, Iwan Rahman, dirawat di lantai ruangan UGD
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) kota Pare-pare Sulawesi Selatan. Alasannya, pelayanan
rumah sakit sebenarnya tidak menerima pasien Jamkesmas.

Iwan Rahman, pasien ini dirawat di rumah sakit setelah mengalami kecelakaan bermotor.
Namun dia dirawat dilantai rumah sakit padahal sejumlah tempat tidur pasien di rumah sakit
ini kosong. Hal ini membuat keluarga Iwan tidak terima pasalnya meski menggunakan kartu
Askes namun di perlakukan tidak layak oleh pihak rumah sakit. kami tidak terima dengan
perlakuan ini. Hal ini kami anggap diterlantarkan karena banyak tempat tidur yang kosong,
kok keponakan kami hanya dirawat dilantai kata Indah, salah satu keluarga korban.

Pihak keluarga juga mempertanyakan program kesehatan gratis oleh pemerintah provinsi
yang hanya sekedar janji semata.

Potret buram pelayanan kesehatan tidak hanya terjadi di daerah-daerah yang mungkin secara
fasilitas dan akses masih minim dan sulit. Di Jakarta, Rumah Sakit Budi Asih Cawang,
menyatakan kesulitan menampung lonjakan pasien setelah Kartu Jakarta Sehat diberlakukan.
Direktur RS Budi Asih, Nanang Hasani, mengatakan banyak calon pasien rawat inap tak bisa
diterima karena ruang perawatan kelas III sudah penuh.

"Bagi yang kondisinya gawat, kami arahkan ke Unit Gawat Darurat (UGD)," kata dia, saat
ditemui beberapa waktu yang lalu. Saat dirawat di UGD, RS menelepon rumah sakit lain
untuk mencari tempat perawatan yang kosong. Akibat ruang rawat penuh, kata dia, beberapa
pasien jadi telantar di ruang UGD. Sebab, ruang perawatan di RS lain juga sama penuhnya.
"Banyak juga yang menolak dipindahkan dengan alasan RS-nya jauh," ujar dia. Namun,
meskipun rumah sakit penuh, tak seharusnya nyawa bayi melayang, apalagi mereka
sebenarnya sudah berada di rumah sakit. Nyawa mereka melayang hanya karena rumah sakit
penuh atau orang tuanya tak mampu membayar uang muka.

Tentu kita masih ingat tingkah laku pengelola rumah sakit di Ibu Kota, yang menolak
menangani Zara Naven, bayi sakit dari keluarga miskin karena tak ada jaminan biaya operasi.
Zara meninggal karena tak kunjung dioperasi pada Selasa lalu. Orang tua Zara mengaku
dimintai jaminan oleh rumah sakit tersebut. Kisah Zara berawal dari besarnya biaya operasi
yang harus ia jalani, yakni sebesar Rp 200 juta. Dia divonis mengidap kelainan jantung
bawaan.

Orang tua Zara, pasangan Herman Hidayat, 25 tahun, dan Prefti, 23 tahun, tak mampu
membayar biaya operasi sebesar itu. Plafon dana Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda)
yang mereka terima dari Pemerintah Kota Depok hanya Rp 110 juta. Jumlah itu pun sudah
berkurang. "Saya tidak ada uang untuk menutupi kekurangan biaya," kata Prefti, saat ditemui
di rumahnya.

Selama 40 hari, Zara dirawat di ruang Intensive Care Unit RS Harapan Kita dan tak kunjung
sembuh. Biaya pengobatan selama itu telah menghabiskan plafon dana Jamkesda sebesar Rp
60 juta.
Dugaan bahwa kematian Zara terjadi akibat masalah uang diungkapkan oleh Anah, nenek
bayi itu. Menurut dia, cucunya sudah tiga kali dijadwalkan menjalani operasi. "Tapi rumah
sakit belum mengizinkan karena tidak ada jaminan. Sampai akhirnya Zara meninggal," kata
dia sedih.
Kepala Bidang Medik RS Harapan Kita, Basuni Radi, membantah tudingan bahwa Zara tidak
dioperasi karena pihak keluarga tidak menyerahkan uang jaminan. Menurut dia, operasi
terhadap Zara tak bisa dilakukan akibat infeksi paru-paru yang diderita Zara. "Infeksi itu
membuat kondisi bayi terlalu lemah untuk dioperasi. Risikonya semakin tinggi," ujarnya
kemarin.

Kekecewaan atas pelayanan rumah sakit juga terungkap dalam kasus kelahiran bayi prematur
di Rumah Sakit Bersalin Kartini, Jakarta Selatan, Rabu lalu. Bayi itu dinyatakan meninggal
dan dibungkus dengan kain. Padahal, nyatanya anak itu masih hidup.
Begitu dibawa kembali ke rumah sakit dalam kondisi gawatbadan bayi itu membiru setelah
dibawa orang tuanya dengan sepeda motorpihak rumah sakit malah sempat meminta uang
muka Rp 15 juta untuk biaya perawatan sang bayi. "Saya bahkan diminta ke rumah sakit
lain," kata Ali Zuar, orang tua si bayi.
Setelah negosiasi dilakukan, pihak rumah sakit akhirnya kembali merawat bayi itu. Namun,
tak lama kemudian, pada malam harinya, anak itu mengembuskan napas terakhirnya. Kali ini,
bayi tersebut benar-benar dinyatakan meninggal.
Direktur RS Bersalin Kartini, Elmira Suksmawati, membantah tudingan bahwa pihaknya
sempat meminta uang muka. Bahkan, dia mengaku sudah menghubungi rumah sakit lain
sebagai rujukan. "Bayi tersebut butuh NICU, sedangkan kami tidak punya," katanya.

Kasus itu mirip dengan yang dialami Dera Nur Anggraini. Bayi prematur yang membutuhkan
operasi dan perawatan di ruang ICU itu ditolak oleh sembilan rumah sakit dengan alasan
penuh dan ketiadaan uang muka. Putri penjual kaus kaki di pasar malam itu meninggal pada
Sabtu lalu.
Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia, Marius Wijayarta, menilai
maraknya kasus penolakan rumah sakit terhadap warga tidak mampu merupakan dampak
buruknya sistem penganggaran kesehatan dan jaminan sosial selama ini. "Dari pusat sampai
daerah, pelayanan rumah sakit kacau-balau," katanya.

Marius mencontohkan, pemerintahselain berperan sebagai kuasa pengguna anggaran


bertindak sebagai penyelenggara dan tim pemantau. "Mereka semua yang menjalankan,"
ujarnya.
Memang tidak sedikit pasien yang terbengkalai atau meninggal dalam perjalanan karena
mencari tempat yang kosong. Misalnya, Ana Mudrika (14) meninggal lantaran ditolak empat
rumah sakit.
Untuk kasus rumah sakit di sekitar Jakarta mulai terjadi sejak diberlakukannya Kartu Jakarta
Sehat (KJS). Banyak rumah sakit yang tak pernah sepi, milasnya RS Umum Daerah Koja,
Jakarta Utara, tak pernah sepi dari pengunjung. Bahkan pasien tidak hanya mengantre tapi
juga berjejalan di Instalasi Gawat Darurat.

Di masa-masa sulit seperti ini, masih ada orang tak bertanggungjawab. Calo rumah sakit yang
menawarkan kamar masih berkeliaran. Salah satu pasien yang enggan disebutkan namanya,
mengaku harus mengeluarkan biaya Rp 200 ribu hingga Rp 500 ribu untuk mendapatkan
kamar.
"Calo dari orang dalam juga. Biasanya dia datangi waktu pasien baru masuk. Diurus masuk
kamar. Mau kamar cepet pak?" kata keluarga pasien yang enggan disebut namanya,
menirukan perkataan calo di RSUD Koja, Jakarta Utara.

Pria yang mengantar ibunya sakit ini menggunakan jasa calo kamar di RSUD Koja. Saat tiba
di rumah sakit semalam, dia langsung ditawari untuk dicarikan kamar. Harga dan layanan
calo bervariasi.
Dari mulai hanya melayani pencarian kamar sampai pengurusan administrasi untuk
meninggalkan rumah sakit. "Kalau yang mengurus pencarian kamar hingga keluar rumah
sakit itu harganya jutaan," ujar dia. Ia menuturkan, untuk masuk ke ruang IGD tidak sulit
seperti tahun-tahun lalu. Cukup melampirkan beberapa persyaratan seperti Kartu Keluarga
(KK). "KK doang sama KTP," ucap pria pekerja wiraswasta ini.

Kondisi ini terlihat ironis. Karena praktik calo itu terjadi di tengah kondisi penumpukan
pasien pengguna Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang berdesakan di ruang IGD RSUD Koja.
Bahkan, dokter berkali-kali mengatakan tidak ada kamar yang tersedia. "Tempatnya belum
ada, kalau ada mah dah pada naik," kata Dokter saat ditanya seorang pasien. Pasien berharap
bisa cepat pindah ke kamar inap. Karena selain tidak nyaman karena ditempatkan di lorong
ruang IGD, pasien juga mengeluhkan banyak nyamuk.

BPJS Kesehatan Sebagai Solusi

Sebagaimana dituturkan Sekjen Depkes, dr. Supriyantoro bahwa diwajibkannya penduduk


Indonesia menjadi peserta BPJS Kesehatan agar hal-hal yang buruk atas pelayanan kesehatan
selama ini tidak terjadi, terutama karena mahalnya biaya perawatan. Sadikin atau sakit jadi
miskin tidak akan terjadi lagi jika menjadi peserta BPJS Kesehatan, karena penyakit apapun
yang diderita oleh peserta BPJS Kesehatan dapat dilayani tanpa dipungut biaya lagi selain
iuran bulanan. Tutur Supriantoro, saat wawancara di Kantornya di Jakarta beberapa waktu
yang lalu. selain itu, ada aturan yang jelas sehingga tidak terjadi penumpukan di Rumah
Sakit tambahnya. Beliau menjelaskan bahwa peserta tidak boleh langsung datang ke rumah
sakit, jika sakitnya tidak parah. Jika peserta sakit, silahkan datang ke klinik, nanti jika klinik
tidak mampu, maka klinik akan merujuk ke puskesmas dan seterusnya. Jadi tidak boleh
hanya pusing sedikit gara-gara kurang tidur langsung datang ke rumah sakit yang bikin
panjang antrean. Lalu apakah BPJS Kesehatan itu?
Sekilas Tentang BPJS Kesehatan

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk
untuk menyelenggrakan program jaminan kesehatan. Adapun pesertanya adalah semua
penduduk Indonesia atau penduduk asing yang telah bekerja minimal selama enam bulan dan
telah membayar iuran, dan ini hukumya wajib.

Peserta BPJS kesehatan dapat dikelompokkan menjadi dua, pertama Penerima Bantuan Iuran
(PBI) jaminan kesehatan dan Bukan PBI jaminan kesehatan. Dan yang dimaksud dengan PBI
adalah peserta jaminan kesehatan bagi fakir miskin dan orang tidak mampu sebagaimana
diamanatkan UU SJSN yang iurannya dibayari pemerintah sebagai peserta program jaminan
kesehatan, dalam artian peserta PBI adalah fakir miskin yang ditetapkan oleh pemerintah dan
diatur melalui peraturan pemerintah. Jadi yang berhak menjadi peserta PBI jaminan
kesehatan adalah yang mengalami cacat total tetap dan tidak mampu. Untuk peserta bukan
PBI jaminan kesehatan terdiri dari pekerja penerima upah dan anggota keluarganya, pekerja
bukan penerima upah dan keluarganya serta bukan pekerja dan anggota keluarganya.

Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pekerja adalah setiap orang yang bekerja
dengan menerima upah, gaji atau imbalan lain. Sedangkan pekerja penerima upah adalah
setiap orang yang bekerja pada pemberi kerja dengan menerima gaji atau upah. Misalnya
PNS, Anggota TNI/Polri, Pejabat negara, Pegawai pemerintah non pegawai negeri, pegawai
swasta dan pekerja lain yang memenuhi kriteria pekerja penerima upah. Sekali lagi, BPJS
kesehatan ini sifatnya wajib dan kepesertaan dimulai tanggal 1 Januari 2014 serta paling
lambat tahun 2019 semua penduduk Indonesia sudah terdaftar sebagai peserta BPJS
kesehatan.

Iuran dan manfaat peserta BPJS Kesehatan

Iuran adalah sejumlah uang yang harus dibayarkan secara teratur oleh peserta, pemberi kerja
dan/ atau pemerintah untuk program jaminan kesehatan. Adapaun uang yang harus
dibayarkan sejumlah Rp. 22.200,-/bulan bagi peserta yang menghendaki pelayanan di ruang
perawatan kelas III, Rp. 40.000,- untuk kelas II dan Rp. 50.000,- untuk kelas I. Iuran tersebut
harus dibayarkan setiap bulan paling lambat tanggal 10, jika tanggal 10 tersebut hari libur,
maka pembayaran dapat dilakukan pada hari berikutnya. Keterlambatan pembayaran
dikenakan sanksi sebesar 2% dari jumlah total iuran yang tertunggak.

Manfaat menjadi peserta BPJS kesehatan adalah setiap peserta berhak memperoleh manfaat
jaminan kesehatan yang bersifat pelayanan kesehatan perorangan yang mencakup pelayanan
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis
pakai sesuain dengan kebutuhan medis yang diperlukan. Manfaat jaminan kesehatan
sebagaimana dimaksud terdiri dari manfaat medis dan manfaat non medis. Manfaat medis
tidak terikat dengan besaran iuran yang dibayarkan. Manfaat non medis meliputi manfaat
akomodasi dan ambulans. Untuk mendapatkan manfaat non medis jenis akomodasi,
tergantung dengan besarnya iuran sedangkan ambulans hanya diberikan untuk pasien rujukan
dari fasilitas kesehatan dengan kondisi tertentu yang ditetapkan oleh BPJS kesehatan. Dalam
mendapatkan fasilitas-fasilitas yang sesuai dengan ketentuan, peserta tidak dikenakan biaya
tambahan atau biaya lainnya.
Banyak manfaat pelayanan yang didapatkan menjadi peserta, seperti manfaat promotif dan
preventif yang meliputi:
1. Penyuluhan kesehatan perorangan, yaitu penyuluhan mengenai pengelolaan faktor risiko
penyakit dan perilaku hidup bersih dan sehat.
2. Imunisasi dasar, yaitu Baccile Calmett Guerin (BCG), Difteri Pertusis Tetanus dan
Hepatitis B (DPT-HB), Polio, dan Campak.
3. Keluarga berencana dan skrining kesehatan, meliputi konseling, kontrasepsi dasar,
vasektomi dan tubektomi bekerja sama dengan lembaga yang membidangi keluarga
berencana.S

Sementara itu, pelayanan kesehatan yang dijamin meliputi :


a. Pelayanan kesehatan tingkat pertama, yaitu pelayanan kesehatan non spesialistik
mencakup:
1) Administrasi pelayanan
2) Pelayanan promotif dan preventif
3) Pemeriksaan, peengobatan, dan konsultasi medis
4) Tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non operatif
5) Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai
6) Transfusi darah sesuai dengan kebutuhan medis
7) Pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pertama dan
8) Rawat inap tingkat pertama sesuai dengan indikasi.
b. Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan, yaitu pelayanan kesehatan mencakup:

1) Rawat jalan yang meliputi:


a) Administrasi pelayanan
b) Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh dokter spesialis dan sub-spesialis
c) Tindakan medis spesialistik sesuai dengan indikasi medis
d) Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai
e) Pelayanan alat kesehatan implant
f) Pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan indikasi medis
g) Rehabilitasi medis
h) Pelayanan darah
i) Pelayanan kedokteran forensic
j) Pelayanan jenazah di fasilitas kesehatan.

2) Rawat inap yang meliputi:


a) Perawatan inap non intensif
b) Perawatan inap di ruang intensif.
c) Pelayanan kesehatan lain ditetapkan oleh Menteri.

Sebagai catatan, dalam hal pelayanan kesehatan lain yang telah ditanggung dalam program
pemerintah, maka tidak termasuk dalam pelayanan kesehatan yang dijamin. Dalam hal
diperlukan, peserta juga berhak mendapatkan pelayanan berupa alat bantu kesehtan yang
jenis dan plafon harganya ditetapkan oleh Menteri.

Kelas perawatan yang ditanggung ketika harus rawat inap meliputi:


1. Di ruang perawatan kelas III bagi:
a. Peserta PBI Jaminan Kesehatan
b. Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja dengan iuran untuk
Manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas III.
2. Di ruang Perawatan kelas II bagi:
a. Pegawai Negeri Sipil dan penerima pensiun Pegawai Negeri Sipil golongan ruang I dan
golongan ruang II beserta anggota keluarganya
b. Anggota TNI dan penerima pensiun Anggota TNI yang setara Pegawai Negeri Sipil
golongan ruang I dan golongan ruang II beserta anggota keluarganya
c. Anggota Polri dan penerima pensiun Anggota Polri yang setara Pegawai Negeri Sipil
golongan ruang I dan golongan ruang II beserta anggota keluarganya
d. Peagawai Pemerintah Non Pegawai Negeri yang setara Pegawai Negeri Sipil golongan
ruang I dan golongan ruang II beserta anggota keluarganya
e. Peserta Pekerja Penerima Upah bulanan sampai dengan 2 (dua) kali penghasilan tidak
kena pajak dengan status kawin dengan 1 (satu) anak, beserta anggota keluarganya
f. Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja dengan iuran untuk
Manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas II
3. Di ruang pewatan kelas I bagi:
a. Pejabat Negara dan anggota keluarganya
b. Pegawai negeri sipil dan penerima pensiun pegawai negeri sipil Golongan III dan
Golongan IV beserta anggota keluarganya
c. Anggota TNI dan penerima pensiun Anggota TNI yang setara Pegawai Negeri Sipil
Golongan III dan Golongan IV beserta anggota keluarganya
d. Anggota POLRI dan penerima pensiun Anggota POLRI yangn setara Pegawai Negeri Sipil
Golongan III dan Golongan IV beserta anggota keluarganya
e. Pegawai pemerintah non pegawai negeri yang setara Pegwai Negeri Sipil Golongan III dan
Golongan IV dan anggota keluarganya
f. Veteran dan perintis kemrdekaan beserta anggota keluarganya
g. Peserta pekerja penrima upah bulanan lebih dari 2 (dua) kali PTKP dengan status kawin
dengan 2 (dua) anak dan anggota keluarganya
h. Peserta pekerja bukan penerima upah dan peserta bukan pekerja dengan iuran untuk
Manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas I.

Untuk pelayanan yang tidak dijamin diantaranya:


1. Pelayanan kesehatan yang dilakukan tanpa melalui prosedur sebagaimana diatur dalam
peraturan yang berlaku
2. Pelayanan kesehatan yang dilakukan di fasilitas kesehatan yang tidak bekerjasama dengan
BPJS Kesehatan, kecuali untuk kasus gawat darurat
3. Pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh program jaminan kecelakaan kerja terhadap
penyakit atau cedera akibat kecelakaan kerja atau hubungan kerja
4. Pelayanan kesehatan yang dilakukan di luar negeri
5. Pelayanan kesehatan untuk tujuan kosmetik dan/ atau estetik
6. Pelayanan untuk mengatasi infertilitas (Memperoleh Keturunan)
7. Pelayanan meratakan gigi (ortodonsi)
8. Gangguan kesehatan/penyakit akibat ketergantungan obat dan/atau alkohol
9. Gangguan kesehatan akiabat sengaja menyakiti diri sendiri, atau akibat melakukan hobi
yang membahayakan diri sendiri
10. Pengobatan komplementer, alternatif dan tradisional, termasuk akupuntur, shin she,
chiropractic, yang belum dinyatakan efektif berdasarkan penialaian teknologi kesehatan
(health technology assessment/HTA)
11. Pengobatan dan tidakan medis yang dikategorikan sebagai percobaan (eksperimen)
12. Alat kontrasepsi, kosmetik, makanan bayi, dan susu
13. Perbekalan kesehatan rumah tangga
14. Pelayanan kesehatan yang sudah dijamin dalam program kecelakaan lalu lintas sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
15. Pelayanan kesehatan akibat bencana, kejadian luar biasa/wabah
16. Biaya pelayanan lainnya yang tidak ada hubungan dengan manfaat jaminan kesehatan
yang diberikan.

Untuk kecelakaan lalu lintas, BPJS Kesehatan membayar selisih biaya pengobatan akibat
kecelakaan lalu lintas yang telah dibayarkan oleh program jaminan kecelakaan lalu lintas
sesuai dengan tarif yang diberlakukan BPJS Kesehatan. Selain itu peserta jaminan kesehatan
dapat mengikuti program asuransi kesehatan tambahan lainnya dimana BPJS Kesehatan dan
penyelenggara program asuransi kesehatan tambahan dapat melakukan koordinasi dalam
memberikan manfaat untuk Peserta Jaminan Kesehatan yang memiliki hak atas perlindungan
program asuransi kesehatan tambahan. Selanjutnya, apa yang dimaksud dengan fasilitas
kesehatan adalah fasilias pelayanan kesehatan yang digunakan untuk menyelenggarakan
upaya pelayanan kesehatan perorangan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif
yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Masyarakat.

Fasilitas kesehatan tingkat pertama untuk pertama kali peserta terdaftar adalah:
1. Untuk pertama kali setiap peserta terdaftar pada satu fasilitas kesehatan tingkat pertama
yang ditetapkan oleh BPJS kesehatan setelah mendapat rekomendasi dinas kesehatan
kabbupaten/kota setempat.
2. Dalam jangka waktu paling sedikit 3 (tiga) bulan selanjutnya peserta berhak memilih
fasilitas kesehatan tingkat pertama yang diinginkan.
3. Peserta harus memperoleh pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama
tempat peserta terdaftar, kecuali berada di luar wilayah fasilitas kesehatan tingkat pertama
tempat peserta terdaftar; atau dalam keadaan kegawatdaruratan medis.

Dalam hal peserta memerlukan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan, fasilis kesehatan tingkat
pertama harus merujuk ke fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan terdekat sesuai dengan
sistem rujukan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Fasilitas
kesehatan wajib menjamin peserta yang dirawat inap mendapatkan obat dan bahan medis
habis pakai yang dibutuhkan sesuia dengan indikasi medis. Sedangkan fasilitas kesehatan
rawat jalan yang tidak memiliki sarana penunjang, wajib membangun jejaring dengan
fasilitas kesehatan penunjang untuk menjamin ketersediaan obat, bahan medis habis pakai,
dan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan.

Bagaimana dengan peserta yang memerlukan pelayanan gawat darurat? Peserta yang
memerlukan pelayanan gawat darurat dapat langsung memperoleh pelayanan fasilitas
kesehatan. Kemudian peserta yang menerima pelayanan kesehatan yang tidak berkerjsama
dengan BPJS Kesehatan, harus segera dirujuk ke fasilitas kesehatan yang bekerjasama
dengan BPJS Kesehatan setelah keadaan gawat daruratnya teratasi dan pasien dalam kondisi
dapat dipindahkan.

Jika suatu daerah belum tersedia fasilitas kesehatan yang memenuhi syarat guna memenuhi
kebutuhan medis sejumlah peserta, BPJS Kesehatan wajib memberikan kompensasi.
Kompensasi yang dimaksud berupa biaya transportasi bagi pasien, satu orang pendamping
keluarga dan tenaga kesehatan seseuai indikasi medis. Pemerintah dan pemerintah daerah
bertanggung jawab atas ketersediaan fasilitas kesehatan dan penyelengaraan pelayanan
kesehatan untuk pelaksanaan program jaminan kesehatan. Selain itu, pemerintah dan
pemerintah daerah dapat memberikan kesempatan kepada swasta untuk berperan serta
memenuhi ketersediaan fasilitas kesehatan dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan.
Fasilitas kesehatan milik Pemerintah dan pemerintah daerah yang memenuhi persyaratan
wajib bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Fasilitas kesehatan milik swasta yang memenuhi
persyaratan dapat menjalin kerjasama dengan BPJS Kesehatan. Sebab pelayanan kesehatan
kepada peserta Jaminan Kesehatan harus memperhatikan mutu pelayanan, berorientasi pada
aspek keamanan pasien, efektifitas tindakan, kesesuian dengan kebutuhan pasien, serta
efisiensi biaya.

Penerapan sistem kendali mutu pelayanan jaminan kesehatan dilakukan secara menyeluruh
meliputi pemenuhan standar mutu fasilitas kesehatan, memastikan proses pelayanan
kesehatan berjalan sesuai standar yang ditetapkan serta pemantauan terhadap luaran
kesehatan peserta. Ketentuan mengenai penerapan sistem kendali mutu pelayanan jaminan
kesehatan sebagaimana dimaksud diatur dalam peraturan BPJS. Dalam rangka menjamin
kendali mutu dan biaya, Menteri bertanggung jawab untuk:

1. Penialaian teknologi kesehatan (Health Technology Assessment)


2. Pertimbangan klinis (clinical advisory) dan manfaat jaminan kesehatan
3. Perhitungan standar tarif
4. Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pelayanan jaminan kesehatan.

Dalam melaksanakan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pelayanan jaminan


kesehatan, Menteri berkoordinasi dengan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).

Pemerintah Optimis Regulasi BPJS Kesehatan Selesai Sebelum 2014.


Menjelang beroperasinya BPJS Kesehatan tahun depan, pemerintah diwajibkan menerbitkan
sejumlah peraturan pelaksana sebagai penjabaran amanat dari UU SJSN dan UU BPJS.
Peraturan pelaksana itu dibutuhkan sebagai landasan berjalannya BPJS Kesehatan.

Wamenkes Ali Gufron Mukti selaku Ketua Kelompok Kerja (Pokja) BPJS Kesehatan,
mengaku optimis segala peraturan pelaksana yang dibutuhkan itu akan selesai sebelum 1
Januari 2014. Sampai sekarang pemerintah terus menggodok rancangan regulasi itu dengan
serius. Gufron merasa dalam persiapan pelaksanaan BPJS Kesehatan, pembentukan peraturan
pelaksana perlu ditekankan. Sebab, dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR beberapa
waktu yang lalu, salah satu poin yang disorot tajam anggota parlemen soal kesiapan regulasi.
Oleh karenanya, Gufron menyebut pemerintah sudah membentuk tim percepatan
pembentukan regulasi. Dengan dukungan semua pihak, ia yakin beragam peraturan pelaksana
yang dibutuhkan BPJS Kesehatan akan selesai dalam waktu beberapa bulan ke depan.

Kami jamin seluruh peraturan yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan BPJS Kesehatan,
selesai sebelum 2014. Ini komitmen pemerintah, kata Gufron dalam acara perayaan hari jadi
PT Askes yang ke-45 di kantor PT Askes Jakarta. Selain itu, dalam forum internasional yang
dihadirinya sekitar dua pekan lalu, Gufron mengatakan sejumlah negara di dunia
mengapresiasi Indonesia karena sedang mempersiapkan pelaksanaan asuransi sosial nasional
yaitu lewat BPJS. Namun, ada pula negara lain yang tidak yakin jika Indonesia mampu
menggelar asuransi sosial itu.

Bersama beberapa negara lainnya, Gufron menyebut Indonesia mendesak pelaksanaan


asuransi sosial semesta atau universal health coverage untuk diterapkan di semua negara di
dunia. Hasilnya, PBB mengakomodir usulan itu dengan menuangkannya ke dalam sebuah
resolusi. Kalau kita berhasil melangkah menuju BPJS Kesehatan, Keberhasilan ini akan
bergema di tingkat internasional, tuturnya.
Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Chazali Husni Situmorang, mengatakan
keoptimisan pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana, seperti Permenkes, dapat
dipahami. Pasalnya, peraturan itu tergolong mudah diterbitkan karena regulasi internal. Soal
jangka waktu ideal untuk menerbitkan seluruh peraturan pelaksana yang dibutuhkan BPJS
Kesehatan, Chazali mengatakan yang terpenting sudah ada sebelum 2014. Pasalnya,
bermacam regulasi itu baru dapat beroperasi pada 1 Januari 2014.

Saat ini Chazali melihat Kemenkes sedang merancang Permenkes tentang Asosiasi Fasilitas
Kesehatan yang nanti bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Misalnya, mana asosiasi yang
akan diajak bekerjasama untuk memberikan pelayanan kesehatan tingkat dasar (PPK I) atau
menengah (PPK II). Sedangkan untuk peraturan pelaksana lain seperti Peraturan Presiden
(Perpres) dan sejenisnya, sebagian masih dipersiapkan untuk diterbitkan. Sebagian lagi,
Chazali menandaskan, seperti Perpres Jaminan Kesehatan (Jamkes) akan direvisi karena
disesuaikan dengan perubahan yang berkembang. Misalnya, pemerintah sudah merancang
besaran iuran peserta BPJS Kesehatan. Seperti iuran bagi peserta penerima bantuan iuran
(PBI), ditingkatkan dari Rp15.500 menjadi Rp19.225. Sedangkan non PBI, untuk pekerja
formal baik PNS ataupun swasta, dipatok 5 persen dari upah sebulan. Serta pekerja non
formal, pemerintah membagi iuran menjadi tiga kelas.

Selain itu, Chazali mengingatkan bahwa BPJS Kesehatan harus menekankan persiapan
kepesertaan. Pasalnya, ketika BPJS Kesehatan nanti beroperasi, peserta PT Askes yang
jumlahnya sekitar 120 juta, ada yang otomatis beralih ke BPJS Kesehatan. Seperti peserta
Jamkesmas dan PNS. Namun, mengingat cakupan pelayanan BPJS Kesehatan lebih luas
ketimbang yang dilakukan PT Askes selama ini, maka peserta lainnya yang jumlahnya
diperkirakan 80 juta orang, harus dicakup. Seperti pekerja sektor informal dan lainnya.

Sejalan dengan itu, Chazali melanjutkan, untuk menghadapi pelaksanaan BPJS Kesehatan,
PT Askes harus mempersiapkan cabang di setiap kabupaten/kota. Untuk menangkap dan
mengakomodir calon-calon peserta. Jadi memang harus ada penambahan SDM (di PT
Askes,-red), jelasnya.
Sedangkan Direktur Utama PT Askes, Fachmi Idris, mengatakan transformasi PT Askes ke
BPJS Kesehatan bukan sekedar pengubahan lembaga. Tapi sistem jaminan kesehatan dan
sosial nasional. Oleh karena itu, keberhasilan pelaksanaan BPJS Kesehatan dapat diujudkan
jika mendapat dukungan penuh dari banyak pihak. Ia berharap dalam waktu yang tersisa
beberapa bulan lagi menuju BPJS Kesehatan, semua persiapan dapat dilakukan dengan baik.

Sejalan dengan itu, Fachmi mengaku siap untuk membantu pemerintah merancang regulasi
yang diperlukan BPJS Kesehatan. Di samping itu ia menegaskan bahwa hak-hak pekerja PT
Askes saat ini tidak akan berkurang ketika BPJS Kesehatan beroperasi. Kami akan
mendorong terus, membantu pemerintah, terutama Kemenkes, untuk menyiapkan regulasi,
ucapnya.

Sementara, Meneg BUMN, Dahlan Iskan, menyambut baik persiapan menuju BPJS
Kesehatan yang dilakukan PT Askes. Misalnya, PT Askes sudah menggandeng beberapa
provinsi untuk melakukan pilot project BPJS Kesehatan. Mengacu hal itu, Dahlan berharap
PT Askes punya pengalaman untuk melaksanakan BPJS Kesehatan. Terkait berubahnya PT
Askes menjadi badan hukum milik publik ketika beralih ke BPJS Kesehatan, Dahlan
mengaku tidak ada masalah. Sebab, Dahlan menilai PT Askes dapat mengabdi dimana saja.
Entah itu pada lembaga yang berbadan hukum publik atau bukan. Namun yang terpenting, ia
berjanji akan memberi dukungan penuh kepada PT Askes untuk bertransformasi menjadi
BPJS Kesehatan. Kami (Kementerian BUMN,-red) akan memberikan dukungan apapun
yang dibutuhkan PT Askes, tukasnya.

Terkait anak perusahaan PT Askes yang bergerak di bidang asuransi komersil, PT Inhealth,
Dahlan menyerahkan segala keputusannya kepada PT Askes. Pasalnya, Dahlan menilai PT
Inhealth berada di bawah wewenang PT Askes. PT Inhealth itu anak perusahaan PT Askes,
ujarnya.

Terpisah, koordinator advokasi BPJS Watch sekaligus anggota presidium KAJS, Timboel
Siregar, mengatakan tahun ini merupakan yang terakhir bagi PT Askes merayakan hari jadi.
Sebab, tahun depan sudah beralih menjadi BPJS Kesehatan. Ia berharap agar PT Askes dapat
bertransformasi dengan lancar menuju BPJS Kesehatan dan menyelesaikan semua PR PT
Askes. Salah satunya kewajiban PT Askes menjalankan putusan pengadilan atas perkara
Ketua Serikat Karyawan PT Askes (Skasi), Itop Reptianto.

Tak ketinggalan, soal nasib PT Inhealth, Timboel membenarkan pernyataan Dahlan yang
menyebut perusahaan itu berada di bawah wewenang PT Askes. Namun, Timboel
mengingatkan agar tindakan yang diambil terhadap PT Inhealth mengacu peraturan
pemerintah (PP) tentang investasi yang nanti diterbitkan sebagai salah satu peraturan
pelaksana BPJS. Timboel menilai dalam regulasi itu, akan diatur mengenai nasib anak
perusahaan yang dimiliki PT Askes sebagai BPJS Kesehatan.

Menurut Timboel, jika PP Investasi tidak mengizinkan BPJS punya anak perusahaan, maka
PT Inhealth selayaknya dijual ke publik dengan mengikuti harga pasar. Apabila PP Investasi
mengatur sebaliknya, Timboel melihat ada kemungkinan PT Inhealth menjadi perusahaan
asuransi yang memberikan pelayanan asuransi komersil dan mewah.

Namun, Timboel berpendapat PT Inhealth lebih baik dijual ke publik dengan harga pasar.
Kemudian, hasil penjualan itu diserahkan seluruhnya untuk memperkuat BPJS Kesehatan.
Tapi, jika dalam peraturannya nanti BPJS Kesehatan boleh memiliki anak perusahaan,
Timboel khawatir dana BPJS Kesehatan akan tersedot ketika PT Inhealth terlilit masalah
keuangan. Biarlah BPJS Kesehatan fokus dan dananya untuk meningkatkan manfaat yang
diperoleh peserta, tutupnya. (hsb)

Anda mungkin juga menyukai