Anda di halaman 1dari 5

TUGAS KONSEP KEBIDANAN

REWORD DAN SANKSI BIDAN


DOSEN PENGAMPUH : Suriyanti, S.ST, M.Keb.

Oleh :

CENI PRATIWI
(F0G020073)

Tingkat 1-B

PROGRAM STUDI D3 KEBIDANAN


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM (MIPA)
UNIVERSITAS BENGKULU

NOVEMBER TAHUN 2020


1. Sanksi Bidan

Perbuatan tak terpuji yang di lakukan oleh bidan inisial SF yang bertugas di Ketapang Barat,
Kecamatan Ketapang, Kabupaten Sampang ternyata hanya mendapatkan sanksi secara administratif
saja.

Pasalnya bidan yang berinisial SF tersebut diduga melanggar kode etik kebidanan, karena itu Ketua
Ikatan Bidan Indonesia (IBI) mencabut izin prakteknya selama tiga bulan kedepan.

Bidan SF yang diketahui telah menelantarkan pasien (Aljannah) saat melahirkan di tempat praktekya
tersebut mendapat sorotan dari Tokoh Masyarakat di Kabupaten Sampang.

Ketua Aliansi Masyarakat Pecinta Keadilan (AMPK) Abdul Azis Agus Priyanto, SH menyayangkan
langkah lamban dari Satreskrim Polres Sampang yang tidak menindaklanjuti atas kasus posisi yang
terjadi dugaan penelantaran pasien oleh oknum bidan di Kecamatan Ketapang.

“Pasien seharusnya mendapatkan penanganan skala prioritas. namun, karena dugaan ada pembiaran
sehingga harus melahirkan di luar praktek kesehatan,” ucapnya.

Pihaknya menjelaskan bahwa hal itu bisa dibawa ke ranah pidana karena jelas dalam pasal 190 (1)
Udang Undang 36 tahun 2009 tentang Kesehatan termaktub bahwa Pimpinan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan dan tenaga kesehatan yang melakukan praktek atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan
kesehatan yang dengan tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan
darurat.

“Sebagaimana dimaksud pasal 32 (2) atau pasal 85 (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah),” ungkapnya, Minggu
(12/07/2020).

Pihaknya juga berkomentar bahwa semestinya Penyidik Satreskrim Polres Sampang tidak harus
menunggu Putusan Majelis Etik IBI Sampang maupun pengaduan dari masyarakat maupun keluarga
yang merasa dirugikan karena kasus posisi dimaksud tidak masuk kategori delik aduan.

Terlebih lagi diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor : 14/PUU-XII/2014 yang pada
pertimbangannya mengatakan bahwa ketentuan pelaporan secara pidana atau perdata tentu tetap
diperlukan untuk melindungi hak-hak pasien dan pemangku kepentingan pada umumnya,” tukasnya.

Sementara itu, Kasat Reskrim Polres Sampang, AKP Riki Donaire Piliang menyampaikan bahwa
kasus bidan yang diduga telah menelantarkan pasien tersebut tak bisa langsung dilakukan
penyelidikan.

“Karena tidak ada laporan dari korban kita tidak bisa memproses kasus bidan di Ketapang, sebab
dalam pasal 531 KUHP dan pasal 190 UU Kesehatan harus ada yang melapor,” ujarnya.
Menurutnya, institusinya bisa bertindak dalam kasus ini bilamana korban ataupun pihak yang
dirugikan melapor kepada sehingga kepolisian memiliki dasar untuk melakukan langkah dan tindakan
selanjutnya.

Sekedar diketahui, kasus tersebut bermula saat Aljannah hendak melahirkan kepada bidan binaannya,
namun sedang tidak berada di rumahnya karena bepergian.

Aljannah kemudian mendatangi rumah oknum bidan SF. Akan tetapi, saat tiba di rumah oknum bidan
SF, pasien Aljannah tak kunjung mendapat penanganan medis hingga melahirkan di luar pintu pagar
rumahnya.

2. Reword Bidan

Seorang bidan bernama Witnowati yang berasal dari Cipatujah Tasikmalaya tiba-tiba menjadi
perbincangan di Jerman dan Austria.

Perempuan yang baru berusia 32 tahun ini memenangkan penghargaan Hermann Gmeiner 2006 dan
berhak atas hadiah uang sebesar 15 ribu Euro atau sekitar 180 juta rupiah. Penghargaan ini diberikan
setiap dua tahun kepada sosok yang dianggap berprestasi dalam bidang kemanusiaan, pekerjaan,
olahraga, pendidikan atau kebudayaan.

Namun penghargaan ini hanya bagi mereka yang dulunya dibesarkan di salah satu dari SOS
Kinderdorf yang terbesar di seluruh dunia. SOS Kinderdorf adalah semacam perkampungan yang
didirikan oleh Yayasan Hermann Gmeiner di wilayah-wilayah tertentu bagi anak-anak yang berasal
dari keluarga miskin dan yatim piatu. Di sana mereka memiliki orang tua asuh yang membimbing
mereka dan mereka juga memperoleh pendidikan yang layak. Dulunya, Witnowati juga salah seorang
dari anak-anak yang besar di SOS Kinderdorf.

Witnowati berasal dari keluarga yang tidak mampu. Bahkan di daerah asalnya sarana untuk bisa
bersekolah pun saat itu masih minim. Witnowati menceritakan, bahwa pemasukan keluarganya
bergantung pada hujan. Kalu hujan turun, mereka bisa menanam padi. Kalau tidak, bisa paceklik.

Nasib Witnowati mulai berubah saat ia terpilih untuk menjadi anak asuh SOS Kinderdorf di Lembang.
Saat itu, ia baru berusia 8 tahun. Ia tinggal bersama anak-anak lain dan seorang ibu asuh seperti
layaknya sebuah keluarga normal. Pada masa liburan sekolah barulah ia bisa kembali ke kampungnya
untuk berkumpul kembali bersama keluarganya. Masih menjadi anak SOS Kinderdorf, setelah lulus
SMP Witnowati memilih untuk melanjutkan ke Sekolah Perawat. Ia mengatakan bahwa menjadi
perawat memang cita-cita awalnya.

Setelah dapat bekerja sendiri, Witnowati pun lepas dari SOS Kinderdorf. Sebagai bidan, ia sempat
melanglang buana ke Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur sebelum akhirnya kembali ke daerah
Bandung. Di desa Cibodas, Lembang, Witnowati membuka praktek pertamanya bersama suaminya. Ia
menyewa sebuah garasi kosong dan satu kamar. Kamar ia pakai untuk ruang tidur keluarganya dan
garasi untuk tempat praktek.

Witnowati dikenal warga Cibodas sebagai Bidan Wiwit. Namun Witnowati tidak hanya berperan
sebagai bidan saja. Karena rumah sakit terdekat jauh letaknya dan puskesmas kalau malam tutup,
maka Witnowati bisa dibilang adalah P3Knya desa Cibodas. Ia harus siap setiap saat pintu rumahnya
diketuk untuk dimintai pertolongon.

Tidak dibutuhkan waktu lama, hingga garasi tempat ia praktek tidak memadai lagi untuk menampung
pasien yang terus bertambah jumlahnya. Akhirnya, Witnowati terpaksa mengambil keputusan yang
cukup berani. Tiga tahun yang lalu, ia menjual seluruh tabungan ternaknya. 20 ekor sapi ia tukar
untuk memperoleh lahan seluas 1.000 meter persegi. Di sanalah ia mendirikan klinik bersalin dan
perawatan bagi ibu hamil. Saat ini ia mempekerjakan tiga orang yang membantunya dan seorang
bidan lain. Ini adalah klinik bersalin pertama di daerah tersebut.

Witnowati memang lain daripada yang lain. Namun, ia selalu kembali mengatakan bahwa ini adalah
berkat dukungan suami dan anak-anaknya. Sang suami meninggalkan pekerjaan lamanya untuk
mendukungnya dalam mengelola klinik. Keempat orang anaknya bahkan juga membantunya dengan
secara bergantian menjaga klinik. Perempuan muda yang penuh semangat ini sebenarnya orang yang
sangat sederhana. Ia tidak langsung percaya, saat ia diberitahu bahwa ia memperoleh penghargaan
Hermann Gmeiner.

Dengan hadiah uang dari penghargaan itu, Witnowati menjadi jutawan baru. Namun, ia tidak terpikir
untuk menggunakan uang itu selain untuk membenahi kliniknya dengan peralatan-peralatan medis
yang masih ia butuhkan. Christian Honold, ketua harian Yayasan Hermann Gmeiner, sempat bertemu
langsung dengan Witnowati di kota Innsbruck, Austria saat penyerahan penghargaan tersebut. Honold
mengungkapkan kekagumannya akan kegigihan perempuan tersebut.

"Bagi saya ini adalah prestasi luar biasa. Dengan kompetensi sosialnya dan kebaikan hatinya
ditambah profesionalitasnya di bidang kedokteran ia berhasil membantu masyarakat setempat yang
benar-benar membutuhkannya. Gabungan antusiasme, cara berpikirnya yang selalu positif dalam
keadaan sesulit itu serta pengalamannya sebagai bidan bertahun-tahun menunjukkan betapa hebatnya
kepribadian perempuan ini.“
Daftar Pustaka

http://jurnalmojo.com/2020/07/12/sanksi-bidan-telantarkan-pasien-di-sampang-dinilai-terlalu-ringan/

https://amp.dw.com/id/bidan-witnowati-raih-penghargaan-hermann-gmeiner-2006/a-
2958008#aoh=16062865049133&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&amp_tf=Dari
%20%251%24s

Anda mungkin juga menyukai